Review hukum internasional

7
Review Hukum Internasional Nama : Yanuar Priambodo NPM : 0806322981 Bahan : Christian Reus Smit, the Politics of International Law, (Cambrigde: Cambrigde University Press, 2004) hlm. 238-269 Komposisi Politik dan Hukum Internasional Dalam Tatanan Model Dyadic dan Triadic Kebijakan-kebijakan dalam hukum internasional sering kali dikaitkan dengan isu pada pemerintahan yg bersifat politis. Sehingga muncul pertanyaan apakah sebenarnya hubungan antara politik internasional dan hukum internasional. Reus-Smit mengemukakan beberapa pendapat pada perbedaan ini. Pandangan pertama adalah hukum dan politik dalam taraf internasional saling menanamkan nilai dan membentuk satu sama lain. Kedua adalah sumber- sumber dan pemakaian kekuasaan dalam komunitas internasional yang kemudian dijelaskan lebih lanjut pada perbedaan antara pendekatan realis dan konstruktivis. Pandangan ketiga adalah pengembangan model yang relatif abstrak tentang bagaimana sebuah institusi muncul dan berevolusi dalam dua macam bentuk sosial, yaitu dyadic dan triadic. Komponen-komponen mendasar yang dipakai pada kedua model tersebut beroperasi pada tiga level analisis. Tiga level analisis itu adalah makro(aturan sistem yang memungkinkan dan mempertahankan aktivitas sosial), mikro(kumpulan aksi dan pembuatan keputusan oleh aktor- aktor individu), dan meso(struktur yang abstrak maupun konkrit yang diciptakan manusia dengan tujuan koordinasi sistem aturan atau norma dan aksi yang visioner). Sistem aturan atau norma dan institusi memungkinkan aktor untuk meraih, mengejar, dan mengekspresikan keinginan mereka dan juga berhubungan dengan individu lainnya. Institusi juga sering kali dilihat sebagai struktur aturan tersebut. Kita dapat membedakan institusi kedalam dua sisi. Sisi pertama, yaitu sisi kiri, adalah institusi yang relatif informal dimana tidak ada pengawasan yang sentralistik dan terkesan lebih “longgar” dalam aturan-aturannya. Di sisi lain, yaitu sisi kanan, konteks institusi didefinisikan oleh aturan-aturan yang sangat formal, spesifik, dan berwenang. Dalam level internasional, semua struktur institusional yang tercipta, akan menghadirkan poin-poin yang berbeda dalam

Transcript of Review hukum internasional

Page 1: Review hukum internasional

Review Hukum Internasional

Nama : Yanuar Priambodo

NPM : 0806322981

Bahan : Christian Reus Smit, the Politics of International Law, (Cambrigde: Cambrigde

University Press, 2004) hlm. 238-269

Komposisi Politik dan Hukum Internasional Dalam Tatanan Model Dyadic dan Triadic

Kebijakan-kebijakan dalam hukum internasional sering kali dikaitkan dengan isu pada

pemerintahan yg bersifat politis. Sehingga muncul pertanyaan apakah sebenarnya hubungan

antara politik internasional dan hukum internasional. Reus-Smit mengemukakan beberapa

pendapat pada perbedaan ini. Pandangan pertama adalah hukum dan politik dalam taraf

internasional saling menanamkan nilai dan membentuk satu sama lain. Kedua adalah sumber-

sumber dan pemakaian kekuasaan dalam komunitas internasional yang kemudian dijelaskan

lebih lanjut pada perbedaan antara pendekatan realis dan konstruktivis. Pandangan ketiga adalah

pengembangan model yang relatif abstrak tentang bagaimana sebuah institusi muncul dan

berevolusi dalam dua macam bentuk sosial, yaitu dyadic dan triadic.

Komponen-komponen mendasar yang dipakai pada kedua model tersebut beroperasi pada

tiga level analisis. Tiga level analisis itu adalah makro(aturan sistem yang memungkinkan dan

mempertahankan aktivitas sosial), mikro(kumpulan aksi dan pembuatan keputusan oleh aktor-

aktor individu), dan meso(struktur yang abstrak maupun konkrit yang diciptakan manusia

dengan tujuan koordinasi sistem aturan atau norma dan aksi yang visioner). Sistem aturan atau

norma dan institusi memungkinkan aktor untuk meraih, mengejar, dan mengekspresikan

keinginan mereka dan juga berhubungan dengan individu lainnya. Institusi juga sering kali

dilihat sebagai struktur aturan tersebut.

Kita dapat membedakan institusi kedalam dua sisi. Sisi pertama, yaitu sisi kiri, adalah

institusi yang relatif informal dimana tidak ada pengawasan yang sentralistik dan terkesan lebih

“longgar” dalam aturan-aturannya. Di sisi lain, yaitu sisi kanan, konteks institusi didefinisikan

oleh aturan-aturan yang sangat formal, spesifik, dan berwenang. Dalam level internasional,

semua struktur institusional yang tercipta, akan menghadirkan poin-poin yang berbeda dalam

Page 2: Review hukum internasional

spektrum. Ketika satu institusi bergerak ke arah yang belawanan, maka terjadi pula perubahan

pada aktivitas politik. Pada akhirnya, sisi kiri akan diwarnai dengan aktivitas seperti negosiasi,

tawar-menawar, dan paksaan pada gaya interaksinya. Sementara di sisi kanan lebih terstruktur

oleh peraturan yang berlaku dan resolusi sengketa yang bersifat yudisial. Menurut Reus-Smit,

politik cenderung menjadi aktivitas yang berbeda secara kualitatif dalam kerangka hukum.

Dalam hal tersebut di atas, tentu saja sebuah institusi atau lembaga dapat bertahan karena

adanya fungsi konstruksi, penyajian individu dengan panduan perilaku, dan juga mamfasilitasi

perluasan dinamika sosial serta kerja sama. Lembaga memfasilitasi resolusi sengketa dengan tiga

cara. Pertama, pada level aktor individu, suatu norma dapat mencegah konflik dengan

menyediakan panduan perilaku dan pilihan terstruktur tentang kepatuhan atau loyalitas. Kedua,

ketika sengketa terjadi, para pihak yang terkait dapat menggunakan ketentuan-ketentuan hukum

yang dimiliki untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara dyadic atau dua pihak. Ketiga,

sistem aturan hukum yang ada memungkinkan membantu pihak ketiga dalam mengatasi

sengketa hukum serta solusi yang jitu.

Selanjutnya akan dibahas dampak TDR(Triadic dispute resolution) pada perdagangan

internasional dimana kekuasaan yudisial yang pada awalnya telah dikecualikan. GATT (General

Agreement on Tariff and Trade) merupakan perjanjian internasional yang mengatur kerja sama

dalam perdagangan internasional yang melibatkan berbagai negara(multilateral). GATT adalah

perjanjian komersial paling komprehensif dalam sejarah hubungan internasional. Saat ini, GATT

mengatur lebih dari lima per enam dari perdagangan dunia. Perjanjian ini menjadi institusi yang

sentral untuk melonggarkan perdagangan barang di arena internasional dengan implementasi

pengurangan tarif.1 Tujuan utama dari berdirinya GATT adalah menciptakan prinsip-prinsip

dan aturan umum dalam upaya liberalisasi perdagangan internasional berdasarkan perjanjian

multilateral dengan mengurangi hambatan-hambatan dalam berdagang dan juga mengeliminasi

perjanjian yang diskriminatif diantara negara-negara dalam konteks perdagangan internasional.2

Inti dari perjanjian ini adalah peraturan perlakuan yang sama dalam prinsip negara yang harus

dibantu, yang bersandar pada resiprositas. GATT juga mendukung adanya forum antar negara

untuk legislasi hukum perdagangan.

1 Peter Malanczuk, Modern Introduction to International Law, (London: Routledge, 1997) hlm. 2282 J. H. Jackson, World Trade and the Law of GATT, hlm. 187

Page 3: Review hukum internasional

Perjanjian ini mendesak anggotanya untuk menyelesaikan sengketa atau masalah mereka

secara dyadic, sesuai dengan aturan GATT yang berlaku. Potensi untuk konflik dalam

perdagangan menunjukkan pergerakan ke arah triadic secara tersirat. Terdapat tiga alasan

mengapa ada perubahan ke arah TDR. Pertama ialah negara-negara mulai mengeluh dan

kemudian membujuk negara lain untuk memodifikasi aturan perdagangan domestic mereka.

Kedua, negara-negara meminta “panel” yang dibentuk GATT untuk mementingkan,

mengklarifikasi, atau membuat aturan-aturan GATT yang ada lebih efektif. Ketiga adalah

pemerintah terkadang melibatkan diri dalam penurunan legitimasi dan kemudian memfasilitasi

revisi dari praktek perdagangan mereka sendiri.

Dalam mengaktifkan TDR, anggota-anggota GATT didelegasikan kepada sistem “panel”

yang berwenang dan berhubungan lekat dengan pemerintah. Ada tiga set hasil politik yang hanya

bisa dijelaskan dengan menghadiri dinamika dari TDR itu sendiri. Pertama, panel mengubah

ketentuan seiring perubahan global melalui provokasi dengan keputusan mereka dan modifikasi

dari ketentuan-ketentuan perdagangan nasional. Jika memenuhi, setiap keputusan yang

mendeklarasikan praktek atau ketentuan nasional yang tidak konsisten terhadap ketentuan GATT

secara konkrit akan memberi dampak pada kelangsungan hidup para importir, eksportir,

konsumen, dan produsen. Untuk menyelesaikan konflik-konflik yang kompleks, panel yang

dibentuk GATT ini tidak punya pilihan lain kecuali mencapai yurisdiksi nasional. Panel

memperkuat pengaruh mereka dalam kebijakan yang keluar melalui elaborasi pedoman bagi

kepatuhan negara. Kedua, sebagai respon terhadap eksploitasi TDR oleh negara untuk

kepentingan politik mereka sendiri, panel dibentuk sebagai hakim yang memiliki kewenangan

dalam menafsirkan ketentuan hukum. Panel juga menghasilkan peraturan yang dihasilkan oleh

yurisdiksi mereka sendiri.3 Ketiga, proses yudisial merekonstruksi bagaimana suatu negara dapat

memahami rezim perdagangan mereka sendiri.

Walaupun TDR telah muncul dan dipakai dalam hubungan internasional, kebanyakan

interaksi pada arena internasional adalah dyadic. Ketidaksetujuan diantara aktor-aktor

internasional terkadang menjadi subyek kepada resolusi melalui pihak ketiga dengan cara

arbitrasi, mediasi, atau mekanisme formal lainnya. Aktor-aktor internasional menyebarkan

pendapat dan kekuasaan materiil untuk membawa aktor lain ke dalam perspektifnya.

3 Hudec, Enforcing International Trade Law, hlm. 258

Page 4: Review hukum internasional

Di satu sisi, mereka yang memiliki sumber kekuasaan yang cukup dapat memaksa sebuah

solusi pada aktor lain. Di sisi lain, ketika tidak ada satu pun aktor yang dapat memaksakan

sebuah solusi, pendapat-pendapat normatif tentang tindakan apa yang dibenarkan sangat penting

dalam membangun konsensus. Dalam porsi dyadic pada hubungan internasional dimana tidak

ada pemecah masalah yang berwenang, dinamika evolusi normatif tidak mudah dikurangi dalam

pemakaian kekuasaan.

Pada model dyadic maupun triadic, jarak yang besar antara ketentuan dan tindakan

menghasilkan konflik. Namun, ada dua perbedaan yang signifikan dalam kedua model tersebut.

Pertama, proses penyelesaian konflik dalam dyadic cenderung informal. Kedua, karena kerangka

diskursif lebih terbuka dan proses penyelesain konflik pada triadic lebih formal, penyebaran

sumber kekuasaan menjadi kurang termediasi oleh lembaga-lembaga pada triadic seting. Sebagai

kontras pada seting triadic, dimana hakim harus membuat keputusan, dalam konteks dyadic tidak

ada pemaksaan kepada aktor dalam mencapai determinasi atau tekad.

Semenjak tahun 1990, beberapa kasus kemanusiaan telah ada diantara dua set

fundamental pada norma-norma internasional. Di satu sisi, ketentuan kedaulatan melarang

intervensi di dalam hubungan internal dengan negara lain. Di sisi lain, komunitas internasional

telah secara jelas membuat hak asasi manusia sekelompok kesadaran kolektif dan isu universal.

Dewan Keamanan PBB telah meyediakan forum institusional untuk mengatasi konflik yang

terjadi pada legitimasi dari intervensi hak kemanusiaan. Lalu, anggota dewan keamanan akan

menghadapi alasan yang substantif untuk menolak bahwa pola dan contoh ikut berperan pada

proses pembuatan kebijakan mereka dengan dua alasan. Pertama, anggota dewan keamanan akan

memilih untuk memaksimalkan kebijakan mereka sendiri. Kedua adalah dengan referensi yang

spesifik terhadap intervensi hak kemanusiaan, anggota dewan keamanan akan memaksimalkan

proteksi normatif pada kedaulatan negara secara konsisten. Ketentuan kedaulatan negara secara

landasan berada pada tekanan dengan norma hak asasi manusia. Konflik dapat muncul ke

permukaan dengan dibawa oleh aktor yang membuat sengketa pada lingkungan tertentu.

Penulis berpendapat bahwa sebenernya jika mau dirunut dan dilihat secara kasuistik pada

arena internasional, maka tipe atau model yang paling cocok untuk dijadikan solusi kepada

masalah sengketa di arena internasional ini adalah model triadic, dimana dua negara yang

bersengketa dimediasi oleh pihak ketiga yang berwenang seperti PBB atau organisasi

Page 5: Review hukum internasional

internasional lainnya berdasarkan level of analysis. Karena jika kedua negara bersengketa dan

memakai tipe dyadic tidak ada penyeimbang atau penyelaras yang dapat membantu menemukan

titik temu kepentingan kedua negara dalam bersengketa. Menurut penulis, tipe dyadic akan

kurang efektif jika dipakai untuk menyelesaikan sengketa pada isu-isu tertentu dalam komunitas

internasional. Karena pastinya akan sering mengalami kebuntuan ketika kedua pihak

menyampaikan maksud dan tujuannya, pada isu ekonomi misalnya. Layaknya manusia yang

berperan sebagai makhluk sosial, mereka tidak bisa hidup sendirian. Begitu juga negara dalam

arena internasional, pada prakteknya dibutuhkan kerja sama dalam berbagai bidang untuk

mencapai kebutuhan maupun kepentingan nasionalnya. Untuk itu dibutuhkan perjanjian atau

suatu konvensi yang dapat menaungi berbagai kepentingan negara tanpa ada satupun yang

merasa dirugikan. Kehadiran pihak ketiga dirasakan begitu penting karena fungsi tersebut, dan

juga metode ini bisa dikatakan menguntungkan karena dapat dikategorikan kedalam

penyelesaian konflik secara diplomasi, penyelesaian konflik secara legal maupun yudisial, dan

penyelesaian konflik secara prosedural diantara negara-negara anggota organisasi internasional.

Diplomasi berarti mencakup elemen negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Legal berarti arbitrasi dan

ajudikasi kepada ketentuan pihak ketiga.4 Pada sekarang ini, cara-cara tersebut diyakini lebih

efektif dan efisien dalam mengatasi sengketa dan menyelesaikan masalah ketimbang memakai

cara kuno, yaitu berperang maupun menggunakan kekerasan. Adalah merupakan ketentuan

hukum positif bahwa penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara sudah dilarang dan

oleh karena itu sengketa-sengketa internasional harus diselesaikan secara damai.5

Untuk meneliti lebih dalam masalah sengketa pada dyadic, penulis memakai isu hak asasi

manusia yang sekarang ini menjadi isu penting di level internasional sampai menjadi sorotan

khusus pada PBB. Komisi hak-hak asasi manusia yang didirikan pada tahun 1946 dan yang

beranggotakan 53 negara mempunyai tugas untuk menyiapkan rekomendasi-rekomendasi dan

laporan mengenai perjanjian internasional mengenai perlindungan kelompok minoritas,

pencegahan diskriminasi atas dasar suku, dan lainnya.6 Atas dasar sebab-sebab tersebut, sebuah

negara meminta perlindungan terhadap PBB. Karena isu diskriminasi dan hak asasi manusia

dapat berakibat buruk pada stabilitas dan citra suatu negara. Sehingga dibutuhkan tempat atau

4 Peter Malanczuk, Op.cit, hlm. 2745 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era DInamika Global, (Bandung: PT. Alumni, 2008) hlm. 1936 Ibid, hlm. 676

Page 6: Review hukum internasional

wadah dalam forum internasional untuk membicarakan dan menyelesaikan secara bersama isu

hak asasi manusia yang sekarang ini menjadi isu yang penting di dunia internasional. PBB

melalui badan-badan bawahannya mempunyai peranan sentral dalam pembakuan standar dengan

mengesahkan berbagai konvensi hak asasi manusia.7 Kegiatan pemantauan diadakan kepada

negara-negara anggotanya untuk mengetahui sejauh mana negara-negara anggota memajukan

dan melindungi hak asasi manusia berdasarkan standar yang ditetapkan PBB. Demikian penting

peran PBB dalam isu ini, sehingga model dyadic ini menjadi poros penting dalam komunitas

internasional untuk menanggulangi masalah-masalah hak asasi manusia yang ada.

Kesimpulannya, model dyadic dan triadic ada untuk mengatasi berbagai masalah atau

konflik dalam arena internasional sesuai dengan konteksnya. Dalam konteks dyadic misalnya,

yang kurang termediasi oleh pihak ketiga tapi memungkinkan untuk membentuk struktur

normatif. Dan juga triadic yang menggunakan prosedur penyelesaian masalah secara formal dan

secara substansi memediasi efek dari sumber kekuasaan sehingga tidak terjadi penyelewengan

penggunaan kekuasaan oleh negara yang kuat kekuasannya terhadap negara-negara lemah. Dua

kasus yang diangkat(GATT dan hak asasi manusia) cukup memberikan perbedaan pandangan

dan paradigma terhadap sebuah penyelesaian konflik. Bahwa dalam perdagangan internasional,

dibutuhkan pihak ketiga dalam mencapai kepentingan berbagai negara agar tidak ada yang

dirugikan. Pihak ketiga ini juga berfungsi sebagai mediator ketika konflik pada praktek

perdagangan internasional ini terjadi. Sedangkan dalam isu hak asasi manusia, forum

internasional sangatlah penting dalam membahas dan memberi solusi kepada negara-negara yang

mengalami isu hak asasi manusia. Namun forum internasional tidak dijadikan pihak ketiga dalam

isu hak asasi manusia. Karena isu tersebut cenderung tidak mengakibatkan pergolakan antar

negara dan juga berada dalam ruang lingkup domestik, negara-negara tersebut hanya butuh untuk

berbagi solusi untuk mengatasinya bersama. Dengan begitu akan tercipta hubungan kerja sama

maupun kondisi domestik suatu negara yang lebih terstruktur berdasarkan tatanan hukum yang

berlaku dan konflik-konflik yang merugikan dunia internasional maupun negara itu sendiri dapat

dihindari dengan berkaca kepada kedua model dyadic dan triadic beserta konsekuensi dan

ketentuannya.

7 ibid, hlm. 678

Page 7: Review hukum internasional