Review Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat

7
POLITIK KEBIJAKAN PUBLIK Review : Pembangunan Perumahan (Yang Tidak Memihak) Rakyat Nama : Amarullah Pamuji NPM : 1206247934 Diantara kebutuhuan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak, yaitu pangan, sandang, papan, maka kebutuhan rumah tinggal (papan) merupakan kebutuhan pokok yang biasanya ditempatkan paling ujung dalam skala prioritas seseorang. Permasalahan penyelengaraan pembangunan perumahan rakyat di Indonesia sudah ada sejak era Orde Baru. Pembahasan bab 5 tentang Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat menjelaskan bagaimana pemerintah pada tahun 1980 hinggan 1990-an mengajukan konsep pembangunan perumahan rakyat di Indonesia yang bekerja sama dengan pihak swasta yaitu para pengusaha, namun dengan adanya kerja sama ini pembangunan perumahan rakyat menjadi semakin jauh dari hakekat tujuan pembangunan perumahan rakyat, tidak semua kalangan masyarakat mendapatkannya terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Hal ini terjadi karena kemajuan pesat industry property yang menghasilkan banyak keuntungan sehingga banyak pengusaha yang berlomba-lomba untuk terlibat dalam proyek ini dan berorientasi pada keuntungan.

description

Pada buku Gagalnya Pembangunan bab Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat secara jelas dan gamblang dipaparkan ternyata terdapat beberapa fakta dari perkembangan sektor properti dan pembangunan perumahan terutama di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) yang cukup merugikan rakyat terutama rakyat dengan penghasilan yang rendah.

Transcript of Review Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat

Page 1: Review Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat

POLITIK KEBIJAKAN PUBLIK

Review : Pembangunan Perumahan (Yang Tidak Memihak) Rakyat

Nama : Amarullah Pamuji

NPM : 1206247934

 Diantara kebutuhuan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak, yaitu pangan,

sandang, papan, maka kebutuhan rumah tinggal (papan) merupakan kebutuhan pokok yang

biasanya ditempatkan paling ujung dalam skala prioritas seseorang. Permasalahan

penyelengaraan pembangunan perumahan rakyat di Indonesia sudah ada sejak era Orde

Baru. Pembahasan bab 5 tentang Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat

menjelaskan bagaimana pemerintah pada tahun 1980 hinggan 1990-an mengajukan konsep

pembangunan perumahan rakyat di Indonesia yang bekerja sama dengan pihak swasta yaitu para

pengusaha, namun dengan adanya kerja sama ini pembangunan perumahan rakyat menjadi

semakin jauh dari hakekat tujuan pembangunan perumahan rakyat, tidak semua kalangan

masyarakat mendapatkannya terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Hal ini terjadi

karena kemajuan pesat industry property yang menghasilkan banyak keuntungan sehingga

banyak pengusaha yang berlomba-lomba untuk terlibat dalam proyek ini dan berorientasi pada

keuntungan.

Pada era tahun 1980 hingga 1990 an sektor properti cenderung mengalami kemajuan

dan makin cepat bergerak ke segmen proyek-proyek prasarana bisnis dan pemukiman untuk

konsumsi golongan menengah atas. Padahal seharusnya pembangunan berkonsentrasi pada

berbagai jenis rumah untuk berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya untuk golongan tertentu

saja. Pembangunan pun menjalar hingga pembangunan apartemen dan kondominium serta pusat-

pusat perbelanjaan. Dalam paruh pertama tahun 1990 pun tercatat sudah hampir seratus

apartemen dan kondominium dengan jumlah lebih dari 30ribu unit untuk konsumsi golongan

menengah atas. Adapun kemajuan yang dicapai disektor ini tidak terlepas juga dari dukungan

kebijakan dan praktik pembangunannya yang dibuat oleh legislatif bersama pemerintah. Saat itu

sektor properti menjadi “anak emas” dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kemajuan ini

Page 2: Review Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat

membuat para pengusaha tertarik untuk menggarap sektor properti ini. Namun ternyata selain

memberi keuntungan bagi perekonomian nasional, ternyata saat itu terjadi pertumbuhan yang

berlebihan dari bisnis properti ini. Walaupun sektor properti ini sangat berperan sebagai

katalisator bagi beberapa sektor bisnis lain (bahan bangunan, jasa, perdagangan, dll)

pertumbuhan sektor properti ini juga mempengaruhi kelangsungan pembangunan perumahan

rakyat. Hal ini menjadikan pemerintah dilematis antara tujuan ekonomi dari bisnis properti dan

tujuan pelayanan publik dari program pembangunan perumahan.

Pengistimewaan pemerintah ini sangat disayangkan karena secara tidak langsung

pembangunan pusat perbelanjaan, pertokoan dan kondominium tersebut tidak memihak pada

rakyat yang berpenghasilan rendah. Sepatutnya pemerintah tidak hanya memikirkan bahwa

kemajuan sektor properti yang berujung pada pembangunan pusat perbelanjaan, pertokoan dan

apartemen serta kondominium menuntun perkembangan pembangunan ekonomi namun

pemerintah juga harus memikirkan rakyat dengan penghasilan rendah. Nyatanya memang

pembangunan di Jakarta yang berkisar dari tahun 1991-1995 ini memang lebih menguntungkan

dan diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas. Akibatnya masyarakat kelas menengah ke

bawah yang membutuhkan rumah berada di posisi yang sulit dan tidak menguntungkan.

Tahun 1980-an saat kegagalan pemerintah melakukan ekspor minyak non-migas pasca

era keemasan minyak yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi nasional,

membuat pemerintah mencari strategi baru untuk mengembalikan gairah pasar untuk

menumbuhkan pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah memiliki strategi baru mengganti

sektor industri manufaktur dan ekspor nonmigas yang gagal mendongkrak ekonomi. Strategi itu

terdapat pada sektor properti, beberapa tandanya adalah terlihat dari pertumbuhan pesat jumlah

pengusaha pengembang (developer), di mana jumlah anggota perhimpunan Real Estate

Indonesia (REI) meningkat dari 250 pada tahun 1972 menjadi 2000-an anggota pada tahun 1995.

Indikasi berikutnya terlihat dari pertumbuhan sektor properti seperti sektor-sektor bangunan

(konstruksi) dan sewa bangunan. Sektor-sektor properti tidak hanya menjadi penggerak sektor

ekonomi lain, tetapi juga menjadi pemasukan negara berupa pajak yang nilainya tidak kecil.

Sebagai salah satu “strategi baru” dalam memacu pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi Indonesia, sektor bisnis properti telah menjadi pemain kunci dalam periode yang relatif

singkat. Terlihat adanya indikasi pertumbuhan pesat jumlah pengusaha pengembang (developer),

pertumbuhan sektor properti secara riil (sektor bangunan/konstruksi dan sewa bangunan).

Page 3: Review Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat

Dengan kontribusi ekonominya yang cukup besar dan stabil itulah jelas bahwa kalau sektor

properti punya arti penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia, baik karena sebagai

penggerak sektor ekonomi lain maupun karena pemasukan pajak yang dihasilkan. Namun

ditemukan indikasi lain dalam kebangkitan sektor properti ini, bisnis properti tampak mulai

bergerak hanya ke segmen yang lebih besar (pembangunan apartemen, kondominium) dan lebih

luas dengan sasaran proyek prasarana bisnis dan pemukiman untuk golongan menengah atas.

Padahal sebelumnya atau seharusnya pembangunan berkonsentrasi pada berbagai jenis rumah

rakyat.

Meskipun sektor properti berkembang luas di negeri ini, secara formal-kelembagaan

justru tidak memiliki kejelasan pembinaan dalam pemerintah. Tidak jelas juga instansi mana

yang berwenang mengontrol jenis proyek yang paling berkembang saat itu. Penanganannya oleh

Badan Pertanahan Nasional, Kantor Menetri Negara Perumahan Rakyat, dan Menteri Pekerjaan

Umum menunjukkan kalau sektor properti dibina oleh instansi yang tidak biasa mengurus

masalah produktifitas ekonomi nasional. Dampak dari salah penanganannya sektor properti

adalah membanjirnya kredit properti yang menyebabkan kelebihan suplai rumah dan apartemen

golongan menengah ke atas. Pertumbuhan tanpa kendali ini disebut sebagai salah satu hal yang

menyebabkan permasalahan ekonomi yang cukup serius yang terjadi di Indonesia pada tahun

1996 hingga 1998. Sektor ini menghasilkan kredit bermasalah sebesar Rp 5.600.000.000.000,-

pada tahun 1997 yang kurang lebih sama nilainya dengan 9% dari total kredit properti. Hingga di

kemudian hari “memaksa” pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun

1996 terkait pembolehan orang asing memiliki rumah di Indonesia. Tujuan dari PP ini adalah

untuk mendongkrak bisnis properti kalangan menengah atas yang mengalami kelesuan. Upaya

ini bukan semata-mata berasal dari usulan pengusaha, melainkan juga kesadaran pemerintah

yang jika pertumbuhan properti meningkat, maka penjualan barang mewah juga meningkat, dan

pajak pun akan meningkat pemasukannya.

Dalam buku ini dinyatakan bahwa terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996

justru mencerminkan perputaran arah yang makin jauh. Pada masa pemerintahan Orde Baru,

kebijakan pembangunan perumahan arahnya adalah menuju pembangunan sosial semata. Namun

pada 1960 hingga 1970-an, pembangunan perumahan lebih berorientasi meningkatkan kualitas

lingkungan perumahan yang sudah ada. Hanya ada dua pilihan yang dapat di ambil pemerintah

jika ingin memperbaiki pemukiman golongan miskin di Jakarta yaitu dengan menggusur

Page 4: Review Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat

kampung-kampung miskin dan mendirikan rumah susun di tanah yang sama atau menggusur

kampung-kampung tersebut dan membangun perumahan di pinggir kota. Setelah

dipertimbangkan, pemerintah tidak menggunakan dua pilihan tersebut. Hal ini kemudian

melahirkan sebuah program baru yaitu Kampong Improvement Project (KIP) atau Program

Kebijakan Kampung. Dalam perkembangannya, program ini mengendur sampai ditandai dengan

ditetapkannya Undang-Undang tentang Rumah Susun tahun 1985. Strategi pembangunan

ekonomi baru yang disebut penyesuaian ekonomi struktural (structural adjustment) memberi

dampak implikasi melonjaknya nilai lokasi di kawasan perkotaan. Sesuai dengan isi pasal-pasal

di UU Rumah Susun, pemerintah membangun rumah susun untuk rakyat berpenghasilan rendah

dan dijamin oleh kepastian hukum. Akan tetapi, PP No 4 Tahun 1988 menjelaskan bahwa posisi

pemerintah pada posisi tanpa beban ekonomi dan secara implisit pengadaan rumah susun

diserahkan kepada mekanisme pasar. Undang-Undang tentang Rumah Susun tahun 1985 yang

isinya banyak mengandung celah kontradiksi. Rumah susun di dalam undang-undang ini

pengertiannya juga mencakup aparetemen dan kondominium tetapi inti dari undang-undang ini

sebenarnya memiliki makna bahwa sebenarnya tujuan pemerintah adalah untuk memecahkan

masalah rumah bagi masyarakat dengan penghasilan rendah khususnya di perkotaan. Pernyataan

ini terbukti dengan isi dari Bab II Pasal 3 ayat (1)a yang jelas menyebutkan bahwa tujuan

pembangunan rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi

masyarakat terutama masyarakat yang berada di golongan menengah ke bawah. Selanjutnya pada

Bab IV pasal 5 disebutkan juga rumah susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan

kemampuan masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.

Pasokan rumah susun murah masih sangat jauh dari mencukupi, pemerintah DKI Jakarta

terpaksa menjadwal ulang beberapa proyek rumah susun murah yang sudah direncanakan

beberapa tahun sebelumnya. Keputusan ini jelas menyembunyikan persoalan masa depan bagi

kota Jakarta, karena kebutuhan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang

seharusnya perlu ditingkatkan beberapa kali lipat untuk membuat kota lebih tertata, sehat dan

efisien bagi warganya dalam melakukan perjalanan dari rumah ke tempat kerja makin jauh dari

kebutuhan. Misi menyediakan rumah untuk rakyat maupun menyediakan infrastruktur bagi

pemukiman rakyat berpenghasilan rendah, makin terbukti makin tumpul dan hilang ditengah

jalan sejak Indonesia jatuh kedalam krisis besar sejak 1997.