Resus Ria BPH

9
REFLEKSI KASUS Benign Prostat Hyperplasia Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul Disusun oleh : Rianita Nursanti 20100310164 Diajukan kepada : dr. Gunawan Siswadi, Sp. B BAGIAN ILMU BEDAH PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

description

bph

Transcript of Resus Ria BPH

REFLEKSI KASUS

Benign Prostat Hyperplasia

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Bedah

Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :

Rianita Nursanti

20100310164

Diajukan kepada :

dr. Gunawan Siswadi, Sp. B

BAGIAN ILMU BEDAH

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

2015

Rianita Nursanti

20100310164

REFLEKSI KASUS

BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA

1. Rangkuman Kasus

Pasien laki-laki (60 tahun) datang ke poli bedah dengan keadaan tampak lemah. Pasien mengeluh nyeri perut di bagian bawah pusar sejak 2 bulan yang lalu dan dirasakan semakin meningkat sejak 2 minggu terakhir, disertai adanya gangguan keinginan kencing yang terasa sangat sakit.

Keluhan lain terkait buang air kecil yaitu pasien mengeluh buang air kecil tidak lancar, pancaran kencing lemah, mengedan saat buang air kecil, alirannya terputus-putus, dan pasien tidak pernah merasa puas setelah selesai buang air kecil karena masih merasa ada sisa urin yang belum dikeluarkan. Bahkan pasien juga mengeluh sering bangun pada malam hari untuk buang air kecil ± 5 kali setiap malam.

Pada saat buang air kecil tidak disertai rasa sakit yang hebat pada ujung penis, batang penis dan daerah bokong. Jika buang air kecil tidak pernah bercabang dan tidak mengeluarkan batu saat kencing. Pasien menyangkal pernah mengeluarkan darah pada saat buang air kecil dan tidak merasakan nyeri daerah punggung.

2. Perasaan terhadap pengalamanBagaimana cara mendiagnosis Benign Prostat Hyperplasia (BPH) ?

3. EvaluasiDiagnosis BPH bedasarkan :- Gambaran Klinis

1.1. Gejala ObstruktifGejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah :

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency) 2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)3. Miksi terputus (Intermittency)4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu :

a. Volume kelenjar periuretralb. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostatc. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi

otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.8

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :

a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.

b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal

karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.

III.1.2. Gejala Iritatif

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :

1.Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)2.Nokturia3.Miksi sulit ditahan (Urgency)4.Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :

Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml

Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml 7

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra. Gejala obstruksi biasanya disebabkan oleh prostat dengan volume besar. Bila terjadi dekompensasi vesika urinaria akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesika yang menyebabkan rasa tidak puas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika akan naik terus dan bila tekanan vesica lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesiko uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan

sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesikal yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus mengedan saat miksi, maka tekanan intra abdomen menjadi meningkat dan lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena terdapat sisa urin dalam vesika maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Retensi kronik dapat pula menyebabkan infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.

III.2. Pemeriksaan Fisik

III.2.1. Rectal Toucher

Pemeriksaan rectal toucher atau colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)b. Adakah asimetrisc. Adakah nodul pada prostated. Apakah batas atas dapat dirabae. Sulcus medianus prostatef. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

III.2.2. Pemeriksaan Abdomen Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-

kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesika urinaria dapat teraba bila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.

III.3. Pemeriksaan laboratoriuma. Darah : - Ureum dan Kreatinin

- Elektrolit- Blood urea nitrogen- Prostate Specific Antigen (PSA) - Gula darah

b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik- Sedimen

III.4. Pemeriksaan pencitraana. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari karsinoma prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)- pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi

prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).

- mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.

- foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin Bila BUN dan serum kreatinin tinggi sekali maka tidak ada gunanya dilakukan

pielografi intravena karena ginjal tidak dapat mengkonsentir kontras lagi pula kontras I-131 bukan tidak berbahaya bila tertimbun dalam tubuh.

Dengan pielografi intravena buli-buli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan.

Sebelum untuk melihat adanya tumor intravesika dan divertikel Sementara (voiding cystografi) untuk melihat adanya refluks urin Sesudah (post evacuation) untuk melihat residual urin.

c. Ureterosistoskopi (pan-endoskopi)Dilakukan untuk melihat pembesaran prostat intravesika dan berapa besarnya (kira-

kira berapa gram), hal ini penting untuk menentukan jenis operasi. Dengan pemeriksaan ini dapat disingkirkan kemungkinan adanya batu buli-buli,divertikel, tumor dan dapat menilai dinding buli-buli seperti adanya radang,trabekulasi, balken blaas dan lain-lain.

Pembagian pembesaran lobus medius dalam beberapa tingkatan untuk membantu gradasi BPH :

Grade I : pembesaran setinggi pertengahan trigonum.

Grade II : pembesaran setinggi trigonum.

Grade III : pembesaran melampaui trigonum.

d. Sistogram retrogradApabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram

retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap dapat dilakukan sistogram retrograd.

e. UltrasonografiDapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal. Selain untuk mengetahui

pembesaran prostat dapat pula menentukan volume buli-nuli, mengukur sisa urin dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.

e. MRI atau CT jarang dilakukan

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan.

III.5. Pemeriksaan laina. Uroflowmetri

Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh

- daya kontraksi otot detrusor- tekanan intravesica- resistensi uretra

Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.

c. Pemeriksaan Volume Residu UrinVolume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.

4. DokumentasiIdentitasNama : Bp. KTanggal lahir : 4 - 01 – 1955Usia : 60 TahunAlamat : Muneng, Tirtohargo, Kretek

5. Daftar Pustaka1. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta :

EGC, 1997.2. Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah

Urologi FK UNDIP.3. Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung

Seto, 2000.4. Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara

Pengobatan, Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo, 1993.

5. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama, Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.

6. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.

7. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.

8. http://www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf 9. https://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/01/bph-2.pdf