Ritual Tudak Manuk dalam Adat Manggarai, Flores

3
Ritual Tudak Manuk dalam Adat Manggarai, Flores Oleh : Lelo Yosep L.* Acara adat Tudak Manuk (bahasa Manggarai = Ayam Perjanjian) akan mengiringi setiap warga daratan Manggarai- Flores Barat yang akan pergi ke perantauan. Pemimpin acara ini adalah tetua adat kampung. Dalam Tudak Manuk, harapan akan kesuksesan merupakan sebuah proses perubahan dari “Lalong Rompok” sampai “Lalong Rombeng”. Lalong Rompok (bahasa Manggarai) berarti ayam jago kecil dan mungil. Lalong Rombeng (bahasa Manggarai) berarti ayam jago besar dan berpengalaman. Proses perubahan itu berarti seseorang akan pergi dengan tangan kosong, tapi ia pulang membawa keberhasilan ke kampung halamannya. Setetes darah dari ayam perjanjian tadi, yang dioleskan pada ibu jari kaki kiri dan kanan, menjadi tanda harapan perjanjian dalam perilaku seseorang di mana pun ia berada. Darah itu mengingatkan dia bahwa perilaku yang baik akan mendapatkan restu dari para leluhur dan keluarga besarnya, tetapi perilaku yang buruk akan mendapatkan cela, bagi dirinya sendiri, keluarga besar dan para leluhurnya. Ungkapan Lalong Rompok-Lalong Rombeng menjadi falsafah bagi setiap warga Manggarai karena ia mengandung sejumlah rumusan doa untuk keberhasilan seseorang yang meninggalkan tanah kelahirannya. Melalui Tudak Manuk, Budaya Adat Manggarai mengakui perilaku seseorang berdampak sosial. Perilaku baik menggandakan keberhasilan. Perilaku buruk menambah berbagai kesulitan hidup. Sirkulasi Perubahan Dalam perkembangannya, pemaknaan atas ungkapan Lalong Rompok-Lalong Rombeng, dapat disamakan dengan polemik pemberdayaan sosial, ekonomi, dan politik warga Manggarai. Bukan hanya sarana dan mekanisme kerjanya saja yang penting untuk mewujudkan pemberdayaan dalam berbagai bidang kehidupan. Tapi, para pelaksananya pun seyogyanya memahami

Transcript of Ritual Tudak Manuk dalam Adat Manggarai, Flores

Page 1: Ritual Tudak Manuk dalam Adat Manggarai, Flores

Ritual Tudak Manuk dalam Adat Manggarai, Flores

Oleh : Lelo Yosep L.*

Acara adat Tudak Manuk (bahasa Manggarai = Ayam Perjanjian) akan mengiringi setiap warga daratan Manggarai-Flores Barat yang akan pergi ke perantauan. Pemimpin acara ini adalah tetua adat kampung. Dalam Tudak Manuk, harapan akan kesuksesan merupakan sebuah proses perubahan dari “Lalong Rompok” sampai “Lalong Rombeng”. Lalong Rompok (bahasa Manggarai) berarti ayam jago kecil dan mungil. Lalong Rombeng (bahasa Manggarai) berarti ayam jago besar dan berpengalaman. Proses perubahan itu berarti seseorang akan pergi dengan tangan kosong, tapi ia pulang membawa keberhasilan ke kampung halamannya.

Setetes darah dari ayam perjanjian tadi, yang dioleskan pada ibu jari kaki kiri dan kanan, menjadi tanda harapan perjanjian dalam perilaku seseorang di mana pun ia berada. Darah itu mengingatkan dia bahwa perilaku yang baik akan mendapatkan restu dari para leluhur dan keluarga besarnya, tetapi perilaku yang buruk akan mendapatkan cela, bagi dirinya sendiri, keluarga besar dan para leluhurnya.

Ungkapan Lalong Rompok-Lalong Rombeng menjadi falsafah bagi setiap warga Manggarai karena ia mengandung sejumlah rumusan doa untuk keberhasilan seseorang yang meninggalkan tanah kelahirannya. Melalui Tudak Manuk, Budaya Adat Manggarai mengakui perilaku seseorang berdampak sosial. Perilaku baik menggandakan keberhasilan. Perilaku buruk menambah berbagai kesulitan hidup.

Sirkulasi PerubahanDalam perkembangannya, pemaknaan atas ungkapan Lalong

Rompok-Lalong Rombeng, dapat disamakan dengan polemik pemberdayaan sosial, ekonomi, dan politik warga Manggarai. Bukan hanya sarana dan mekanisme kerjanya saja yang penting untuk mewujudkan pemberdayaan dalam berbagai bidang kehidupan. Tapi, para pelaksananya pun seyogyanya memahami kultur setempat yang memuat filosofi (visi hidup) tertentu yang mendasari program pemberdayaan itu.

Dalam konteks pemberdayaan warga Manggarai secara keseluruhan, tradisi Tudak Manuk adalah visi-misi kebaikan bersama dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Itulah sebabnya mengapa proses perubahan sosial, ekonomi, dan politik di daerah Manggarai selalu terkait dengan pengalaman keberadaan warganya di perantauan. Misalnya, seorang warga Manggarai di

Page 2: Ritual Tudak Manuk dalam Adat Manggarai, Flores

perantauan seolah-olah terikat dengan sebuah kewajiban moril untuk mengirim uang kepada anggota keluarganya di kampung. Cara ini merupakan suatu ekspresi keberhasilannya, namun sekaligus ikut membangun keluarganya serta tetap berkomunikasi dengan masyarakat asal-usulnya

Bahkan melalui peran para perantau, yang karena filosofi keberhasilan itu, ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat tradisional menjadi modern. Dulu keluarga keturunan Raja dan Dalu (seorang pemimpin di bawah Raja dan memimpin beberapa kepala kampung) menjadi pusat legitimasi untuk memegang kekuasaan publik di Manggarai, namun sekarang tidaklah demikian. Ketika tiba pagelaran politis seperti, pilkades, pilkada dan pileg dewasa ini, maka setiap anggota masyarakat yang merasa diri mampu, bisa leluasa mencalonkan diri, tanpa terikat dengan tatanan politik menurut strata sosial yang ditradisikan sejak dulu.

Kini, kontribusi warga Manggarai perantauan terhadap perubahan bukan lagi sebagai tambahan, tapi ia bergerak menjadi mainstream (arus utama) yang sanggup menciptakan pola pikir dan visi hidup baru yang lebih baik dan lebih kompetitif di tingkat regional.

Keberhasilan warga Manggarai perantauan tentu saja dipengaruhi oleh sentuhan berbagai kultur yang dijumpainya. Maka, mereka membawa masuk berbagai pola pikir dan gaya hidup lain ke dalam budaya Manggarai. Keberhasilan warga Manggarai di perantauan bukannya melemahkan visi-misi Tudak Manuk itu, tetapi visi-misi itu justru semakin diperkaya oleh pertemuan dengan berbagai kultur lain tentang hidup yang adil dan sejahtera.

LELO YOSEP L, Warga Masyarakat Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sebagai Akademisi Universitas Bina Nusantara Jakarta