Review Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat
-
Upload
amarullah-pamuji -
Category
Documents
-
view
68 -
download
4
description
Transcript of Review Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat
POLITIK KEBIJAKAN PUBLIK
Review : Pembangunan Perumahan (Yang Tidak Memihak) Rakyat
Nama : Amarullah Pamuji
NPM : 1206247934
Diantara kebutuhuan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak, yaitu pangan,
sandang, papan, maka kebutuhan rumah tinggal (papan) merupakan kebutuhan pokok yang
biasanya ditempatkan paling ujung dalam skala prioritas seseorang. Permasalahan
penyelengaraan pembangunan perumahan rakyat di Indonesia sudah ada sejak era Orde
Baru. Pembahasan bab 5 tentang Pembangunan Perumahan (yang Tidak Memihak) Rakyat
menjelaskan bagaimana pemerintah pada tahun 1980 hinggan 1990-an mengajukan konsep
pembangunan perumahan rakyat di Indonesia yang bekerja sama dengan pihak swasta yaitu para
pengusaha, namun dengan adanya kerja sama ini pembangunan perumahan rakyat menjadi
semakin jauh dari hakekat tujuan pembangunan perumahan rakyat, tidak semua kalangan
masyarakat mendapatkannya terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Hal ini terjadi
karena kemajuan pesat industry property yang menghasilkan banyak keuntungan sehingga
banyak pengusaha yang berlomba-lomba untuk terlibat dalam proyek ini dan berorientasi pada
keuntungan.
Pada era tahun 1980 hingga 1990 an sektor properti cenderung mengalami kemajuan
dan makin cepat bergerak ke segmen proyek-proyek prasarana bisnis dan pemukiman untuk
konsumsi golongan menengah atas. Padahal seharusnya pembangunan berkonsentrasi pada
berbagai jenis rumah untuk berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya untuk golongan tertentu
saja. Pembangunan pun menjalar hingga pembangunan apartemen dan kondominium serta pusat-
pusat perbelanjaan. Dalam paruh pertama tahun 1990 pun tercatat sudah hampir seratus
apartemen dan kondominium dengan jumlah lebih dari 30ribu unit untuk konsumsi golongan
menengah atas. Adapun kemajuan yang dicapai disektor ini tidak terlepas juga dari dukungan
kebijakan dan praktik pembangunannya yang dibuat oleh legislatif bersama pemerintah. Saat itu
sektor properti menjadi “anak emas” dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kemajuan ini
membuat para pengusaha tertarik untuk menggarap sektor properti ini. Namun ternyata selain
memberi keuntungan bagi perekonomian nasional, ternyata saat itu terjadi pertumbuhan yang
berlebihan dari bisnis properti ini. Walaupun sektor properti ini sangat berperan sebagai
katalisator bagi beberapa sektor bisnis lain (bahan bangunan, jasa, perdagangan, dll)
pertumbuhan sektor properti ini juga mempengaruhi kelangsungan pembangunan perumahan
rakyat. Hal ini menjadikan pemerintah dilematis antara tujuan ekonomi dari bisnis properti dan
tujuan pelayanan publik dari program pembangunan perumahan.
Pengistimewaan pemerintah ini sangat disayangkan karena secara tidak langsung
pembangunan pusat perbelanjaan, pertokoan dan kondominium tersebut tidak memihak pada
rakyat yang berpenghasilan rendah. Sepatutnya pemerintah tidak hanya memikirkan bahwa
kemajuan sektor properti yang berujung pada pembangunan pusat perbelanjaan, pertokoan dan
apartemen serta kondominium menuntun perkembangan pembangunan ekonomi namun
pemerintah juga harus memikirkan rakyat dengan penghasilan rendah. Nyatanya memang
pembangunan di Jakarta yang berkisar dari tahun 1991-1995 ini memang lebih menguntungkan
dan diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas. Akibatnya masyarakat kelas menengah ke
bawah yang membutuhkan rumah berada di posisi yang sulit dan tidak menguntungkan.
Tahun 1980-an saat kegagalan pemerintah melakukan ekspor minyak non-migas pasca
era keemasan minyak yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi nasional,
membuat pemerintah mencari strategi baru untuk mengembalikan gairah pasar untuk
menumbuhkan pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah memiliki strategi baru mengganti
sektor industri manufaktur dan ekspor nonmigas yang gagal mendongkrak ekonomi. Strategi itu
terdapat pada sektor properti, beberapa tandanya adalah terlihat dari pertumbuhan pesat jumlah
pengusaha pengembang (developer), di mana jumlah anggota perhimpunan Real Estate
Indonesia (REI) meningkat dari 250 pada tahun 1972 menjadi 2000-an anggota pada tahun 1995.
Indikasi berikutnya terlihat dari pertumbuhan sektor properti seperti sektor-sektor bangunan
(konstruksi) dan sewa bangunan. Sektor-sektor properti tidak hanya menjadi penggerak sektor
ekonomi lain, tetapi juga menjadi pemasukan negara berupa pajak yang nilainya tidak kecil.
Sebagai salah satu “strategi baru” dalam memacu pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi Indonesia, sektor bisnis properti telah menjadi pemain kunci dalam periode yang relatif
singkat. Terlihat adanya indikasi pertumbuhan pesat jumlah pengusaha pengembang (developer),
pertumbuhan sektor properti secara riil (sektor bangunan/konstruksi dan sewa bangunan).
Dengan kontribusi ekonominya yang cukup besar dan stabil itulah jelas bahwa kalau sektor
properti punya arti penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia, baik karena sebagai
penggerak sektor ekonomi lain maupun karena pemasukan pajak yang dihasilkan. Namun
ditemukan indikasi lain dalam kebangkitan sektor properti ini, bisnis properti tampak mulai
bergerak hanya ke segmen yang lebih besar (pembangunan apartemen, kondominium) dan lebih
luas dengan sasaran proyek prasarana bisnis dan pemukiman untuk golongan menengah atas.
Padahal sebelumnya atau seharusnya pembangunan berkonsentrasi pada berbagai jenis rumah
rakyat.
Meskipun sektor properti berkembang luas di negeri ini, secara formal-kelembagaan
justru tidak memiliki kejelasan pembinaan dalam pemerintah. Tidak jelas juga instansi mana
yang berwenang mengontrol jenis proyek yang paling berkembang saat itu. Penanganannya oleh
Badan Pertanahan Nasional, Kantor Menetri Negara Perumahan Rakyat, dan Menteri Pekerjaan
Umum menunjukkan kalau sektor properti dibina oleh instansi yang tidak biasa mengurus
masalah produktifitas ekonomi nasional. Dampak dari salah penanganannya sektor properti
adalah membanjirnya kredit properti yang menyebabkan kelebihan suplai rumah dan apartemen
golongan menengah ke atas. Pertumbuhan tanpa kendali ini disebut sebagai salah satu hal yang
menyebabkan permasalahan ekonomi yang cukup serius yang terjadi di Indonesia pada tahun
1996 hingga 1998. Sektor ini menghasilkan kredit bermasalah sebesar Rp 5.600.000.000.000,-
pada tahun 1997 yang kurang lebih sama nilainya dengan 9% dari total kredit properti. Hingga di
kemudian hari “memaksa” pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun
1996 terkait pembolehan orang asing memiliki rumah di Indonesia. Tujuan dari PP ini adalah
untuk mendongkrak bisnis properti kalangan menengah atas yang mengalami kelesuan. Upaya
ini bukan semata-mata berasal dari usulan pengusaha, melainkan juga kesadaran pemerintah
yang jika pertumbuhan properti meningkat, maka penjualan barang mewah juga meningkat, dan
pajak pun akan meningkat pemasukannya.
Dalam buku ini dinyatakan bahwa terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996
justru mencerminkan perputaran arah yang makin jauh. Pada masa pemerintahan Orde Baru,
kebijakan pembangunan perumahan arahnya adalah menuju pembangunan sosial semata. Namun
pada 1960 hingga 1970-an, pembangunan perumahan lebih berorientasi meningkatkan kualitas
lingkungan perumahan yang sudah ada. Hanya ada dua pilihan yang dapat di ambil pemerintah
jika ingin memperbaiki pemukiman golongan miskin di Jakarta yaitu dengan menggusur
kampung-kampung miskin dan mendirikan rumah susun di tanah yang sama atau menggusur
kampung-kampung tersebut dan membangun perumahan di pinggir kota. Setelah
dipertimbangkan, pemerintah tidak menggunakan dua pilihan tersebut. Hal ini kemudian
melahirkan sebuah program baru yaitu Kampong Improvement Project (KIP) atau Program
Kebijakan Kampung. Dalam perkembangannya, program ini mengendur sampai ditandai dengan
ditetapkannya Undang-Undang tentang Rumah Susun tahun 1985. Strategi pembangunan
ekonomi baru yang disebut penyesuaian ekonomi struktural (structural adjustment) memberi
dampak implikasi melonjaknya nilai lokasi di kawasan perkotaan. Sesuai dengan isi pasal-pasal
di UU Rumah Susun, pemerintah membangun rumah susun untuk rakyat berpenghasilan rendah
dan dijamin oleh kepastian hukum. Akan tetapi, PP No 4 Tahun 1988 menjelaskan bahwa posisi
pemerintah pada posisi tanpa beban ekonomi dan secara implisit pengadaan rumah susun
diserahkan kepada mekanisme pasar. Undang-Undang tentang Rumah Susun tahun 1985 yang
isinya banyak mengandung celah kontradiksi. Rumah susun di dalam undang-undang ini
pengertiannya juga mencakup aparetemen dan kondominium tetapi inti dari undang-undang ini
sebenarnya memiliki makna bahwa sebenarnya tujuan pemerintah adalah untuk memecahkan
masalah rumah bagi masyarakat dengan penghasilan rendah khususnya di perkotaan. Pernyataan
ini terbukti dengan isi dari Bab II Pasal 3 ayat (1)a yang jelas menyebutkan bahwa tujuan
pembangunan rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi
masyarakat terutama masyarakat yang berada di golongan menengah ke bawah. Selanjutnya pada
Bab IV pasal 5 disebutkan juga rumah susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan
kemampuan masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah.
Pasokan rumah susun murah masih sangat jauh dari mencukupi, pemerintah DKI Jakarta
terpaksa menjadwal ulang beberapa proyek rumah susun murah yang sudah direncanakan
beberapa tahun sebelumnya. Keputusan ini jelas menyembunyikan persoalan masa depan bagi
kota Jakarta, karena kebutuhan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang
seharusnya perlu ditingkatkan beberapa kali lipat untuk membuat kota lebih tertata, sehat dan
efisien bagi warganya dalam melakukan perjalanan dari rumah ke tempat kerja makin jauh dari
kebutuhan. Misi menyediakan rumah untuk rakyat maupun menyediakan infrastruktur bagi
pemukiman rakyat berpenghasilan rendah, makin terbukti makin tumpul dan hilang ditengah
jalan sejak Indonesia jatuh kedalam krisis besar sejak 1997.