Rinitis Vasomotor
Transcript of Rinitis Vasomotor
Rinitis Vasomotor
Maria Monika Muda*Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Alamat Korespondensi:
Maria Monika Muda, Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl. Terusan Arjuna no. 6,
Tanjung Duren, Jakarta Barat 11510. E-mail: [email protected]
Pendahuluan
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah
gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan
hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini
merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan
vasomotor catarrh, vasomotorrinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic
rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.
Perjalanan penyakit ini cenderung bersifat kronis dan bisa berlangsung seumur hidup, kondisi
ini yang kadang membuat pasien terganggu sehingga menjadi tidak nyaman dan frustasi akan
penyakitnya yang berdampak terganggunya aktivitas dan produktivitaspenderita sehari-hari
disamping penderita juga harus mengeluarkan biaya ekstra untuk obat yang biasanya hanya
bersifat simtomatis saja.`1
Anamnesis
1. Identitas Pasien. Nama lengkap pasien, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa.
Dari kasus didapatkan identitas pasien : wanita berumur 26 tahun.
2. Keluhan utama. Sering mengalami hidung tersumbat bergantian pada lubang hidung
kanan dan kiri sejak 1 minggu yang lalu.
3. Riwayat penyakit sekarang
1
Menanyakan kembali sejak kapan keluhan muncul, untuk memastikan apa yang
telah dikatakan pasien.
Menanyakan adakah gejala penyerta (keluar ingus encer dan jernih, bersin di pagi
hari).
4. Riwayat penyakit keluarga. Menanyakan adakah keluarga yang menderita penyakit
yang sama dengan yang dialami oleh pasien. Atau adakah diwayat alergi dalam keluarga
unutk membedakan dengan rinitis alergi.
5. Riwayat penyakit dahulu
Menanyakan apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya. Cari tahu riwayat penyakit dahulu dari kondisi medis apapun
yang signifikant.
6. Riwayat sosial. Menanyakan kepada pasien apakah penyakitnya menganggu/sangat
menggangu/ tidak menggangu aktivitas sehari-hari pasien.
7. Riwayat pengobatan/obat
Apakan sudah menggunakan obat tertentu. Dan bagaimana hasilnya.
Dilihat dari gejala klinis nya, pasien kemungkinan pasien menderita rhinitis.
Rhinorrhea (pilek) mengacu pada pengeluaran secret dari dalam hidung dankeadaan ini
sering berkaitan dengan kongesti nasal yang merupakan perasaan tersumbatatau obstruksi
dalam hidung. Semua gejala tersebut sering disertai bersin-bersin, mata berair, serta rasa
tidak nyaman dalam tenggorokan dalam mata, hidung, dan tenggorok.
Perhatikan gejala lain di samping pilek atau hidung yang tersumbat, seperti rasa nyeri atau
nyeri tekan pada wajah atau di daerah sinus, sakit kepala setempat, dan dema. Semua gejala
di sini menunjukkan sinusitis.
Jika kongesti nasal yang diderita pasien terbatas pada salah satu sisi hidung saja
pertimbangkan kemungkinan deviasi septum nasal, benda asing, atau tumor. Memerlukan
pemeriksaan lanjut.
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan
disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi
dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya
2
mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak
mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.2,3
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa
hidung, konkha hipertropi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi
dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konkha dapat licin atau berbenjol. Pada
rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore,
sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rhinoskopi posterior
dapat dijumpai post nasal drip.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboraturium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis
alergi. Test kulit (skintest) biasanya negatif, demikian pula test RAST (phadebas
radioallergosobent test), serta kadar IgE total dalam batas normal. Kadang-kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi
sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak
gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.1
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja kasus ini adalah Rinitis Vasomotor.
Diagnosis rinitis vasomotor dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan lain dengan
mengetahui riwayat penyakit, pemeriksaan fisik pada hidung dan tenggorok serta tidak
didapatkannya allergen spesifik yang menyebabkan terjadinya gejala tersebut atau dengan
pemeriksaan skin tes yang negatif. Perubahan foto rontgen, penebalan membrana mukosa
sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rinitis vasomotor bisa terjadi
bersama-sama dengan rinitis alergika. Setelah menyingkirkan setiap penyebab obstruksi
hidung dan sekresi hidung lainnya, maka dapat dibuat diagnosis rinitis vasomotor.1,3
3
Diagnosis Banding
Rinitis Alergi
Gejala rinitis alergi yang khas adalah gatal di hidung, bersin-bersin terutama pagi hari
atau bila terpapar debu-debuan. Gejala lain yang sering menyertai adalah rinore encer, hidung
tersumbat, dan kadang-kadang sakit kepala. Selain itu biasanya terdapat riwayat alergi dalam
keluarga.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa hidung yang bervariasi dari
tampak normal sampai edema, basah, berwarna pucat atau keabuan disertai rinore encer
dengan jumlah bervariasi. Meskipun tidak selaluditemukan, tetapi merupakan gejala/tanda
yang khas pada rinitis alergi ini adalah allergic shiner, allergic solute, dan allergic crease.
Allergic shiner adalah warna kehitaman pada daerah infra orbita yang terjadi karena adanya
stasis dari vena yang mengakibatkan edema mukosa hidung dan sinus. Allergic solute adalah
sering mengusap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal, sedangkan allergic
crease adalah timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, karena
kebiasaan mengusap hidung.1,4
Rinitis Simpleks
Nama lainnya adalah common cold, slesma, flu, pilek. Merupakan penyakit yang
paling sering ditemukan pada manusia. Penyebab tersering adalah Rhinovirus. Virus lain
dapat berupa Myxovirus, Coxsakie virus, ECHO virus.
Gejala klinik biasanya prodromal meliputi rasa panas, kering, gatal dalam hidung, demam,
lemas, nyeri kepalaa. Selain itu juga terdapat bersin yang berulang-ulang, hidung tersumbat
dengan ingus encer (jadi purulen bila ada infeksi bakteri). Dapat sembuh dalam 5-10 hari bila
tidak terdapat komplikasi.
Biasanya bisa sembuh sendiri, diobati secara simptomatis, antibiotik diberikan bila ada
infeksi sekunder oleh bakteri.1,4
Etiologi
Penyebab pasti rinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti, diduga akibat
gangguan keseimbangan vasomotor.
4
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi berbagai hal, antara lain :
o Obat – obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal ergotamin,
clorpromazin, obat antihipertensi dan obat vasokonstriktor lokal
o Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, dan bau
yang merangsang
o Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas dan hipotiroidisme
o Faktor psikis seperti cemas, tegang3,4
Patofisiologi
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan
terjadinya rinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan. Sistem saraf otonom
mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri
hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula
dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan
(kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa
berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema
interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat.
Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan
terjadinya rinorea yang eksesif.
Teori lain meyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang dikeluarkan sel – sel
seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinin.
Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang
meyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem
saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari
peptida ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rinitis alergika. Pada beberapa kasus
rinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa
hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rinitis vasomotor.
Banyak kasus rinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh
beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut adalah ; perubahan
temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu,
polusi udara dan stress (fisik dan psikis).
5
Mekanisme terjadinya rinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara langsung
melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang sel – sel olfaktorius
terdapat pada mukosa olfaktorii. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir
secara primer maupun sesudah merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah
olfaktoris medial dan olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior
hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat
serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi
dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan
manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor.
Dari penelitian binatang telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem
adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol vaskularisasi
pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita memahami
mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik menimbulkan vasodilatasi sehingga
koana membengkak atau terbendung, hasilnya terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi
simpatis servikalis menim bulkan vasokonstriksi hidung.
Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas mekanisme
hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rinitis alergika. Rinopati vasomotor
disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal sebagai disfungsi vasomotor.
Reaksi reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis)
yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai udema dan
peningkatan sekresi kelenjar.
Bila dibandingkan mekanisme kerja pada rinitis alergika dengan rinitis vasomotor, maka
reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan mediator yang
menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang
menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan rasa gatal.
Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga
mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem
saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis)
yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas, yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal ini menimbulkan gejala
obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan gatal. Peningkatan aktivitas
parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan peningkatan sekresi hidung
6
yang menyebabkan gejala rinorea. Pada pokoknya, reaksi alergi dan disfungsi vasomotor
menghasilkan gejala yang sama melalui mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia
disebabkan interaksi antigen – antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh
disfungsi sistem saraf autonom.1,3,4
Gejala Klinik
Gejala yang dijumpai pada rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan
rhinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus
atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian
dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin
tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rhinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di
hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena
adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok
(post nasal drip).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor dibedakan dalam dua golongan, yaitu
golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners/sneezers). Oleh karena golongan
rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.1,2,5
Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab
dan gejala yang menonjol. Secara garis besar penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macan,
yaitu :
1. Non Farmakologik
Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy ). Jika agen iritan diketahui,
terapi terbaik adalah dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahiu,
pembersihan mukosa nasal secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan
dengan menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan
irigator.
7
2. Farmakologik
a) Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi
keluhan hidung tersumbat. Obat tetes atau semprot hidung dapat
menghilangkan simptom rhinitis vasomotor secara dramatis dengan
kemampuannya menciutkan pembuluh darah. Namun penggunaan preparat ini
yang berkelanjutan dapat menimbulkan rebound swelling yang akhirnya dapat
menimbulkan efek merugikan. Contohnya : Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine (oral) serta Afrin, Neosynephrine, Phenylaphrine dan
Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor α dan
baik untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang terlalu
lama (>5hari) dapat terjadi rinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti yang
terjadi setelah penggunaan obat topikal >5 hari. Kontraindikasi pemakaian
dekongestan adalah pewnderita dengan hipertensi yang berat serta tekanan
darah yang labil.
b) Anti histamin. Mempunyai respon yangg beragam. Membantu pada pasien
dengan gejala utama rinorea.
c) Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan
bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh
mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2
minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal :
Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone.
d) Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray). Penggunaan
Azelastine Nasal Spray dapat menghilangkan secara signifikan gejala yang
ditimbulkan oleh rhinitis vasomotor dalam 3 minggu, dibandingkan dengan
respon terapi anti alergi biasa. Obat ini adalah antagonis muskarinik.
Penggunaan obat ini juga harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan
glaukoma sugut sempit.
3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) :
a) Kauterisasi konkha yang hipertropi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat (Chemical cautery) maupun secara elektrik (Electric
cautery).
b) Diatermi submukosa konkha inferior (submucosal diathermy of the inferior
turbinate).
8
c) Bedah beku konkha inferior (Cryosurgery).
d) Reseksi konkha parsial atau total (Partial or total turbinate resection).
e) Turbinektomi dengan laser (Laser turbinectomy).
f) Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat.
Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan
dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi.1,5
Komplikasi
o Sinusitis
o Eritema pada hidung sebelah luar
o Pembengkakan wajah3
Prognosis
Prognosis dari rhinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik
dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan. Prognosis
pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan
rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.1
Pencegahan
o Hindari faktor pencetus timbulnya penyakit
o Hindari tempat-tempat dengan kelembaban tinggi dan minum minuman dingin
o Memakai palaian yang cukup tebal saat udara dingin
o Olahraga teratur untuk meningkatkan kondisi tubuh3
Kesimpulan
Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang bukan merupakan
proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya obstruksi hidung dan rinorea.
9
Etiologinya dipercaya sebagai akibat ketidakseimbangan saraf otonom pada mukosa hidung
sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah di hidung.
Rhinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya mirip dengan rhinitis
alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan
kemungkinan rhinitis lainnya terutama rhinitis alergi dan mencari faktor pencetus yang
memicu terjadinya gangguan vasomotor. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif
dan apabila gagal dapat dilakukan tindakan operatif.
Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. h. 128-7.
2. Boies L. Ilmu Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2006,h.73-87.
3. Cody D. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2006.h.104-118.
4. Bernstein J, dkk. Penyakit THT Kepala & Leher. Edisi ke-13. Jakarta : Binarupa Aksara;
2002.h.176-9.
5. Ballenger JJ. Penyakit THT. Edisi ke-14. Jakarta : Binarupa Aksara; 2005.h.1-25.
10