RMK PPN dan PPN BM
-
Upload
budi-mahend -
Category
Documents
-
view
27 -
download
1
description
Transcript of RMK PPN dan PPN BM
HUKUM PUBLIK
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ( PPN)
(BAGIAN 2)
PENDAHULUAN
Dalam kegiatan sehari-harinya, satuan kerja pemerintah menggunakan anggaran yang
berasal dari APBN untuk membiayai pengeluaran rutin. Salah satunya adalah pengeluaran yang
diakibatkan dari belanja barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional. Dari
kegiatan belanja barang dan atau jasa yang anggarannya berasal dari APBN ini terdapat dua jenis
aturan yang harus dicermati yaitu aturan mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan
aturan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara. Atas transaksi pengadaan barang dan/ atau jasa, terdapat potensi pendapatan
negara yang salah satu berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori:
1. Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan
oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan,
peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan
objek pajak.
2. Pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi
beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Maksudnya, yang dikenai pajak
adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses
produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu masih dalam
siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat
dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan.
3. Pajak Tidak Langsung adalah beban pembayaran pajaknya dipikul oleh konsumen, namun
penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada penjual.
MEKANISME PEMUNGUTAN PPN
Menurut Prof. Dr. Mardiasmo, MBA., Ak. (2009, p284) Mekanisme pengenaan PPN
dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Pada saat membeli / memperoleh Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP), akan
dipungut PPN oleh penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pajak
Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa Faktur Pajak.
b. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi
penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN,
PKP penjual wajib membuat Faktur Pajak.
c. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan
takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya
harus disetorkan ke kas negara.
d. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak
Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa
pajak berikutnya.
e. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN).
Mekanisme pemungutan PPN sesuai dengan PMK Nomor 85/PMK.03/2012 tanggal 06
Juni 2012 yang berlaku efektif mulai 1 Juli 2012 adalah:
a. Rekanan wajib membuat faktur pajak dan surat setoran pajak (SSP) atas setiap penyerahan
BKP dan/atau JKP kepada BUMN.
b. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan ketentuan di
bidang perpajakan.
c. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP serta
identitas rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor
atas nama rekanan.
d. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM maka rekanan harus
mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak.
1
e. Faktur pajak dibuat dalam rangkap 3 dengan peruntukkan sebagai berikut: lembar kesatu
untuk BUMN, lembar kedua untuk rekanan, dan lembar ketiga untuk BUMN yang
dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN.
f. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat dalam rangkap 5 dengan peruntukkan
sebagai berikut: lembar ke-1 untuk rekanan, lembar ke-2 untuk KPPN melalui Bank
Persepsi atau Kantor Pos, lembar ke-3 untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa
PPN, lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan lembar ke-5 untuk BUMN
yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
g. BUMN yang melakukan pemungutan harus membubuhkan cap “Disetor tanggal....” dan
menandatanganinya pada faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf e.
h. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN dan
PPnBM.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 563/KMK.03/2003 diatur bahwa
Bendaharawan Pemerintah ditetapkan sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai atas
penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah. Pada pasal 4
ayat (1) huruf a Keputusan Menteri Keuangan ini diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Dari aturan ini jelas terlihat bahwa setiap
pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah
wajib dipungut PPN. Namun jangan dilupakan, di dalam Keputusan Menteri Keuangan ini PPN
dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah
sehingga rekanan non PKP tidak dapat dilakukan pemungutan PPN.
Pemungut PPN adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang
terhutang oleh PKP atas penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan
Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut. Namun demikian, sejak 1 Januari 2004,
pihak-pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN adalah hanya Bendaharawan Pemerintah dan
KPKN. Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan
2
pembayaran yang dananya berasal dari APBN atau APBD, yang terdiri dari Bendaharawan
Pemerintah Pusah dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota. PKP Rekanan Pemerintah
adalah PKP yang menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau
KPKN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada pasal
40 ayat (2) huruf h dinyatakan bahwa salah satu bukti yang sah untuk dilakukan pembayaran
PPN adalah Faktur pajak beserta SSP yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara
Pengeluaran, sedangkan menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai nomor 8 tahun 1983
sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 menyatakan bahwa
orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat faktur pajak.
Jika penyedia yang belum dikukuhkan sebagai PKP ini nekat untuk membuat faktur pajak, atau
bendaharawan pemerintah karena dengan niat baik dan tulus ingin membantu rekanan agar
memperoleh haknya dengan suka rela membuatkan faktur pajak atas nama rekanan meskipun
mengetahui bahwa rekanan itu belum dikukuhkan sebagai PKP maka ada sanksi yang tidak
main-main menunggu.
Mekanisme pelaporan PPN
Pelaporan dilakukan setiap bulan dan laporan disampaikan ke KPP tempat BUMN
terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dengan
menggunakan formulir “Surat Pemberitahuan Masa PPN bagi Pemungut PPN” dan dilampiri
dengan faktur pajak lembar ke-3 dan SSP lembar ke-5 dalam hal terdapat pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
NETRALITAS DAN NON DISKRIMINASI PPN
PPN Tidak menimbulkan ketidakadilan ekonomi karena atas barang yang sama
dikenakan PPN dan yang sama. Netralis PPN dibentuk oleh dua faktor, yaitu : (1) PPN
dikenakan atas konsumsi barang maupun jasa, (2) dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip
tempat tujuan (destination principle)
3
Dalam mekanisme pemungutannya, PPN mengenal dua prinsip yaitu: (1) Prinsip tempat
asal (origin principle), PPN dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi; (2)
prinsip tempat tujuan (destination principle), PPN dipungut di tempat tujuan.
Komoditi impor menganut prinsip tempat tujuan.
Barang dalam negeri yang akan diekspor tidak dikenakan PPN karena akan dikenakan
PPN di Negara tujuan.
1. Kepastian Hukum PPN
Undang-undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barand dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun
2009 yang disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Kepastian Hukum Obyek PPN
Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah objek PPN. Tetapi oleh karena adanya
pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, maka diatur sendiri oleh Undang-undang PPN
bahwa ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan
PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.
Objek PPN dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Barang Kena Pajak yaitu barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
b. Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena
pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai.
Apa saja yang menjadi Objek PPN selengkapnya diatur dalam Undang-undang PPN pasal 4,
pasal 16 C, dan pasal 16 D.
4
Pasal 4:
PPN dikenakan atas:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 16 C:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan."
Pasal 16 D:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."
Kepastian Hukum Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak
termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
5
Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Pengusaha yang dikenakan PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan
usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Pengusaha Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha tersebar di
beberapa tempat, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib
mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha
Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengajukan
pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Pengusaha kecil yang tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai
dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah
melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir Masa Pajak berikutnya.
2. Rasa Keadilan PPN
Pengertian keadilan merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dipraktikkan. Dalam
perpajakan, sendi keadilan adalah “perlakuan yang sama” kepada wajib pajak, yang tidak
membedakan kewarganegaraan, baik pribumi, maupun asing, dan tidak membedakan agama,
aliran politik, dan sebagainya. Namun, apabila ada pertentangan kepentingan antara
kepastian hukum pajak dan prinsip keadilan pajak, maka dalam hal ini yang harus
didahulukan adalah kepastian hukum guna menjamin pelaksanaan pajak kepada setiap wajib
pajak. Pada dasarnya PPN itu adalah pajak atas konsumsi, bukan atas penghasilan. Sasaran
akhir dari PPN adalah konsumen akhir pengguna barang/jasa. Melalui mekanisme
pertambahan nilai tadi, diciptakanlah mekanisme pengkreditan Pajak Keluaran-Pajak
Masukan, sehingga beban pajak bisa digeser sedemikian rupa sampai menjadi beban
konsumen akhir. Jadi pada dasarnya PPN yang dibayar konsumen pada saat pembelian
6
barang akan dinolkan melalui pemungutan pajak keluaran pada saat penjualan. PPN
diterapkan bukan atas penghasilan seseorang tetapi dibebankan hanya kepada masyarakat
yang melakukan konsumsi atas barang/jasa kena pajak.
7
REFERENSI:
1. www.pajak.go.id/.../kepastian-hukum-pemungutan-pp.
2. http://www.pajak.go.id/content/mengenal-lebih-dekat-pajak-pertambahan-nilai
3. http://solusipajak-info-guide.blogspot.com/2012/11/pajak-pertambahan-nilai-pajak-penjualan.html
4. http://www.pandupajak.org/content/mengenal-lebih-dekat-pajak-pertambahan-nilai/
5. http://www.pandupajak.org/content/barang-dan-jasa-yang-tidak-dikenai-ppn/
6. http://pajakkoe.blogspot.com/2013/01/mekanisme-pemungut-ppn.html
7. Prof.Dr.Mardiasmo,MBA.,Ak..2011.Perpajakan(Edisi Revisi 2013).Penerbit Andi:Yogyakarta.
8