Revisi-Daging-Ikan

15
REVISI PEMBAHASAN LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN HASIL PERTANIAN oleh : Kelompok 4 / THP-C Bagas Rizcy A (141710101003) Lusianti (141710101009) Vindy Julian T (141710101081) Nurul Ummah U (141710101096) Nimala Audria (141710101123) ACARA : Daging dan Ikan TGL PRAKTIKUM : 4 Mei 2015 TGL LAPORAN : 15 Mei 2015 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER

description

beef and fish

Transcript of Revisi-Daging-Ikan

Page 1: Revisi-Daging-Ikan

REVISI PEMBAHASAN LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN HASIL PERTANIAN

oleh :

Kelompok 4 / THP-C

Bagas Rizcy A (141710101003)

Lusianti (141710101009)

Vindy Julian T (141710101081)

Nurul Ummah U (141710101096)

Nimala Audria (141710101123)

ACARA : Daging dan Ikan

TGL PRAKTIKUM : 4 Mei 2015

TGL LAPORAN : 15 Mei 2015

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2015

Page 2: Revisi-Daging-Ikan

5.2 Analisa Data

5.2.1 Pengamatan Daging dan Ikan Segar

Hasil praktikum yang didapatkan pada pengamatan daging dan ikan segar yaitu

untuk daging segar memiliki warna merah segar/cerah lembab, tekstur kenyal,

empuk/lunak, aroma daging segar lebih menyengat/amis. Hal ini berbeda dengan

daging kurang segar, pada daging kurang segar diketahui warnanya merah gelap/tua

agak kering, teksturnya kaku/keras di bagian atasnya, aroma daging tidak terlalu

segar/tidak terlalu amis. Menurut Dhuljaman et al (1984) daging yang berkualitas

tinggi adalah daging yang berkembang penuh dan baik, konsistensi kenyal, tekstur

halus, warna terang dan marbling yang cukup, oleh karena itu daging yang masih segar

tergolong daging yang berkualitas baik. Warna daging ditentukan oleh pigmen

mioglobin. Ketika daging masih hidup, pigmen ini berwarna merah keunguan, tetapi

setelah disembelih, mioglobin akan bereaksi dengan oksigen dan menjadi

oximioglobin, sehingga warnanya menjadi merah cerah. Apabila mioglobin mengalami

kontak dengan udara dalam waktu lama, maka akan teroksidasi oleh besi dari heme di

dalam mioglobin dari bentuk Fe2+ (ferrous) menjadi Fe3+ (ferric), disebut sebagai

metmioglobin dan berwarna coklat. Metmiglobin adalah pigmen utama penyebab

penyimpangan warna daging yang normal sebagai akibat dari oksidasi atom besi. Ini

merupakan pigmen merah kecoklatan yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya daging

kurang segar berwarna kecoklatan.

Untuk ikan segar memiliki bentuk yang terlihat masih segar, mata terlihat terang,

jernih,menonjol, dan cembung, insang berwarna merah segar, terang, dan lamella

insang terpisah, insang tertutup oleh lendir berwarna putih, lendirnya tidak lengket,

kulit masih terasa halus segar, sisik lebih kaku, warna ikan segar putih terang, aroma

tidak terlalu menyengat (tidak amis) dan teksturnya lebih kenyal. Berbeda dengan ikan

kurang segar, pada ikan kurang segar diketahui bentuknya sudah terlihat kurang segar,

mata berlendir dan berair, insang berwarna merah gelap/tua, lendir sudah mulai lengket

dan kering, kulitnya lengket dan berlendir, sisik lunak/lebih lembek, warna ikan putih

pucat/putih kering, aromanya sangat menyengat(amis) dan tercium hampir busuk,

teksturnya lembek dan tidak bisa kembali ketika ditekan.

Hasil pengamatan ikan sesuai dengan literatur menurut Illyas (1993) yang

menyatakan bahwa ikan segar memiliki mata cemerlang, kornea bening, pupil hitam,

mata cembung, insang berwarna merah sampai merah tua, cemerlang, tidak berbau,

Page 3: Revisi-Daging-Ikan

tidak ada off odor. Terdapat lendir alami menutupi ikan yang baunya khas menurut

jenis ikan. Rupa lendir cemerlang seperti lendir ikan hidup, bening. Kulit cemerlang,

belum pudar, warna asli kontras. Sisik melekat kuat, mengkilat dengan tanda/warna

khusus tertutup lendir jernih. Bau segar dan menyenangkan seperti air laut/rumput laut,

tak ada bau yang pesing (tidak enak). Sayatan daging cerah dan elastis, bila ditekan tak

ada bekas jari.

Page 4: Revisi-Daging-Ikan

5.2.2 Pengamatan Marbling pada Daging

Hasil praktikum yang didapatkan pada pengamatan marbling daging yaitu

diketahui bahwa sampel daging no.1 dan no.3 termasuk grade bellow averange dengan

no.BMS 2, sedangkan sampel daging no.2 dan no.4 termasuk grade averange dengan

no.BMS 4

Page 5: Revisi-Daging-Ikan

Gambar 5.1 Marbling Daging

Pengamatan pada sampel daging no.1 dan 3 diketahui bahwa jumlah lemak

intramuscular tidak terlalu banyak sehingga cenderung termasuk dalam MBS no.2

grade bellow average (dibawah rata-rata), sedangkan pada sampel daging no.2 dan 4

diketahui bahwa jumlah lemak intramucularnya lebih banyak dari sampel daging no.1

dan 3 dan cenderung termasuk dalam MBS no.4 grade average (rata-rata). Sampel

daging no.2 dan 4 dimungkinkan lebih empuk dari sampel daging no.1 dan 3 karena

jumlah lemak intramuscularnya yang lebih banyak.

Marbling merupakan butiran lemak putih yang terlihat oleh mata yang tersebar

pada jaringan otot daging. Marbling akan mencair saat daging dipanaskan dan

berkontribusi dalam meningkatkan cita rasa daging (juiciness), memberikan aroma

daging yang sedap, serta berperan meningkatkan keempukan daging. Marbling lebih

tinggi pada sapi yang diberi pakan biji-bijian (grain-fed-beef) daripada sapi yang diberi

pakan rumput (grassfed-beef). Daging dengan lebih banyak marbling akan lebih empuk

dan lebih bercitarasa daripada daging dengan sedikit marbling. Namun daging dengan

sedikit marbling memiliki kandungan kalori dan lemak jenuh lebih sedikit dan lebih

dianjurkan dikonsumsi oleh ahli gizi (Pollan,2006)

5.2.3 Pengamatan Warna

Hasil praktikum yang didapatkan pada pengamatan warna daging ikan lele yaitu

diketahui bahwa pada ikan lele segar memiliki nilai rata-rata L (lightness) sebesar 33,76

, untuk ikan lele setelah direbus memiliki nilai rata-rata L (lightness) sebesar 42,33

dan untuk ikan lele setelah dicuring memiliki nilai rata-rata L (lightness) sebesar 38,23.

Page 6: Revisi-Daging-Ikan

Nilai warna ikan lele setelah direbus lebih tinggi daripada ikan lele segar maupun

ikan lele yang dicuring. Warna ikan lele setelah pemasakan lebih cerah, hal ini sesuai

pernyataan menurut Soeparno (2005), Hasil ikan setelah dikukus adalah ikan Lele

(Clarias batrachus) segar memiliki tekstur yang lebih baik yaitu warnanya putih pucat,

teksturnya juga sangat lunak dan baunya spesifik ikan yang dikukus.

5.2.4 Penentuan Ph

Hasil praktikum yang didapatkan pada pengukuran Ph diketahui bahwa pH ikan

lele segar sebesar 7,8 , pH ikan lele setelah direbus sebesar 7,4 dan pH ikan lele setelah

dicuring sebesar 7,5.

Ph ikan lele segar maupun ikan lele setelah diberi perlakuan tidak jauh berbeda.

Hasil pengukuran ph menunjukkan bahwa keadaan ikan masih dalam keadaan cukup

baik, hal ini sesuai dengan literatur menurut Sudarmawan (1996) yang menyatakan

bahwa derajat keasaman daging yang rendah juga memiliki dampak yang tidak

diinginkan pada kualitas ikan. “Kepucatan” adalah suatu keadaan yang berkembang

pada bagian ikan mentah yang dipotong dari ikan yang telah disimpan di es untuk

waktu yang lama. Daging ikan terlihat putih dan pucat, seperti ikan yang sudah

dimasak. Kondisi tersebut berkembang pada ikan yang pH dagingnya jauh di bawah

nilai 6,0 setelah ikan mati. Derajat keasaman (pH) akan terus menurun sesuai dengan

tingkat kebusukan dari ikannya.

5.2.5 Pengukuran Tekstur

Hasil praktikum yang didapatkan pada pengukuran tekstur ikan lele yaitu pada ikan

lele segar didapatkan nilai rata-rata tekstur dari sisi yang berbeda sebesar 0,08 , pada

ikan lele setelah direbus didapatkan nilai rata-rata tekstur dari sisi yang berbeda

sebesar 0,15 dan pada ikan lele setelah dicuring didapatkan nilai rata-rata tekstur dari

sisi yang berbeda sebesar 0,93. Hal ini menunjukkan bahwa tekstur ikan yang diberi

perlakuan dengan direbus maupun dicuring lebih lunak daripada tekstur ikan segar

tanpa perlakuan.

Daging ikan yang diberi perlakuan menjadi lebih lunak karena dimungkinkan

banyaknya air dari dalam daging ikan yang keluar. Hal ini sesuai dengan literatur

Menurut Moeljanto (1992), yang menyatakan bahwa penyebab kerusakan fisikawi pada

daging ikan yang dikukus dikarenakan komponen penyusun jaringan pengikat dan

benang-benang dagingnya rusak akibat dari perubahan biokimiawi dan mikroba

Page 7: Revisi-Daging-Ikan

terutama bakteri. Kerusakan komponen daging terutama protein dapat menyebabkan

terlepasnya ikatan-ikatan airnya, sehingga daging akan kehilangan kemampuan untuk

menahan air. Air akan keluar dari sel-sel berupa tetes air sehingga menyebabkan daging

ikan akan menjadi berair. Kerusakan struktur daging ikan akan menyebabkan daging

ikan kehilangan sifat kelenturannya dan kepadatannya sehingga menjadi lunak.

Curing merupakan proses pemeraman daging dengan menggunakan garam

sendawa (garam salpeter) biasanya dalam bentuk NaNO2, NaNO3, KNO2 dan KNO3;

garam dapur, bumbu-bumbu, fosfat (Sodium tripolifosfat/STPP) dan bahan-bahan

lainnya. Tetapi biasanya curing dilakukan hanya dengan garam salpeter/sendawa dan

garam dapur saja dan kemudian, ditambahkan bahan-bahan lainnya bila akan dibuat

produk olahannya (Hidayat, 2008). Perendaman dalam larutan curing yang

mengandung garam mengakibatkan sebagian dari ion-ion garam yang berlimpah di luar

sel berdifusi atau pindah melalui membran ke dalam sel. Kemampuan proteinnya dalam

menangkap air akan meningkat. Hasilnya adalah daging yang lebih gurih, lebih basah

dan juga lebih empuk, karena struktur protein yang mengikat air cenderung lebih

menggelembung dan lebih lunak.

5.2.6 Pengukuran Cooking Loss

Hasil praktikum yang didapatkan pada pengukuran Cooking loss yaitu diketahui

bahwa berat 3 sampel yang digunakan mula-mula 5 g, setelah mengalami perlakuan

beratnya masing-masing berkurang. Pada sampel 1 penurunan berat sebesar 1,1

sehingga diketahui nilai cooking loss sebesar 22%, pada sampel 2 penurunan berat

sebesar 0,6 g sehingga diketahui nilai cooking loss sebesar 12%, dan pada sampel 3

penurunan berat sebesar 1,03 g sehingga diketahui nilai cooking loss sebesar 20,6 %.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak penurunan berat ikan setelah pemasakan

maka semakin tinggi pula nilai cooking loss ikan tersebut.

Penurunan berat ini dimungkinkan karena keluarnya cairan dari daging saat proses

pemasakan. Semakin banyak cairan yang keluar maka nilai cooking loss juga akan

semakin tinggi. Nilai cooking loss yang semakin tinggi menunjukkan kualitas daging

yang semakin rendah. Hal ini sesuai dengan literatur menurut Soeparno (2009)

menyatakan bahwa daging dalam jumlah susut masak rendah mempunyai kualitas yang

lebih baik karena kehilangan nutrisi saat pemasakan akan lebih sedikit.

Page 8: Revisi-Daging-Ikan

Daging yang mengalami penyusutan pada saat proses pemasakan menyebabkan

berubahnya stuktur dan komposisi protein, lemak dan air dalam daging karena banyak

cairan daging yang hilang (Lawrie 2003).

5.2.7 Pengukuran Drip Loss

Hasil praktikum yang didapatkan pada pengukuran Drip Loss yaitu berat 3 sampel

yang digunakan mula-mula 5 g, setelah mengalami perlakuan beratnya masing-masing

berkurang. Pada sampel ikan lele dengan perlakuan chilling mengalami penurunan

berat sebesar 0,05 g sehingga diketahui nilai drip loss sebesar 1 %, pada sampel ikan

lele dengan perlakuan penempatan pada air mengalir mengalami penurunan berat

sebesar 0,08 g sehingga diketahui nilai drip loss sebesar 1,6 %, pada sampel ikan lele

dengan perlakuan penempatan pada suhu ruang mengalami penurunan berat sebesar

0,45 g sehingga diketahui nilai drip loss sebesar 9 %. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin banyak penurunan berat ikan lele setelah perlakuan maka nilai drip loss nya

juga semakin tinggi.

Kehilangan berat daging terbesar akibat drip pada daging beku terdapat pada ikan

lele yang ditempatkan pada suhu ruang. Hal ini dimungkinkan karena suhu ruang yang

lebih tinggi suhunya dan juga dikarenakan praktikum dilakukan saat siang hari,

sehingga ikan lele yang diletakkan pada suhu ruang lebih banyak mengeluarkan cairan.

Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa drip loss biasanya terjadi

setelah daging dibekukan dan diletakkan bukan ditempat yang dingin (Soeparno,2005).

Drip loss dapat diartikan sebagai hilangnya beberapa komponen nutrien daging

yang ibkut bersama keluarnya cairan daging. Air yang keluar dari daging yang telah

dibekukan disebut Dripp. Menurut Adawyah (2007), proses pembekuan mengubah

hampir semua kandungan air yang ada di dalam tubuh ikan menjadi kristal es. Keadaan

beku menghambat aktivitas bakteri dan enzim sehingga daya awet ikan beku lebih

besar dibandingkan dengan ikan yang disimpan pada suhu dingin. Selain itu

kenampakannya juga lebih baik.

Sedangkan menurut Soeparno (2005) Cairan yang keluar dan tidak terserap

kembali oleh serabut otot selama penyegaran inilah yang disebut drip. Dua faktor yang

mempengaruhi jumlah drip yaitu : (1) besarnya cairan yang keluar dari daging, dan (2)

faktor yang berhubungan dengan daya ikat air oleh protein daging.

5.2.8 Pengamatan Beberapa Spesies Ternak

Page 9: Revisi-Daging-Ikan

Hasil praktikum yang didapatkan pada pengamatan jenis daging yaitu diketahui

bahwa pada daging sapi memilki warna merah cerah, bentuk serat teratur, tekstur lebih

kenyal dari daging kambing, aroma daging sapi menyengat, warna lemak putih bening

dengan lemak berada di permukaan daging. Untuk daging kambing didapatkan hasil

pengamatan warna daging merah tua, bentuk serat tidak teratur, teksturnya kenyal,

aroma sangat menyengat, warna lemak putih pucat dengan lemak berada didalam dan

luar daging. Untuk daging ayam diketahui bahwa warnanya putih pucat, bentuk

seratnya teratur, teksturnya kenyal, aromanya amis, warna lemak putih kekuningan

dengan lemak berada dipermukaan daging. Untuk daging babi, diketahui bahwa warna

daging putih pucat, bentuk serat teratur, teksturnya sedikit kenyal, aroma tidak terlalu

menyengat, warna lemak putih kekuningan dengan lemak berada dipermukaaan daging.

Hasil pengamatan ini sesuai dengan literatur yang ada. Daging sapi memiliki warna

merah muda, tekstur kasar, konsistensi kenyal, jumlah marbling sedang dan warna

lemak kuning. Menurut Potter (1993), daging sapi memiliki warna merah cerah, bau

dan rasa aromatis, berserabut halus dengan sedikit lemak, konsistensi kenyal,

permukaan mengkilat, dan bersih tidak ada darah. Menurut Komariah et al. (2009),

bahwa daging sapi mempunyai perototan yang besar dan teksturnya lebih kasar

dibandingkan dengan daging domba.

Daging Kambing. Daging kambing memiliki warna merah, tekstur halus,

konsistensi empuk, jumlah marbling sedikit, dan warna lemak putih kekuningan. Hal

ini sesuai dengan pendapat Lawrie (1995) yang menyatakan bahwa daging kambing

mempunyai karakteristik keempukan yang khas. Daging kambing lebih disukai

daripada daging yang lain dalam kondisi umur dan perlemakan yang sama.

Daging ayam. Daging ayam berwarna putih kemerahan. Saat disayat, daging masih

mengeluarkan darah. Permukaan kulit ayam mulus tanpa cacat. Serat daging halus.

Konsistensi kurang padat. Di antara serat daging tidak terdapat lemak. Warna lemak

kekuning-kuningan dengan konsistensi lunak. Bau agak amis, bahkan ada yang tidak

berbau.

Daging Babi. Daging babi memiliki warna merah muda, tekstur halus, konsistensi

kenyal, jumlah marbling sedikit dan warna lemak putih. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Hanun (2007), yang menyatakan bahwa daging babi memiliki warna daging

pucat sehingga merah muda. Menurut Soeparno (2009), bahwa karkas babi rata-rata

berwarna pucat. Warna tersebut disebabkan oleh banyaknya kandungan serabut putih

dan kandungan glikogen yang tinggi.

Page 10: Revisi-Daging-Ikan

Hasil pengamatan daging babi menunjukkan bahwa warna daging babi yaitu putih

pucat sedangkan menurut Hanun (2007) daging babi memiliki warna daging pucat

sehingga merah muda. Adanya perbedaan hasil pengamatan dengan literatur yang ada

dimungkinkan karena perbedaan jenis daging dari spesies yang berbeda dan juga

dimungkinkan dari faktor penilaian praktikan terhadap daging yang diamati tersebut.