evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

170

description

Kajian PKP2A III LAN tahun 2007

Transcript of evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Page 1: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi
Page 2: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI128 + vii, 2007

Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

A. ISBN 979-1176-09-5

1. Dekonsentrasi 2. Kinerja Pemerintah Daerah

Tim Peneliti :¡Tri Widodo W. Utomo, SH., MA (Peneliti Utama)¡Dr. Meiliana, SE.,M.Si (Peneliti)¡Said Fadhil, S.IP (Peneliti)¡Siti Zakiyah, S.Si (Peneliti)¡Drs. M. Noor, M.Si (Peneliti)¡Syahrumsyah Asrie, SH, M.Si (Peneliti)¡Drs. Syahrial (Pembantu Peneliti)¡Djamilah,SE (Pembantu Peneliti)¡Baharuddin, S.Sos., M.Pd (Pembantu Peneliti)

Sekretariat :¡Said Fadhil, S.IP¡Royani, A.Md.¡Arita Saidi

Editor :¡Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ¡Said Fadhil, SIP¡Siti Zakiyah, S.Si

Diterbitkan Oleh :Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)LAN Samarinda

UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Page 3: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

KATA PENGANTAR

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia didasarkan pada 3 (tiga) prinsip utama, yakni desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas pembantuan (medebewind). Diantara ketiga prinsip tadi, fungsi desentralisasi sudah mendapat pengaturan yang relatif lengkap dan jelas dibanding dua prinsip berikutnya.

Desentralisasi sendiri merupakan konsekuensi logis dari proses reformasi dan demokratisasi yang berjalan semenjak akhir dekade 1990-an. Tuntutan kemandirian dan pemberdayaan potensi daerah, menjadi keniscayaan yang dipilih oleh para pemimpin bangsa sebagai sebuah "kontrak sosial" baru penyelenggaraan negara. Implikasinya, lahirlah UU Nomor 22 tahun 1999 - disusul oleh revisi melalui UU Nomor 32 tahun 2004 - yang dipandang dunia sebagai kebijakan desentralisasi yang paling berani di negara-negara modern. Beberapa ahli lain menyebut proses pembalikan bandul manajemen pemerintahan dari karakter sentralistik ke karakter yang sangat desentralistik ini sebagai Big Bang Decentralization.

Meskipun kebijakan ini sudah sangat tepat, namun belum tentu memiliki efektivitas yang tinggi. Sebagaimana diingatkan oleh UNDP (2000), perencanaan yang cermat dan pengelolaan yang baik terhadap desentralisasi menjadi syarat mutlak keberhasilan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni kemajuan daerah dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Selengkapnya, UNDP menulis sebagai berikut:

Decentralized governance, when carefully planned, effectively implemented, and appropriately managed, can lead to significant improvement in the welfare of people at the local level, the cumulative effect of which can lead to enhanced human development. In addition, if decentralization involves real devolution of power to local levels, the enabling environment for poverty reduction is likely to be stronger. On the contrary, badly planned decentralization can worsen regional inequalities. Left to their own devices, richer regions are likely to develop faster than poor ones. And a system of

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/iii/

Page 4: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

matching grants, intended by central government to motivate local government to raise funds, typically exacerbates regional disparities.

Atas dasar pemikiran diatas, maka menjadi tugas kita semua untuk mengawal pelaksanaan otonomi daerah agar tidak menyimpang dari filosofi dasarnya (filosofische grondslag). Pada saat yang bersamaan, kita perlu untuk membuat "wilayah kerja" bagi asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang selama ini masih kabur, menjadi lebih jelas dan terang benderang. Sebab, dalam koridor Negara Kesatuan, antara desentralisasi dan dekonsentrasi tidak dapat didikotomiskan, keduanya harus saling mengisi dan saling memperkuat. Bahkan sering dikatakan bahwa asas dekonsentrasi sesungguhnya memiliki fungsi strategis sebagai faktor pengikat bagi tetap utuhnya NKRI.

Sayangnya, regulasi di bidang dekonsentrasi dan tugas pembantuan ini masih sangat minim, baik yang mengatur kebijakan umumnya; rincian kewenangan yang menjadi domain-nya; mekanisme perencanaan hingga pertanggungjawabannya, dan sebagainya. PP Nomor 39 tahun 2001 sendiri sesungguhnya merupakan penjabaran dari UU Nomor 22 tahun 1999, sehingga sudah waktunya untuk disesuaikan dengan semangat desentralisasi sebagaimana dianut dalam UU Nomor 32 tahun 2004.

Sehubungan dengan hal tersebut, saya menyambut gembira dilaksanakannya kajian tentang evaluasi kinerja kewenangan dekonsentrasi oleh PKP2A III LAN Samarinda ini. Saya berharap hasil dari kajian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang relatif komprehensif untuk turut membenahi dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, khususnya di era demokratisasi dewasa ini.

Kepada semua pihak yang telah telah membantu baik dari persiapan, masa penelitian hingga penyusunan dan penerbitan laporan penelitian yang berupa buku ini disampaikan ucapan terima kasih yang sangat mendalam, semoga kerja keras dan kerjasama yang telah terjalin baik dalam penelitian ini dapat lebih erat lagi untuk penelitian selanjutnya. Tentunya laporan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu berbagai kritik dan saran membangun sangat dinantikan demi perbaikan kita bersama.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/iv/

Page 5: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai dan memberkahi usaha kita dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi daerah serta bagi semua pihak yang terkait.

Jakarta, Desember 2007

Lembaga Administrasi Negara RIKepala,

Sunarno

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/v/

Page 6: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………….................... iiiDaftar Isi ……………………………………………………………………..…....................... viDaftar Tabel .........................………………………………………………………………..... ixDaftar Gambar ....................…………………………………………………………………. xExecutive Summary ...................…………………………………………………………... xi

Bab I Pendahuluan ..……………………………………................................... 1A. Latar Belakang .........…………………………………......……………...... 1B. Perumusan Masalah ...........………………………….......……………… 6C. Tujuan dan Kegunaan ...........………………………………………....... 7D. Ruang Lingkup Kajian ………………………………………….............. 8E. Target/Hasil yang Diharapkan ..........……………………………..... 8F. Metodologi Penelitian ......................................................................... 8

1. Lokus Kajian ...................................................................................... 82. Responden dan Informan Kunci ...........……………………...... 93. Prosedur Kajian ............................................................................... 104. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data .......................... 115. Rencana Analisis Data ............….....................……………………. 13

G. Status dan Jangka Waktu .............……………………………….......... 15

Bab II Fungsi Dekonsentrasi Dalam Kerangka Sistem Desentralisasi Negara Kesatuan ................................................ 16A. Hubungan Desentralisasi dan Dekonsentrasi .......................... 16B. Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan UU

No. 32 / 2004 .......................................................................................... 21C. Kewenangan Dekonsentrasi ............................................................. 23

1. Konsep Dekonsentrasi .................................................................. 232. Dekonsentrasi sebagai Sistem Kesatuan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah .............................. 283. Fungsi Kewenangan Dekonsentrasi ........................................ 30

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/vi/

Page 7: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

D. Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi ........................ 321. Jenis dan Kriteria Kewenangan ................................................ 322. Kewenangan Pembiayaan Dekonsentrasi ............................ 36

E. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam PenyelenggaraanDekonsentrasi ........................................................................................ 391. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Koordinasi

Penyelenggaraan ............................................................................. 392. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Koordinasi

Pengawasan ...................................................................................... 463. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Pembinaan ............... 51

Bab III Kondisi dan Kebijakan Dekonsentrasi di Tingkat Departemen dan Mekanisme Koordinasi KewenanganDekonsentrasi di Tingkat Provinsi ........................................... 55A. Implikasi UU No 32 / 2004 Terhadap Eksistensi

“Pemerintahan Wilayah" di Daerah .............................................. 55B. Penyelenggaraan Kebijakan Dekonsentrasi di Tingkat

Departemen ............................................................................................ 561. Aspek Pendelegasian / Pelimpahan Kewenangan ............ 562. Aspek Koordinasi Internal .......................................................... 603. Aspek Pelaporan dan Pertanggungjawaban ....................... 60

C. Kelembagaan Dekonsentrasi, Mekanisme Penyelenggaraan, dan Koordinasi PelaksanaanDekonsentrasi di Tingkat Provinsi ............................................... 68

D. Indikasi Umum Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ................................................................. 73

E. Rekomendasi Penyelenggaraan Koordinasi Fungsi Dekonsentrasi di Propinsi ................................................................ 751. Integrasi Fungsional ...................................................................... 752. Integrasi Institusional / Kelembagaan ……………………... 763. Integrasi Program .......................................................................... 78

Bab IV Permasalahan Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Daerah ............................................................. 80A. Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Daerah ... 80

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/vii/

Page 8: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

B. Perkembangan Pembiayaan Dekonsentrasi di Daerah ........ 86C. Praktek Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di

Daerah dan Permasalahanya (contoh kasus di wilayah Kalimantan) ............................................................................................. 951. Alokasi Anggaran ............................................................................ 962. Mekanisme Perencanaan .............................................................. 993. Mekanisme Koordinasi dan Monitoring di Daerah ........... 1014. Keterbatasan SDM Pengelola Kegiatan (keuangan) ......... 103

Bab V Analisis Kinerja Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Kalimantan .................................................... 105A. Analisis Substansi dan Kemungkinan Duplikasi

Kewenangan ........................................................................................... 105

Bab VI Penutup .....……………………………………………………...................... 111 A. Kesimpulan …………………………………………………........................ 111B. Rekomendasi ............................…………………………………………… 113

LAMPIRANLampiran 1 SK Tim Pelaksana Kajian ................................................................. 114Lampiran 2 Instrumen Penelitian ........................................................................... 118Lampiran 3 Rincian Kewenangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah

(Kewenangan Dekonsentrasi) Sebagai Penjabaran Dari PP Nomor 38 Tahun 2007 ........................................................................ 120

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/viii/

Page 9: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Daerah Sampel/Tujuan Kajian ......………………………………. 9Tabel 3.1. Rincian Dana Dekonsentrasi Departemen Sosial

Tahun 2006 ......................................................................................... 63Tabel 3.2. Daftar Aset Tetap Dana Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan yang Belum Dilaporkan Tahun Anggaran 2006 ................................................................................ 65

Tabel 3.3. Daftar Aset Tetap Dana Dekonsentrasi yang Belum Dilaporkan Tahun Anggaran 2005 ........................................... 66

Tabel 4.1 Anggaran Dekonsentrasi Kementerian dan Lembaga Negara (2005 - 2006) ..................................................................... 88

Tabel 4.2 Distribusi Dana Dekonsentrasi Ke Propinsi Seluruh Indonesia (2005 - 2006) ................................................................ 90

Tabel 4.3 Rekapitulasi Daerah yang Menyerahkan Laporan Penggunaan Anggaran Dekonsentrasi Departemen Sosial TA 2006 ................................................................................ 92

Tabel 4.4 Identifikasi Jenis Program Pada Dinas Sosial Prov. Kalsel ( 2006) Yang Berpotensi Terjadi Tumpang Tindih Pembiayaan ......................................................................... 95

Tabel 4.5 Rekapitulasi Dana Dekonsentrasi di Kalimantan .............. 96Tabel 4.6 Rekapitulasi Daerah yang Menyerahkan Laporan

Penggunaan Anggaran Dekonsentrasi Departemen Sosial Wilayah Kalimantan TA 2006 ....................................... 104

Tabel 5.1. Rekapitulasi Bidang, Sub-Bidang, dan Rincian Kewenangan Dekonsentrasi yang Diusulkan Sebagai Penjabaran PP No. 38 Tahun 2007 .......................................... 108

Tabel 5.2. Persandingan Kegiatan Dinas Pendidikan Prov. Kalimantan Barat yang Bersumber dari APBD (Tugas Desentralisasi) dan dari ABPN (Tugas Dekonsentrasi) ................................................................. 110

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/ix/

Page 10: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Spektrum Bandul Sentralisasi, Desentralisasi Dan Dekonsentrasi ………………………………………………….... 20

Gambar 2.2. ProsesKomunikasi .......................................................................... 44Gambar 2.3. Hubungan Komposisi Pengawasan (Diadaptasi dari

Anthony and Dearden, 1985) .................................................... 50Gambar 2.4. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Pemerintahan di Daerah berdasarkanPP No. 79/2005 ............................................................................... 53

Gambar 3.1. Pola Koordinasi Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ........................................................... 71

Gambar 3.2. Perbandingan Pola Kerja Kewenangan Desentralisasi dan Kewenangan Dekonsentrasi .............................................. 72

Gambar 3.3. Integrasi Fungsi-Fungsi Manajemen Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ............................................................................................... 76

Gambar 3.4. Integrasi Institusi / Kelembagaan Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ...........................................................………………………... 77

Gambar 3.5. Integrasi Program Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi ............................... 79

Gambar 4.1. Dana Dekonsentrasi Propinsi Kalimantan Selatan (2004 - 2006) .................................................................................. 97

Gambar 4.2. Trend Dana Dekonsenrtasi Dinas Pendidikan Prop. Kalsel (2005 - 2007) ...................................................................... 98

Gambar 4.3. Trend Dana Dekonsentrasi Dinas Sosial Prop. Kalsel (2005 - 2007) ................................................................................... 99

Gambar 5.1. Distribusi dan Alokasi Dana Dekonsentrasi Seluruh Provinsi di Indonesia (2006-2007) ......................................... 106

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/x/

Page 11: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

RINGKASAN EKSEKUTIFKAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan daerah di Indonesia, terdapat 2 (dua) prinsip dasar yakni desentralisasi (penyerahan urusan) dan dekonsentrasi (pelimpahan wewenang), disamping prinsip lainnya yakni tugas pembantuan (medebewind). Infrastruktur dan framework desentralisasi nampaknya jauh lebih siap untuk diimplementasikan dibandingkan penerapan prinsip dekonsentrasi. Hal ini terlihat dari berbagai aspek, misalnya regulasi yang relatif sudah lengkap mengatur penyelenggaraan asas desentralisasi, dari UU Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan, hingga PP tentang Pembagian Urusan dan Organisasi Perangkat Daerah.

Sementara untuk fungsi dekonsentrasi, pengaturan dalam UU No. 32/2004 masih sangat minim. Tercatat hanya ada beberapa pasal yang mengatur tentang hal ini, misalnya pasal 10 ayat (4) dan (5)b, pasal 12, pasal 37, pasal 228.

Diantara berbagai pasal tersebut, pasal 37-38 memuat ketentuan yang sangat tegas tentang melimpahkan sebagian urusan pemerintahan diluar 6 (enam) urusan mutlak kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah;

Fungsi Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah dimaksudkan untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota. Selain itu, Gubernur juga wajib melakukan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/xi/

Page 12: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Namun, maksud pemberian tugas/fungsi dekonsentrasi kepada Gubernur ini bisa menjadi tidak efektif jika tidak disertai dengan pedoman yang jelas dan menyeluruh, baik bagi pihak delegan (pemberi delegasi, yakni Departemen/Lembaga) maupun bagi delegataris (penerima delegasi, yakni Gubernur selaku wakil pemerintah). Dewasa ini, fenomena tentang kurang efektifnya penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi sudah mengemuka, misalnya belum teridentifikasikannya kewenangan dekonsentrasi dan keterkaitannya dengan fungsi pembiayaan dari APBN, belum padunya proses perencanaan hingga pertanggungjawaban antara kegiatan yang dibiayai oleh dana dekonsentrasi dengan kegiatan yang dibiayai oleh ABPD, dan sebagainya.

Atas dasar fenomena tersebut, maka kajian ini ingin mengungkap berbagai masalah/kendala dalam pelaksanaan tugas/kewenangan dekonsentrasi serta kebijakan/upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dekonsentrasi. Bahkan kajian ini juga sampai kepada rekomendasi berupa usulan rincian kewenangan dekonsentrasi berdasarkan pembidangannya. Dalam kaitan ini, fungsi, urusan, dan/atau kewenangan dekonsentrasi tidak hanya dikembangkan berdasarkan fungsi-fungsi klasik seperti koordinasi, pengawasan, dan pembinaan, namun lebih dikembangkan pada fungsi-fungsi pendukung lainnya seperti fasilitasi, promosi, sosialisasi, dan fungsi pelaksanaan.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/xii/

Page 13: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan

desentralisasi yang baru, kewenangan dan urusan pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan kewenangan dan urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian, demi mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan” suatu negara bangsa (nation-state), maka pemerintah pusat masih memiliki hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi di daerah. Hak ”intervensi” Pusat atas Daerah ini dapat dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat (departemen/ LPND), maupun secara tidak langsung melalui aparatnya di daerah yakni Gubernur.

Secara idealistik, gagasan besar desentralisasi pasca tumbangnya rezim Orde Baru memang sangat bagus. Namun dalam tataran implementasi, masih banyak yang perlu dibenahi kembali. Hal ini antara lain tercermin dari berbagai kritik dan koreksi yang banyak diberikan oleh para pakar sehubungan dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Diantara para pakar tadi adalah dari Prof. Dr. Miftah Thoha, Guru Besar Universitas Gajah Mada yang menyebutnya undang-undang tersebut menebarkan ”aroma sentralistik” selain dipandang menyiratkan adanya keinginan untuk kembali sebgaimana masa pemerintahan Orde Baru, yakni pemerintahan yang kuat, efektif dan dapat dikendalikan dari sentral. Dinyatakan lebih lanjut, Pemerintah Orde Baru tidak pernah menggunakan istilah kewenangan pemerintahan, melainkan urusan pemerintahan, mengingat yang memegang kewenangan saat itu adalah pemerintah pusat.

Demikian halnya dengan Profesor Ryaas Rasyid yang juga beropini bahwa undang-undang tersebut menarik empat kewenangan penting kembali ke atas, yakni pengangkatan sekretaris wilayah daerah

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/1/

Page 14: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

(sekwilda), pengesahan peraturan daerah, pengaturan kecamatan, desa/kelurahan dan rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS). Keempat penarikan kewenangan tersebut mengindikasikan adanya kemauan politik yang mengarah pada sentralistik. Demikian halnya dengan pandangan Dr. Syarif Hidayat yang juga mencermati kewenangan dekonsentrasi kini menunjukkan kemunduran, di mana pada UU No 22 Tahun 1999, dekonsentrasi sudah mulai dikurangi, maka pada UU No 32 Tahun 2004, justru dekonsentrasi kembali dihidupkan.

Pada sisi lain, Ketua Fraksi II DPR RI Ferry Mursidan Baldan secara politis memberi tanggapan balik, bahwa: ”UU No. 32/2004 tidak perlu ditafsirkan bernuansa sentralistik. Kalaupun ada, sentralisasi itu berlaku pada nasib pegawai negeri sipil (PNS) agar jenjang karier mereka dapat berkembang. Selain itu didasarkan unda-undang tersebut muncul sebagai respon atas berbagai kekhawatiran akan munculnya fanatisme kedaerahan (etnosentrisme) yang justru akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa”.

Berbagai perhelatan pandangan dan opini tersebut menunjukan, bahwa kewenangan desentralisasi pemerintah (Pusat) dikritisi dan dipertimbangan untung ruginya dalam penguatan kapasitas pemerintahan di daerah. Sebagaimana dipahami, undang-undang sebelumnya telah menjadikan pengurangan dan penghapusan sejumlah kantor departemen di kabupaten/kota dan sebagian kantor wilayah di provinsi. Perhelatan ini sekaligus menjadikan status kewenangan dekonsentrasi pada UU No. 32 Tahun 2004 harus diperjelas dan dirunkan dalam bentuk kebijakan yang lebih operasional.

Desentralisasi yang dimaknai sebagai ”penyerahan” sebagian wewenang memeng telah berjelintang dengan tugas dan wewenang pusat dalam bentuk dekonsentrasi atau ”pelimpahan” sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (khususnya kabupaten/kota), selain juga tugas pembantuan. Penguatan peran pemerintah pusat dengan dekonsentrasi memang secara implisit bukan sekedar menambah peran yang sebelumnya mengecil, melainkan lebih jauh dilandasi oleh pemikiran ke depan yakni menjaga kedaulatan suatu negara bangsa (nation-state). Untuk itu perundangan tersebut memberikan landasan bahwa pemerintah pusat berhak melakukan

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/2/

Page 15: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

intervensi dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja otonomi pada pemerintahan daerah. Hak Pemerintah Pusat dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat (departemen/ LPND), maupun tidak langsung dengan pelimpahan wewenang melalui aparatnya yang ada di daerah yaitu pejabat Gubernur.

Posisi Pemerintah Provinsi dalam koridor otonomi daerah memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat dengan menjadikan aparat dekonsentrasi, dan sekaligus juga menjadi pelaksana otonomi daerah itu sendiri atau aparat desentralisasi. Sementara kabupaten/kota diposisikan tidak lagi memiliki fungsi yang inheren dengan fungsi dekonsentrasi.

Fungsi Pemerintah Provinsi dengan Gubernur-nya sebagai aparat dekonsentrasi (baca: Wakil Pemerintah), pada dasarnya berfungsi sebagai unit penghubung (intermediate administrative entity) antara Pusat dan Daerah (Kabupaten/Kota). Posisi yang intermediasi ini menjadikan Pemerintah Provinsi menjalankan dua tugas, yaitu sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang menyangkut urusan kepemerintahan daerah, dan juga sebagai ”agen tunggal” dalam menyediakan seluruh informasi tentang keadaan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat (Schiavo-Campo dan Sundaram, dalam To Serve and To Preserve: Improving Public Administration In A Competitive World, 2000).

Dengan landasan undang-undang Nomor 32/2004 tersebut mestinya Pemerintah Provinsi benar-benar berfungsi sebagai intermediasi tersebut. Namun dalam kenyataan, penyelenggaraan dekonsentrasi juga telah menjadikan efek loncatan katak (leapfrogging effect), dengan transfer kewenangan dan sumberdaya Pusat yang langsung diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada sisi yang lain, telah terjadi pula transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Provinsi yang harus diturunkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan dekonsentrasi inilah yang menjadikan fenomena persoalan di lapangan menjadi krusial.

Sebagaimana tertera pada pasal 38 UU No. 32/2004, bahwa fungsi dan peran Pemerintah Provinsi memiliki tiga tugas/wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah, yaitu sebagai koordinasi, pembinaan, dan

/3/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 16: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan juga tugas pembantuan di daerah. Mengingat demikian, maka dalam kaitan dengan desentralisasi, Pemerintah Provinsi tidak bisa tidak harus lebih diperkuat. Penguatan Pemerintah Provinsi dalam desentralisasi tersebut diarahkan untuk menjamin roda otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota tidak lagi mengalami salah arah atau dengan kata lain tidak menimbulkan ekses yang tidak diharapkan. Untuk itu, fungsi dekonsentrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi menjadi faktor kunci dalam sukses atau gagalnya suatu implementasi desentralisasi politik yang telah dilaksanakan dengan seluas-luasnya (devolution) tersebut di tingkat pemerintah kabupaten/kota.

Pengalaman di tingkat internasional membuktikan, bahwa pelaksanaan desentralisasi yang sifatnya ”kebablasan” telah memberi dampak sosial ekonomi yang merugikan bagi sebagian besar masyarakat daerah. Hasil penelitian Mark Turner (2002, dalam Public Administration and Development Journal, No. 22, www.interscience.wiley.com) justru menunjukkan, bahwa pelaksanaan dekonsentrasi pada Bangsa Kamboja telah memberi manfaat yang bervariasi. Sementara desentralisasi cenderung dipandang gagal dapat memenuhi harapan yang ditetapkan sebelumnya.

Beberapa keuntungan dari dekonsentrasi menurut Turner (2002) tersebut adalah sebagai berikut:1. Accessibility of officials. Officials are available for consultation, advice,

and complaint. As local officials can exercise decentralized authority, they make the decisions and do not need to pass them up the line to distant central offices.

2. Mobilization of local resources. It is easier for locally based officials to identify local resources, both human and physical, and then mobilize them in the pursuit of locally determined developmental purposes. Officials should also be familiar with specific local constraints and the dynamics of local politics.

3. Rapid response to local needs. Officials are better placed to respond rapidly to local needs as they are in the territory and fully aware of local conditions.

/4/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 17: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

4. Orientation to the specific local needs. Because officials know the local conditions, they are well placed to make decisions and allocate resources which fit with the specific conditions prevailing in a particular territory. Each sub-national territory may have some unique features which can be taken into account when planning and allocating resources.

5. Motivation of field personnel. Appointed government officials are more motivated to perform well when they have greater responsibility for programs they manage.

6. Inter-office coordination. Coordination between offices dealing with different functions is more easily achieved at the local level where officials are physically close together and are often familiar with each other.

7. Central agencies. The decentralization of service functions relieves central agencies of routine tasks. Responsibility for these has been passed down to the local level. Central agencies can thus focus on improving the quality of policy. Monitoring local-level performance and providing assistance to sub-national units are key element of this reformulated central government role.

Berdasarkan pengalaman itu menjadi bertambah penting untuk menguatkan peran Pemerintah Provinsi dalam konteks pelaksanaan fungsi dekonsentrasi dalam kebijakan otonomi daerah. Kepentingan tersebut diterawang bukan hanya sekedar ”perekat” antara kepentingan nasional dengan kepentingan daerah, namun lebih jauh lagi menjadi jaminan keterlaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pembangunan dan pelayanan yang dapat berjalan secara efektif dan efisien. Mengingat kepentingan tersebut, maka dapatlah dipahami bilamana UU Nomor 32/2004 telah memberi porsi peran dekonsentrasi yang diimplementasikan dalam bentuk pengalokasian sejumlah dana bagi berlangsungnya dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi.

Atas berbagai pertimbangan dan argumentasi kepentingan akan fungsi dekonsentrasi tersebut, serta berkelindannya permasalahan penyelenggaraan dekonsentrasi di lapangan menjadikan PKP2A III LAN Samarinda memang urgen dilakukannya studi yang berkenaan dengan sejauhmana pelaksanaan fungsi dekonsentrasi Pemerintah Pusat kepada

/5/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 18: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Pemerintah Provinsi, khususnya pada Pemerintah Provinsi yang ada di wilayah Kalimantan. Arah kajian pelaksanan fungsi dekonsentrasi tersebut, secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan studi mengenai gambaran kinerja berikut dengan indikator pengukuran kinerja yang selama ini ditampilkan oleh Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi tersebut.

B. Perumusan MasalahDari berbagai fenomena yang dipaparkan pada latar belakang di

atas, dapatlah dirumuskan mengenai permasalahan dekonsentrasi berikut penguatan peran pemerintah provinsi menjadi, sebagai berikut:1. Fungsi dekonsentrasi sering dipandang sebagai ”tugas kelas dua”

setelah penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Pandangan ini mengakibatkan menjadi kurang perhatiannya banyak pihak untuk mengkaji lebih jauh berbagai persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi. Selain itu, pandangan dan sikap yang kurang proporsional ini juga telah berdampak pada kurangnya daya upaya yang serius dan sistematis dalam kerangka penyempurnaan dan penguatan fungsi dekonsentrasi yang seharusnya di masa depan. Kenyataan ini merupakan bagian kelemahan dari praktek kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada kabupaten/kota.

2. Adanya fenomena mengenai kebutuhan sumber daya (SDM maupun anggaran) dalam pelaksanaan fungsi dekonsentrasi disinyalir cenderung sangat minim. Kurangnya anggaran berkaitan dengan pandangan bahwa tugas-tugas dekonsentrasi adalah sebagai ”pelengkap” saja dari kebijakan desentralisasi secara keseluruhan. Dengan demikian dapat dipahami bilamana, kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi tersebut menjadi kurang mendapat perhatian.

Untuk kedalaman kajian, fokus penyelenggaraan dekonsentrasi yang berlangsung pada pemerintah provinsi Kalimantan, akan diarahkan pada penyelenggaraan dekonsentrasi yang berkaitan dengan bidang dan sektor kebutuhan dasar pada departeman yang ada di pusat kepada

/6/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 19: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

departeman di wilayah pemerintah provinsi. Bidang tersebut, yakni pendidikan, kesehatan, sosial, dan pekerjaan umum. Dengan demikian maka rumusan masalah dapat diformulasikan sebagai berikut: ”Sejauhmana ketercapaian penyelenggaraan fungsi dekonsentrasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi yang ada di wilayah Kalimantan? Rumusan masalah ini diharapkan dapat diurai lebih rinci kedalam lima pertanyaan, yakni:1. Penyelenggaraan urusan apa dan seberapa besar pendanaan yang

dilimpahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah melalui dekonsentrasi di wilayah Kalimantan?

2. Bagaimana gambaran kinerja Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi di wilayah Kalimantan?

3. Hambatan-hambatan apa yang dirasakan oleh Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan dalam melaksanakan fungsi kewenangan dekonsentrasi?.

4. Upaya-upaya apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi untuk mencapai peningkatan fungsi penyelenggaraan urusan dekonsentrasi di wilayah Kalimantan?.

5. Bagaimana formulasi kebijakan yang direkomendasikan untuk memperkuat Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan dalam memperkuat fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah melalui dekonsentrasi yang dapat memperkuat tegaknya NKRI di masa datang?.

C. Tujuan dan KegunaanSerangkaian kajian, baik teoritik ataupun lapangan diharapkan

dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut :1. Untuk mengetahui rincian kewenangan dekonsentrasi masing-masing

daerah berdasarkan bidang-bidangnya.2. Untuk mengidentifikasi berbagai masalah atau kendala dalam

pelaksanaan tugas/kewenangan dekonsentrasi beserta kebijakan atau upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dekonsentrasi tersebut.

3. Untuk mengidentifikasi besaran sumber daya yang digunakan untuk

/7/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 20: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

menjalankan tugas/kewenangan dekonsentrasi serta kebutuhan ideal bagi masing-masing daerah provinsi.

4. Untuk mengetahui dan jika mungkin mengukur tingkat kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi di wilayah Kalimantan.

5. Untuk mencari dan/atau merumuskan alternatif kebijakan yang lebih operasional dalam mengembangkan atau memperkuat fungsi dekonsentrasi sebagai penyeimbang dari fungsi desentralisasi sehingga dapat direkomendasikan strategi terbaik untuk menjamin tetap tegaknya NKRI ditengah praktek otonomi daerah yang begitu cepat.

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil kajian adalah diperolehnya upaya peningkatan praktek penyelenggaraan pelayanan oleh Pemerintahan Provinsi melalui pelimpahan kewenangan dekonsentrasi di wilayah Kalimantan.

D. Ruang Lingkup KajianKajian ini akan difokuskan pada berbagai aspek yang terkait

dengan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi, baik menyangkut bidang-bidang dan rincian kewenangan dekonsentrasi, anggaran dan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kewenangan dekonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan dari jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4 (empat)

Provinsi di Kalimantan.

E. Target / Hasil yang diharapkanHasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya

sebuah laporan tentang permasalahan, kondisi dan arah penataan kewenangan, serta strategi peningkatan kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi di Indonesia, dengan fokus utama wilayah Kalimantan.

F. Metodologi Penelitian1. Lokus Kajian

Kajian ini akan memfokuskan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi

/8/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 21: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi berkenan dengan bidang-bidang pelayanan dasar. Aspek-aspek tersebut menyangkut bidang dan penganggaran pelayanan dasar; kinerja perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi ; hambatan dan upaya-upaya yang dilakukan dan formulasi kebijakan yang memperkuat penyelenggaraan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam dekonsentrasi.

Kajian ini juga memfokuskan pada kinerja Pemerintah Provinsi yang berada di wilayah Kalimantan. Untuk itu yang menjadi lokus kajiannya adalah seluruh Pemerintah Provinsi yang ada di wilayah Kalimantan, khususnya lembaga-lembaga Pemerintah Provinsi yang bertugas melayani masalah pelayanan dasar. Lokus kajian tersebut yakni Lembaga-lembaga pelauanan dasar pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; Lembaga-lembaga pelayanan dasar pada Provinsi Kalimantan Barat; lembaga-lembaga pelayanan dasar pada Provinsi Kalimantan Selatan; dan lembaga-lembaga pelayanan dasar pada Provinsi Kalimantan Tengah. Rincian lokus yang akan diteliti dapat dicermati sebagaimana table berikut ini:

Tabel 1.1. Daerah Sampel / Tujuan Kajian

Wilayah Lokus Kajian Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan

1.

Lembaga-lembaga Pelayanan dasar pada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur

2.

Lembaga-lembaga Pelayanan dasar pada Pemerintah Provinsi

Kalimantan Barat3.

Lembaga-lembaga Pelayanan dasar pada Pemerintah Provinsi

Kalimantan Selatan4. Lembaga-lembaga Pelayanan dasar pada

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah

2. Responden dan Informan KunciDalam kajian ini yang dijadikan responden dan key informants

adalah pejabat-pejabat dari lingkungan Sekretariat Provinsi khususnya Biro Pemerintahan dan Biro Keuangan, Dispenda, Bappeda, serta instansi teknis sektoral seperti Dinas Pendidikan, Dinas

/9/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 22: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Kesehatan, Dinas Sosial dan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi.

3. Prosedur KajianProses kajian dilakukan dengan menggunakan beberapa

pentahapan yang saling berhubungan. Pentahapan tersebut yakni :�Tahap pengidentifikasian dan penganalisisan bidang dan program

apa yang didistribusikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi;

�Tahap pengindentifikasian dan penganalisisan besaran dana yang dilimpahkan untuk melaksanakan dekonsentrasi dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi ;

�Tahap identifikasi dan analisis kinerja perencanaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasi di bidang pelayanan dasar;

�Tahap identifikasi dan analisis kinerja koordinasi yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasi di bidang pelayanan dasar;

�Tahap identifikasi dan analisis kinerja pengawasan yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasi di bidang pelayanan dasar;

�Tahap identifikasi dan analisis kinerja pembinaan yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah kabupaten dalam kewenangan desentralisasi di bidang pelayanan dasar;

�Tahap Identifikasi dan analisis berbagai hambatan dalam pelaksanaan kinerja yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasi di bidang pelayanan dasar;

�Tahap Identifikasi dan analisis berbagai upaya dalam peningkatan kinerja yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dalam kewenangan desentralisasi di bidang pelayanan dasar;

�Tahap perumusan analisis dan penarikan sintesa formula kebijakan yang menjadi alternatif dalam peningkatan dan penguatan kinerja Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan dalam memperkuat fungsi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah melalui

/10/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 23: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

dekonsentrasi yang dapat memperkuat tegaknya NKRI di masa datang.

4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Data kajian akan dikumpulkan dengan menggunakan

beberapa teknik dan instrumen pengumpulan data. Teknik dan instrumen dimaksud dijelaskan sebagai berikut :�Teknik telaah dokumen. Yang dimaksud dengan telaah dokumen

dalam Kajian ini adalah pengkajian berkenaan dengan berbagai dokumen, baik berupa peraturan perndangan, kebijakan internal, laporan-laporan pelaksanaan, dan lain-lain yang berhubungan erat dengan topik kajian evalusi kinerja pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi berkenaan dengan pelaksanaan dekonsentrasi dalam pelayanan dasar bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan sarana dan prasarana.

�Teknik penyebaran angket/kuesioner. Teknik ini menginventalisir berbagai data kuantitaif yang dilakukan dengan penyebaran kuesioner berkenaan dengan kinerja Pemerintah Provinsi dalam kewenangan dekonsentrasi dalam pelayanan dasar jenis dan bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum berikut dengan besaran pembiayaannya yang bersumber dari dana dekonsentrasi yang dilimpahkan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi .

Kuesioner dirancang dengan format matriks untuk mengidentifikasi dan memetakan jenis dan bidang pelayanan dasar yang selama ini diterima oleh pemerintah Provinsi dari Pemerintah Pusat. Format kuesioner dengan menggunakan matrik dipandang banyak kelebihan dalam upaya mengidentifikasi dan membandingkan jenis dan bidang kewenangan yang dilimpahkan berikut dengan besaran dan distribusi dana pada masing-masing Pemerintah Provinsi dari Pemerintah Pusat. Penggunakan matrik kuesioner juga digunakan untuk mengukur kinerja Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi dalam perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang selama ini dilakukan dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial, dan pekerjaan umum.

/11/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 24: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Dengan memanfaatkan kedua matrik tersebut memungkinkan peneliti akan mudah melakukan penganalisaan dan pembandingan mengenai tingkat kinerja penyelenggaraan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan Timur dalam melaksanakan pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dengan dekonsentrasi. �Teknik wawancara atau interview. Teknik ini digunakan untuk

memperkaya dan dan memvalidasi data-data yang diperoleh melalui kuesioner. Teknik wawancara dalam kajian ini dilakukan terbatas namun juga secara mendalam (deep interview) kepada individu-individu tertentu yang dipandang memeiliki informasi yang banyak berkenaan dengan topic kajian. Informasi-informasi tersebut diperoleh dari informan kunci (key informant) yang ditetapkan pada masing-masing departeman pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi yang diperasionalkan dalam bentuk panduan wawancara (interview guide). Penggalian informasi diarahkan untuk menggali berbagai informasi berkenaan dengan hambatan-hambatan baik menyangkut bidang dan besaran pendanaannya maupun aspek-aspek kinerja pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi (perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan). Selain itu juga teknik wawancara diarahkan juga untuk menggali informasi sedalam mungkin berkenaan dengan upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Provinsi dalam peningkatan kinerjanya dalam dekonsentrasi pelayanan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum.

�Teknik Modeling, yakni teknik penggalian data yang ditujukan untuk melahirkan sintesa kajian. Teknik ini merupakan ramuan dari berbagai hasil analisis data, baik hasil analisis data dari kuesioner maupun wawancara untuk menjadi sintesa model penguatan kinerja Pemerintah Provinsi dalam pelaksanaan penlimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi . Teknik model yang merupakan sintesa analisis data ini juga dipandu dengan studi dokumen dan pendapat (judgment) sehingga menjadi alternatif rekomendasi kepada pihak yang berkepentingan.

/12/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 25: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

5. Rencana Analisis Data Adanya rincian jenis dan bidang yang didekonsentrasikan dari

pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi menunjukkan adanya pola hubungan kerja antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Besaran dana dekonsentrasi masing-masing jenis dan bidang pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, social dan pekerjaan umum menjadi faktor pendorong dilaksanakannya kebijakan dekonsentrasi. Berdasarkan data mengenai jenis dan bidang berikut dengan besaran alokasi dana dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi dapat menjadi arahan untuk mengidentifikasi kinerja yang ditampilkan oleh Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan tugas dekonsentrasi, khususnya dalam pelayanan dasar bidang pendidikan, kesehatan, social dan pekerjaan umum.

Analisis kinerja Pemerintah Provinsi dalam pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi dapat dilakukan dengan empat perspesktif. Pertama, perspektif kinerja perencanaan Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan pelimpahan kewenangan dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum yang bersumber dari dana dekonsentrasi. Analisis kinerja perencanaan dapat dilihat dari ada atau tidaknya mekanisme atau prosedur perencanaan masing-masing departemen, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi di wilayah Kalimantan. Dalam analisis kinerja perencanaan akan digali faktor-faktor yang menjadi hambatan, baik faktor hambatan perencanaan yang datang dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi. Selain juga analisis diarahkan untuk menggali upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh kedua belah pihak, baik inisiatif upaya yang datang dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Provinsi.

Kedua, perspektif kinerja koordinasi yang mengarah pada pola atau sistem hubungan yang selama ini dijalin sedemikian rupa antara departeman Pemerintah Pusat dan Departeman Pemerintah Provinsi berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan dasar bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum. Kinerja koordinasi dipandang dari intensitas koordinasi antara Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi yang berupa pembakuan sistem

/13/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 26: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

koordinasi dan frekuensi koordinasi. Selain itu juga dicermati mengenai ektensitas koordinasi, yakni perluasan jangkauan koordinasi yang melibatkan terjalinnya cross hubungan yang berbeda departemen antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Provinsi dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan dekonsentrasi. Dalam kinerja koordinasi yang ada dianalisis mengenai berbagai hambatan dan solusi penyelesaian untuk mengatasi hambatan koordinasi tersebut, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi.

Ketiga, perspektif kinerja pengawasan yang mengarah analisis pada sisitem kepengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi, ataupun kepengawasan Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota berkenaan dengan pelaksanaan jenis dan bidang berikut penggunaan pendanaan dekonsentrasi dalam pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum. Pola kinerja kepengawasan Pemerintah Provinsi menghubungkan antara perencanaan dan ketercapaian program bidang pelayanan dasar yang dilakukan secara profesional oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam kinerja kepengawasan yang sedang berlangsung dianalisis pula berbagai hambatan yang dirasakan oleh pihak Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi, berikut dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Keempat, perspektif kinerja pembinaan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota berkenaan dengan pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi pelayanan dasar bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum. Pola kinerja pembinaan berkaitan dengan temuan-temuan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam pola kerja pembinaan yang berjalan akan digali dan dianalisis sumber-sumber hambatan dan juga upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi dalam mengatasi persoalan pembinaan.

/14/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 27: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Kelima, perspektif analisis perumusan sintesa. Perspektif ini mengarah pada perumusan hasil analisis dari perspektif kinerja perencanaan, koordinasi, pengawasan dan pembinaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Analisis diarahkan untuk membangun sistem hubungan yang akan meningkatkan kinerja dalam pelimpahan kewenangan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, sosial dan pekerjaan umum antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Hasil analisis berupa sintesa yang tiada lain dari formulasi yang digunakan sebagai bahan untuk perumusan kebijakan hubungan kerja dalam kaitan dengan pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi melalui dekonsentrasi.

Telaah penyelenggaraan kinerja pemerintah provinsi dalam bidang/fungsi dekonsentrasi dilakukan dengan cara mengelaborasi data kuesioner dan data wawancara digali sehingga akan mendapatkan gambaran mengenai bidang dan sektor pelayanan dasar apa yang selama ini didekonsentrasikan, bagaimana kinerja perencanaan, pola koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan berikut dengan hambatan dan upaya yang telah dilakukan untuk kemudian dapat menarik benang bagaimana formulasi sintesa yang merupakan alternatif pelaksanaan kebijakan seharusnya ditetapkan dalam penyelenggaraan fungsi dekonsentrasi dari pemerintah pusat kepada provinsi berdasarkan undang-undang di masa datang.

G. Status dan Jangka Waktu KegiatanKajian ini akan difokuskan pada berbagai aspek yang terkait

dengan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi, baik menyangkut bidang-bidang dan rincian kewenangan dekonsentrasi, anggaran dan sumber daya lain yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kewenangan dekonsentrasi, dan sebagainya. Sedangkan dari jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4 (empat)

Provinsi di Kalimantan.

/15/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 28: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

BAB IIFUNGSI DEKONSENTRASI DALAM KERANGKA SISTEM DESENTRALISASI NEGARA KESATUAN

A. Hubungan Desentralisasi dan DekonsentrasiKonsep desentralisasi diartikan secara sempit maupun meluas.

Desentralisasi dalam arti sempit sebagai penyebaran kewenangan secara vertikal, yakni dari pusat kepada bagian yang ada di bawahnya. Pusat adalah pemegang kewenangan tertinggi dan terluas yang disebarkan kepada struktur dibawahnya. Berbeda dengan desentralisasi dalam arti luas, dimana penyebaran wewenang tidak hanya vertikal melainkan juga horizontal, dimana penyebaran bukan saja dari struktur tinggi ke bawah, melainkan antar organ yang ada dalam kawasan struktur pusat, baik yang ada berada di wilayah pusat maupun di wilayah yang lebih bawah. Bahkan lebih dari itu terjadi penyebaran wewenang dari pusat struktur kepada kelompok masyarakat.

Dalam konteks Pemerintahan di Indonesia, pengertian desentralisasi, baik dalam arti yang sempit ataupun luas termuat dalam peraturan perundangan nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perundangan tersebut mengatur penyebaran kewenangan tidak hanya bersifat vertikal berupa penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, melainkan mengatur penyebaran secara horizontal, yaitu pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada internal organ pemerintah pusat lainnya yang berada di wilayah daerah. Kebanyakan desentralisasi di Indonesia diartikan sempit, yakni sebagai penyebaran atau stranfer wewenang (transfer kekuasaan) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan desentralisasi yang merupakan penyebaran, atau pelimpahan sebagian wewenang (transfer kekuasaan) dari pemerintah pusat kepada otoritas

/16/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 29: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

lain yang bersifat spesial dan legal personal kurang populer. Padahal proses penyebaran tersebut juga mengikutkan pelimpahan tugas-tugas, sumber daya dan kekuatan politik kepada lembaga yang ada region tertentu bahkan kepada komunitas masyarakat yang dilakukan secara kooperatif (Marz, 2001: 2).

Secara teoritik Van Der Pot (dalam Manan 1994:21) mengemukakan, desentralisasi dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yakni: 1). Desentralisasi teritorial yang berupa pembentukan dan pengoperasian badan-badan yang didasarkan atas kewilayahan dan; 2) desentralisasi fungsional, yang berupa pembentukan dan pengoperasian badan-badan yang didasarkan atas tujuan-tujuan tertentu. Pembedaan jenis desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional tidak mengubah makna secara mendasar, yakni pelimpahan wewenang. Berbeda dengan Irawan Soejipto mencoba membalah ke dalam tiga bagian, yakni menjadi: l) Desentralisasi teritorial; 2) Desentralisasi fungsional; dan 3) Desentralisasi administratif. Ahli lain adalah, Amrah Muslimin (1978: 15) yang juga membedakan desentralisasi menjadi tiga bagian, yakni: 1) Desentralisasi politik; 2) Desentralisasi fungsional; dan 3) Desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi politik memiliki kemiripan dengan desentralisasi teritorial. Desentralisasi fungsional maknanya hampir sama dengan yang dimasud oleh Van Der Pot. Sementara desentralisasi kebudayaan dipahami sebagai pemberian hak kepada golongan minoritas dalam upaya penyelenggaraan kebudayaan lingkungan sendiri.

Pengkategorian desentralisasi yang banyak dirujuk oleh para ahli yang dikemukakan Cheema dan Rondinelli (1983: 18-25). Dikemukakannya, bahwa desentralisasi dapat dibedakan menjadi empat kategori, yakni: 1) Delegation to semi autonomous or parastatal organization; 2) Devolution; 3) Transfer of function from government to nongovernment Institution; dan 4) Dekonsentrasi.

Desentralisasi sebagai delegation to semi autonomous or Parastatal Organization, yaitu pendelegasian pengambilan keputusan dan kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Dalam desentralisasi dengan

/17/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 30: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

pendelegasian semi otonom terjadi proses transfer pembuatan keputusan pemerintah yang harus dilakukan secara hati-hati penjabarannya oleh institusi atau organisasi yang posisinya berada di bawah kontrol tidak langsung dari pemerintah (UNDP, 1999:7). Pendelegasian tiada lain merupakan transfer responsibili berkenaan dengan kebijakan-kebijakan yang diberikan kepada pemerintah daerah yang bersifat semi otonom, namun tetap harus bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Schneider, 2003:12). Pendelegasian tersebut berupa kebijakan mewajibkan pemerintah daerah menciptakan perusahan publik, institusi perumahan, transportasi, pelayanan spesial kecamatan semi sekolah otonom badan perusahan daerah atau unit proyek-proyek khusus (Litvack and Seddon, 1998: 3).

Kategori desentralisasi sebagai devolution yang dimaknai upaya pembentukan dan juga penguatan unit-unit organisasi secara independen. Cheema dan Rondinelli (1983: 22) menyatakan karakteristik devolusi adalah pemerintah daerah yang memiliki status otonom, bersifat independen atau terpisah dari pemerintah pusat, sehingga kewenangan pusat terhadap pemerintah daerah relatif menjadi kecil dan juga ditandai dengan tidak adanya pengawasan pemerintah pusat secara langsung kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang dimaksud memiliki batas geografis yang jelas dan bersifat legal dalam menyelenggarakan kewenangannya dan juga dapat melaksanakan fungsi kepemerintahan dengan sendirinya. Dalam hal ini pemerintah daerah tersebut memiliki kekuasaan untuk melindungi sumber-sumber yang sekaligus dapat memelihara fungsi-fungsi pemerintahannya. Dalam kaitan itu, devolusi juga memiliki kaitan dengan kebutuhan pengembangan kelembagaan pemerintah daerah dalam bentuk institusi-institusi yang diperankan sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat dengan cara pemberi pelayanan secara memuaskan. Namun demikian, desentralisasi melalui devolusi juga mengharuskan adanya hubungan yang bersifat timbal balik atau saling menguntungkan dengan cara memelihara hubungan koordinatif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kategori pemaknaan desentralisasi sebagai transfer of function from government to non-government institution. Kategori desentralisasi ini adalah transfer beberapa jenis bidang perencanaan dan juga

/18/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 31: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

tanggungjawab yang bersifat administratif yang berkaitan dengan fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada LSM, organisasi swasta atau organisasi non pemerintah. Kategori desentralisasi ini dapat disejajarkan dengan kebijakan debirokratisasi. Transfer fungsi publik kepada non-pemerintah hanya bisa berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, yang ditandai dengan pelimpahan sektor-sektor yang berkaitan dengan pemasukan keuangan ataupun yang bersifat administratif kepada lembaga-lembaga volunteer, atau lembaga swasta atau institusi non-pemerintah lainnya seperti organisasi hybrid, diantaranya asosiasi industri dan perdagangan, asosiasi profesi, dll. Bahkan lebih jauhnya pemerintah dapat saja menyerahkan tugas dan kewajibannya pada organisasi non-pemerintah untuk memproduksi barang maupun jasa layanan yang sering disebut juga privatisasi.

Kategori pemaknaan desentralisasi keempat adalah deconcentration. Dekonsentrasi dimaknai sebagai proses redistribusi tanggungjawab yang bersifat administratif untuk diberikan kepada institusi yang berada dalam sayap pemerintah pusat. Institusi tersebut diwujudkan dalam dengan cara pembentukan dan pengoperasionalan berbagai kantor atau institusi pusat yang ditempatkan pada berbagai wilayah atau lembaga pemerintah lain yang dibawahnya yang diatur dan ditetapkan melalui perundangan.

Berkaitan dengan keempat kategori desentralisasi yang berbeda-beda, maka Morrison (2004) memvisualisasikan hubungan antara sentralisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sebuah spektrum yang menjelaskan bahwa perubahan struktur pemerintahan dapat berlangsung dalam dua arah, yakni arah kanan yang menandai penyebaran atau desentralisasi dan bisa juga arah ke sebelah kiri dari titik sentralisasi menjadikan pelimpahan wewenang pusat atau dekonsentrasi. Spektrum tadi selintas memperlihatkan adanya arah yang berlawanan secara diametral yang tidak memungkinkan keduanya bisa bertemu. Akan tetapi, sesungguhnya kedua arah tersebut bisa dipersatukan dengan posisi sentral (pusat) yang harus terjaga, sehingga menyerupai bandul jarum jam tembok yang mengayun ke kiri dan kemudian mengayun kekanan. Posisi sentral yang dapat mengayun ke kiri (desentralisasi) dan ke kanan (dekonsentrasi) dikembangkan oleh Ayat dan Faozan (2007) seperti nampak pada gambar berikut:

/19/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 32: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Gambar 2.1Spektrum Bandul Sentralisasi, Desentralisasi dan Dekonsentrasi

Bandul bola yang berawal dari sentral itu bisa mengayun ke sebelah kiri (desentralisasi) dan frekuensi yang teratur akan mengarah ke tengah (sentralisasi) dan kemudian mengayun ke sebelah kanan (dekonsentrasi). Dengan kata lain, bola yang berada di sebelah kanan dalam waktu bersamaan akan dihimpitkan dengan bola yang mengarah ke kiri. Ayunan bola bisa menyerupai, institusi pemerintah daerah (pemerintah provinsi) yang desentralisasi akan secara berhimpitan juga menjadi lembaga administratif yang juga berfungsi sebagai penyelanggaran kewenangan dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Dengan demikian pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi tergantung ritme dan frekuensi ayunan bola yang digerakkan. Tepatnya pemerintah provinsi memainkan peran ganda, yakni sebagai pemerintah daerah pada satu sisi dan pada sisi lain menjadi perpanjangan dari pemerintah pusat. Peran ganda ini dijalankan secara dinamis dan tidak bersifat tumpang tindih.

Dalam konteks perubahan struktur pemerintahan, khususnya di negara berkembang pola perubahan bisa berlangsung cepat, manakala struktur yang ada tidak menampakkan adanya keteraturan atau keseimbangan fungsi dari masing-masing struktur yang ada. Keteraturan

/20/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 33: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

tersebut ditandai dengan tetap kokoh dan kesatuan pemerintahan suatu wilayah negara. Atau dengan kata lain, pilihan untuk desentralisasi atau dekonsentrasi pada dan atau bahkan keduanya senantiasa terikat dengan keteraturan pemerintahan suatu bangsa. Pola pemerintahan yang bersifat dekonsentrasi adalah pola dan struktur pemerintahan yang selama ini kekuasannya digenggam kemudian dilimpahkan kepada lembaga atau badan dan juga kepala pemerintah administratif yang terpercaya, dan kewenangan tersebut sifatnya terbatas untuk menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat (UNDP, 1999: 17).

B. Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004UU No. 22 Tahun 1999 diubah karena dipandang lemah, terutama

pada Pasal 4 ayat (2) yang memandang bahwa keberadaan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang cenderung berdiri sendiri yang ditunjukkan dengan tidak adanya hubungan hierarki satu sama lain. Hubungan ini dipandang mengingkari azas dan komitmen dalam kesatuan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana peranan Daerah Provinsi tidak lagi membawahi Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Konsekwensinya, Pemerintah daerah kabupaten dan kota merasa dirinya sejajar dengan pemerintah provinsi, sehingga pemerintah daerah provinsi berada dalam peran yang lemah. Dalam penjelasan memang masih ada klausul yang menyebutkan, bahwa gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, namun peran tersebut tidaklah mengigit.

Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 adalah perubahan yang dipandang menarik kepada bandul desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Berbagai respon berlangsung di berbagai kalangan, termasuk kalangan pemikir tata negara di Indonesia. Sebagian respon tersebut mengarah pada penilaian pengembalian paradigma lama yang sentralistik, dan sebagian lagi memberi respon positif atas kesetujuannya dengan format pemerintahan yang mengawal keterauran dan kesatuan dengan tetap desentralisasi terus berperan.

Pada pasal 2 ayat 4 ditegaskan bahwa, pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan

/21/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 34: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

dengan Pemerintah (pusat) dan dengan pemerintah daerah lainnya. Di samping itu pada pasal 2 ayat 7 ditetapkan bahwa hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

Perlunya kembali menata hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kaitannya dengan hubungan kerja yang saling berkaitan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berformat hubungan kerja bersistem kesatuan. Dikembalikannya hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam wadah satu kesatuan pada hakekat mengembalikan organisasi pemerintah yang pada dasarnya bersifat tunggal dengan muara penanggung jawab pemerintahan adalah pemerintah pusat. Sehubungan dengan hal itu dan mengingat akan azas dan komitmen sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pada Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut.

Hubungan keduanya dapat dikategorikan (1) hubungan vertikal; (2) hubungan horizontal; dan (3) hubungan diagonal. Hubungan vertikal diasosiasikan dengan pola hubungan atas-bawah. Sedangkan hubungan horizontal lebih mengarah pada hubungan kesederajatan, yakni hubungan hubungan antarpejabat/unit/instansi yang setingkat. Sementara hubungan diagonal adalah hubungan yang menyilang dari atas ke bawah secara timbal balik antara dua unit yang berbeda induk. Ketiga pola hubungan tersebut mengarah pada dua hubungan sebagaimana ditegaskan pada pasal 18A, UU Nomor 32 Tahun 2004, yakni: (l) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi, kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

/22/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 35: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

C. Kewenangan Dekonsentrasi1. Konsep Dekonsentrasi

Sebagai bagian dari tranfer wewenang tidak dipandang sebagai bagian dari makna desentralisasi dalam arti yang luas. Dekonsentrasi sebaliknya diasosiasikan sebagai kebalikan dari desentralisasi dalam arti devolusi karena lebih menekankan pada distribusi kekuasaan pusat yang memperkuat dan menstabilkan kekuasaan pusat di daerah. Kebijakan ini dipandang tidak popular di Indonesia sejak reformasi di gulirkan pasca krisis, selain juga pengalaman-pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan ketika Orde baru berkuasa. Ketika dekonsentrasi digulirkan bersamaan dengan desentralisasi dan tugas perbantuan dalam UU nomor 32/2004, maka dapat dipahami bilamana mengundang banyak opini. Dalam Undang-undang tersebut dekonsentrasi menjadi salah satu pilar yang dimaksudkan untuk belangsungnya keseimbangan dalam struktur pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam kesatuan dan persatuan dalam wilayah Republik Indonesia.

Bagi Dore dan Woodhill (1999: 16) dekonsentrasi dipandang sebagai proses kepemerintahan yang dilakukan dengan cara menciptakan daerah-daerah administratif untuk tujuan efisiensi manajemen program. Implementasi dekonsentrasi diberikan atau diturunkan, baik secara luas ataupun terbatas dari pemerintah pusat kepada regional manager yang ditempatkan pada suatu daerah. Selain itu dekonsentrasi juga melibatkan transfer kewenangan yang sifatnya terbatas dalam hal pengambilan keputusan yang spesifik dan manajemen fungsional dengan cara-cara administratif kepada level organisasi yang berbeda, namun demikian tetap berada di bawah kewenangan yuridis yang sama dari pemerintah pusat (UNDP, 1999: 17). Karena itu dekonsentrasi sering dianggap pula pseudo desentralisasi atau desentralisasi yang tidak sebenarnya, karena tidak mengandung dan menjalankan kebijakan yang sifatnya substansi lokal dalam pengambilan keputusan (Fesler, 1969, dan Morrison, 2004).

Munculnya konsep dekonsentrasi dilakukan ketika terjadi peningkatan fungsi dan aktivitas pemerintahan yang memperlihatkan adanya gejala kesenjangan (gap) yang kian hari kian melebar antara

/23/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 36: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

pemerintah pusat dan daerah. Dekonsentrasi muncul terhadap kebutuhan publik untuk berinteraksi secara intensif dengan pemerintah pusat. Kemunculan dekonsentrasi ditandai dengan dibentuk dan diperasionalkannya sejumlah kantor-kantor parlemen dan pemerintah yang berada di luar ibukota (Asia Researh Centre, 2001).

Makna dekonsentrasi sendiri oleh Cheema dan Rondinelli (1983 18 - 25) sebagai redistribusi tanggungjawab administratif yang diberikan di antara lembaga pemerintah pusat. Lembaga pemerintah tersebut adalah kantor-kantor perwakilan yang berada di setiap wilayah daerah. Redistribusi tersebut bisa berupa field administration; dan atau local administration.

Field administration, adalah penempatkan kantor-kantor pemerintah pusat di setiap wilayah daerah yang sering disebut juga regionalisasi. Umumnya regionalisasi mengarah pada pendistribusian wewenang pemerintah pusat yang diberikan kepada kantor pusat di daerah dalam bentuk beberapa pelayanan publik, sehingga menyerupai kantor cabang. Urusan pelayanan publik itu ada yang sifatnya sektoral dan ada pula pelayanan yang fungsional. Sedangkan Local administration, adalah jenis desentralisasi yang menjadikan seluruh subordinasi pemerintahan dalam suatu negara adalah sebagai agen pemerintah pusat. Biasanya yang menjadi agen pemerintah pusat tersebut adalah lembaga-lembaga eksekutif. Administrasi lokal tersebut ada yang bersifat mengikat (integrated) dan ada administrasi lokal yang tidak terintegrasi (unintegrated). Dalam pandangan Irawan Soejipto (1976: 33-34), desentralisasi dalam pemahaman administratif diartikan sebagai wewenang pemerintah pusat yang dilaksanakan dengan cara melimpahkannya kepada organ pemerintah yang dibentuk dan ditempatkan di wilayah daerah, dimana limpahan kewenangan tersebut diberikan melalui pejabat-pejabat pemerintah daerah.

Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa secara teoritik dekonsentrasi merupakan bagian dari desentralisasi, atau dengan kata lain desentralisasi dalam arti luas mencakup makna dekonsentrasi. Perbedaan dekonsentrasi dan desentralisasi dikemukakan oleh Ateng

/24/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 37: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Syafrudin (2006: v) adalah desentralisasi bermakna bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau organ yang lebih bawah, sedangkan dekonsentrasi sebagai bentuk pelimpahan sebagian wewenang antarlembaga pemerintah pusat atau yang di bawahnya. Mengingat demikian, maka kebijakan dekonsentrasi sama pentingnya dengan desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Keuntungan diterapkannya dekonsentrasi menurut Turner (2002) adalah menjadi 1) Accessibility of officials; 2) Mobilization of local resources; 3) Rapid response to local needs; 4) Orientation to the specific local needs; 5) Motivation of field personnel; 6) Inter-office coordination; dan 7) Central agencies. Secara lebih lengkap, Turner menulis sebagai berikut :a. Accessibility of officials. Officials are available for consultation,

advice, and complaint. As local officials can exercise decentralized authority, they make the decisions and do not need to pass them up the line to distant central offices.

b. Mobilization of local resources. It is easier for locally based officials to identify local resources, both human and physical, and then mobilize them in the pursuit of locally determined developmental purposes. Officials should also be familiar with specific local constraints and the dynamics of local politics.

c. Rapid response to local needs. Officials are better placed to respond rapidly to local needs as they are in the territory and fully aware of local conditions.

d. Orientation to the specific local needs. Because officials know the local conditions, they are well placed to make decisions and allocate resources which fit with the specific conditions prevailing in a particular territory. Each sub-national territory may have some unique features which can be taken into account when planning and allocating resources.

e. Motivation of field personnel. Appointed government officials are more motivated to perform well when they have greater responsibility for programs they manage.

/25/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 38: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

f. Inter-office coordination. Coordination between offices dealing with different functions is more easily achieved at the local level where officials are physically close together and are often familiar with each other.

g. Central agencies. The decentralization of service functions relieves central agencies of routine tasks. Responsibility for these has been passed down to the local level. Central agencies can thus focus on improving the quality of policy. Monitoring local-level performance and providing assistance to sub-national units are key element of this reformulated central government role.

Bagi Smith (1993) menyatakan ada sembilan keuntungan atau manfaat bilamana dilaksanakan desentralisasi. Keuntungan tersebut, yaitu:a. Dapat lebih efektif untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal; b. D a p a t m e m b e r i k a n p e l a y a n a n k e p a d a k e l o m p o k -

ketempokmasyarakat miskin;c. Masyarakat dapat memiliki akses terhadap kantor-kantor

pelayanan di tingkat lokal;d. Dapat menjadi sarana untuk memobilisasi dukungan bagi

pembangunan, khususnya di tingkat pedesaan;e. Bisa menjadi obat bagi pemerintah pusat yang terkena penyakit

patologi birokrasi;f. Dapat meningkatkan persatuan dan stabilitas politik (unity and

stability)g. Dapat meningkatkan partisipasi masyarakat di tingkat lokal;h. Dapat dipakai sebagai alat untuk memobilisasi sumber-sumber

lokal;i. Dapat memungkinkan adanya koordinasi pembangunan di daerah

lebih efektif lagi.

Kendati demikian, penerapan desentralisasi di negara-negara berkembang (khususnya di Indonesia) harus dipersiapkan sedemikian rupa untuk mencegah permasalahan yang lebih komplek. Pandangan itu disampaikan oleh Jennie Litvack, Juaid Ahmad dan Richard Bird

/26/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 39: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

(1998; 7) bahwa "Designing decentralisation policy is difficult in any country because decentralisation can affect many aspects of public sector performance and generate a wide range of outcomes. But it is particularly difficult in deeloping countries because institutions, information and capacity are all very well.

Lebih lanjut mereka memperingatkan dampak penerapan desentral isasi dapat menambah semakin menganganya ketidakmerataan dan kesenjangan masyarakat miskin terhadap pelayanan publik: "..... if the central government makes no effort to redistribute resources to poorer areas, fiscal decentralisation will result in growing disparities. Similarly if provinces or state do not redistribute within their jurisdiction, poor people may lack access to public services"(1998; 8).

Baik pemilihan desentralisasi ataupun dekonsentrasi keberhasilannya bukan semata-mata dari sisi konsep, melainkan dipengaruhi dan ditentukan oleh kondisi lingkungan. Werin (Nasution ; 2000 ; 28) menyatakan bahwa "there is no way of organizing, they will say, sametimes addling: no best policy, approach, or technology. As evidence, they can point to the centralized hierarchical organization have no greater probability of success than fragmented or decentralized ones. Kenyataan permasalahan lebih banyak ditentukan dari realitas di lapangan. Permasalahan tersebut bisa timbul pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah disebabkan adanya keterbatasan akan sumber daya.

Dalam kaitan dengan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia memang diakui bersama tidak dipersiapkan secara maksimum. Kebijakan ini cenderung lebih banyak didorong oleh respon yang ketergesa-gesa pasca krisis multidimensi. Dalam perjalannyan dapat diperhatikan banyaknya ekses yang mengarah pada ketidakteraturan, diantaranya ditunjukkan dengan tanda-tanda kesenjangan atau gap antarberbagai pihak yang ada dalam struktur pemerintahan, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah ataupun antarpemerintahan daerah. Ketidakteraturan yang bersifat senjang itu semakin menajam oleh pemahaman bahwa pelaksanaan otonomi daerah hanya kaitan dengan dengan urusan sendiri yang mengabaikan urusan pihak pemerintah daerah lain.

/27/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 40: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Pembakuan dekonsentrasi dipandang sebagai formulasi yang akan merekatkan kembali berbagai persepsi dan implementasi desentralisasi yang menyalahi penggunaan, sehingga jalinan interkoneksi dan ketergantungan antarpemerintahan menjadi terciptakan, dan mencegah terjadinya ketergantungan mutlak dan represif sebagaimana pengalaman pemerintahan di masa lalu. Interkoneksi tersebut menjadi temali yang mengikat kebersamaan gerak dengan memfungsikan kantor-kantor atau badan-badan dan juga pemerintahan yang berada di struktur menengah untuk menjadi tangan kanan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat. Dengan kata lain interkoneksi adalah perwujudan responsibilitas kebijakan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau semi organisasi-otonom yang kedudukannya tidak dikontrol oleh pemerintah pusat, namun tetap bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Schneider, 2003: 12).

2. Dekonsentrasi sebagai Sistem Kesatuan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Mandat wewenang yang menitikberatkan desentralisasi, tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan penguatan pada struktur pemerintahan menengah untuk memerankan dekonsentrasi, selain desentralisasi. Pemandatan untuk melaksanakan urusan desentralisasi diorientasikan agar pemerintah lebih menghayati eksistensi dirinya sebagai bagian dari rakyat dan sekaligus menjadi instrumen untuk pemenuhan kebutuhan rakyat.

Tugas utama pemerintah yang dimandatkan dengan perundangan tersebut, tidak lain agar dapat melaksanakan pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik, yaitu pelayanan yang baik, cepat, murah, adil dan terjangkau. Prinsip dasar pelayanan publik yang telah diuji menunjukkan, hanya pemerintah yang dekat dengan rakyat yang dapat memahami dan melaksanakan fungsi pelayanan secara berkualitas. Struktur pemerintahan yang paling dekat dan dapat merapat dengan rakyat adalah pemerintah daerah. Dengan demikian kebijakan desentralisasi merupakan prasyarat dalam upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

/28/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 41: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Pelaksanaan desentralisasi yang telah berlangsung lebih dari enam tahun memberi pengalaman, bahwa desentralisasi dalam batas-batas tertentu dipandang berhasil meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, namun pada sisi lain menunjukkan arah kebebasan dan eklusivisme. Kondisi demikian apabila dibiarkan akan mengancam keteraturan dalam wadah kesatuan. Untuk itu pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 menegaskan, bahwa :1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah;

2) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; dan

3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

Selain itu pada masih dalam pasal yang sama, pada ayat 4, 5, 6 dan 7 diberikan penegasan kepentingan hubungan untuk meminta keteraturan. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut: 4) Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya;

5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya;

6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras; dan

7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

/29/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 42: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Ketentuan yang menunjukkan karakeristik negara kesatuan dengan kebijakan desentralisasi tersebut harus diikat oleh suatu pola hubungan antara pemerintah Pusat dan daerah dalam upaya mencapai pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Dengan demikian penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia yang ditafsirkan sebagai pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilihat dari dua aspek, yakni (1) pembentukan daerah otonom dan (2) penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke daerah tidak bisa dipisahkan dari ruh dan komitmen dari negara kesatuan.

3. Fungsi Kewenangan Dekonsentrasi Kewenangan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi

mengalami pasang surut dalam perubahan struktur pemerintahan di Indonesia. Sejalan dengan kebutuhan kebangsaan, perubahan struktur pemerintahan melalui peraturan perundang-undangan yang ada telah ada telah mengalami delapan kali perubahan sejak kemerdekaan. Pada dasarnya kebijakan dekonsentrasi mendapat perhatian pada perubahan di tahun 1945 dan 1965. Sedangkan perubahan yang menyeimbangkan antara desentralisasi dan dekonsentrasi mengalami tiga kali, yakni tahun 1957; tahun 1974; dan tahun 2004. Selengkapnya perubahan kebijakan tersebut dapat diperhatikan, sebagai berikut:a. UU No. 1 Tahun 1945 lebih menitikberatkan pada kebijakan

dekonsentrasi.b. UU No. 22 Tahun 1948 lebih menitik beratkan pada kebijakan

desentralisasi.c. UU No. 1 Tahun 1957 mengabungkan kebijakan desentralisasi dan

dekonsentrasi.d. Perpres No. 6 Tahun 1959 menitikberatkan pada kebijakan

dekonsentrasi.e. UU No. 18 tahun 1965 menitikberatkan pada kebijakan

desentralisasi.f. UU No. 5 Tahun 1974 menggabungkan kebijakan desentralisasi,

dekonsentrasi, dan tugas perbantuan.g. UU No. 22 tahun 1999 menitikberatkan pada kebijakan

desentralisasi.

/30/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 43: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

h. UU No. 32 Tahun 2004 penggabungan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Tugas dan wewenang penyelenggaraan dekosentrasi pada UU Nomor 5 Tahun 1974 menunjukkan kepala wilayah mendapat pelimpahan wewenang untuk melaksanakan dekonsentrasi dalam hal:a. Membina ketentraman dan ketertiban di wilayah sesuai dengan

kebijakan ketentraman dan ketertiban yang ditetapkan oeh pemerintah.

b. Melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan idiologi negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah.

c. Menyelenggarakan koordinasi atas segala kegiatan dan antara instansi-instansi vertikal. Instansi vertikal dengan dinas-dinas daerah, baik dalam perencanaan, pelaksanaan untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya.

d. Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

e. Mengusahakan secara terus-menerus segala peraturan perundangan-undangan dan peraturan daerah dijalankan oleh instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.

f. Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kepadanya.

g. Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi lainnya.

Sedangkan fungsi dan wewenang pejabat dekonsentrasi yang melekat pada jabatan Gubernur berdasarkan PP nomor 39 Tahun 2000 terbagi dalam sepuluh butir, yaitu: (1) Mengaktualisasikan Nilai Pancasila; (2) Mengkoordinasikan manajeman wilayah; (3) Memfasilitasi kerjasama dan mengatasi konflik; (4) Melantik Bupati/Walikota; (5) Memelihara hubungan antardaerah; (6)

/31/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 44: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Memfasilitasi perencanaan dan penegakan perundang-undangan; (7) Menyelenggarakan tugas-tugas lain (urusan pemerintahan); (8) Merencanakan pemindahan kabupaten/kota; (9) Melakukan penega kan represif antardaerah provinsi , kabupaten/kota; dan (10) Memberikan pertimbangan pembentukan dan pemekaran wilayah.

Selanjutnya pada Undang-undang nomor 32/2004 tugas kewenangan desentralisasi untuk pemerintah provinsi menjadi lebih kuat. Tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tersebut diperas menjadi tiga bagian, yaitu pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah berkewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah kabupaten/kota diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004, yaitu:a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

daerah kabupaten/kota.b. Koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi

dan kabupaten/kota;c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas

pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

D. Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi1. Jenis dan Kriteria Kewenangan

Penyelenggaraan kewenangan akan berkaitan dengan pembagian urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah (Pusat) dengan daerah otonom. Dalam konteks dekonsentrasi disandarkan pada pemikirann akan terdapat berbagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan khusus Pemerintah sebagai penanggung jawab akhir pemerintahan. Urusan pemerintahan tersebut bersifat mendasar yakni menyangkut jaminan untuk tetap berlangsungnya kehidupan bangsa dan negara, yakni tertuang dalam Pasal 10 ayat (3): Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: politik luar negeri; pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama.

/32/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 45: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Urusan yang menjadi kewenangan daerah, termasuk pemerintah provinsi terbagi dalam dua kategori, yakni urusan wajib dan urusan pilihan sebagaimana tercantum pada Pasal 13 dan 14, sebagai berikut:(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan merupakan urusan

dalam skala provinsi yang meliputi : a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat;d. penyediaan sarana dan prasarana umum;e. penanganan bidang kesehatan;f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia

potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah

termasuk lintas kabupaten/kota;j. pengendalian lingkungan hidup;k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas

kabupaten/kota;o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten/kota; danp. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan

perundang-undangan.

Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Selain jenis urusan pemerintah yang didesentralisasikan kepada pemerintah provinsi, juga terdapat urusan yang bersifat

/33/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 46: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

concurrent . Artinya urusan pemerintahan tersebut yang pelaksanaannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilakukan bersama antara Pemerintah dan pemerintahan provinsi. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent itu senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah yang sifatnya meluas . Bagian urusan tersebut yang pelaksanaannya didekonstrasikan atau diserahkan kepada pemerintah provinsi, selain juga dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada pemerintah provinsi yang kemudian diteruskan kepada pemerintah kabupaten/Kota.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent yang akan didekonsentrasikan secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka terdapat tiga kriteria dan sekaligus menjadi karakteristik utamanya: (l) eksternalitas; (2) akuntabilitas dan (3) efisiensi dengan tetap mempertimbangkan azas keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antartingkat pemerintahan.

Kriteria eksternalitas adalah kriteria dalam pembagian urusan pemerintahan yang menitikberatkan dan mempertimbangkan pada dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota. Demikian juga bilamana bersifat regional, akan menjadi kewenangan provinsi, dan bilamana berskala nasional menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak dari akibat urusan yang ditangani tersebut. Pertimbangan ini menjadikan akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan,

/34/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 47: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya, apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila suatu bagian urusan ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu, pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi.

Keserasian hubungan dimaksudkan pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan itu berbeda, yakni memiliki karakteristik yang sifatnya saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai perwujudan satu kesatuan dalam sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan tindak lanjut dari Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pada Pasal 11 ayat (4) disebutkan bahwa 'Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah'. Selanjutnya pada Pasal 14 ayat (3) disebutkan 'Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah'. Kerjasama pemberian pelayanan publik ini sangat penting, mengingat tidak semua pelayanan dapat dilakukan secara 'sendirian' oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, kerjasama/kemitraan pemberian pelayanan ini dapat menjadi salah satu solusi dalam menciptakan pelayanan yang prima.

Berdasarkan substansi kedua pasal di atas, urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan seperti pendidikan dasar, kesehatan,

/35/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 48: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

2. Kewenangan Pembiayaan DekonsentrasiMekanisme pelimpahan urusan pemerintahan melalui

dekonsentrasi dilakukan dengan mekanisme penyerahan atas usul pemerintah daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya tersebut. Berbagai usulan itu kemudian dilakuakan verifikasi oleh pihak Pemerintah pusat. Sebelum itu pemerintah pusat juga memberikan penjelasan atas bagian urusan-urusan apa yang saat ini masih menjadi kewenangan Pusat dengan cara menyandarkan pada kriteria eksternalitas; akuntabilitas dan efisiensi yang sepantasnya diserahkan kepada Daerah.

Di dalam UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi yang di dalamnya tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Besarnya dana disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Dalam hal semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Dalam hal ini pemerintah daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang diantaranya dari ketersediaan pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan, sebagaimana tercantum pada pasal 15 UU No 32 Tahun 2004 sebagai berikut :

/36/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 49: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

(1) Hubungan dalam bidang keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi :a. pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyeleng-

garakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;

b. pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan

c. pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.

(2) Hubungan dalam bidang keuangan antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi :a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah

provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;b. pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung

jawab bersama;c. pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah; dand. pinjaman dan/atau hibah antarpemerintahan daerah.

(3) Hubungan dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pada UU No 17 Tahun 2003 terdapat penegasan bidang pengelolaan keuangan dimana kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari Presiden sebagian diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Gubernur/Bupati/Walikota bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam undang-undang mengenai Pemerintahan Daerah.

/37/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 50: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Pasal 87 UU No 17 Tahun 2003 menyebutkan: (1) Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah; (2) Pelaksanaan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai oleh Pemerintah; (3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan; (4). Kegiatan Dekonsentrasi di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh gubernur; (5). Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada DPRD; (6). Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 6 diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD; dan (7). Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat nonfisik.

Pasal 89 UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dijelaskan mekanisme penyaluran Dana Dekonsentrasi dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara. Pada setiap awal tahun anggaran gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi akan menetapkan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk menjadi pelaksana kegiatan Dekonsentrasi. Apabila terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi, maka sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN. Demikian juga dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Dekonsentrasi, maka saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara. Bilamana pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, maka penerimaan tersebut juga dipandang sebagai penerimaan APBN dan karenannya harus disetor melalui Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berkenaan dengan mekanisme pertanggungjawaban dan juga Pelaporan Dana dekonsentrasi dijelaskan oleh pasal 90 UU Nomor 33 tahun 2004, yaitu: Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi harus dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dalam bidang pelaksanaan Tugas Pembantuan dan Desentralisasi. SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang

/38/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 51: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

dalam rangka Dekonsentrasi itu mesti dilakukan secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SKPD-SKPD tersebut senantiasa menyampaikan laporan akan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi yang diperolehnya kepada gubernur, yang selanjutnya Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara keseluruhan menganai pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada para menteri negara ataupun pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang dekonsentrasi. Akhirnya para menteri negara atau pimpinan lembaga tersebut kemudian menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi secara nasional kepada Presiden.

Mengenai status barang yang digunakan dalam pelaksanaan dekonsentrasi diatur melalui pasal 91 UU Nomor 33 tahun 2004. Dalam ketentuan bahwa semua barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi adalah menjadi barang milik Negara. Barang miliki negara itu dihibahkan kepada Daerah yang wajib untuk dikelola dan diarsipkan. Sedangkan barang milik negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh pihak kementerian negara atau lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang.

E. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Penyelenggaraan Dekonsentrasi1. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Koordinasi Penyelenggaraan

Berkenaan dengan tugas dan fungsi sebagai bagian dari pemerintah yang diberi pelimpahan sebagian wewenang melalui dekonsentrasi, maka pemerintah provinsi membutuhkan instrumen yang tetap untuk dapat mengintegrasikan antara satu unit dengan unit yang lain dan antara satu jabatan dengan jabatan yang lain. Dalam kaitan ini koordinasi menjadi penting adanya dalam menciptakan integrasi dan sinkronisasi agar keseluruhan unit badan yang ada berfungsi seirama dalam mencapai tujuan desentralisasi sebagaimana yang ditetapkan. Sejalan dengan hal itu, Stonner (1990: 318) mendefinisikan koordinasi sebagai “proses pemaduan tujuan dan kegiatan unit-unit yang terpisah (departemen dan bidang-bidang fungsional) dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien”.

/39/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 52: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Fungsi koordinasi menjadi laten adanya, mengingat setiap unit organisasi pada dasarnya membutuhkan organisasi lain dalam rangka untuk memaksimalkan fungsi utamanya. Atau dengan kata lain terjadi interdependensi atau saling ketergantungan antarunitorganisasi. James D. Thompson, (dalam Stonner, 1990: 318-319) memandang ada tiga variasi saling ketergantungan antar-unit dalam organisasi, yaitu:a. Sa l ing ketergantungan yang dikelompokkan (pooled

interdependence) yakni ketergantungan pada prestasi memadai dari setiap unit bagi tercapainya tujuan akhir.

b. Saling ketergantungan sekuensial (sequential interdependence) yakni suatu unit organisasi harus melaksanakan aktivitas terlebih dahulu sebelum unit-unit lain dapat bertindak.

c. Saling ketergantungan timbal balik (Reciprocal interdependence) yaitu ketergantungan yang melibatkan hubungan timbal balik antara sejumah unit organisasi.

Didasarkan pada kebutuhan tersebut maka pelaksanaan koordinasi dalam sisitem pemerintahan melalui dekonsentrasi perlu dilaksanakan. Saling ketergantungan yang dikoordinasi dengan baik akan memberi manfaat besar bagi organisasi pemerintah. Awaludin Djamin (Hasibuan, 1996: 88) mengemukakan manfaat koordinasi adalah sebagai berikut :a. Untuk mencegah terjadinya kekacauan, percekcokan dan

kekembaran atau kekosongan dalam tugas dan pekerjaan;b. Agar orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan serta diarahkan

untuk pencapaian tujuan organisasi;c. Agar sarana dan prasarana dimanfaatkan secara optimal untuk

pencapaian tujuan organisasi;d. Supaya semua unsur manajemen (enam M) dan pekerjaan masing-

masing individu karyawan harus membantu tercapainnya tujuan organisasi.

e. Supaya tugas, kegiatan dan program terintegrasi kepada sasaran yang diinginkan.

/40/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 53: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Untuk menggapai manfaat tersebut terdapat beberapa jenis atau model koordinasi dalam organisasi. Menurut Herbert Simon (Pierce and Gardner, 2002: 446) terdapat jenis atau model koordinasi sebagai berikut: 1) Coordination by programming yang dicerminkan oleh blueprint kegiatan seperti aturan, kebijakan, prosedur, rencana, jadwal dan pengaturan lain, 2) Coordination by feedback yang mencermunkan pengaturan atau penyelarasan secara menguntungkan dua belah fihak anggaota-anggota organisasi yang dicontohkan dengan model-model seperti team meeting, saling observasi dan sejenisnya yang melakukan komunikasi dan interaksi diantara mereka. Sedangkan menurut Pierce and Gardner (2002: 446-448) mengemukakan bahwa dalam koordinasi dibutuhkan 2 jenis koordinasi yang paling mendasar yaitu:a. Koordinasi Vertikal, yakni koordinasi yang dilakukan oleh orang-

orang atau unit-unit organisasi yang memiliki hubungan herarkie. Bentuk koordinasi ini dapat dilakukan dengan a) Direct Supervision, b) Standardization dan c) Goal Statement.

b. Koordinasi Horizontal, yakni koordinasi ini dilakukan oleh orang-orang atau unit-unit organisasi yang memiliki herarkie yang sama (satu level). Bentuk koordinasi ini dapat dilakukan dengan: a) direct contact b) liaison and integration roles, c) task force and teams, d) managing linking roles.

Adapun menurut Stonner (1990: 321-323) terdapat tiga pendekatan dalam melaksanakan koordinasi yang efektif, yakni: (l) Pendekatan teknik manajemen dasar, yaitu dengan menggunakan mekanisme manajerial dasar yang dilakukan melalui hierarki manajerial; aturan dan prosedur; dan rencana dan tujuan; (2) Pendekatan peningkatan potensi koordinasi yang dilakukan melalui sistem informasi vertikal dan sistem hubungan lateral; dan (3) Pendekatan mengurangi kebutuhan akan koordinasi, yaitu melalui penyediaan sumber daya cadangan dan membentuk unit-unit independen.

Mitzberg (1993: 4) mengemukakan terdapat 5 (lima) mekanisme penyelenggaraan koordinasi dalam organisasi, yaitu :a. Mutual adjustment achieves the coordination of work by the simple

/41/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 54: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

process of informal communication;b. Direct supervision achieves coordination by having one person take

responsibility for the work of others, issuing instructions to them and monitoring their action;

c. Works processes are standardized when the contents of the work are specified or programmed;

d. Output are standardized when the results of the work for example, the dimensions of the product or the performance are specified;

e. Skills (and knowledge) are standardized when the kind of training required to perform the work is specified.

Kelima mekanisme tersebut lebih menekankan pada kejelasan pembagian tugas dan wewenang dalam mencapai target dan tujuan yang ditetapkan. Dalam pelaksanaannya koordinasi dalam pemerintahan akan menghadapi banyak kendala. Kendala tersebut disebabkan empat hal perbedaan yang menurut Stonner (1990: 24) adalah: 1). Perbedaan orientasi terhadap tujuan; 2). Perbedaan orientasi waktu; 3). Perbedaan orientasi pribadi; dan 4). Perbedaan formalitas struktur. Untuk itu dalam menghadapi perbedaan tersebut, pelaksanaan koordinasi harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi. Menurut Pierce and Gardner (2002: 450-451) terdapat empat faktor utama dalam keberhasilan koordinasi dalam organisasi pemerintah yaitu :a. Formalistic of structure, yakni faktor sistem organisasi apakah

bersifat terbuka atau tertutup, bersifat mekanistik atau organik, bahkan bersifat fleksibel atau rigid.

b. Impersonal orientation, yakni faktor karakteristik gaya manusia dalam melakukan interaksi atau hubungan.

c. Time orientation, yakni faktor waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan, dimana setiap pekerjaan membutuhkan waktu yang berbeda.

d. Goal orientation, yakni faktor tujuan pada unit-unit organisasi yang berbeda untuk disesuaikan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan.

/42/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 55: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Hubungan koordinasi atau komunikasi erat kaitannya dengan fungsi koordinasi pemerintahan melalui dekonsentrasi. Baskin dan Aronoff (Cook & Hunsaker, 2001: 272) menjelaskan tujuan menjalin komunikasi utamanya adalah untuk meningkatkan koordinasi, dengan cara berbagi informasi secara intensif agar dapat memuaskan hubungan antarunit organisasi.

Jennifer M. George & Gareth R. Jones (2002: 431) mengemukakan bahwa komunikasi dalam koordinasi adalah “the sharing of information between two or more individuals or groups to reach common understanding”. Sedangkan Gredberg dan Baron (2002: 318) menyemukakan sebagai: “ the process by which a person, group or organization (the sender) transmits some type of information (the message to another person, group, or organization (the receiver)”. Sementara Cook & Hunsaker (2001: 272) mengemukakan bahwa komunikasi adalah “the process of one person sending a message to another with the intent of evoking a response”.

Berdasarkan hal itu, maka dapat dipandang koordinasi melalui komunikasi akan dapat mencapai keuntungan termasuk dalam pencapaian tujuan dekonsentrasi dilakukan secara efektif dan efisien. Komunikasi yang demikian menurut Cook & Hunsaker (2001: 272) adalah “when the receiver interprets the message exactly as the sender intended. Efficient communications use less time and fewer resources”. George & Jones (2002: 433436) mengemukakan keuntungan-keuntungan komunikasi yang efektif dalam koordinasi, diantaranya:a. Menghasilkan pengetahuan tentang tujuan organisasi, bagaimana

kinerja pekerjaan, standar perilaku yang diterima dan keinginan untuk berubah.

b. Memotivasi anggota organisasi dengan meningkatkan pengharapan, menetapkan tujuan yang tertentu dengan tingkat kesulitan yang meningkat dan memberikan umpan balik.

c. Upaya Pengawasan dan koordinasi individu dengan mengurangi kemalasan anggota organisasi, meningkatkan keberperanan, penegakan aturan dan norma dan mencegah tumpangtindih pekerjaan.

d. Dengan komunikasi anggota organisasi dapat mengutarakan perasaan dan emosinya.

/43/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 56: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

George & Jones (2002: 436-441) menjelasakan terdapat tahapan untuk menggalang koordinasi melalui komunikasi yang efektif, yaitu :a. Sender: adalah orang atau kelompok atau organisasi yang

membutuhkan untuk membagi informasi kepada seseorang, sekelompok orang, kelompok atau organisasi lain.

b. Encoding: menterjemahkan informasi ke dalam format tertentu yang dapat disampaikan.

c. Pesan (Message) adalah hasil dari proses encoding.d. Transmision adalah proses penyampaian pesan (message) kepada

penerima pesan.e. Media (channel) adalah sarana yang digunakan untuk

menyampaikan informasif. Receiver: penerima pesan dapat berupa individu, kelompok atau

organisasi. Secara skematis proses komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2.Communication Process

Komunikasi yang efektif dan efisien dalam konteks koordinasi pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi adalah komunikasi vertikal atau formal. Komunikasi formal

/44/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 57: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

berlangsung manakala arus komunikasi yang menurut Cook and Hunsaker (2001: 278- 279) menyerupai: 1). Downward Communication, yakni komunikasi yang digunakan oleh manajer terhadap karyawan. Bentuk downward communication dilakukan dengan pidato, memo, surat perusahaan, bulletein, kebijakan dan panduan prosedur; 2). Upward Communication, yakni komunikasi yang akan menghasilkan informasi perihal berbagai permasalahan yang aktual, perkembangan dalam pencapaian tujuan, saran perbaikan, usulan untuk perubahan dan umpan balik; dan 3). Horizontal Communication, komunikasi yang dilakukan dengan sesama rekan sejawat yang dapat dilakukan antardepartemen dan antartim kerja.

Komunikasi formal dalam menjalankan fungsi koordinasi pelaksanaan dekonsentrasi oleh pemerintah provinsi. Hal itu disebabkan berbagai beberapa sumber faktor, diantaranya :a. Faktor frame of reference atau frame of thinking yang berbeda di

antara yang berkomunikasi sehingga terkadang menimbulkan perbedaan persepsi terhadap informasi atau pesan yang disampaikan.

b. Faktor semantics, yakni permasalahan bahasa dan citra rasa bahasa yang berbeda antara yang berkomunikasi, perbedaan ini bisa timbul karena perbedaan kebangsaan atau perbedaan etnik dan budaya.

c. Faktor Value Judgements yakni yang berkomunikasi memberikan penilaian-penilaian tertentu karena berdasarkan pengalaman yang selama ini dialaminya. Permasalahan ini timbul karena yang berkomunikasi sudah melakukan selective listening, filtering, distrust (Cook and Hunsaker (2001: 282).

Berdasarkan hal itu, maka kemungkinan kendala-kendala dalam kinerja pelaksanaan koordinasi dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi akan dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Untuk itu diperlukan kebijakan yang meningkatkan kinerja dalam sistem koordinasi melalui komunikasi yang efektif dan efisien. Salah satu pengaturan koordinasi yakni deengan pembuatan system operasional prosedur pelaksanaan koordinasi yang ditetapkan melalui peraturan dalam pelimpahan kewewenang melalui dekonsentrasi.

/45/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 58: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

2. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam Pengawasan Esensi pengawasan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

fungsi manajemen. Paya melaksanakan manajeman pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat, maka diperlukan penyelenggaraan pengawasan yang kuat untuk dapat mengukur sejauhmana keberhasilan unit pelaksana dekonsentrasi dapat melaksanakan tugasnya secara benar. Sebagai salah satu fungsi organik manajemen (pemerintahan), maka fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi harus berjalan secara simultan, proporsional dalam pencapaian tujuan program. Fungsi kepengawasan yang demikian mengarah pada :a. Mencapai tingkat kinerja pelaksanaan program tertentu;b. Menjamin susunan administrasi yang terbaik dalam operasi unit

pemerintahan provinsi baik secara internal dalam hubungannya dengan pemerintah pusat;

c. Untuk memperoleh perpaduan yang maksimum dalam pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam pelayanan dasar;

d. Untuk melindungi warga masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan;

e. Untuk terjalinnya integrasi kepentingan nasional; danf. Untuk pelaksanaan bimbingan lanjut agar tidak menumbuhkan

daya inisiatif, sikap tanggungjawab dan menyelaraskan dengan prinisf efisiensi dan efektivitas.

Untuk mencapai sasaran tersebut dibutuhkan jurus atau instrumen yang ampuh untuk mengoperasikannya. Salah satu instrumen jurus adalah membantu dalam pengendalian secara internal pemerintah provinsi untuk melakukannya yang bermuara pada perbaikan kinerja di masa datang. Sejalan dengan iklim keterbukaan dan demokratisasi, maka kinerja pengawasan harus melibatkan kolaborasi antara 'outsider' dan 'insider', antar-pemerintah. Selain itu, pelaksanaan pengawasan harus juga mengusung pada tindak lanjut perbaikan (corrective action). Orientasi kinerja pengawasan demikian tidak lagi mencari kesalahan, tetapi lebih pada upaya pemberdayaan. Kinerja pengawasn pemerintah

/46/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 59: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

provinsi yang demikian bisa berjalan manakala berlangsung objektif, transparan, sahih dan mampu memuaskan semua pihak.

Upaya penguatan kinerja pengawasan yang berorentasi pada pemberdayaan oleh pemerintah provinsi merupakan paradigma baru. Paradigma itu menyandarkan pada prinsip-prinsip manajemen modern, dimana perubahan manajemen pembangunan di Indonesia yang berjalan dengan simultan, proporsional dalam berorientasi pada pencapaian tujuan otonomi daerah yang berorientasi pada pencapaian pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik.

Tujuan pengawasan yang beroerientasi pada pemberdayaan adalah untuk mengetahui secara dini apabila terjadi pergeseran orientasi, rencana dan sasaran dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dan kemudian pemerintah provinsi melakukan langkah-langkah penyelesaiannya. Dadang Solihin dan Putut Marhayudi (2002) secara lebih luas mengemukakan pengawasan yang beroerentasi pada pemberdayaan adalah pengawasan yang: 1) Memastikan program-program pembangunan mencapai tingkat kinerja yang ditentukan; 2) Memastikan adanya integritas yang maksimum dalam pengelolaan pembangunan daerah dan nasional; dan 3) Membantu pencapaian efektifitas pembangunan nasional.

Pengawasan sektor dan program pelayanan yang didekonsentrasi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi harus dilakukan dengan langkah pengumpulan dan analisa data fisik dan keuangan yang dilakukan secara periodik. Proses pengawasan yang demikian merupakan bagian dari pengendalian pembangunan nasional. Analisa pelaksanaan proyek/program/kegiatan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya gap/perbedaan antara target dan hasil kerja pemerintah daerah.

Pengalaman Malaysia (Hossein: 2002), menunjukkan sistem pengawasan pembangunan yang tepat telah mendorong keberhasilan pembangunan nasional. Tiga faktor dominan adalah: 1) Program pembangunan socio-ekonomi yang mendasar dan berkelanjutan; 2) Birokrasi modern yang berdedikasi tinggi dan tanggap terhadap kepemimpinan politik dan kebutuhan masyarakat, dan 3) Sistem perencanaan, pengendalian dan evaluasi yang menjamin pelaksanaan pembangunan tetap konsisten dijalurnya.

/47/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 60: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Kinerja kepengawasan yang berorientasi pada pembinaan oleh pemerintah provinsi berkenaan dengan penyelenggaraan dekonsentrasi dipandang akan berdampak pada tiga hal. Pertama, akan meningkatkan kinerja lembaga pemerintah daerah. Kedua, memberikan opini atas kinerja yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah. Ketiga, akan mengarahkan pembinaan atas koreksi atas masalah-masalah yang berlangsung dalam pencapaian program. Ketiganya dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan manajemen secara tepat dan memberikan tingkat keyakinan akan pencapaian rencana yang telah ditetapkan.

Amanat UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menunjukkan setidaknya ada 3 (tiga) jenis pemeriksaan yang menjadi agenda pemerintah provinsi dalam memerankan fungsi pengawasan kewenangan dekonsentrasi, yakni 1) Pemeriksaan keuangan, adalah pemerawasan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah; 2) Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah; dan 3) Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.

Senada dengan pengertian di atas, kepengawasan dekonsentrasi dilakukan untuk memperoleh kepastian, apakah pelaksanaan pekerjaan/kegiatan telah dilakukan dengan rencana semula. Kegiatan pengawasan pada dasarnya membandingkan kondisi yang ada dengan yang seharusnya terjadi. Bila terjadi temuan penyimpangan/ hambatan segera diambil tindakan koreksi. Agar dapat efektif mencapai tujuannya, pengawasan dlaam dekonsentrasi tidak dilakukan hanya pada saat akhir proses manajemen saja, akan tetapi berada pada saat tingkatan proses manajemen.

Pada tataran yang lebih maju, pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi berorientasi pada upaya mengidentifikasi kelemahan-kelemahan operasional maupun manajerial. Dengan identifikasi berbagai alternatif pada operasi atau metode manajemen

/48/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 61: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

penyelenggaraan dekonsentrasi. Pengawasan yang demikian tidak boleh hanya berhenti pada pemberian rekomendasi, apalagi berhenti pada sekedar identifikasi penyimpangan. Pada tingkatan yang lebih ideal, pengawasan harus mampu memastikan bahwa usul-usul perbaikan yang diajukan dapat terlaksana. Dengan demikian, kepengawasan dalam dekonsetrasi mengarah pada perbaikan. Atau dengan kata lain kepengawasan dekonsentrasi berperan sebagai katalisator (counseling partner), dan quality assurance (penjaminan mutu) dari penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Implementasi kinerja kepengawasan yang beroerientasi pada pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam melaksanakan dekonsentrasi dapat dikatakan sebagai “proses tindakan dan evaluasi terhadap implementasi sebuah perencanaan dan penggunaan umpan balik agar sasaran dicapai sesuai dengan target” (Arif Suadi, 1995 ; 6). Sejalan dengan pendapat tersebut, Gareth R. Jones dan Jennifer M. George (2003: 334-337) mengemukakan terdapat 4 (empat) langkah Pengawasan dalam kelembagaan yang mengarah pada pembinaan, termasuk dalam pelaksanaan dekonsentrasi pemerintah daerah, yaitu :a. Establish the standards of performance, goals or targets against which

performance is to be evaluatedb. Measure actual performancec. Compare actual performance against chosen standars of performanced. Evaluate the result and initiate corrective action if the standard is not

being acheived

Demikian pula Antony and Dearden (1985:4) berpendapat tentang kepengawasan sebagai suatu proses, namun Beliau menggunakan peristilahan komponen-komponen pengawasan dan atau pengendalian yang harus dimiliki yaitu :a. Alat pengamat pengendalian yang berfungsi untuk mengamati,

memantau, mengukur atau menguraikan sekaligus melaporkan segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan sistem pengendalian manajemen.

/49/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 62: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

b. Alat Penilai yang berfungsi sebagai pengevaluasi kinerja suatu kegiatan dalam lingkungan sistem pengendalian manajmen yang diterima oleh alat pengamatan

c. Pengubah adalah komponen pengendalian manajemen yang berfungsi sebagai pengubah perilaku. Pengubah ini akan menerima masukan dari pembanding yang selanjutnya akan memberikan perbaikan terhadap penyimpangan yang terjadi.

d. Sistem komunikasi adalah komponen pengendalian yang berfungsi untuk mengkomunikasikan seluruh arus informasi darini lingkungan ke alat dari alat ke pembanding dan dari pembanding ke pengubah serta dari pengubah ke lingkungan kembali.

Gambar 2.3.Hubungan Komposisi Pengawasan

(Diadaptasi dari Anthony and Dearden, 1985)

Dengan demikian dari pendapat-pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa kinerja pengawasan oleh Pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan kewenangan melalui dekonsentrasi adalah proses yang meliputi :

/50/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 63: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

a. Menentukan standar pengawasan sebagai acuan baik berupa pengaturan-pengaturan, ketentuan-ketentuan atau target-target pelaksanaan dekonsentrasi yang dilimpahkan, khususya dalam pelayanan. Standar (patokan) yang dibuat harus jelas dan disepakati untuk menghindari kesalahan interpretasi.

b. Melakukan pengumpulan data-data empiris yang terjadi apakah dilakukan dengan secara administratif, yakni hanya menerima laporan atau melakukan pengumpulan data secara langsung. Proses ini akan dapat terpetakan kondisi riil yang terjadi dilapangan berkenaan dengan pelaksanaan pelayanan yang didekonsen-trasikan.

c.Membandingkan atau mengukur antara standar yang telah ditentukan dengan kondisi yang terjadi dilapangan, sehingga akan diketahui secara dini bilamana terjadi deviasi atau penyimpangan antara rencana dan pelaksanaan.

d. Melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan penyelenggaraan dekonsentrasi dengan cara koreksi atau pelurusan pada saat itu untuk dikembalikan kepada standar yang telah ditetapkan.

Dalam kaitan itu dapatlah diadaptasi, kinerja pengawasan pemerintah provinsi dalam kaitan dengan pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi pelayanan dari Gareth R. Jones dan Jennifer M. George (2003: 333-334), yakni: 1) Feedforward Control, adalah kinerja pengawasan yang dilakukan untuk mengantisipasi munculnya permasalahan di kemudian hari bentuk pengawasan atau pengendalian ini dilakukan dengan menetapkan standar-standar yang akan menjadi acuan kinerja; 2) Concurrent Control, adalah kinerja pengawasan untuk mendapatkan informasi atau masukan dari pelaksanaan sesegera mungkin; 3) Feedback Control, adalah kinerja pengawasan yang dilakukan setelah proses berlangsung yakni dengan mendapatkan informasi reaksi berkenaan dengan pelaksanaan dekonsentrasi pelayanan.

3. Kinerja Pemerintah Provinsi dalam PembinaanKinerja pembinaan oleh pemerintahan provinsi dalam

/51/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 64: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

penyelenggaraan dekonsentrasi dilakukan oleh pemerintah provinsi dan atau Gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Pembinaan oleh pemerintah pusay dilakukan oleh menteri dan atau pimpinan lembaga pemerinatah non-departemen berdasarkankewenangan masing-masing yang dikoordinasikan. Sedangkan kinerja pembinaan dalam pemerintahan provinsi dilakukan oleh Gubernur untuk unit-unit organisasi yang ada di bawahnya. Pembinaan dalam penyelenggaraan pemerintah provinsi adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin memperkuat pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi yang dilimphakan pemerintah pusat sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan. Dalam hal pembinaan yang berkesesuaian dengan rencana, pemerintah provinsi melakukan dengan dua cara, yakni : a. Kinerja pembinaan yang sesuai dengan rancangan peraturan daerah

(Raperda), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) sebelum disahkan oleh kepala daerah terlabih dahulu dievaluasi oleh Mendagri untuk Raperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai dayaguna dan hasilguna yang optimal;

b. Kinerja pembinaan terhadap kesesuaian dengan semua peraturan daerah di luar Raperda, yakni setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Mendagri untuk provinsi untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Dalam rangka mengoptimalkan kinerja pembinaan, pemerintah provinsi dapat menerapkan sanksi kepada unit organisasi penyelenggara pemerintahan provinsi apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara kewenangan dekonsentrasi. Namun demikian, penyelenggaraan kinerja pembinaan yang berbentuk sanksi ini harus memiliki sandaran hukum berupa peraturan pemerintah (PP) yang dijadikan panduan dalam pelaksananya.

/52/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 65: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Kinerja pembinaan dalam kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi memang diperlukan penjalasan lebih lanjut, mengingat adanya tarik menarik antara kewenangan desentralisasi dan dekonsentrasi. Kinerja pembinaan dekonsentrasi sebagai keseimbangan atau kasarnya menjadi alat untuk menjadikan kinerja pelayanan kepada masyarakat menjadi leih baik. Kinerja pembinaan dalam pelayanan menunjukkan urgensi yang amat kuat, mengingat kualitas pelayanan akan ditentukan oleh sejauhmana peningkatan dan pembinaan kinerja pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan dekonsentrasi. Dalam kaitan itu, maka mekanisme kinerja pembinaan telah diatur dalam PP Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah di daerah. Gambaran kinerja pembinaan dapat dicermati pada bagan berikut ini :

Gambar 2.4.Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

di Daerah berdasarkan PP No. 79/2005

Perkembangan eksternal dibidang manajemen pemerintahan baru seperti munculnya PP 79/2005 harus disikapi dengan cermat mengingat PP 79/2005 akan membawa dampak yang signifikan terhadap eksistensi hubungan antara pusat dengan pusat, pusat dan daerah serta daerah dengan daerah. Ini adalah konsekuensi logis dari komitmen

/53/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 66: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

paradigma good governance yang memperyaratkan rule of law dalam setiap formulasi dan impelementasi kebijakan pemerintah. Disamping itu, tentunya dapat juga disadari bahwa era manajemen pemerintahan modern memandang bahwa setiap kebijakan (policy) pemerintah tidak berdiri sendiri dan menjadi domain aktor tersendiri namun tetap kebijakan itu mempunyai web atau jaringan yang akan bersentuhan dengan wilayah aktor lain. Untuk itu wilayah bargaining position para aktor sebagai institusi pemerintah harus dipetakan dengan tujuan agar suatu saat tidak terjadi konflik dan duplikasi kewenangan dengan aktor lain dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.

/54/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 67: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

BAB IIIKONDISI DAN KEBIJAKAN DEKONSENTRASI DI TINGKAT DEPARTEMEN DAN MEKANISME KOORDINASI KEWENANGAN DEKONSENTRASI DI TINGKAT PROVINSI

A. Implikasi UU Nomor 32 tahun 2004 Terhadap Eksistensi ”Pemerintahan Wilayah” di Daerah

Secara normatif telah dipahami bersama bahwa sistem otonomi yang dikandung dalam UU Nomor 32 tahun 2004 pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni: 1) otonomi luas pada Daerah Kabupaten / Kota, dan 2) otonomi terbatas pada Provinsi.

Otonomi luas pada Kabupaten / Kota membawa implikasi bahwa Daerah Kabupaten / Kota hanya merupakan daerah otonom belaka (hanya menjalankan fungsi desentralisasi semata). Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan ketentuan UU Nomor 5 tahun 1974 yang menetapkan Kabupaten / Kota sebagai Daerah Otonom sekaligus sebagai Wilayah Administratif. Sementara itu, otonomi terbatas pada Propinsi masih menghendaki eksistensi ”pemerintahan wilayah” di tingkat Propinsi (cq. Gubernur sebagai Wakil Pemerintah). Hal ini secara prinsip tidak banyak berbeda dengan UU sebelumnya, dimana fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi dijalankan secara bersama-sama di Propinsi.

Terhadap sistem otonomi yang demikian, terdapat kecenderungan bahwa pemerintah Propinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota mengambil sikap yang relatif seragam, khususnya dalam penataan aspek kelembagaannya. Dalam hal ini, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sama-sama menetapkan kebijakan untuk menghapus aparat vertikal di

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/55/

Page 68: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

daerahnya masing-masing. Dalam bentuk yang lebih konkrit, keberadaan Kantor Wilayah di Propinsi maupun Kantor Departemen dan Cabang Dinas Tingkat I di Kabupaten/Kota, ditiadakan.

Penghapusan aparat vertikal di Kabupaten/Kota jelas merupakan langkah yang secara tegak lurus berkorelasi dengan semangat demokratisasi, pelayanan, dan pemberdayaan daerah sebagaimana dikandung dalam UU Nomor 32 tahun 2004. Artinya, otonomi luas memang berimplikasi kepada berkurangnya (bahkan hilangnya) sebagian terbesar kewenangan pemerintah Pusat di Kabupaten/Kota, sehingga hak pemerintah Pusat untuk melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Kabupaten/Kota melalui mekanisme dekonsentrasi menjadi sangat tipis, jika tidak dikatakan hilang sama sekali. Dengan kata lain, faktor inilah yang menjadi dasar yuridis rasional untuk mengurangi (bahkan menghapus) aparat vertikal di Kabupaten / Kota.

Namun, upaya menghapus aparat vertikal di Propinsi, meskipun secara administratif merupakan suatu terobosan yang sangat brilian, patut dikaji secara cermat dan mendalam. Sebab, sebagai “Wilayah Administratif”, Propinsi masih memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk menerima pelimpahan tugas atau wewenang dari Pemerintah Pusat melalui mekanisme dekonsentrasi. Implikasinya, keberadaan instansi vertikal di Propinsi secara logika masih dibutuhkan untuk menampung dan menyelenggarakan kewenangan dekonsentrasi dari Pusat. Namun hal ini nampaknya sulit untuk diwujudkan, karena dianggap ”bertentangan” dengan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, meskipun keberadaan instansi vertikal di Propinsi masih eksis, namun hanya untuk mewadahi kewenangan mutlak Pusat (peradilan/kehakiman, moneter/fiskal, agama, dsb). Sedangkan untuk kewenangan concurrent, keberadaan instansi vertikal di Propinsi harus dibatasi.

B. Penyelenggaraan Kebijakan Dekonsentrasi di Tingkat Departemen1. Aspek Pendelegasian / Pelimpahan Kewenangan

Secara umum dapat diketahui bahwa pemerintah Pusat (cq. Departemen teknis) belum memiliki kerangka kebijakan yang jelas tentang pengelolaan tugas pemerintah Pusat yang harus dijalankan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah (fungsi dekonsentrasi). Hal ini

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/56/

Page 69: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

terlihat dari belum adanya kebijakan yang tegas dan konkrit tentang pelimpahan kewenangan pemerintah kepada Gubernur. Padahal, kewenangan dekonsentrasi yang terinci dan limitatif ini memiliki banyak nilai positif dan keuntungan, misalnya :�Sebagai pedoman bagi Gubernur untuk menjamin efektivitas fungsi

pemerintah Pusat di tingkat daerah. Dengan kata lain, kejelasan fungsi dekonsentrasi tadi akan memperkuat ikatan NKRI.

�Dapat menghindarkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih / overlap kegiatan antara program Departemen dengan program Pemprov.

�Merupakan entry point untuk mengucurkan dana APBN dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah di daerah. Kucuran dana dalam kerangka pembiayaan program yang tidak jelas (karena belum dilimpahkan), dapat dikatakan sebagai bentuk inefisiensi yang rendah tingkat akuntabilitasnya.

Meskipun secara legal formal belum ada produk hukum yang khusus mengatur pelimpahan wewenang Menteri kepada Gubernur, namun secara de facto (atau berdasarkan praktek tidak tertulis), pelimpahan kewenangan tadi telah berjalan. Hal ini nampak di Departemen Kesehatan, dimana setiap kali menerima pagu sementara dalam APBN, Menteri memberitahukan kepada Gubernur mengenai rencana kegiatan yang akan didanai dari dana dekonsentrasi. Atas dasar pemberitahuan dari Menteri ini, selanjutnya Gubernur menetapkan SKPD provinsi dan memberitahukan kepada Menteri tentang rencana penyelenggaraan tugas dekonsentrasi yang dilimpahkan kepada Menteri. SKPD sendiri dibebani tanggungjawab dan/atau kewajiban untuk memberikan pelaporan baik kepada Gubernur maupun kepada Departemen teknis sesuai pembidangan urusannya. Sementara bagi Gubernur sendiri, kegiatan yang telah dilimpahkan oleh Menteri, tidak boleh dilimpahkan kembali kepada Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, Kabupaten/Kota menerima penugasan dari pemerintah pusat (cq Departemen) melalui mekanisme Tugas Pembantuan.

/57/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 70: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Walaupun dalam prakteknya cukup efektif, namun dalam konteks pembenahan sistem administrasi kenegaraan hal ini kurang baik. Sebab, setiap aktivitas kepemerintahan (termasuk pelimpahan kewenangan) harus memiliki landasan hukum yang jelas. Dengan kondisi seperti saat ini yang belum memiliki landasan formal, maka tidak muncul efek mengikat yang menjadi instrumen untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya penyimpangan. Faktanya, dari hasil informasi dengan berbagai pihak di daerah (4 provinsi di Kalimantan), Gubernur seringkali tidak mampu memonitor penyelenggaraan kegiatan Departemen di daerah yang dibiayai dari anggaran APBN (dana dekonsentrasi).

Dari berbagai departemen / kementerian yang ada, Departemen Pertanian merupakan salah satu contoh yang telah memiliki kerangka hukum tentang pelimpahan atau pendelegasian kewenangan. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 211/Kpts/KU.510/5/2005 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Gubernur Dalam Pengelolaan dan Tanggung Jawab Dana Dekonsentrasi Departemen Pertanian Tahun Anggaran 2005. Sayangnya, dalam aturan tadi tetap saja belum ada rincian kewenangan yang dilimpahkan. Kewenangan yang dilimpahkan sesungguhnya masih berupa kelompok program, sedangkan program hingga kegiatannya belum terinci secara detail. Di lingkungan Departemen Pertanian, kelompok program tersebut meliputi: a) Program Peningkatan Ketahanan Pangan; b) Program Pengembangan Agribisnis; dan c) Program Pemberdayaan Masyarakat Pertanian.

Sementara itu, masih banyak departemen yang belum memiliki peraturan sejenis. Strategi penyerahan kewenangan dekonsentrasi dan dana dalam kerangka tugas dekonsentrasi di Departemen Kesehatan misalnya, masih identik dengan struktur Direktorat Jenderal di lingkungan departemen ini. Hal ini mengandung implikasi bahwa kewenangan yang didelegasikan kepada Gubernur juga belum terinci secara limitatif, melainkan berupa kelompok program besar.

Kondisi serupa terjadi di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), dimana kewenangan dekonsentrasi hanya berupa indikator sebagai dasar atau pertimbangan dalam menentukan

/58/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 71: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

besaran dana dekonsentrasi, yaitu yang terkait dengan 3 pilar kebijakan Depdiknas: 1) perluasan dan pemerataan akses pendidikan khususnya penuntasan wajib belajar 9 tahun; 2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, serta 3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik.

Meskipun aturan dasar tentang pelimpahan kewenangan pemerintah (cq. Menteri) kepada Gubernur masih sangat tidak jelas, namun pada umumnya sudah ada payung hukum yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi. Pedoman tersebut antara lain Pedoman Pelaporan Keuangan Pemerintah yang berlaku untuk lingkungan masing-masing departemen, Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Tahunan, dan sebagainya.

Mengingat kondisi diatas, maka dalam perspektif penguatan fungsi dekonsentrasi di masa mendatang, dibutuhkan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelimpahan kewenangan kepada Gubernur, baik menyangkut mekanisme dan prosedur pendelegasiannya, hak-hak dan kewajiban Gubernur selaku mandataris kewenangan departemen, teknis pembiayaan (sejak perencanaan, pencairan dan pelaporannya), serta konsep pertanggungjawaban kinerja / manajerialnya. Dalam hubungan ini, ada beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan untuk merumuskan kewenangan Gubernur di bidang dekonsentrasi, yakni :�Membentuk PP yang bersifat umum, berisi tentang pedoman bagi

Menteri/Kepala LPND dalam rangka pelimpahan kewenangan kepada Gubernur.

�Membentuk PP secara khusus tentang rincian kewenangan Gubernur selaku wakil pemerintah dalam melaksanakan fungsi dekonsentrasi di berbagai bidang / sektor.

�Menjabarkan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, serta menyusun sebuah instrumen untuk menyaring kewenangan-kewenangan (baca: urusan) pemerintah yang layak dan perlu dilimpahkan kepada Gubernur.

Satu hal yang cukup baik adalah bahwa penggunaan dana dekonsentrasi sudah relatif sama di berbagai departemen maupun

/59/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 72: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

berbagai daerah, yakni untuk membiayai kegiatan yang bersifat non-fisik seperti koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Didalam kegiatan non-fisik tersebut termasuk juga kegiatam masukan (input) berupa pengadaan barang/jasa sebagai penunjang kegiatan non-fisik. Sedangkan tujuan pengalokasian urusan dan dana dekonsentrasi tadi adalah untuk meningkatkan pencapaian efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pembangunan di daerah, serta menciptakan keselarasan dan sinergi secara nasional antara program/kegiatan dekonsentrasi dan program yang didanai dari APBD.

2. Aspek Koordinasi InternalSebagaimana disinggung diatas, pemerintah Pusat (cq.

departemen teknis) belum memiliki kerangka kebijakan yang jelas tentang pengelolaan tugas pemerintah Pusat yang harus dijalankan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah. Dari dimensi koordinasi, hal ini nampak sekali dari tidak adanya komunikasi antar unit-unit lini dan/dengan unit penunjang di lembaga yang bersangkutan. Di lingkungan Departemen Kesehatan misalnya, meskipun terdapat Unit Desentralisasi yang salah satu tugasnya mencakup urusan pelimpahan kewenangan kepada daerah, namun unit ini tidak pernah diajak berdiskusi tentang urusan termaksud. Bahkan Biro Keuangan pun tidak memiliki data tentang besarnya dana dekonsentrasi yang disalurkan ke berbagai daerah. Unit pengolah kebijakan pendelegasian kewenangan masih dipegang langsung oleh unit lini masing-masing (Direktorat Jenderal dan struktur dibawahnya).

3. Aspek Pelaporan dan PertanggungjawabanBeberapa departemen, seperti Departemen Kesehatan, sudah

memiliki aturan mengenai mekanisme pelaporan dan/atau pertanggungjawaban pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Aturan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 523/KMK.03/2000 tentang Tatacara Penganggaran, Penyaluran Dana, Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Dekonsentrasi

/60/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 73: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

dan Tugas Pembantuan, yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Secara rinci, mekanismenya tertuang pada pasal 7 sebagai berikut :�Administrasi keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi

dilakukan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan dan APBD.

�Pemimpin Proyek/Bagian Proyek wajib menyelenggarakan pembukuan dan penatausahaan uang/barang yang dikuasainya secara tertib sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga setiap saat dapat diketahui keadaan dan perkembangan fisik serta keuangan Proyek/bagian proyek.

�Pemimpin Proyek/Bagian Proyek wajib membuat dan menyampaikan laporan keuangan secara bulanan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran Dekonsentrasi kepada Gubernur.

�Gubernur wajib menyampaikan laporan/evaluasi secara triwulanan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran dekonsentrasi kepada Menteri/Pimpinan LPND terkait.

�M e n t e r i / P i m p i n a n L P N D w a j i b m e n y e l e n g g a r a k a n pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran Dekonsentrasi dan menyusun laporan keuangan berupa Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca Departemen/LPND bersangkutan menurut ketentuan Menteri Keuangan c.q Badan Akuntansi dan Keuangan Negara (BAKUN) serta menyampaikannya kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.

�Pemeriksaan pembiayaan pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan oleh instansi pemeriksa keuangan Negara.

Meskipun relatif sudah jelas, namun temuan lapangan yang diperoleh melalui wawancara mengindikasikan bahwa mekanisme tersebut tidak berjalan dengan baik. Koordinasi antara dinas teknis dengan Bappeda dan Sekretariat Daerah juga cenderung kurang serasi. Untuk mengantisipasi agar kondisi ini tidak terjadi lagi dikemudian hari, maka dasar hukum yang mengatur tentang mekanisme pelaporan

/61/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 74: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

dan pertanggungjawaban urusan dekonsentrasi harus disertai dengan dasar hukum yang lain yakni yang mengatur tentang mekanisme pembinaan dan pengawasan urusan dan/atau dana dekonsentrasi baik oleh Menteri maupun oleh Gubernur.

Berbagai permasalahan penggunaan dana dekonsentrasi, banyak ditemukan pada pemeriksaan pengelolaan anggaran dekonsentrasi. Soekoyo salah satu Auditor Utama Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan mengatakan bahwa Akuntabilitas dana dekonsentrasi yang dialirkan pemerintah pusat ke daerah sejak tahun 2000 masih lemah karena penggunaannya tidak dilaporkan di APBN serta neraca pemerintah pusat. Persoalan yang terjadi saat ini bahwa daerah hanya menerima dananya, tetapi menolak mengakui sebagai bagian dari kekayaannya pada saat diminta pertanggungjawaban. Menurut Soekoyo persoalan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi menjadi semakin rumit karena departemen yang menyalurkannya tidak mencatat hasil pembangunan yang didanai dana dekonsentrasi sebagai akibat tidak adanya aturan yang jelas terkait dengan penggunaan dana dekonsentrasi. ketidakjelasan pertanggungjawaban dana dekonsentrasi menurut Soekoyo bisa memicu asset laundring (tindak pidana pencucian asset).

Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao menyatakan bahwa kekacauan dalam penggunaan dana dekonsentrasi merupakan salah satu sumber selisih antara laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kondisi itu disebabkan departemen penyalur dan daerah penerima dana dekonsentrasi saling menuding pertanggungjawabannya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem pelaporan penggunaan dana dekonsentrasi masih belum akuntabel, hal ini dapat dilihat dari berbagai temuan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik pada Departemen maupun di daerah. Sebagai contoh, hasil evaluasi BPK terhadap laporan keuangan Departemen Sosial tahun anggaran 2006 salah satunya menemukan bahwa pelaporan dana dekonsentrasi sebesar Rp.1.235 Triliun (luncuran DIPA Tahun 2005 sebesar Rp.11,9 Milyar, limpahan Surat Kuasa Pengguna Anggaran/SKPA Rp.265,6 Milyar) sebesar Rp. 757.300.781.843,00

/62/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 75: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

(61,80%) tidak dilaporkan oleh Pemerintah Daerah kepada Departemen Sosial. Pelaksanaan kegiatan dana dekonsentrasi Depnakertrans sebesar Rp 158.459.067.617,00 menurut temuan BPK tidak sesuai tujuannya. Kondisi ini juga terjadi di berbagai departemen lain, Sekjend Depdiknas mengakui bahwa pelaporan penyelenggaraan dekonsentrasi di lingkungannya masih cukup buruk, menurut BPK terdapat 41 satker pengguna dana dekonsentrasi yang belum menyampaikan laporan keuangannya kepada Menteri Pendidikan Nasional.

Pada departemen kesehatan lebih buruk lagi sebanyak 458 satker belum melaporkan realisasi anggaran dekonsentrasi. Terhadap laporan pertanggung jawaban yang telah disampaikan pun, menurut BPK sebagian besar hanya didasarkan pada data elektronik atau Arsip Data Komputer (ADK) saja tanpa didukung oleh laporan keuangan resmi dari pemerintah daerah yang ditandatangani oleh Kepala Daerah, ADK yang diterima tersebut tidak sepenuhnya diyakini merupakan ADK yang telah direkonsiliasi dengan KPPN setempat karena tidak semua Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) melampirkan Berita Acara Rekonsiliasi (BAR). Laporan keuangan tingkat wilayah juga belum tersusun baik karena Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPA-W) belum terbentuk maupun adanya kesulitan dalam mengkompilasi LK tingkat UAKPA dari berbagai Eselon I.

Tabel 3.1Rincian Dana Dekonsentrasi Departemen Sosial Tahun 2006

NO ESELON I DANA DEKON

1

Sekretariat Jenderal

45.043.968.7952

Ditjend Pemberdayaan Sosial

499.451.751.110

3

Ditjend Pelayanan dan Rehabilitas Sosial

248.111.229.3604

Ditjend Bantuan dan Jaminan Sosial

432.864.311.114

Total 1.225.471.260.409

Sumber: LKPP Depsos Tahun 2006

/63/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 76: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Kasus yang ditemukan BPK pada pengelolaan anggaran dekonsentrasi di Provinsi Sumatera Utara antara lain pengelolaan Dana Dekonsentrasi Bidang Kesehatan TA 2005 dan 2006 belum diikuti dengan pertanggungjawaban keuangan secara tertib sesuai SAI. Pada TA 2005 Gubernur belum mempertanggungjawabkan realisasi Dana Dekonsentrasi bidang kesehatan kepada Menteri Kesehatan. Sehingga Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Neraca Depkes tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Di Provinsi Riau menunjukkan Dana Dekonsentrasi Bidang Kesehatan TA.2005 dan TA.2006 belum sepenuhnya dikelola dan ditatausahakan dengan tertib sesuai SAI serta untuk TA.2005 tidak dipertanggungjawabkan oleh Gubernur kepada Menteri Kesehatan. Kasus yang terjadi di Kalimantan Barat dalam pengelolaan anggaran Dekonsentrasi antara lain bahwa masing-masing Satker di lingkungan Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Barat belum melaksanakan Sistem Akuntansi Instansi (SAI).

Permasalahan lain yang secara umum terjadi adalah dalam hal inventarisasi dan pengelolaan aset tetap hasil pengadaan dari dana dekonsentrasi, pada satu sisi inventarisasi aset tersebut sudah diatur seperti dalam inventarisasi aset APBN dengan menggunakan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN), akan tetapi tindak lanjut terhadap pengelolaan aset tetap tersebut kurang jelas. Permasalahan ini hampir terjadi pada beberapa departemen teknis yang melimpahkan kewenangan dekonsentrasi, daerah pada umumnya tidak memberikan laporan tentang BMN baik dalam bentuk ADK maupun Laporan BMN. Kasus yang terjadi di Provinsi Riau lebih parah lagi, berdasarkar hasil pemeriksaan penggunaan dana dekonsentrasi tahun 2005 dan 2006, realisasi belanja dana dekonsentrasi dan aset hasil pengadaan yang sumber dananya berasal dari dana dekonsentrasi belum dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal itu dikarenakan unit akuntansi yang menangani Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN) pada Dinas Kesehatan Provinsi Riau sebagai Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) masih belum dibentuk secara formal. Selain itu, pada tingkat yang lebih tinggi juga belum dibentuk Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran Wilayah (UAPPA-W)

/64/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 77: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Dekonsentrasi sebagai koordinator pelaporan dan pertanggung-jawaban pelaksanaan dana dekonsentrasi untuk seluruh UAKPA yang berada pada Provinsi Riau.

Tabel 3.2.Daftar Aset Tetap Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

yang Belum Dilaporkan Tahun Anggaran 2006

Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), BPK, 2006

Hasil pemeriksaan BPK terhadap anggaran Kementrian/ Lembaga yang memperoleh anggaran dana dekonsentrasi tahun 2004, yaitu Depnakertrans, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pertanian, Departemen Sosial, Depdiknas, Depperindag, Depkes, menunjukkan bahwa barang milik/kekayaan negara yang diperoleh dari dana dekonsentrasi tidak dilaporkan dalam neraca kementrian negara/lembaga tersebut. Disamping itu, dalam catatan atas laporan keuangan kementrian negara/lembaga yang memperoleh alokasi anggaran belanja dekonsentrasi dan catatan atas LKPP Tahun 2004, alokasi anggaran belanja dekonsentrasi dan belanja modal dari anggaran dan belanja tersebut tidak diungkapkan.

/65/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 78: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

BPK menemukan bahwa Pencatatan Aset Tetap hasil pengadaan dana dekonsentrasi tidak sesuai peraturan perundang-undangan Dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat dalam DIPA TA 2005 telah mengalokasikan dana dekonsentrasi untuk belanja modal pada beberapa kementerian negara/lembaga yang seharusnya digunakan untuk kegiatan-kegiatan non fisik, ternyata masih belum dipahami oleh beberapa departemen teknis pemberi dana dekonsentrasi. Hasil pemeriksaan uji petik atas pengadaan belanja modal dana dekonsentrasi pada beberapa kementerian negara/lembaga menunjukkan bahwa barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi belum dilaporkan secara tertib dan lengkap oleh pemerintah daerah serta belum diserahterimakan ke Pemda setempat sedang kementerian negara/lembaga tidak lagi menyajikan barang-barang tersebut dalam LK kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. Hal ini terjadi pada kementerian negara sebagai berikut:

Tabel 3.3.Daftar Aset Tetap dari Dana Dekonsentrasi Yang Belum

Dilaporkan Tahun Anggaran 2005

NoKementrian

Negara/Lembaga

Nilai Aset Tetap (Juta Rp)

Keterangan

1 Dep. Kesehatan

521.522,66

Pengadaan alat kesehatan dan rehabilitasi gedung rumah sakit dan puskesmas pada 16 provinsi dari 32 provinsi

2 Dep. Dalam Negeri

37.952

Pengadaan peralatan dan mesin serta pembangunan gedung kantor sebesar

3 BKKBN 835

Pengadaaan barang inventaris yang dikirim BKKBN kepada Pemda DKI

4Dep. Pendidikan Nasional

450.5

Pengadaan barang inventaris pada Pemda Sumut dan Pemda Jateng

5 Dep. Kehutanan 389,59

Pengadaan komputer, laptop, plotter, GPS dan sebagainya pada tujuh provinsi tidak pernah dilaporkan kepada UAPPA E-I.

/66/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 79: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

6Dep. Kelautan dan Perikanan

329.499,71

Pengadaan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan mesin serta sarana fisik lainnya pada UAKPA Dekonsentrasi DKP di 33 provinsi

7 Dep. Pertanian 1.189.462,13

Pengadaan gedung dan bangunan, peralatan dan mesin serta sarana fisik lainnya pada UAKPA dekonsentrasi Deptan

TOTAL 1,558,588.93

Sumber: LKPP Tahun 2005, diolah

Kondisi tidak dilaporkannya aset tetap hasil dari dana dekonsentrasi bukanlah terjadi semata-mata karena kesalahan daerah, sebagai contoh pada Departemen Pendidikan Nasional, secara khusus untuk dana Dekonsentrasi tahun 2005, belum ada ketentuan yang secara jelas mengatur mengenai organisasi dan pelaporan untuk tingkat wilayah. Pelaksanaan aplikasi pelaporan SAK untuk tingkat UAPPA-W masih belum ada kejelasan mengenai pelaporan UAKPA Dekonsentrasi ke tingkat wilayah sehingga Laporan Keuangan tingkat UAPPA-W Dekonsentrasi belum dapat dilakukan secara berjenjang dari masing-masing UAKPA Dekonsentrasi dan belum dapat dilaporkan ke tingkat UAPPA-E1 secara bertingkat.

Tidak berbeda dengan kondisi yang terjadi di beberapa departemen dan daerah, perkembangan sistem pelaporan penggunaan dana dekonsentrasi secara nasional dari tahun 2001-2006 menurut pemeriksaan BPK juga masih lemah. Laporan audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004 memastikan, seluruh departemen yang mengucurkan dana dekonsentrasi tidak dilaporkan dalam LKPP 2004. Pada periode 2001-2003, lebih buruk lagi karena pemerintah sama sekali tidak menyusun LKPP. Pada 2005, pemerintah pusat mengucurkan dana dekonsentrasi Rp 4 triliun dan pertanggungjawabannya mengalami kemajuan karena sebagian dicantumkan dalam LKPP 2005. Namun, BPK masih menemukan dana dekonsentrasi sebesar Rp 2,08 triliun belum dicantumkan dalam LKPP 2005.

/67/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 80: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

A. Kelembagaan Dekonsentrasi, Mekanisme Penyelenggaraan, dan Koordinasi Pelaksanaan Dekonsentrasi di Tingkat Provinsi

Secara implisit dapat ditemukan bahwa UU Nomor 32 tahun 2004 hanya mengenal satu bentuk kelembagaan dekonsentrasi di Propinsi, yaitu “Gubernur selaku Wakil Pemerintah”. Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: apakah hanya “Gubernur selaku Wakil Pemerintah” saja kelembagaan yang akan menangani urusan-urusan dekonsentrasi di Propinsi?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, pertama kali harus dipahami bahwa kelembagaan “Gubernur selaku Wakil Pemerintah” hanya mungkin untuk menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi sepanjang menyangkut aspek-aspek pemerintahan umum. Dalam hal ini, Gubernur dibantu oleh unsur Sekretariat dapat disebut sebagai wujud konkrit kelembagaan dekonsentrasi di Propinsi. Namun, untuk kewenangan yang bersifat sektoral, jelas bahwa kelembagaan ini kurang tepat untuk menanganinya.

Terhadap kewenangan pemerintah Pusat, pasal 5 (1) PP nomor 39 1Tahun 2001 menandaskan bahwa “bagi daerah yang belum ada instansi

vertikal untuk melaksanakan sebagian kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama yang dilimpahkan, dibentuk instansi vertikal dengan menetapkan susunan organisasi …”. Ketentuan ini menyiratkan bahwa keberadaan instansi vertikal di Daerah (Propinsi) merupakan prasyarat yang harus dipenuhi sebelum dilakukannya penyerahan kewenangan dekonsentrasi oleh Pusat. Permasalahannya adalah, selama inipun kita tidak memiliki instansi vertikal di daerah untuk kewenangan politik luar negeri, serta pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu, upaya pembentukan kelembagaan di tiga bidang ini jelas bukan suatu pekerjaan yang mudah.

Disamping itu, terhadap kewenangan sektoral-pun, Gubernur dan jajaran Sekretariat Daerah juga kurang tepat untuk menanganinya. Oleh karenanya, pasal 5 (2) PP nomor 39 Tahun 2001 menegaskan bahwa “penyelenggaraan kewenangan bidang lain yang diterima oleh Gubernur,

1 PP ini merupakan perangkat aturan dalam rangka melaksanakan isi UU No. 22 Tahun 1999, sedangkan UU ini sendiri sudah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian, substansi dan semangat yang terkandung dalam PP ini sebaiknya segera disesuaikan dengan UU Pemerintahan Daerah yang baru.

/68/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 81: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

pelaksanaannya dilakukan oleh suatu Unit Organisasi yang ada dalam Dinas Propinsi”. Selanjutnya dalam pasal 5 (3) dinyatakan bahwa “dalam hal di Propinsi belum ada Dinas propinsi yang tepat dan sesuai untuk menangani suatu bidang kewenangan yang dilimpahkan … Gubernur dapat menugaskan Perangkat Daerah lainnya dan atau membentuk unit pelaksana secara khusus”. Ketentuan pasal ini juga mengandung permasalahan yang cukup rumit, khususnya yang berkaitan dengan mekanisme penyerahan dan pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi, serta koordinasinya dengan pelaksanaan kewenangan desentralisasi.

Selain itu, tidak dapat dihindarkan pertanyaan tentang “asas fungsionalisasi” dalam arti apakah kewenangan dekonsentrasi dapat dilaksanakan secara fungsional oleh perangkat desentralisasi? Jika hal ini dapat dibenarkan, maka secara tidak langsung UU Nomor 32 tahun 2004 mengakui adanya “perangkapan fungsi” aparat daerah, yakni sebagai perangkat daerah otonom sekaligus sebagai perangkat Pusat di daerah. Dengan kata lain, hal ini merupakan suatu kontroversi tersendiri, apakah perangkapan fungsi tadi sejalan dengan semangat otonomi daerah ataukah tidak?

Walaupun ketentuan PP Nomor 39 Tahun 2001 secara implikatif mengandung banyak perdebatan, namun paling tidak paparan diatas dapat mengkonstruksikan secara umum bahwa kelembagaan / aparat dekonsentrasi di Propinsi secara makro terdiri dari tiga unsur, yaitu: 1) Gubernur dan unsur Sekretariat, 2) Dinas Propinsi atau Perangkat Daerah lainnya dalam hal belum ada Dinas, serta 3) Instansi Vertikal tertentu atau Unit Pelaksana Khusus tertentu yang akan dibentuk untuk mewadahi urusan dekonsentrasi tertentu.

Dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam pasal 5 PP Nomor 39 Tahun 2001 diatas, maka fakta bahwa perangkat vertikal di Propinsi sudah sangat terbatas akibat dari penghapusan kantor-kantor wilayah yang telah dilakukan, tidak perlu dipermasalahkan. Sebab, Gubernur dapat “menitipkan” kewenangan dekonsentrasinya kepada setiap bentuk kelembagaan atau organisasi yang ada di daerahnya, baik yang berupa Dinas, Sekretariat, Lembaga Teknis maupun UPTD, bahkan tidak menutup kemungkinan membebankan kepada badan-badan usaha daerah. Disini yang terpenting justru adalah, bagaimana pola koordinasi

/69/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 82: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

yang harus dilakukan oleh Gubernur dan seluruh instansi yang terlibat dalam penyelenggaraan urusan dekonsentrasi tertentu?

Mengenai mekanisme dan kelembagaan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi tersebut, pasal 5 PP Nomor 39 Tahun 2001 menyinggung beberapa lembaga yang harus terlibat didalamnya, yakni Gubernur, Perangkat Daerah, Pejabat Pusat di Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, serta Menteri/Pimpinan LPND. Tugas atau peranan masing-masing lembaga dalam operasionalisasi kewenangan dekonsentrasi dapat di deskripsikan secara umum sebagai berikut :1. Gubernur selaku Kepala Daerah bertugas untuk mengkoordinasikan

perangkat daerah yang dibebani tanggung jawab penyelenggaraan ke we n a n g a n d e ko n s e n t ra s i , m e m b i n a d a n m e n g awa s i pelaksanaannya, serta memberitahukan kepada DPRD Propinsi.

2. G u b e r n u r s e l a k u Wa k i l P e m e r i n t a h b e r t u g a s u n t u k mengkoordinasikan perangkat/ pejabat Pusat di Daerah yang dibebani tanggung jawab penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi, m e m b i n a d a n m e n g a w a s i p e l a k s a n a a n n y a , s e r t a mempertanggungjawabkan hasilnya kepada pemerintah (cq. Departemen atau LPND yang memberi pelimpahan). Disamping itu, dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan makro regional atau lintas Kabupaten/Kota, Gubernur juga bertugas untuk melakukan koordinasi dengan Bupati/Walikota yang bersangkutan.

3. Perangkat Daerah (yang menerima pelimpahan) bertugas untuk menyusun kerangka kerja, mengimplementasikan kerangka kerja yang telah disusun, melakukan koordinasi dengan instansi yang dipandang perlu, menjalankan rambu-rambu atau pedoman yang disusun oleh pemberi pelimpahan, serta melaporkan hasil kerjanya kepada Gubernur selaku Kepala Daerah.

4. Pejabat Pusat di Daerah (yang menerima pelimpahan) bertugas untuk menyusun kerangka kerja, mengimplementasikan kerangka kerja yang telah disusun, melakukan koordinasi dengan Gubernur dan instansi yang dipandang perlu, menjalankan rambu-rambu atau pedoman yang disusun oleh pemberi pelimpahan, serta melaporkan hasil kerjanya kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah. Disamping itu, institusi ini juga wajib membina pegawai di lingkungannya serta memberikan

/70/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 83: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

saran dan pertimbangan kepada Menteri/Pimpinan LPND dan Gubernur berkenaan dengan penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan.

5. DPRD Propinsi bertugas untuk ikut memonitor pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi di wilayah kerjanya, sekaligus memberikan umpan balik atas pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi tersebut. Tugas pemantauan ini terutama diarahkan kepada hal-hal yang menyangkut kepentingan sebagian terbesar masyarakat di daerah, atau yang menyangkut penggunaan sumber-sumber daya dalam jumlah besar, misalnya anggaran.

6. Menteri/Pimpinan LPND bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur atau Perangkat Pusat di Daerah, serta menerima pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewenangan tersebut.

Dengan rincian tugas masing-masing lembaga diatas, maka pola atau mekanisme koordinasi dalam penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi dapat digambarkan sebagai berikut.

Alur Pelimpahan KewenanganAlur KoordinasiAlur Pemberitahuan

Gambar 3.1Pola Koordinasi Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi

/71/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 84: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Bagan diatas mengasumsikan bahwa kewenangan dekonsentrasi dan desentralisasi dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan penggunaan SDM dan mekanisme yang sama pula. Padahal, secara substansial keduanya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Pada kewenangan desentralisasi, landasan hukum yang memayunginya adalah Perda tentang Pembentukan Perangkat Daerah dan/atau SOTK yang antara lain mengatur tugas pokok dan fungsi (desentralisasi) Perangkat Daerah tertentu. Tugas pokok dan fungsi yang tertera dalam Perda ini sifatnya relatif permanen. Artinya, tugas pokok dan fungsi ini akan tetap ada dan dilaksanakan sepanjang Perangkat Daerah yang bersangkutan juga masih ada. Sementara tugas-tugas yang berasal dari pelimpahan wewenang, sifatnya relatif temporer. Artinya, tugas-tugas tersebut dapat diberikan sewaktu-waktu dan ditarik sewaktu-waktu oleh pihak yang memiliki kewenangan.

Dengan sifat tugas yang berbeda seperti ini, maka pola kerjanya pun menjadi berbeda pula. Penyelenggaraan kewenangan desentralisasi lebih bersifat siklis, repetitif dan rutin, sementara penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi lebih bersifat linier, insidental dan kontingensial. Perbedaan pola kerja ini dapat digambarkan dalam Gambar 3.2. sebagai berikut.

Perda Pembentukan

Perangkat Daerah / SOTK

Peraturan tentang Pelimpahan

Wewenang Dekonsentrasi

Tugas Pokok / Desentralisasi

Dekonsentrasi /

PERANGKAT DAERAH

Perencanaan

Pelaksanaan

Pengawasan

Evaluasi

Pelaporan & Pertanggungjawaban

siklis,

repetitif,

rutin

linier,

insidental,

kontingensial

Gambar 3.2Perbandingan Pola Kerja Kewenangan Desentralisasi danKewenangan Dekonsentrasi

/72/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 85: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

D. Indikasi Umum Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Provinsi

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya responden memandang perlu adanya koordinasi kewilayahan di dan/atau oleh propinsi. Dalam hal ini, jenis-jenis koordinasi yang dibutuhkan meliputi koordinasi terhadap fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, serta koordinasi dalam bidang-bidang kelembagaan dan sektoral. Bahkan, fungsi koordinasi ini semakin krusial dengan sistem otonomi luas untuk Kabupaten/Kota. Dalam hubungan ini, koordinasi diharapkan dapat berperan sebagai “tali pengikat” antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota, serta antar Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi yang bersangkutan. Dengan demikian, koordinasi diharapkan tidak hanya mampu untuk menciptakan efektivitas dan kesinambungan pembangunan sektoral dan regional, namun juga mampu menjamin keutuhan wilayah dalam kerangka Negara Kesatuan RI.

Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang disorot oleh responden sebagai kritik terhadap PP Nomor 39 Tahun 2001. Kritik tersebut berkaitan dengan aspek-aspek sebagai berikut :1. Secara umum pengertian koordinasi wilayah, perencanaan,

pelaksanaan, sektoral, kelembagaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana tertuang dalam pasal 3 UU No. 39 Tahun 2001 dan penjelasannya belum operasional. Hal ini dapat mengakibatkan disorientasi daerah dalam merealisasikan fungsi koordinasi tersebut. Oleh karena itu, aspek-aspek detail tentang koordinasi tadi perlu dielaborasi lebih dalam, misalnya mengenai proses / mekanisme, lembaga terkait, tugas dan wewenang dan tanggung jawab setiap lembaga, alat koordinasi, dan sebagainya. Dalam hal ini, bentuk peraturan perundangan yang diusulkan berupa Peraturan Pemerintah (PP).

2. Khususnya yang menyangkut pengertian koordinasi pembinaan dan koordinasi pengawasan seperti tertuang dalam pasal 3 butir (b) sedikit menimbulkan kebingungan atau kerancuan. Selama ini koordinasi dipahami sebagai fungsi manajemen yang lebih bersifat horisontal dan diagonal, bukan sesuatu yang subordinatif. Sementara dalam fungsi-

/73/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 86: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

fungsi pembinaan, bimbingan, supervisi dan pengawasan tersirat adanya hierarki, jenjang dan subordinasi. Untuk itu, sesuai dengan sistem otonomi yang tidak mengenal tingkatan dalam daerah otonom, maka perlu dipertegas bahwa koordinasi pembinaan dan koordinasi pengawasan tidak dimaknakan sebagai suatu bentuk “campur tangan” Gubernur atau Wakil Pemerintah Pusat di Daerah terhadap urusan-urusan rumah tangga daerah otonom.

3. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah selama ini dikenal adanya forum MUSPIDA sebagai koordinator kebijakan pimpinan daerah. Dengan berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang baru (UU No 22/1999 dan UU No. 32/2004) yang lebih menonjolkan paradigma demokratisasi, partisipasi, pemberdayaan dan pemerataan, maka struktur dan figur forum MUSPIDA perlu dirumuskan ulang. Dalam hal ini, unsur atau komponen masyarakat (baik secara langsung maupun melalui sistem perwakilan) perlu lebih diakomodasikan dalam forum-forum konsultasi lintas stakeholder.

4. Meskipun status otonomi Kabupaten/Kota menurut UU Nomor 32 tahun 2004 bersifat bulat, utuh dan luas, namun mereka masih memandang keberadaan PP Nomor 6 Tahun 1988 sebagai dasar koordinasi yang masih relevan untuk diimplementasikan. Hal ini mengindikasikan bahwa peran Gubernur selaku Wakil Pemerintah masih diakui dan dihormati oleh Kabupaten/Kota. Namun hal ini tidak berarti bahwa PP Nomor 6 Tahun 1988 tersebut tidak memerlukan peninjauan. Revisi terhadap PP ini penting untuk dilakukan, terutama untuk memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat dan pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan koordinasi pembangunan dan pemerintahan, sekaligus melimitasi peran aparat vertikal atau wakil pemerintah. Perubahan terhadap PP Nomor 6 Tahun 1988 ini juga dipandang mendesak mengingat PP Nomor 39 Tahun 2001 tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai sistem koordinasi yang harus dijalankan. Salah satu klausul yang perlu mendapat perhatian khusus adalah yang menyangkut tindakan administratif bagi instansi vertikal atau dinas daerah yang lalai atau tidak mengindahkan pelaksanaan koordinasi. Responden pada umumnya lebih menginginkan agar kepada dinas/badan/lembaga

/74/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 87: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

yang ada diberikan tanggungjawab dan kepercayaan yang lebih besar, dari pada sekedar mengancam dengan sanksi administratif.

5. Mengingat bahwa sistem otonomi saat ini sangat berbeda dengan sistem yang dianut UU Nomor 5 tahun 1974, maka seluruh Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota yang menyangkut pelaksanaan koordinasi seperti (jika ada), perlu disesuaikan kembali. Bahkan PP Nomor 39 Tahun 2001 sendiri harus masuk sebagai agenda perubahan (revisi) yang mendesak.

E. Rekomendasi Penyelenggaraan Koordinasi Fungsi Dekonsentrasi di Propinsi

Paparan diatas telah menggambarkan beberapa aspek pemerintahan wilayah, khususnya yang terkait langsung dengan koordinasi pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi di Propinsi. Dari fenomena empirik yang diperoleh selama proses penelitian serta dari analisis akademis maupun kebijakan dapat ditemukan adanya beberapa permasalahan, kejanggalan, kerancuan ataupun disorientasi dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintah Pusat di Daerah. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan tugas-tugas pelimpahan kewenangan dari Pusat kepada Daerah sekaligus untuk menunjang tugas-tugas desentralisasi, perlu diupayakan adanya integrasi fungsi, integrasi institusi dan integrasi program dalam penyelenggaraan koordinasi kewilayahan di Propinsi. Secara lebih konkrit, makna integrasi fungsi, institusi dan program ini dapat dijelaskan sebagai berikut.mIntegrasi Fungsional

Dalam ilmu manajemen terdapat fungsi-fungsi yang melekat dalam suatu organisasi baik publik maupun privat. Fungsi-fungsi manajemen tersebut berjumlah banyak sekali, namun dalam skala makronya terdapat 4 (empat) fungsi pokok yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian dan pelaksanaan (organizing and actuating), serta pengawasan (controlling). Perencanaan biasanya merupakan fungsi pertama yang harus ditempuh sebagai suatu pedoman atau arah kemana suatu organisasi harus menuju. Untuk dapat menjamin adanya output atau unjuk kerja yang optimal, perencanaan harus memperhatikan standar atau tolok ukur yang

/75/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 88: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

harus dinilai pada tahap pengawasan (performance appraisal). Selanjutnya, hasil kerja dan hasil pengawasan perlu diolah dan dianalisis sebagai umpan balik (feedback dan feed-forward) dalam menyusun perencanaan berikutnya.

Dalam kaitan dengan koordinasi, seluruh fungsi manajemen diatas selalu membutuhkan adanya koordinasi antar instansi terkait. Dengan kata lain, koordinasi selalu dibutuhkan sejak penyusunan perencanaan hingga pengawasan. Itulah sebabnya kemudian dikenal adanya istilah koordinasi perencanaan, koordinasi pelaksanaan, serta koordinasi pengawasan sebagaimana diatur dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 2001. Adapun keterkaitan antara koordinasi dengan berbagai fungsi manajemen dapat disederhanakan dalam bentuk model dibawah ini.

KOORDINASI

PELAKSANAAN

PERENCANAAN

PENGAWASAN

STANDAR

PENYEMPURNAAN / UMPAN BALIK

KOORDINASI

Gambar 3.3Integrasi Fungsi-Fungsi Manajemen Dalam

Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi

mIntegrasi Institusional / KelembagaanDisamping integrasi fungsi, integrasi institusi juga merupakan

faktor yang sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan pelimpahan kewenangan Pusat di Propinsi. Dalam hubungan ini, kelembagaan yang saling terkait dengan fungsi-fungsi dekonsentrasi meliputi kelembagaan di tingkat Pusat, tingkat Propinsi, serta di Kabupaten/Kota. Mekanisme koordinasinya dapat dijelaskan sebagai berikut. Departemen/LPND mendelegasikan sebagian kewenangannya

/76/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 89: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah. Namun, walaupun kewenangan telah dilimpahkan, Menteri / Pimpinan tetap berkewajiban untuk melakukan bimbingan teknis atau fungsional terhadap perangkatnya di daerah (jika ada). Selanjutnya, Gubernur menentukan perangkat daerah mana yang akan diberi tanggung jawab untuk menyelenggarakan kewenangan yang telah dilimpahkan tersebut, apakah kepada Sekretariat, Dinas, Lemtekda, UPTD, atau Perangkat Pusat di Daerah. Dalam hal ini, Gubernur sekaligus melakukan koordinasi dengan instansi di Propinsi serta dengan pemerintah Kabupaten/Kota yang terkait. Pada saat yang bersamaan, perangkat daerah dapat berkoordinasi pula dengan Kabupaten/Kota maupun dengan perangkat pusat di daerah. Pada akhir program, Gubernur wajib mempertanggungjawabkan hasil penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi kepada Menteri/Pimpinan LPND serta memberitahukan kepada DPRD Propinsi.

Dalam bentuk model, integrasi institusi/kelembagaan dalam penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi di Propinsi dapat digambarkan sebagai berikut.

D.C.

B.A.

Dinas

Sekretariat

Pemerintah Pusat(cq. Menteri / Pimpinan LPND)

Gubernur

DPRD

KotaKabupaten

UPTDLemtekdaPerangkat Pusat

di Daerah

Alur PertanggungjawabanAlur Pemberitahuan

Alur Pembinaan Teknis/Fungsional

Alur Pelimpahan Kewenangan da n / atau Koordinasi

Gambar 3.4Integrasi Institusi / Kelembagaan Dalam Penyelenggaraan

Kewenangan Dekonsentrasi di Propinsi

/77/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 90: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

mIntegrasi ProgramSebagaimana telah dipahami bersama, program-program

pembangunan dan pemerintahan di daerah secara dimensional terdiri dari program sektoral dan program regional. Program sektoral merupakan program-program pemerintah pusat (cq. Departemen / LPND) berdasarkan sektor-sektor tertentu. Sedangkan program regional merupakan pelaksanaan urusan-urusan rumah tangga daerah otonom. Selama ini terdapat kesan bahwa pelaksanaan program sektoral dan regional berjalan sendiri-sendiri berdasarkan visi dan tujuan masing-masing. Namun dengan telah efektifnya implementasi UU Nomor 22 Tahun 1999 yang bahkan telah direvisi melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 serta pemberlakuan PP Nomor 39 Tahun 2001, maka kedua program tersebut perlu diintegrasikan.

Proses pengintegrasian program-program pembangunan ini dimulai dengan pengintegrasian fungsi perencanaan. Artinya, aparat daerah dan aparat pusat yang memiliki kepentingan terhadap suatu daerah tertentu bertemu bersama-sama pada saat penyusunan rencana program. Dalam tahap perencanaan ini, baik aparat daerah maupun aparat pusat di daerah menetapkan elemen dasar perencanaan yaitu visi, misi, tujuan, maksud, sasaran, dan strategi. Seluruh elemen ini akan direalisasikan dalam bentuk program baik secara sektoral maupun regional. Program yang telah dirumuskan kemudian dilaksanakan oleh aparat masing-masing namun tetap dengan memperhatikan perlunya koordinasi. Fungsi pengawasan terhadap masing-masing dimensi pembangunan juga dilakukan oleh aparat yang bersangkutan. Namun pada saat-saat akhir program, sebaiknya aparat daerah diintegrasikan kembali dengan aparat pusat di daerah untuk melakukan evaluasi. Pada tahap evaluasi ini, beberapa penilaian / pengukuran kinerja yang harus diterapkan antara lain adalah penilaian efektivitas (hasil apa yang dicapai), efisiensi (penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil), kecukupan (kemampuan menyelesaikan masalah), perataan (kemampuan mendistribusikan hasil secara adil), responsivitas (kemampuan memuaskan kebutuhan / preferensi masyarakat), serta ketepatan (nilai guna dari program yang telah dijalankan).

/78/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 91: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

D a l a m b e n t u k m o d e l , i n te g ra s i p ro g ra m d a l a m penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi di Propinsi dapat digambarkan sebagai berikut.

Aparat Daerah Aparat Pusat di Daerah

Integrasi Perencanaan:

Penetapan Visi, Misi, Tujuan,

Maksud, Sasaran, & Strategi

Pembangunan di Daerah

Program & Proyek Regional

Program & Proyek Sektoral

Pelaksanaan

Pelaksanaan

Pengawasan Pengawasan

Integrasi Evaluasi:

Penilaian Efektivitas, Efisiensi,

Kecukupan, Perataan, Responsivitas,

serta Ketepatan Program Sektoral

dan Regional

Koordinasi

Koordinasi

Gambar 3.5Integrasi Program Dalam Penyelenggaraan Kewenangan

Dekonsentrasi di Propinsi

/79/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 92: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

BAB IVPERMASALAHAN PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI DI DAERAH

A. Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Daerah Dalam prakteknya, penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi

didaerah, sejauh ini baru sebatas hanya pelimpahan kewenangan untuk pengelolaan anggaran yang dikucurkan melalui departemen-departemen sektoral yaitu dengan memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk mengusulkan perangkat pengelola keuangan (Kuasa Pengguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran, Bendahara Penerimaan, Pejabat Pembuat Komitmen serta Pejabat Penguji dan Perintah Pembayaran). Dalam prakteknya, mekanisme usulan ini hanya terjadi secara administratif persuratan saja, sehingga tidak ada tindak lanjut lebih jauh terhadap peran gubernur sebagai subjek langsung yang diberi amanat oleh Undang Undang sebagai pelaksana dari kewenangan dekonsentrasi.

Diamana sejauh ini dalam proses pengelolaan kegiatan yang pendanaanya bersumber dari anggaran dekonsentrasi belum terbangunnya mekanisme kerja yang secara langsung melibatkan Gubernur. Kalaupun ada keterlibatan Bappeda selaku perangkat kerja pemerintah provinsi hanya sebatas pada laporan besaran anggaran yang di kucurkan oleh masing-masing departemen, namun dibeberapa daerah di Kalimantan, pelibatan Bappeda dalam proses perencanaan dan pelaporan pelaksanaan kewenangan dekonsentrasi sangat minim. Sehingga tidak sedikit, para gubernur tidak megetahui secara persis jenis kewenangan dan kegiatan apa saja yang dibiayai oleh departemen tertentu didaerahnya, bagaimana pengelolaanya dan bagaimana capaian kinerja dari masing-masing program tersebut.

Praktek seperti ini terjadi dibanyak daerah, seperti yang terjadi di Jawa Barat. Dimana dalam proses penganggaran, pelaksanaan program

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/80/

Page 93: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

dan pelaporan kegiatan selama ini langsung dikoordinasikan oleh departemen terkait langsung dengan dinas-dinas di daerah. Dalam satu kesempatan Gubenur Jawa Barat, Dany Setyawan menyatakan ”dana dekonsentrasi selama ini langsung ditangani oleh departemen sektoral di pusat. Penyalurannya disampaikan kepada dinas. Mekanisme seperti itu, mencerminkan bahwa departemen sektoral masih menganggap dan mengobsesikan dinas-dinas yang ada di provinsi seperti kanwil (kantor wilayah) dulu. Asumsi dan obsesi seperti itu masih ada dan terbukti dalam penyaluran dana APBN," jelasnya. (PR, 13 April 2005).

Pernyataan gubernur Jawa Barat tersebut, memang tidak berlebihan jika kita melihat bagaimana praktek penyelenggaraan dekonsentrasi yang selama ini terjadi. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, keberadaan satuan kerja pemerintah pusat di daerah yang dulunya direpresentrasikan oleh kantor-kantor wilayah telah dihapuskan. Dimana dulunya pembiayaan semua program dan kegiatan terhadap kantor-kantor wilayah tersebut sepenuhnya terintegrasi kedalam pembiayaan masing-masing departemen terkait.

Selanjutnya, di era otonomi daerah sekarang ini penyelenggaraan kewenangan pemerintah baik kewenangan absolute (politik luar negeri, agama, moneter, yustisi, pertahanan dan keamanan) maupun kewenangan pemerintah lainnya di daerah, dapat diselenggarakan sendiri oleh pemerintah melalui instansi-instasinya di daerah (instansi vertikal) atau melimpahkan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah (dekonsentrasi), atau dapat menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Sudah hampir empat tahun implementasi undang-undang pemerintah dilaksanana, namun sejauh ini yang sudah sepenuhnya dilaksanakan dan diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih teknis adalah adalah asas desentralisasi, sedangkan asas dekosebtrasi dan tugas perbantuan sejauh hanya dari aspek pembiayaannya yang sudah dilakukan, namun ironisnya aturan pelaksanaan yang lebih operasional terhadap pelasakaan asas dekonsentrasi dan tugas perbantuan itu sendiri belum ada.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/81/

Page 94: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Seperti yang telah disebutkan diatas misalnya, belum adanya kejelasan mekanisme pelibatan gubernur beserta dengan perangkat kerjanya dalam operasionalisasi pengelolaan program yang didanai oleh sumber pembiayaan untuk alokasi dekonsentrasi adalah salah satu bentuk kegamangan pengimplementasian asas dekonsentrasi, yang secara substansinya merupakan kewenangan gubernur selaku wakil pemerintah pusat didaerah.

Lebih jauh tentang pelaksanaan dekonsentrasi, oleh beberapa daerah (gubernur) menilai bahwa sebaiknya pengelolaan anggaran sepenuhnya menjadi kewenangan gubernur, bukan departemen seperti yang terjadi sekarang ini. Pendapat tersebut salah satunya diungkapkan oleh Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang dalam kesempatan Rapat Konsultasi Departemen Dalam Negeri dan Gubernur Se-Indonesia, dimana dia mengatakan, seharusnya pemerintah mulai mempercayakan pengelolaan dana dekonsentrasi ke gubernur. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan, bahwa penyelenggaraan pembangunan daerah akan lebih efektif apabila hubungan pemerintah dan provinsi (gubernur sebagai wakil pemerintah) sinkron. Sehingga, pemanfaatan dana akan bisa lebih optimal dan bermanfaat. Karena dalam prakteknya sekarang ini, dana dari departemen ditangani oleh departemen itu sendiri tanpa berkoordinasi dengan gubernur (Tempo Interaktif, 5 September 2006).

Dengan fenomena tersebut diatas, praktis penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi di daerah, sejauh ini belum sepenuhnya terlaksana dengan baik, sebagaimana tujuan daripada asas dekonsentrasi itu sendiri. Salah satu indikasinya, seperti yang telah dikemukakan diatas adakah belum adanya payung hukum yang lebih operasional yang mengatur tentang pendelegasian wewenang itu sendiri dan lebih jauh tentang pedoman pelaksanaan wewenang, proses penganggaran, pengelolaan dan pelaporan terhadap kewenangan itu sendiri.

Implikasi lebih jauh dari belum adanya aturan yang lebih operasional yang mengatur mengenai jenis kewenangan yang dilimpahkan ke gubenur, mekanisme pelimpahannya, mekanisme pembiayaan dan pertanggung jawabannya, menyebabkan pertanggung jawabab pengelolaan anggaran dekonsentrasi di daerah sejauh ini juga belum berjalan dengan baik.

/82/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 95: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Salah satu kendala yang dihadapi oleh daerah dalam melaksanakan pengelolaan keuangan dekonsentrasi adalah keterbatasan kuantitas dan kualitas petugas (SDM) yang terkait dengan penyusunan dan pelaporan keuangan belum memadai untuk mendukung terwujudnya sistem pengendalian intern yang baik dengan menggunakan standar pengelolaan APBN yang berbeda dengan pengelolaan APBD.

Selain itu, belum adanya kegiatan pengawasan dan pembinaan yang berkala dan terencana dengan baik bagi SDM di daerah, baik oleh departemen keuangan maupun oleh departemen terkait yang menyalurkan anggaran.

Bahkan sejauh ini belum semua daerah yang mengelola dana dekonsentrasi menggunakan standar pengelolaan dana APBN, seperti penggunaan aplikasi SABMN (Sistem Akutansi Barang Milik Negara), sehingga akuntabilitas pengelolaan anggaran tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan.

Laporan audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004 memastikan, seluruh departemen yang mengucurkan dana dekonsentrasi tidak dilaporkan dalam LKPP 2004. Pada periode 2001-2003, itu lebih buruk lagi karena pemerintah sama sekali tidak menyusun LKPP. Pada 2005, pemerintah pusat mengucurkan dana dekonsentrasi Rp 4 triliun dan pertanggungjawabannya mengalami kemajuan karena sebagian dicantumkan dalam LKPP 2005. Namun, BPK masih menemukan dana dekonsentrasi sebesar Rp 2,08 triliun belum dicantumkan dalam LKPP 2005.

Kondisi seperti ini sebenarnya, sudah disadari oleh pemerintah, dimana dalam salah satu kesempatan Menteri Keuangan (Sri Mulayani) mengungkapkan dana yang berasal dari pemerintah pusat ke daerah perlu memperoleh perhatian lainnya yaitu Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas P e r b a n t u a n

Implementasi dana tersebut, kata Menkeu, yaitu dengan Dana Desentralisasi harus selalu sinergis dan tidak tumpang tindih, namun dalam kenyataannya kerap kali terjadi tumpang tindih karena ketidakjelasan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah.

( h t t p : / / b a l i t b a n g . d e p k o m i n f o . g o . i d / ? m o d = CLDEPTKMF_BRT01&view=1&id=BRT060405150601&mn=BRT0100%7CCLDEPTKMF_BRT01).

/83/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 96: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Oleh karena itu, penggunaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan tersebut perlu diidentifikasi kembali dan dievaluasi agar tidak mendanai kegiatan yang seharusnya menjadi kewenangan/urusan daerah. Terdapat indikasi bahwa banyak kegiatan yang seharusnya sudah menjadi kewenangan daerah tetapi kegiatan tersebut masih dibiayai dengan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Implementasi dana tersebut dengan dana desentralisasi harus selalu sinergis dan tidak tumpang tindih. Sehingga identifikasi dan evaluasi penggunaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan agar t idak mendanai kegiatan yang seharusnya menjadi kewenangan/urusan daerah. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme pengalihan Dana Dekonsentrasi Dana Tugas Pembantuan yang urusannya sudah didaerahkan menjadi Dana Alokasi Khusus untuk menghindari pendanaan ganda tersebut. Hal tersebut sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU No 33 Tahun 2004 Pasal 108 yang menyatakan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus (Pengalihan secara bertahap tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah).

Penyelenggaraan program dekonsentrasi yang selama ini telah dilakukan dari aspek anggaran terbuka peluang terjadi tumpang tindih dengan pembiayaan program desentralisasi yang sumber pembiayaanya berasal dari APBD. Hal ini dimungkinkan terjadi karena sejauh ini identifikasi jenis kewenangan-kewenangan yang dikategorikan sebagai kewenangan dekonsentrasi belum dilakukan secara jelas dan tegas oleh pemerintah (belum ada aturan perundangan-undangan yang lebih operasional). Walaupun baru-baru ini pemerintah telah mengesahkan PP No 38 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/ kota, namun tidak mengatur dengan jelas terkait dengan kriteria-kriteria tertentu yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasikan kepada gubernur.

/84/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 97: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Padahal, kewenangan dekonsentrasi yang terinci dan limitatif akan memiliki banyak nilai positif dan keuntungan, misalnya, pertama, sebagai pedoman bagi Gubernur untuk menjamin efektivitas fungsi pemerintah Pusat di tingkat daerah. Dengan kata lain, kejelasan fungsi dekonsentrasi tadi akan memperkuat ikatan NKRI. Kedua, dapat menghindarkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih/overlap kegiatan antara program Departemen dengan program Pemprov, dan ketiga merupakan entry point untuk mengucurkan dana APBN dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah di daerah, karena kucuran dana dalam kerangka pembiayaan program yang tidak jelas (karena belum dilimpahkan), dapat dikatakan sebagai bentuk inefisiensi yang rendah tingkat akuntabilitasnya.

Dengan kondisi tersebut diatas, akan membuka banyak peluang terjadinya inefisisensi bahkan penyelewengan penggunaan anggaran, diantaranya yaitu kemungkinan aset-aset negara yang dibelanjakan dengan dana dekonsentrasi tidak teradministrasikan dengan baik, sehingga memungkinkan terjadi praktek pencucian aset. Kekhawatiran tersebut juga diungkapkan oleh Auditor Utama Keuangan Negara II BPK RI Soekoyo, dimana dia menilai, ketidakjelasan pertanggungjawaban dana dekonsentrasi bisa memicu asset laundring. ”Pemerintah pusat tidak mencatatnya, sedangkan daerah merasa aset itu bukan miliknya”. Pemerintah daerah seharusnya melaporkan kepada pusat seluruh aset yang dibangun dari dana dekonsentrasi. Pemerintah pusat lalu mencatat dan melaporkannya dalam LKPP. (

Bahkan menurut Soekoyo, buruknya pelaporan dana dekonsentrasi merupakan salah satu penyebab BPK mengeluarkan opini disclaimer terhadap LKPP 2004 dan 005. ”Kementerian/lembaga di pusat merasa dana dekonsentrasi merupakan tanggung jawab daerah, sedangkan pemerintah daerah merasa itu sebagai tanggung jawab pusat. Akibatnya, dana dekonsentrasi tidak tercantum dalam LKPP.

Bahkan lebih jauh dari pada itu, dari hasil pemeriksanaan BPK terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dana dekosentrasi bidang kesehatan tahun anggaran 2005 dan 2006 pada dinas kesehatan Propinsi Sumatera Utara, ternyata penggunaan anggarannya

Http://www.bpk.go. id/ berita_content.php?lang=id&nid=638)

/85/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 98: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

tidak sepenuhnya mengikuti ketentuan yang mengatur bahwa dana dekonsentrasi tersebut sepenuhnya digunakan untuk membiayai kegiatan yang bersifat non-fisik seperti koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Dimana penggunaan anggaran dekonsentrasi ternyata juga diperuntukkan untuk membangun gedung (BPK, 2007,

)

B. Perkembangan Pembiayaan Dekonsentrasi Di DaerahMeskipun belum ada produk hukum yang khusus mengatur

pelimpahan wewenang Menteri kepada Gubernur, namun secara de facto (atau berdasarkan praktek tidak tertulis), pelimpahan kewenangan tadi telah berjalan. Hal ini nampak di beberapa departemen telah mengalokasikan sejuamlah anggaran yang diklasifikasikan sebagai dana dekonsentrasi.

Namun dengan kondisi tidak adanya aturan yang lebih operasional dari penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi tersebut, berimplikasi kepada beberapa aspek lain dari penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi. Dimana dengan tidak adanya kejelasan terhadap jenis kewenangan apa yang didekonsentrasikan, dengan sendirinya akan berimplikasi kepada pembiayaan terhadap pelaksanaan kewenagan itu sendiri. Walaupun sejauh ini, beberapa departemen telah mengalokasikan anggaran terhadap program-program yang dikategorikan masuk dalam kewenangan dekonsentrasi, namun kalau kita cermati tahapan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi yang diatur oleh UU No 32 Tahun 2004, yaitu didahului dengan pelimpahan kewengan oleh pemerintah kepada Gubernur. Bahkan kalau PP No 39 Tahun 2001 masih dijadikan sebagai salah satu dasar hukum yang masih berlaku terhadap penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi, maka seharusnya jenis-jenis kewenangan apasaja yang dilimpahkan (didekonsentrasikan) kepada gubernur ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Kepres).

Praktek yang selama ini terjadi adalah, masing-masing departemen merencanakan dan menganggarkan sendiri jenis-jenis program dimana dalam jenis pembiayaannya dikategorikan sebagai kewenangan dekonsentrasi, yang kemudian anggaran APBN terhadap

http://www.bpk.go.id/doc/hapsem/ 2006ii/APBN/ 178_Pelaks_Angg_Dekon_Prov_Sumatera_Utara.pdf

/86/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 99: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

program tersebut dimasukkan dalam kategori dana dekonsentrasi. Akan tetapi, proses penentuan jenis kewenangan apa saja yang oleh departemen atau lembaga negara lainnya dikategorikan sebagai kewenangan dekonsentrasi sejauh ini belum ada dasar acuan yang jelas.

Sehingga, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa sejauh ini pemerintah telah mengucurkan dana APBN dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah di daerah, namun kucuran dana tersebut dalam kerangka menjalankan kewenangan yang mana tidak jelas (karena belum dilimpahkan), sehingga dapat dikatakan bahwa pola tersebut sebagai bentuk inefisiensi yang rendah tingkat akuntabilitasnya.

Kondisi ini kemudian juga akan berimplikasi luas kepada, optimalisasi penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi itu sendiri. Padahal seiring dengan digulirkannya kebijakan desentralisasi, praktis sebagian besar kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada didaerah. Sedangkan, sistem negara yang kita anut adalah tetap sebagai sebuah negara kesatuan (NKRI). Dengan konsidisi ini, keberadaan asas dekonsentrasi sebagai semua media untuk tetap menjaga keutuhan negara kesatuan, dimana representrasi keberedaan pemerintah pusat didaerah masih tetap terjaga, menjadi sangat penting untuk dilaksanakan dengan seoptimal mungkin.

Tentu saja, pencapaian kinerja yang optimal tersebut hanya akan dapat diwujudkan dengan perencanaan yang baik dan terintegrasi antar semua sektor pemerintahan, sehingga tujuan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi sebagai salah satu sarana untuk menjaga keutuhan negara dapat tercapai.

Seperti telah diterangkan diatas, apabila penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi ini tidak dilakukan dengan optimal, maka yang akan terjadi malah inefisensi manajemen pemerintahan dan pemborosan anggaran negara.

Terhadap proses penyelenggaraan kewenangan dekonsenrtasi yang selama ini telah dilakukan dengan tidak adanya pedoman yang lebih operasional bagi masing-masing lembaga pemerintah terutama dalam proses perencanaan dan pengalokasian anggaran bagi program-program yang dikategorikan sebagai kewenangan dekonsentrasi, maka penentuan daerah dan berapa besaran anggaran yang akan dioalokasikan untuk

/87/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 100: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

masing-masing daerah tersebut juga tidak ada ketentuan yang baku, sehingga besaran anggaran yang diterima oleh satu daerah dengan daerah yang lain untuk melaksanakan program yang sama belum tentu memperoroleh alokasi yang proporsional. Bahkan, ada daerah tertentu yang tidak mendapatkan alokasi anggaran dekonsenrtasi dari departemen tertentu terhadap jenis program yang sama dengan daerah lain. Dengan kata lain, tidak adanya mekanisme yang lebih operasional dan detail bagi departemen atau lembaga negara dalam menentukan jenis kewenangan dan besaran pembiayaanya membuka peluang terjadinya kesenjangan pembiayaan pembanguan antar daerah (tidak adil).

Sebagai gambaran, terhadap besaran anggaran dekonsentrasi yang dianggarkan oleh masing-masing departemen dan lembaga negara lainnya dapat dilihat pada Tabel. 4.1, dibawah ini:

Tabel. 4.1Anggaran Dekonsentrasi Kementerian dan Lembaga Negara (2005 2006)

(Juta Rupiah)

No Nama Departemen2005 2006

Anggaran Anggaran

1 Departemen Dalam Negeri 49,526 106,824 2 Departemen Pertanian 620,096 1,104,428 3 Departemen Perindustrian 12,872 72,094 4 Departemen Enegeri dan Sumber Daya

Mineral53,101 150,244

5 Departemen Pendidikan Nasional 1,224,229 17,719,711 6 Departemen Kesehatan 751,036 2,703,504 7 Departemen Agama - 45,445 8

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 255,410 473,832 9

Departemen Sosial

617,809 966,40610

Departemen Kehutanan

10,245 136,636 11

Departemen Kelautan dan Perikanan

206,656 646,031 12

Departemen Pekerjaan Umum

113,614 87,261 13

Kementerian Negara Lingkungan Hidup

1,000 2,300 14

Kementerian Negara Koperasi dan UKM

62,644 210,000 15

Perpustakaan Nasional RI

5,237 9,625 16

Badan Koordinasi Penanaman Modal

- 5,000 17

Arsip Nasional RI

3,650 3,650 18

Departemen Perdagangan

12,290 76,315 19

Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga - 112,000 20

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias

- 113,361

21

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 1,037 -Jumlah Total

4,000,451 24,744,667

Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan, Depkeu (diolah)

/88/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 101: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Sangat beragamnya besaran pembiayaan oleh masing-masing departemen dan lembaga negara lainnya terhadap penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi ini sangat dimungkinkan terjadi. Hal tersebut bisa saja dikarenakan besaran alokasi anggaran yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut jelas berbeda. Tentusaja hal tersebut, dipengaruhi oleh berbagai aspek lainnya, perbedaan sektor, perbedaan jenis dan cakupan kewenangan yang dimiliki, dan tentu saja semuanya itu juga sangat ditentukan oleh kondisi keuangan negara secara keseluruhan serta berbagai faktor lainnya.

Bahkan, dengan kondisi penyelenggaraan asas dekonsentrasi sekarang ini, tidak tertutup kemungkinan selama ini departemen atau instansi pemerintah lainnya mengalokasikan sejumlah anggaran, namun jika ditelaah lebih dalam ternyata jenis kegiatan atau program yang dibiayain tersebut tidak tepat dikategorikan sebagai kewenangan pemerintah pusat melainkan sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Atau sebaliknya, ada jenis-jenis kewenangan tertentu di daerah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, namun karena belum dilakukan identifilasi dan proses pelimpahan kewenangannya, maka oleh instansi pemerintah di pusat tidak dialokasikan anggarannya. Sehingga jenis kewenangan tersebut tidak terlaksana dengan baik didaerah.

Namun, yang harus menjadi perhatian adalah, penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi bukan semata berhenti kepada tersedianya anggaran dekonsentrasi di tiap-tiap instansi pemerintah di tingkat pusat, melainkan adalah bagaimana dasar filosofi terhadap pentingnya asas dekonsentrasi itu sendiri bisa dicapai. Setelah anggaran untuk penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi tersebut tersedia di masing-masing departemen dan lebaga negara lainnya, yang juga perlu dicermati adalah bagaimana mekanisme pendistribusian dari anggaran tersebut kepada seluruh daerah di Indonesia.

Sebagai gambaran, terhadap besaran distribusi anggaran dekonsentrasi terhadap daerah seluruh Indonesia, dapat dilihat di tabel.4.2, dibawah ini:

/89/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 102: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Tabel. 4.2Distribusi Dana Dekonsentrasi Ke Propinsi Seluruh Indonesia (2005 - 2006)

(Juta Rupiah)

Kode Lokasi

Nama Daerah2005 2006

Anggaran Anggaran

01 DKI JAKARTA 55,479 638,321

02 JAWA BARAT 258,486 2,707,889

03 JAWA TENGAH 234,052 2,374,032

04 DI YOGYAKARTA 62,778 439,188

05 JAWA TIMUR 230,778 2,669,019

06 NANGGROE ACEH DARUSSALAM 132,108 987,052

07

SUMATERA UTARA

138,303 1,477,193

08

SUMATERA BARAT

124,570 632,351

09

RIAU

106,845 567,083

10

JAMBI

73,422 443,771

11

SUMATERA SELATAN

135,269 760,094

12

LAMPUNG

79,466 980,842

13

KALIMANTAN BARAT

143,051 652,125

14

KALIMANTAN TENGAH

185,204 446,108

15

KALIMANTAN SELATAN

116,253 453,749

16

KALIMANTAN TIMUR

109,830 475,791

17

SULAWESI UTARA

81,929 436,291

18

SULAWESI TENGAH

112,273 500,749

19

SULAWESI SELATAN

256,225 890,926

20

SULAWESI TENGGARA

92,972 390,648

21

MALUKU

203,381 628,103

22

BALI

85,671 455,985

23

NUSA TENGGARA BARAT

136,743 659,903

24

NUSA TENGGARA TIMUR

145,215 773,674

25

IRIAN JAYA

127,900 540,367

26

BENGKULU

67,947 370,330

28

MALUKU UTARA

178,518 479,150

29 BANTEN 106,882 815,305

30 BANGKA BELITUNG 70,165 263,286

31

GORONTALO

81,820 237,718

32

KAB. KEPULAUAN RIAU

25,340 204,111

33

IRIAN JAYA BARAT

41,577 221,120

34 SULAWESI BARAT - 172,390

J U M L A H 4,000,451 24,744,667

Sumber: Dirjend Perimbangan Keuangan Depkeu

/90/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 103: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Apabila mekanisme distribusi anggaran ini tidak diatur dengan baik, tidak tertutup kemungkinan akan ada rasa diperlakukan diskriminatif dari daerah-daerah tertentu. Walaupun demikian, terhadap penyelenggaraan kewenangan dekonsenrtasi ini juga tidak dimungkinkan untuk diterapkan prinsi keadilan dalam makna pembagian secara sama rata (besaran anggaran yang sama). Namun paling tidak, ada indikator-indikator atau kriteria-kriteria tertentu yang digunakan baik secara umum maupun indikator/kriteria untuk masing-masing jenis kewenangan yang dilimpahkan tersebut. Sehingga, dapat dijadikan sebagai acuan yang jelas.

Adanya aturan yang lebih jelas dan operasional ini sangat dibutuhkan, terlebih dalam perkembangan penyelenggaraan dekonsentrasi di beberapa departemen berkembang wacana untuk menerapkan sanksi (pemotongan anggaran) bagi daerah yang tidak dapat mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang telah dialokasikan sebelumnya. Penerapan sanksi tersebut misalnya bisa menjadi salah satu indikator atau kriteria yang dijadikan sebagai pertimbangan, namun tentunya criteria tesebut harus mencakup secara lebih luas dan komprehensif. Karena, apabila pendekatan sanksi (punishment) yang digunakan, tidak tertutup kemungkinan akan menambah keengganan dari daerah untuk menyelenggarakan kewenangan tersebut.

Karena sejauh ini, penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi didaerah juga banyak dikeluhkan. Diantaranya adalah sistem pengelolaan anggaran yang berbeda dengan sistem pengelolaan APBD. Baik mulai dari proses perencanaa, pencairan anggaran, pembukuan maupun pelaporan.

Sehingga tidak heran kemudian, persoalan pelaporan dan pertanggung jawaban dari penggunaan anggaran menjadi permasalah utama dari penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi ini. Kondisi ini disebabkan oleh, lemahnya aturan yang mengatur dan masih minimnya pembinaan dan asistensi yang dilakukan oleh departemen yang menyalurkan angggaran, sehingga aparat pengelola kegiatan didaerah tidak mempuanyai kemampuan untuk melaksanakan pengelolaan anggaran dengan menggunakan standar APBN.

/91/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 104: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Berbagai temuan BPK, terhadap penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi memperlihatkan memang, akuntabilitas pengelolaan anggaran di daerah yang masih sangat lemah. Bahkan, banyak daerah yang sama sekali tidak membuatkan laporan terhadap penggunaan anggaran tersebut. Terhadap kondisi tersebut, BPK mengusulkan diadakannya mekanisme sanksi administratif oleh departemen yang bersangkutan terhadap daerah yang tidak dapat mempertanggung jawabkan pengelolaan anggaran dekonsentrasi. (www.bpk.go.id)

Sebagai gambaran kinerja pelaporan penyengelolaan anggaran dekonsenrtasi oleh daerah dapat dilihat hasil pemeriksaan BPK terhadap pengelolaan anggaran dekonsenrtasi di Departemen Sosial pada tahun 2006 (lihat Tabel. 4.3). Dimana sebagian besar daerah tidak menyerahkan laporan pengelolaan anggaran kepada departemen terkait.

Tabel. 4.3Rekapitulasi Daerah yang Menyerahkan Laporan

Penggunaan Anggaran Dekonsentrasi Departemen Sosial TA 2006

NoDaerah/ Eselon I

Ditjen Setjen

Ditjen Dayasos

Ditjen Yanrehsos

Ditjen Banjamsos

Jlh Nilai yg tdk dilaporkan

01 DKI -

-

-

-

0

17.786.171.803

02 JABAR V

V

V

V

4

0

03 JATENG V

V

V

-

3

6.508.792.250

04 DIY V

V

V

-

3

6.440.800.100

05 JATIM V

V

V

-

3

7.712.924.125

06 NAD V

-

-

-

1

79.653.403.954

07 SUMUT -

-

-

-

0

32.992.599.950

08 SUMBAR V

V

V

-

3

5.944.624.465

09 RIAU V

V

V

V

4

0

10 JAMBI -

V

-

-

1

13.178.594.035

11 SUMSEL V

V

V

V

4

0

12 LAMPUNG -

-

-

-

0

26.419.134.125

13 KALBAR -

-

-

-

0

29.956.890.725

14 KALTENG -

V

-

-

1

12.192.651.220

15 KALSEL -

-

-

-

0

40.142.307.925

16 KALTIM V V V - 3 1.278.988.60017 SULUT V - - - 1 38.584.468.59518 SULTENG - - - - 0 66.311.214.97019 SULSEL - - - - 0 36.276.564.38020 SULTRA V V - - 2 31.977.226.71421 MALUKU V V V - 3 63.88.073.80022 BALI - - - - 0 23.674.475.230

/92/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 105: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

23 NTB - -

V

-

1

32.989.466.452

24 NTT V

-

V

V

3

24.999.500.710

25 IRIAN JAYA - V - - 1 21.775.580.27626 BENGKULU V V - - 2 8.434.093.75028 MALUT - - - - 0 79.667.618.55029 BANTEN V V - - 2 10.117.586.00030 BABEL - - - - 0 27.290.577.77931 GORONTALO V V V - 3 3.321.619.36032 KEPRI - - - - 0 033 IRJABAR - - - - 0 6.630.391.00034 SULBAR - V - - 1 1.154.441.000

Jumlah 16 17 12 4 757.300.781.843

( “V' = sudah menyerahkan laporan, “_“ = belum menyerahkan laporan) Sumber: LKPP Depsos Tahun 2006

Prosentase nilai yang tidak membuat laporan resmi terhadap nilai total dana dekonsentrasi di Departemen Sosial adalah sebesar Rp. 757.300.781.843 dari Rp. 1.225.471.260.409 (sudah termasuk anggaran perubahan dan luncuran) atau sebensar 61,80%.

Seperti yang telah dikemukakan diatas, salah satu faktor yang menyebabkan daerah tidak tertib melakukan pelaporan terhadap penggunaan anggaran dekonsentrasi selain karena masih lemahnya aturan yang lebih mengikat dan operasional, kendala lain adalah kemampuan dan pemahaman sumber daya aparatur daerah terhadap sistem pengelolaan APBN yang masih sangat kurang.

Selain, persoalan pelaporan, kendala lain yang juga menjadi permasalahan dalam proses implementasi kewenangan dekonsentrasi ini adalah mekanisme penyelenggaraan kegiatan yang sangat kaku, sehingga dalam operasionalisasi di daerah sering sekali terkendala.

Sebagai contoh kasus adalah hasil penelitian yang dilakukan terhadap pengelolaan anggaran dekonsentrasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kabupaten Bantul (Propinsi DI Yogyakarta). Karena keterbatasan kewenangan pemerintah kabupaten terhadap pengelolaan (terutama proses perencaan) dana dekonsentrasi dimana keberadaan pemerintah kabupaten (dinas terkait) hanya sebagai pelaksana kegiatan, sehingga kegiatan yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan didaerah. (http://www.jmpk-online.net/files/1%5B1%5D.dewi.pdf ) Dimana berdasarkan hasil penelitian tersebut didapat kondisi, dimana dalam proses penyelenggaraan kegiatan yang didanai oleh dana dekonsentrasi di

/93/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 106: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

tingkat kabupaten, di tingkat provinsi telah dilakukan pembagian anggaran yang rinci, mulai dari menu kegiatan, sub kegiatan bahkan sampai satuan anggaran. Kriteria atau dasar provinsi dalam membagi anggaran ke kabupaten tidak jelas, terlebih pada subkegiatan. Pengaturan yang sedemikian rigid ini membuat kabupaten tidak dapat mengalokasikan anggaran tersebut untuk kegiatan yang menjadi kebutuhannya. Artinya, dengan pola pengelolaan APBN yang sangat rigid tersebut, menyebabkan daerah sulit melaksanakannya sesuai dengan yang telah rencanakan tersebut. Bahkan ada beberapa kegiatan yang justru double funding, seperti voucher ibu hamil (bumil) yang sasarannya adalah keluarga miskin (gakin), yang nota bene sudah dibiayai dari sumber pembiayaan yang lain.

Peluang terjadinya duplikasi (double) pembiayaan, yang dialokasikan oleh dana dekonsentrasi dengan pembiayaan yang dilakukan oleh anggaran daerah maupun sumber anggaran yang lainnya sangat mungkin terjadi. Hal ini terjadi karena identifikasi kewenangan dekonsentrasi yang belum ada dan proses perencanaan yang belum terintegrasi antara perencaan daerah (APBD) dengan perencaan nasional (APBN). Sebagai contoh, dapat dilihat pada Tabel.4.4 yang mencoba mengidentifikasi beberapa jenis program kegiatan pada Dinas Sosial Propinsi Kalsel yang dalam pelaksanaanya dilapangan bisa terjadi tumpang tindih.

Bahkan jika diperhatikan dari beberapa judul program yang hampir sama dan obyek kegiatan yang juga sama, akan kembali memunculkan pertanyaan sebenarnya kegiatan atau program tersebut dalam rangka menyelenggarakan jenis kewenangan dekonsentrasi yang mana? Pada akhirnya, walaupun secara teknis obyek pembiayaan tidak terjadi tumpang tindik (orang yang sama misalnya), namun kalau kita ingin menilai secara lebih jauh terhadap kinerja jenis kewenangan tersebut dari tahun-ketahun akan sangat sulit atau dengan kata lain tidak akan akurat karena sumber pembiayaannya tidak hanya dari dana dekonsentrasi, namun juga dibiayai oleh anggaran daerah dan sumber pembiayaan yang lainnya.

/94/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 107: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Tabel. 4.4Identifikasi Jenis Program Pada Dinas Sosial Prop. Kalsel (TA. 2006)

yang Berpotensi Terjadi Tumpang Tindih Pembiayaan

NO DANA DEKON DANA APBD DANA LAINNYA1. Penyelenggaraan

Pencarian dan Penyelelamatan musibah, bencana alam dan bencana lainnya 740 KK dengan (Rp. 2.200.000.000)

Penanganan korban bencana, 3 kegiatan (Rp. 150.000.000)

Bantuan penanggulangan bencana alam dan kerusuhan 2.667 unit (Rp.13.335.000.000)

2. Rehabilitasi dan perlindungan sosial korban penyalahgunaan Napza 90 Orang (Rp. 600.000.000)

Rehabilitasi dan perlindungan sosial korban penyalahgunaan Napza 10 Kab/Kota

(Rp. 150.000.000)

-

3Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat 1.060 Org (Rp. 1.560.000.000)

Pembinaan terhadap penyandang cacat 30 jiwa (Rp. 30.000.000)

Pelayanan rehabilitasi vokasional penyandang cacat 10 Kab/Kota

(Rp. 54.800.000)Pelayanan dan rehabilitasi sosial anak cacat 240 org (Rp. 360.000.000)

-

-

4 Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) 644 KK (Rp.3.300.000.000)

Peningkatan kegiatan Sosial Komunitas Adat Terpencil/Dayak Meratus 400 KK

(Rp. 500.000.000)

-

5 Pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan dan kesetiakawanan sosial 3 Pkt (Rp. 289.000.000)

Pelestarian nilai kepahlawanan keperintisan dan kejuangan (Rp. 100.000.000)

Rehabilitasi Komplek TMP

(Rp. 100.000.000)

Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan (LPP) Daerah Prop. Kalsel TA 2006

C

Secara umum penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi oleh pemerintah daerah selama ini baru sebatas kepada kewenangan mengelola anggaran yaitu pelimpahan Kuasa Pengguna Angagran (KPA) dari Menteri kepada gubernur, dan dalam prakteknyapun, Kuasa

. Praktek Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di Daerah dan Permasalahannya (contoh kasus di wilayah Kalimantan)

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/95/

Page 108: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Pengguna Anggaran itu masih dilimpahkan lagi kepada kepala-kepala dinas. Dimana sejumlah dana yang dikucurkan tersebut tidak didahului oleh pelimpahan kewenangan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga dengan sendirinya sejumlah anggaran yang dikucurkan kepada daerah tersebut tidak jelas dalam rangka menjalankan kewenangan yang mana, hal tersebut terjadi karena pengucuran dana dilakukan tanpa didahului oleh pelimpahan kewenangannya terlebih dahulu dari pemerintah (departemen terkait) kepada daerah yang mengelola dana tersebut. Sehingga, dalam penyelenggaraanya dilapanga lebih dititik beratkan kepada aspek pengelolaan anggaran, bukan kepada bagaimana penyelenggaraan suatu kewenangan tertentu. Hal ini kemudian menyebabkan kinerja masing-masing jenis kewenangan yang termasuk dalam kategori kewenangan yang dapat di dekonsentrasikan tidak dapat diukur atau di evaluasi. Kondisi ini kemudian menyebabkan penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi ini masih dihadapkan pada berbagai permasalahan di daerah. Berbagai permasalahan yang dirasakan menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan kewenagan dekonsentrasi di daerah, diantaranya yaitu :1. Alokasi Anggaran

Sebagai gambaran umum, besaran dana dekonsentrasi yang dialokasikan untuk 4 (empat) propinsi di wilayah Kalimantan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel.4.5 berikut :

Tabel. 4.5Rekapitulasi Dana Dekonsentrasi di Kalimantan

NO PROVINSI 2005 2006

1 Kalimantan Barat

143,051

652,125

2 Kalimantan Timur

185,204

475,791

3 Kalimantan Selatan

116,253

453,749

4 Kalimantan Tengah 109,830 446,108

Sumber: Dirjend Perimbangan Keuangan Depkeu

/96/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 109: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Secara keseluruhan komposisi anggaran dekonsentrasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir di wilayah kalimantan memang meningkat cukup signifikan, dimana prosentase peningkatan masing-masing daerah diatas 250%. Kalbar (456 %), Kaltim (257 %), Kalsel (390 %) dan Kalteng (406 %) dengan rata-rata pertumbuhan untuk keseluruhan propinsi di Kalimantan sebesar 377 %. Peningkatan anggaran secara umum tersebut, belum tentu berimplikasi langsung kepada peningkatan semua sektor pembiayaan.

Seperti halnya, kondisi pada level nasional, sebaran pembiayaan kewenangan dekonsenrtasi untuk masing-masing sektor (dinas) di provinsi di Kalimantan tergantung kepada alokasi anggaran yang diberikan oleh pemerintah (departemen/kementerian terkait). Bagaimana komposisi pembiayaan dana dekonsentrasi pada masing-masing sektor (dinas), dimana tidak semua departemen/lembaga negara yang memiliki pos anggaran dekonsentrasi mengalokasikan anggaran untuk semua propinsi. Seperti alokasi anggaran dekonsentrasi untuk propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2004 - 2006 pada Grafik. 4.1 dibawah ini hanya di alokasikan oleh 11

2departemen/lembaga negara .

Dana Dekonsentrasi Prop. Kalsel (2004 - 2006)0 50,0

00

,000

100,0

00,0

00

150,0

00,0

00

20

0,0

00,0

00

250,0

00,0

00

300,0

00,0

00

35

0,0

00,0

00

400,0

00

,000

450,0

00,0

00

500,0

00,0

00

Dalam Negeri

Kesehatan

Kehutanan

Sosial

Pertanian

Kelautan & Perikanan

ESDM

Koprs dan UKM

Perindustrian

Nakertrans

Pendidikan

Depart

em

en/k

em

ente

rian

Juta Rupiah

Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006

Sumber: Bappeda Prop. Kalsel

Gambar. 4.1 Dana Dekonsentrasi Propinsi Kalimantan Selatan (2004 2006)

2 Pada Tahun Anggaran 2007 terjadi penambahan menjadi 15 departemen/lembaga negara (Arsip Nasional, Menpora, Perpusnas, dan Perdagangan)

/97/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 110: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Seperti telah dikemukakan diatas, besaran distribusi anggaran dekonsentrasi antar sektor memang akan sangat beragam, dimana hal tersebut memungkinkan terjadi berbagai faktor. Namun yang perlu kita cermati adalah ternyata untuk masing-masing sektor sendiri memungkinkan terjadi fluktuasi pembiayan antara satu periode dengan periode berikutnya. Sebagai contoh adalah seperti yang terlihat pada tabel dibawahnya ini, yaitu terjadi pada beberapa sektor (dinas) di Kalimantan Selatan.

257,763

293,208

298,590

230,000

240,000

250,000

260,000

270,000

280,000

290,000

300,000

Ju

taR

up

iah

2005 2006 2007

Tahun

Trend Dana Dekonsentrasi Dinas Pendidikan Prop. Kalsel (2005

- 2007)

2005 2006 2007

Sumber: Dinas Pendidikan Prop. Kalsel

Gambar. 4.2Trend Dana Dekonsenrtasi Dinas Pendidikan Prop. Kalsel (2005 - 2007)

Berdasarkan trend yang terlihat pada grafik diatas, menunjukkan adanya peningkatan jumlah dana dekonsentrasi yang dianggarkan untuk sektor pendidikan di Propinsi Kalimantan Selatan. Akan tetapi, tidak selamanya, semua sektor akan mengalami penambahan atau konsistensi pembiayaan (sama dengan tahun sebelumnya). Sebagai contoh, dapat dilihat terjadinya trend penuruna pembiayaan pada sektor sosial (dinas sosial) di Propinsi Kalimantan Selatan. (lihat Gambar 4.3)

/98/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 111: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

32,230

29,285

28,239

26,000

27,000

28,000

29,000

30,000

31,000

32,000

33,000

Ju

taR

up

iah

2005 2006 2007

Tahun

Trend Dana Dekonsentrasi Dinas Sosial Prop. Kalsel

(2005 - 2007)

2005 2006 2007

Sumber: Dinas Sosial Prop. Kalsel

Gambar. 4.3Trend Dana Dekonsentrasi Dinas Sosial Prop. Kalsel (2005 2007)

Sejauh ini, penambahan maupun penurunan alokasi anggaran untuk sektor tertentu tidak secara pasti diketahui oleh daerah karena pertimbangan atau kriteria-kriteria apa. Bahkan untuk sektor pendidikan, dimana dinas propinsi terjadinya peningkatan jumlah alokasi anggaran untuk sektor pendidikan bukan sepenuhnya merupakan usulan program, melainkan didahului dengan turunnya jumlah anggaran (yang sudah mengalami peningkatan) baru kemudian oleh departemen terkait meminta dinas yang bersangkutan untuk menyususun program untuk menyerap anggaran yang telah mengalami peningkatan tersebut.

2. Mekanisme PerencaaanPersoalan yang dirasakan terhadap mekanisme penganggaran

tersebut secara langsung dikontribusikan oleh sistem perencanan yang juga kurang jelas mekanismenya, baik acuan kerja maupun pola koordinasi perencaan dari departemen dengan dinas-dinas.

/99/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 112: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Proses perencanaan yang telah disusun oleh daerah (dinas-dinas) namun ketika sudah diusulkan departemen/lembaga negara di pusat terjadi perubahan-perubahan yang tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Hal ini dikeluhkan oleh beberapa dinas di Propinsi Kalimantan Tengah. Dimana terjadi ketidaksinkronan pada tahap rencana antara rancangan/usulan kegiatan (jenis, sasaran dan ruang lingkup) yang berkonsekuensi terhadap besaran nominal, yang diusulkan daerah dengan DIPA yang ditetapkan oleh departemen. Sehingga dalam operasionalisasi program-program yang telah terlebih dahulu direncanakan berdasarkan kebutuhan dan kondisi daerah kemudian banyak yang tidak dapat secara optimal dilaksanakan. Disisi lain juga membawa dampak psikologis, yaitu melemahkan motivasi perangkat kerja didaerah karena perencanaan yang telah disusun ternyata tidak dijadikan sebagai acuan dalam penetapan program-program tersebut. Oleh karena itu disarankan setiap departemen membuat master plan departemen yang jelas yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan rencana yang terpadu dan sinkron, mulai tingkat nasional hingga desa (sesuai dengan kewenangannya masing-masing) untuk setiap sektor pembangunan yang jelas dan dapat dijadikan acuan oleh dinas-dinas didaerah dalam menyusun perencanaan kegiatan (logical frame work).

Kondisi seperti disebutkan diatas, terjadi hampir disemua dinas dan propinsi diwilayah Kalimantan. Hal ini lebih menguatkan pendapat sebelumnya, bahwa masih banyak kelemahan yang harus di perbaiki dari penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi ini baik di level daerah maupun pusat. Sistem perencanaan program yang idealnya dilakukan dengan pendekatan bottom up harus juga dilakukan secara konsisten dalam penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi ini.

Sistem perencanaan yang tidak terintegrasi antara perencanaan yang dilakukan oleh depertemen dengan perencanaan yang dilakukan oleh daerah juga berimplikasi kepada tingkat optimalisasi pencapain sasaran dari penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi tersebut di daerah.

/100/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 113: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

3. Mekanisme Koodinasi dan Monitoring di DaerahBelum adanya mekanisme koordinasi dan pelibatan gubernur

(cq. perangkat kerjanya) di daerah diluar dinas terkait di daerah, juga menjadi salah satu permasalahan yang juga dikeluhkan oleh pemerintah provinsi di Kalimantan. Sehingga dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat mengintegrasikan proses perencanaan dan pengelolaan program yang lebih efektif di daerah. Sehingga, peran gubernur sebagai pelaku utama dari asas dekonsentrasi itu sendiri dapat dioptimalkan.

Seperti yang terjadi di Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, dimana pelibatan Bappeda selaku perangkat kerja daerah yang selama ini melakukan fungsi koordinasi, perencanaan, monitoring dan pelaporan dalam proses pengelolaan dana dekonsentrasi oleh masing-masing dinas sangat lemah. Dimana Bappeda hanya mengetahui besaran anggaran Dekonsentrasi pada waktu perencaannya saja, namun dalam proses selanjutnya sering sekali Bappeda tidak lagi dilibatkan (mendapat laporan) seperti apakah adanya perubahan anggaran dari apa yang telah direncanakan. Sehingga, dalam proses penggalian data dilapangan untuk kegiatan penelitian ini, sering sekali ditemukan perbedaan data yang dimiliki oleh Bappeda dengan data yang ada di dinas-dinas.

Kelemahan fungsi monitoring dan koordinasi dalam pengelolaan anggaran dekonsentrasi oleh departemen/instansi pusat terkait juga dikeluhkan oleh dinas-dinas di Kalimantan Tengah, dimana selama ini dinas-dinas tersebut telah melakukan pelaporan terhadap pengelolaan kegiatan di instansinya, namun tidak memperoleh respon secara formal, baik tertulis maupun tidak tertulis dari departemen. Tidak adanya respon ini diartikan oleh daerah bahwa daerah merasa sudah melaksanakan kewajibannya terlepas ada atau tidak-nya kekeliruan dalam administrasi maupun substansi kegiatan yang dilaporkan.

Melihat praktek koordinasi yang terjadi seperti tersebut diatas, maka sangat wajar jika faktor akuntabilitas pengelolaan dana dekonsentrasi selama ini menjadi salah satu persoalan utama. Hal tersebut diperparah dengan kondisi lemahnya fungsi koordinasi dan

/101/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 114: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

pengawasan di daerah. Karena jika diperhatikan dari prakteknya selama ini, sepertinya fungsi tersebut terputus ditingkat daerah. Dimana selama ini, dinas-dinas yang bersangkutan langsung berhubungan dengan departemen/instansi pusat yang terkait. Dengan berbagai faktor yang menjadi penghambat, garis koordinasi tersebut menjadi sangat lemah, bahkan dapat dikatakan tidak efektif. Dimana dinas-dinas yang merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seharusnya dikoordinasikan oleh perangkat kerja daerah dilevel propinsi juga, dalam hal ini Bappeda yang juga merupakan perangkat kerja Gubernur di daerah, yang selama ini melakukan fungsi koordinasi terutama dalam proses perencanaan, monitoring dan pelaporan terhadap pengelolaan anggaran daerah (APBD) oleh dinas-dinas di daerah.

Tidak adanya fungsi koordinasi dan monitoring yang dilakukan oleh perangkat kerja gubernur yang memang malakukan fungsi tersebut (Bappeda) dalam pengelolaan dana dekonsenrtasi ini juga yang menjadi penyebab terbukanya peluang terjadinya tumpang tindih pembiayaan terhadap program-program tertentu yang juga telah dibiayain dengan anggaran daerah. Atau paling tidak, akan terbuka peluang kepada terjadinya inefisiensi pembiayaan terhadap suatu urusan atau program yang sebenarnya tidak mendesak atau dibutuhkan oleh daerah.

Untuk contak kasus penyelenggaraan pertanggungjawaban dana Dekon yang selama ini berlaku (sebelum 2007) di propinsi Kalimantan Tengah adalah daerah (melalui SKPD) memberikan laporan kemajuan kegiatan secara berkala kepada departemen masing-masing dengan tembusan diberikan kepada Pemprov, kemudian pada akhir TA SKPD membuat laporan akhir kegiatan dengan tujuan dan tembusan yang sama.

Sedangkan mekanisme evaluasi atau pemantauan terhadap pengelolaan dana Dekon yang selama ini berlaku (sebelum 2007) adalah daerah (melalui SKPD) memberikan laporan kemajuan kegiatan (fisik dan keuangan) secara berkala kepada departemen masing-masing dengan tembusan diberikan kepada Unit Kerja vertikal (Kanwil Anggaran) dan Pemprov, kemudian pada akhir TA SKPD membuat

/102/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 115: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

laporan akhir kegiatan dengan tujuan dan tembusan yang sama. Namun sejak tahun 2007, SKPD memberikan laporan kemajuan setiap bulan kepada Pemprov (cq. Biro Keuangan), kemudian setiap semester Pemprov melaporkan kepada Departemen.

Keterbatasan SDM Pengelola Kegiatan (keuangan)Perbedaan standar pengelolaan kegiatan antara kegiatan yang

dibiayai dengan anggaran yang bersumber dari APBD dengan kegiatan yang dibiayai oleh APBN menyebabkan banyak sumber daya aparatur pengelola kegiatan dekonsenrtasi di daerah tidak memiliki kemampuan untuk melakukan proses pengelolaan kegiatan dengan menggunakan beberapa aplikasi, seperti Sistem Akutansi Instansi (SAI), Sistem Akuntani Barang Milik Negara (SABMN), aplikasi Surat Perintah Membayar (SPM) dan beberapa standar lainnya. Karena keterbatasn tersebut, menyebabkan banyak satuan kerja yang terlambat menetapkan perangkat pengelola anggaran, yang kemudian juga berimplikasi kepada terlambatnya penyerapan anggaran.

Keterbatasan kemampuan SDM tersebut memberikan implikasi yang sangat besar terhadap akuntabilitas pengelolaan dana dekonsenrtasi didaerah. Jika ditelusuri lebih jauh, berbagai keterbatasan tersebut disebabkan oleh masih minim dan belum optimalnya kegiatan bimbingan dan pelatihan bagi aparatur pengelola kegiatan terhadap beberapa standar pengelolaan anggaran dengan menggunakan standar aplikasi pengelolaan APBN oleh departemen (instansi penyedia anggaran).

Permasalahan buruknya pelaporan dan tidak adanya pengadministrasian terhadap barang-barang (SABMN) yang menjadi aset negara akibat pembiayaan oleh dana dekonsenrtasi adalah permasalahan-permalahan yang juga masih terjadi di daerah, termasuk di Kalimantan. Sebagai contoh adalah, berdasarkan hasil pemeriksanaan BPK terhadap pengelolaan dana dekonsentrasi di Departemen Sososial pada Tahun 2006 menunjukkan bahwa Propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat sama sekali belum menyerahkan laporan pengelolaan kegiatan ke departemen yang bersangkutan.

4.

/103/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 116: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Tabel.4.6Rekapitulasi Daerah yang Menyerahkan Laporan Penggunaan Anggaran

Dekonsentrasi Departemen Sosial Wilayah Kalimantan TA 2006

No Daerah/ Eselon I

Ditjen Setjen

Ditjen Dayasos

Ditjen Yanrehsos

Ditjen Banjamsos

Jlh Nilai yg tdk dilaporkan

1

KALBAR

-

-

-

-

0

29.956.890.7252

KALTENG

-

V

-

-

1

12.192.651.220

3

KALSEL

-

-

-

-

0

40.142.307.925

4

KALTIM

V

V

V

-

3

1.278.988.600Jumlah 1 2 1 - 4 83.570.838.470

Sumber: LKPP Depsos 2006

Permasalahan lain yang dikeluhkan oleh daerah seperti yang disampaikan oleh beberapa dinas di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan adalah pada proses pencairan anggaran yang berbeda antara proses pencairan anggaran APBD dengan APBN yang harus melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Sehingga banyak kegiatan-kegiatan yang terkendala pada proses pencairan anggaran, karena sumber daya aparatur pengelola kegiatan didaerah tidak memahami mekanisme pencairan dana APBN secara komprehensif.

Selain itu, dalam proses pencairan anggaran, masih banyak Satker yang belum mampu menggunakan aplikasi SPM dengan baik dalam mekanisme pencairan dana di KPPN sehingga banyak SPM yang dikembalikan.

Implikasi lebih jauh terhadap keterbatas kemampuan pengelolaan angggaran dengan menggunakan standar pengelolaan APBN, menyebabkan kemampua untuk menyerap anggaran oleh daerah juga menjadi kurang optimal.

/104/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 117: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

BAB VANALISIS KINERJA PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI DI KALIMANTAN

A. Analisis Substansi dan Kemungkinan Duplikasi Urusan Dekonsentrasi

Pada umumnya dapat disimak bahwa kewenangan dekonsentrasi yang dilakukan oleh Gubernur tidak memiliki legalitas yang baku, yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan besaran dan alokasi dana dekonsentrasi masing-masing departemen. Bidang urusan, sub-bidang, maupun rincian kewenangan / urusan dekonsentrasi yang dilakukan Gubernur lebih mencerminkan sebuah tradisi, yakni kegiatan-kegiatan yang menjadi kebiasaan tahunan, yang tentu saja sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Pemerintah Pusat sendiri seperti tidak memiliki kerangka pikir dan kerangka kerja yang jelas dalam penentuan kebijakan pemberian kewenangan dan dana dekonsentrasi kepada provinsi. Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah merupakan tiga penerima dana dekonsentrasi terbesar di Indonesia, sedangkan Sulawesi Barat, Irian Jaya Barat, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Gorontalo, merupakan penerima dana dekonsentrasi yang terkecil (lihat Gambar 5.1.). Padahal jika diingat kembali esensi dan landasan filosofisnya, asas dekonsentrasi lebih dimaksudkan untuk menjadi pengikat NKRI. Dalam fungsinya sebagai faktor yang mempersatukan ikatan antar provinsi dalam kerangka Negara Kesatuan tadi, maka dana dekonsentrasi lebih tepat apabila diberikan kepada daerah-daerah dengan kriteria tertentu, misalnya daerah yang rawan gerakan separatis, daerah pemekaran, daerah dengan tingkat pendapatan dan kemampuan daya beli masyarakat yang rendah, daerah rawan bencana alam dan sosial, dan sebagainya.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/105/

Page 118: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Oleh karena tidak ada framework atau blueprint yang jelas tentang kebijakan dekonsentrasi baik menyangkut substansi kewenangan maupun besaran dana yang dikucurkan, maka sangat sulit untuk mengukur tingkat kinerja penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi. Itulah sebabnya, reformasi asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dimulai dari pengaturan yang konkrit dan rinci tentang kewenangan atau urusan dekonsentrasi ini.

Sumber: Dirjen PKPD Depkeu, 2007

Gambar 5.1Distribusi dan Alokasi Dana Dekonsentrasi Seluruh Provinsi di Indonesia

(2006-2007)

Sebagai salah satu proksi dalam upaya membenahi kewenangan dekonsentrasi ini adalah dengan mengidentifikasi kewenangan / urusan Pemerintah Pusat terlebih dahulu. Identifikasi ini bisa langsung ditemukan dengan merujuk pada PP No. 38/2007 tentang Pembagian

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/106/

Page 119: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Urusan Pemerintahan. Selanjutnya, urusan pemerintah ini dianalisis dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu, untuk kemudian diturunkan menjadi kewenangan yang potensial untuk dilimpahkan kepada Gubernur. Adapun kriteria yang dikembangkan disini adalah :1. Kriteria Fungsi Dekonsentrasi.

Menurut pasal 38 UU No. 32/2004, fungsi Gubernur selaku wakil pemerintah (aparat dekonsentrasi) meliputi fungsi pembinaan, koordinasi, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Selain ketiga fungsi tadi, fungsi fasilitasi, sosialisasi, promosi, dan fungsi eksekusi (pelaksanaan) secara terbatas, juga dapat dikategorikan kedalam fungsi dekonsentrasi. Urusan/ kewenangan pemerintah sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007 sepanjang menyangkut fungsi-fungsi tersebut, berpeluang untuk didelegasikan kepada Gubernur.

2. Kriteria Eksternalitas.Pada hakekatnya, semua urusan / kewenangan pemerintah yang tercantum dalam PP No. 38/2007 dapat dilimpahkan kepada Gubernur jika memiliki dampak di wilayah provinsi tertentu. Meskipun urusan / kewenangan tersebut berskala nasional, namun jika lokusnya berada di provinsi, maka pelaksanaan urusan tadi sebaiknya dijalankan secara bersama-sama (concurrent) oleh pemerintah dan provinsi. Pelaksanaan urusan secara bersama-sama tadi salah satunya dapat ditempuh melalui pendelegasian kewenangan dari Menteri/kepala Lembaga kepada Gubernur.

Berdasarkan kedua kriteria tersebut, maka dapat diusulkan adanya 29 bidang kewenangan yang dapat dilimpahkan kepada provinsi, yang terbagi menjadi 115 sub-bidang serta 560 rincian. Rekapitulasi bidang urusan serta rinciannya dapat dilihat pada Tabel 5.1, sedang uraian detil tentang urusannya dapat dilihat sepenuhnya pada Lampiran 3.

/107/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 120: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Tabel 5.1Rekapitulasi Bidang, Sub-Bidang, dan Rincian Kewenangan Dekonsentrasi yang

Diusulkan Sebagai Penjabaran PP No. 38 Tahun 2007

NO BIDANGJUMLAH SUB-

BIDANG

JUMLAH RINCIAN USULAN KEWENANGAN

DEKONSENTRASI

1 Pendidikan 4 182 Kesehatan 6 173 Pekerjaan Umum

10

73

4 Perumahan

7

46

5 Penataan Ruang

3

16

6 Perencanaan Pembangunan

1

9

7 Perhubungan

3

23

8 Lingkungan Hidup

2

25

9 Pertanahan

4

6

10 Kependudukan & Capil

4

26

11 Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak

5

22

12 KB dan Keluarga Sejahtera

6

7

13 Sosial

6

6

14 Tenaga Kerja & Transmigrasi

2

34

15 Koperasi dan UKM

4

7

16 Penanaman Modal

1

9

17 Kebudayaan & Pariwisata

4

16

18 Pemuda & OR

2

6

19 Kesbangpol

5

19

20 OTDA, PUM, Keu. Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian & Persandian

6 43

21 Pemberdayaan Masyarakat Desa

5 74

22 Statistik 1 2

/108/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 121: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

23 Perpustakaan

1

1

24 Pertanian & Ketahanan Pangan

5

24

25 Kehutanan

2

3

26 Energi & SD Mineral

4

7

27 Kelautan &

Perikanan3 4

28 Perdagangan 3 1129 Perindustrian 6 6

TOTAL 115 560

Sumber: PP Nomor 38 Tahun 2007 (diolah berdasarkan kriteria tertentu)

Meskipun urusan dekonsentrasi sudah dapat didekonstruksi dari PP No. 38/2007, namun PP ini sendiri sesungguhnya mengandung banyak kelemahan. Sebagai contoh, rumusan redaksional urusan pemerintahan Pusat maupun Provinsi secara substantif banyak memiliki kesamaan, hanya berbeda dari jangkauan wilayah. Pemerintah Pusat memegang urusan secara nasional, sedangkan Provinsi menjalankan urusan yang bersifat lintas kabupaten / kota. Karena secara substantif sama, maka jika urusan Pusat dilimpahkan kepada Gubernur sebagai kewenangan dekonsentrasi, akan berbenturan dengan urusan desentralisasi provinsi.

Dengan demikian, usulan rincian kewenangan dekonsentrasi diatas lebih banyak dimaksudkan sebagai rujukan dan/atau pertimbangan ketika hendak menugaskan gubernur / provinsi untuk menjalankan urusan pemerintahan tertentu. Meski lebih banyak berfungsi sebagai rujukan, namun adanya daftar tentatif kewenangan yang layak didelegasikan, jelas menjadi kebutuhan mendesak untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya tumpang tindih atau duplikasi dalam penyelenggaraan kewenangan di tingkat provinsi.

Dari proses penggalian data melalui informasi dengan responden kunci, adanya indikasi overlap tadi banyak diakui. Beberapa SKPD bahkan tidak dapat memberikan data tentang rincian kegiatan yang dibiayai oleh APBD dan APBN. Namun di beberapa lembaga lain seperti Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat, kegiatan dekonsentrasi dan desentralisasi dapat disandingkan dengan jelas, dan pada sebagian besar proggram / kegiatan tidak nampak adanya indikasi tumpang tindih (lihat Tabel 5.2.).

/109/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 122: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Tabel 5.2.Persandingan Kegiatan Dinas Pendidikan Prov. Kalimantan Barat

yang Bersumber dari APBD (Tugas Desentralisasi) dan dari ABPN (Tugas Dekonsentrasi)

PROGRAM / SUB-KEGIATAN / NAMA KEGIATANDEKONSENTRASI (APBN) DESENTRALISASI (APBD)

?Perluasan dan Peningkatan Mutu TK

?Bantuan Operasional Sekolah (Bos)?Perluasan dan Peningkatan Mutu

SMP

?Perluasan dan Peningkatan Mutu SD

?Perluasan dan Peningkatan Pen. Khusus dan Pend. Layanan Khusus (Tingkat Dasar)

?Perluasan dan Peningkatan Mutu SMA

?Perencanaan Peningkatan Mutu & Evaluasi SMK

?Perencanaan dan Pengendalian Dikdasmen

?Peningkatkan Mutu dan Profesional Guru

?Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini

?Penyelenggaraan Paket A Setara Sd

?Pembinaan Pendidikan Kursus dan Kelembagaan

?Pengembangan Pendidikan Keaksaraan

?Pengembangan Pendidikan Kesetaraan

?Pengembangan Minat dan Budaya Baca

?Penyelenggaraan Efisiensi Perencanaan Pend.

?Peningkatkan Manajemen Perencanaan Pelayanan Pendidikan

?Program Pelayanan Administrasi Perkantoran

?Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur

?

Program Peningkatan Kapistas Sumber Daya Aparatur

?

Program Peningakatan Pengembangan Sistem

?

Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan

?

Program Pendidikan Anak Usia Dini?

Program Wajib Belajar 9 Tahun ?

Program Pendidikan Menengah?

Program Pendidikan Non Formal?

Program Pendidikan Luar Biasa?

Program Peningkatan Mutu Pendidikandan Tenaga Kependidikan

?

Program Manajemen Pelayanan Pendidikan

?

Program Pendidikan Tinggi?

Program Pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga

?

Program Peningkatan Mutu Pendidikandan Tenaga Kependidikan

?

Program Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan

? Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan

?

Program Pengelolaan dan Pelestarian Bahan Pustaka

?

Program Optimalisasi Pemanfaatan Teknologi Informasi

?Program Pendidikan Kedinasan

/110/

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

Page 123: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

BAB VIP E N U T U P

A. KesimpulanDari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diambil beberapa

kesimpulan, diantaranya yaitu :1. Pengimplementasian kebijakan dekonsentrasi sejauh ini belum

optimal, dimana dalam pelaksnaannya baru sebatas pembiayaan pembangunannya saja. Kebijakan dekonsentrasi belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan tertentu dari pemerintah kepada Gubernur sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang. Dengan kata lain, sejauh ini penyelenggaraan kewenangan dekonsentrasi didaerah baru sebatas kepada pelimpahan kewenangan pengelolaan anggaran, tanpa dibarengi dengan pelimpahan kewenangan tertentu yang jelas dari pemerintah (kementerian/lembaga negara) kepada Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah;

2. Alokasi dana dekonsentrasi belum dipahami oleh instansi pemerintah s e b a ga i m a n a m e s t i nya , s e h i n g ga i n s t a n s i p e m e r i n t a h (kementrian/LPND) memanfaatkan dana dekonsentrasi sebagai upaya mengokohkan kewenangan/kepentingan secara sektoral. Hal ini membawa konsekuensi terhadap pembentukan organisasi perangkat daerah yang ditujukan untuk menampung berbagai dana dekonsentrasi, tanpa memperhatikan kebutuhan riil pelayanan publik ditingkat daerah;

3. Alokasi dana dekonsentrasi belum terintegrasi dengan baik dalam perencanaan program/kegiatan pemerintah provinsi. Dalam UU. Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah diatur bahwa dana dekonsentrasi dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat yang mencakup semua pemerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi. Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/111/

Page 124: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga. Adapun Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementrian negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada DPRD. Rencana kerja dan dana dekonsentrasi diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD. Namun demikian, dalam prakteknya sering terjadi hubungan langsung antara SKPD dengan Satker instansi pemerintah, sehingga memungkinkan Gubernur dan DPRD tidak mengetahui keberadaan dan pengelolaan dana dekonsentrasi;

4. Akibat lain yang ditimbulkan dari pemanfaatan dana dekonsentrasi yang tidak terintegrasi dengan sistem perencanaan program.kegiatan di provinsi adalah memungkinkan terjadinya tumpang tindih kegiatan yang sama dari alokasi anggaran yang berbeda (double budget).

5. Dalam hal akuntabilitas pemanfaatan dana dekonsentrasi, juga ditemukan adanya pemanfaatan dana dekonsentrasi yang belum/tidak dilaporkan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak diketahui apa kinerja yang dihasilkan dari pengelolaan dana dekonsentrasi;

6. Pengelolaan aset/barang milik negara yang berasal dari dana dekonsentrasi belum ditatausahakan dengan tertib, sehingga muncul kecenderungan adanya ”asset laundring” atau pencucian aset.

7. Pengawasan terhadap pemanfaatan dana dekonsentrasi masih kurang optimal. Sehingga pemanfaatan dana dekonsentrasi sulit diukur kinerja yang dihasilkan.

8. Terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur dana dekonsentrasi, baik mekanisme maupun kelembagaan yang terlibat, tidak ada keselarasan (disharmonis).

9. Tata hubungan penyelenggaraan urusan pemerintahan, antar pusat dan daerah masih belum terbangun dengan baik (belum ada Undang-Undang yang mengaturnya sebagaimana amanat konstitusi);

10.Kedudukan Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dan pengaturan keuangan Gubernur dalam menjalankan tugas dan fungsinya selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah yang semestinya dialokasikan dalam APBN belum diatur secara tegas (belum ada Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/112/

Page 125: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

B. Rekomendasi KebijakanDari beberapa temuan diatas, dapat diajukan beberapa

rekomendasi baik kepada Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang mungkin dapat berkontribusi positif kepada upaya optimalisasi kinerja otonomi daerah khususnya melalui instrumen desentralisasi keuangan dimasa yang akan datang.1. Perlu adanya pengaturan pelimpahan urusan penyelenggaraan

pemerintahan dari pemerintah pusat ke provinsi yang lebih jelas, sebelum alokasi dana dekonsentrasi diberikan. Apa kriteria program dan kegiatan yang dapat dibiayai dari dana dekonsentrasi mesti dipertegas dan diatur dalam peraturan pemerintah sebagai penjabaran UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. Perlu sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur dana dekonsentrasi (UU. No. 32 tahun 2004, UU. 33 tahun 2004, No.UU. No. 17 tahun 2003, Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 dan lainnya);

3. Perlu dibuat mekanisme pengelolaan dana dekonsentrasi dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelaporan kinerja secara lebih tegas. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan dana dekonsentrasi dari instansi pemerintah kepada provinsi tidak menjadi alat memperkokoh kepentingan eksistensi kelembagaan suatu satuan kerja instansi pemerintah dan organisasi perangkat daerah.

4. Perlu diperkuat mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban pengelolaan dana dekonsentrasi sebagai cerminan akuntabilitas publ ik , yang ter integrasi dengan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur. Laporan pengelolaan dana dekonsentrasi mesti disampaikan kepada instansi pemerintah yang memberikan pelimpahan urusan dan dana dekonsentrasi.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/113/

Page 126: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Administrasi Keuangan Daerah

?

Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah.

?

Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya.

?

Fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah.

?

Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala provinsi.

?

Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.

?

Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi dan kabupaten/kota.

?Fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah.

?Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa.

Perangkat Daerah

?

Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.

?

Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota.

?

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Kepegawaian

?

Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

?

Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

?Koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/149/

Page 127: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Penyelenggaraan manajemen PNS meliputi perencaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian.

?Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala provinsi .

Persandian ?Penyelenggaraan diklat sandi skala provinsi. ?Pengkajian dan uji coba laboratorium dan

lapangan.

?Pengawasan dan pengendalian operasional persandian provinsi dan kabupaten/kota.

?Pengkajian SDM persandian provinsi meliputi palsan, sissan, dan kelembagaan persandian provinsi.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

Pemerintahan Desa dan Kelurahan

?Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

?Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

?

Data base

penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

?

Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.

?

Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala provinsi.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/150/

Page 128: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Monitoring dan evaluasi peran BPD skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan

keuangan dan aset desa skala provinsi.

?Pembinaan, pengawasan dan supervisi

pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.

Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat

?

Koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.

?

Pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.

?

Monitoring dan

evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

?

Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.

?

Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi

?Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi

?Monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/151/

Page 129: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

?Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan

pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi

Pemberdayaan Adat dan Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

? Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala provinsi.

?

Pembinaan dan supervisi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan skala provinsi.

?

Pembinaan dan supervisi pemberdayaan perempuan skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi PKK skala provinsi.

?

Pembinaan dan supervisi PKK skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi PKK skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

?

Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.

?Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.

Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat

?Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/152/

Page 130: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Pembinaan dan supervisi pemberdayaan

ekonomi penduduk miskin skala provinsi.dan evaluasi pemberdayaan ?Monitoring

ekonomi penduduk miskin skala provinsi.Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ? ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.Pembinaan dan supervisi pengembangan ?usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi pengembangan

usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

?Pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi pengembangan

lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.

?Pembinaan dan supervisi pengembangan roduksi dan pemasaran hasil usaha p

masyarakat skala provinsi.Monitoring dan evaluasi pengembangan ?

produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan ?pertanian pangan dan peningkatan ketahanan

pangan masyarakat skala provinsi.Pembinaan dan supervisi pengembangan ?pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan

pangan masyarakat skala provinsi.

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna

? Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.

?

Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/153/

Page 131: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala

provinsi.Koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi ?pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.Pembinaan, pengawasan dan supervisi

?

peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

?Pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala provinsi.

?Pembinaan, pengawasan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala

provinsi.Monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi ?tepat guna skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.

?Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.

STATISTIK Statistik Umum ?

Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik daerah.

?

Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik daerah.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/154/

Page 132: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

PERTANIAN & KETAHANAN PANGAN

Tanaman Pangan dan Hortikultura

?Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura tingkat nasional dan internasional.

?Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.

?

Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura.

?

Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma,

standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tanaman pangan dan hortikultura.

Perkebunan

?

Penanganan gangguan usaha perkebunan skala nasional di provinsi.

?

Promosi komoditas perkebunan tingkat nasional dan internasional.

?

Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.

?

Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi perkebunan.

?

Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang perkebunan.

Peternakan dan Kesehatan Hewan

?

Pembinaan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet skala nasional di provinsi.

?

Promosi komoditas peternakan nasional dan internasional.

? Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.

? Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.

?

Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang peternakan dan keswan dan

kesmavet.

Ketahanan Pangan ?Fasilitasi peran serta masyarakat dan bekerja

sama dengan LSM.

PERPUSTAKAAN Perpustakaan ?Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/155/

Page 133: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.

Penunjang

?

Pelaksanaan perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).

?

Penyelenggaraan pelatihan keahlian pertanian.

?

Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian provinsi.

?

Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengkajian, diseminasi dan penerapan teknologi/hasil pertanian.

?

Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian.

?

Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian.

?Pengembangan dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian.

?Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian.

KEHUTANAN Rehabilitasi Hutan ? Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan

hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional di wilayah provinsi.

Perlindungan Hutan

?

Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional di wilayah provinsi.

?Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala nasional di wilayah provinsi.

ENERGI & SUMBER DAYA MINERAL

Mineral, Batu Bara, Panas Bumi, dan Air Tanah

?Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya UU Nomor 27/2003 tentang Panas Bumi yang berdampak nasional di provinsi.

Ketenagalistrikan ?Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi bidang ketenagalistrikan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/156/

Page 134: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Minyak dan Gas Bumi ?Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas.

Pendidikan dan ?Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Pelatihan (Diklat) teknis untuk kepala dinas kabupaten/kota

yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.

?Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.

?Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

?Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional ertentu sektor energi dan sumber daya t

mineral dalam skala nasional.

KELAUTAN & PERIKANAN

Kelautan

?

Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut.

Umum

?

Pengembangan sistem, pengumpulan, analisis, penyajian dan penyebaran data informasi statistik perikanan.

?

Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.

Perikanan Tangkap ?Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional termasuk ZEEI dan landas kontinen.

PERDAGANGAN Perdagangan Dalam Negeri

? Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang

?

Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen Skala Nasional.

?

Fasilitasi operasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).

?

Koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional di provinsi.

?

Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional di provinsi.

?Pembinaan dan pemberdayaan Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) skala nasional di provinsi.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/157/

Page 135: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Metrologi Legal ?Fasilitasi penyuluhan dan pengamatan UTTP, Barang Dalam Kemasan Terbungkus (BDKT) dan Satuan Internasional (SI).

?Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UU Metrologi Legal (UUML).

Perdagangan Luar ?Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang Negeri impor skala nasional.

?Sosialisasi kebijakan, monitoring dan evaluasi penerbitan API.

?Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.

PERINDUSTRIAN Fasilitas Usaha

Industri

? Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM).

Pemasaran

?

Promosi produk industri nasional.

Teknologi

?

Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.

Sumber Daya Manusia (SDM)

?

Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas provinsi.

Pengawasan Industri

?

Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah.

Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan

?Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian nasional.

KAJIAN TENTANG EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

/158/

Page 136: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARAPUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR III SAMARINDA

JL. Letjen MT. Haryono No. 36, Telp. 0541-768231-32 Fax. 0541-768230, Samarinda 75124

KEPUTUSAN KUASA PENGGUNA ANGGARANPUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR III (PKP2A III)

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA - SAMARINDANOMOR : 001.Q /V/2/4/2007

TENTANG

TIM PELAKSANA KAJIAN EVALUASI KINERJA PEMERINTAH PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI TAHUN ANGGARAN 2007

PADA PKP2A III LAN

Menimbang : a. bahwa dalam rangka kelancaran pelaksanaan Kajian Evaluasi Kinerja Pemerintah Propinsi Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi di lingkungan Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III LAN Tahun 2007, dipandang perlu membentuk Tim Pelaksana ;

b. bahwa nama dan jabatan yang tercantum dalam Lampiran Keputusan ini dipandang mampu dan memenuhi syarat untuk ditunjuk sebagai Tim Pelaksana Kajian Evaluasi Kinerja Pemerintah Propinsi Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi.

Mengingat : 1. UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890)

2. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

3. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);

4. UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400);

5. UU Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007 (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4662);

LAMPIRAN I

/114/

Page 137: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

6. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005;

7. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005;

8. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004;

9. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006;

10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK/.02/2006 tentang Standart Biaya Tahun Anggaran 2007;

11. Keputusan Kepala LAN Nomor 735/IX/6/4/2002 tentang Pedoman Tata kerja di Lingkungan Lembaga Administrasi Negara;

12. Keputusan Kepala LAN Nomor 4 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Administrasi Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala LAN Nomor 10 Tahun 2004;

13. Keputusan Kepala LAN Nomor 972/IX/6/8/2006 tentang Penetapan Kuasa Pengguna Anggaran/Barang pada Lembaga Administrasi Negara Tahun Anggaran 2007;

14. Keputusan Kepala LAN Nomor 973/IX/6/8/2006 tentang Penetapan Pejabat Pembuat Komitmen pada Lembaga Administrasi Negara Tahun Anggaran 2007;

15. Keputusan Kepala LAN Nomor 974/IX/6/8/2006 tentang Penetapan Pejabat Yang Melakukan Pengujian Surat Perintah Membayar pada Lembaga Administrasi Negara Tahun Anggaran 2007;

16. Keputusan Kepala LAN Nomor 975/IX/6/8/2006 tentang Penetapan Bendahara pada Lembaga Administrasi Negara Tahun Anggaran 2007;

M E M U T U S K A N

Menetapkan :PERTAMA : membentuk Tim Pelaksana Kajian Evaluasi Kinerja Pemerintah Propinsi Dalam

Penyelenggaraan Kewenangan Dekonsentrasi, yang selanjutnya dalam diktum ini disebut Tim Pelaksana dengan mengangkat nama yang tercantum pada kolom 2 (dua) Lampiran Keputusan ini, dalam Jabatan yang tercantum pada kolom 3 (tiga) Lampiran Keputusan ini.

KEDUA : Tim Pelaksana bertugas merencanakan, melaksanakan, dan menyusun laporan kegiatan sesuai dengan petunjuk dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pimpinan Lembaga Administrasi Negara.

KETIGA : Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA, mengacu pada ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

LAMPIRAN I

/115/

Page 138: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

KEEMPAT : Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Pelaksana wajib menyusun Laporan kegiatan sesuai dengan petunjuk dan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala PKP2A III LAN serta melaporkannya kepada Kepala PKP2A III LAN dengan tembusan kepada Sekretaris Utama LAN.

KELIMA : Biaya pelaksanaan kegiatan ini dibebankan kepada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Satker PKP2A III LAN Samarinda Tahun Anggaran 2007.

KEENAM : Anggaran sebagaimana dimaksud pada diktum KELIMA, penggunaannya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KETUJUH : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetakan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2007, dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

SALINAN KEPUTUSAN ini disampaikan kepada :

1. Kepala Lembaga Administrasi Negara;2. Sekretaris Utama Lembaga Administrasi Negara;3. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Kanwil Kalimantan Timur;4. Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kanwil XIX di Samarinda;5. Inspektorat Lembaga Administrasi Negara;6. Yang bersangkutan untuk dipergunakan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Samarinda, Pada tanggal : 2 Januari 2007

/116/

LAMPIRAN I

Page 139: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

KEPUTUSAN KUASA PENGGUNA ANGGARANPUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN APARATUR III (PKP2A III)

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA SAMARINDANOMOR : 001.Q /V/2/4/2007

TENTANG

TIM PELAKSANA KAJIAN EVALUASI KINERJA PEMERINTAHAN PROPINSI DALAM PENYELENGGARAAN KEWENANGAN DEKONSENTRASI

TAHUN ANGGARAN 2007 PADA PKP2A III LAN

No. Nama Jabatan Dalam Tim

1 2 3

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Tri Widodo W. Utomo, SH., MA

Meiliana, SE., MM

Drs. M. Noor, M.Si.

Syahrumsyah Asrie, SH, M.Si.

Siti Zakiyah, S.Si

Drs. Syahrial

Djamilah,SE

Baharuddin, S.Sos., M.Pd.

Said Fadhil, S.IP

Royani,A.Md

Arita Saidi

Peneliti Utama

PenelitiPenelitiPenelitiPeneliti

Pembantu PenelitiPembantu PenelitiPembantu Peneliti

Koordinator PenelitianSekretariatSekretariat

Ditetapkan di : Samarinda, Pada tanggal : 2 Januari 2007

/117/

LAMPIRAN I

Page 140: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Instrumen Penelitian / Pedoman Wawancara

Instrumen Penelitian

Lokus Penelitian : .........................................................................Instansi : ……………………………………………………….

Daftar Pertanyaan / Pedoman Wawancara

a. Aspek Kewenangan1. Jenis kewenangan apa saja (rincian kewenangan) yang dimiliki oleh daerah yang telah

dilimpahkan oleh pemerintah (Departemen)?2. Jenis kewenangan apa saja yang menurut saudara perlu segera di dekonsentrasikan

kepada daerah? 3. Apa kendala yang di hadapi oleh daerah dalam menjalankan kewenangan yang telah

didekonsentrasikan?4. Apakah ada Keputusan/Peraturan Gubernur yang mengatur tentang pelaksanaan

kewenangan Dekonsentrasi?

b. Aspek Kelembagaan1. Berapa banyak unit kerja (UPT) departemen yang ada di daerah (sebutkan)?2. Jenis kewenangan apa saja yang dilaksana oleh unit kerja tersebut?

c. Aspek Anggaran/Mekanisme 1. Berapa besaran dana dekonsentrasi yang diterima oleh daerah (tahun 2003 - 2007)?2. Program/Kegiatan apa saja di daerah yang dibiayai oleh dana dekonsentrasi (masing-

masing sektor)?3. Bagaimana mekanisme penganggaran dana dekonsentrasi tersebut?4. Formula atau indikator apa yang dijadikan sebagai dasar/pertimbangan dalam mengajukan

besaran dana dekonsetrasi?5. Sejauh mana pelibatan daerah dalam proses penganggaran/pengalokasian dana

dekonsentrasi?6. Apakah dana dekonsentrasi yang selama ini diterima oleh daerah sudah cukup untuk

melaksanakan kewenangan yang telah didekonsentrasikan?7. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dari dana dekonsentrasi yang selama ini

berlaku?8. Bagaimana mekanisme evaluasi atau pemantauan terhadap pengelolaan dana

dekonsentrasi yang selama ini berlaku?9. Untuk mengukur tingkat efektivitas tersebut mekanisme evaluasi atau pemantauan seperti

apa yang selama ini dilakukan di departemen Bapak/Ibu?

/118/

LAMPIRAN II

Page 141: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

10. Bagaimana mekanisme pertanggung jawaban dari dana dekonsentrasi tersebut oleh daerah?

11. Dari berbagai mekanisme yang terkait dengan pengelolaan dana dekonsentrasi yang telah ada, apakah ada kelemahan atau kekurangan, jika ada apa saja? Apa saran perbaikan kedepan?

d. Lain - lain1. Apakah memungkinkan jika anggaran dekonsentrasi di integrasikan kedalam APBD?

(berikan alasan)

Data Sekunder Yang Dibutuhkan :1. RAPD Daerah2. Renstra Daerah3. Renstra (Program) Dinas4. Laporan Dana Dekonsentrasi (Jika ada)5. Daerah Dalam Angka6. Profile Daerah7. Peraturan Perundang-undangan lain di daerah yang terkait dengan Dekonsentrasi dan

Keuangan Daerah

/119/

LAMPIRAN II

Page 142: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI

PP NOMOR 38 TAHUN 2007

BIDANG SUB BIDANG KEWENANGAN YANG POTENSIAL DILIMPAHKAN

KEPADA GUBERNUR

PENDIDIKAN

Kebijakan

?

Sosialisasi standar nasional pendidikan dan pelaksanaannya pada jenjang pendidikan tinggi.

?

Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional di provinsi.

?

Pengelolaan dan/atau penyelenggaraan pendidikan tinggi.

?

Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional di wilayah provinsi.

?

Pengembangan sistem

informasi manajemen pendidikan taraf provinsi.

?

Peremajaan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi.

Kurikulum

?

Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

?

Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan.

?

Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada

pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Sarana dan Prasarana

?

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan.

?Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.

Pengendalian Mutu Pendidikan

?Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasipelaksanaan ujian nasional di provinsi.

?Penyediaan blanko ijazah dan/atau sertifikat ujian nasional untuk kebutuhan provinsi.

?Pelaksanaan evaluasi nasional terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.

/120/

LAMPIRAN III

Page 143: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan di tingkat provinsi.

?Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan.

?Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional

KESEHATAN Upaya Kesehatan

?Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala provinsi.

?Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi.

?

Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi.

?

Pengelolaan karantina kesehatan

skala provinsi.

?

Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala provinsi.

?

Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi.

?

Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala provinsi.

?

Pengelolaan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauanskala provinsi.

Pembiayaan Kesehatan

? Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi.

Sumber Daya Manusia Kesehatan

?

Pengelolaan tenaga kesehatan strategis.

?

Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala provinsi.

?

Pembinaan dan pengawasan diklat tenaga kesehatan skala provinsi.

Obat dan Perbekalan Kesehatan

?

Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat nasional, alat kesehatan tertentu, reagensia tertentu dan vaksin tertentu skala provinsi.

PemberdayaanMasyarakat

?Pengelolaan promosi kesehatan skala provinsi.

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

/121/

Page 144: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

PEKERJAAN UMUM Sumber Daya Air ?

Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada

wilayah sungai lintas

kabupaten/kota.

?

Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada kabupaten/kota.

?

Fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air.

?

Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat provinsi

dan kabupaten/kota.

?

Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

?

Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

?

Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

?

Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala provinsi.

?

Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.

Bina Marga

?

Pemberian bimbingan, penyuluhan dan pelatihan para aparatur di bidang jalan.

?Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan.

?Evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelengaraan jalan.

?Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan.

Perkotaan dan Perdesaan

?Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan prasarana /

Manajemen ?Pengelolaan penelitian dan pengembangan Kesehatan kesehatan strategis dan terapan, serta

penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kesehatan skala provinsi.

?Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi .

?Pengelolaan dan pengembangan SIK skala provinsi dan fasilitasi pengembangan sistem

informasi kesehatan daerah.

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

/122/

Page 145: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

arana perkotaan & pedesaan tingkat s

provinsi.

Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan ?dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara provinsi.

?Fasilitasi perencanaan program pembangunansarana dan prasarana perkotaan dan

perdesaan jangka panjang dan jangka menengah .

?Fasilitasi kerjasama/kemitraan tingkat provinsi

antara kabupaten/kota dalam pengelolaan dan Pembangunan sarana dan prasarana

perkotaan dan perdesaan. ?Pengawasan dan pengendalian program

Air

Minum

?

Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota.

?

Fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum skala provinsi.

?

Fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM skala provinsi.

?

Fasilitasi penyelenggaraan bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan SPAM skala provinsi.

?

Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas kabupaten/kota.

?

Fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan strategis provinsi.

?

Evaluasi

kinerja pelayanan penyelenggaraan pengembangan SPAM skala provinsi.

?

Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.

Air Limbah ?Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar kabupaten/kota yang bersifat khusus.

?Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat provinsi dalam penyelenggaraan pengembangan sarana dan prasarana air limbah.

/123/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 146: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan sarana dan prasarana air limbah.

Fasilitasi pengembangan sarana dan ? prasarana air limbah skala provinsi.

?Penyusunan rencana induk pengembangan sarana dan prasarana air limbah lintas kabupaten/kota.

?Pengen dalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan sarana dan prasarana air limbah.

?Evaluasi atas kinerja pengelolaan sarana dan prasarana air limbah skala provinsi.

Persampahan ?Fasilitasi penyelesaian masalah dan

permasalahan antar kabupaten/kota.

?Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan

Drainase

? Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase.

?

Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan skala provinsi.

?

Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota.

?

Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana drainase dan pengendalian banjir di wilayah provinsi.

?

Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan

prasarana sarana drainase dan pengendalian banjir skala provinsi.

?

Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir skala provinsi.

?

Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir secara lintas kabupaten/kota.

Permukiman ?Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.

?Fasilitasi penyelesaian masalah Kasiba/Lisiba yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan tingkat provinsi.

/124/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 147: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Bangunan Gedung dan Lingkungan

?

Pemberdayaan kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota) dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.

?

Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknis Pemerintah daerah untuk bangunan gedung dan lingkungan.

?

Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.

?

Pengawasan dan penertiban pembangunan dan

pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus.

?

Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan di provinsi yang berskala nasional atau internasional.

Jasa Konstruksi

?

Perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model.

?Fasilitasi proses sertifikasi tenaga terampil konstruksi.

?Pengawasan guna tertib usaha mengenai persyaratan perizinan dan ketentuan ketenagakerjaan.

?Pengawasan terhadap LPJK serta asosiasi badan usaha dan profesi.

Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan ?Kasiba/Lisiba strategis provinsi.

?Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat provinsi dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.

?Pengawasan dan pengendalian kebijakan nasional penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba di provinsi.

?Evaluasi kebijakan nasional penyelenggaraan

pembangunan Kasiba dan Lisiba di provinsi.

?Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh skala provinsi (bantuan teknis).

?Fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis skala

/125/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 148: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

PERUMAHAN Pembiayaan ?Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.

?Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.

?

Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.

?

Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.

?

Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.

Pembinaan Perumahan Formal

?

Sosialisasi peraturan perundang-undangan,produk NSPM, serta kebijakan dan Strategi nasional perumahan.

?

Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).

?

Fasilitasi terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang.

?

Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.

? Fasilitasi peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan (pemerintah, swasta dan masyarakat).

?

Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak regional provinsi.

?Pengawasan guna tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan pekerjaan konstruksi

(ketentuan keteknikan, K3, keselamatan umum,lingkungan, tata ruang, tata bangunan dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan

penyelenggaraan konstruksi).

/126/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 149: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

/127/

?Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala provinsi.

?

Fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.

? Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala provinsi.

?

Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan

di provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi.

Pembinaan Perumahan Swadaya

?

Fasilitasi,

pengawasan dan pengendalianpelaksanaan kebijakan dan strategi nasional di provinsi tentang lembaga pendukungpembangunan perumahan, pendataanperumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.

?Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat provinsi.

Pengembangan Kawasan

?

Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D.

?

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan dan RP4D.

?

Pembinaan teknis

pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

?

Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.

?

Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

?Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 150: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

?Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.

?Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan ?penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

?Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana

kawasan.

Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan ?strategi nasional dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.

?Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan

lingkungan hunian berimbang. ?Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan

penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

?Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

?Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.

PENATAAN RUANG Pembinaan ?

Sosialisasi NSPK dan SPM bidang penataanruang.

?

Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap pemerintah kabupaten/kota.

?

Penyelenggaraan Diklat dan Litbang.

?Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.

/128/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 151: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?

Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.

?

Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota.

?

Pembinaan penataan ruang untuk lintas kabupaten/kota.

Pembangunan

?

Pemanfaatan investasi di kawasan andalan dan kawasan strategis nasional serta kawasan lintas provinsi bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.

?

Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.

?

Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi termasuk lintas kabupaten/kota.

?

Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional

di level provinsi.

?

Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat provinsi.

?Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota.

Pengawasan ?Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.

?Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.

?Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.

PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah

?

Bimbingan, supervisi dan

konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.

?

Bimbingan, supervisi dan konsultasipelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta.

?

Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala

provinsi.

?

Bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan skala provinsi.

?Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala provinsi.

/129/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 152: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?

Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala

provinsi.

?

Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.

?Bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.

?Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala provinsi.

PERHUBUNGAN Perhubungan Darat

? Pelaksanaan uji tipe dan penerbitan sertifikat uji

tipe kendaraan bermotor.

?

Registrasi

uji tipe bagi kendaraan bermotor,

serta penerbitan dan pencabutan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang tipenya sudah mendapatkan sertifikat uji tipe.

?

Pelaksanaan kalibrasi peralatan

uji kendaraan bermotor.

?

Pengawasan terhadap pengoperasian

unit penimbangan kendaraan bermotor.

?

Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan

provinsi

?

Penyelenggaraan

analisis

dampak lalu lintas (andalalin) di jalan provinsi.

?

Pengawasan pelaksanaan penyidikan

bidang LLAJ.

?

Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan

kecelakaan lalu lintas di jalan provinsi.

?

Pengawasan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.

?Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.

?Pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.

/130/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 153: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Pengumpulan, pengolahan data,

dan analisis kecelakaan lalu lintas tingkat provinsi

?Pemetaan alur sungai untuk kebutuhan transportasi.

?Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.

?Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan pada lintas antar kabupaten/kota.

?Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.

Perhubungan Laut ?

Pengelolaan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional lama

yang

ada di wilayah provinsi.

?

Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh pemerintah.

?

Pertimbangan teknis penambahan dan atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut internasional hub, internasional, dan nasionalyang ada di wilayah provinsi.

?

Pertimbangan teknis penetapan pelabuhan laut untuk melayani curah kering dan curah cair.

Perhubungan Udara

?

Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.

?

Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

?Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.

LINGKUNGAN HIDUP

Pengendalian Dampak Lingkungan

? Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3.

?

Memberikan rekomendasi pengangkutan limbah

B3.

?Izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi.

?Izin pemanfaatan limbah B3 skala provinsi.

/131/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 154: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?

Izin pengolahan limbah B3 skala provinsi.

?

Izin operasi peralatan pengolahan limbah B3skala provinsi.

?

Izin operasi penimbunan limbah B3 skala provinsi.

?

Pengawasan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL oleh kabupaten/kota dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam rangka uji petik

?

Pembinaan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota.

?

Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota

bagi usaha dan/atau yang wajib dilengkapi AMDAL yang menjadi urusan wajib pemerintah.

?

Pengelolaan kualitas air skala provinsi.

?

Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas air pada sumber air skala provinsi dan/atau merupakan lintas kabupaten/kota.

?

Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala provinsi dan/atau lintas kabupaten/kota.

?

Pengawasan pengendalian pencemaran air skala provinsi.

?Pengelolaan kualitas udara skala provinsidan/atau lintas kabupaten/kota.

?Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara lintas kabupaten/kota.

?Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh provinsi dan kabupaten/kota

?Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala nasional.

/132/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 155: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Konservasi Sumber Daya Alam (SDA)

?

Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.

?

Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.

?

Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala provinsi.

?Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala provinsi.

PERTANAHAN Izin Lokasi

?

Pemberian izin lokasi lintas kabupaten/kota.

?

Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN kabupaten/kota.

?

Pembinaan,

pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi di wilayah provinsi.

Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

?

Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum

di wilayah provinsi.

Penetapan Tanah Ulayat

?

Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat di wilayah provinsi.

Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kab/Kota

?Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota.

KEPENDUDUKAN & CAPIL

Pendaftaran Penduduk

?Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala provinsi.

?Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.

?Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala provinsi.

?

Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi

/133/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 156: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Pencatatan Sipil ?Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis,

advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala provinsi.

?Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

?Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.

?Pembinaan dan pengembangan sumber daya

manusia pengelola pencatatan sipil skala provinsi.

Pengawasan atas penyelenggaraan

?

pencatatan sipil skala provinsi.

Pengelolaan Informasi Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis,

?Administrasi advokasi, supervisi, dan konsultasi Kependudukan pelaksanaan pengelolaan informasi

administrasi kependudukan skala provinsi.

Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan

?informasi administrasi kependudukan skala

provinsi. ?Pembangunan bank data kependudukan level

provinsi

.

?Penyajian dan diseminasi informasi penduduk

skala provinsi.

?Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

?Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

?Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.

Perkembangan Kependudukan

?

Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

?Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas

/134/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 157: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

penduduk, pengarahan mobilitas/penataan

persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

?Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

Pembinaan dan fasilitasi kebijakan ?pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.

?Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

?Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala provinsi.

?Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala provinsi.

?Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan

indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta

? Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

?

Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak

/135/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 158: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN & PERLINDUNGAN ANAK

Pengarusutamaan Gender (PUG)

?Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala provinsi.

?Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintahskala provinsi.

?

Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender

skala provinsi.

?

Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala provinsi.

?

Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif gender, materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala provinsi.

? Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala provinsi.

?

Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin

skala provinsi.

Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan

?

Fasilitasi pengintegrasian isu gender

dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan,ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

?

Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan,

ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.

?Fasilitasi pengintegrasian kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama

kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

Pengawasan indikator kependudukan, ?proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.

/136/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 159: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Perlindungan Anak ? Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi

Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha

?

Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.

?

Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan

perlindungan anak skala provinsi.

?

Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender(KKG) dan perlindungan anak.

Data dan Informasi Gender

dan Anak

?

Pengembangan dan penetapan kebijakan nasional sistem informasi gender dan anak.

?

Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak.

?

Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.

?Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional.

?Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala provinsi.

perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.

?Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana

skala provinsi.

/137/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 160: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

KB & KLG SEJAHTERA

Pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi

?Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan

hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.

Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

?

Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.

?

Pengembangan SDM

pengelola,

pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi.

Ketahanan & Pemberdayaan Klg

?

Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.

Advokasi & Komunikasi, Informasi, Edukasi

?

Pengelolaan advokasi dan Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) skala provinsi.

Informasi dan Data Mikro Kependudukan& Keluarga

?

Pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.

Keserasian Kebijakan Kependudukan

?Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah.

?Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.

Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan

?pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala provinsi.

SOSIAL Pembinaan Bidang

Sosial

? Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.

Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial

?

Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial meliputi uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri, dan penanggulangan masalah sosial skala provinsi.

Sarana dan Prasarana Sosial

?Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala provinsi.

/138/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 161: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Pembinaan Tenaga Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional ? Fungsional Pekerja pekerja sosial skala provinsi.Sosial Penanggulangan ?Penanggulangan bencana skala dan/atau Korban Bencana berdampak provinsi. Pengumpulan Uang ?Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) atau Barang sumbangan sosial masyarakat baik dalam

(Sumbangan Sosial) maupun luar negeri di wilayah provinsi.

TENAGA KERJA & TRANSMIGRASI

Ketenagakerjaan ? Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/job fair

skala nasional.

?

Sosialisasi dan evaluasi penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia (lansia) dan perempuan skala provinsi.

?

Pembinaan, pengawasan,

dan pengendalian pendayagunaan TKS, Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan lembaga sukarela skala provinsi.

?

Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas kabupaten/kota.

?

Pemberian rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru.

?

Pembinaan model-model perluasan dan pengembangan kesempatan secara provinsi antara lain melalui usaha mandiri dan sektor informal, serta program padat karya.

?

Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota.

?

Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang skala berlakunya

lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

?

Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota.

?Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan skala provinsi.

?Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala provinsi.

/139/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 162: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala provinsi.

?

Fasilitasi

pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala

provinsi.

?

Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.

?Penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan.

Koordinasi pembinaan penyelenggaraan ?jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahtaraan tenaga kerja/buruh skala provinsi.

?Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh dari kabupaten/kota.

?Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala

provinsi.

?Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala provinsi.

?Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene

Transmigrasi

?

Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala provinsi.

?

Fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran skala provinsi.

?

Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala provinsi.

?

Perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.

?

Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.

?

Pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.

?

Penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala provinsi.

?Evaluasi dan pengukuran tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi dan pengalihan tanggungjawab pembinaan khusus WPT atau LPT skala provinsi.

/140/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 163: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.

?Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala provinsi.

?Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala provinsi.

?Fasilitasi, bimbingan teknis, dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi lintas kabupaten/kota.

Fasilitasi kerjasama perpindahan transmigrasi ? dan penataan persebaran transmigrasi yang

serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala provinsi. Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan ?

perpindahan transmigrasi skala provinsi.

Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan ?pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.

KOPERASI & UKM

Kelembagaan Koperasi

?

Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional.

Pemberdayaan Koperasi

?

Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi.

?

Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.

?

Perlindungan kepada koperasi level provinsi.

Pemberdayaan UKM

? Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat provinsi meliputi: produksi; pemasaran; sumber daya manusia; dan teknologi.

?

Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi

UKM di tingkat provinsi

meliputi: kredit perbankan; penjaminan lembaga bukan bank; modal ventura; pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN; hibah; dan jenis pembiayaan lain.

Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi

?Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.

/141/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 164: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

PENANAMAN MODAL

Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal

? Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di

dalam

negeri maupun ke luar negeri.

?

Melayani dan memfasilitasi:

a.

Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

b.

Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala provinsi;

c.

Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota;

?

Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan pemerintah

provinsi.

?

Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota.

?

Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasidengan sistem informasi penanaman modal pemerintah kabupaten/kota.

?

Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha

penanaman modal dan realisasi proyek

penanaman modal skala provinsi.

?Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat kabupaten/kotadi bidang sistem informasi penanaman modal.

?Sosialisasi kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama di bidang penanaman modal.

?Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modalskala nasional.

/142/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 165: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

KEBUDAYAAN & PARIWISATA

Kebijakan Bidang Kebudayaan

? Penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.

?

Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala provinsi.

?

Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala provinsi.

Pelaksanaan Bid.

Kebudayaan

?

Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala provinsi.

?

Monitoring dan evaluasi kegiatan skala provinsi.

?

Koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional.

?

Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman.

?

Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala provinsi.

?

Penyebarluasan informasi sejarah nasional dan daerah.

?

Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah.

?

Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah.

?

Pengusulan penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional di provinsi atau skala provinsi.

?

Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs.

Kebijakan Bid.Kepariwisataan

?Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata di provinsi.

?Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala provinsi.

Pelaksanaan Bid.Kepariwisataan

?Penyelenggaraan promosi skala nasional dan provinsi.

PEMUDA & OR Kepemudaan

?

Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi.

?

Koordinasi bidang kepemudaan skala provinsi.

?Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala provinsi.

/143/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 166: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

KESBANGPOL Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan

?Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

?

Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

?

Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

Kewaspadaan Nasional

?

Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.

?

Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.

Olahraga Koordinasi bidang keolahragaan skala ?provinsi.

Pembinaan dan pengawasan di bidang ?keolahragaan skala provinsi. Pembinaan dan pengembangan industri ? olahraga skala provinsi.

/144/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 167: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan

?Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

?

Fasilitasi dan

pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

?

Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

?

Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.

/145/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 168: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

?Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

?

Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

?

Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

Ketahanan Ekonomi

?

Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan perekonomian skala provinsi.

?Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidangkebijakan dan ketahanan sumber daya alam,

Politik Dalam Negeri ?Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan,

kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.

Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ?sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada

skala provinsi.

/146/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 169: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

Koordinasi dan fasilitasi pembinaan ?penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan

sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan

?ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

?Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

?Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter,

perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.

OTDA, PUM, AKD, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN, PERSANDIAN

Otonomi Daerah

?

Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan.

?

Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masing-masing lintas Departemen/LPND.

?Pengawasan Perda kabupaten/kota.

?Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah.

/147/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007

Page 170: evaluasi kinerja pemprov dalam penyelenggaraan kewenangann dekonsentrasi

Fasilitasi pedoman penyusunan rencana ?tindak peningkatan kapasitas daerah. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan ?pemilihan KDH dan Wakil KDH.

Pemerintahan Umum Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan

?dalam penyelenggaraan dekonsentrasi.

Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan ?yang ditugaspembantuankan kepada provinsi/kabupaten/kota/desa.

?Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari

provinsi kepada kabupaten/kota/desa. Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota.?

?Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.

?Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.

?Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik

antar kabupaten/kota.

?Koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi.

?Koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum.

?Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala provinsi.

?Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala provinsi.

?Koordinasi penegakan HAM skala provinsi.

Pelaksanaan pengelolaan dan koordinasi ?perbatasan antar provinsi dan kabupaten/kota.

?Inventarisasi laporan toponimi dan pemetaan di provinsi.

?Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan antar provinsi dan kabupaten/kota.

? Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan antar provinsi.

?

Koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah kabupaten/kota.

/148/

RINCIAN KEWENANGAN GUBERNUR SELAKU WAKIL PEMERINTAH (KEWENANGAN DEKONSENTRASI) SEBAGAI PENJABARAN DARI PP NOMOR 38 TAHUN 2007