Retensio Plasenta
-
Upload
helnida-zaini-kaderi -
Category
Documents
-
view
28 -
download
0
description
Transcript of Retensio Plasenta
1. Retensio Plasenta
A. Pengertian
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebih waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan
plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus (Prawiroharjo, 2008).
Retensio Plasenta adalah plasenta yang belum lepas setelah bayi lahir, melebihi waktu
setengah jam (Manuaba, 2001: 432).
Retensio Plasenta ialah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga 30 menit atau
lebih setelah bayi (Syaifudin AB, 2001).
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir daam waktu 1 jam
setelah bayi lahir (Rsustam Mochtar, 1998 : 299).
B. Etiologi
Menurut Wiknjosastro (2007) sebab retensio plasenta dibagi menjadi 2 golongan
ialah sebab fungsional dan sebab patologi anatomik.
1) Sebab fungsional
a) His yang kurang kuat (sebab utama)
b) Tempat melekatnya yang kurang menguntungkan (contoh : di sudut tuba)
c) Ukuran plasenta terlalu kecil
d) Lingkaran kontriksi pada bagian bawah perut
2) Sebab patologi anatomik (perlekatan plasenta yang abnormal)
Plasenta akreta : vili korialis menanamkan diri lebih dalam ke dalam dinding
rahim dari pada biasa ialah sampai ke batas antara endometrium dan
miometrium
Plasenta inkreta : vili korialis masuk ke dalam lapisan otot rahim
Plasenta perkreta : vili korialis menembus lapisan otot dan mencapai serosa atau
menembusnya
C. Predisposisi
1. Paritas Ibu
Pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat pada endometrium yang
mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada persalinan
sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi dan janin, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan vili khorialis
akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi plasenta
adhesiva sampai perkreta. Ashar Kimen mendapatkan angka kejadian tertinggi
retensio plasenta pada multipara, sedangkan Puji Ichtiarti mendapatkan kejadian
retensio plasenta tertinggi pada paritas 4-5 (Cahyono, 2002).
Salah satu faktor predisposisi terjadinya retensio adalah grandemultipara
(Mochtar, 2002). Teori lain mengatakan bahwa kejadian retensio lebih sering
dijumpai pada ibu grandemultipara, karena semakin tinggi paritas ibu maka semakin
kurang baik fungsi reproduksinya (Manuaba, 2008). Hal ini dikarenakan otot rahim
yang sudah melemah karena ibu sudah melahirkan > 4 kali sehingga tidak baik untuk
inplantasi plasenta.
2. Usia
Usia adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang
tahun. Semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan
lebih matang dalam berfikir dan bekerja. (Soerjono 2006).
Makin tua umur ibu maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari
endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan
pertumbuhan plasenta yang lebih luas.Kesehatan reproduksi wanita sangat penting
pengaruhnya dalam kehamilan. Usia ibu merupakan faktor resiko terhadap terjadinya
retensio. Menurut (Varney 2007) bahwa usia ibu lebih dari 35 mempunyai resiko
tinggi terjadi komplikasi persalinan dikarenakan otot-otot rahim yang sudah lemah
sehingga persalinan akan berlangsung lama yang salah satunya akan menyebabkan
terjadinya retensio.
3. Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah keseluruhan pengalaman setiap orang sepanjang
hidupnya.Dalam hal ini tidak dikenal batas usia, tidak dibatasi oleh tempat,
lingkungan dan juga kegiatan.
Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh dalam member respon terhadap
sesuatu yang datang dari luar seperti sikap dan penerimaan anjuran atau nasehat yang
diberikan oleh orang lain( naker). Klien yang berpendidikan tinggi akan memberikan
respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah
sebab pendidikan seorang menunjukkan tingkat kualitas dan kuantitas dalam dirinya
(Hartono 2009).
4. Pekerjaan
Salah satu program pemerintah dalam pembangunan adalah memberikan pekerjaan
untuk mengurangi penganguran, karena pengangguran dapat menimbulkan dampak
yang merugikan ketahanan keluarga.Kemampuan untuk melaksanakan program
pemerintah merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga
dan masyarakat serta sumber daya manusia.
Pekerjaan adalah mata pencaharian yang meningkatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.Hasil symposium nasional mengatakan kecenderungan
bertambahnya waktu yang dipakai para wanita yang berpartisipasi dalam program
pemerintah adalah berbagai waktu dalam kegiatan rumah tangga (Azwar 2001).
D. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:
1) Komplikasi yang berhubungan dengan transfusi darah yang dilakukan.
2) Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan
penurunan perfusi organ.
3) Sepsis
4) Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak
selanjutnya
Tindakan placenta manual dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1) Terjadi perforasi uterus
2) Terjadi infeksi akibat terdapat sisa placenta atau membran dan bakteria
terdorong ke dalam rongga rahim
3) Terjadi perdarahan karena atonia uteri
E. Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi
otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi,
sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal.
Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara
progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecian
mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat
berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya
menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan
plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara
serat-serat oto miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini
menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit
serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala
tiga persalinan.
Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1) Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2) Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat
(dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3) Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya
dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding
uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara
plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta,
yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di
lapisan spongiosa
4) Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak
turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di
dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan
plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan
normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan
ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari
tempat implantasinya.
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang
mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus
meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke
vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan
oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim
atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya
tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang
sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan
tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang
biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan
dengan tarikan ringan pada tali pusat.
F. Penanganan
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:
1) Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter
yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida
isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan).
Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah
apabila diperlukan yang dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2) Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat
atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3) Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan
dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4) Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi
manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih
400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan
buatan yang sulit seperti forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan
dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir, tali pusat putus.
5) Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat
dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada
umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase
harus dilakukan di rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif
tipis dibandingkan dengan kuretase pada abortus.
6) Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan
pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7) Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan
infeksi sekunder.
2. Sisa Plasenta
A. Pengertian
Sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam uterus yang dapat
menimbulkan pendarahan post portum primer atau pendarahan post portum sekunder.
Potongan-potongan plasenta yang ketinggalan tanpa diketahui (Ilmu kesehatan
reproduksi : obstetri partologi.2003).
B. Etiologi
Sisa plasenta dalam ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat
menimbulkan pendarahan post portum dini atau pendarahan post portum lambat
(biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan ). Pada pendarahan post portum dini
akibat sisa plasenta ditandai dengan pendarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir
dan kontraksi rahim baik. Pada post portum lambat gejalanya sama subinvolusi rahim,
yaitu pendarahan yang berualang atau langsung terus dan berasal dari rongga rahim .
pendarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok.
Penilaian klinis sulit memastikan adanya sisa plasenta , kecuali penolong
persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta lahir. Apabila kelahiran
pasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan sisa plasenta, maka untuk
memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan eksplorasi dengan tangan. Kuret
atau alat bantu diagnostic yaitu ultrasonografi. Pada umumnya pendarahan dari rongga
rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik dianggap sebagai akibat sisa
plasenta yang tertinggal dalam rongga rahim.
C. Predisposisi
Faktor-faktor yang mempengaruhih pendarahan pasca persalinan, akibat sisa
plasenta (manuaba 2008 hal. 135)
1) Keadaan umum pasien yang mempunyai gizi rendah
2) Kelemahan dan kelelahan otot rahim
3) Pertolongan persalina dengan tindakan
4) Overdistensi pada kehamilan
D. Komplikasi
1) sumber infeksi dan pendarahan potensial
2) terjadinya plasenta polip
3) degenerasi karsio carcinoma
4) dapat menimbulkan pembekuan darah. (manuaba 2008)
E. Patofisiologi
Tertinggalnya plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus
sehingga masih ada pembuluh darah yang tetap terbuka (saifudin 2002)
Suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan pendarahan
(sajiyatini,2011)
F. Penanganan
Menurut achadiait, 2004 penatalaksanaan sisa plasenta yaitu bila hanya plasenta (rest
plasentae), pengeluaran dilakukan secara digital, manual ataupun dengan cara
menggunankan kuret besar dan tajam secara hati-hati.
Menurut buku obgyn 2009 penatalaksanaan retensi sisa plasenta, yaitu:
Memberikan antibiotika kombinasi ( ampicilin 1 IV , dilanjutkan dengan ampicilin 3
x 1 peroral dan metronidazol 1 gram suppositoria dilanjutkan dengan metronidazol 3
x 500 peroral
Jika serviks terbuka : lakukan eksplorasi digital untuk melakukan
pembekuan darah atau jaringan.
Jika serviks hanya dapat dilalui instrumen lakukan dengan evakuasi sisa
plasenta dengan AVM atau kuretase.
Jika kadar HB lebih besar dari 8 gram %, sulfasferous 600mg/hari peroral
selama 10 hari.
3. Atonia Uteri
A. Pengertian
Antonia uteri (relaksi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (Depkes Jakarta 2002).
Antonia uteri adalah keadaan lemah nya tonus/ kontraksi rahim yang
menyebabkanuterus tidak mampu menutupperdarahan terbuka dari tempat implantasi
setelah bayi dan plasenta lahir. (sarwono . 2009).
B. Etiologi
Adapun faktor penyebab dari antonia uteri adalah sebagai berikut:
1) Pemisahan plasenta inkomplet
Jika plasenta tetap melekat secara utuh pada dinding uterus, hal ini cenderung tidak
menyebabkan pendarahan. Namun demikian, jika pemisahan telah terjadi , pembuluh
darah maternal akan robek . jika jaringan plasenta sebagian tetap tertanam dalam
desidua yang menyerupai spon, kontraksi dan rretraksi yang efisien akan terganggu.
2) Rotensi kotiledon pragmen palsenta atau membaran , hal ini juga mengganggu kerja
uterus yang efisien.
3) Percepatan persalinan. Jika uterus telah berkontarksi dengan kuat dan menyebabkan
durasi persalina kurang dari 1 jam , kesempatan otot untuk beretraksi tidak cukup.
4) Persalinan lama. Dalam persalina yang fase aktifnya berlangsung lebih dari 12 jam
insersia uterus dapat terjadi akibat kelelahan otot
5) Polyhydramnion atau kehamilan kembar. Miometrium menjadi sangat regang sehingga
menjadi kurang efisien.
6) Plasenta previa. Sebagian atau seluruh plasenta berada dbawah tempat lapisan otot
yang lebih tipis megandung sedikit serat oblik: Mengakibatkan kontrol pendarahan
yang buruk.
7) Abrupsio plasenta. Darah dapat meresap diantara serat otot mengganggu kerja efektif.
8) Anastesi umum agen anestesidapat menyebakan relaksi uterus, terutama agen inhalasi
yang mudah menguap seperti halotan.
9) Kesalahan penatalaksanaan kala 3 persalinan. Dikatakan bahwa faktor ini tetap
menjadi penyebab pendarahan pasca portum yang paling sering. Gesekan fundus atau
manipulasi uterus dapat mencetuskan terjadinya kontrasi aritmik sehungga plasenta
hanya sebagian terpisah dan kehilangan retraksi.
10) Kandung kemih penuh, Kandung kemih penuh , kedekatannya dengan utrus didalam
abdomen setelah kala 2 persalinan dapat mengganggu kerja uterus . hal ini juga
merupakan kesalahan penatalaksanaan.
C. Predisposisi
Predisposisi yang biasa di kenal, antara lain :
1) Distensi rahim yang berlebihan
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan
uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir
2) Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga oto-otot rahim
tidak mampu melakukan kontraaksi segera setelah plasenta lahir.
3) Grande multipara (paritas 5 atau lebih)
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali,maka uterus juga akan berulang kali
teregang. Hal ini kan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus segera setelah
plasenta lahir.
4) Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebabperdarahan post partum adalah mioma
intramular, di mana mioma berada dalam miometrium sehingga akan menghalangi
uterus berkontraksi.
5) Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstrasi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus di paksa untuk segera mengeluarkan
buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah
untuk berkontraksi.
6) Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya kehamilan ataupun juga
terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan otot uterus lemah dan lelah
berkontraksi.
7) Infeksi intrapartum
Korioaminionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial akan
menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan untuk
melakukan kontraksi.
8) Persalinan yang cepat
Persalinan cepat mengakibatkan otot uterus di paksa untuk segera mengeluarkan buah
kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin lelah dan lemah untuk
berkotraksi.
9) Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa, dan plasenta lepas prematur mengakibatkan
gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing menghalangi kontraksi yang
baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
10) Anastesi atau analgetik yang kuat
Obat anastesi atau analgetik dapat menyebabkan otot uterus menjadi dalam kondisi
relaksasi yang berlebihan, sehingga saat di butuhkan untuk berkontraksi menjadi
tertunda atau terganggu. Dengan demikian juga magnesium sulfat yang di gunakan
untuk mengendalikan kejang pada pre-eklampsia/eklampsia yang berfungsi sebagai
sedativaa/penenang.
11) Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang di gunakan untuk memakasa uterus untuk berkontraksi
saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah.
12) Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskuler diseminata
merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus uterus
terhambat untuk berkontraksi.
D. Komplikasi
Komplikasi pada atonia uteri yaitu perdarahan post partum primer yang dapat
mengakibakan syok. Bila terjadi syok yang berat dan pasien selamat, dapat terjadi
komplikasi lanjutan yaitu anemia dan infeksi dalam masa nifas. Infeksi dalam keadaan
anemia bisa berlangsung berat sampai sepsis. Pada perdarahan yang di sertai oleh
pembekuan intravaskular merata dapat terjadi kegagalan fungsi organ-organ seperti gagal
ginjal mendadak (Khairi,2011)
E. Patofisiologi
Perdarahan post partum bisa di kendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat
miometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh
darah sehingga aliran darah di tempat plasenta berhenti kegagalan mekanisme akinat
gangguan fungsi miometrium di namakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab
utama perdarahan post partum. Sekalipun pada kasus-kasus perdarahan post partum
kadang-kadang sama sekali tidak di sangka atonia uteri sebagai penyebabnya, namun
adanya faktor penyebab dalam banyak hal harus menimbulkan kewaspadaan terhadap
kemungkinan gangguan tersebut.
F. Penanganan
Pada umumnya di lakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:
1) Sikap trandelenburg, memasang vencus line, dan memberi oksigen
2) Merangsang kontraksi uterus dengan cara:
Masase fundus uteri dan merangsang puting susu
Pemberian oksitosin dan turunan ergot melaalui suntikan IM,IV atau SC
Memberkan derivat prostaglandin F2a (carboprost tromethamine) yang kadang
memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris dan
takikardi
Pemberian misoprostol 800-1000 mcg per rektal
Kompresi bimanul eksternal atau internal
Kompresi aorta abdominalis
Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam avum uteri di sambung dengan
kateter, difiksasi dengan karet gelang dan isi cairan infus 200 ml yang akan
mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif
Catatan: tindakan memasang tampon kasa utero-vaginal tidak di anjurkan dan
hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan
(Prawirohardjo,2010).
4. Perlukaan jalan lahir
A. Pengertian
Perlukaan jalan lahir merupakan perlukaan yang terjadi pada jalan lahir saat atau
setelah terjadinya persalinan yang biasanya di tandai oleh perdarahan pada jalan lahir.
Perlukaan jalan lahir karena persalinan dapat mengenai vulva, vagina dan uterus. Jenis
perlukaan ringan berupa luka lecet, yang berat berupa suatu robekan yang di sertai
perdarahan hebat (Prawirohardjo S,2008 : 409)
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim
baik, dapat di pastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Perlukaan jalan lahir terdiri dari :
1) Robekan perineum
Robekan perineum terjadi karena semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutya. Robekam perineum umumnya terjadi di garis tengah dan
bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil
dari pada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang
lebih besar dari pada sirkumferensia suboksipito bregmatika. Luka perineum adalah
perlukaan yang terjadi akibat peralinan pada bagian perineum dimana muka janin
menghadap.
Luka perineum adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perineum
dimana muka janin menghadap.
Luka perineum di bagi menjadi 4 tingkatan:
Tingkat I : robekan hanyapada saat selaput lendir vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum
Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan alat peilnia
transversalis,tetapi
tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot spingter ani
Tingkat IV : robekan sampai dengan mukosa rectum
2) Robekan serviks
Robekan serviks paaling sering sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan bibir
belakang serviks di jepit dengan klem fenster kemudian di tarik sedikit untuk
menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan di jahit sedikit
dengan catgut kronik di mulai dari ujung untuk menghentikan perdarahan.
3) Rupture uteri
Rupture uteri adalah robekan atau diskontuinitas dinding rahim akibat di lmpauinya
daya regang miometrium. Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat
kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perineum visceral.
B. Etiologi
1) Robekan perineum
Robekan perineum di sebabkan oleh kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arcus
pubis lebih kecil dari pada biasa sehingga kepala janin lebih kebelakang dari pada
biasa,kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar
dari pada sirkum feransia suboksipito bregmatika, atau anak di lahirkan dengan
pembedahan vaginal.
(sarkono, 2005: 665)
2) Robekan serviks
Robekan semacam ini biasanya terjadi pada persalinan buatan: ekstraksi dengan
forcep,ekstraks dengan letak sungsang, versi dan ekstraksi, dekapitasi, perforasi, dan
kraniklasi terutama kalau di lakukan pada pembukaan yang belum lengkap.
(UNPAD: 1984:219)
Apabila serviks kaku dan his kuat, serviks uteri mengalami tekanan kuat oleh kepala
janin, sedangkan pembukaan tidak maju. Akibat tekanan kuat, dan lama ialah
pelepasan sebagian serviks atau pelepasan serviks secara sirkuler
(Sarwono:2005:668)
3) Rupture uteri
a. Riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uteri.
b. Induksi dengan oksitosin yang sembarang atau persalinan.
C. Perdisposisi
Faktor maternal
1) Partus presipitatus yang tidak di kendalikan atau tidak di tolong, pasien tidak
mampu berhenti mengejan
2) Persalinan di selesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang
berlebihan
3) Edema dan kerapuhan pada perineum
4) Vaskositas vulva yang melemahkan jaringan perineum
5) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggulyang sempit pula sehingga
menekan kepala
6) Perluasan episiotomi
Faktor janin
1) Bayi yang besar
2) Posisi kepala yang abnormal,misalnya presentasi muka dan ocuptoposterior
3) Kelahiran bokong
4) Ekstraksi forcep yang sukar
5) Dystosia bahu
6) Anomali congenital seperti hydrocepalus
D. Komplikasi
1) Komplikasi awal
a) Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi jika pembuluh darah tidak di ikat dengan baik.
Pencegahannya adalah dengan mengikaat titik perdarahan ketika sedang menjahit,
pastikan bahwa perdarahan tidak berasal dari uterus yang atonik.
b) Hematoma
Menggumpalnya darah pada dinding vagina yang biasa terjadi akibat komplikasi
luka pada vagina. Hematoma terlihat adanya pembengkakan vagina atau nyeri
hebat dan retensi urin.
c) Retensi urin
Maternal harus sering di anjurkan untuk sering berkemih, jika ibu tidak mampu
maka pasang kateter untuk menghindari ketegangan kandung kemih.
d) Infeksi
Komplikasi paling umumdan dapat di hindari dengan memberikan antibiotik
profilatik pada maternal dan gunakan teknik aseptik saat menjahit robekan. Jika
terjadi infeksi, jahitan harus segera di lepas dan di ganti dengan jahitan kedua kali,
jika di perlukan hanya setelah infeksi teratasi.
2) Komplikasi lanjut
a) Jaringan parut dan stenosis (penyempitan) vagina, dapat menyebabkan nyeri
selama bersenggama dan persalinan lama pada kelahiran berikutnnya, jika robekan
hanya setelah tidak di perbaiki.
b) Vesika vagina, vesiko serviks atau fistula `dapat terjadi apabila robekan vagina
atau serviks meluas ke kandung kemih/rektum.
E. Patofisiologi
1) Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang juga dapat
persalinan berikutnya. Robekan ini dapat di hindarkan atau di kurangi dengan
menjaga jangan sampai dasar panggul di lalui oleh kepala janin dengan cepat,
sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan di tahan terlampau kuat dan lama.
2) Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara
berbeda dari pada yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang
luas mengakibatkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila
terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan
uterus berkontraksi baik, perlu di pikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan
serviks uteri.
3) Rupture Uteri
a) Rupture Spontan
Terjadi spontan dan sebagian besar pada persalinan. Terjadi gangguan
mekanisme persalinan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim
yang berlebihan.
b) Rupture Uteri Traumatik
Terjadi pada persalinan, timbulnya ruptur uteri karena tindakan ekstragsi forsep,
ekstraksi,vakum dll.
c) Rupture Uteri Pada bekas luka uterus
Terjadinya spontan atau bekas seksio sesaria dan bekas operasi pada uterus.
F. Penanganan
1) Robekan Perineum
a) Persiapan Alat
Wadah DTT berisi: sarung tangan, pemegang jarum, jarum jahit
Cairan antiseptik (alkohol,betadin)
Anastesi lidokain 1%
b) Persiapan pasien
Ibu posisi litotomi, pasang kain bersih di bawah bokong, atur lampu vulva atau
perineum bersihkan dengan cairan anti septik.
c) Persiapan Petugas
Lepaskan perhiasan dan cuci tangan, pakai sarung tangan DTT untuk
memasukkan lidokain % ke dalam spuit kemudian pakai sarung tangan lain.
d) Perawatan Pasca persalian
Apabila terjadi robekkan tingkat IV beban antibiotik profilaksis dosis tunggal
Amphicilin 500 mg/oral
DHN metronidazol 500 mg/oral
Observasi tanda-tanda infeksi
Jangan lakukan pemeriksaan rectal atau enema 2 mgg
Berikan pelembut keses selama 1 mg/oral
Teknik menjahit robekan perineum
Tingkat I
Jelujur (continous sutare) atau dengan cara angka delapan (figure of eight)
Tingkat II
Jika di jumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi maka pinggir
yang bergerigi harus di rapikan lebih dulu.
Pinggir robekan kanan-kiri masing-masing di klem kemudian di gunting
dan di lakukan penjahitan.
Mula-mula di jahit catgut, selaput lendir vagina di jahit dengan catgut serata
terputus atau jelujur.
Penjahitan selaput lendir yang vagina di mulai dari puncak robekan
Terakhir kuat perineum di jahit dengan benang sutera dengan terputus.
Tingkat III
Dinding depan rektum yang robek di jahit dulu
Fasia perifektal dan fasia septin rektovaginal di jaahit dengan catgut kromik
sehingga bertemu kembali
Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah di klem dengan klemplen usus
kemudian jahit dengan 2-3 jahit catgut kromik
Robekan di jahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat
II.
2) Robekan Cerviks
a) Pertama-tama pinggir robekan sebelah kiri & kanan di jept dengan klem sehingga
perdarahan berkurang atau berhenti
b) Kemudian serviks di tarik sedikit, sehingga lebih jelas kelihatan
5. Inversio Uteri
A. Pengertian
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya
masuk kedalam kavum uteri (Rustam Muchtar. Prof,DR.MPH, sinopsis obstetri, jilid 1
edisi 2:1998)
Inversio uteri adalah suatu keadaaan di mana sebagian atas uterus ( fundus uteri)
memasuki kavum uteru sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum
uteri. (prawirohardjo sarwono, prof,DR,Ilmu Kebidanan :jakarta)
B. Etiologi
Penyebabnya bisa terjadi secara spontan atau karena tindakan. Faktor yang
memudahkan terjadinya adalah uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya; tarikan tali
pusaat yang berlebihan; atau palutolous kanalis serviks.
Yang spongtan dapat terjadi pada grandemultipara, atonia uteri, kelemahan alat
kandungan dan tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan dan baatuk).
Yang karena tindaakaan dapat di sebabkan crade yang berlebihan, tarikan tali pusat
dan pada manual plasenta yang di paksakan, apalagi bila ada perlekatan plasenta pada
dinding rahim.
C. Predisposisi
Faktor yang berhubungan dengan Inversio uteri:
1) Riwayat Inversio uteri pada persalinan sebelumnya
2) Implantasi plasenta di bagian fundus uteri
3) Atonia uteri
4) Penatalaksanaan kala III aktif yang salah
D. Komplikasi
Invseri uteri yang terjadi menimbulkan:
1) Rasa nyeri abdomen bagian bawah
2) Dapat di sertai kollap, sekalipun belum terdapat perdarahan sebagai akibat syok
neurogenik. (Manuaba,hal 822,2007)
E. Patofisiologi
1) Perdarahan yang berasal dari bekas implantasi plasenta
2) Tarikan dari peritoneum parietalis, menyebabkan rasa nyeri sehingga dapat di
katakan sebagai syok neurogenik
3) Tarikan peritoneum parietalis menyebabkan dinding abdomen tegang sehingga sulit
melakukan palpasi dengan baik untuk menegakkan diagnosis inversio uteri
4) Inversio post partum yang di sertai syok dapat meningkatkn mortalitas sekitar 30%.
(Manuaba, hal 822,2007)
F. Penanganan
1) Pencegahan : Hati-hati dalam memimpin persalinan ; jangan terlalu mendorong atau
melakukan perasat crede berulang-ulang dan hati-hatilah dalam menarik tali pusat
serta melakukan pengeluaran dengan tangan
2) Bila telah gterjadi, maka terapinya adalah:
Bila ada perdarahan atau syok, berikan infus dan transfusi darah serta perbaiki
keadaan umum
Sesudah itu segera di lakukan reposisi kalau perlu dalam narkosa
Bila tidak berhasil maka di lakukan tindakan operatif secara perabdominan
(operasi hauletein) atau pervaginam (operasi menurut spinelli)
Di luar rumah sakit dapat di bantu dengan melakukan reposisi ringan, yaitu
dengan temponade vaginal, kemudian antibiotika untuk mencegah infeksi.
(Rustam Mochtar,hal 306,1998)
6. Kelainan Pembekuan Darah
A. Pengertian
Gangguan pada faktor pembekuan darah (trombosit) adalah perdarahan yang terjadi
karena adanya kelainan pada proses pembekuan darah sang ibu, sehingga darah tetap
mengaalir.
B. Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak
menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk
mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjedalan
darah memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan.
Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkaan perdarahan post partum sekunder atau
perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau di dapat saat persalinan.
Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau
sindroma HELLP sekunder, sulosio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet
dapat saja terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya,
walaupun sering tak terdiagnosis.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa
hipofibrinogenemia familial dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang di dapat biasanya
yang menjadi masaalah. Hal ini berupa DIC yang berhubngan dengan sulosio plasenta,
sindrom HELLP,IUFD,emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada
saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak
hamil harus mendapat perhatian. Selain itu koagulopati di lusional dapat terjadi setelah
perdarahan post partum masif yang mendapat resusitasi cairan kristaloid dan transfusi
PRC.
DIC, yaitu gangguan mekanisme pembekuan darah yang umumnya di sebabkan oleh
hipo atau afibrinogenemia atau pembekuan intravaskular merata (Disseminated
Intravaskular coagulation)
DIC juga dapat berkembang dari syok yang di tunjukkan oleh hipoperfusi jaringan,
yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus i ni
terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta
pemanjangan waktu trombin (thrombin time).
C. Predisposisi
1) Mikroorganisme : Bakteri dan jamur
Missalnya : pada syok septikemik
Bekteri mengritasi mekanisme pembekuan darah
2) Luka bakar
Luka bakar yang terlalu parah dapat menyebabkan banyak sekali sumbatan
pembuluh darah.
3) Leukimia promielositik
4) Produk-produk tumor
5) Cedera remuk
6) Sulosio plasenta (Sylvia A.price & Lioraine M.wilson,2003)
D. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi obstetric yang di ketahui berhubungan dengan DIC (koagulasi
intravaskular disemenata).
Sepsi oleh kuman gram negatif terutama yang menyertai dengan abortus septic.
Syok berat, pemberian cairan hipertonik ke dalam uterus. (Schward,2000)
E. Patofisiologi
Kelainan koagulasi generalisata ini di anggap sebagai akibat dari lepasnya substansi-
substansi serupa tromboplastin yang berasal dari produk konsepsi ke dalam sirkulasi
darah ibu atau akibat aktivitas faktor XII oleh endoksin.setelah itu mulailah serangkaian
reaksi berantai yang mengaktifkan mekanisme pembekuan darah, pembentukan dan
pengendapan fibrin dan sebagai konsekuensinya, aktivasi sistem fibrinolitik yang
normalnya sebagai proteksi. Gangguan patofisiologi yang kompleks ini menjadi suatu li
ngkaran setan yang muncul sebagai diathesis perdarahan klinis dengan berubah-ubahnya
hasil rangkaian tes pembekuan darah sehingga membingungkan.
F. Penanganan
Jika tes koagulasi darah yang menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya
perdarahan post partum, perlu di pertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya
perdarahan post partum, perlu di pertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya
perdarahan post partum, seperti sulosio plasenta, sindrom HELLP, fatty liver pada
kehamilan,IUFD, emboli air ketuban dan septikemia. Ambil langkah spesifik untuk
menangani penyebab yang mendasari dan kelainan hemostatik.
Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati dilusional.
Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah yang bersifat
sangat esensial. Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus transfusi masif dan
koagulopati. konsentrat trombosit yang d turunkan dari darah donor di gunakan pasien
dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Satu
unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5000-10.000/mm3. Dosis
biasa sebesar kemasan 10 unit di berikan jika gejala-gejala perdarahan telah jelas atau
bila di hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. Transfusi trombosit di indikasikan bila di
hitung trombosit 10.000-50.00/mm3, jika di rencanakan suatu tindakan operasi,
perdarahan aktif atau di perkirakan di perlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi
ulang mungkin di butuhkan karena masa paruh trombosit hanya 3-4 hari.
Plasma segar yang di bekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V,VII,IX,X
dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak di perlukan adanya
kesesuaian donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima.
Bila di temukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma
segar yang di bekukan harus di pakai secara empiris.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII,XII dan fibrinogen, di
pakai dalam penaganan hemofilia A,hipofibrinogenemia dan penyakit Van Willebrand.
Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat di prediksi untuk terjadinya suatu pembekuan, seta
bervariasi menurut keadaan klinis.
DIC
Uterotonika dosis adekuat
Tambahan fibrinogen langsung
Analisa faktor pembekuan darah