ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL … fileAngkatan Pujangga Baru di Indonesia banyak...

26
59 ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Almas Aprilia Damayanti E-mail: [email protected] Abstrak Keberadaan Romantisisme di Indonesia menjadi sangat istimewa semenjak masuknya aliran romantisisme pada awal abad 20, sedangkan romantisisme di Belanda sendiri sudah ada sejak abad 18 yang terus berkembang hingga awal abad 20. Angkatan Pujangga Baru di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari bacaan dan karya sastra dari Belanda sehingga karya-karya literatur mereka terpengaruh angkatan 80. Sebagaimana diketahui, karya sastra romatisisme telah berlangsung jauh lebih dulu di Belanda, tepatnya pada akhir abad 17 hingga awal 18, jika dibandingkan di Indonesia yang baru masuk pada abad 19. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah pengaruh bacaan karya sastra dari Belanda bagi angkatan pujangga baru di Indonesia. Kata kunci: Angkatan Pujangga Baru; Angkatan 80; Romantisisme 1. Pendahuluan Romantisisme adalah sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke18-, tepatnya pada masa Revolusi Industri. Istilah romantik dan romantisisme berasal dari kata romans, yakni bahasa (dialek) rakyat Prancis pada abad Pertengahan (1800‒1851). Istilah tersebut kemudian berkembang dan dimaknai sebagai cerita khayalan yang aneh

Transcript of ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL … fileAngkatan Pujangga Baru di Indonesia banyak...

59

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20

Almas Aprilia DamayantiE-mail: [email protected]

Abstrak

Keberadaan Romantisisme di Indonesia menjadi sangat istimewa semenjak masuknya aliran romantisisme pada awal abad 20, sedangkan romantisisme di Belanda sendiri sudah ada sejak abad 18 yang terus berkembang hingga awal abad 20. Angkatan Pujangga Baru di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari bacaan dan karya sastra dari Belanda sehingga karya-karya literatur mereka terpengaruh angkatan 80. Sebagaimana diketahui, karya sastra romatisisme telah berlangsung jauh lebih dulu di Belanda, tepatnya pada akhir abad 17 hingga awal 18, jika dibandingkan di Indonesia yang baru masuk pada abad 19. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah pengaruh bacaan karya sastra dari Belanda bagi angkatan pujangga baru di Indonesia.

Kata kunci: Angkatan Pujangga Baru; Angkatan 80; Romantisisme

1. Pendahuluan

Romantisisme adalah sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke18-, tepatnya pada masa Revolusi Industri. Istilah romantik dan romantisisme berasal dari kata romans, yakni bahasa (dialek) rakyat Prancis pada abad Pertengahan (1800‒1851). Istilah tersebut kemudian berkembang dan dimaknai sebagai cerita khayalan yang aneh

ALMAS APRILIA DAMAYANTI60

dan menarik, cerita yang penuh petualangan, serta cerita-cerita yang mengandung unsur percintaan (Ratna, 2005, hlm. 48). Romantisisme merupakan aliran dalam sastra yang menekankan pada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudannya. Aliran ini lahir dan berkembang pada abad ke-18 di Eropa sebagai gerakan untuk menentang klasikisme, yaitu aliran yang mengutamakan keteraturan dalam berpikir, bersikap, dan bersifat konvensional.

Istilah romantik boleh dikatakan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan Eropa. Kalaupun kita ingin memahami dan mencari ciri-ciri romantisisme dalam tradisi sastra Indonesia, mau tidak mau kita harus berurusan dengan perkembangan tradisi kesusastraan Eropa yang memperkenalkan istilah romantisisme tersebut. Istilah romantik berhubungan dengan penggunaan kata roman di Abad Pertengahan, yaitu suatu cerita dalam bahasa rakyat Roman. Roman Abad Pertengahan, terutama yang berupa cerita kesatria, kebanyakan ditulis dalam bentuk sajak. Setelah beberapa waktu, ciri-ciri yang menandai cerita ini bergeser menjadi kejadian-kejadian tegang dan sering tidak masuk akal, serta perasaan luhur tentang kehormatan dan cerita kebangsawanan yang langsung dihubungkan dengan pengertian roman dan romantik (Luxemburg et.al, 1989, hlm. 162).

Periode romantik dalam sejarah perkembangan sastra Eropa sering dikaitkan dengan munculnya Revolusi Prancis, terutama pada abad ke-18. Ketika itu, idiom-idiom yang berkaitan dengan kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan muncul di berbagai sendi kehidupan (Samekto, 1975, hlm. 65). Idiom-idiom tersebut pada akhirnya menimbulkan keyakinan bahwa pada dasarnya, manusia adalah baik. Dengan demikian, perasaan ingin mencapai kebahagiaan secara sempurna menjadi hakikat kehidupan pada

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 61

masa romantik. Kemunculan romantitisme memang tidak dapat dilepaskan dari Revolusi Prancis. Tokoh yang memberikan napas dalam romantisisme di Prancis adalah J. J. Rousseau. Ia dianggap sebagai bapak romantisisme lewat karya autobiografinya, Confessions. Di dalam bukunya, ia memaparkan bahwa diri (self ) merupakan sesuatu yang otonom dalam menentukan pilihannya. Dengan kata lain, Rousseau mengenalkan konsep individualisme dan subjektivisme dalam pemikiran filsafat (Heath dan Boreham, 1999, hlm. 23).

Menurut Saini dalam Damono (2005: 51), romantisisme adalah gerakan kesenian yang mengunggulkan perasaan (emotion, passion), imajinasi, dan intuisi. Para seniman romantik cenderung mengunggulkan sifat individualistis daripada konformistis. Karya seniman romantik menekankan hal yang bersifat spiritualitas atau fantastik. Minatnya pada alam yang masih liar dan belum diolah sangat besar. Tokoh-tokoh eskapisme romantis lebih menyukai tempat-tempat yang alami, natural, bunga-bunga, sinar mentari, atau bulan purnama. Sifat otentik kaum romantik adalah pandangan filosofis yang menolak hal-hal palsu atau artifisial, seperti ketentuan sosial, hukum material, dan penaklukan individu oleh hal-hal yang nonemotif. Romantik menjauhi kejenuhan atau kebiasaan, dan melihat sesuatu secara berbeda. Romantika menyeret orang sampai batas-batas yang tidak terduga.

Lebih dari seabad sejak romantisisme pertama kali dicetuskan di Barat, tetapi pengaruhnya masih dapat dirasakan dalam dunia kesenian sampai sekarang. Pada faktanya, bentuk seni modern pun banyak yang masih bersifat romantik. Walaupun sudah muncul banyak konsep lain, seperti realisme, simbolisme, surealisme, dan lain-lain, adanya kebutuhan untuk mengekspresikan diri secara

ALMAS APRILIA DAMAYANTI62

subjektif, terlepas dari hukum sains dan logika, yang sering kali menjadi vital dalam penciptaan karya seni, merupakan warisan dari romantisisme. Romantisisme juga memegang peran penting dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia, sebagai penggayaan seni lukis asing pertama yang masuk ke Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah pengaruh bacaan dan karya sastra dari Belanda terhadap angkatan Pujangga Baru di Indonesia. Ada dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu secara teoretis, bertujuan mengungkap sejarah pengaruh bacaan asing bagi angkatan Pujangga Baru di Indonesia dan pengaruh dari bacaan di Belanda yang menempatkan perasaan manusia sebagai unsur paling dominan, serta sebuah cinta yang merupakan bagian dari perasaan yang paling menarik. Kemudian, secara akademis, dapat memberi sumbangan perkembangan ilmu sastra, khususnya dalam bidang sejarah sastra. Secara praktis, penelitian ini bertujuan memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa romantisisme di Indonesia terpengaruh oleh aliran romantisisme di Belanda.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Langkahnya dimulai dari menelaah data yang berhubungan dengan teks, lalu mendeskripsikan secara koheren, kemudian mengutipnya. Terakhir, dilakukan tahap analisis dan menyimpulkan. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat pengaruh yang besar bagi karya-karya masa romantisisme di Indonesia oleh karya-karya literatur di Belanda. Ini semua terlihat dari unsur emosi (perasaan) yang dipakai pada karya literatur, baik di Indonesia maupun di Belanda, untuk mendorong orang lebih menghayati perasaan melalui penghayatan indera, serta lebih mempercayai intuisi daripada pikiran dan kebebasan berimajinasi. Namun, ada yang berbeda, yakni apabila karya bergenre romantisisme

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 63

di Indonesia dinilai dengan pengungkapan yang romantis dan mendayu-dayu, di Belanda karya-karyanya sama sekali tidak terkait dengan persoalan cinta, asmara, atau ketertarikan antara lelaki dan perempuan sebagaimana yang selama ini dipahami, tetapi pada masa itu dianggap romantik jika pengarang atau penyair mampu memberikan titik tekan pada persoalan rasa dan perasaan yang amat terbuka dalam mengungkapkan perasaan mereka, hak-hak manusia, dan kebebasan individu (McMichael, 1997, hlm. 613).

2. Pembahasan

2.1 Ciri-Ciri Romantisisme

Prinsip romantisisme adalah kembali pada alam, contohnya emphasis terhadap nilai-nilai kebajikan umat manusia, keadilan bagi seluruh umat, serta menggunakan perasaan daripada logika dan intelekual. Ada beberapa ciri-ciri yang sangat menonjol dalam aliran romantisme ini, di antaranya kembali ke alam, melankolis, keprimitifan, sentimental, dan individual (Noyes, 1956).

Seni romantik berfokus pada emosi, perasaan, dan berbagai macam suasana hati, seperti spiritualitas, imajinasi, misteri, dan semangat perjuangan. Seniman romantik mengekspresikan emosi personal melalui karyanya, yang kontras dengan pengekangan dan nilai-nilai universal yang ada pada seni neoklasik. Subject matter bervariasi, contohnya lanskap, religi, revolusi, dan keindahan yang damai.

Salah satu tema dalam puisi romantisisme adalah mengemukakan keindahan alam. Tema keindahan alam dalam karya romantisisme juga didengungkan melalui pernyataan Bapak Romantik Belanda, Williem Kloos, yang menyerukan untuk kembali ke alam dalam

ALMAS APRILIA DAMAYANTI64

karyanya yang berjudul “Zee”, atau dalam bahasa Indonesia bermakna “Laut” berikut.

Zeekarya Williem Kloos

De Zee, de Zee klotst voort in eindelooze deining,De Zee, waarin mijn Ziel zich-zelf weerspiegelt ziet;De Zee is als mijn Ziel in wezen en verschijning,Zij is een levend Schoon en kent zich-zelve niet.

Zij wischt zich-zelven af in eeuwige verreining,En wendt zich altijd òm en keert weer waar zij vliedt,Zij drukt zich-zelven uit in duizenderlei lijningEn zingt een eeuwig-blij en eeuwig- klagend lied.

O, Zee was Ik als Gij in àl uw onbewustheid,Dan zou ik eerst gehéél en gróót gelukkig zijn;

Dan had ik eerst geen lust naar menschlijke belustheidOp menschelijke vreugd en menschelijke pijn;Dan wás mijn Ziel een Zee, en hare zelfgerustheid,Zou wijl Zij grooter is dan Gij, nóg grooter zijn.

Keindahan alam yang didengung-dengungkan oleh Kloos ini juga ditemukan dalam puisi-puisi yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru. Keindahan alam yang diceritakan dalam puisi-puisi tersebut biasanyan menggambarkan keindahan alam di pedesaan, keindahan gunung, sawah, suasana menjelang pagi,

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 65

bahkan nyanyian dedaunan, dan batang-batang pimping yang ditiup angin. Semua fenomena alam tersebut menjadi inspirasi dalam penciptaan sajak-sajak Pujangga Baru. Contohnya dapat dilihat pada sajak-sajak berikut.

Fajar di timur datang menjelang,Membawa permata ke atas dunia;Seri berseri sepantun mutia,Berbagai warna, bersilang-silang.

(dikutip dari sajak “Pagi-Pagi” karya M. Yamin dalam Pujangga Baru, nomor 7, Th. II, Januari 1935, hlm. 283)

Sawah di bawah emas paduPadi melambai, melalai terkulai,Naik Suara salung serunaiSejuk didengar, mendamaikan kalbu.

(dikutip dari sajak “Sawah” karya Sanusi Pane dalam Pujangga Baru, nomor 7, Th. II, Januari 1935, hlm. 282)

Wahai gembala di segara hijauMendengar puputmu, menurutkan kerbauMaulah aku menurutkan dikau

(dikutip dari sajak “Gembala” karya M. Yamin dalam Pujangga Baru, nomor 7, Th. II, Januari 1935, hlm. 279)

Dalam cahaya bulan purnama,Anak dara menumbuk padi,

ALMAS APRILIA DAMAYANTI66

Alu arah lesung bersama,Naik turun berganti-ganti.

(dikutip dari sajak “Menumbuk Padi” karya Sanusi Pane dalam Pujangga Baru, nomor 7, Th. II, Januari 1935, hlm. 278)

Sajak-sajak dengan tema keindahan alam sebagaimana yang dikemukakan oleh penyair-penyair Pujangga Baru tersebut, semuanya mengagumi alam ciptaan Tuhan yang dapat menyejukkan hati dan perasaan bagi yang melihat dan menikmatinya. Contohnya, dalam sajak “Sawah”, Sanusi Pane melihat pemandangan indah yang terbentang di tengah sawah yang menggerakkan hatinya untuk menggambarkan pemandangan tersebut dalam bentuk sajak.

Dalam sajak “Gembala” karya M. Yamin, terlihat kekaguman penyair terhadap alam dan anak gembala yang meniup seruling di atas kerbau. Pemandangan tersebut menarik minat penyair untuk turut serta bersama si anak gembala. Bagi Yamin, keindahan alam tersebut menarik dirinya untuk mengikuti permainan si gembala dengan kerbaunya. Bagi Pane, keindahan yang dilihatnya melahirkan suatu perasan yang lebih mendalam, suatu proses gerak jiwa, atau yang dikenal dengan istilah stemming (STA, 1978, hlm. 47).

Keindahan alam juga dapat menimbulkan kesedihan di hati penyair, seperti yang diungkapkan oleh N. Adil dalam sajaknya yang berjudul “Pimping”. Sementara itu, bagi penyair lainnya seperti Mozasa, keindahan alam dapat menjadi pelajaran yang berharga, seperti yang terlihat dalam sajaknya yang berjudul “Waktu”.

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 67

Romantisisme yang terjadi di Indonesia terpengaruh oleh bacaan romansa dari masa romantisisme di Belanda. Romantisisme yang terdapat di Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan sastra bercorak tersebut di Indonesia karena masa romantisisme hadir untuk memberikan jalan kepada masyarakat umum untuk lebih memahami sekitarnya berdasarkan perasaan dan pemikirannya.

2.2 Masuknya Romantisisme pada Puisi-Puisi Indonesia

Romantisisme dalam sastra Indonesia modern, khususnya romantisisme di dalam puisi-puisi Indonesia yang terbit dalam majalah-majalah sastra, seperti Pujangga Baru selama tahun 1935‒1939, sangat berkaitan dengan suatu angkatan dari negeri Belanda yang dikenal juga dengan nama De Tachtigers, atau ‘Angkatan 80’. De Tactigers sendiri merupakan bentuk perlawanan dari sekelompok sastrawan muda Belanda yang bersatu dalam De Niuwe Gids, atau ‘Pandu Baru’ pada tahun 1885. Nama ini mengindikasikan bahwa gerakan tersebut merupakan reaksi terhadap majalah sastra yang terpenting ketika itu di Belanda, yakni De Niuwe Gids yang dibentuk tahun 1837, dan mewakili pandangan golongan tradisional (Jassin, 1980).

De Niuwe Gids didirikan oleh Willem Kloos, Frederik van Eeden, dan Albert Verwey. Mereka merupakan tokoh-tokoh terkenal dari gerakan tersebut. Kemudian, datanglah Herman Gorter, wakil pergerakan yang sangat gigih memperjuangkan gerakan kesusastraan tersebut bersama-sama dengan Lodewijk van Deyssel yang aktif sebagai penulis prosa.

Gerakan De Tactigers juga dikenal sebagai Angkatan 80 karena muncul pertama kali pada tahun 1880. Gerakan ini memberi warna

ALMAS APRILIA DAMAYANTI68

kesusastraan yang sesuai dengan semangat zaman. Oleh sebab itu, gerakan ini diterima dengan mudah di seluruh negeri Belanda, serta memiliki pengikut yang banyak dari kalangan pujangga muda. Namun, persatuan pujangga De Niuwe Gids tersebut tidak bertahan lama. Ketegangan dalam jiwa yang ditimbulkan oleh individualisme ternyata ada batasnya. Albert Verwey tidak suka hanya menyembah keindahan. Ia mau tahu akan dasar dan tujuan kehidupan yang membawanya memahami filsafat lebih jauh dalam kesusastraan. Frederik van Eeden mencari kebenaran dan kebahagiaan melalui agama atau religi. Ia mempelajari ilmu-ilmu gaib dan ilmu sihir, serta membawanya ke dalam gereja Katolik. Keduanya menentang Lodewijk van Deyssel yang hanya memuji perasaan dan mengabaikan segala ukuran filsafat, kesusilaan, serta meninggalkan Willem Kloos di puncak individualisme. Antara Willem Kloos dan Van Deyssel timbul pula perbedaan karena Van Deyssel makin cenderung ke naturalisme. Van Deyssel dan Verwey awalnya sama-sama memimpin Tweemaandelijkcsh Tijdschrift, yang kemudian bernama De Twintigste Eeuw. Verwey menerbitkan De Eeweging yang menjadi majalah pujangga dan bersifat filosofis. Beberapa tahun setelah itu, Van Deyssel aktif kembali sebagai redaktur di Niuwe Gids dan meneruskan kegiatannya di sana sampai akhir hayatnya.

Herman Gorter yang pada awalnya mewujudkan pikiran gerakan 80 tersebut, kemudian mencela gerakan itu dan menjadi pengikut aliran sosial demokrat ketika terjadi perpecahan dalam kalangan Marxisme. Ia kemudian menjadi pengikut komunisme, bersama-sama dengan pujangga wanita Belanda yang termahsyur, yakni Henriette Rolland Holst. Willem Kloos dan Lodewijk van Deyssel mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 69

Amsterdam. Gelar yang sama juga telah lebih dahulu diperoleh oleh Albert Verwey dari perguruan tinggi Groningen.

Pujangga Baru merupakan suatu angkatan sastra di Indonesia yang terkemuka sebagai gerakan pembaruan di bidang sastra, sebagaimana yang dilakukan oleh Angkatan 45 yang muncul setelah perang revolusi di Indonesia. Jassin menyebut Angkatan Pujangga Baru sebagai gerakan yang membawa angin pembaruan dalam jiwa, pandangan hidup, dan dalam gaya. Namun, yang lebih terkemuka dari angkatan ini, menurut Jassin, adalah semangat kebangsaan dan romantik (Jassin, 1963).

Semangat romantisisme Angkatan Pujangga Baru ini pada awalnya menunjukkan kesejajaran dengan semangat De Tachtigers Belanda yang bertolak dari anggapan bahwa manusia adalah pencipta, bukan sekedar homo artifex, yakni makhluk yang hanya dapat meniru proses penciptaan Tuhan. Munculnya romantisisme di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak kehadiran puisi-puisi karya M. Yamin, Rustam Effendi, dan Or. Mandank selama tahun 1920‒1930. Mereka menyebut dirinya sebagai kaum praromantik dan romantik (Damono, 1995, hlm. 8). Ia juga menyebutkan bahwa aliran romantik ini merupakan suatu aliran yang muncul begitu tiba-tiba, tanpa ada kaitan sama sekali dengan perkembangan puisi Melayu yang telah berakar pada tradisi kesusastraan Melayu di Nusantara. Dalam hal ini, Penulis kurang sependapat dengan beliau (Damono) karena jika dicermati dengan saksama, dapat dilihat adanya suatu alasan yang kuat terkait alasan romantisisme cepat diterima oleh penyair-penyair modern Indonesia pada masa tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pilihan terhadap soneta sebagai bentuk puisi modern yang digemari di kalangan penyair romantik Indonesia. Pemilihan soneta sebagai bentuk

ALMAS APRILIA DAMAYANTI70

puisi modern oleh penyair Indonesia pada masa itu disebabkan oleh adanya kemiripan bentuk antara soneta dan pantun yang sama-sama mengikat, yakni memiliki sampiran dan isi.

Perkembangan sastra di Indonesia dapat digolongkan ke dalam beberapa angkatan, seperti angkatan 1920-an, atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak; dan angkatan 1966, atau disebut juga angkatan Orde Lama. Setiap angkatan memiliki ciri khusus, seperti angkatan 1920-an yang identik dengan novel Marah Rusli yang berjudul “Sitti Nurbaya”; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisjahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi); angkatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar, yang terkenal dengan puisi-puisinya yang sangat monumental, salah satunya berjudul “Aku”; dan angkatan 1966 dengan tokoh sentralnya, Taufik Ismail, yang menghasilkan kumpulan puisi berjudul “Tirani dan Benteng”.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, aliran romantisisme dalam karya sastra Indonesia banyak ditemukan dalam karya-karya angkatan Pujangga Baru. Contohnya dapat ditemukan pada puisi karya Amir Hamzah yang berjudul “Astana Rela” yang termuat dalam koleksi puisi Njanji Soenji yang terbit tahun 1937. Berikut adalah isinya.

Astana Relakarya Amir Hamzah

Tiada bersua dalam duniatiada mengapa hatiku sayang

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 71

tiada dunia tempat selamalayangkan angan meninggi awan

Jangan percaya hembusan cederaberkata tiada hanya duniatilikkan tajam mata kepalasungkumkan sujud hati sanubari

Mula segala tiada adapertengahan masa kita bersuaketika tiga bercerai ramaidi waktu tertentu berpandang terang

Kalau kekasihmu hasratkan dikaurestu sempana memangku dakutiba masa kita berduaberkaca bahagia di air mengalir

Bersama kita mematah buahsempana kerja di muka duniabunga cerca melayu lipuhanya bahagia tersenyum harum

Di situ baru kita berduasama merasa, sama membacatulisan cuaca rangkaian mutiaradi mahkota gapura astana rela.

ALMAS APRILIA DAMAYANTI72

Puisi ini menyiratkan tentang keikhlasan tokoh Aku yang tak dapat bertemu dengan kekasihnya di dunia karena ia percaya mereka akan bersua di surga. Puisi ini menggunakan beberapa pilihan kata yang menarik, seperti bersua, tilikan, sempana, dan di mahkota astana gapura rela. Selain itu, ciri khas puisi-puisi Amir Hamzah tampak dalam isinya yang sebagian besar menyiratkan kerinduan dan kesedihan. Karyanya juga mengandung unsur sufistik, atau merupakan hasil refleksi pribadi akan hubungannya dengan Tuhan. Bagi Amir Hamzah, wajah Tuhan dalam kehidupan ini bermacam-macam, misalnya sebagai kekasih yang menjadi “Kandil Kemerlap”, atau pada kesempatan yang lain sebagai “Kekasih yang dirindukan”. Kehidupan Amir Hamzah tidak terlepas dari kemelut. Dalam kemelut itu, dia merasa seorang diri, kesepian, dan hampir putus asa. Dia nyaris tidak memahami Tuhan yang memperlakukan dirinya sebagai boneka yang dengan mudah ditaruh kembali dalam kotak seorang dalang (seperti yang tecermin dalam puisi “Sebab Dikau”). Baginya, betapa kejamnya Tuhan yang mendatangkan bencana kepada manusia (seperti yang tecermin dalam puisi “Permainanmu”) yang tidak dapat dipahaminya. Seperti dalam bunyi larik sajaknya: Kekasih yang “Sabar, setia selalu” berubah rupa menjadi “ganas”/mangsa aku dalam cakarmu. Dalam keputusasaannya, dia menjerit seorang diri, meminta tolong kepada orang lain, tetapi tidak seorang pun yang memberikan pertolongan kepadanya.

Selain Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru lainnya yang beraliran romantisisme adalah Sutan Takdir Alisjahbana dan J. E. Tatengkeng. Dalam kumpulan puisi Lagu Pemacu Ombak, Sutan Takdir Alisjahbana menggunakan citraan alam untuk membangun sisi romantik. Dalam sajak “Menuju ke Laut”, “Angin”, dan

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 73

“Pemacu Ombak”, citraan alam muncul di beberapa larik, yakni sebagai berikut.

Menuju ke Lautkarya Sutan Takdir Alisjahbana

Ombak ria berkejar-kejaranDi gelanggang bertepi langitPasir rata berulang dikecup,Tebing curam ditantang diserang,Dalam bergurau bersama angin,Dalam berlomba bersama mega.”

Anginkarya Sutan Takdir Alisjahbana

Angin,Kata orang engkau mengerang,Bila menderu di pohon kayuSelalu ngembara di mulia buana

Pemacu Ombakkarya Sutan Takdir Alisjahbana

Di depan membentang samud’ra biru,Jauh menghabis, di garis lengkung,Tempat langit mantap bertahan,Dan awan tipis takjub tertegun

ALMAS APRILIA DAMAYANTI74

Pada ketiga kutipan sajak tersebut, citraan alam yang muncul adalah awan, ombak, samudra, mega, angin, laut, dan langit. Citraan-citraan alam digunakan untuk mendapatkan analogi yang tepat dengan gambaran perasaan yang mendalam.

2. 3. Ciri Penulisan Puisi Pujangga Baru

Pada angkatan ini, para penyair berusaha melepaskan ikatan-ikatan puisi lama, meskipun ikatan tersebut masih tampak pada puisi angkatan ini. Namun, ikatan tersebut lebih bersifat longgar jika dibandingkan dengan ikatan pada puisi lama. Puisi ini terbentuk seperti pantun, tetapi berbeda seperti pantun dalam konteks isinya. Jika pada pantun dua bait pertama berupa sampiran dan dua bait terakhir berupa puisi, puisi karya penyair Pujangga Baru langsung mengarah kepada isi. Contohnya dapat dilihat pada puisi berjudul “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah berikut.

Berdiri Akukarya Amir Hamzah

Berdiri aku di senja senyapCamar melayang menepis buihMelayah bakau mengurai puncakBerjulang datang ubur terkembang

Sementara itu, perbedaan pola corak puisi lama dan puisi baru juga dapat ditemukan pada puisi romantik karya Willem Kloos berjudul “Hartstocht (Gairah)” berikut.

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 75

Hartstocht karya Willem Kloos

Zoo zal ik langer niet mijn wonden keerenNaar ’t Lot en U, die ‘k als mijn lot erken,-Maar, tusschen Graf en Waanzin wanklend, leeren,Of men zich lachend aan de wanhoop wenn’, -

In droef begeeren heb ik neêrgezeten,In dreigend gillen ben ‘k weêr opgestaan.Wee! dat ik nooit dát bitt’re brok kon eten,Van stil te zijn en héél ver weg te gaan.Zooals daar ginds, aan stille blauwe luchtZilveren-zacht, de half-ontloken maan

Sementara itu, unsur persamaan bunyi pada akhir persajakan (rima) masih sangat kuat dipertahankan dan masih terikat oleh pembagian bait, baris, serta persajakan pada puisi Belanda dan puisi Indonesia. Contohnya dapat dilihat pada puisi berikut.

Dibawa Gelombangkarya Sanusi Pane

Alun membawa bidukku perlahanDalam kesunyian malam waktuTidak berpawang,tidak berkawanEntah kemana aku tak tahu

ALMAS APRILIA DAMAYANTI76

Selain itu, gaya ekspresi aliran romantik tampak dalam pengungkapan perasaan, pelukisan alam yang indah, serta suasana yang tentram dan damai. Contohnya dapat kembali dilihat pada puisi “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah.

Berdiri Akukarya Amir Hamzah

Berdiri aku di senja senyapCamar melayang menepis buihMelayah bakau mengurai puncakBerjulang datang ubur terkembang

Sementara itu, gaya ekspresi aliran romantik juga tampak pada puisi Belanda berjudul “Bloeit (Bunga)” karya Willem Kloos yang isinya merepresentasikan keindahan alam secara apik.

Bloeitkarya Willem Kloos

Bloeit als een vreemde bloesem zonder vrucht,Wier bleeke bladen aan de kim vergaan,

Zóó zag ik eens, in wonder-zoet genucht,Uw halfverhulde beelt’nis voor mij staan,-Dán, met een zachten glimlach en een zucht,Voor mijn verwonderde oogen ondergaan.Ik heb u lief, als droomen in den nacht,Die, na eind’loos heil van éénen stond,Bij de eerste schemering voor immer vloôn:

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 77

Als morgen-rood en bleeke sterren-pracht,Iets liefs, dat men verloor en niet meer vond,Als alles, wat héél ver is en héél schoon.

Puisi romantisisme di Belanda dan Indonesia sama-sama menuai berbagai kiasan dan menggunakan kata-kata yang indah. Bahkan, dari judulnya saja sudah terlihat jelas mengenai pesan yang ingin disampaikan penyair, yakni mengapresiasi keindahan dan keeksotisan alam ciptaan Tuhan. Pada puisi “Berdiri Aku”, terdapat kata senja dan burung camar, sedangkan pada puisi “Bloeit”, dari judulnya saja sudah jelas bahwa puisi ini menjelaskan keindahan bunga. Di dalam lariknya juga terdapat kata ‘schemering’ yang bermakna senja, yang juga merepresentasikan ketakjuban pada keindahan alam.

2.4 Ciri Perkembangan Puisi pada Angkatan Pujangga Baru

Puisi yang dihasilkan pada masa angkatan Pujangga Baru memiliki beberapa ciri. Ciri yang pertama adalah penggunaan ejaan baru dalam bahasa Indonesia ketika itu, yakni mengganti huruf “oe” dengan “u”. Pilihan kata yang digunakan juga sesuai dengan bahasa Indonesia yang baku. Hubungan antarkalimat dalam setiap larik jelas dan tidak ada kata-kata yang ambigu. Ciri kedua adalah tidak hanya mengusung tema adat atau kawin paksa, tetapi juga masalah yang lebih kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelektual, dan sebagainya, tetapi berkembang dengan indahnya alam yang masih natural tanpa adanya campur tangan manusia. Isi puisi ditekankan pada ekspresi dan perasaan, dalam penggambaran alam yang indah dan tenteram. Ciri ketiga adalah bentuk puisi yang berupa puisi bebas dan mementingkan

ALMAS APRILIA DAMAYANTI78

keindahan bahasa. Bentuk baru yang digemari adalah soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri atas 14 baris. Ciri keempat adalah pengaruh Barat yang amat terasa, khususnya pengaruh Angkatan ’80 dari Belanda. Hal tersebut tampak melalui peniruan terhadap puisi-puisi Belanda yang masuk Indonesia pada masa itu. Puisi-puisi tersebut memiliki beberapa ciri, seperti sajaknya bukan seperti pantun dan syair; bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima (karena rima merupakan salah satu sarana kepuitisan utama pada masa romantisisme); serta gaya ekspresi setiap puisinya tampak lebih berfokus pada pengungkapan emosi dan perasaan.

2.5 Sastra Pujangga Baru

Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik, dan elitis yang menjadi “bapak” sastra modern Indonesia. Pada masa itu, terbit pula majalah Poedjangga Baroe yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930–1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana, dkk. Pada masa ini, ada dua kelompok sastrawan Pujangga Baru, yaitu kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah, serta kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Rustam Effendi.

Pembagian angkatan seperti itu dikemukakan oleh Hans Bague Jassin (H. B. Jassin), seorang ahli sastra Indonesia yang sering disebut-sebut sebagai Paus Sastra Indonesia. Tentu boleh-boleh saja kita setuju dengan pembagian seperti itu, apalagi memang kepakaran H.B. Jassin dalam mengapresiasi sastra

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 79

Indonesia cukup mumpuni. Namun, yang lebih penting kita ketahui adalah sastra Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa. Menarik untuk diperhatikan bahwa perkembangan sastra Indonesia berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal, dimulai tahun 1900-an, yaitu ketika penjajah Belanda memperbolehkan kaum bumiputra (sebutan untuk orang Indonesia oleh Belanda) memasuki institusi pendidikan formal. Tentu saja pendidikan formal saat itu adalah milik penjajah Belanda.

Selain itu, pengaruh modernisme yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia telah membantu terjadinya perkembangan kebudayaan, seperti peralihan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Berdirinya kota-kota besar seperti Batavia tempo dulu telah melahirkan masyarakat kota yang individual yang merupakan salah satu ciri romantisisme.

Seiring dengan perkembangan kebudayaan itu, berkembang pula sistem pendidikan di tanah jajahan yang tentu saja harus mengambil materi pendidikan dari negeri penjajah, yakni Belanda. Melalui jalur pendidikan di sekolah-sekolah menengah inilah, penyair-penyair tersebut berkenalan dengan buku-buku bacaan dan senarai pujangga-pujangga Belanda, seperti Angkatan 80 tersebut. Namun, satu hal yang harus diingat adalah perkembangan romantisisme di Indonesia tetap berakar dari kebudayaan asing sebagai wujud dari keterbukaan terhadap perkembangan kebudayaan universal.

Jika dilihat dari aspek romantisisme percintaan dalam novel, aspek yang dikeluarkan merupakan perpaduan atau kesatuan dunia nyata dan dunia ideal yang kadang realisasinya memuaskan,

ALMAS APRILIA DAMAYANTI80

atau sebaliknya. Aspek romantisisme percintaan dalam novel merupakan perpaduan atau kesatuan antara kehidupan dunia nyata dan dunia ideal (Faruk, 1995).

Pada pertengahan abad ke-19, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi telah meletakkan dasar-dasar penulisan prosa dengan teknik bercerita yang disandarkan pada pengumpulan data historis yang bertumpu pada lawatan-lawatan biografls. Akan tetapi, karya prosa yang diakui menjadi karya pertama yang memenuhi unsur-unusr struktur sebuah novel modern baru benar-benar muncul di awal abad ke-20. Novel yang dimaksud adalah novel karya Mas Marco Kartodikromo dan Merari Siregar. Sementara itu, tahun 1920 dianggap sebagai tahun lahirnya kesusastraan nasional dengan ditandai lahirnya novel Azab dan Sengsara. Pada masa awal abad ke-20, begitu banyak novel yang memiliki unsur wama lokal. Novel-novel tersebut, antara lain Salah Asuhan, Sitti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Kalau Tak Untung, Harimau! Harimau!, Pergolakan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sementara itu, novel Belenggu karya Armjn Pane, hingga saat ini lazim dikatakan sebagai tonggak munculnya novel modern di Indonesia.

Dari waktu ke waktu, novel terus mengalami perkembangan. Masing-masing novel tersebut mewakili semangat dari setiap zaman ketika novel itu muncul. Di awal tahun 2000, muncul jenis novel yang dikatakan sebagai chicklit, teenlit, dan metropop. Ketiga jenis tersebut sempat dianggap sebagai karya yang tidak layak disejajarkan dengan karya sastra pendahulu mereka oleh kelompok-kelompok tertentu. Di antara karya-karya tersebut, yang tergolong ke dalam jajaran best seller, antara lain Cintapuccino karya Icha Rahmanti, Eiffel I’m In Love karya Rahma Arunita,

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 81

Jomblo karya Aditya Mulya, dan lain sebagainya. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, seperti yang telah dikemukakan di awal, setiap karya sastra mewakili zaman tertentu. Begitu juga dengan karya-karya tersebut yang kini berdampingan kemunculannya bersama serial Supernova karya Dee, Dadaisme karya Dewi Sartika, tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, 5 cm karya Donny Dhirgantoro, dan novel-novel terbaru lainnya yang memiliki kekuatan serta pembaca sasaran masing-masing.

Menurut Allen (dalam Faruk, 1995), romantisisme dibedakan menjadi dua macam, yaitu romantisisme serius dan romantisisme populer. Dalam situasi serupa itu, karya sastra sungguh-sungguh menjadi komoditas, seperti yang terjadi di Prancis. Situasi itu pulalah yang menjadi benih kelahiran romantisisme di Inggris.

Sejak akhir abad ke-19, novel-novel mulai mendominasi pasar. Awalnya, novel-novel berakar dari majalah-majalah keluarga yang tampil dengan rentangan isi dari anekdot-anekdot, roman-roman alegoris yang didaktis cerita-cerita yang realistis, sampai dengan cerita-cerita pelarian dari realitas yang berakar pada gerakan romantik dengan perubahan sikapnya yang mendadak terhadap nilai-nilai kapitalisme (Faruk, 1995). Selain itu, Abrams (dalam Faruk, 1995) menyebutkan bahwa romantisisme merupakan supernaturalisme natural.

3. Simpulan

Romantisisme adalah aliran sastra yang mengutamakan perasaan. Sastra beraliran romantik ditandai dengan beberapa ciri, di antaranya keinginan untuk kembali ke alam dan kembali kepada sifat-sifat yang asli, yakni alam yang belum tersentuh dan terjamah

ALMAS APRILIA DAMAYANTI82

tangan-tangan manusia. Istilah ini juga mencakup ciri-ciri yang menunjukkan keberadaan keterpencilan, kesedihan, kemurungan, dan kegelisahan yang hebat. Selain itu, romantik juga cenderung untuk kembali kepada zaman yang sudah menjadi sejarah masa lampau yang telah melahirkan manusia-manusia besar.

Pengungkapan yang romantis sering dikaitkan dengan percintaan muda-mudi yang masih hijau dan belum banyak pengalaman. Tokoh-tokoh dalam fiksi romantik sering digambarkan sangat dikuasai oleh perasaannya dalam merumuskan segala persoalan. Dikisahkan juga bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra romantisisme tak tahan menghadapi hidup yang keras dan kejam. Mereka kemudian ada yang lari ke gunung atau tempat terpencil lainnya yang dirasakan dapat menjauhkannya dari kekerasan hidup.

Terdapat semacam pandangan yang menilai bahwa puisi-puisi Indonesia tahun 1930-an merupakan puisi yang sarat dengan pengungkapan yang romantis dan mendayu-dayu, misalnya sajak-sajak Amir Hamzah, J.E. Tatengkeng, dan Sanusi Pane. Pengaruh Barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ‘80 Belanda.Hal tersebut tampak melalui peniruan terhadap puisi-puisi Belanda yang masuk Indonesia pada masa itu. Puisi-puisi tersebut memiliki beberapa ciri, seperti sajaknya bukan seperti pantun dan syair; bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima (karena rima merupakan salah satu sarana kepuitisan utama pada masa romantisisme); serta gaya ekspresi setiap puisinya tampak lebih berfokus pada pengungkapan emosi dan perasaan. Demikian kentalnya romantisisme dalam puisi-puisi Indonesia tahun 1930-an tersebut sehingga akhirnya dianggap sebagai salah satu ciri yang melekat pada puisi zaman Pujangga

ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 83

Baru. Ciri itu pula yang kemudian dijadikan sebagai pembeda antara puisi yang lahir pada tahun-tahun tersebut dengan puisi yang lahir sesudahnya.

Daftar Referensi

Alisjahbana, S. T. (1978). Kebangkitan Puisi Baru Indonesia, Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Berg, van Den. (1990). “Romantik Dalam Kesusasteraan Eropa”, Seminar Sastra. Romantik; Perkembangan dan Pengaruh Aliran Romantik di Berbagai Negara. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Badudu, Y., dkk. (1984). Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an Hingga 40-an. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Faruk. (1995). Perlawanan Tak Kunjung Usai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fowler, R. (1973). A Dictionary of Modern Critical Terms. London Henley and Boston: Routledge & Kegan Paul.

Hadimaja, A. K. (1972). Aliran-Aliran Klasik, Romantik, dan Realisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hamzah, A. (1936). “Daun Matamu” dalam Majalah Pujangga Baru, No. 19. Th. III. Januari 1936, hlm. 200. Batavia: Balai Pustaka.

Heath, D. dan Boreham, J. (1999). Introduction Romanticism. Cambridge: IconBook, inc.

Joko Pradopo, R. (1987). Pengkajian Puisi. Jakarta: Gajah Mada University Press.

Komrij, G. (1992). De Nederlandse Poezie Van de 19de En 20ste Eeuw in 1000 En Enige Gedichten. Amsterdam: Uitgeverig Bert Bakker.

ALMAS APRILIA DAMAYANTI84

Lodewijk, H. J. M. F, dkk. (1983). Literatuur Geschiedenis en Bloemlesing. Niuwe Versie. Nederland: Malmberg Den Bosch.

Mahayana, M. S. (1994). “Aliran Romantik” dalam Horison No. 6, th.XXVIII. Jakarta.

Oemarjati, B. S. (1990). “Romantisisme Dalam Sastra Indonesia”, Seminar Sastra.

Pane, A. (1939). “Tiada Habis-Habis” dalam Majalah Pujangga Baru, No.5 dan 6 Th. VII, November 1939. hlm.112‒113. Batavia: Balai Pustaka.

Pane, S. (1935). “Menumbuk Padi” dalam Majalah Pujangga Baru, No.7, Th. II. Januari 1935, hlm. 278. Batavia: Balai Pustaka.

Sabran. (1938). “KepadaMu Tuhan” dalam Majalah Pujangga Baru, No.3, Th. VI, Sepetember 1938, hlm. 57. Batavia: Balai Pustaka.

Seleguri. (1937). “Ratap Ibu”, Majalah Pujangga Baru, No.1, Th. V. Juli 1937, hlm. 17. Batavia: Balai Pustaka.

Suharianto, S. (1982). Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.

Tatengkeng, J. E. (1943). “Hasrat Hati” dalam Majalah Pujangga Baru, No. Th. 6, 11 Desember 1943, hlm. 167. Batavia: Balai Pustaka.

________. (1938). “Katamu Tuhan” dalam Majalah Pujangga Baru, No. 2, Th. V, Mei 1938, hlm. 32. Batavia: Balai Pustaka.

Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia. Ende-Flores:Nusa Indah. ________. (1935). “Gembala” dalam Majalah Pujangga Baru,

No.7, Th. II. Januari 1935, hlm. 279. Batavia: Balai Pustaka.

Yudiono, K. S. (1986). Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.