Rice Policy in Thailand and Indonesia

18

Click here to load reader

Transcript of Rice Policy in Thailand and Indonesia

Page 1: Rice Policy in Thailand and Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI

PROGRAM SARJANA REGULER

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

KEBIJAKAN PERDAGANGAN BERAS THAILAND DAN INDONESIA :

SUATU PERBANDINGAN

Disusun oleh:

HARIYANA

0806463492

Disusun untuk Memenuhi Nilai Tugas

Perbandingan Administrasi Negara

Depok, 2010

Page 2: Rice Policy in Thailand and Indonesia

Kebijakan Beras Thailand dan Indonesia : Suatu Perbandingan

Pertanian pada dasarnya memiliki sumbangan yang penting bagi pembangunan.

Pertanian memiliki ciri-ciri yang sangat unik ketika dijadikan sebagai instrumen

pembangunan. Hal ini dikarenakan pertanian dapat bekerja sama secara harmonis dengan

sektor-sektir lain untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat, mengurangi

kemiskinan, dan melestarikan lingkungan.

Pertanian memiliki peran sebagai sumber pertumbuhan bagi perekonomian nasional,

penyedia kesempatan investasi bagi sektor swasta, dan penggerak utama indusrti-industri

yang terkait dengan pertanian dan perekonomian nonpertanian pedesaan. Di negara-negara

berbasis pertanian, rata-rata 29 persen dari produk domestik bruto berasal dari pertanian dan

menyerap 65 persen angkatan kerja yang ada. Hal ini bisa mengindikasikan bahwa pertanian

juga dijadikan sebagai sumber mata pencaharian penting yang mendongkrak perekonomian

suatu negara. Pertanian merupakan sumber mata pencaharian bagi kira-kira 86 persen rakyat

pedesaaan. Dari 5,5 milyar penduduk di negara berkembang, 3 milyar dari mereka tinggal di

pedesaaan. 2,5 milyar dari pebnduduk pedesaan tersebut terlibat dalam pertanian dan 1,5

milyar dari mereka merupakan keluarga petani gurem.1

Bangsa Asia, khususnya Asia Tenggara merupakan bangsa yang berdiam di daerah

yang bercuaca tropis. Keadaan iklim yang cukup panas membuat bangsa Asia Tenggara

memiliki ciri khas sebagai bangsa agrikultural, bangsa yang hidup dari sektor pertanian. Hal

ini terbukti dari masih banyaknya buruh yang bekerja di sektor pertanian. Hal ini bisa

dibuktikan dari masih banyaknya pekerja-pekerja yang masih bergantung pada sektor

pertanian berdasarkan data-data yang ada. Pada tahun 2004,petani di Asia, tidak termasuk

Timur Tengah tercatat 55 % dari total buruh. Di Nepal dan Bhutan, sebanyak 93-94%

dari jumlah buruh yang ada bekerja pada sektor pertanian. Di  Asia tenggara, buruh

tani di Malaysia mencapai 69%, sedangkan di Kamboja, dan 81% di Timor Leste. Pada

2007, Thailand mempunyai 5.7 juta rumah tangga yang terlibat dalam sektor pertanian.2

1 World Bank, Laporan Pembangunan 2008 : Pertanian Untuk Pembangunan, (Jakarta : Salemba Empat, 2008), hal. 7-8

2 Institute For Global Justice, Pengaruh FTA terhadap Pertanian, http://webcache.google user content.com/search?q=cache:EEE6cGuu2pEJ:www.globaljust.org/index.php%3Foption%3Dcom_content%26task%3Dview%26id%3D387%26Itemid%3D164%26lang%3Did+jumlah+buruh+sektor+pertanian+di+ASEAN&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id (diunduh 7 Mei 2010)

2

Page 3: Rice Policy in Thailand and Indonesia

Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama di negara-negara

berkembang. Hal ini disebabkan karakteristik dari sektor pertanian tersebut. Tidak

seperti sektor lain, sektor pertanian bersifat multifungsi, yaitu sebagai sumber pendapatan dan

konsumsi untuk diri sendiri. Selain itu, negara-negara berkembang, seperti Thailand

menggunakan sektor pertanian sebagai jaring pengaman ekonomi mereka. Ketika krisis

finansial 1997, pemecatan dan pemberhentian buruh terjadi besar-besaran. Akan tetapi,

menurut survey dari Northeastern Households, anggotanya berhenti sementara selama krisis,

sekitar 40% dari orang-orang yang ”dirumahkan” bergabung dalam sektor pertanian. Bagian

lainnya pun mendapat bantuan dari pihak keluarga, yang berasal dari upah pertanian.

Komoditas pertanian yang sangat diutamakan di Asia Tenggara adalah beras. Asia

Tenggara memang sangat terkenal dengan sebutannya sebagai lumbung padi dunia. Letaknya

di daerah kathulistiwa membuat padi tidak susah untuk dibudidayakan. Tidak mengherankan

juga beras menjadi makanan pokok bangsa Asia Tenggara dan juga Asia. Kebutuhan untuk

konsumsi beras bagi masyarakat Asia Tenggara sekaligus sebagai sumber mata pencaharian

bangsa Asia Tenggara membuat negara-negaranya kerap kali melakukan pembaharuan dan

evaluasi kebijakan pangan. Dampaknya, komoditas beras menjadi salah satu faktor

tumbuhnya perekonomian di Asia Tenggara.

Komoditas beras merupakan barang yang menyangkut hidup hajat orang banyak. Oleh

karena itu, pemerintah masih mengintervensi perdagangan komoditas beras. Menurut Kruger,

terdapat tiga pembenaran untuk pemerintah mengintervensi kebijakan pertanian, baik secara

langsung maupun tidak langsung, pada sektor pertanian.3 Pertama, ketika pendapatan pajak

suatu negara dari sektor selain pertanian cenderung rendah, pemungutan pajak di bidang

pertanian relatif mudah direalisasikan. Kedua, sifat pertanian yang sensitif terhadap intensif

pemerintah. Ketiga, ketika hasil sektor pertanian diindikasikan terus menurun dari waktu ke

waktu. Dalam hal ini, keadaan yang timbul bersifat negatif dan sudah sepatutnya pemerintah

mengkaji kembali seberapa besar prospek sektor pertanian tersebut.

Di negara-negara berkembang, pertanian masih banyak diintervesi pemerintah.

Pemerintah membuat kebijakan untuk menguatkan sektor pertanian negara berkembang.

Kebijakan-kebijakan yang ada biasanya berupa pemberian subsidi, maupun proteksi. Tidak

terkecuali Indonesia dan Thailand. Indonesia dan Thailand sama-sama mengutamakan

3 Sara Forsell, “Rice Price Policy in Thailand : Policy Making and Recent Development”, (Tesis Departemen Ekonomi, Universitas Lund, 2009), hal. 11

3

Page 4: Rice Policy in Thailand and Indonesia

komoditas beras sebagai salah satu komoditas pertanian utama yang diperdagangkan. Ketika

kita melihat data produksi antara Indonesia dan Thailand, produksi Indonesia lebih banyak

daripada produksi Thailand. Akan tetapi, Indonesia lebih banyak mengimpor beras daripada

Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Total Produksi, Ekpor, dan Impor Padi 2008

Total Produksi

(dalam jutaan US$)

Ekspor

(dalam jutaan US$)

Impor

(dalam jutaan US$)

Indonesia 118,451.5 2.037 107.955

Thailand 63,572.29 6,204.100 10.482

Sumber : Diolah dari data AFSIS, FAOSTAT 2008

Oleh karena itu, di dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji mengenai kebijakan komoditas

beras di pemerintahan Thailand dan Indonesia dan membandingkannya.

A. Thailand

Kerajaan Thailand, yang biasa juga disebut Muang Thai, adalah sebuah negara

di Asia Tenggara. Thailand yang berbatasan dengan Laos dan Kamboja di timur,

Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di barat. Thailand

dahulu dikenal sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949. Kata "Thai" itu sendiri

diartikan "kebebasan" dalam bahasa Thailand, namun juga dapat merujuk kepada suku

Thai, sehingga menyebabkan nama Siam masih digunakan di kalangan orang Thai

terutama kaum minoritas Tionghoa.

Sekitar tahun 1850-an Thailand menandatangani dengan pemerintah Inggris dan

mulai mengadopsikan sistem perdagangan bebas yang berlangsung hingga akhir perang

dunia II. Dengan adanya sistem ini, kegiatan ekspor berlangsung. Akan tetapi, kegiatan

ekspor beras ini masih dimonopoli oleh pemerintah.

Sistem perdaganga bebas tersebut juga berdampak pada permintaan komoditas beras

dari negara-negara barat terus bertambah. Hal ini membuat investasi-investasi juga

berdatangan, seperti investasi infrastrukur jalan dan kanal di delta sungai Chao Praya.

4

Page 5: Rice Policy in Thailand and Indonesia

Pengembangan delta sungai Chao Praya juga membuat daerah sekitarnya dikembangkan

dari lahan yang tidak ditanami menjadi lahan pertanian. Selain itu, dengan adanya

investasi-investasi yang berdatangan, Pemerintah Thailand juga dapat memproduksi cukup

beras untuk diekspor dan membantu keadaan perekonomian negara Thailand.

Pada tahun 1954, Pemerintah Thailand meninggalkan kebijakan monopoli eksport

oleh pemerintah dan mulai membuka peluang ekspor beras oleh pihak swasta. Dengan

adanya peran ekspor oleh swasta, pemerintah mau tidak mau menetapkan beberapa

pengaturan dan pajak yang bertujuan untuk tetap menstabilkan harga, menjaga agar harga

beras masih terjangkau oleh konsumen, dan sebagai sumber penghasilan pemerintah.

Pada tahun 1950-1070, pajak beras ekspor Thailand mencapai 40 persen. Kebijakan

ini bertujuan untuk memajukan sektor industri dan pemberian subsidi kepada masyarakat

kota. Selain itu, terdapat kebijakan lain yaitu rice reserve requirement yaitu penyediaan

tanah oleh pemerintah untuk digunakan sebagai lahan penanaman padi milik negara.

Kebijakan-kebijakan tersebut membawa dampak yang dikenal dengan “rice premium”

yang memberi dampak beras-beras Thailand dipercayai sebagai beras berkualitas bagus di

pasaran dunia. Akan tetapi, dampak “rice premium” ini lebih memberatkan pada petani.

Petani harus menanggung beban pajak yang cukup besar. Begitu pula dengan eksportir.

Eksportir juga diberikan pembatasan ekspor beras Thailad. Hal tersebut merupakan tujuan

dari adanya pembatasan ekspor oleh pemerintah agar para eksportir bekerja sama dan

melakukan kartel guna memberika monopoli profit bagi para eksportir.

Tahun 1970-an, pajak terhadap beras diturunkan menjadi 20 persen. Selain itu,

Pemerintah Thailand mencanangkan program “Aid Fund Act”. “Aid Fund Act” ini lebih

memberikan dkeuntungan bagi para petani karena hasil dari rice premium yang diberikan

untuk membantu petani-petani lainnya.

Mulai tahun 1980-an, kebijakan perdagangan era menjadi lebih bersifat liberalisasi.

Sejak pemerintah menandatangani perjanjian GATT, kebijakan Pemerintah Thailand lebih

mengarah pada kebijakan subsidi ekspor. Pemerintah juga mulai lepas tangan dalam

pengaturan harga beras dalam negeri dan membiarkan harga beras dunia masuk ke dalam

pasar beras dalam negeri.

Setelah menikmati kesuksesan kebijakan-kebijakan beras yang ada, yaitu menikmati

rata-rata pertumbuhan tertinggi 9 persen dari tahun 1985 hingga 1995, tekanan spekulatif

5

Page 6: Rice Policy in Thailand and Indonesia

yang meningkat terhadap mata uang Thailand (Baht) pada tahun 1997 menyebabkan

terjadinya krisis yang membuka kelemahan sektor keuangan dan memaksa pemerintah

untuk mengambangkan Baht. Akibatnya, sektor-sektor terutama sektor industri pun

menurun. Oleh karena itu, sejak dimulainya pemerintahan oleh Thaksin Shinawatra,

Pemerintah Thailand lebih menguatkan perdagangan beras guna mengatasi krisis

tersebut.Hal ini dilakukan dengan pemberian “rice guarantee policy”. Pemerintah juga

memberikan batasan harga minimum beras yang berada diatas harga pasar. Pada awal

2008, yaitu pada musim panen pertama di tahun 2008, harga beli beras mencapai 10,000

Baht/juta ton. Sedangkan pada bulan juni 2008, harga beras naik mencapai 14,000

Baht/juta ton.Akan tetapi, harga beras yang mahal tersebut dijamin kualitasnya akan

memuaskan oleh pemerintah. Jika tidak, beras-beras yang ada bisa dikembalikan lagi dan

beras tersebut dapat dibeli lagi oleh petani dan petani mendapat pinjaman dengan bunga

rendah oleh pemerintah, yaitu 3 persen.4

B. Indonesia

Komoditas beras merupakan komoditas penting di Indonesia. Oleh karen itu, beras

tidak hanya digunakan sebagai instrumen ekonomi di Indonesia tetapi juga digunakan

sebagai instrumen politik internasional Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno.

Indonesia terus meningkatkan produksi beras dalam negeri dan mengirimkannya ke negara

luar, seperti India. Hal ini bertujuan untuk menapatkan dukungan dari negara-negara luar

tersebut guna mendapatkan pengakuan kedaulatan internasional.

Pada masa kepemimpinan Soeharto, kebijakan terhadap komoditas beras masih

menjadi bagian terpenting dalam kepemerintahannya. Kebijakan pada era orde baru ini

merupakan kebijakan untuk meningkatkan produksi padi dalam negeri guna menjada

ketahanan pangan dan memberantas kemiskinan. Hal ini dilaksanakan dengan

memberikan bantuan dari pemerintah penyediaan pupuk, bibit, pestisida, dan bantuan

keuangan melalui pemberian bunga rendah untuk kredit oleh petani.

Di era orde baru juga, Perusahaan Umum (perum) Badan Usaha Logistik (Bulog)

juga berdiri, yaitu pada tanggal 10 Mei 1967. Bulog menjadi suatu organisasi penting

dalam tata niaga beras di Indonesia. Bulog berfungsi sebagai stabilitator harga beras.

4 Ibid., hal. 28

6

Page 7: Rice Policy in Thailand and Indonesia

Dalam menjaga stabilisasi harga beras, Bulog menetapkan pembelian beras pada musim

panen dengan harga minimum pembelian guna menghindari adanya penurunan harga

akibat stok beras yang terlalu banyak. Selain itu, Bulog juga membeli padi dari para petani

guna menghindari petani dari kejahatan tengkulak yang membeli dengan harga rendah.

Hal ini bertujuan untuk pengadaan beras untuk konsumsi dalam negeri.

Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, dan didorong oleh investasi asing yang

cukup besar, sistem irigasi yang disempurnakan, subsidi oleh pemerintah, produksi beras

dalam negeri mencapai lebih dari 4,5 persen pada tahun 1969-1999. Pada tahun 1984 pun,

Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan oleh FAO untuk swasembada pangan di

Indonesia. Stok beras di Indonesia pun pada tahun itu mencapai 3.0 million metric ton

(MMT), yang merupakan stok beras terbanyak sepanjang sejarah organisasi FAO.

Penguatan sektor pertanian pun memberikan sumbangan besar dalam stabilisasi kondisi

sosial ekonomi Indonesia yang memberikan dampak pada pembangunan ekonomi. Sektor

pertanian pun menjadi sumbangan terbesar bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia,

yang terus bertambah rata-rata lebih dari 5,7 persen pertahun dari tahun 1978-1986.5

Krisis ekonomi pada tahun 1998 melanda Indonesia dan negara-negara Asia lainnya.

Hal ini memberikan dampak pada menurunnya kinerja sektor industri dan sektor

pertanian. Hal ini membuat pemerintah harus mengubah kebijakan beras. Hal-hal yang

dilakukan adalah :

1. memberikan sistem harga minimum (floor price) bagi pembelian padi oleh petani dan

memberikan harga maksimum (ceiling price) bagi para konsumen dalam membeli

beras. Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa harga beras terjangkau oleh

masyarakat, terutama masyarakat kalangan bawah.

2. Mengontrol import beras dengan memberikan tarif beras sebesar 30 persen (Rp

430/kilogram atau sebesar US$45/ton) pada tahun 2000

3. Memberikan subsidi langsung ke masyarakat kelas bawah, yang berupa beras miskin

(raskin) dengan mempertimbangkan kebutuhan beras secara rasional, yaitu

20kg/bulan seharga Rp 1,000/kg.

5 Mulyo Sidik, “Indonesia Rice Policy in View of Trade Liberalization”, makalah ini disampaikan pada FAO Rice Conference, Roma, Italia, 12-13 Februari 2004, hal. 3

7

Page 8: Rice Policy in Thailand and Indonesia

4. Mencari alternatif makanan pokok lain selain beras. Kekurangan stok beras dalam

negeri membuat Indonesia harus mengimpor beras dan mempengaruhi harga pasaran

dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah mencoba alyernatif lain seperti sabu, ubi,

dan makanan pokok lainnya.6

Bersamaan dengan krisis ekonomi, produksi beras Indonesia juga mengalami terjadi

penurunan produksi padi akibat El-Nino dan La Nina. Produksi beras menurun sebesar 4,5

persen dibawah produksi tahun 1996, atau 51.54 MMT. Produksi Indonesia cenderung

berada di bawah jumlah produksi tahun-tahun sebelumnya. Impor beras di Indonesia pun

meningkat mencapai 1.5 MMT pertahun dari tahun 1995-1997 menjadi lebih dari 3.0

MMT pertahun dari tahun 1998-2001. Presentasi impor beras Indonesia pun meningkat

pertahun dari tahun 1995-1998, yait sebesar 4.3 persen hingga 9 persen pertahunnya.

Tingkat impor beras pun mencapai tingkat tertingginya, yaitu tahun 2002, yang mencapai

3,8 juta ton/tahun, dengan tingkat ketergantungan impor hampir 11%.

6 Ibid., hal. 4-5

8

Page 9: Rice Policy in Thailand and Indonesia

Tabel 1.2 Produksi, Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada dan

Ketergantungan impor: Rataan 4 periode 1995-2005

Rataan/

TahunProduksi Impor Ekspor

Tingkat

Swasembad

a (%)

Tingkat

Ketergantun

gan Impor

(%)

1995-1997 32,252 1,920.1 3.5 94.6 5.4

1998-1999 31,633 3,844.9 4.2 89.3 10.7

2000-2003 32,356 1,310.0 2.9 96.1 3.9

2004-2005 34,174 205.5 21.6 99.5 0.5

Sumber : Ekspor/impor dihitung dari data Neraca Bahan Makanan BPS (berbagai

tahun) dan makalah BPS di Rakornas Inpres di Yogya tgl 1-2 Mei 2006. Lainnya, dari

Statistik Indonesia BPS

Namun, impor beras menurun pada periode 2004-2005. Hal ini dikarenakan impor

beras menimbukan efek yang negatif terhadap komoditas beras Indonesia yang membuat

pemerintah memberikan kontrol ketat terhadap impor beras. Impor beras hanya bisa

dilakukan 2 bulan sebelum dan sesudah masa panen, yaitu pada bulan Februari hingga Mei

tiap tahunnya. Selain itu, pemerintah juga untuk memberikan tarif impor yang lebih

tinggi, yaitu sebesar Rp 510.-/kg atau US $55/ton. Hal ini bertujuan untuk melindungi

petani domestik dari beras-beras impor yang harganya jauh lebih murah. Akan tetapi

Bulog masih harus terus mengimpor beras demi memenuhi kebutuhan pangan dalam

negeri karena pada faktanya stok beras Indonesia tidak mencukupi.

C. Kesimpulan

Pemerintah Thailand dan Indonesia memiliki kebijakan yang jauh berbeda dalam

mengatur komoditas berasnya. Kebijakan beras di Thailand lebih diprioritaskan untuk

ekspor. Akan tetapi, kebutuhan beras di dalam negeri juga masih dipenuhi oleh pemerintah

Thailand. Lahan negara ditanami beras untuk kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu,

sisanya baru kemudian untuk dikespor. Untuk menjaga jumlah ekspor beras Thailand,

9

Page 10: Rice Policy in Thailand and Indonesia

sebagai negara pengekspor beras terbanyak di dunia, biasanya memproduksi beras

sebanyak 2X lipat dari produksi beras untuk komoditas dalam negeri. Pada awal tahun

Pemerintah Thailand mengestimasi berapa kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu

kemudian baru Pemerintah Thailand mengestimasi berapa jumlah produksi beras

keseluruhannya. Dan dalam realisasinya, estimasi Pemerintah Thailand bisa terlaksana

dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari tabel 1.3.

Berbeda dengan Pemerintah Thailand, kebijakan beras Indonesia lebih diprioritaskan

untuk dikonsumsi (Maize Rice). Menurut data dari Asean Food Security Information

System (AFSIS), Indonesia menempati peringkat pertama dalam memproduksi beras untuk

dikonsumsi yang disusul Filipina, Thailand dan Vietnam. Untuk pengekspor Maize Rice

sendiri, negara Thailand menduduki peringkat pertama yang disusul Kamboja dan Laos.7

Kebijakan yang ditempuh dalam mengatur komoditas di dalam kedua negara pun

lebih menggunakan kebijakan harga. Karena lebih memprioritaskan untuk eskpor, harga

beras Thailand bisa dibilang cukup murah dibandingkan Indonesia, yakni US$180 atau

setara dengan Rp1.600.-/kg untuk beras kualitas bagusnya. Sedangkan di Indonesia, harga

minimum pembelian padi sebesar Rp 1,500.- /kg sampai Rp 1,700,-/kg dengan harga beli

gerabah pun menjadi Rp 2,750.-/kg8. Dari kebijakan harga yang ada, dapat disimpulkan

bahwa Pemerintah Indonesia menetapkan harga yang tinggi tersebut semata-mata untuk

melindugi petani Indonesia, akan tetapi tidak diikuti oleh perbaikan kualitas padi. Berbeda

dengan Pemerintah Thailand yang menjual beras diatas harga pasar namun terdapat

jaminan kualitas akan beras tersebut.

Masalah ketahanan pangan dikedua negara tersebut, Pemerintah Indonesia

tampaknya masih harus belajar banyak kepada Pemerintah Thailand. Dengan kebutuhan

dalam negeri yang lebih banyak, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia meningkatkan

lagi produksinya. Akan tetapi, produksi yang dibuat Pemerintah Indonesia masih bersifat

pas-pasan, sehingga stok persediaan dalam negeri pun hanya sedikit. Berbeda dengan

Indonesia, Pemerintah Thailand selalu menyediakan stok setidaknya seetengah dari

kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2009, Pemerintah Thailand menyediakan stok dalam

negeri sebesar 6,251,800 ton untuk kebutuhan dalam negeri sebesar 11,267,000 ton.

7 ASEAN Food Security Information and Training (AFSIT) Center Office of Agricultural Economics (OAE), “Asean Food Security Information System (AFSIS) Project Report on ASEAN Agricultural Commodity Outlook” , ASEAN Food Security Information and Training (AFSIT) Center Office of Agricultural Economics (OAE), 2009, hal.78 Mulyo Sidik, Opcit., hal. 8

10

Page 11: Rice Policy in Thailand and Indonesia

Sedangkan tahun 2010, Pemerintah Thailand menyediakan stok nya sebesar 7,374,217 ton

untuk kebutuhan yang diperkirakan sebesar 11,767,000 ton. Hal ini bisa dilihat pada tabel

di bawah ini.

Country

Supply Demand

Beginning

StockProduction

Import

sTotal

Domestic

UtilizationExports

Ending

stockTotal

Indonesi

a

1,172,435 40,346,922 186,438 41,705,795 38,433,251 2,897 3,269,64

7

41,705,795

Thailand 6,251,800 20,889,417 Nil 27,141,217 11,267,000 8,500,000 7,374,21

7

27,141,217

Tabel 1.3 Keseimbangan Produksi Beras Indonesia, Thailand 2009 (dalam ton)

Sumber : diolah dari AFSIS

Bisa disimpulkan bahwa Pemerintah Thailand masih memperhatikan kebutuhan

beras dalam negerinya walaupun komoditas beras Thailand lebih diprioritaskan untuk

ekspor. Sedangkan Indonesia, tampaknya Indonesia masih belum bisa memenuhi

ketahanan pangan dalam negeri. Produksi yang dibuat sebatas hanya untuk dikonsumsi

langsung pada tahun tersebut.

11

Page 12: Rice Policy in Thailand and Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN Food Security Information and Training (AFSIT) Center Office of Agricultural Economics (OAE). Asean Food Security Information System (AFSIS) Project Report on ASEAN Agricultural Commodity Outlook. 2009. Bangkok : ASEAN Food Security Information and Training (AFSIT) Center Office of Agricultural Economics (OAE) Ministry of Agriculture and Cooperatives

Mulyo Sidik. Indonesia Rice Policy in View of Trade Liberalization. 2004. makalah ini disampaikan pada FAO Rice Conference, Roma, Februari, 2004.

Sara Forsell. 2009. Rice Price Policy in Thailand : Policy Making and Recent Development. Tesis Departemen Ekonomi Universitas Lund

World Bank. 2008. Laporan Pembangunan 2008 : Pertanian Untuk Pembangunan. Jakarta : Salemba Empat

Institue for Global Justice. Pengaruh FTA terhadap Pertanian. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:EEE6cGuu2pEJ:www.globaljust.org/index.php%3Foption%3Dcom_content%26task%3Dview%26id%3D387%26Itemid%3D164%26lang%3Did+jumlah+buruh+sektor+pertanian+di+ASEAN&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id (diunduh 7 Mei 2010)

12