rumput laut demi karang
Click here to load reader
-
Upload
scuba-diver -
Category
Documents
-
view
480 -
download
3
Transcript of rumput laut demi karang
ARTIKEL SEAWEEDWebsite : www.rumputlaut.org
Email : [email protected]
1
Rumput Laut Demi Karang
Para nelayan di sekitar kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB)
beralih profesi menjadi petani budidaya rumput laut. Meninggalkan
budaya pengeboman ikan demi menyelamatkan terumbu karang.
Keuntungan ekonomis memperkuat motivasi.
Di tengah perairan Bali barat, sekitar satu kilometer dari pesisir Pantai
Sumber Pao, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten
Buleleng, Bali, Latief (32 tahun) asyik duduk di atas sampan kayu
mungilnya. Jari jemarinya yang terlihat kekar, sibuk memetik rumput
laut dari ikatan-ikatan tali yang dijadikan media tanam. Senyumnya
mengembang. Rupanya, sampan kecilnya sudah hampir penuh dengan
rumput laut. Beratnya diperkirakan sudah mencapai 2 kwintal. Ratusan
ribu rupiah sudah terbayang di benak Latief.
Panen perdana yang dilakukan Latief dari usaha budidaya rumput laut
yang dimulainya sejak awal 2006 ini, telah memberi keuntungan
melimpah baginya. Apalagi bila dibandingkan dengan hasilnya melaut
yang tak seberapa. Untuk melakukan budidaya, ia hanya perlu merakit
bibit-bibit rumput laut di sejumlah tali dengan panjang masing-masing
40 meter. Dengan hanya membiarkan rakitannya mengapung di
perairan selama sekitar 45 hari, Latief sudah bisa mendapat hasil
dalam jumlah yang cukup banyak. Nilai ekonomisnya juga dihargai
cukup tinggi. Untuk hanya satu kilogram rumput laut basah, ia bisa
mendapat Rp 3.600. Tetapi bila dikeringkan, harganya bisa mencapai
dua kali lipat.
Rumput laut telah menjadi ladang pencaharian yang menggiurkan bagi
Latief dan sejumlah nelayan di wilayah Bali Barat sejak awal 2006 ini.
Maklum, keuntungan yang didapat jauh lebih tinggi daripada sekadar
melaut. Bahkan, panen perdana secara besar-besaran telah dilakukan
bersama-sama oleh sekitar 91 nelayan pada Juni lalu. Hasilnya tak
ARTIKEL SEAWEEDWebsite : www.rumputlaut.org
Email : [email protected]
2
tanggung, mencapai 50 ton rumput laut basah. Sebuah perusahaan
pemasok rumput laut, CV Kembang Kidul, juga telah membuka diri
untuk membeli semua hasil panen tersebut. “Ini adalah rumput laut
jenis Kafaphicus Alvarezi yang punya kandungan serat karaginan
paling tinggi. Jenis ini paling baik,”jelas Dewa Gede Pastika dari CV
Kembang Kidul. Karaginan merupakan zat dengan kandungan serat
yang penting dan sehat dalam rumput laut.
Naiknya popularitas rumput laut di kalangan nelayan sekitar Taman
Nasional Bali Barat (TNBB) itu, tak cuma memberi harapan ekonomis
yang tinggi bagi masyarakat pesisir Bali Barat. Setidaknya, ancaman
terhadap kelestarian terumbu karang di wilayah TNBB juga telah
berkurang.
Sejak puluhan tahun lalu, aktivitas penangkapan ikan menggunakan
bom dan potasium di TNBB telah mengancam kehidupan terumbu
karang dan ekosistem laut kawasan itu. Berdasarkan catatan WWF-
Indonesia, tutupan karang yang tersisa dalam kondisi baik pada 1998
hanya sekitar 25 persen. Community Alternative Livelihood Officer
WWF-Indonesia, Manu Drestha, kegiatan penangkapan ikan dengan
bom dan potasium, telah menjadi perusak paling besar bagi ekosistem
bawah laut TNBB. Ini berbahaya karena TNBB pada dasarnya
merupakan bank bagi semua spesies hewan dan tanaman laut Bali.
Bom dan potasium awalnya dianggap sebagai solusi atas minimnya
hasil tangkapan saat melaut. “Paling banter dapat 10 kg ikan. Itu juga
jarang. Kadang nggak dapat ikan. Mancing nggak bisa. Terpaksa pake
potas. Terpengaruh teman-teman, ikut,” kenang Sutrisno, nelayan lain
yang kini telah beralih ke rumput laut. Kini ia mengaku tak mau lagi
ngebom ataupun motas. “Bom, saya takut. Rugi ama polisi,” begitu ia
kini.
Kegiatan budidaya rumput laut mulai digiatkan di kawasan Bali barat
sejak Agustus 2003 oleh masyarakat bersama Forum Komunikasi
Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) dan WWF-Indonesia. FKMPP
merupakan forum yang terbentuk pada 2002 sebagai respon atas
ARTIKEL SEAWEEDWebsite : www.rumputlaut.org
Email : [email protected]
3
banyaknya bentrokan-bentrokan kepentingan antara nelayan,
masyarakat, industri pariwisata, dan kegiatan pelestarian lingkungan
TNBB. “Kegiatan ini dipilih sebagai mata pencaharian alternatif yang
tidak membahayakan kawasan TNBB setelah melalui proses
pengkajian yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat,” jelas
Misnawiyanto, Ketua FKMPP.
Awalnya, budidaya rumput laut direspon baik oleh 30 orang nelayan.
Namun banyaknya kendala, membuat para nelayan itu tumbang satu
per satu. Pertumbuhan rumput laut yang tidak bagus, membuat
banyak nelayan putus asa. Adalah Daeng Hayak, 70 tahun, satu-
satunya nelayan yang tetap bertahan. Ayah dari 10 orang anak asal
suku Bugis itu telah optimis dengan usaha budidaya rumput laut sejak
awal. Karenanya, dalam berbagai kesempatan, ia selalu mencoba
mencari jenis rumput laut yang sesuai dengan kondisi TNBB.
Awalnya, ia membeli bibit di Madura Jawa Timur. Namun sebanyak 2
kuintal bibit yang dibelinya dengan harga Rp 2.500 per kg itu, tak
memberikan hasil memuaskan. Lantas ia membeli bibit ke petani
rumput laut di kawasan Nusa Dua-Badung. Sebanyak 6 kuintal bibit
dengan harga Rp 2.000 per kuintal itu pun, terbuang percuma. “Waktu
nanam, dimakan penyakit,” cerita Daeng Hayak.
Baru pada pertengahan 2005, ketika mengikuti studi banding ke petani
rumput laut di Pulau Besar, Maumere NTT, Daeng Hayak
menyempatkan membeli 10 kg bibit rumput laut. Harganya tak terlalu
mahal, cuma Rp 1.500 per kg. ”Saya lihat hasil rumput laut di sana,
kok bagus. Lantas saya bawa pulang 10 kg,” kenangnya. Satu cerita
yang tak bisa dilupakan Daeng Hayak, sepasang sepatunya harus
dibuang di bandara demi membawa lebih banyak bibit.
Tak percuma nelayan yang dulunya juga sering menangkap ikan
dengan bom dan potasium itu membuang sepasang sepatunya. Hanya
dalam hitungan 20 hari sejak ditanam, 10 kg bibit rumput lautnya
telah tumbuh menjadi 1 kuintal. Menyadari kalau budidayanya kali ini
ARTIKEL SEAWEEDWebsite : www.rumputlaut.org
Email : [email protected]
4
berhasil, Daeng Hayak lantas fokus pada upaya memperbanyak bibit.
Hasil budidayanya ditebar dan ditebar lagi. Sampai-sampai, banyak
nelayan lain yang kembali tertarik membudidayakan rumput laut.
”Nelayan lain nempil bibit sama saya. Waktu sudah banyak, saya kasi
harga Rp 5.000 per kg,” jelasnya.
Sejak Maret 2006, Daeng Hayak baru menikmati hasil budidayanya. Ia
mulai mampu menjual rumput laut basah. Hasilnya pun cukup besar.
Ia mengaku telah mendapat keuntungan total Rp 6 juta sejak
menggarap bibit rumput laut jenis Kafaphicus Alvarezi asal Maumere.
Kini, pria yang mendapat gelar “Pahlawan Rumput Laut Bali Barat” dari
FKMPP dan WWF-Indonesia pada Juni 2006 lalu itu, telah memperluas
budidayanya di lahan 2,5 hektar. Meski mengaku menghadapi
berbagai kendala, masalah permodalan dan hama penyakit, namun
Daeng Hayak mengaku sudah cukup senang. ”Sekarang sudah enak
dah. Cukup untuk bayar-bayar. Waktu masih mancing, dulu ikan
nggak laku. Sekarang sudah ada tabungan. Agak tenang,” jelas pria
yang masih menanggung biaya sekolah tiga anaknya. Setidaknya, kini
Daeng Hayak bisa panen dua kali seminggu.
Tak cuma kehidupan Daeng Hayak yang ”disulap” oleh rumput laut
Maumere. Sebanyak 91 nelayan dari 6 kelompok nelayan di Desa
Sumberkima dan Desa Pejarakan Gerokgak, kini menggantungkan
hidup dari budidaya rumput laut berukuran besar itu.Tak terbatas pada
usaha budidaya dan penjualan, tetapi juga pada usaha pengolahan
rumput laut. Oleh para istri nelayan yang tergabung dalam kelompok
Sumber Laut Putri, rumput laut diolah menjadi berbagai makanan
seperti krupuk, dodol, manisan kering dan basah, selai, kue donat, kue
bolu, kue lumpur, asinan, agar-agar, sirup, hingga es rumput laut.
Lahan seluas 15 Ha di perairan Desa Sumberkima dan Desa Pejarakan,
kini telah ditutupi budidaya rumput laut. Namun potensi budidaya
rumput laut di kawasan luar TNBB itu masih terbuka lebar, mengingat
masih banyak potensi lahan yang belum tergarap. Berdasarkan
ARTIKEL SEAWEEDWebsite : www.rumputlaut.org
Email : [email protected]
5
perhitungan, potensi lahan budidaya rumput laut di sekitar kawasan
TNBB bisa mencapai sekitar 250 Ha, dengan potensi menghasilkan
rumput laut kering sebesar 500-750 ton setiap panen.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, I B Wisnawa
Manuaba, juga mengakui potensi pasar rumput laut masih cukup luas.
Hal itu terutama karena banyak permintaan rumput laut dari sejumlah
negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, Hongkong, dan
lainnya. ”Karena manfaat rumput laut banyak sekali,” jelas Wisnawa
sembari menyebut wilayah Buleleng sebagai salah satu kabupaten
penghasil rumput laut potensial.
Meningkatnya ekonomi masyarakat berkat budidaya rumput laut,
membuat pengeboman ikan telah ditinggalkan nelayan Bali barat.
Akibatnya, pertumbuhan terumbu karang di wilayah Bali Barat pun
makin membaik. Pada Agustus 2005 misalnya, berdasar catatan WWF-
Indonesia, tutupan karang hidup sudah mencapai 58 persen. Jumlah
itu meningkat pada Februari 2006 menjadi sebesar 62 persen.
Meski kesadaran masyarakat akan kelestarian alam telah meningkat,
antisipasi atas pelanggaran-pelanggaran tetap dilakukan. Untuk itu,
bekerjasama dengan Polisi Hutan TNBB, Polair, Pecalang, dan nelayan
setempat, FKMPP melakukan patroli rutin dua kali sebulan di perairan
Bagi nelayan yang kepergok menangkap ikan dengan bom atau
potasium, akan dikenakan sanksi administrasi atau denda.
Kepala Balai TNBB, Hendrik Siubelen, juga menyambut positif kegiatan
budidaya rumput laut oleh nelayan sekitar. ”Salah satu solusi yang
harus dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang,
masyarakat perlu mencari alternatif mata pencaharian yang ramah
lingkungan,” ujarnya. Hendrik cuma mengingatkan bahwa budidaya
hanya boleh dilakukan di luar kawasan TNBB. TNBB dengan ekosistem
yang sangat beragam, merupakan penunjang bagi kawasan Bali barat
khususnya dan Bali pada umumnya. Kerusakan kawasan TNBB sama
artinya dengan merusak kawasan penunjang kelestarian alam Bali.
ARTIKEL SEAWEEDWebsite : www.rumputlaut.org
Email : [email protected]
6
Sumber:
http://warnawarnibali.blogspot.com/2006/07/rumput-laut-demi-
karang.html (diakses tanggal 8 Februari 2008).