Resume Buku Sip2

12
PANDANGAN POSITIVISME HUKUM VERSUS ANTI POSITIVISME HUKUM 1 Oleh: Arif Firmansyah, SH 2 Pandangan positivisme hukum ini apabila ditelusuri lebih jauh terlihat, pencarian keadilan di luar tatanan adalah (seolah) tidak mungkin, artinya pencarian keadilan di luar tatanan telah dihentikan. Sebagai seorang (yang dapat dikatakan ) kaum neo-kantian, maka pemisahan bentuk dan isi menjadi sangat jelas. Hukum menurut Kelsen berurusan dengan bentuk, bukan isi. Hukum bisa saja tidak adil namun tetap hukum. Menurut Kelsen, suatu norma hukum berlaku tidak karena ia mempunyai isi tertentu, karena ia dibuat menurut cara yang ditetapkan oleh (dalam apa) yang dianggap grudnorm. Grudnorm bukan gesettzt (diadakan) melainkan vorausgezet (diandaikan), artinya, dalam sistem 1 Riteratur diambil dari buku non sistematik karangan Anton F Susanto 2 Alumni Fakultas Hukum Unisba angkatan 2005 sekarang sedang menempuh program magister hukum di universitas katolik parahiyangan Bandung

Transcript of Resume Buku Sip2

Page 1: Resume Buku Sip2

PANDANGAN POSITIVISME HUKUM VERSUS ANTI

POSITIVISME HUKUM1

Oleh: Arif Firmansyah, SH2

Pandangan positivisme hukum ini apabila ditelusuri lebih jauh terlihat, pencarian

keadilan di luar tatanan adalah (seolah) tidak mungkin, artinya pencarian keadilan di

luar tatanan telah dihentikan. Sebagai seorang (yang dapat dikatakan ) kaum neo-

kantian, maka pemisahan bentuk dan isi menjadi sangat jelas. Hukum menurut

Kelsen berurusan dengan bentuk, bukan isi. Hukum bisa saja tidak adil namun tetap

hukum. Menurut Kelsen, suatu norma hukum berlaku tidak karena ia mempunyai isi

tertentu, karena ia dibuat menurut cara yang ditetapkan oleh (dalam apa) yang

dianggap grudnorm. Grudnorm bukan gesettzt (diadakan) melainkan vorausgezet

(diandaikan), artinya, dalam sistem Kelsen maka grudnorm itu diandaikan, sebagai

dasar stufen (tingkatan-tingkatan) yang dikonstruksikan.

Hans Kelsen memandang ilmu hukum hanya bersifat formal (wadah), dengan

argumentasi bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang harus dilepaskan dari insting dan

keinginan. Ilmu hukum hanya membahas tentang bentuk (wadah), yakni pengetahuan

tentang segala sesuatu yang merupakan unsur yang essensial dan perlu bagi hukum,

1 Riteratur diambil dari buku non sistematik karangan Anton F Susanto2 Alumni Fakultas Hukum Unisba angkatan 2005 sekarang sedang menempuh program magister hukum di universitas katolik parahiyangan Bandung

Page 2: Resume Buku Sip2

tidak bersangkutan dengan isi hukum yang mungkin berubah dalam waktu tertentu.

Karena ilmu hukum tidak memberikan penilaian tentang efektivitas hukum.

Hukum dalam pandangan positivistik dipahami sebagai tatanan yang tertutup,

penuh kepastian dan keteraturan. Konsep tertutup, pasti dan teratur ini adalah rasio

bekerja sebagaimana dijelaskan sampford, kebanyakan kaum positivistik memahami

teks dan realitas melalui konteks logika yang tertutup. Kepastian dan keteraturan

mengandung makna bahwa konsep-konsep/hukum-hukum logika dipaksakan untuk

diterapkan terhadap teks dan realitas. Dalam argumentasi hukum, misalnya proses

nalar merupakan sesuatu yang mutlak.

Kita dapat melihat kelemahan dari positivisme hukum dalam sebuah kasus

yang terjadi di tenggarong Kalimantan. Seorang perawat yang bernama mirsan di

kecamatan samboja, kabupaten kutai kartanegara, kedatangan pasien yang

memerlukan pertolongan dan harus diberikan obat tertentu. Pada waktu itu di daerah

samboja tersebut tidak ada dokter, sehingga misran yang seorang perawat

memberikan obat kepada pasien. Setelah beberapa lama pasien yang ditangani

misran sehat kembali seperti biasa, akan tetapi, anehnya mirsan yang memberikan

pertolongan, di tangkap oleh polisi. Alasan polisi menangkap misran adalah, bahwa

misran telah melanggar Pasal 82 (1) huruf d jo Pasal 63 Undang-Undang nomor 23

tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

Page 3: Resume Buku Sip2

Isi Pasal 82 (1)3 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang

kesehatan menyebutkan: barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan

sengaja: melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud ayat 63 ayat (1).4

Kalau misran tidak melakukan pertolongan terkena Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang menyebutkan: Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan tertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidanadengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dandenda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus jutarupiah).

Misran di tahan dan diadili, oleh pengadilan misran dinyatakan terbukti

bersalah dan dihukum 3 bulan penjara denda 2 juta rupiah subsider 1 bulan. Misran

banding ke pengadilan tinggi, putusan di pengadilan tinggi hasilnya menguatkan

putusan pengadilan negeri.

Dalam perkara atas, kita bisa melihat bagaimana positivisme hukum menjadi

sarana untuk melakukan kekerasan, karena dengan substansi undang-undang seperti

itu, seolah-olah mau melakukan apapun perawat itu tetap dipersalahkan, memberikan

obat dipersalahkan Pasal 82 (1) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992,

tidak menolongpun melanggar Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang kesehatan. Sebenarnya kalau penulis tafsirkan secara filosofi bahwa aturan itu

yaitu Pasal 82 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 sebagaimana diubah oleh

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, adalah untuk melindungi

3 Pasal 108 Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang kesehatan 4 Pasal 198 Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang kesehatan

Page 4: Resume Buku Sip2

pasien supaya para petugas tidak memberikan obat secara sembarangan. Intinya untuk

membatasi pemberian obat supaya tidak merugikan pasien. Akan tetapi dengan

kondisi masyarakat dan wilayah Indonesia yang pluralis (ada banyak desa atau kota

yang terpencil yang tidak ada dokter), maka kata tersebut menjadi bumerang dan

menjadi alat kekerasan. Melalui dekonstruksi kita dapat mengungkap bahwa

kekuasaan yang sah (formal) senantiasa melekat di dalamnya kekerasan, itu terlihat

dari kasus misran, yang sebenarnya dalam perkara itu tidak ada sengketa dan tidak

ada yang dirugikan. Permasalahan dalam perkara itu hakim terlalu dangkal

menafsirkan, kata dari undang-undang tersebut. Dalam pemikiran positivisme

kelsenian dikatakan, mungkin saja teks undang-undang tidak adil, tetapi ia berlaku

sebagai hukum, dapat dilekatkan pada konteks di atas, bagaimana teks perundang-

undangan sering kali merupakan sarana kekerasan bagi masyarakat, baik kekerasan

fisik maupun kekerasan simbolik. Berdasarkan, hal itu maka melalui dekonstruksi

sebagaimana dikatakan Critchley teks dapat ditafsirkan secara ganda (double

reading) yang bertujuan menampilkan tafsir dominan sekaligus menawarkan tafsir

alternative. Edward said mengatakan, melalui dekonstruksi teks tidak terbatas

sebagai sesuatu yang tercetak, tetapi juga mencakup sebuah budaya dan tatanan

pemikiran yang menghasilkan pengetahuan. Kata kecuali dalam suatu peraturan

merupakan relasi chaos/non-sistematik. Artinya hierarki norma memperlihatkan

pertentangan dan konstradiksi. Inilah yang disebut oleh Hariatmoko dengan,

permainan sistematik perbedaan, jejak-jejak perbedaan, jarak yang menghubungkan

unsur satu dengan unsur yang lain.

Page 5: Resume Buku Sip2

Masih dalam kasus misran, alangkah lebih bijaksana kalau hakim melihat

kondisi dari kasus tersebut jangan memaksakan kepastian hukum yang di utamakan,

akan tetapi harus memperhatikan keadilan dan kemanfaatan. Penulis berpendapat

bahwa keadilan dan kemanfaatan itu harus diutamakan walaupun itu menjadikan

ketidakpastian, sebab keadaan masyarakat sekarang cenderung chaos/melee.

Menurut Derrida tugas dekonstruksi hukum adalah untuk menghilangkan ide-ide

ilusif yang selama ini menguasai metafisika barat, yaitu ide yang mengatakan rasio

dan dapat lepas dari bahasa dan sampai pada kebenaran, atau metode murni dan

otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain. Penafsiran teks Derrida sangat

tidak lazim dan bertolak belakang dengan pandangan positivistik, apa yang dipahami

(positivisme) bahwa teks bersifat pasti, absolute dan tidak dapat diganggu-gugat, bagi

Derrida adalah suatu kekerasan yang tidak dapat ditolerir, sebuah kekerasan, yang

dijustifikasi sehingga untuk alasan itu pula Derrida memindahkan logos menjadi

tulisan (teks).

Kasus Misran merupakan kekerasan yang dijustifikasi, dimana secara moral itu

tidak dapat dipersalahkan, akan tetapi kita harus melihat kepada tujuan hukum, tujuan

hukum adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Dekonstruksi menurut baker adalah melakukan pembongkaran atas oposisi biner

hierarkis, seperti tuturan/tulisan, realitas/penampakan, akal/kegilaan dan lain-lain

yang berfungsi menjamin kebenaran dengan cara menafikan pasangan yang lebih

Page 6: Resume Buku Sip2

inferior dalam masing-masing oposisi biner. Oposisi biner adalah sebuah sistem yang

berelasi, yang dalam bentuknya yang paling murni membentuk keuniversalan . Dalam

perkara Misran hakim lebih cenderung mengutamakan kepastian hukum, dari kasus

Misran kita dapat menganalisis bagaimana kepastian hukum itu lebih suferior dari

pada ketidakpastian hukum. Pada hal, itu belum tentu benar. Metode dokonstruksi

mencoba untuk menghancurkan pandangan dari oposisi biner, dan berupaya untuk

membalikan dari pemaknaan kata yang termarginalkan. Heurmeneutika filosofis,

schleiemacher dan dilthey adalah pengandaian akan adanya makna awal atau makna

sejati yang dapat di produksi kembali. Inheren dalam heurmeneutika teoritis tersebut

pendirian tentang interpretasi sebagai proses reproduksi makna sebagaimana yang

diinginkan pengarang teks peristiwa sejarah yang melingkupi pengarang dulu. Pada

hal menurut heurmeneutika filosofis, sebuah penafsiran selalu berarti proses produksi

makna baru dan bukan reproduksi makna awal.

Kasus lain yang bisa membuka mata kita bagaimana positivisme hukum sudah

tidak cocok dengan kondisi masyarakat sekarang adalah kasus nenek minah yang

mencuri kakau seharga 2500 rupiah, nenek minah diadili dan di putus oleh hakim

dengan hukuman 6 bulan percobaan. Alasan hakim memutus nenek minah bersalah

adalah karena telah memenuhi unsur Pasal 362 KUHP, kalau tidak di putus bersalah

maka kepastian hukumnya tidak ada.

Berkali-kali hakim di Indonesia ini terpaku pada satu tujuan yaitu kepastian

hukum. Sedikit kritik dari penulis tentang perkara nenek minah adalah bahwa Pasal

Page 7: Resume Buku Sip2

362 KUHP dibuat pada jaman kolonial, dimana semangat dari pasal tersebut untuk

melindungi harta kekayaan menir belanda pada zaman dulu. Sekarang Indonesia

sudah menjadi negara yang merdeka dimana, hukum pidana mengalami pergeseran

yang dulunya lebih berpusat kepada orang, sekarang berpusat kepada, ada tidaknya

sifat jahat dalam suatu perbuatan. Kalau kita menggunakan hermeneutika hukum

maka kita bisa menafsirkan bahwa sebenarnya tidak ada sifat jahat dari nenek minah,

akan tetapi nenek itu dengan terpaksa memungut kakau dari halaman orang lain tanpa

sepengetahuan yang punya, dan itu sudah memenuhi rumusan Pasal 362 KUHP

(penafsiran dangkal). Kalau kita gali lebih dalam ketika mengambil kakau nenek itu

tidak sedikitpun terbesit sifat jahatnya, karena nenek minah mengambil kakau di

bawah pohon. Kalau hakim menafsirkan dalam kasus tersebut tidak ada sifat jahat

dan mengalami kebingungan untuk memutuskan, bisa memakai Pasal 74 Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas, untuk meloloskan nenek

minah. Pasal tersebut berisi tentang tanggung jawab sosial perusahaan, seharusnya

keberadaan perusahaan harus menyejahtrakan masyarakat di sekitar perusahaan

tersebut. Adanya keadaan nenek minah yang mengambil kakau memperlihatkan tidak

ada tanggung jawab sosial (tidak melaksanakan Pasal 74 UU 40 Tahun 2007) yang

dilakukan oleh perusahaan, malah perusahaan tersebut menelantarkan masyarakat.

Alangkah arif dan bijaksana bila hakim-hakim kita lebih jeli melihat suatu kasus

berdasarkan kemanfaatan dan keadilan, sehingga ketertiban dalam masyarakat akan

Page 8: Resume Buku Sip2

terbina. Belajar memahami pasal atau suatu aturan tidak hanya dari teks yang ditulis,

akan tetapi melihat makna dan keinginan teks tersebut.