RMK PPN dan PPN BM

12
HUKUM PUBLIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ( PPN) (BAGIAN 2) PENDAHULUAN Dalam kegiatan sehari-harinya, satuan kerja pemerintah menggunakan anggaran yang berasal dari APBN untuk membiayai pengeluaran rutin. Salah satunya adalah pengeluaran yang diakibatkan dari belanja barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional. Dari kegiatan belanja barang dan atau jasa yang anggarannya berasal dari APBN ini terdapat dua jenis aturan yang harus dicermati yaitu aturan mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan aturan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara. Atas transaksi pengadaan barang dan/ atau jasa, terdapat potensi pendapatan negara yang salah satu berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori: 1. Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. 2. Pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara

description

penjelasan umum PPN yang berisikan tentang:1. Mekanisme Pemungutan PPN2. Netralitas dan Non-Diskriminasi PPN3. Kepastian Hukum PPN4. Rasa Keadilan PPN

Transcript of RMK PPN dan PPN BM

Page 1: RMK PPN dan PPN BM

HUKUM PUBLIK

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ( PPN)

(BAGIAN 2)

PENDAHULUAN

Dalam kegiatan sehari-harinya, satuan kerja pemerintah menggunakan anggaran yang

berasal dari APBN untuk membiayai pengeluaran rutin. Salah satunya adalah pengeluaran yang

diakibatkan dari belanja barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional. Dari

kegiatan belanja barang dan atau jasa yang anggarannya berasal dari APBN ini terdapat dua jenis

aturan yang harus dicermati yaitu aturan mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan

aturan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan

belanja negara. Atas transaksi pengadaan barang dan/ atau jasa, terdapat potensi pendapatan

negara yang salah satu berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori:

1. Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan

oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan,

peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan

objek pajak.

2. Pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi

beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Maksudnya, yang dikenai pajak

adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses

produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu masih dalam

siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat

dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan.

3. Pajak Tidak Langsung adalah beban pembayaran pajaknya dipikul oleh konsumen, namun

penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada penjual.

Page 2: RMK PPN dan PPN BM

MEKANISME PEMUNGUTAN PPN

Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009, p284) Mekanisme pengenaan PPN

dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Pada saat membeli / memperoleh Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP), akan

dipungut PPN oleh penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak

(PKP) penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pajak

Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa Faktur Pajak.

b. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi

penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN,

PKP penjual wajib membuat Faktur Pajak.

c. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan

takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya

harus disetorkan ke kas negara. 

d. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak

Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa

pajak berikutnya.

e. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat

Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN).

Mekanisme pemungutan PPN sesuai dengan PMK Nomor 85/PMK.03/2012  tanggal 06

Juni 2012 yang berlaku efektif mulai 1 Juli 2012 adalah:

a. Rekanan wajib membuat faktur pajak dan surat setoran pajak (SSP) atas setiap penyerahan

BKP dan/atau JKP kepada BUMN.

b. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan ketentuan di

bidang perpajakan.

c. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP serta

identitas rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor

atas nama rekanan.

d. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM maka rekanan harus

mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak.

1

Page 3: RMK PPN dan PPN BM

e. Faktur pajak dibuat dalam rangkap 3 dengan peruntukkan sebagai berikut: lembar kesatu

untuk BUMN, lembar kedua untuk rekanan, dan lembar ketiga untuk BUMN yang

dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN.

f. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat dalam rangkap 5 dengan peruntukkan

sebagai berikut: lembar ke-1 untuk rekanan, lembar ke-2 untuk KPPN melalui Bank

Persepsi atau Kantor Pos, lembar ke-3 untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa

PPN, lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan lembar ke-5 untuk BUMN

yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.

g. BUMN yang melakukan pemungutan harus membubuhkan cap “Disetor tanggal....” dan

menandatanganinya pada faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf e.

h. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN dan

PPnBM.

Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003 diatur bahwa

Bendaharawan Pemerintah ditetapkan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai atas

penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. Pada pasal 4

ayat (1) huruf a Keputusan Menteri Keuangan ini diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal

pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak

merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Dari aturan ini jelas terlihat bahwa setiap

pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah

wajib dipungut PPN. Namun jangan dilupakan, di dalam Keputusan Menteri Keuangan ini PPN

dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah

sehingga rekanan non PKP tidak dapat dilakukan pemungutan PPN.

Pemungut PPN adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang

ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang

terhutang oleh PKP atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan

Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut. Namun demikian, sejak 1 Januari 2004,

pihak-pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN adalah hanya Bendaharawan Pemerintah dan

KPKN. Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan

2

Page 4: RMK PPN dan PPN BM

pembayaran yang dananya berasal dari APBN atau APBD, yang terdiri dari Bendaharawan

Pemerintah Pusah dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota. PKP Rekanan Pemerintah

adalah PKP yang menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau

KPKN.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara

Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada pasal

40 ayat (2) huruf h dinyatakan bahwa salah satu bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran

PPN adalah Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara

Pengeluaran, sedangkan menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai nomor 8 tahun 1983

sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 menyatakan bahwa

orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat faktur pajak.

Jika penyedia yang belum dikukuhkan sebagai PKP ini nekat untuk membuat faktur pajak, atau

bendaharawan pemerintah karena dengan niat baik dan tulus ingin membantu rekanan agar

memperoleh haknya dengan suka rela membuatkan faktur pajak atas nama rekanan meskipun

mengetahui bahwa rekanan itu belum dikukuhkan sebagai PKP maka ada sanksi yang tidak

main-main menunggu.

Mekanisme pelaporan PPN

Pelaporan dilakukan setiap bulan dan laporan disampaikan ke KPP tempat BUMN

terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dengan

menggunakan formulir “Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN” dan dilampiri

dengan faktur pajak lembar ke-3 dan SSP lembar ke-5 dalam hal terdapat pemungutan Pajak

Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

NETRALITAS DAN NON DISKRIMINASI PPN

PPN  Tidak menimbulkan ketidakadilan ekonomi karena atas barang yang sama

dikenakan PPN dan yang sama. Netralis PPN dibentuk oleh dua faktor, yaitu : (1) PPN

dikenakan atas konsumsi barang maupun jasa, (2) dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip

tempat tujuan (destination principle)

3

Page 5: RMK PPN dan PPN BM

Dalam mekanisme pemungutannya, PPN mengenal dua prinsip yaitu: (1) Prinsip tempat

asal (origin principle), PPN dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi; (2)

prinsip tempat tujuan (destination principle), PPN dipungut di tempat tujuan.

Komoditi impor menganut prinsip tempat tujuan.

Barang dalam negeri yang akan diekspor tidak dikenakan PPN karena akan dikenakan

PPN di Negara tujuan.

1. Kepastian Hukum PPN

Undang-undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang

Pajak Pertambahan Nilai Barand dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun

2009 yang disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Kepastian Hukum Obyek PPN

Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah objek PPN. Tetapi oleh karena adanya

pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, maka diatur sendiri oleh Undang-undang PPN

bahwa ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan

PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.

 Objek PPN dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu: 

a. Barang Kena Pajak yaitu barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat

berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 

b. Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau

perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak

tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena

pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan

Pajak Pertambahan Nilai.

Apa saja yang menjadi Objek PPN selengkapnya diatur dalam Undang-undang PPN pasal 4,

pasal 16 C, dan pasal 16 D.

4

Page 6: RMK PPN dan PPN BM

Pasal 4:

PPN dikenakan atas:

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b. Impor Barang Kena Pajak;

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam

Daerah Pabean;

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 16 C:

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak

dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan

sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan

Menteri Keuangan."

Pasal 16 D:

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang

menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas

penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."

Kepastian Hukum Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan

Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak

termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri

5

Page 7: RMK PPN dan PPN BM

Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha

Kena Pajak.

Pengusaha yang dikenakan PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah

kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan

usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP.

Pengusaha Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha tersebar di

beberapa tempat, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP

yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib

mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha

Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengajukan

pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Pengusaha kecil yang tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai

dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah

melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya

untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir Masa Pajak berikutnya.

2. Rasa Keadilan PPN

Pengertian keadilan merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dipraktikkan. Dalam

perpajakan, sendi keadilan adalah “perlakuan yang sama” kepada wajib pajak, yang tidak

membedakan kewarganegaraan, baik pribumi, maupun asing, dan tidak membedakan agama,

aliran politik, dan sebagainya. Namun, apabila ada pertentangan kepentingan antara

kepastian hukum pajak dan prinsip keadilan pajak, maka dalam hal ini yang harus

didahulukan adalah kepastian hukum guna menjamin pelaksanaan pajak kepada setiap wajib

pajak. Pada dasarnya PPN itu adalah pajak atas konsumsi, bukan atas penghasilan. Sasaran

akhir dari PPN adalah konsumen akhir pengguna barang/jasa. Melalui mekanisme

pertambahan nilai tadi, diciptakanlah mekanisme pengkreditan Pajak Keluaran-Pajak

Masukan, sehingga beban pajak bisa digeser sedemikian rupa sampai menjadi beban

konsumen akhir. Jadi pada dasarnya PPN yang dibayar konsumen pada saat pembelian

6

Page 8: RMK PPN dan PPN BM

barang akan dinolkan melalui pemungutan pajak keluaran pada saat penjualan. PPN

diterapkan bukan atas penghasilan seseorang tetapi dibebankan hanya kepada masyarakat

yang melakukan konsumsi atas barang/jasa kena pajak.

7

Page 9: RMK PPN dan PPN BM

REFERENSI:

1. www.pajak.go.id/.../kepastian-hukum-pemungutan-pp.

2. http://www.pajak.go.id/content/mengenal-lebih-dekat-pajak-pertambahan-nilai

3. http://solusipajak-info-guide.blogspot.com/2012/11/pajak-pertambahan-nilai-pajak-penjualan.html

4. http://www.pandupajak.org/content/mengenal-lebih-dekat-pajak-pertambahan-nilai/

5. http://www.pandupajak.org/content/barang-dan-jasa-yang-tidak-dikenai-ppn/

6. http://pajakkoe.blogspot.com/2013/01/mekanisme-pemungut-ppn.html

7. Prof.Dr.Mardiasmo,MBA.,Ak..2011.Perpajakan(Edisi Revisi 2013).Penerbit Andi:Yogyakarta.

8