Resus 7 Asma
-
Upload
berthy-al-mungiza -
Category
Documents
-
view
48 -
download
1
description
Transcript of Resus 7 Asma
REFLEKSI KASUS
ASMA BRONKIAL
Disusun Untuk Mememenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Pediatrik
Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo
Diajukan Kepada :
dr. Heru Wahyono, Sp.A
Disusun Oleh :
Berthy Al Mungiza
20100310078
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAGIAN PEDIATRI BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO
2014
ASMA BRONKIAL
I. PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada
anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun
Negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola
hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun
outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi
asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia
sekolah menengah pertama. Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal
60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi
juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak
pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan
untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi
bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan
antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga
harus dapat mencegah terjadinya remodeling.
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan
asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek
kronis). Pada asma episodik sering dan asma persisten, selain penanganan pada saat
serangan, diperlukan obat pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan
terhadap serangan asma.
II. DEFINISI
GINA (Global Initiative for Asthma) mengeluarkan batasan asma yang lengkap,
yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma
sebagai berikut. Asma ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak
sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang
rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai
rangsangan.
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis untuk anak
tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus Konsensus Internasional dalam
pernyataan ketiganya tetap menggunakan definisi lama yaitu: Mengi berulang dan/
atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin, sedangkan
sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan. Konsensus Nasional juga
menggunakan batasan yang praktis ini dalam batasan operasionalnya. Sehubungan
dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dengan bertambahnya umur,
khususnya di atas umur 3 tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitif. Bahkan untuk
anak di atas umur 6 tahun definisi GINA dapat digunakan.
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala-gejala
batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari
gejala tersebut.
Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya penanganan asma jangka
panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat serangan asma bisa mulai dari
serangan ringan
hingga serangan berat yang dapat mengancam nyawa.
Serangan asma akut merupakan kegAncaawatan medis yang lazim dijumpai di
ruang gawat darurat. Perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah,
setidaknya dapat dikurangi dengan pengenalan dini dan terapi intensif. Sayangnya
dalam penanganan asma anak, kedua hal tersebut masih banyak kekurangan yang
terjadi.
III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara
berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi.
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi
serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2
juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta).
Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding
perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-
laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir.
Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan
NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan, laporan
dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia 0-17 tahun
atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada anak akibat
asma jarang.
IV. PATOGENESIS
A. Reaksi inflamasi
Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai bronkokonstriksi
akibat proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada saluran napas. Karena itu
pemberian anti-inflamasi memegang peranan penting pada pengobatan dan kontrol
asma. Terlihat bahwa setelah pemberian inhalasi kortikosteroid akan terjadi
penurunan bermakna sel inflamasi dan pertanda permukaan sel pada sediaan bilas dan
biopsi bronkoalveolar. Pemberian bronkodilator saja tidak dapat mengatasi reaksi
inflamasi dengan baik. Pada tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen
serta rangsang infeksi maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor
kemotaktik yang menimbulkan migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat
molekul terjadi pelepasan berbagai mediator serta ekspresi serangkaian reseptor
permukaan oleh sel yang saling bekerjasama tersebut yang akan membentuk jalinan
reaksi inflamasi. Pada orkestrasi proses inflamasi ini sangat besar pengaruh sel Th2
sebagai regulator penghasil sitokin yang dapat memacu pertumbuhan dan maturasi sel
inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan tampak kerusakan epitel serta sebukan sel
inflamasi sampai submukosa bronkus, dan mungkin terjadi rekonstruksi mukosa oleh
jaringan ikat serta hipertrofi otot polos.
B. Sensitisasi
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan
antara proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan penyakit alergi
yang dikenal sebagai allergic march (perjalanan alamiah penyakit alergi). Secara
klinis allergic march terlihat berawal sebagai alergi saluran cerna (diare alergi susu
sapi) yang akan berkembang menjadi alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian
alergi saluran napas (asma bronkial, rinitis alergi). Suatu penelitian memperlihatkan
bahwa kelompok anak dengan gejala mengi pada usia kurang dari 3 tahun, yang
menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi ibu asma, dermatitis atopi,
rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok anak
dengan mengi yang tidak menetap. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak
mengi yang akan berkembang menjadi asma terbukti mempunyai kemampuan untuk
membentuk respons lgE serta respons eosinofil pada uji provokasi berbagai stimuli.
Proses sensitisasi diperkirakan telah terjadi sejak awal masa kehidupan, secara
bertahap mulai dari rangsang alergen makanan dan infeksi virus, sampai kemudian
rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan mempengaruhi modul respons imun yang
akan lebih cenderung ke arah aktivitas Th 2. Kecenderungan aktivitas Th2 akan
menurunkan produk IL-2 dan IFN-γ oleh Th2. Terbukti bahwa anak dengan respons
IFN-γ rendah pada masa awal kehidupannya akan lebih tersensitisasi oleh
aeroallergen dan menderita asma pada usia 6 tahun dibandingkan dengan anak
dengan respon IFN-γ normal.
Gambar 1. Mekanisme Serangan Asma
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas
yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edem mukosa karena
inflamasi saluran napas, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang terjadi tidak
seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat
terjadi. Sumbatan jalan napas menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas,
terperangkapnya udara, dan distensi paru berlebihan (hiperinflasi).
Perubahan tahanan jalan napas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus,
menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion
mismatch). Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga
terjadi peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan
untuk ekspirasi melalui saluran napas yang menyempit, dapat makin mempersempit
atau menyebabkan penutupan dini saluran napas, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pneumotoraks.
Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan
mengurangi curah jantung yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus. Ventilasi
perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja napas
menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk meng-
kompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan
dijumpai alkalosis respiratorik.
Selanjutnya pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot
napas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis
respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau
nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan
ancaman gagal napas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia
jaringan dan produksi laktat oleh otot napas. Hipoksia dan asidosis dapat
menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor
pulmonale. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi
surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan risiko terjadinya atelektasis.
V. DIAGNOSIS
Berdasarkan definisi di atas, maka oleh para perumus Konsensus Internasional
Penanggulangan Asma Anak disusun suatu alur diagnosis asma pada anak (Bagan 2).
Publikasi Konsensus Internasional pertama, kedua, hingga pernyataan ketiga untuk
diagnosis asma anak tetap menggunakan alur yang sama.
Gambar 2. Alur Diagnosis Asma pada Anak
Mengi berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk
menuju diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah
anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat
diperiksa tanda-tanda mengi, sesak, dan lain-lain sedang tidak timbul.
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan
batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam /dini hari
(nokturnal / morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan atopi pada pasien atau keluarganya.
Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya
dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak
badan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan salin hipertonis, sangat
menunjang diagnosis.6 Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma
anak. melalui 3 cara yaitu didapatkannya:
• Variabilitas pada PFR atau FEV1 >15%.
• Kenaikan >15% pada PFR atau FEV1 setelah
pemberian inhalasi bronkodilator.
• Penurunan >15% pada PFR atau FEV1 setelah
provokasi bronkus.
Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PFR dalam satu hari.
Penilaian yang baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2 minggu.
Penggunaan peak flow meter walaupun mahal merupakan hal yang penting dan perlu
dibudayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk mengetahui
keberhasilan tata laksana asma. Berhubung alat tersebut tidak selalu ada, maka
Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai alternatif karena mempunyai
korelasi yang baik dengan faal paru. Lembar Catatan Harian dapat digunakan dengan
atau tanpa pemeriksaan PFR.
Jika gejala dan tanda asmanya jelas, serta respons terhadap pengobatan baik
sekali maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap
obat asma tidak baik maka perlu dinilai dahulu apakah dosisnya sudah adekuat, cara
dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik, sebelum
melanjutkan pengobatan dengan obat yang lebih poten. Bila semua aspek tersebut
sudah baik dan benar maka perlu dipikirkan kemungkinan bukan asma.
Pasien dengan batuk produktif, infeksi saluran napas berulang, gejala respiratorik
sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru,
perlu pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto
Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga perlu
diperiksa foto Rontgen sinus paranaslis, uji keringat, uji imunologis, uji defisiensi
imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan sampai bronkoskopi.
Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan
salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin
perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan.
Dengan cara itu maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma
akan terdiagnosis dan diterapi. Jika pasien kemudian memerlukan steroid untuk
asmanya, tidak akan memperburuk tuberkulosis yang diderita karena sudah dilindungi
dengan obat.
Berdasarkan alur di atas, setiap anak yang menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi
maka diagnosis akhirnya dapat berupa:
• Asma
• Asma dengan penyakit lain
• Bukan asma
VI. KLASIFIKASI KLINIS
GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten, Asma
persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dasar
pembagiannya adalah gambaran klinis, faal paru, dan obat yang dibutuhkan untuk
mengendalikan penyakit. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF
atau FEV1 untuk penilaiannya.
Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan klinis
dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu , asma episodik jarang (asma ringan), asma
episodik sering (asma sedang) , dan asma persisten (asma berat).
• Asma episodik jarang (asma ringan)
- meliputi 75% populasi asma anak
- serangan asma sekali dalam 4-6 minggu
- mengi ringan setelah aktivitas berat
- di antara serangan, tanpa gejala dan uji fungsi paru normal
- terapi profilaksis tidak diperlukan
• Asma episodik sering (asma sedang)
- meliputi 20% populasi asma anak
- serangan lebih sering, seminggu sekali atau
kurang
- mengi pada aktivitas sedang, yang dapat
dicegah dengan obat
- uji fungsi paru mendekati normal
- terapi profilaksis biasanya diperlukan
• Asma persisten (asma berat)
- meliputi 5% populasi asma anak
- serangan sering, lebih dari 3 kali / minggu
- uji fungsi paru abnormal
- terapi profilaksis harus diberikan
Konsensus Nasional juga membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit seperti
halnya Konsensus Internasional, tapi dengan kriteria yang lebih lengkap seperti dapat
dilihat dalam tabel berikut ini. Lihat Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak
Selain klasifikasi derajat penyakit asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat
yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangan,
yang terbagi atas serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan di sini
antara derajat penyakit asma dengan derajat serangan asma. Seorang penderita
asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya bisa
saja seorang pasien yang tergolong asma episodik jarang (asma ringan) mengalami
serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian.
Beratnya derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Global
Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.
Tabel berikut memperlihatkan cara penilaian beratnya serangan mulai dari derajat
ringan hingga berat, dan serangan yang mengancam nyawa. Penilaian ini diambil dari
GINA dengan beberapa perubahan. Lihat Lampiran 2.
Butir-butir penilaian dalam tabel ini tidak harus lengkap ada pada setiap pasien.
Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien memberi
respons yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat,
atau pasien berisiko tinggi.
Pasien berisiko tinggi adalah pasien tertentu yang mempunyai risiko tinggi untuk
mengalami serangan berat yang dapat mengancam nyawa. Di antaranya adalah pasien
dengan riwayat:
• serangan asma yang mengancam nyawa
• intubasi karena serangan asma
• pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
• jangka waktu gejala yang lama
• penggunaan steroid sistemik (belum lama atau baru lepas)
• kunjungan ke IGD atau rawatan RS karena asma dalam setahun terakhir
• tidak teratur berobat sesuai rencana
• berkurangnya persepsi tentang sesak napas
• penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
VII. TATALAKSANA
A. JANGKA PENDEK
Tatalaksana ini ditujukan untuk mengatasi serangan asma. Tujuan tatalaksananya
adalah
• meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin
• mengurangi hipoksemia
• mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
• rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan
GINA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah
dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya)
sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah
menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada
panduan pengobatan di rumah, disebutkan terapi awal berupa inhalasi beta-agonis
kerja pendek hingga 3x dalam satu jam. Kemudian pasien atau keluarganya diminta
melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan yang kemudian
ditindak lanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian
terapi awal di rumah seperti di atas berisiko, dan kemampuan melakukan penilaian
juga masih dipertanyakan. Dengan demikian agaknya tatalaksana di rumah ini belum
dapat diterapkan di Indonesia. Lihat Lampiran 1.
B. JANGKA PANJANG
Tatalaksana asma jangka panjang pada anak bertujuan untuk mencegah terjadinya
serangan asma seminimal mungkin sehingga memungkinkan anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal sesuai dengan usianya. Secara lebih rinci tujuan yang
ingin dicapai adalah :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya.
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda ada yang menyebutnya pelega, atau obat
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka
obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering
disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk
mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik. Dengan demikian
pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung
derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat-
obat pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten. Lihat
Lampiran 3.
Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator β-
agonis hirupan kerja pendek (Short Acting β2-Agonist, SABA) atau golongan santin
kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. (Evidence A) Anjuran
memakai hirupan tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak
selalu tersedia disemua daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (Metered
Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) memerlukan teknik penggunaan yang benar
(untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga
tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat
digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. (evidence D)
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia
obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan
memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.Di samping itu penggunaan β-
agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa
palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi
dengan teofilin. (Evidence C).
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak seperti
terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi
sebagai obat pengendali untuk asma ringan. Jadi secara tegas PNAA tidak
menganjurkan pemberian pemberian obat controller pada Asma Episodik Jarang. Hal
ini sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma
Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4)
berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.
(Evidence A) Dalam alur tatalaksana jangka panjang terlihat bahwa jika tatalaksana
Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 4-
6minggu, maka tatalaksananya berpindah ke Asma Episodik Sering.
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tatalaksana yang
lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada Asma
Episodik Jarang, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut
paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak, Asma Episodik
Sering yang mendapat kromoglikat, dan Asma Persisten yang mendapat steroid
hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang
dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari Asma Persisten menjadi
Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang, bahkan sampai asmanya
asimtomatik.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan β-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa
menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih
dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah
terindikasi. (Evidence A) pada awalnya, anti-inflamasi tahap pertama yang digunakan
adalah kromoglikat, dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini
diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah
terkendali, pemeberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari.
Penelitian terakhir, Tasche dkk, mendapatkan hasil bahwa pemberian kromolin
kurang bermanfaat pada terlaksana asma jangka panjang. Dengan dasar tersebut
PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat dan nedokromil)
sebagai tahap pertama melainkan steroid hirupan dosis rendah sebagai anti-inflamasi
(Evidence A)
Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah
yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada
anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid
hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason)
untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200
ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan
beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason
50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali
berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh
karena itu penilaian efek terapi dilakuakn setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang
diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Setelah pengobatan selama 6-8
minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak respons (masih terdapat gejala
asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan
tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang
termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat
penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu,
maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika
asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan
(step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran
pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian
asma seperti rintis dan sinusitis. Telah dibuktikan bahwa penatalaksanaan rintis dan
sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama
gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga
gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaaan tertentu,
khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis
tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid
hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal.
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400
ug/hari. Di atas dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan
dosis 800 ug/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA (hipotalamus-
hipotesis-adrenal) sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping
steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa
perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga
mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di paru. Selain itu
untuk mengurangi efek samping steroid hirupan, bila sudah mampu pasien dianjurkan
berkumur dan air kumurannya dibuang setelah menghirup obat.
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang
baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid yang baik,
diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis
medium atau terapi steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long
Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau
ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR)(1,3). (Evidence A) Yang dimaksud
dosis medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-
300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. (Evidence D)
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala
asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis
kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan
dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. (Evidence A) yang dimaksud dosis tinggi
adalah setara dengan >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak
berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason)
untuk anak berusia di atas 12 tahun. (Evidence D)
Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan
memperbaiki kualitas hidupnya. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800
ug/hari namun tetap tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral
(sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali)
adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah
dijalankan. (Evidence B) Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih
besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat
diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang
diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus
berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat. Tabel 2.
Tabel 2. Daftar Efek Samping Steroid Sistemik
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan
enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai
pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi.
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan
setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis,
hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai
obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena tidak
mempunyai manfaat yang berarti.(Evidence A)
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau
perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi
bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya.
Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
VIII. EDUKASI TERHADAP PASIEN DAN KELUARGA
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien dan
orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan penghindaran
alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan,
dan yang paling utama adalah menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar.
Edukasi sebaiknya diberikan secara individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi
perlu dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang macam pengobatan,
alasan pemilihan obat, cara menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi
macamnya. Kemudian perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti
dengan anak diberi kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan teknik
yang benar.
Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan
pada pasien dan keluarganya:
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan
terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya
mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma
menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan
dokter menyesuaikan rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian
asma jangka panjang dengan efek samping minimal.
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita
menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
- penggunaan obat-obatan dengan benar
- pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
- mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana yang
sudah diprogramkan;
- segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif dengan
dokter yang memeriksa;
- menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan
alergen dan iritan;
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan
keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan
mandiri (self management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang dilakukan
Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan
perasaan mampu mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah,
mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada malam
hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan
asma pada anak
IX. CARA PEMBERIAN OBAT
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan
kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan anak perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa
(Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Tabel 3 berikut memperhatikan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan dengan
usianya.
Tabel 4. Anjuran Pemakaian Inhalasi Sesuai Usia
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut
(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi
efek sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek
terapeutik yang baik. (Evidence B) Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI =
Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler,
Twisthaler; memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk
anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Bayhaler,
Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman,
atau menggunakan botol dengan dot yang talah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
(Evidence D).
X. PROGNOSIS
Prognosis pada asma sulit diramalkan jika tanpa komplikasi, hal ini tergantung
pada beberapa faktor seperti usia, pengobatan, dan lama observasi. Pada anak, 26% –
78% menetap sampai dewasa.
Pada anak yang telah memiliki riwayat asma dan sering mendapat serangan, jika
tidak ditangani dengan cepat dan tepat akan berisiko untuk terjadinya peningkatan
derajat asma (lihat pada tata laksana jangka panjang Lampiran 3) serta beberapa
komplikasi yang dapat berbahaya dan mengancam jiwa.
XI. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang dapat muncul adalah :
1. Status Asmatikus
Suatu serangan asma yang berat, berlangsung dalam beberapa jam sampai
beberapa hari, yang tidak memberikan perbaikan pada pengobatan yang lazim. Status
asmatikus merupakan kedaruratan yang dapat berakibat kematian, oleh karena itu
apabila terjadi serangan harus ditanggulangi secara tepat dan diutamakan terhadap
usaha menanggulangi sumbatan saluran pernapasan.
2. Emfisema
Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan
mengalami kerusakan yang luas.
3. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan
kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
4. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh
trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran
udara atau usus ke dalam rongga dada .
5. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
6. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan
tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah
Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
7. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
8. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam
dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak.
Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita
merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang
berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit
oleh adanya lendir.
9. Fraktur iga
DAFTAR PUSTAKA
1. Akib, Arwin AP. 2002. Asma Pada Anak. Sari Pediatri, 4(2) : 78 – 82
2. Pudjiadi, Antonius H., dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Jilid 1. 269-273
3. Setiawati, Landia., Makmuri MS. 2006. Tatalaksana Asma Jangka Panjang pada
Anak. Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair / RSU Dr.
Soetomo Surabaya.
4. Supriyanto, Bambang. 2005. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma Pada
Anak. Maj Kedokt Indon, 55 (3) : 237-243
5. UKK Pulmonologi IDAI. 2000. Konsesus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri, 2(1) :
50-66
6. Yunita, Eva. 2011. Diagnosis dan Tatalaksana Asma pada Anak. Referat, Universitas
Tanjungpura.
7.
CatatanJika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergikJika tidak ada alat, nebu dapat diganti adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali maksimal 0,3 ml/kaliUntuk serangan sedang & terutama berat, oksigen 2-4L /menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi
Serangan Ringan(nebulisasi (salbutamol, dosis 1 nebule) 1x, respon baik, gejala hilang)
- observasi 1-2 jam- jika efek bertahan, boleh pulang
jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedang
Serangan Sedang(nebulisasi 2-3x, respon parsial)
- berikan oksigen- nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dg serangan sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari
- berikan steroid oral (metilprednisolon dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari) 3-5 hari- pasang jalur parenteral
Serangan Berat(nebulisasi 3x , respon jelek)- berikan oksigen 2-4L/menit- pasang jalur parenteral- steroid IV (deksametasone, dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari) diberikan secara bolus tiap 6-8 jam- nilai ulang klinis jika serangan berat Ruang Rawat Inap- foto rontgen thoraks
Nilai derajat seranganSesuai Lampiran 2
Boleh pulang-bekali obat -agonis (hirupan/oral) seperti salbutamol (0,05-0,1 mg/kgBB/kali) yang harus diberikan 4-6 jam
- jika pencetus serangan adalah infeksi virus, ditambah steroid oral jangka pendek (3-5 hari)- jika sudah ada obat pengendali, teruskan
- dalam 24-48 jam kontrol ke Klinik Rawat Jalan, untuk reevaluasi
Ruang Rawat SehariOksigen teruskan
Berikan steroid oralNebulisasi tiap 2 jam
Bila dalam 8-12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulangBila dalam 12 jam klinis tetap belum membaik, alih rawat ke Ruang Rawat Inap
Ruang Rawat InapOksigen teruskanAtasi dehidrasi dan asidosis jika adaSteroid IV tiap 6-8 jamNebulisasi -agonis + antikolinergik ( combivent, dosis ½ - 1 vial) dilanjutkan tiap 1-2 jam; jika dengan 4-6x terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian diperlebar 4-6 jamAminofilin IVDosis awal 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau garam fisiologis 20 ml, diberikan dalam 20-30 menitJika pasien sudah mendapat aminofilin (<4 jam), dosis menjadi ½ dosis awalDosis rumatan 0,5-1mg/kgBB/jamJika klinis membaik, nebu diteruskan tiap 6 jam sampai 24 jamSteroid dan aminofilin ganti per oralJika 24 jam pasien stabil ; boleh pulang
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
DERAJAT SERANGAN ASMA
LAMPIRAN 3
TATALAKSANA JANGKA PANJANG ASMA
LAMPIRAN 4
OBAT ASMA