RI DPR PELAKSANAAN...Sumber referensi berupa peraturan perundangan, kajian dan artikel terkait...
Transcript of RI DPR PELAKSANAAN...Sumber referensi berupa peraturan perundangan, kajian dan artikel terkait...
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 1
ANALISIS BESARAN DAN PENGELOLAAN PIUTANG PAJAK
SUMMARY
Piutang pajak merupakan potensi penerimaan negara. Namun faktanya upaya
pengelolaan piutang pajak belum maksimal. Hal ini ditunjukkan dari tiga aspek
yaitu pencatatan secara teknis akuntansi, penghapusan dan penagihan piutang
pajak. Permasalahan – permasalahan dalam pencatatan transaksi piutang pajak
terjadi akibat Direktorat Jenderal Pajak belum memiliki kebijakan akuntansi
yang formal dan tertulis mengenai piutang pajak. Dari sisi penghapuasan
piutang pajak, pemerintah telah memperpanjang masa daluarsa penghapusan
pajak dari lima tahun menjadi sepuluh tahun. Ini berarti kesempatan untuk
melakukan penagihan semakin besar. Peningkatan jumlah piutang pajak masih
belum dapat diimbangi dengan kegiatan pencairannya. Karena itu perlu
dilakukan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang
memaksa
Permasalahan ketidakadilan dalam bidang perpajakan merupakan isu yang
cukup serius mengingat persoalan keadilan dapat terjadi pada tahap
pemungutan, pemeriksaan, maupun keberatan dan banding oleh wajib pajak.
Hingga sekarang BPK tidak bisa mendapat keyakinan yang cukup mengenai
wajar atau tidaknya penerimaan dan piutang pajak karena keterbatasan
pemeriksaan atas pajak. Karena itu ,DPR berkewajiban mendukung BPK dengan
berbagai produk undang-undang untuk membuka akses BPK terhadap pajak.
Dengan demikian diharapkan BPK dapat memeriksa pajak dengan lebih
mendalam sehingga nilai penerimaan pajak dan piutang pajak dapat diyakini
kewajarannya.
Apabila piutang pajak dapat dikelola dengan baik maka dapat menambah
penerimaan pajak negara.
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Hingga tahun 2007
sekitar 65,4% dari penerimaan dalam negeri berasal dari penerimaan
perpajakan sedangkan sisanya sebesar 34,6% disumbang oleh
penerimaan negara bukan pajak.1 Namun pada tahun anggaran 2005
target penerimaan perpajakan tidak tercapai. Realisasi penerimaan
perpajakan dalam TA 2005 adalah sebesar Rp347.031.113.925.042 yang
berarti Rp4.942.516.074.958 atau 1,4 persen lebih rendah dari target
yang direncanakan dalam APBN sebesar Rp351.973.630.000000.2
Salah satu sebab tidak terpenuhinya target penerimaan perpajakan tahun
2005 adalah adanya potensi piutang pajak yang tidak dapat
ditarik/ditagih. Hasil pemeriksaan terhadap LKPP tahun 2005
menunjukkan bahwa piutang pajak yang dikelola oleh Ditjen Pajak adalah
sebesar Rp29.216.416,29 juta. Akun tersebut dalam LKPP 2005 tercatat
sebagai asset lancar. Dari data tersebut, piutang pajak merupakan potensi
penerimaan negara yang besar jika dikelola dengan baik. Seandainya
piutang sebesar Rp 29 trilyun tersebut dapat tertagih maka akan
menambah penerimaan negara. Penambahan penerimaan tersebut dapat
dialokasikan untuk menutup defisit anggaran atau menambah belanja
program pengentasan pengangguran dan kemiskinan.Tentunya hal
tersebut jika aparatur pajak mampu mengelola piutang pajak dengan baik
dan wajib pajak sadar akan kewajibannya untuk membayar pajak.
Beberapa permasalah terkait dengan pengelolaan piutang pajak yaitu :
a. Pengungkapan informasi piutang pajak dalam tahun 2005 kurang
memadai sehingga ada piutang yang kurang dicatat
b. Tidak adanya mekanisme untuk memvalidasi pencatatan transaksi
pengurang piutang pajak
1 Nota Keuangan dan RUU APBN Tahun Anggaran 2007 2 Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2005
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 3
Berdasarkan uji petik pada beberapa KPP (Kantor Pelayanan Pajak) di
Jakarta diketahui bahwa masih dijumpai adanya piutang Pajak yang
bersaldo negative sebesar Rp 15.855,86 juta seperti disajikan pada tabel
1.1.
Tabel 1.1. Piutang Pajak Bersaldo Negatif
KPP Nilai (dalam juta rupiah)
BUMN 13.389,44
PMA III 303,480
Jakarta Tamansari I 641,37
Jakarta Grogol
Petamburan
1.521,56
Jumlah 15.855,86
Sumber : LKPP 2005
Piutang pajak bersaldo negative terjadi akibat kelemahan pencatatan
tersebut terjadi karena tidak adanya mekanisme untuk menvalidasi
pencatatan transaksi pengurang Piutang Pajak . Atas satu ketetapan pajak
dilakukan pengurangan lebih dari satu kali, baik melalui pembayaran,
pemindahbukuan atau karena Surat Keputusan keberatan/banding yang
mengurangi jumlah pajak yang masih harus dibayar. Akibatnya,
pengurangan atas satu Piutang Pajak melebihi jumlah piutang pajaknya.
Hal tersebut mengakibatkan nilai Piutang Pajak yang tercatat dalam
Neraca Departemen Keuangan Tahun 2005 dan Neraca Pemerintah Pusat
per 31 Desember 2005 sebesar Rp 29.216.456,29 juta belum dapat
diyakini kewajarannya.
Permasalahan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah :
a. Seberapa besar potensi piutang pajak
b. Bagaimana pengelolaan piutang pajak
c. Apakah strategi yang dapat dilakukan oleh DPR
Tulisan ini mencoba memaparkan piutang pajak dari ketiga permasalahan
di atas berdasarkan peraturan perundangan perpajakan dan teknis
akuntansinya.
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 4
1.2. Landasan Hukum
Akuntansi yang berkaitan dengan perhitungan perpajakan dan mengacu
pada peraturan dan perundang-undangan perpajakan beserta aturan
pelaksanaannya disebut akuntansi pajak. Dengan demikian segala
transaksi keuangan yang berkenaan dengan pajak harus mengacu kepada
peraturan mengenai perpajakan. 3
Landasan hukum dalam pengelolaan piutang pajak yaitu :
UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan
Pasal 22
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau
waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
yang bersangkutan.
(2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tertangguh apabila :
a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung
maupun tidak langsung
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana di
maksud dalam pasal 15 ayat (4)
Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya
penghapusan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa
PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
3 Muljono, Djoko “ Akuntansi Pajak” Penerbit Andi Yogyakarta, 2006
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 5
Keputusan Menteri Keuangan No.539/KMK.03/2002 tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak
dan Penetapan Besarnya Penghapusan
1.3. Landasan Teori
Piutang adalah klaim entitas pemerintah atas uang, barang-barang atau
jasa terhadap pihak-pihak Jenis-jenis piutang dalam neraca Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) terdiri dari :
1. Piutang Pajak
2. Piutang Bukan Pajak
3. Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran
4. Bagian Lancar Tagihan Tuntutan Ganti Rugi
5. Piutang Lain-lain
Pencatatan piutang :
Piutang dicatat sebesar nilai nominal 4. Sebagai bagian dari aset lancar
piutang disusun berdasarkan tingkat kolektibilitas.
Penghapusan piutang :
Terhadap piutang yang kemungkinan nya tidak tertagih dapat dibentuk
penyisihan piutang ragu-ragu / allowance for doubt full expense. Apabila
piutang elah melewati masa daluwarsa penagihan maka dapat dihapus.
Masa daluwarsa penagihan piutang tergantung kebijakan masing-masing
perusahaan. Dalam hal piutangpajak masa daluwarsanya adalah 10
tahun.
Tujuan dari penyusunan prosedur piutang secara umum adalah :
1. Untuk memberikan prosedur yang baku atas aktivitas yang berkaitan
dengan perolehan informasi mengenai piutang dari pengakuan sampai
proses penyelesaian piutang.
4 PP No 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 6
2. Memberikan informasi yang tepat mengenai jumlah piutang yang
dimiliki pemerintah sehingga dapat diperhitungkan seberapa besar
penyisihan kerugian piutangnya.
3. Sebagai informasi pendukung bagi pemerintah dalam mengkonfirmasi
jumlah piutang yang dimilikinya kepada pihak ketiga.
Penyusunan prosedur piutang tersebut sesuai dengan tujuan akuntasi
pemerintah pusat berikut : 5
1. Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang anggaran
dan kegaitan keuangan pemerintah pusat baik secara nasional maupun
instansi yang berguna sebagai dasar penilaian kinerja, untuk
menentukan ketaatan terhadap otorisasi anggaran dan untuk tujuan
akuntabilitas.
2. Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang posisi keuangan
suatu instansi dan pemerintah pusat secara memadai.
1.4. Metodologi Penulisan
1.4.1. Tujuan
Penulisan “ Pengelolaan Potensi Piutang Pajak” bertujuan :
a. Mengetahui seberapa besar potensi piutang pajak
b. Mengetahui bagaimana pengelolaan piutang pajak
c. Melihat strategi apa yang dapat dilakukan DPR
1.4.2. Output
Laporan hasil analisa pengelolaan potensi piutang pajak
1.4.3. Metode Analisa
Metode yang digunakan adalah metode analisa deskriptif dan kuantitatif.
Sumber referensi berupa peraturan perundangan, kajian dan artikel
terkait dengan materi penulisan.
5 Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan No.59/PMK.06/2005
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 7
1.4.4. Waktu Penulisan
Waktu No
Keterangan
Januari Pebruari
Maret
1. Persiapan On The Job Training
2.
Pembentukan kelompok dan
pemilihan topik penulisan
3. Pembuatan proposal dan
outline penulisan
4. Pengumpulan dan pengolahan
data
5. Pembuatan draft laporan
6. Penyempurnaan laporan
7. Penyerahan laporan final
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 8
BAB II
ANALISIS
2.1. Potensi Piutang Pajak
Piutang pajak merupakan potensi penerimaan pajak yang tidak dapat
terealisasi akibat wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya
membayar pajak. Hasil pemeriksaan terhadap LKPP tahun 2005 dan 2004
menunjukkan bahwa piutang pajak yang dikelola oleh Ditjen Pajak
masing-masing adalah Rp 29.216.456.291.000 dan Rp
28.964.985.918.280. Piutang pajak tersebut adalah tagihan pajak yang
telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, akan tetapi
belum dilunasi sampai dengan tanggal 31 Desember 2005 dan 31
Desember 2004, termasuk piutang PBB dan BPHTB. Perincian besarnya
tunggakan –tunggakan tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Rincian Piutang Pajak
Tunggakan Akhir Tahun (Rp) Jenis Pajak
2005 2004 %
Pajak Penghasilan 15.120.084.766.000
- Rupiah 12.755.596.198.000
- USD 2.364.488.568
PPN dan PPnBM 9.871.858.934.000
- Rupiah 9.871.720.676.000
- USD 138.258.000
Bunga Penagihan 795.114.840.000
- Rupiah 666.420.924.000
- USD 128.693.916.000
25.960.020.347.280 -0,67%
PBB 3.148.269.416.000
2.766.539.776.000
13,80%
BPHTB 281.128.335.000
238.425.795.000
17,91%
Jumlah Piutang Pajak 29.216.456.291.000
28.964.985.918.280
0,87%
Total Piutang 72.828.004.154.348
31.658.169.686.402
130,04%
Total Penerimaan
Perpajakan 346.859.857.269.794
280.897.641.240.000
23,48%
% Piutang Pajak
terhadap total Piutang 40% 91% -
% Piutang Pajak
terhadap Penerimaan
Perpajakan
8% 10% -
Sumber : LKPP 2005 dan 2004, diolah
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 9
Piutang pajak mendominasi akun piutang dalam neraca LKPP. Data
menunjukkan bahwa sebagian besar piutang (91%) didominasi oleh
piutang pajak. Sedangkan dari total aset lancar
(Rp128.551.436.803.753), sebesar 22,7% merupakan piutang pajak. Ini
menunjukkan betapa besar potensi penerimaan pajak. Pada tahun 2005
piutang pajak mengalami penurunan persentase yang sangat signifikan
terhadap total piutang dari 91% menjadi 40%. Namun, penurunan
tersebut bukan disebabkan adanya penerimaan piutang pajak yang berarti
menambah kas negara. Karena ternyata secara nominal piutang pajak
justru bertambah sebesar Rp1 trilyun dari Rp28 trilyun menjadi Rp29
trilyun pada tahun 2005. Penurunan persentase piutang pajak tersebut
lebih disebabkan adanya peningkatan pada akun piutang bukan pajak
yang pada tahun 2004 hanya sebesar Rp 918.886.706.165 sedangkan
tahun 2005 meningkat sangat signifikan menjadi Rp 37.025.156.608.440.
Persentase piutang pajak terhadap penerimaan pajak pada tahun 2004
dan 2005 mengalami penurunan sebesar 2%. Bila pada tahun 2004 rasio
piutang pajak terhadap penerimaan pajak sebesar 10% maka pada tahun
2005 turun menjadi 8%.
Berdasarkan jenis pajaknya, Pada tahun 2005 piutang PPH merupakan
pajak terbesar yaitu sebesar 52% . Namun dalam LKPP tidak dirinci lebih
lanjut besarnya masing-masing piutang PPH badan (berapa pemerintah
dan berapa swasta), piutang PPh perorangan. Sedangkan PPN sebesar
34%.
Selain itu dalam LKPP 2005 juga disebutkan bahwa terdapat piutang pajak
tak tertagih yang sudah kadaluarsa senilai Rp 2.236.747,55 juta. Dengan
kelemahan ini maka nilai piutang pajak pada LKPP 2005 tidak dapat
diyakini kebenarannya.
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 10
2.2. Analisa Penyebab Timbulnya Piutang Pajak
Pajak Penghasilan (PPh)
- Piutang pajak yang timbul karena kekurangan PPh badan akibat
harga pokok penjualan terlalu besar dibebankan. Dengan
mengenakan HPP yang besar maka pendapatan bersih sebagai
dasar pengenaan pajak menurun juga. PPH yang wajib dibayarkan
menurun.
- Piutang pajak yang timbul karena kekurangan PPh badan akibat
adanya peredaran usaha kurang dilaporkan. Ini menyebabkan nilai
penjualan menurun sehingga mengurangi pendapatan dan akhirnya
pajak yang dikenakan menurun.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM)
- Objek PPh pasal 26 berupa royalti yang telah dipotong PPh pasal 26
tetapi belum dipungut PPN Jasa Luar Negeri. Akibatnya ada
tunggakan PPN.
- Fiskus kurang menetapkan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) PPn BM
Dalam Negeri atas penjualan kendaraan dan fiskus juga kurang
menetapkan DPP PPn BM atas pembelian impor kendaraan dalam
bentuk CBU (Completed Build Up) pada tahun pajak 2003 dan
tahun pajak 2004. Implikasinya adalah DPP menjadi kecil sehingga
PPN dan PPnBM yang dikenakan juga lebih kecil dari seharusnya.
PBB & BPHTB
- Tunggakan PBB yang belum diterbitkan Surat Tagihan Pajaknya.
Dengan belum diterbitkan STP wajib pajak belum berkenan
membayar kewajiban pajaknya.
- Pengelolaan BPHTB belum dilaksanakan secara optimal meliputi (1)
kesalahan penerapan NJOP sebagai perhitungan BPHTB sehingga
BPHTB kurang bayar dan (2) adanya sanksi/denda administrasi
terhadap notaris/PPAT yang belum dikenakan sehinga kurang
bayar. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan
BPHTB kadang dalam praktiknya tidak dipatuhi.
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 11
- Wajib pajak belum memperhitungkan denda atas Pelunasan Bea
Materai. Dengan tidak diperhitungkannya denda tersebut maka
timbul tunggakan pajak.
Bunga penagihan :
Beberapa kohir yang telah lewat jatuh tempo pembayaran namun belum
diterbitkan STP sehingga timbul bunga penagihan yang belum terbayar.
2.3. Pengelolaan Piutang Pajak
Pengelolaan piutang pajak meliputi mekanisme pencatatan, penghapusan
serta upaya penagihan piutang pajak.
2.3.1. Pencatatan Piutang Pajak
Tidak seperti akun-akun lain pada neraca, dalam PP No 24 tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tidak dijelaskan secara detail
mengenai perlakuan akuntansi pemerintah terhadap piutang secara umum
maupun piutang pajak khusus. Hingga saat ini tidak ada pernyataan
standar akuntansi pemerintah yang secara khusus membahas mengenai
piutang. Dengan mengikuti prinsip ”substance over form ” yaitu substansi
mengungguli sisi formalitasnya maka perlakuan akuntansi terhadap
piutang pajak tersebut dapat mengacu pada standar akuntansi keuangan
komersial atau yang biasa disebut SAK.
Sesuai standar akuntansi keuangan, piutang pada neraca harus dicatat
berdasarkan tingkat kolektibilitasnya. Namun, pencatatan piutang pajak
oleh pemerintah belum memadai. Sebagai aset lancar, seharusnya
piutang pajak dicatat berdasarkan tingkat kolektibilitasnya. Dengan kata
lain seharusnya dalam catatan atas laporan keuangan pemerintah
membuat aging schedule atas tagihan pajak yang dimilikinya. Semakin
lama umur piutang pajak maka semakin besar kemungkinan tidak
tertagihnya. Dengan demikian dapat diketahui berapa piutang pajak yang
dapat ditagih hingga yang sulit ditagih. Aging schedule tersebut dapat
dibuat per jenis pajak dan sekaligus per wajib pajak. Dengan demikian
dapat diketahui siapa wajib pajak yang paling sering menunggak pajak.
Selain itu jika aging schedule dibuat berdasarkan per jenis pajak maka
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 12
dapat didirencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk masing-
masing jenis pajak.
Piutang yang tidak dapat ditagih juga harus diungkapkan . Namun pada
neraca dan catatan atas laporan keuangan (CALK) 2005 tidak
mengungkapkan piutang pajak tidak tertagih yang sudah kadaluarsa
senilai Rp2.236.747,55 juta.
Dalam pencatatnnya Pemerintah seharusnya mengungkap allowances for
doubt full account atau penyisihan piutang ragu-ragu . Penyisihan tersebut
sebagai pengurang atas nilai piutang nominal. Hal ini perlu dibuat untuk
mengetahui berapa nilai piutang yang sebenarnya dapat tertagih.
Penetapan kurs sebagai dasar konversi juga sangat penting dalam
pencatatan pajak karena piutang pajak tidak hanya dalam bentuk mata
uang rupiah. nilai piutang pajak dalam bentuk valuta asing pun cukup
besar. Sayangnya, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak
belum menetapkan kurs sebagai dasar konversi per 31 Desember . Yang
ada hanya peraturan mengenai kurs pajak sebagai dasar pembayaran
dimana peraturan tersebut berlaku hanya untuk satu minggu dan
sesudahnya dibuat peraturan yang baru kembali. Kelemahan ini
mengakibatkan tidak adanya keseragaman bagi KPP untuk mengkonversi
tunggakan pajaknya ke dalam mata uang rupiah sesuai pembukuan dalam
laporan keuangan. Bagi DJP sendiri kondisi di atas akan menyulitkan
untuk menyajikan kondisi atau data piutang pajak yang sebenarnya. Hasil
pemeriksaan menunjukkan bahwa jumlah saldo Piutang Pajak per 31
Desember 2005 dalam valuta asing disajikan dalam Neraca Departemen
Keuangan Tahun 2005 sebesar Rp. 2.493.320,75 juta (US $
277,035,639.00 x @ Rp 9.000,00). Berdasarkan pemeriksaan atas nilai
kurs tengah BI pada tanggal 31 Desember 2005 diketahui bahwa US$ 1 =
Rp. 9.830,00 sehingga jumlah piutang tersebut kurang dicatat sebesar
Rp. 229.939,58 juta.
Selain penyisihan piutang ragu-ragu, transaksi yang dapat menyebabkan
berkurangnya nilai piutang pajak antara lain pembayaran,
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 13
pemindahbukuan atau karena surat keputusan keberatan/banding yang
mengurangi jumlah pajak yang terutang. Namun, tidak adanya
mekanisme untuk memvalidasi pencatatan transaksi tersebut
menyebabkan piutang pajak menjadi bersaldo negatif.
Permasalahan – permasalahan dalam pencatatan transaksi piutang pajak
tersebut terjadi akibat Direktorat Jenderal Pajak belum memiliki kebijakan
akuntansi yang formal dan tertulis mengenai piutang pajak.
2.3.2. Penghapusan Piutang Pajak
Kebijakan penghapusan piutang pajak mengacu kepada UU No 16 tahun
2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan serta Keputusan Menteri
Keuangan No.539/KMK.03/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan.
Dalam pasal 22 KUP , Pemerintah telah mengubah masa daluarsa pajak
dari lima tahun menjadi 10 tahun sesudah saat pajak terutang,
berakhirnya masa pajak dan bagian tahun pajak. Namun penagihan dapat
dilakukan jika ditemukan data baru dan informasi yang semula belum
terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak terutang.
Selain terlampauinya masa daluwarsa, penghapusan piutang pajak
dilakukan terhadap WP orang pribadi yang meninggal dunia termasuk ahli
warisnya namun aset yang disita Ditjen Pajak tidak mencukupi untuk
menutupi jumlah tunggakan pajak.
Berdasarkan pasal 90 ayat 2 UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas,
direksi suatu perseroan bertanggung jawab secara pribadi sampai kepada
harta pribadi untuk menutup kekurangan melunasi utang perseroan. Ini
berlaku jika perseroan tersebut pailit karena kesalahan atau kelalaiannya.
Untuk WP badan, penghapusan pajak dilakukan terhadap perusahaan
yang bangkrut atau pailit dan bubar. Terhadap WP yang mengalami
kebangkrutan Ditjen Pajak mengalami kesulitan penarikan piutang.
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 14
Meskipun telah dilakukan penyitaan namun jumlah aset yang dimiliki WP
Badan tersebut tidak dapat menutupi kewajiban.
Berdasarkan hasil penelitian setempat atau penelitian administrasi, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan PBB menyusun
Daftar Usulan PenghapusanPiutang Pajak pada setiap bulan Juni dan
Desember. Daftar usulan tersebut selanjutnya disampaikan kepada Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya pada bulan
berikutnya setelah bulan dilakukan penyusunan daftar usulan
penghapusan. Kemudian oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak diserahkan kepada Ditjen Pajak. Selanjutnya Ditjen Pajak
menyampaikan daftar usulan penghapusan piutang kepada pajak kepada
Menteri Keuangan, kemudian Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan
Menteri Keuangan mengenai penghapusan piutang pajak.
Dengan perpanjangan masa daluarsa penghapusan pajak dari lima tahun
menjadi sepuluh tahun berarti kesempatan untuk melakukan penagihan
semakin besar.
2.3.4. Penagihan Pajak
Perkembangan jumlah tunggakan pajak menunjukan jumlah yang
semakin besar. Namun peningkatan jumlah piutang pajak masih belum
dapat diimbangi dengan kegiatan pencairannya. Karena itu perlu
dilakukan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum
yang memaksa. Tindakan penagihan pajak didasarkan pada UU No 19
tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No 19 tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak denagn Surat Paksa.
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penegihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 15
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah
disita.6
Dari definisi tersebut dapat kita lihat bahwa upaya penagihan pajak
meliputi beberapa tahap mulai dari yang paling ringan berupa surat
teguran hingga paling berat berupa penyitaan barang milik wajib pajak.
Aparatur Pajak tidak serta merta menerbitkan surat paksa kepada wajib
pajak untuk melunasi tunggakan pajaknya.
Apabila penanggung pajak tidak melunasi tunggakan pajaknya sampai
dengan tanggal jatuh tempo pembayaran maka kepadanya diterbitkan
surat teguras, surat peringatan atau surat lain yang sejenis. Jika
penanggung pajak tetap tidak melunasi utangnya maka kepadanya
diterbitkan surat paksa dimana dalam surat paksa tersebut dimuat dasar
penagihan, besarnya utang pajak dan perintah untuk membayar.
Penyitaan dilaksanakan jika utang pajak tidak dilunasi dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan dalam surat paksa . Penyitaan dilakukan
terhadap barang milik penanggung pajak baik barang bergerak maupun
barang tidak bergerak.
Penerapan paksa badan (gijzeling) terhadap wajib pajak yang membandel
merupakan upaya Ditjen Pajak untuk meningkatkan kesadaran wajib
pajak membayar pajak. Sebelum diajukan ke Menteri Keuangan Ditjen
Pajak mengakji usulan paksa badan. Berdasarkan surat keputusan
bersama antara Menteri Keuangan dan Kehakiman para penunggak dapat
dicekal jika sudah memenuhi 12 tahap cekal yang disetujui Menteri
Keuangan. Sebanyak dua tahapan dilakukan oleh Departemen Keuangan,
10 tahap berikutnya dilakukan oleh Ditjen Pajak. Penerapan paksa badan
terbuktidapat meningkatkan penerimaan perpajakan.
Dalam ketentuan peraturan perundangan yang baru mengenai penagihan
pajak telah terdapat ketegasan dalam hal :
6 UU No 19 Tahun 2000 Pasal 1 angka 9
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 16
- proses pelaksanaan penagihan pajak serta jangka waktu pelaksaan
penagihan aktif. Selain itu, biaya penagihan pajak juga dipertegas
dengan mendasarkan atas persentase tertentu dari hasil penjualan.
- Dalam hal lelang, ditentukan pula barang-barang milik wajib pajak
yang tidak boleh dilelang.
2.3.5. Permasalahan dalam piutang pajak
Permasalahan dalam utang piutang pajak yang paling dirasakan oleh
wajib pajak adalah permasalahan ketidakadilan bagi wajib pajak.
Permasalahan ketidakadilan dalam bidang perpajakan merupakan isu
yang cukup serius mengingat persoalan keadilan dapat terjadi pada tahap
pemungutan, pemeriksaan, maupun keberatan dan banding oleh wajib
pajak.
Beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai melanggar rasa
keadilan wajib pajak adalah :
Apabila wajib pajak mengajukan permohonan restitusi kepada kantor
pajak dan berdasarkan hasil pemeriksaan aparat pajak ternyata terjadi
kurang bayar maka wajib pajak menanggung konsekuensi dikenai denda
100% dari utang pajak yang terutang . Diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak (SKP) oleh aparat pajak meskipun dalam proses pemeriksaan masih
terdapat perbedaan pendapat antara wajib pajak dengan aparat pajak.
Permasalahan lain adalah pada proses penetapan utang pajak yang sering
diputuskan secara sepihak oleh aparat pajak . Sebagian besar sengketa
pajak yang timbul karena utang pajak yang ditetapkan secara sepihak
oleh fiskus tanpa memperhatikan bukti yang diajukan oleh wajib pajak.
Pada proses penetapan utang pajak sering terjadi perbedaan pendapat
antara wajib pajak dan aparat pajak. Perbedaan bisa terjadi karena
perbedaan dalam interpretasi terhadap peraturan, perbedaan dalam
melihat bukti, dsb. Apabila persengketaan hingga pengadilan maka wajib
pajak harus membayar 50% dari utang pajak yang dipersengketakan.
Keputusan pengadilan pajak sering memberatkan wajib pajak. Wajib
pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas utang pajak
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 17
tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak. Pengajuan keberatan bersifat
quasi peradilan karena pihak yang memeriksa dan memutus sengketa
antara wajib pajak dengan Direktur Jenderal Pajak bukan pihak yang
independen tapi pihak Direktur Jenderal Pajak sendiri. Selain itu,
pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar utang pajak
tersebut. Dalam asas hukum, setiap sengketa yang sedang diproses di
pengadilan tidak dibenarkan adanya perbuatan hukum yang akan
mempunyai akibat hukum terhadap objek yang dipersengketakan. Bila
akhirnya persengketaan utang pajak tersebut dilakukan banding hingga
Pengadilan Pajak maka wajib pajak diminta untuk melunasi minimal 50%
dari pajak terutang agar dapat diproses permohonan bandingnya. Hal
tersebut tentunya memberatkan wajib pajak.
2.4. Peranan DPR
Selama ini pemeriksaan pajak oleh BPK terhambat oleh beberapa
ketentuan untuk melaksanakan audit atas penerimaan pajak, antara lain
pasal 34 UU No 6/1983 tentang Tata Cara Perpajakan yang kemudian
diikuti oleh Surat Menkeu kepada BPK No.1022/MK.013/1990 yang
dipertegas dengan Surat Dirjen Pajak No.S198/PJ/1998 dan No
SR296/PJ/1999 perihal dokumen-dokumen perpajakan yang dapat
diperiksa oleh BPK. Dengan adanya berbagai peraturan tersebut BPK tidak
bisa mengaudit Ditjen Pajak tanpa ijin Menteri Keuangan sehingga BPK
tidak dapat melakukan pemeriksaan pajak sesuai dengan standar BPK .
BPK hanya bisa mengakses data wajib pajak asalkan wajib pajak sudah
memasuki proses penyidikan yakni dalam status tersangka. Dengan
peraturan-peraturan yang ada di Indonesia, menurut Ketua BPK Anwar
Nasutiom BPK merupakan satu-satunya negara di dunia dimana lembaga
auditnya tidak dapat mengaudit penerimaan pajak dengan alasan pajak
bukan merupakan objek pemeriksaan.7 Hal ini mengakibatkan BPK sampai
sekarang tidak bisa mendapat keyakinan yang cukup mengenai wajar
atau tidaknya penerimaan dan piutang pajak.
7 Harian Ekonomi Neraca, 10 Januari 2007
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 18
DPR sebagai lembaga legislative tentunya dituntut untuk berperan lebih
dalam membantu mengatasi persoalan tersebut. Upaya yang dapat
dilakukan DPR adalah dengan membuka akses BPK secara luas terhadap
perpajakan dengan memasukkan beberapa klausul RUU Pajak yang saat
ini sedang dibahas di DPR.
DPR berkewajiban mendukung BPK dengan berbagai produk undang-
undang untuk mengungkap indikasi kebobrokan di Ditjen Pajak. Masalah
ini sebenarnya telah menjadi concern DPR seperti diungkapkan oleh Ketua
DPR bahwa minimnya keterbukaan terhadap informasi menjadi salah satu
sebab rendahnya rasio pajak. Rasio pajak terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) hanya 13% tak sebanding dengan potensinya. Dengan
keterlibatan BPK, rasionya diharapkan meningkat. 8
Salah satu upaya yang ditempuh DPR adalah dengan melakukan
pembahasan amandemen UU perpajakan bersama dengan pemerintah.
Pokok-pokok perubahan dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan
sehubungan dengan akses terhadap perapajakan antara lain :
Menambah ketentuan untuk memperlancar pelaksanaan
pemeriksaan pajak dengan menambah kewenangan pemeriksa
untuk dapat melakukan penyegelan terhadap barang bergerak atau
tidak bergerak.
Menambah Ketentuan yang mengatur bahwa setiap instansi
pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak tertentu lainnya wajib
memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan,
dan apabila diperlukan Direktorat Jenderal Pajak berwenang
menghimpun data dan informasi lainnya untuk kepentingan
penerimaan negara
Dalam rangka pengawasan perpajakan, Menteri Keuangan
membentuk Komite pengawasan di bidang perpajakan dan
kepabeanan.
Audit oleh akuntan publik
8 “DPR Dukung BPK Buka Kebocoran di Ditjen Pajak” Edited by Hotsaritua Situmorang, Sumber : Investor Daily Indonesia, 10 Januari 2007
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 19
Dengan semakin terbukanya akses terhadap perpajakan tersebut
diharapkan BPK dapat lebih mendalam mengaudit pajak sehingga BPK
memiliki keyakinan yang memadai atas niali pajak baik berupa
penerimaan perpajakan maupun piutang pajak.
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 20
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Bahwa potensi piutang pajak yang besar ternyata belum dikelola secara
baik dari segi teknis pencatatan akuntansi, penghapusan maupun upaya
penagihannya.
Dari sisi teknis pencatatan akuntansi, pengungkapan informasi piutang
pajak dalam LKPP tahun 2005 kurang memadai dan tidak adanya
mekanisme untuk memvalidasi pencatatan transaksi pengurang piutang
pajak. Karena itu nilai piutang pajak dalam LKPP 2005 tidak dapat diyakini
kewajarannya.
Dari sisi penghapuasan piutang pajak, pemerintah telah memperpanjang
masa daluarsa penghapusan pajak dari lima tahun menjadi sepuluh
tahun. Ini berarti kesempatan untuk melakukan penagihan semakin
besar.
Peningkatan jumlah piutang pajak masih belum dapat diimbangi dengan
kegiatan pencairannya. Karena itu perlu dilakukan tindakan penagihan
pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa
Permasalahan ketidakadilan dalam bidang perpajakan merupakan isu
yang cukup serius mengingat persoalan keadilan dapat terjadi pada tahap
pemungutan, pemeriksaan, maupun keberatan dan banding oleh wajib
pajak.
BPK tidak bisa mengaudit Ditjen Pajak tanpa ijin Menteri Keuangan
sehingga BPK tidak dapat melakukan pemeriksaan pajak sesuai dengan
standar BPK. Hal ini mengakibatkan BPK sampai sekarang tidak bisa
mendapat keyakinan yang cukup mengenai wajar atau tidaknya
penerimaan dan piutang pajak
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 21
Selain dari kelemahan dalam teknis akuntansi pengelolaan piutang pajak,
nilai pajak tidak dapat diyakini kewajarannya karena BPK terbentur pada
peraturan perpajakan yang membatasi akses BPK terhadap pajak.
DPR sebagai lembaga legislative tentunya dituntut untuk berperan lebih
dalam membantu mengatasi persoalan tersebut. Upaya yang dapat
dilakukan DPR adalah dengan membuka akses BPK secara luas terhadap
perpajakan dengan memasukkan beberapa klausul RUU Pajak yang saat
ini sedang dibahas di DPR.
Jika piutang pajak dikelola dengan baik maka piutang tersebut dapat
ditarik dan meningkatkan penerimaan negara.
3.2. Saran
Agar DJP membuat kebijakan akuntansi yang formal dan tertulis terkait
piutang pajak agar pengungkapan informasi pajak lebih memadai.
Agar DPR memberi dukungan yang kuat terhadap BPK dalam bentuk
memberikan akses yang lebih luas bagi BPK untuk mengaudit pajak dalam
RUU perpajakan yang saat ini sedang dibahas di DPR.
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 22
REFERENSI
UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan
UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa
PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
Keputusan Menteri Keuangan No.539/KMK.03/2002 tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
565/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak
dan Penetapan Besarnya Penghapusan
Nota Keuangan dan RUU APBN Tahun Anggaran 2007
Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Pemerintah Pusat Tahun
2005, Laporan Auditor Independen
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2004
“DPR Dukung BPK Buka Kebocoran di Ditjen Pajak” Edited by
Hotsaritua Situmorang, Sumber : Investor Daily Indonesia, 10
Januari 2007
Artikel
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara
Kajian “Pengelolaan Piutang Pajak” 23
BIRO A
NALISA A
NGGARAN DAN P
ELAKSANAAN A
PBN – SETJE
N DPR R
I
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.This page will not be added after purchasing Win2PDF.