Resume Buku Sip2
-
Upload
arif-firmansyah -
Category
Documents
-
view
127 -
download
6
Transcript of Resume Buku Sip2
PANDANGAN POSITIVISME HUKUM VERSUS ANTI
POSITIVISME HUKUM1
Oleh: Arif Firmansyah, SH2
Pandangan positivisme hukum ini apabila ditelusuri lebih jauh terlihat, pencarian
keadilan di luar tatanan adalah (seolah) tidak mungkin, artinya pencarian keadilan di
luar tatanan telah dihentikan. Sebagai seorang (yang dapat dikatakan ) kaum neo-
kantian, maka pemisahan bentuk dan isi menjadi sangat jelas. Hukum menurut
Kelsen berurusan dengan bentuk, bukan isi. Hukum bisa saja tidak adil namun tetap
hukum. Menurut Kelsen, suatu norma hukum berlaku tidak karena ia mempunyai isi
tertentu, karena ia dibuat menurut cara yang ditetapkan oleh (dalam apa) yang
dianggap grudnorm. Grudnorm bukan gesettzt (diadakan) melainkan vorausgezet
(diandaikan), artinya, dalam sistem Kelsen maka grudnorm itu diandaikan, sebagai
dasar stufen (tingkatan-tingkatan) yang dikonstruksikan.
Hans Kelsen memandang ilmu hukum hanya bersifat formal (wadah), dengan
argumentasi bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang harus dilepaskan dari insting dan
keinginan. Ilmu hukum hanya membahas tentang bentuk (wadah), yakni pengetahuan
tentang segala sesuatu yang merupakan unsur yang essensial dan perlu bagi hukum,
1 Riteratur diambil dari buku non sistematik karangan Anton F Susanto2 Alumni Fakultas Hukum Unisba angkatan 2005 sekarang sedang menempuh program magister hukum di universitas katolik parahiyangan Bandung
tidak bersangkutan dengan isi hukum yang mungkin berubah dalam waktu tertentu.
Karena ilmu hukum tidak memberikan penilaian tentang efektivitas hukum.
Hukum dalam pandangan positivistik dipahami sebagai tatanan yang tertutup,
penuh kepastian dan keteraturan. Konsep tertutup, pasti dan teratur ini adalah rasio
bekerja sebagaimana dijelaskan sampford, kebanyakan kaum positivistik memahami
teks dan realitas melalui konteks logika yang tertutup. Kepastian dan keteraturan
mengandung makna bahwa konsep-konsep/hukum-hukum logika dipaksakan untuk
diterapkan terhadap teks dan realitas. Dalam argumentasi hukum, misalnya proses
nalar merupakan sesuatu yang mutlak.
Kita dapat melihat kelemahan dari positivisme hukum dalam sebuah kasus
yang terjadi di tenggarong Kalimantan. Seorang perawat yang bernama mirsan di
kecamatan samboja, kabupaten kutai kartanegara, kedatangan pasien yang
memerlukan pertolongan dan harus diberikan obat tertentu. Pada waktu itu di daerah
samboja tersebut tidak ada dokter, sehingga misran yang seorang perawat
memberikan obat kepada pasien. Setelah beberapa lama pasien yang ditangani
misran sehat kembali seperti biasa, akan tetapi, anehnya mirsan yang memberikan
pertolongan, di tangkap oleh polisi. Alasan polisi menangkap misran adalah, bahwa
misran telah melanggar Pasal 82 (1) huruf d jo Pasal 63 Undang-Undang nomor 23
tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
Isi Pasal 82 (1)3 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan menyebutkan: barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan
sengaja: melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud ayat 63 ayat (1).4
Kalau misran tidak melakukan pertolongan terkena Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menyebutkan: Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan tertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidanadengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dandenda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus jutarupiah).
Misran di tahan dan diadili, oleh pengadilan misran dinyatakan terbukti
bersalah dan dihukum 3 bulan penjara denda 2 juta rupiah subsider 1 bulan. Misran
banding ke pengadilan tinggi, putusan di pengadilan tinggi hasilnya menguatkan
putusan pengadilan negeri.
Dalam perkara atas, kita bisa melihat bagaimana positivisme hukum menjadi
sarana untuk melakukan kekerasan, karena dengan substansi undang-undang seperti
itu, seolah-olah mau melakukan apapun perawat itu tetap dipersalahkan, memberikan
obat dipersalahkan Pasal 82 (1) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992,
tidak menolongpun melanggar Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang kesehatan. Sebenarnya kalau penulis tafsirkan secara filosofi bahwa aturan itu
yaitu Pasal 82 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 sebagaimana diubah oleh
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, adalah untuk melindungi
3 Pasal 108 Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang kesehatan 4 Pasal 198 Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
pasien supaya para petugas tidak memberikan obat secara sembarangan. Intinya untuk
membatasi pemberian obat supaya tidak merugikan pasien. Akan tetapi dengan
kondisi masyarakat dan wilayah Indonesia yang pluralis (ada banyak desa atau kota
yang terpencil yang tidak ada dokter), maka kata tersebut menjadi bumerang dan
menjadi alat kekerasan. Melalui dekonstruksi kita dapat mengungkap bahwa
kekuasaan yang sah (formal) senantiasa melekat di dalamnya kekerasan, itu terlihat
dari kasus misran, yang sebenarnya dalam perkara itu tidak ada sengketa dan tidak
ada yang dirugikan. Permasalahan dalam perkara itu hakim terlalu dangkal
menafsirkan, kata dari undang-undang tersebut. Dalam pemikiran positivisme
kelsenian dikatakan, mungkin saja teks undang-undang tidak adil, tetapi ia berlaku
sebagai hukum, dapat dilekatkan pada konteks di atas, bagaimana teks perundang-
undangan sering kali merupakan sarana kekerasan bagi masyarakat, baik kekerasan
fisik maupun kekerasan simbolik. Berdasarkan, hal itu maka melalui dekonstruksi
sebagaimana dikatakan Critchley teks dapat ditafsirkan secara ganda (double
reading) yang bertujuan menampilkan tafsir dominan sekaligus menawarkan tafsir
alternative. Edward said mengatakan, melalui dekonstruksi teks tidak terbatas
sebagai sesuatu yang tercetak, tetapi juga mencakup sebuah budaya dan tatanan
pemikiran yang menghasilkan pengetahuan. Kata kecuali dalam suatu peraturan
merupakan relasi chaos/non-sistematik. Artinya hierarki norma memperlihatkan
pertentangan dan konstradiksi. Inilah yang disebut oleh Hariatmoko dengan,
permainan sistematik perbedaan, jejak-jejak perbedaan, jarak yang menghubungkan
unsur satu dengan unsur yang lain.
Masih dalam kasus misran, alangkah lebih bijaksana kalau hakim melihat
kondisi dari kasus tersebut jangan memaksakan kepastian hukum yang di utamakan,
akan tetapi harus memperhatikan keadilan dan kemanfaatan. Penulis berpendapat
bahwa keadilan dan kemanfaatan itu harus diutamakan walaupun itu menjadikan
ketidakpastian, sebab keadaan masyarakat sekarang cenderung chaos/melee.
Menurut Derrida tugas dekonstruksi hukum adalah untuk menghilangkan ide-ide
ilusif yang selama ini menguasai metafisika barat, yaitu ide yang mengatakan rasio
dan dapat lepas dari bahasa dan sampai pada kebenaran, atau metode murni dan
otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. Penafsiran teks Derrida sangat
tidak lazim dan bertolak belakang dengan pandangan positivistik, apa yang dipahami
(positivisme) bahwa teks bersifat pasti, absolute dan tidak dapat diganggu-gugat, bagi
Derrida adalah suatu kekerasan yang tidak dapat ditolerir, sebuah kekerasan, yang
dijustifikasi sehingga untuk alasan itu pula Derrida memindahkan logos menjadi
tulisan (teks).
Kasus Misran merupakan kekerasan yang dijustifikasi, dimana secara moral itu
tidak dapat dipersalahkan, akan tetapi kita harus melihat kepada tujuan hukum, tujuan
hukum adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Dekonstruksi menurut baker adalah melakukan pembongkaran atas oposisi biner
hierarkis, seperti tuturan/tulisan, realitas/penampakan, akal/kegilaan dan lain-lain
yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara menafikan pasangan yang lebih
inferior dalam masing-masing oposisi biner. Oposisi biner adalah sebuah sistem yang
berelasi, yang dalam bentuknya yang paling murni membentuk keuniversalan . Dalam
perkara Misran hakim lebih cenderung mengutamakan kepastian hukum, dari kasus
Misran kita dapat menganalisis bagaimana kepastian hukum itu lebih suferior dari
pada ketidakpastian hukum. Pada hal, itu belum tentu benar. Metode dokonstruksi
mencoba untuk menghancurkan pandangan dari oposisi biner, dan berupaya untuk
membalikan dari pemaknaan kata yang termarginalkan. Heurmeneutika filosofis,
schleiemacher dan dilthey adalah pengandaian akan adanya makna awal atau makna
sejati yang dapat di produksi kembali. Inheren dalam heurmeneutika teoritis tersebut
pendirian tentang interpretasi sebagai proses reproduksi makna sebagaimana yang
diinginkan pengarang teks peristiwa sejarah yang melingkupi pengarang dulu. Pada
hal menurut heurmeneutika filosofis, sebuah penafsiran selalu berarti proses produksi
makna baru dan bukan reproduksi makna awal.
Kasus lain yang bisa membuka mata kita bagaimana positivisme hukum sudah
tidak cocok dengan kondisi masyarakat sekarang adalah kasus nenek minah yang
mencuri kakau seharga 2500 rupiah, nenek minah diadili dan di putus oleh hakim
dengan hukuman 6 bulan percobaan. Alasan hakim memutus nenek minah bersalah
adalah karena telah memenuhi unsur Pasal 362 KUHP, kalau tidak di putus bersalah
maka kepastian hukumnya tidak ada.
Berkali-kali hakim di Indonesia ini terpaku pada satu tujuan yaitu kepastian
hukum. Sedikit kritik dari penulis tentang perkara nenek minah adalah bahwa Pasal
362 KUHP dibuat pada jaman kolonial, dimana semangat dari pasal tersebut untuk
melindungi harta kekayaan menir belanda pada zaman dulu. Sekarang Indonesia
sudah menjadi negara yang merdeka dimana, hukum pidana mengalami pergeseran
yang dulunya lebih berpusat kepada orang, sekarang berpusat kepada, ada tidaknya
sifat jahat dalam suatu perbuatan. Kalau kita menggunakan hermeneutika hukum
maka kita bisa menafsirkan bahwa sebenarnya tidak ada sifat jahat dari nenek minah,
akan tetapi nenek itu dengan terpaksa memungut kakau dari halaman orang lain tanpa
sepengetahuan yang punya, dan itu sudah memenuhi rumusan Pasal 362 KUHP
(penafsiran dangkal). Kalau kita gali lebih dalam ketika mengambil kakau nenek itu
tidak sedikitpun terbesit sifat jahatnya, karena nenek minah mengambil kakau di
bawah pohon. Kalau hakim menafsirkan dalam kasus tersebut tidak ada sifat jahat
dan mengalami kebingungan untuk memutuskan, bisa memakai Pasal 74 Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas, untuk meloloskan nenek
minah. Pasal tersebut berisi tentang tanggung jawab sosial perusahaan, seharusnya
keberadaan perusahaan harus menyejahtrakan masyarakat di sekitar perusahaan
tersebut. Adanya keadaan nenek minah yang mengambil kakau memperlihatkan tidak
ada tanggung jawab sosial (tidak melaksanakan Pasal 74 UU 40 Tahun 2007) yang
dilakukan oleh perusahaan, malah perusahaan tersebut menelantarkan masyarakat.
Alangkah arif dan bijaksana bila hakim-hakim kita lebih jeli melihat suatu kasus
berdasarkan kemanfaatan dan keadilan, sehingga ketertiban dalam masyarakat akan
terbina. Belajar memahami pasal atau suatu aturan tidak hanya dari teks yang ditulis,
akan tetapi melihat makna dan keinginan teks tersebut.