Review Film
-
Upload
andri-alaish-aditya -
Category
Documents
-
view
10 -
download
5
description
Transcript of Review Film
NAMA : TRISNA SUSANTI
KELAS / ABS : XI AK 1 / 33
REVIEW FILM
RADIT DAN JANI
Awalnya saya nonton film ini, saya udah ber-ekspektasi kalo film ini tidak jauh-jauh dari kisah film Indonesia pada
umumnya : buka-bukaa, orientasi seks dan hedonisme.
Apalagi muncullah Mbak Fahrani (model seksi dan cantik memerankan si Jani) yang dalam ceritanya menikah
muda sama Mas Vino (memerankan si Radit). Suami-istri ini jadi role mode pasangan muda yang nikah tanpa restu
orang tua, nggak punya kerjaan tetap, saling mencintai, bebas, perokok dan pemakai, kehidupan malam,
berantakan, dan tidak memikirkan apapun yang terjadi besok. Pemikiran dasarnya : Aku cinta kamu, kamu cinta
aku, dan kita bersama selamanya.
Terus menonton film ini, makin saya terpana sama film ini. It's reality! Secinta apapun kita sama pasangan kita, itu
nggak cukup bikin kita otomatis mampu bayar kontrakan, makan, tagihan listrik & air, dan berjuta tagihan lainnya.
Mencuri, nyopet, ngemis-ngemis ke orang tua tidak akan bisa selamanya mencukupi kebutuhan kita. Butuh
pekerjaan tetap, usaha, kesabaran, dan kita tidak akan bisa makan cinta. Ada titik dimana kita bisa menyerah,
muak, dan cinta nggak cukup jadi alasan lagi buat bertahan. Sekali lagi, saya tidak nyalahin cinta, justru rasa ajaib
yang satu ini penting untuk membuat suatu hubungan bisa bersatu. Tapi kalo kita emang nggak berkompeten untuk
memakai enegi cinta itu buat memenuhi kebutuhan ekonomis maupun batin si pasangan, ya pada akhirnya bakal
ambil jalan masing-masing.
Jani hamil di luar dugaan, Radit tidak punya kerjaan tetap dan jadi pecandu. Ceritanya sudah berkembang. Bukan
cuma 'aku dan kamu', tapi ada 'calon anak kita'. Mau gimana lagi, realitanya kita butuh lebih lagi. Apa yang
dilakukan Radit? Dia bertahan, berusaha, dan mulai termotivasi berubah. Tapi mau dikata apa, kalau memang
dengan banyaknya rintangan, Radit pun angkat tangan. Dengan terpaksa dia memulangkan Jani ke orang tuanya..
Endingnya, Jani melahirkan anak itu dan nikah sama orang lain. Beberapa tahun kemudian, Jani tampil menjadi
wanita yang lebih rapi dan Radit yang tiba-tiba muncul dengan gaya yang sama! Membuat saya heran, apa tidak
cukup perpisahan untuk dijadiin motivasi supaya berubah?
Kalo soal kesimpulan, saya yakin setiap orang akan mengambil makna yang berbeda-beda dengan film ini.
-- Ada yang menghujat Radit karna mengingkari janji cintanya sama Jani.
-- Ada yang menyalahkan Jani yang nggak sabar nunggu sampai Radit berubah
-- Ada yang senang sama endingnya, minimal setiap orang punya hak bebas untuk bertahan atau pergi
-- Dan banyak pemikiran lain deh
Tapi, ini salah satu film Indonesia yang endingnya istimewa.Kenapa? Karena tidak selalu berakhir dengan bersatu
dan bahagia selamanya seperti film Indonesia pada umumnya.
NAMA : TRISNA SUSANTI
KELAS / ABS : XI AK 1 / 33
REVIEW FILM
PERAHU KERTAS
Perahu Kertas menjadi pilihan yang paling populer. Selain fakta bahwa film ini beranjak dari novel laris berjudul
sama hasil tulisan Dewi Lestari yang telah mengumpulkan basis penggemar yang cukup banyak, faktor Hanung
Bramantyo sebagai nahkoda kapal menjadi daya tarik lain. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, nama Hanung
sudah cukup menjadi jaminan akan kualitas dari sebuah film, walaupun anggapan itu tidak sepenuhnya benar.
Mendekati hari perilisan, Perahu Kertas kian santer menjadi bahan pembicaraan di jejaring sosial setelah Maudy
Ayunda dan Adipati Dolken diumumkan sebagai bintang utama dari film ini. Berbagai pro dan kontra pun
bermunculan, umumnya berasal dari para penggemar versi novelnya. Ini tak lagi menjadi sesuatu yang
mengherankan. Memvisualisasikan sebuah novel populer dimana masing-masing pembaca tentunya sudah
memiliki imajinasi sendiri tentang bagaimana seharusnya puluhan hingga ratusan ribu kata-kata ini diterjemahkan
dalam bentuk media audio visual bukanlah perkara yang mudah. Hal ini telah menjadi rahasia umum. Si sineas
mau tidak mau kudu siap menghadapi pujian maupun cacian dari fans garis keras novelnya setelah film beredar.
The show must go on. Kita tentu tidak bisa memuaskan semua orang, bukan?
Demi memuaskan para pembaca setia yang tentunya menuntut setiap momen diabadikan dalam bentuk gambar,
maka Perahu Kertas pun dipecah menjadi dua bagian. Sebuah keputusan yang sangat berani mengingat ini adalah
sebuah film drama. Perahu Kertas berkisah mengenai persahabatan antara Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan
(Adipati Dolken) yang tidak biasa. Kugy digambarkan sebagai gadis yang unik nan eksentrik yang menganggap
dirinya sebagai agen Neptunus, namun diberkahi otak yang brilian dengan imajinasi yang luar biasa tinggi.
Perkenalannya dengan Keenan dimulai ketika Kugy mengantar kedua sahabatnya, Noni (Sylvia Fully R.) dan Eko
(Fauzan Smith), menjemput Keenan yang baru tiba di Bandung ke stasiun. Tidak membutuhkan waktu yang lama
bagi keduanya untuk saling terkoneksi satu sama lain. Segera saja, Keenan tergabung dalam geng ‘Pura-Pura
Ninja’ bentukan Kugy dan bersedia untuk diangkat sebagai agen Neptunus. Seiring berjalannya waktu, Kugy dan
Keenan menjadi kian dekat. Percikan gelora asmara pun tak terhindarkan. Hanya saja, masing-masing enggan
untuk mengakuinya dan menutup rapat rahasia ini. Terlebih, Kugy telah memiliki seorang kekasih yang
dipanggilnya Ojos (Dion Wiyoko).
Letupan konflik muncul saat hadir orang ketiga dalam kehidupan Kugy dan Keenan. Dia adalah Wanda (Kimberly
Ryder), sepupu Noni yang sengaja ‘diimpor’ langsung dari Australia untuk dijodohkan kepada Keenan.
Mengetahui hal ini, Kugy pun mengurungkan niatnya untuk menyerahkan sebuah kotak rahasia sebagai hadiah
ulang tahun Keenan yang isinya baru diketahui oleh penonton menjelang film berakhir. Tak ingin hatinya semakin
terluka, Kugy absen dari pesta ulang tahun Noni yang digelar di rumah Wanda. Persahabatan Kugy dan Noni pun
retak. Dari sini, percikan api kian membesar, menjalar kemana-mana, menciptakan friksi dalam skala yang lebih
besar. Saya yang semula telah kehilangan minat terhadap Perahu Kertas setelah sekitar setengah jam pertama yang
kering, bertele-tele, dan membosankan, dengan segera kembali mengarahkan pandangan ke layar tatkala Wanda
muncul. Bukan, bukan karena kecantikan dia, melainkan karena grafik konflik mulai menunjukkan tanda-tanda
peningkatan dalam intensitas konflik. Perahu kertas merah yang dilepas oleh Kugy di sungai pada permulaan film
mulai memasuki lekuk-lekuk sungai yang dipenuhi dengan batu-batu besar dan air yang deras.
Setelah cukup lama tidak menemukan sebuah film yang mengangkat kisah percintaan klasik dengan balutan
konflik persahabatan yang menarik untuk disimak – terakhir disuguhi Brokenhearts yang memble – Perahu Kertas
membangkitkan kembali kepercayaan bahwa genre drama romantis masih bisa diselamatkan. Seusai melewati fase-
fase sulit di paruh awal, Perahu Kertas secara perlahan-lahan mulai membaik seiring dengan semakin
berkembangnya konflik. Terlepas dari pro kontra ihwal pemilihan pemain yang dianggap kebanyakan fans kurang
mewakili imajinasi indah mereka dalam menggambarkan sosok Kugy dan Keenan, Maudy Ayunda berhasil
menyuguhkan sebuah performa yang apik. Sementara Adipati Dolken, errr... entahlah, sekalipun mampu
menciptakan chemistry dengan Maudy Ayunda, belum bisa meyakinkan penonton bahwa dia adalah Keenan,
bukan Adipati. Bayang-bayang dari film sebelumnya, 18++ Forever Love dan Malaikat Tanpa Sayap, masih
melekat dan susah terlepaskan. Malahan, Fauzan Smith yang sanggup bersinar dengan mencuri perhatian penonton
di setiap adegannya. Akan tetapi, siapa sih yang bisa melupakan penampilan singkat namun membekas di ingatan
dari personil 3 Diva, Titi DJ? Semacam penyegaran saat para aktor muda, selain Maudy dan Fauzan, gagal
memberikan penampilan yang memukau.
Dan, satu yang paling menonjol dari film in, soundtrack-nya! Diisi dengan deretan tembang-tembang yang ‘easy
listening’ dimana penempatannya dalam mengiringi sejumlah adegan dalam film terasa pas dan representatif
sehingga perjalanan mengarungi sungai dengan menggunakan perahu kertas menjadi lebih mengesankan.
Sekalipun pada akhirnya nanti Anda tidak terkesan dengan filmnya, saya cukup yakin Anda tidak akan menampik
bahwa film ini mempunyai soundtrack yang digarap amat baik. Saya jatuh cinta dengan soundtrack-nya. Andaikata
tidak dibekali dengan musik latar dan lagu-lagu berkualitas ciamik ini, perjalanan Perahu Kertas akan terseok-
seok. Inilah yang menjadi ruh film. Adalah sebuah keputusan yang tepat memberikan kesempatan kepada
departemen soundtrack untuk menjalankan tugas besar mereka dengan semestinya, alih-alih hanya dijadikan
sebagai sebuah pelengkap semata yang kerap dilakukan oleh film-film lokal dalam beberapa tahun belakangan ini.
Pada akhirnya, sekalipun tidak mampu menjadi sebuah film adaptasi yang luar biasa, Hanung Bramantyo tetap
berhasil menyuguhkan Perahu Kertas jilid awal ini sebagai sebuah film drama romantis remaja manis yang sudah
sangat jarang kita temukan dalam perfilman Indonesia.
NAMA : TRISNA SUSANTI
KELAS / ABS : XI AK 1 / 33
REVIEW FILM
TAMPAN TAILOR
Saat menyaksikan Tampan Tailor di layar perak, diri ini seolah sulit untuk mempercayai bahwa film ini diproduksi
oleh Maxima Pictures. Tiada maksud untuk berburuk sangka sama sekali. Apabila Anda mengikuti perkembangan
perfilman dalam negeri, maka tentu tahu apa yang saya maksud, bukan? Jejak rekam rumah produksi yang satu ini
dalam lima tahun terakhir sama sekali tidak menggembirakan. Nama baik telah benar-benar tercoreng sehingga
film apapun yang ditelurkan oleh mereka akan melewati proses ‘penghakiman awal’ dari masyarakat. Seolah tidak
ada sedikit pun kepercayaan bahwa Maxima bisa berubah. Tapi, yah, ini tentu sesuatu yang wajar terlebih setelah
hati disakiti dan kepercayaan dinodai berkali-kali melalui suguhan berupa deretan film-film yang berada dalam
kualitas ‘ampun deh’. Harapan untuk bangkit dari keterpurukan berada di angka 0. Maka ketika Tampan Tailor
hadir meramaikan bioskop tanah air, tiada sedikit pun ekspektasi terhadap film yang tersemat. Bahkan, penilaian
awal yang muncul – hanya dengan menyimak trailer – adalah ini hasil tiruan The Pursuit of Happyness. Sadis.
Tapi tunggu dulu, benar-benar tunggu dulu, untuk yang satu ini. Anda mungkin sudah terlanjur skeptis lantaran ini
adalah produk terbaru dari Maxima Pictures. Akan tetapi, Tampan Tailor bukanlah film yang akan membuat Anda
berkata, “ah, ini tidak ada bedanya dengan yang sudah-sudah.” Sama sekali tidak. Malahan, bisa jadi Anda akan
terperangah tak percaya usai menyaksikannya seperti yang saya alami. Tidak menduga film yang sederhana namun
manis, jenaka, serta menyentuh ini berasal dari rumah produksi yang kerap kali melempar film horor dan komedi
berbumbu seks ala kadarnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan di kuartal pertama tahun 2013 bagi para
penikmat film. Ini sekaligus menjadi sebuah lompatan yang sangat jauh bagi karir penyutradaraan Guntur
Soeharjanto yang sebelumnya sukses menggarap Otomatis Romantis, Cinlok, serta Purple Love.
Premis yang diusung oleh film yang skripnya digarap oleh Alim Sudio dan Cassandra Massardi ini memang
mengingatkan dengan film yang dibintangi oleh Will Smith tersebut, namun kesamaan hanya berhenti sebatas pada
premis karena dalam eksekusi jauh berbeda – terkadang justru lebih mengingatkan saya kepada Life is Beautiful-
nya Roberto Benigni. Apa yang disoroti dalam film adalah perjuangan dari Topan (Vino G Bastian) dalam
membangun kembali hidupnya yang berantakan usai diterjang ‘angin topan’ dalam bentuk serangkaian cobaan.
Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Istrinya meninggal digerogoti kanker ganas yang turut
‘menggerogoti’ keuangan Topan sehingga memaksanya untuk menutup toko jahit yang selama ini menjadi sumber
penghasilannya. Lantaran tiada biaya pula, putra semata wayangnya, Bintang (Jefan Nathanio), pun terpaksa tak
bisa melanjutkan sekolahnya. Dengan bantuan sepupunya, Darman (Ringgo Agus Rahman), Topan pun menjalani
berbagai macam pekerjaan demi menyambung hidup. Dimulai dari menjadi calo tiket kereta api, kuli bangunan,
hingga stuntman. Di tengah carut marut kehidupannya, hadir seorang perempuan bernama Prita (Marsha Timothy)
yang luar biasa ‘jutek’, namun berhasil memikat hati Bintang serta, ya tentu saja, Topan.
Apabila hanya berpatokan kepada sinopsis semata, maka gambaran yang hadir di benak adalah sebuah tontonan
yang maha mendayu-dayu dimana deraian air mata tak berkesudahan menjadi jualan utama. Akan tetapi, Guntur
Soeharjanto tidak benar-benar menggiringnya ke arah sana. Dia mencoba menghantarkannya dengan ringan dan
dipenuhi kejenakaan di balik plot utama yang terbilang pahit. Ketimbang memandang segala sesuatu dengan
pesimis yang umumnya digambarkan melalui air mata yang senantiasa tumpah setiap detik, Tampan Tailor justru
memilih untuk mengumandangkan rasa optimis tinggi yang mana terasa lebih efektif dalam menyentuh lubuk hati
yang terdalam. Melalui pendekatan ini, film tidak hanya berhasil membuat saya tersentuh menyaksikan gigihnya
perjuangan Topan demi mendapatkan kehidupan yang layak untuk keluarganya, namun sekaligus terinspirasi dan
mengumandangkan rasa syukur kepada Tuhan.
Kita perlu memberikan tepuk tangan yang meriah kepada Guntur Soeharjanto atas pengarahannya yang cekatan,
Alim Sudio beserta Cassandra Massardi atas skrip yang padat berisi dan terjalin rapi, serta, tentu saja, kepada
jajaran pemain atas akting yang kuat serta chemistry yang mengagumkan; Vino G Bastian yang menampilkan
kemampuan akting terbaik dalam karirnya – serta untuk pertama kalinya tidak terasa menjengkelkan – sanggup
menyatu kala dipasangkan dengan Marsha Timothy (yang mana bukan sesuatu yang mengejutkan, you know what I
mean) dan aktor cilik pendatang baru dengan masa depan menjanjikan, Jefan Nathanio. Kemampuan dari ketiga
departemen untuk saling menyokong satu sama lain inilah yang membuat Tampan Tailor sanggup berdiri dengan
kokoh sekalipun harus diakui premis yang ditawarkan oleh film ini sesungguhnya bukan sesuatu yang segar dan
telah berulang kali didaur ulang oleh banyak sineas di dunia.
Pada akhirnya, saya akan mengatakan bahwa Tampan Tailor adalah produk terbaik yang pernah dihasilkan oleh
Maxima Pictures (serta Guntur Soeharjanto dan Alim Sudio), sejauh ini. Ya, memang ini bukanlah sebuah suguhan
yang tanpa cela lantaran diganggu oleh skoring musiknya yang kelewat narsis dan ‘over-the-top’ sehingga
beberapa kali berkontribusi dalam meruntuhkan mood, membuat hati merasa jengkel serta seolah-olah tengah
menyaksikan sinetron di layar lebar. Akan tetapi, berkat penyutradaraan, skrip, serta akting yang solid, saya
sanggup menikmati film hingga credit title bergulir. Saya mendapatkan sejumlah momen menyenangkan yang
memunculkan gelak tawa yang renyah serta mengharu biru yang membuat mata berkaca-kaca saat menyaksikan
Tampan Tailor di bioskop. Di balik ketidaksempurnaan yang melingkupi, Tampan Tailor sebaiknya tidak Anda
lewatkan begitu saja.
NAMA : TRISNA SUSANTI
KELAS / ABS : XI AK 1 / 33
REVIEW FILM
LASKAR PELANGI
Film Laskar Pelangi adalah sebuah film yang dibuat oleh Riri Riza berdasarkan Novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata. Bercerita tentang kehidupan anak-anak miskin yang memiliki semangat yang tinggi untuk
mengecap pendidikan dengan keterbatasan yang melingkari kehidupan mereka di Pulau Belitong (Belitung),
sebuah pulau yang berada di lepas pantai timur Indonesia, dimana suku yang mendominasi adalah suku Melayu
dan Tionghoa.
Berawal dari sebuah sekolah Muhammadiyah yang telah menjadi tempat anak-anak tersebut terancam akan
dibubarkan oleh Depdikbud provinsi setempat jika siswa tidak mencapai 10 anak. Kemudian ketika upacara
pembukaan, seorang ibu dengan anaknya yang bernama Harun mendaftarkan diri di sekolah tersebut. Sehingga
sekolah Muhammadiyah memiliki murid yang genap 10 orang, dan akhirnya sekolah Muhammadiyah tidak jadi
ditutup. Oleh karena itu Bu Muslimah (guru yang mengajar di sekolah Muhammadiyah) memberikan nama kepada
mereka sebagai anak Laskar Pelangi.
Semua anak tersebut memiliki karakteristik serta kelebihannya masing-masing. Misalnya, si Mahar. Meskipun
perilakunya terkadang suka ngawur dan lucu, tetapi ia memiliki minat dan juga bakat terhadap bidang seni, hingga
akhirnya ia yang memberikan kemenangan untuk sekolah Muhammadiyah pada pesta karnaval dengan tarian
tradisional yang diciptakannya sendiri. Atau si Lintang, seorang anak nelayan yang sangat jenius. Dimana ia
memiliki cara tersendiri untuk menciptakan rumus-rumus matematika dan juga telah menjadi bintang kejora di
sekolah Muhammadiyah pada lomba cerdas cermat. Sesuai lirik lagu Lintang, bahwa Lintang adalah seorang anak
yang sangat luar biasa. Kemudian ada Ikal, yang menyukai dan berbakat dalam bidang sastra, dan anak-anak
lainnya.
Persoalan demi persoalan yang harus dihadapi oleh pihak sekolah serta anak-anak tersebut dapat memberikan kita
sebuah perbandingan, bahwa ternyata masih banyak orang-orang yang memiliki keterbatasan untuk menggapai
impian. Seperti lirik yang dinyanyikan pada Soundtrack Laskar Pelangi, sangat inspiratif. Apapun kendalanya, jika
kita memiliki mimpi dan kemauan, pasti ada jalan!
Bagi kamu yang sudah membaca novel Laskar Pelangi, sedikit banyaknya kamu pasti tahu bagaimana kisah serta
makna yang terselip dalam film ini. Unsur pendidikan sangat kental dalam tema Laskar Pelangi. Sedangkan
perbedaan antara Novel dan Film Laskar Pelangi menurut saya hanya dari sisi visualnya saja. Kalau mau lebih
detail sambil berimajinasi, mendingan baca novelnya aja. Tapi kalau kamu males baca, solusinya ya nonton
filmnya.
NAMA : TRISNA SUSANTI
KELAS / ABS : XI AK 1 / 33
REVIEW FILM
CRAZY LOVE
Entah sudah berapa ratus ribu judul film Indonesia dengan tema percintaan kalangan remaja berlatarkan sekolah,
jumlahnya banyak tapi yang berkesan buat saya masih bisa dihitung jari, salah-satunya “Catatan Akhir Sekolah”-
nya Hanung Bramantyo. Well, dengan template cerita yang biasanya begitu-begitu saja, wajar jika saya agak
(sudah) jenuh dengan genre yang satu ini. “Crazy Love” pun sebetulnya hanya sebuah pengulangan, plot kisah-
kasih-di-sekolah yang banyak ditemui di film-film sebelumnya yang bertema sama, bahkan di FTV sekalipun.
Cerita adalah masalah kedua yang mengganggu saya, yang paling menggelikan adalah kenapa setiap film seperti
“Crazy Love” yang ber-setting di sekolahan ini, dunia sekolah yang diciptakan jauh dari gambaran saya waktu
sekolah dulu. Paling mencolok sih soal seragam sekolah yang dipakai, dandanan anak-anaknya “sembarangan”,
kaya bukan mau ke sekolah. Biar artistik atau dibilang nga cupu? yah, kalau menurut saya sih jatuhnya malah fake,
atau memang sekolah sekarang kaya gitu? Dulu, baju dikeluarin saja mesti ngumpet-ngumpet takut ketahuan guru
killer, baru bisa bebas jika sudah pulang sekolah. Film sekarang sepertinya berlomba-lomba membuat lingkungan
sekolah makin tidak terlihat seperti sekolahan, hanya jadi background untuk numpang-nampang aktor-aktrisnya
yang kece dengan seragamnya yang minta distrap guru. Ketidakpedulian film kita tentang dunia sekolah yang apa-
adanya juga terlihat di “Crazy Love”, apa iya pakai dasinya seperti itu? apa iya dengan seenaknya bisa keluarin
baju setiap saat tanpa dimarahi gurunya? Sekali lagi sekolah hanya jadi arena sirkus, mau tampak keren tapi dunia
sekolahnya malah bikin saya “menjauh”.
Terlepas dari ceritanya yang hasil daur-ulang, comot sana-sini, klise, tapi bukan berarti saya langsung pergi
meninggalkan bioskop begitu saja, toh sebenarnya di awal-awal “Crazy Love” masih mampu untuk membuat saya
betah menikmati isi cerita, walaupun sekali lagi agak terdistraksi oleh dunia sekolahnya yang rada-rada sedikit
ngawur. Kumbang (Adipati Dolken) dan gengnya, Daniel (Herichan) Basuki (Zidni Adam) dan Abdu (Kemal
Palevi) terkenal paling bandel di sekolah. Tiap hari ada saja ulahnya, dari menyontek ketika ujian sampai aksi
bunuh diri bohongan Kumbang untuk mencari sensasi. Ulah mereka selalu berakhir dengan hukuman, dijemur
dilapangan. Tapi hukuman-hukuman dari Pak Kepala Sekolah (Ray Sahetapy) tampaknya tidak membuat
Kumbang dan gengnya jera, akhirnya Pak Kepala Sekolah punya inisiatif, ketimbang terus memberi hukuman,
kenapa tidak mencari cara lain agar “anak-anak kesayangannya” itu mau belajar. Lewat Olive (Tatjana Saphira)
sang murid teladan, gadis paling pintar sekaligus cantik di sekolah—yang memang jadi incaran Kumbang dan
kawan-kawannya—Kepala Sekolah menugaskan Olive untuk mengajarkan Kumbang, jadi semacam mentor.
Kumbang pun bingung kok Olive yang sering diganggunya tiba-tiba jadi baik dan perhatian, memberikannya
secarik kertas yang sayangnya memang bukan surat cinta melainkan berisi soal untuk dikerjakan Kumbang.
Awalnya, niat baik Olive direspon cuek oleh Kumbang, soal-soal Olive dikerjakannya setengah hati. Lama-
kelamaan, dari hanya secarik kertas berisi soal-soal matematika, pertanyaan lain muncul di hati , “apakah ini yang
namanya jatuh cinta?”
Jika “La Tahzan” kemarin seperti film yang hampa chemistry, “Crazy Love” diakui cukup cermat dalam
menghadirkan chemistry yang diperlukan, sutradara Guntur Soeharjanto (Tampan Tailor) mampu mengarahkan
Adipati Dolken (Sang Kiai) dan Tatjana Saphira (Get M4rried) untuk menciptakan ikatan yang asyik, walau
dikemas dalam situasi yang lagi-lagi klise. Paruh awal “Crazy Love” yang banyak dihabiskan di sekolah benar-
benar dimanfaatkan dengan cukup baik oleh Guntur untuk mempersatukan karakter yang bertolak-belakang.
Pendekatannya film ini dalam hadirkan kisah asmara remaja memang tak lagi baru, tapi Guntur mampu setidaknya
menciptakan chemistry yang apa adanya, tidak dilebih-lebihkan dan yang terpenting tidak palsu. Didukung oleh
akting cukup pas yang diperlihatkan oleh Adipati Dolken dan Tatjana Saphira, “Crazy Love” saya akui sukses
mencuri hati pada paruh pertamanya, saya cukup menikmati ketika cinta mulai bersemi antara Kumbang dan Olive
yang katanya menyukai kupu-kupu tersebut. “Crazy Love” yang memang dilabeli komedi romantis, tidak hanya
soal cinta-cintaan tapi juga menampilkan porsi lucu-lucuan, beberapa guyonan ampuh membuat saya tertawa tapi
sisanya sangat garing, mungkin tak cocok saja dengan selera humor saya. Well setidaknya porsi komedi tersebut
masih bisa membuat paruh pertama film cukup bisa dibilang menghibur…melompat ke paruh kedua, semua
berubah.
Apa yang sudah dibangun di paruh pertama seperti dirusak ketika “Crazy Love” tiba di paruh kedua, apa yang
paling saya rasakan adalah hilangnya chemistry di film ini, antara Kumbang dan Olive. Jika sebelumnya semua
masih diceritakan dengan tatanan penceritaan yang asyik, kali ini di paruh kedua menuju ke akhir film, “Crazy
Love” justru dipaksa untuk diburu-buru selesai. Padahal di bagian awal film ini begitu percaya diri dan tahu betul
ingin seperti apa filmnya, begitu beranjak ke paruh berikutnya, film yang skripnya ditulis keroyokan oleh Alim
Sudio (Air Terjun Pengantin Phuket) dan Cassandra Massardi (The Tarix Jabrix 3) ini seperti kehilangan arah,
tidak tahu lagi filmnya mau diapakan. Ketika arah penceritaan mulai dipaksa untuk menyentuh hati penonton tanpa
berusaha agar penonton juga ikut terikat oleh chemistry, saya pun akhirnya tidak tahu lagi mau peduli atau tidak
dengan filmnya. Walaupun formulanya cukup basi dan klise, ya tapi saya tetap menghargai “Crazy Love” yang
punya niat untuk bercerita pada paruh awal, tak begitu rapih menyulam chemistry tapi setidaknya hasilnya cukup
baik, membuat saya peduli pada karakter yang biasanya di film lain mengganggu dan saya tidak pedulikan.
Sayang, “Crazy Love” tidak mampu mempertahankan semua itu, ketika sampai pada babak berikutnya kisah cinta
antara Kumbang dan Olive, semua serba dipaksa untuk berubah, dipaksa untuk dewasa, dipaksa untuk romantis,
chemistry itu dipaksa untuk hadir lagi…tapi gagal, tak berbekas. “Crazy Love” hanya menjadi film remaja
kesekian yang akan mudah dilupakan.