Resus Jiwa

12
REFLEKSI KASUS FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN ATAU PENYAKIT YDK (F.54) Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Psikiatri di Puskesmas Imogiri 2 Bantul Yogyakarta Diajukan Kepada : Dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc, SpKJ Disusun Oleh : Sussy Listiarsasih 20090310102 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

description

kedokteran

Transcript of Resus Jiwa

REFLEKSI KASUS

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN ATAU PENYAKIT YDK (F.54)

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Psikiatri di Puskesmas Imogiri 2 Bantul Yogyakarta

Diajukan Kepada :

Dr. Warih Andan Puspitosari, M.Sc, SpKJ

Disusun Oleh :

Sussy Listiarsasih

20090310102

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

Rangkuman Kasus

Seorang pasien perempuan berinisial Ny. S berusia 50 tahun datang sendiri ke poliklinik dengan keluhan sakit kepala cekot-cekot sejak 1 minggu yang lalu. Pasien merupakan pasien rutin DM 2 sejak 2 tahun yang lalu. Pasien merasakan keluhan ini kurang lebih 3 kali per bulan sejak 4 tahun yang lalu. Pasien mengaku selain merasakan sakit kepala cekot-cekot, ia sering juga merasakan tengkuknya kencang, terkadang mual, mudah cemas, bingung, gelisah, ragu-ragu, sulit berkonsentrasi, dan pernah sampai jatuh pingsan. Pasien mengira penyakit DM yang ia derita semakin bertambah parah dan tak akan bisa sembuh. Suami pasien sudah meninggal 5 tahun yang lalu ia tinggal dengan anak lelaki satu-satunya yang sibuk bekerja tetapi belum menikah, di rumah sering sendirian karena anaknya bekerja dan seringkali pasien merasa kesepian karena sendiri di rumah. Pasien juga sering sulit tidur, ingin menangis, mudah lelah, merasa malas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, namun pasien menyangkal adanya perasaan ingin mati, ingin bunuh diri. Pasien mengemukakan lebih sering merasakan sedih karena harus terus-menerus minum obat ketimbang rasa cemasnya. Pasien juga menyangkal adanya pikiran berulang-ulang, pikirannya dikendalikan orang lain, pikirannya dapat diketahui orang lain, merasa dikendalikan kekuatan dari luar dirinya. Pasien tidak pernah mendengarkan suara-suara tanpa wujud, bayangan-bayangan yang tidak dapat dilihat orang lain selain dirinya, maupun bau-bau tertentu. Pasien selama ini belum pernah memeriksakan keluhan ini ke psikiatri dan belum pernah mendapatkan terapi.

Pemeriksaan fisik dilakukan dan didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, TD : 120/80 mmHg, N : 80 x / menit , RR : 24 x / menit , t : 36,8 C, kadar GDS: 211 mg/dl. Dari pemeriksaan psikiatri orientasi pasien OTWS baik, sikap kooperatif, tingkah laku normoaktif, roman muka normomimik, afek normoafek, bentuk pikir realistik, isi pikir tidak ditemukan waham kendali pikir, waham siar pikir, waham sedot pikir, waham magic mistik, waham curiga, waham kebesaran dan waham sisip pikir, progresi pikir kualitatif: tidak ada kelainan, kuantitatif: cukup bicara, halusinasi tidak ada, ilusi tidak ada, hubungan jiwa mudah, perhatian mudah ditarik mudah dicantum, dan insight derajat 5 (pasien sadar dirinya sakit dan perlu pengobatan). Didapatkan sindrom anxietas berupa mudah cemas, bingung, gelisah, ragu-ragu, sulit konsentrasi, ketegangan motorik, seperti gelisah, sakit kepala, dan overaktivitas otonomik, seperti kepala terasa ringan dan mual; sindrom depresi, seperti mudah lelah, merasa malas untuk melakukan aktivitas, dan sulit tidur.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan psikiatri maka dokter membuat diagnosis banding antara lain, faktor psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit YDK (F54) axis III Diabetes Mellitus, disfungsi otonomik somatoform pada sistem atau organ lainnya (F45.38), episode depresif sedang dengan gejala somatik (F32.11), gangguan depresif berulang, dengan gejala somatik (F32.11), episdoe depresif berulang, episode kini sedang dengan gejala somatik (F33.11), gangguan campuran anxietas & depresi (F41.2). Kemudian dokter membuat diagnosis kerja Axis I : Faktor psikologis dan perilaku yang berhubugan dengan ganggaun atau penyakit YDK (F54), Axis II : Tidak ada diagnosis, Axis III : Diabetes Melitus tipe 2 (E11), Axis IV : Masalah keluarga, Axis V : 80-71 (gejala sementara & dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial, pekerjaan, sekolah, dll) dan kemudian memberikan terapi berupa amitriptilin 25 mg 1x1 dan diazepam 2 mg 1x1.

Perasaan terhadap pengalaman

Terdapat beberapa pilihan terapi yang digunakan untuk mengatasi depresi dan cemas. Saya tertarik untuk mempelajari pilihan-pilihan tersebut dengan mempertimbangkan efek samping dan efektivitasnya.

Evaluasi

Mengapa dokter memberikan amitriptilin 25 mg 1 x 1 dan diazepam 2 mg 1 x 1 sebagai terapinya? Apakah sudah tepat? Apabila belum, bagaimana prosedur tatalaksana yang tepat untuk kasus kecemasan dan depresi? Bagaimana efek samping dan efektivitasnya?

Analisis

Amitriptyline merupakan salah satu obat anti depresi golongan trisiklik dengan sediaan 25 mg dengan dosis anjuran 75 150 mg/hari. Indikasi penggunaannya apabila ditemukan pada pasien kriteria diagnostik sindrom depresi, yaitu selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami rasa hati yang murung, hilang minat dan rasa senang, kurang tenaga hingga mudah lelah dan kendur kegiatan dan juga disertai gejala-gejala : penurunan konsentrasi pikiran dan perhatian, pengurangan rasa harga diri dan percaya diri, pikiran perihal dosa dan diri tidak berguna lagi, pandangan suram dan pesimistik terhadap masa depan, gagasan atau tindakan mencederai diri/bunuh diri, gangguan tidur, dan pengurangan nafsu makan.

Mekanisme kerja obat anti depresi adalah menghambat reuptake aminergic neurotransmitter dan menghambat penghancuran oleh enzim monoamine oxidase sehingga terjadi peningkatan jumlah aminergic neurotransmitter pada sinaps neuron di SSP. Efek samping yang dapat ditimbulkan obat anti depresi berupa sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun, dll), efek antikolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur, konstipasi, sinus takikardi, dll), efek anti adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi), efek neurotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi, insonmia). Efek samping yang tidak berat (tergantung daya toleransi dari penderita), biasanya berkurang setelah 2-3 minggu bila tetap diberika dengan dosis yang sama.

Diazepam merupakan salah satu obat anti anxietas yang tergolong dalam benzodiazepine dengan sediaan 2 5 mg dan dosis anjuran PO 10 30 mg/hari 2 3 x sehari atau parenteral 2 10 mg perhari setiap 3 - 4 jam < 10 kg/BB = 5 mg, < 10 kg/BB = 10 mg. Indikasi penggunaan harus memenuhi butir-butir sindrom anxietas, antara lain adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistik terhadap 2 atau lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman perasaan ini menyebabkan individu tidak mampu istirahat dengan tenang, harus memenuhi minimal 6 dari 18 gejala berikut :

1. ketegangan motorik, seperti kedutan otot atau rasa gemetar, otot tegang/kaku/pegel linu,

2. tidak bisa diam, 3. mudah lelah4. hiperaktivitas otonomik 5. nafas pendek/terasa berat, 6. jantung berdebar-debar, 7. telapak tangan basah-dingin, 8. mulut kering, 9. kepala pusing/rasa melayang, 10. mual, mencret, perut tidak enak, 11. muka panas/badan menggigil,12. sukar menelan/rasa tersumbat, 13. kewaspadaan berlebihan 14. perasaan jadi peka/mudah ngilu,15. mudah terkejut/kaget,

16. sulit konsentrasi pikiran,

17. sukar tidur,

18. mudah tersinggung.

Mekanisme kerja obat anxietas golongan benzodiazepine bereaksi dengan reseptornya (benzodiazepine receptors) akan meng-reinforce the inhibitory action of GABA-ergic neuron sehinggga hiperaktivitas tersebut di atas mereda. Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif melemah), relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah, dll), potensi menimbulkan ketergantungan lebih rendah dari narkotika oleh karena at therapeutic dose they have low re-inforcing propeties . Potensi menimbulkan ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat yang masih dapat dipertahankan setelah dosis terakhir, berlangsung sangat singkat, penghentian obat secara mendadak, akan menimbulkan gejala putus obat (reboud phenomena) : pasien menjadi iritabel, bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi, dll, hal ini berkaitan dengan penurunan kadar benzodiazepine dalam plasma. Untuk obat benzodiazepine dengan waktu paruh pendek lebih cepat dan hebat gejala putus obatnya dibandingkan dengan obat benzodiazepine dengan waktu paruh panjang (misalnya, clobazam sangat minimal dalam menimbulkan gejala putus obat). Ketergantungan relatif lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat peminum alkohol (alkoholics), penyalahgunaan obat (drugs abusers), atau unstable personalities. Oleh karena itu obat benzodiazepine tidak dianjurkan diberikan pada pasien-pasien tersebut. Untuk mengurangi risiko ketergantungan obat, maksimum lama pemberian = 3 bulan (100 hari) dalam rentang dosis terapeutik. Golongan benzodiazepine sebagai obat anti anxietas mempunyai rasio terapeutik lebih tinggi dan lebih kurang menimbukan adiksi dengan toksisitas yang rendah, dibandingkan dengan meprobamate atau phenobarbital. Disamping itu phenobarbital menginduksi enzim mikrosomal di hepar, sedangkan golongan benzodiazepine tidak. Golongan benzodiazepine merupakan drugs of choice dari semua obat yang mempunyai efek anti anxietas, disebabkan spesifitas, potensi, dan keamananya. Pemberian obat mulai dengan dosis awal (dosis anjuran), naikkan dosis setiap 3 5 hari sampai mencapai dosis optimal dipertahankan 2 -3 minggu, diturunkan 1/8 x setiap 2 4 minggu, dosis minimal masih efektif (maintenance dose), bila kambuh dinaikkan lagi dan bila tetap efektif pertahankan 4-8 minggu -> tappering off. Pada sindrom anxietas yang disebabkan faktor situasi eksternal pemberian obat tidak lebih dari 1-3 bulan.

Pada kasus ini pemberian obat amitriptilin 25 mg 1 x 1 dan diazepam 2 mg 1 x 1 yang diberikan sebagai terapi pada pasien ini sudah tepat karena selain sebagai terapi kecemasan dan depresi, namun pemberian obat hanya 1 x 1 per hari penulis rasa kurang tepat karena tidak sesuai dosis anjuran dari pustaka yang ada yang menyebutkan pemberian amitriptilin antara 75 150 mg/hari dan diazepam 10 30 mg/hari 2 3 kali sehari. Pemberian obat kurang dari dosis anjuran akan menyebabkan kurangnya efek obat terhadap keluhan pasien.

Kesimpulan

Dilaporkan pasien perempuan usia 50 tahun yang rutin berobat DM tipe 2 didiagnosis dengan faktor psikologis dan perilaku yang berhubugan dengan gangguan atau penyakit YDK (F54) datang ke poliklinik dengan keluhan sakit kepala cekot-cekot sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengaku selain merasakan pusing memutar sering juga merasakan tengkuk kencang, terkadang mual, mudah cemas, bingung, gelisah, ragu-ragu, sulit berkonsentrasi, pernah sampai jatuh pingsan, sulit tidur, ingin menangis, mudah lelah, merasa malas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, namun pasien menyangkal adanya perasaan ingin mati, atau ingin bunuh diri. Pasien mengemukakan lebih sering merasakan sedih ketimbang rasa cemasnya. Pemeriksaan fisik dan psikiatri dalam batas normal. Tidak ditemukan sindrom skizofrenia pada pasien, hanya ditemukan sindrom anxietas dan sindrom depresi. Telah diberikan pengobatan berupa amitriptilin 25 mg 1 x 1 dan diazepam 2 mg 1 x 1. Pengobatan tersebut tepat dalam mengobati sindrom depresi dan anxietas pasien namun dosis pemberian kurang besar sehingga efek terapetik kurang.

Daftar Pustaka

Wahyudi, KT. Cermin Dunia Kedokteran : Vertigo. Volume 39 no. 10. Medical department, PT. Kalbe Farma Tbk., Jakarta. Indonesia. 2014.

Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication) Edisi Ketiga. Jakarta. 2001.

4