Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

13
RESUME KEUANGAN DAN MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK MANAJEMEN DANA DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DAN URUSAN BERSAMA KELOMPOK 5 Disusun Oleh : Aditya Sukma ( 0610233005) I Made Jaksana Riatika ( 0710233129) Rio Dwie Permana (105020300111045) Dimas Dwi Aditya (105020300111072)

Transcript of Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

Page 1: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

RESUMEKEUANGAN DAN MANAJEMEN

SEKTOR PUBLIK

MANAJEMEN DANA DEKONSENTRASI,TUGAS PEMBANTUAN

DAN URUSAN BERSAMA

KELOMPOK 5

Disusun Oleh :

Aditya Sukma ( 0610233005)

I Made Jaksana Riatika ( 0710233129)

Rio Dwie Permana (105020300111045)

Dimas Dwi Aditya (105020300111072)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG2012

Page 2: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

1.1. Defenisi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Mengacu pada UU No.32/2004 Pasal 1 dinyatakan bahwa Dekonsentrasi adalah pelimpahanwewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Menurut PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah menyebutkan bahwa Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk investasi vertikal pusat di daerah. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan.

Dana Dekonsentrasi adalah implikasi dari pelimpahanan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur untuk urusan yang didekonsentrasikan. Provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah otonom sekaligus adalah wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja gubernur untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. Berkaitan dengan itu maka Kepala Daerah Otonom disebut Gubernur yang berfungsi pula selaku Kepala Wilayah Administrasi dan sekaligus sebagai wakil Pemerintah. Gubernur selain sebagai pelaksana atas asas desentralisasi, juga melaksanakan asas dekonsentrasi.

Urgensi mengenai dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini semakin meningkat mengingat jumlahnya dari tahun ke tahun semakin bertambah. Data sementara yang dilansir oleh Departemen Keuangan RI pada tahun 2006 misalnya mencatat bahwa besarnya dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencapai lebih dari Rp 30 Trilyun atau lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dana yang sama pada tahun 2005 atau tumbuh sebesar lebih dari 200%. Perkembangan total Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tahun 2005 dan 2006 tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini:

Page 3: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

Dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut, Kementerian dan Lembaga terbesar yang menyalurkannya adalah Departemen Pendidikan Nasional yaitu sekitar 59% dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada tahun 2006 disusul dengan Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian yang memiliki kontribusi lebih dari 10%.

Total ketiga departemen ini memiliki porsi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan lebih dari 84%. Pada tahun 2006, nilai dana dekonsentrasi sekitar 5 kali lipat dibandingkan dengan dana tugas pembantuan, memiliki pola berbeda jika dibandingkan dengan tahun 2005 dimana nilai alokasi dana tugas pembantuan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dana dekonsentrasi.

Hal ini tidak terlepas dari menurunnya jumlah alokasi dana tugas pembantuan yang dilakukanoleh Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2005. Detail distribusi alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menurut Kementerian danLembaga pada tahun 2006 dapat diperlihatkan pada tabel berikut ini:

Page 4: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

Satu hal yang penting menjadi perhatian dalam era manajemen publik yang lebih terdesentralisir saat ini, proporsi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap totalbelanja dalam APBN mengalami peningkatan, dari 1,94% pada tahun 2005 menjadi 4,3% pada tahun 2006. Dengan menggunakan perbandingan terhadap total belanja ke daerah dalam APBN, proporsi ini meningkat dari 6,58% tahun 2005 menjadi 13,61% pada tahun 2006. Kondisi ini tidak terlepas dari pertumbuhan nilai dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang sangat lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan belanja ke daerah dan total belanja dalam APBN. Sebagai ilustrasi, total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tumbuh sebesar 203% sedangkan total belanja ke daerah dalam APBN hanya tumbuh sebesar 47%.

Perkembangan ini tentunya tidak terlalu menggembirakan bagi perkembangan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal saat ini,Pemerintah Pusat seharusnyalah memberikan alokasi dana yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dalam wilayah kewenangannya. Pertanyaan mendasar berikutnya adalah berkaitan dengan distribusi aliran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan berdasarkan provinsi. Data pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa kawasan di Indonesia yang terbesar menerima dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali yaitu sekitar 37,8% dari total dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada periode tersebut.

Page 5: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

Detail distribusi dari aliran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut menurut kawasan dapat ditunjukkan pada Gambar 6 berikut ini:

Gambaran di atas memberikan satu pertanyaan penting mengenai proses penentuan besaran alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menurut provinsi. Hal ini merupakan salah satu permasalahan utama berkaitan dengan dana dekonsentrasi yang juga diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 serta UU No.33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Detail permasalahan mengenai dana dekonsentrasi ini dapat diperlihatkan pada bagian berikut ini

1.2. Permasalahan Dana DekonsentrasiSecara umum, ada dua kelompok besar permasalahan yang dihadapi dalam kebijakan dana dekonsentrasi saat ini, yaitu berkaitan dengan proses manajemen pengelolaan dana dekonsentrasi serta kriteria penentuan jumlah alokasi dan potensi ketidakmerataan fiskal antardaerah. Kedua kelompok permasalahan tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

1.2.a. Manajemen pengelolaan Dana DekonsentrasiPermasalahan pertama yang berkaitan dengan dana dekonsentrasi ini berkaitan dengan manajemen pengelolaan dana dekonsentrasi. Pasal 155 UU No.32/2004 Ayat (3) menyatakan bahwa administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang dibiayai oleh APBN dan APBD dilakukan secara terpisah.

Pengelolaan secara terpisah ini menimbulkan potensi permasalahan yang sangat besar menyangkut siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dana dekonsentrasi tersebut. Menurut ketentuan, gubernur wajib mempertanggungjawabkan dana tersebut kepada pemerintah pusat dalam hal ini adalah departemen teknis yang berkaitan dengan dana dekonsentrasi tersebut.

Page 6: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

Dalam kenyataannya, Anggota DPRD di tingkat provinsi hanya dilaporkan saja dan Gubernur tidak wajib mempertanggungjawabkannya di hadapan anggota DPRD. Pertanggungjawaban dilakukan kepada departemen teknis yang memiliki dana dekonsentrasi tersebut. Sistem pertanggungjawaban semacam ini mengundang permasalahan yang berpotensi merugikan negara. Pernyataan oleh Auditor Utama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) misalnya, menyebutkan akuntabilitas dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sejak tahun 2000 masih lemah karena penggunaannya tidak dilaporkan dalam APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD.

Apabila kondisi ini terus dibiarkan, dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 trilyun bisa dijadikansarana untuk pencucian aset sehingga berpotensi tindak pidana. (Kompas, 29 Januari 2007) Lebih lanjut, keberadaan dana dekonsentrasi—dana yang diambil dari APBN dan disalurkan melalui departemen teknis yang masih memiliki kaitan kepentingan dengan daerah—itu tidak tercatat secara akuntansi. Dengan demikian, harus dilacak hingga ke realisasi fisik di lapangan untuk mengetahui penggunaan anggarannya. Selama ini daerah hanya menerima dananya, tetapi menolak mengakui sebagai bagian dari kekayaannya pada saat diminta pertanggungjawaban. Pelacakan dana tersebut harus dilakukan departemen yang menyalurkannya dan perlu diawasi oleh instansi pengawasan internal di departemen tersebut.

BPK sempat menguji sebagian dari keberadaan dana itu hingga ke fisik, namun ternyata tidaksesuai dengan laporan pemerintah pusat Meskipun pemerintah pusat telah mengatur manajemen dana dekonsentrasi, dalam kenyataannya muncul beberapa kelemahan yang akan mengurangi akuntabilitas penggunaannya. Dana dekonsentrasi secara rinci dijelaskan lebih lanjut dalam UU No. 33 Tahun 2004 (yaitu Pasal 87 sampai dengan Pasal 93), PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, dan Surat Keputusan Menteri Keuangan (SK Menkeu) RI No. 523/KMK.03/2000 tentang tatacara Penganggaran, Penyaluran Dana Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, ketentuan umum dari pendanaan dekonsentrasi meliputi:

a) Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementrian negara/lembaga kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.

b) Pelaksanaan pelimpahan wewenang sebagaimana didanai oleh Pemerintahc) Pendanaan oleh Pemerintah disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan.d) Kegiatan Dekonsentrasi di daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD) yang ditetapkan oleh gubernur.e) Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementrian negara/lembaga

yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada DPRD.f) Rencana kerja dan anggaran diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan

RAPBD.g) Pendanaan dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat nonfisik. (antara

lain: koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian)

Page 7: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

Lebih jauh lagi, menurut PP No. 106 Tahun 2000, asas umum dari pendanaan dekonsentrasiadalah:

a) Kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah Provinsi dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

b) Kewenangan dilaksanakan oleh Dinas Provinsi sebagai perangkat Daerah Provinsi.c) Penyelenggaraan Dekonsentrasi dibiayai atas beban pengeluaran pembangunan

APBN.d) Pencatatan dan pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan Dekonsentrasi

dilakukan secara terpisah dari APBD.e) Gubernur memberitahukan kepada DPRD tentang kegiatan Dekonsentrasi.

Permasalahan muncul karena adanya aliran dana dari departemen teknis pada level pemerintah pusat kepada dinas teknis yang menimbulkan potensi masalah koordinasi. Koordinasi antara dinas teknis di daerah menyangkut penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasi dengan unit kerja yang bertanggung jawab dalam perencanaan daerah tentunya bukan tanpa ‘biaya’.

Seperti diketahui bersama, permasalahan koordinasi merupakan permasalahan yang sangat besar dalam manajemen publik di Indonesia termasuk pada level pemerintahan daerah. Meskipun kepala daerah harus melaporkan rencana kegiatan yang akan dibiayai melalui dana dekonsentrasi kepada DPRD pada saat pembahasan APBD, dalam implementasinya pemberitahuan alokasi dana dekonsentrasi ke pemerintah daerah diinformasikan setelah APBD ditetapkan. Implikasinya, hal ini dapat menyebabkan potensi permasalahan double financing dari program pemerintah. Yaitu, suatu kegiatan dalam program pemerintah daerah berpotensi dibiayai dua kali yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan dana APBD. Tentunya hal ini menimbulkan inefisiensi yang sangat besar dalam manajemen keuangan publik.

Akuntabilitas penggunaan dana dekonsentrasi di daerah juga dipacu oleh ketentuan bahwa Gubernur hanya melaporkan kepada DPRD dan bukan mempertanggungjawabkannya kepada DPRD. Kontrol DPRD terhadap pertanggungjawaban dan manajemen dana dekonsentrasi ini berkurang apalagi saat pelaporan tersebut dana dekonsentrasi belum dialokasikan kepada daerah saat pembahasan APBD. Sebagai contoh adalah apa yang diungkapkan oleh Panitia Anggaran DPRD Provinsi Jawa Barat bahwa meskipun adanya mekanisme pemberitahuan oleh Gubernur kepada DPRD terkait program-program yang menyangkut dana dekonsentrasi, dalam kenyataannya DPRD tidak pernah tahu apa saja yang sudah dilakukan terkait dengan penyerapan dana tersebut. Implikasinya, kewenangan DPRD untuk mengawasi aktivitas eksekutif pemerintahan daerah menjadi tidak efektif. (Pikiran Rakyat, 10 Januari 2007) Selain permasalahan manajemen pengelolaan dana dekonsentrasi, permasalahan terbesar kedua adalah kriteria penentuan jumlah alokasi dana dekonsentrasi per provinsi dan potensi ketidakmerataan fiskal antardaerah. Permasalahan ini akan dijelaskan pada bagian berikut ini.

Page 8: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

1.2.b. Kriteria penentuan jumlah alokasi dan potensi ketidakmerataan fiskal antardaerah

Permasalahan mendasar kedua dari alokasi dana dekonsentrasi ini adalah bagaimana caranya pemerintah pusat menentukan besaran alokasi dana tersebut kepada setiap provinsi di Indonesia. Hingga saat ini, sangat sulit diambil kesimpulan apakah dana dekonsentrasi dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan pertimbangan kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskal daerah. Meskipun demikian, Dana Dekonsentrasi merupakan salah satu unsur dalam sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah.

Dimana perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaanpenyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (Pasal 1 UU No.32/2004).Jika melihat pengertian perimbangan keuangan di atas, terlihat bahwa dana perimbangan juga memperhitungkan besaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam kenyataannya, hal ini tentunya tidak dijalankan sepenuhnya mengingat proses penentuan dana perimbangan yang terlebih dahulu dilakukan diikuti dengan penentuan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jika dirunut sebaliknya, maka dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak ditentukan dengan mempertimbangkan dana perimbangan serta lebih memperhitungkan usulan kegiatan (proyek) dari departemen teknis menurut lokasi proyeknya.

Implikasi lebih jauh dari tidak dipertimbangkannya kemampuan fiskal daerah dalam alokasi Dana Dekonsentrasi ini adalah potensi semakin buruknya ketimpangan fiskal antardaerah. Untuk membuktikan hal ini, dilakukan estimasi indikator-indikator yang memperlihatkan pemerataan kemampuan fiskal antardaerah yaitu Indeks Williamson. Secara formula, Indeks Williamson dapat didefinisikan sebagai berikut:

Penting dicatat bahwa semakin rendah nilai Indeks Williamson semakin baik pemerataan fiskal antardaerah. Variabel pemerataan fiskal antardaerah yang akan diukur terdiri dari:

1) Dana Alokasi Umum (DAU) ditambah dengan Dana Penyeimbang (DP) Murni dibagi dengan jumlah penduduk (DAU perkapita)

2) DAU ditambah DP Murni ditambah dengan Dana Dekonsentrasi dibagi dengan jumlah penduduk.

3) DAU ditambah DP Murni ditambah dengan Dana Tugas Pembantuan dibagi dengan jumlah penduduk.

Page 9: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

4) DAU ditambah DP Murni ditambah dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan dibagi dengan jumlah penduduk.

Penilaian tentang variabel-variabel di atas dilakukan dengan menggunakan data rekonsiliasi, yaitu data mengenai dana perimbangan setiap kabupaten/kota dalam satu provinsi ditambah dengan dana di tingkat pemerintah provinsi yang sama. Penilaian Indeks Williamson ini menggunakan data pada tahun 2005 dikarenakan ketersediaan data penduduk per provinsi yang hanya dapat diperoleh hingga tahun 2005.

Dari hasil perhitungan, dapat diperoleh apakah nilai indeks Williamson kemampuan fiskal daerah akan meningkat jika dimasukkan data mengenai dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dengan peningkatan nilai indeks Williamson ini, tentunya dapat diambil kesimpulan bahwa pemerataan fiskal antardaerah akan semakin memburuk. Hasil perhitungan indeks Williamson tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 7 berikut ini:

Hasil perhitungan pada Gambar di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan nilai Indeks Williamson jika Dana Alokasi Umum yang dialokasikan kepada setiap pemerintahan daerah ditambah dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketidakmerataan fiskal antarprovinsi akibat adanya alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini. Temuan ini memperkuat dugaan awal bahwa alokasi dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak memperhitungkan kemampuan fiskal antardaerah sehingga berdampak buruk pada pemerataan kemampuan fiskal antardaerah.

Page 10: Resume Manajemen Dana Dekonsentrasi Kel. 5

Pilihan variabel pemerataan fiskal berdasarkan Dana Alokasi Umum perkapita didasarkan pada tujuan awal dari alokasi Dana Alokasi Umum sebagai bagian dari desentralisasi fiskal untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat di daerah. Tidak dimasukkannya variabel dana perimbangan perkapita sebagai dasar perhitungan dimotivasi pula oleh suatu fakta bahwa dana bagi hasil yang dialokasikan kepada pemerintahan daerah sangat bergantung pada keunggulan daerah khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dan memiliki aktivitas perekonomian yang sangat dominan di Indonesia. Seperti diduga, adanya faktor dana bagi hasi yang ditambahkan dengan dana alokasi umum perkapita akan memperburuk nilai Indeks Williamson1. Pertimbangan penggunaan DAU perkapita yang menjadi basis penilaian juga dimotivasi oleh peraturan perundang-undangan dimana DAU dialokasikan kepada masing-masing daerah juga harus memperhitungkan aspek pemerataan fiskal antardaerah.

Pemerintah Pusat harus memberikan kriteria yang transparan dalam mengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini. Jika tidak, timbul potensi yang sangat besar daerah dengan kemampuan fiskal yang tinggi akan memperoleh dana dekonsentrasi yang besar pula. Bila ini terjadi, ketimpangan pembangunan antardaerah di Indonesia akan menjadi bertambah besar. Perkembangan pertumbuhan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang lebih besar dari pertumbuhan Belanja ke Daerah dalam APBN tentu tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Bahkan, sejumlah kalangan memiliki usulan yang sangat ekstrim agar dana dekonsentrasi ini dihapuskan dan didaerahkan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Tentunya usulan ekstrim ini juga perlu ditanggapi secara hati-hati.

SUMBER:

http://www.parlemen.net/privdocs/f997722b8e2964ca49c6beff1a2a975d.pdfhttp://www.djpk.depkeu.go.id/regulation/26/tahun/2008/bulan/11/tanggal/03/id/120/