Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood
-
Upload
theofilus-ardy -
Category
Documents
-
view
29 -
download
6
description
Transcript of Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood
![Page 1: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/1.jpg)
RISIKO BUNUH DIRI PADA GANGGUAN MOOD
Tujuan ulasan
Tujuan dari ulasan ini adalah untuk menyoroti faktor risiko bunuh diri tradisional dan
yang baru dikenali pada pasien dengan gangguan mood.
Temuan terbaru
Temuan penelitian saat ini jelas menunjukkan bahwa perilaku bunuh diri pada pasien
dengan gangguan mood merupakan fenomena 'tergantung dari situasi'. Namun, baru-
baru ini, terdapat semakin banyak bukti selain faktor risiko bunuh diri yang secara
klinis teramati diterima dengan baik dalam gangguan mood (misalnya, depresi berat,
percobaan bunuh diri sebelumnya, komorbid anxietas, penggunaan narkoba,
gangguan kepribadian dan sebagainya), keadaan depresi campuran juga bisa menjadi
prekusor yang penting dari perilaku bunuh diri. Hal ini mungkin berlaku terutama
dalam kasus-kasus depresi bipolar yang tidak dikenali, ketika monoterapi
antidepresan (tidak disertai dengan penstabil mood atau antipsikotik atipikal) dapat
memperburuk gambaran klinis dan jarang menyebabkan perilaku agresif atau
merusak diri sendiri.
Ringkasan
Pada sebagian besar pasien dengan gangguan mood, perilaku bunuh diri dapat
diprediksi dan dicegah. Sebuah pengamatan cermat dan sistematis mengenai faktor
risiko bunuh diri pada pasien dengan gangguan mood, dapat membantu dokter untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi untuk bunuh diri. Suatu pengobatan akut
jangka panjang yang berhasil dari pasien tersebut mengurangi perilaku bunuh diri
secara substansial bahkan dalam populasi berisiko tinggi.
Kata kunci
percobaan bunuh diri, bunuh diri, gangguan mood, keinginan bunuh diri, risiko bunuh
diri
![Page 2: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/2.jpg)
Pendahuluan
Terlepas dari besarnya penurunan angka kematian akibat bunuh diri pada
sebagian besar negara yang memiliki angka bunuh diri tinggi selama dua dekade
terakhir [1*], percobaan bunuh diri dan bunuh diri masih tetap menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang utama. Perilaku bunuh diri bukanlah jawaban 'normal'
terhadap tingkat stres yang dialami oleh kebanyakan orang atau konsekuensi linier
utama dari gangguan mental. Bunuh diri bersifat sangat kompleks, perilaku
multikausal manusia dengan banyak 'penyebab' dan beberapa komponen biologis
serta psikososial dan budaya. Dalam penelitian kami sebelumnya [2,3], kami telah
mengusulkan klasifikasi hirarkis faktor risiko bunuh diri yang menunjukkan bahwa
perilaku bunuh diri dikaitkan dengan sejumlah faktor risiko (a) kejiwaan (misalnya,
gangguan mental utama), (b) psikososial (misalnya, situasi hidup yang sulit) dan (c)
demografi (misalnya, jenis kelamin laki-laki) dengan berbagai utilitas prognostik.
Meskipun hubungan statistik antara perbedaan demografi dan faktor risiko
psikososial terhadap perilaku bunuh diri ditunjukkan dengan baik, hal tersebut
memiliki nilai yang sangat terbatas dalam memprediksi bunuh diri dalam kasus-kasus
individu, terutama pada tingkat populasi umum. Karena bunuh diri dan percobaan
bunuh diri sangat jarang terjadi bila tidak ada gangguan mental utama saat ini [2-7],
faktor risiko bunuh diri psikiatrik (depresi, gangguan penggunaan zat utama saat ini
dan skizofrenia terutama dengan usaha bunuh diri sebelumnya), bagaimanapun,
merupakan prediktor bunuh diri yang paling kuat dan berguna secara klinis, terutama
jika faktor risiko sekunder (psikososial) dan tersier (demografi) juga muncul [2,3]
(Tabel 1). Lebih dari 90% dari korban bunuh diri dan yang mencoba bunuh diri
memiliki setidaknya satu axis I saat ini (terutama yang tidak diobati) gangguan
mental utama, paling sering episode depresi mayor (MDE) (56 -87%), gangguan
penggunaan zat (26 - 55%) dan skizofrenia (6 -13%). Kecemasan dan komorbiditas
gangguan kepribadian yang disertai gangguan medis yang serius juga sering muncul,
tetapi mereka cukup langka didiagnosis [3-7].
![Page 3: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/3.jpg)
Studi prospektif dan retrospektif [8 -10,11**] jelas mendukung pengamatan
klinis bukti bahwa jika pasien dengan gangguan mood utama melakukan atau
mencoba bunuh diri, mereka melakukannya terutama selama mereka mengalami
MDE (78 -89%) dan kurang sering pada mania disforik (11 - 20%) tetapi sangat
jarang selama mania euforia dan eutimia (0-7%), menunjukkan bahwa perilaku bunuh
diri pada pasien dengan gangguan mood merupakan fenomena ‘tergantung dari
situasi’. Oleh karena itu, mengobati episode mood akut secara efektif dan
menstabilkan periode eutimia sangat penting untuk pencegahan bunuh diri. Karena
sebagian besar pasien dengan gangguan mood pernah melakukan bunuh diri dan
sekitar setengah dari mereka tidak pernah mencoba bunuh diri [5,6,11**, 12*],
karakteristik klinis khusus dari gangguan mood serta beberapa faktor familial dan
psikososial juga memiliki kontribusi peran dalam perilaku membahayakan diri
sendiri.
Tujuan dari ulasan ini adalah untuk merangkum temuan terkenal dan terbaru
tentang penelitian faktor-faktor risiko bunuh diri klinis yang teramati pada pasien
dengan gangguan mood, terutama saat ini muncul perdebatan tentang hubungan
antara perilaku bunuh diri dan obat antidepresan [1*] . Karena faktor risiko untuk
mencoba dan melakukan bunuh diri hanya menunjukkan beberapa perbedaan [4 -
7,12*] dan usaha bunuh diri adalah bunuh diri prediktor yang paling kuat, terutama
pada pasien dengan gangguan mood [12*, 13 -15, 16**, 17*], faktor risiko untuk
mencoba dan melakukan bunuh diri tidak dibahas secara terpisah dalam ulasan ini.
Demikian pula, percobaan bunuh diri yang berulang sering mengubah metode mereka
dari tanpa kekerasan/nonletal ke dengan kekerasan/letal (tapi sebaliknya cukup
langka) [18,19]. Hal ini juga terjadi pada kasus usaha bunuh diri dengan kekerasan/
letal dan tanpa kekerasan/nonletal.
![Page 4: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/4.jpg)
Faktor risiko bunuh diri pada pasien dengan gangguan mood
Karena perilaku bunuh diri bermanifestasi pada pasien dengan gangguan
mood yang tergantung dari situasi [8 -10*,11], mayoritas (tapi tidak semua) faktor
risiko bunuh diri terkait dengan episode mood yang dirasakan saat itu.
Faktor risiko yang terkait dengan episode mood saat ini atau lampau
Faktor risiko bunuh diri klinis yang teramati paling kuat dalam gangguan
mood terutama berkaitan dengan episode mood utama. Mereka juga disebut faktor
risiko 'proksimal' dan tercantum dalam Tabel 2. Keinginan bunuh diri, prekursor
utama dari mencoba dan melakukan bunuh diri [11**,14,17*,20,21*], menunjukkan
konsistensinya yang tinggi di seluruh keadaan MDE [22**] dan, tentu saja, percobaan
bunuh diri baru-baru ini adalah tanda yang paling perlu diperhatikan dari risiko bunuh
diri jangka pendek.
Pasien dengan depresi ringan dan gangguan distimia murni (dysthymia tanpa
'komorbiditas' depresi berat) relatif sedikit jumlahnya diantara korban yang
melakukan bunuh diri dan yang mencoba bunuh diri [4,7,23,24], di mana hal ini
konsisten dengan yang temuan umum bahwa keparahan gejala depresi (terutama saat
muncul keputusasaan dan rasa bersalah) merupakan faktor risiko bunuh diri yang
signifikan pada pasien dengan depresi [11**, 12*, 14,17*, 25,26**, 27]. Risiko
bunuh diri pada pasien rawat inap dengan gangguan mood memiliki tingkat yang
sangat tinggi [16**,17*] dan puncaknya adalah sesaat setelah masuk rumah sakit dan
pemulangan, khususnya tampak dalam kasus pengobatan rawat inap jangka pendek
[28*].
Dengan memperhatikan peran sifat gangguan mood unipolar dan bipolar
dalam prediksi bunuh diri, sebuah tinjauan terbaru [29] dari 10 penelitian yang
diterbitkan, terhadap lebih dari 3000 pasien, telah menyimpulkan bahwa pasien
bipolar pada umumnya, dan pasien bipolar II pada khususnya, lebih terwakili
kejadian melakukan dan mecnoba bunuh diri. Penelitian terbaru lainnya [11*] yang
![Page 5: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/5.jpg)
menyelidiki 90 pasien bipolar I dan 101 pasien bipolar II juga menemukan (tidak
signifikan) kecenderungan tingkat yang lebih tinggi dari usaha bunuh diri sebelumnya
pada episode indeks dalam bipolar II (25%) daripada di bipolar pasien I (16%).
Namun sebaliknya, studi follow-up 40-44 tahun yang berskala besar, [16*] telah
menemukan bahwa tingkat melakukan bunuh diri lebih tinggi pada 186 pasien
unipolar (14%) dibandingkan dengan 220 pasien bipolar (I+II) (8% ).
Sebuah faktor risiko bunuh diri penting yang relatif baru diakui pada MDE
mungkin adalah keadaan depresi campuran (tiga atau lebih gejala intradepresif
hipomania terjadi secara bersamaan) [30**, 31,32**], karenafrekuensi usaha bunuh
diri sebelumnya dan keinginan bunuh diri telah dilaporkan jauh lebih tinggi di antara
keadaan campuran dibandingkan pasien unipolar dan bipolar non-campuran dengan
depresi berat [31,33-35]. Dalam penelitian terbaru [36**], Kami menggunakan
strategi yang berlawanan, dan kami menganalisis frekuensi dan karakteristik klinis
keadaan depresi campuran terhadap 100 orang yang diselidiki mencoba bunuh diri
tanpa kekerasan. Depresi campuran saat ini muncul pada 63% dari total sampel dan
depresi diperoleh dari 71% dari 89 orang yang mencoba bunuh diri. Iritabilitas,
distraktibilitas dan agitasi psikomotor muncul pada lebih dari 90% pasien dengan
depresi campuran. Tingkat depresi campuran secara signifikan lebih tinggi di antara
29 pasien dengan depresi bipolar (I +II) dibandingkan 60 orang yang mencoba bunuh
diri dengan keadaan depresi nonbipolar (90 dan 62%, masing-masing). Angka-angka
ini hampir dua kali lebih tinggi dari tingkat yang sama (59 dan 27%, masing-masing)
yang sebelumnya dilaporkan dari 241 pasien rawat jalan bipolar II dan 164 pasien
rawat jalan tanpa bunuh diri dengan depresi unipolar berat [37]. Temuan ini
menunjukkan bahwa percobaan bunuh diri dengan depresi terutama berasal dari
bipolar campuran dan depresi unipolar dan hal ini mendukung peran depresi
campuran dalam perilaku bunuh diri. Hasil ini juga bisa sedikit banyak menjelaskan
mengapa depresi bipolar II (yang paling sering bersifat campuran) memiliki risiko
bunuh diri tertinggi di antara semua subtipe gangguan mood utama [29]
![Page 6: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/6.jpg)
Dengan menginvestigasi 247 pasien remaja rawat jalan dengan MDE saat ini
(100 dari mereka telah memiliki gangguabipolar I atau n bipolar II), hubungan erat
antara bunuh diri dan depresi campuran bipolar juga telah diamati tetapi hanya untuk
perempuan: dari 82 pasien dengan depresi campuran, perempuan memiliki risiko
hampir empat kali lipat dalam melakukan upaya bunuh diri terakhir dibandingkan
dengan pasien depresi non-campuran [38].
Penelitian terbaru kami lainnya [30**] telah menunjukkan bahwa pasien
rawat jalan 'unipolar' depresi campuran yang berat dan depresi agitasi merupakan
kondisi yang sangat tumpang tindih (90% pasien dengan depresi agitasi juga
memenuhi kriteria untuk keadaan depresi campuran), dan signifikansi angka
penderita depresi agitasi yang lebih tinggi daripada depresi non-agitasi (62 vs 43%)
menunjukkan keinginan bunuh diri saat ini dan riwayat keluarga gangguan bipolar II
yang positif (24 versus 12%). Dari gejala depresi campuran, kami menemukan
hubungan yang signifikan antara keinginan bunuh diri, aktivasi psikomotorik dan
balap pikiran. Hasil penelitian ini mendukung pandangan bahwa depresi agitasi
unipolar juga harus diklasifikasikan sebagai keadaan depresi campuran bipolar dan
juga mendukung penelitian sebelumnya [5,34,39], serta menunjukkan bahwa agitasi
merupakan faktor risiko bunuh diri pada pasien dengan depresi.
Peran 'ketidakstabilan mood' (yaitu, 'bipolaritas') dalam perilaku bunuh diri
juga didukung oleh dua studi baru lainnya [40**, 41], menunjukkan bahwa riwayat
serangan panik dan perubahan mood yang cepat dikaitkan dengan kecenderungan
peningkatan riwayat pemikiran atau tindakan bunuh diri yang dilaporkan sendiri
[40**], dan variabilitas keinginan bunuh diri adalah prediktor yang lebih baik secara
signifikan dari usaha bunuh diri sebelumnya dibanding durasi dan intensitas
keinginan bunuh diri [41]. Ketidakstabilan mood, pikiran dan perilaku yang persisten
dan frekuensinya sering adalah ciri khas dari siklotimia, yang merupakan manifestasi
dari gangguan mood bipolar utama yang dilemahkan. Siklotimia mungkin merupakan
faktor predisposisi untuk perilaku bunuh diri, seperti dua penelitian terbaru [42,43**]
![Page 7: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/7.jpg)
yang menemukan bahwa pada pasien dengan MDE, kepribadian siklotimia secara
signifikan berhubungan dengan perilaku bunuh diri (keinginan dan percobaan)
seumur hidup dan saat ini baik pada sampel dewasa [42] maupun pada sampel
pediatrik [43*].
Peran penting dari keadaan campuran depresi 'pseudounipolar' pada perilaku
bunuh diri [1*, 30**,31,36**] memiliki implikasi jelas dalam pencegahan bunuh diri.
Identifikasi yang tepat dari sifat 'rahasia' bipolar pada episode depresi saat ini,
sebagaimana tercermin dalam gambaran klinis campuran/agitasi, sangat penting
untuk memilih pengobatan yang paling tepat. Semakin banyak bukti bahwa
monoterapi antidepresan, yang tidak disertai dengan penstabil mood atau antipsikotik
atipikal pada pasien dengan bipolar dan spektrum bipolar (termasuk keadaan depresi
campuran 'unipolar' dan depresi unipolar dengan kepribadian siklotimia dan dengan
riwayat keluarga bipolar) tidak hanya dapat menghasilkan perubahan (hypo) manik
dan siklus cepat tetapi juga memperburuk keadaan depresi campuran yang sudah ada
sebelumnya atau menghasilkan kondisi campuran de novo, dan akan mengakibatkan
resistensi pengobatan, destabilisasi gangguan mood, memburuknya depresi dan, pada
akhirnya, perilaku bunuh diri pada beberapa pasien [1*, 30**, 31]. Dengan kata lain,
pada perilaku bunuh diri yang jarang diamati-antidepresan mungkin malah bisa
memediasi agitasi dan keadaan depresi bercampur kegembiraan. Selain itu, data
terbaru menunjukkan bahwa tambahan penggunaan penstabil mood, antipsikotik
atipikal atau benzodiazepin dalam kasus tersebut bisa mencegah bunuh diri yang baru
berkembang dalam populasi berisiko tinggi [1*, 30**, 31].
Sifat psikotik/nonpsikotik dari episode mood utama tampaknya tidak
mendasari perilaku bunuh diri dalam depresi unipolar [44]. Gejala psikotik,
bagaimanapun juga, secara signifikan terkait dengan dilakukannya bunuh diri pada
orang dewasa [16**] dan menyebabkan keinginan dan rencana bunuh diri pada
pediatrik [45] pada pasien bipolar I dan II bipolar.
![Page 8: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/8.jpg)
Untuk mendukung temuan sebelumnya, studi terbaru [6,12*, 14,21*, 27,39,46
-48] juga menunjukkan bahwa komorbiditas kecemasan/gangguan kecemasan dan
komorbiditas gangguan penggunaan zat serta terdapat penyakit medis yang serius
secara bersamaan, dapat meningkatkan risiko semua bentuk perilaku bunuh diri pada
depresi unipolar dan gangguan bipolar.
MDE yang tidak diobati adalah diagnosis yang paling sering pada korban
bunuh diri dan mencoba bunuh diri [1*, 3,4,16**, 23,29]. Selain itu, perilaku bunuh
diri pada pasien bipolar tidak eksklusif dibatasi untuk episode depresi karena episode
afektif campuran (mayor) (memenuhi seluruh kriteria gejala dari mania dan depresi
mayor pada waktu yang sama) juga meningkatkan risiko percobaan dan dilakukannya
bunuh diri [9,11**, 12*]. Sebuah studi baru-baru ini [49] menunjukkan bahwa
perbedaan antara mania campuran (disforik atau depresi) dan mania murni (euforia)
juga penting untuk memprediksi risiko bunuh diri: lebih dari 40% pasien dengan
mania disforik memiliki keinginan atau mencoba bunuh diri saat ini, sedangkan untuk
pasien dengan mania murni kurang dari 10%.
Faktor risiko yang tidak berhubungan dengan episode mood saat ini atau
lampau
Terdapat fakta yang menyatakan bahwa pengalaman masa kecil yang
merugikan dan stressor psikososial saat ini bisa menjadi predisposisi dan berperan
dalam memicu perilaku bunuh diri. Meskipun dokter tidak dapat mempengaruhi apa
yang telah terjadi dalam riwayat masa lalu pasien mereka, pengumpulan informasi
tentang riwayat keluarga dan perkembanagan awal masa kehidupan serta kondisi
psikososial saat ini juga penting dalam memprediksi risiko bunuh diri. Faktor risiko
bunuh diri (familial dan psikososial) pada pasien gangguan mood tidak secara
langsung berhubungan dengan episode mood saat ini atau masa lalu (misalnya, faktor
risiko bunuh diri distal) dan hal tersebut tercantum dalam Tabel 3.
![Page 9: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/9.jpg)
Sejumlah literatur mengenai topik ini secara konsisten menunjukkan bahwa
riwayat keluarga bunuh diri (dan gangguan mood) pada kerabat tingkat pertama [12*,
27,47,50], pengalaman buruk masa kanak-kanak (kehilangan orangtua dan kejadian
emosional, pelecehan fisik dan seksual) [12?, 21?, 47,50,51?, 52], onset awal
gangguan mood [12*,16**,27,47,48], gangguan komorbiditas kepribadian
(kebanyakan klaster B) dan ciri kepribadian agresif/impulsif, serta perokok [11**,
14,23,24,26**, 51*, 53,54*, 55*], situasi hidup yang tidak menyenangkan
(pengangguran, terisolasi dan stressor psikososial akut) [3,6,21*, 26**, 55*] dan
kurangnya dukungan emosional, sosial dan medis/psikiatris [3,9,16**, 24,29] secara
signifikan terkait dengan percobaan dan dilakukannya bunuh diri, baik pada populasi
umum maupun pada pasien dengan gangguan mood.
Berbeda dengan fakta yang menyatakan bahwa jumlah laki-laki sebagai
korban bunuh diri lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yang mencoba
bunuh diri [3,5,19,21*,23,28*], jenis kelamin bukan prediktor yang signifikan dari
dilakukannya [16*,17*] dan percobaan [14,26**, 27,47,52,53] bunuh diri pada pasien
dengan gangguan mood unipolar atau bipolar.
Depresi, bunuh diri dan antidepresan
Tidak diragukan lagi, keberhasilan farmakoterapi akut dan jangka panjang
depresi (termasuk antidepresan, penstabil mood, anxiolitik dan antipsikotik) secara
signifikan mengurangi risiko perilaku bunuh diri pada sebagian besar pasien dan
meluasnya penggunaan antidepresan dalam bentuk selective serotonin reuptake
inhibitor baru 'era (SSRI)' tampaknya telah benar-benar menyebabkan penurunan
sangat signifikan dalam tingkat bunuh diri pada sebagian besar negara yang memiliki
angka bunuh diri yang tinggi [1*, 3,16*, 29,56]. Sebaliknya, antidepresan (terutama
sebagai monoterapi), bagaimanapun juga, dapat memperburuk depresi dan karenanya
secara tidak langsung meningkatkan risiko perilaku bunuh diri pada sebagian kecil
subpopulasi yang sangat rentan [1*, 30*, 31,57]. Risiko rendah antidepresan dalam
![Page 10: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/10.jpg)
'menginduksi potensi bunuh diri’ relatif lebih tinggi padasenyawa non-SSRI yang
menunjukkan aktivitas noradrenergik (maprotiline, mianserine) atau serotonergik dan
noradrenergik [moclobemide, venlafaxine, mirtazapin dan beberapa antidepresan
trisiklik (TCA)] daripada senyawa SSRI [1*,56,58,59]. Temuan terbaru sangat
menyarankan bahwa ketika antidepresan memperburuk depresi pada beberapa pasien,
substrat psikopatologis tersebutlah yang mungkin menyebabkan agitasi, kegembiraan,
kondisi mental yang terstimulasi berlebihan, keadaan depresi bercampur kecemasan
[1*, 30**, 31,36**, 38] . Sebagai konsekuensinya, diperlukan pemahaman mengenai
sifat depresi bipolar (termasuk bipolaritas ringan) dan penggunaan penstabil mood
atau antipsikotik atipikal serta anxiolitik secara bersamaan dianjurkan dalam kasus
tersebut untuk meminimalkan perkembangan keadaan heteroagresif dan autoagressif.
Sebuah catatan penting yang harus dibuat adalah bahwa dalam percobaan
klinis psikoterapi yang baru diterbitkan, pasien remaja rawat jalan dengan depresi
mayor memiliki kesamaan dengan yang terdaftar dalam uji klinis farmakoterapi, di
mana tingkat bunuh diri baru akan muncul pada pasien yang hanya menerima
psikoterapi saja dibandingkan dengan mereka yang diobservasju pada percobaan
antidepresan [60**]. Mengingat semua faktor di atas, psikiater harus selalu waspada
terhadap risiko perilaku bunuh diri ketika meresepkan antidepresan atau menerapkan
psikoterapi untuk pasien dengan gangguan depresi di mana mereka memiliki risiko
bunuh diri sangat tinggi. Sebuah diskusi rinci tentang hubungan antara depresi,
perilaku bunuh diri dan antidepresan berada di luar kerangka penelitian ini, dan topik
ini telah ditinjau di tempat lain [1*].
Kesimpulan
Bunuh diri adalah peristiwa yang jarang terjadi pada populasi umum, tetapi
sangat umum di antara pasien dengan gangguan mood yang memiliki kontak dengan
berbagai tingkat sistem kesehatan [2,3,5,6,61]. Tentu saja, kita tidak dapat mencegah
semua kasus bunuh diri. Namun, telah ditunjukkan bahwa pengobatan akut dan
![Page 11: Risiko Bunuh Diri Pada Gangguan Mood](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022082609/55cf9c6a550346d033a9c1d9/html5/thumbnails/11.jpg)
jangka panjang yang sukses terhadap depresi unipolar dan gangguan bipolar secara
nyata mengurangi morbiditas dan mortalitas bunuh diri, bahkan pada populasi
berisiko tinggi [1*,3,16**,29,30**]. Karena lebih dari dua pertiga korban bunuh diri
mati dalam upaya pertama mereka [1*, 5,8,19] dan jumlah yang sama terjadi pada
mereka memiliki MDE saat ini (kebanyakan tidak diobati) [2,5,6,23,29], sangat
penting untuk mendeteksi sedini mungkin faktor risiko bunuh diri, terutama pada
pasien dengan gangguan mood, dan mengintervensi secepatnya sebelum orang
tersebut melakukan tindakan bunuh diri pertama. Pengobatan yang lebih dini, luas
dan efektif terhadap gangguan mood utama harus menyebabkan penurunan mortalitas
bunuh diri pasien ini, yang sewaktu-waktu, perilaku bunuh diri tersbut akan muncul
pada tingkat populasi umum [1*,30**]. Pengamatan yang cermat dan sistematis
terhadap faktor risiko bunuh diri tradisional dan baru pada gangguan mood, dapat
membantu dokter untuk mengidentifikasi pasien dengan perilaku bunuh diri yang
sering mendatangi pelayanan kejiwaan dan pelayanan kesehatan primer dalam
beberapa minggu atau bulan terakhir ini [61].