Resume Dbd
-
Upload
irma-tri-mulia -
Category
Documents
-
view
60 -
download
0
Transcript of Resume Dbd
2. Intra Hospital
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa.
Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma
dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan
tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun
(the time of defervescence) yang merupakan ease awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan
melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,
yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunanjumlah
trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10
Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan
indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan
awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit.
Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan
penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat
dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit
kelas B danA (DepKes RI, 2005).
1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam
pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan
seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat
demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh
manis, sirup, susu, serta larutan oralit.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang
terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya
terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana
pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan
Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x
kadar Hb (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah
penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan
harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung
untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-
60 menit). Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda
vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin (DepKes RI, 2005).
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran
plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan
ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus
smuntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum
per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2)
Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang
diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan
glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium
bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan (DepKes RI, 2005).
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan yang diperlukan
sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan +
defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini (DepKes RI, 2005).
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang
(defisit cairan 5 – 8 %)
Berat Badan waktu masuk
RS ( kg )
Jumlah cairan Ml/kg berat
badan per hari
< 7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada
anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang
sama (DepKes RI, 2005).
2) Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang
utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syek dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD
dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid
sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg
BB (DepKes RI, 2005).
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan
diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih,
diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada
perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum
dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam
bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40
atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30
ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada
saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih
menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi,
maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30
ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infuse dikurangi bertahap
sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit (DepKes RI, 2005).
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dankadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam
dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-
48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak
dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,
dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan
indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik (DepKes RI, 2005).
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila
cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah
pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dangagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi
yang kuat, tekanan darah normal, dieresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda
terjadinya fase reabsorbsi (DepKes RI, 2005).
c) Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka
analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila
asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka
perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan
(DepKes RI, 2005).
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen (DepKes RI, 2005).
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage)
apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit(misalnya dari 50%
me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang
mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel
darah merah dan faktor pembesar trombosit (DepKes RI, 2005).
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan
perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi
seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation
products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat
ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis
(DepKes RI, 2005).
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring
adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih
sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
Jumlah dan frekuensi dieresis
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler
telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,
pernapasan meningkat, maka selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan
jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis
tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka
pemberian dopamia perlu dipertimbangkan (DepKes RI, 2005)
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian yang efektif pada DHF ataupun DSS di ruang IGD didasarkan pada kemampuan analisis
kritis perawat untuk memprediksikan, mengenali dan menentukan dengan cepat pasien dengan DSS atau
potensial DSS sehingga dapat diberikan penanganan yang cepat pula, karena keterlambatan resusitasi dapat
meningkatkan resiko mortalitas. Hal ini sangat didukung oleh pengetahuan perawat tentang hal-hal yang
harus dikaji pada pasien dengan DHF atau DSS, termasuk manifestasi klinis yang mungkin muncul dalam
setiap tahap dari penyakit tersebut. Secara umum munculnya tanda dan gejala nyeri atau tenderness pada
abdomen, muntah terus menerus, akumulasi cairan misalnya efusi pleura atai asites,perdarahan
mukosa,penurunan kesadaran : letargi, gelisah, pembesaran liver (≥2cm),peningkatan hematokrit dengan
penurunan jumlah platelet secara cepat merupakan indikator bahwa diperlukan evaluai medis segera. CDC
(Center Disease Control and Prevention) menjelaskan bahwa fokus pengkajian untuk kegawatan pada DHF
yang dikenal dengan DSS adalah sebagai berikut (CDC, 2010):
a. Riwayat demam
Riwayat demam yang akurat penting untuk ketepatan diagnosis dan membantu prediksi kehilangan cairan,
dan fase penyakit. Terdapat perbedaan karakteristik demam pada :
DF demam akut biasanya 2 hari atau lebih
DHF : 2-7 hari
DSS :penurunan temperatur yang tiba-tiba (>38.0°C menjadi temperatur normal atau subnormal)
b. Tanda-tanda vital
Tanda-tanda kegawatan/kritis adalah ketika didapatkan nadi cepat dan lemah, tekanan nadi yang sempit
(TD sistolik-TD diastolik <20mm Hg) atau hipotensi berdasarkan tekanan darah sesuai usia.
c. Pemeriksaan fisik fokus dan manifestasi perdarahan
Kondisi pasien mulai kritis ketika didapatkan tanda-tanda manifestasi klinis perdarahan atau tes torniquet
positif disertai tanda munculnya asites dan atau efusi pleura, kulitdan ekstremitas teraba dingin, basah,
kesadaran menurun (letargi atau gelisah),CRT>2 detik, oliguria, tanda-tanda shock (Phanmeesuk &
Suksin, 2009).
d. Pemeriksaan laboratorium
Untuk kewaspadaan ,didapatkannya leukopenia dengan onset baru (WBC <5,000 cells/mm3) limfositosis
danpeningkatan limfosit yang bersifat atypical, mengindikasikan dalam 24 jam berikutnya pasien potensial
akan masuk dalam fase kritis. Sedangkan tanda-tandapasien telah masuk fase kritis adalah ketika tanda
dan gejalapada pengkajian riwayat dan pemeriksaa fisik diatas disertaitemuan onset yang baru dari hasil
lab sebagai berikut (Phanmeesuk & Suksin, 2009):
1) Thrombocytopenia (≤100,000 cells per mm3)
2) Hemokosentrasi ( peningkatan hematocrit ≥20%diatas rata-rata sesuai usia atau penurunan hematocrit
≥20% dari terapi cairan yang diperlukan, hipoproteinemia, hipokolesterolemia
Deteksi dini menjadi sangat penting karena kesalahan dalam mengenali tanda-tanda kritis dapat
menyebabkan keterlambatan reusitasi cepat yang dapat menyebabkan pasien masuk kedalam komplikasi
atau yang ditandai dengan perdarahan masif dan gangguan metabolisme seperti hipokalsemia,
hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis laktat, dan hiponatremia (CDC). Sehingga monitor ketat oleh
perawat terhadap volume intravaskular, fungsi organ vital, dan respon pasien terhadap treatment, jenis
cairan yang masuk, serta kemungkinan sumber perdarahan lainnya menjadi sangat penting. Maka, untuk
keperluan tersebut maka perawat sebagai petugas yang 24 jam didekat pasien memiliki peran yang
signifikan dalam efektifitas observasi tersebut (Phanmeesuk & Suksin, 2009).
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a. Diagnosa Keperawatan : Resiko shock hipovolemik (kurangnya volume cairan) berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas.
Ditandai dengan:perubahan status mental, penurunan tekanan darah,peningkatan frekuensi nadi nadi,
kulit/membran mukosa kering, hematokrit meningkat, suhu tubuh meningkat, konsentrasi urin meningkat,
kelemahan.
Kriteria hasil : keseimbangan cairan dan elektrolit dan asam basa tercapai, hidrasi adekuat.
Intervensi :
Intervensi prioritas NIC
1) Autotranfusi pengumpulan dan reinfusi darah yang hilang akibat perdarahan
2) Pengelolaan elektrolit peningkatan keseimbangan elektrolit dan pencegahan komplikasi akibat kadar
elektrolit serum yang tidak normal atau tidak diinginkan (misalnya : kalsium, kalium.agnesium, natrium
dan fosfat dalam serum).
3) Pengelolaan cairan : peningkatan dan analisis data paisen untuk mengatur keseimbangan cairan
4) Pengelolaan hipovolemia : expansi volume cairan intravaskular pada pasien yang mengalami penurunan
volume.
5) Terapi intravena : Pemberian dan pemantauan cairan dan obat intravena
6) Pengelolaan syok , volume : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan pada pasien yang mengalami
masalah volume intravaskular yang berat
Aktifitas Keperawatan
1) Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
2) Observasi khusus terhadap kehilangan cairan dan elektrolit yang tinggi
3) Pantau perdarahan
4) Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bertambah buruknya dehidrasi
5) Tinjau ulang elektrolit terutama natrium, kalium dan klorida.
6) Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
7) Pengelolaan cairan (NIC) :
a) Pantau status hidrasi
b) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan
c) Pertahankan keakuratan asupan dan keluaran.
Pendidikan untuk pasien dan keluarga
1) Anjurkan pasien untuk melaporakan kepda perawat bila haus
Aktivitas kolaboratif :
1) laporkan dan catat keluaran (Output)
2) laporkan abnormalitas elektrolit
3) berikan terapi IV sesuai dengan anjuran
Aktifitas lain
1) bersihkan mulut secara teratur,
2) tentukan jumlah cairan dalam 24 jam
3) tingkatkan asupan orla, pasang kateter bila perlu
4) berikan cairan sesuai indikasi
b. Diagnosa keperawatan: Peningkatan suhu tubuh lebih dari normal berhubungan dengan terjadinya viremia
Ditandai dengan : suhu tubuh llebih dari normal (36.5- 37 C), kulit memerah (hiperemi), RR meningkat,
kulit hangat, tachikardi
Kriteria Hasil: Suhu tubuh Normal (365-37 C), RR dan nadi Normal, perubhan warna kulit tidak
ada.Keadaan umum cukup
Intervensi :
Intervensi prioritas NIC
1) Pengobatan demam pengelolaan pasien dengan hipertermia yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
bukan dari lingkungan
2) Regulasi suhu mencapai dan atau untuk mempertahankan suhu tubuh dalam rentang normal
3) Pemantauan tanda vital pengumpulan dan analisis data kardiovaskluar, respirasi, suhu tubuh untuk
menentukan serta mencegah komplikasi
Aktivitas Keperawatan
1) Pantau aktivitas kejang
2) Pantau hidrasi
3) Pantau tkanan darah dan, nadi dan pernafasan,e
4) Regulasi suhu (NIC) : pantau suhu tubuh minimal tiap 2 jam sesuai dengan kebutuhan denge pantau
warna kulit dan suhu
Pendidikan untuk pasien dan keluarga
1) Ajarkan indikasi keletihan karena panas dan tindakan kedaruratan ynag diperlukan sesuai dengan
kebutuhan
Aktifitas kolaboratif :
1) Berikan obatantipiretik sesuai dengan kebutuhan
2) Gunakan air jangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh sesuai dengan kebutuhan
Aktifitas lain :
1) Lepaskan pakaian yang yang berlebihn
2) Anjurkan asupan cairan oral
3) Gunakan selimut
4) Gunakna kompres pada aksila, kening, leher dan lipat paha
c. Diagnosa Keperawatan: Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, diet dan perawatan pasien DHF
sehubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga tentang proses penyakit, diet, perawatan meningkat sehingga
klien/keluarga memperlihatkan perilaku yang kooperatif.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF
2) Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga.
3) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan pada klien dengan bahasa dan kata-kata
yang mudah dimengerti.
4) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya pada klien.
5) Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-hal yang ingin diketahui sehubungan
dengan penyakit yang diderita klien.
6) Gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan penjelasan.