Resource Governance News Edisi Agustus 2016

4
1 PWYP INDONESIA - Newsletter Resource Agustus 2016 News Newsletter G N A N R E V O C E PWYP INDONESIA DORONG REFORMASI DI SEKTOR MINERBA PWYP Indonesia menggelar kick-off meeting program “Perbaikan Tata Kelola Pertambangan Berbasis Hutan dan Lahan-SETAPAK,” kegiatan tersebut berlangsung pada awal Februari 2016 lalu. Kick-off meeting itu tidak hanya menjadi penanda dimulainya program, pertemuan yang dihadiri oleh anggota, mitra serta jaringan PWYP Indonesia sekaligus menjadi ruang untuk memperkuat strategi advokasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam membenahi tata kelola minerba. Mengusung misi untuk mendorong reformasi tata kelola pertambangan minerba, program ini berfokus pada tiga aras utama, yaitu perizinan pertambangan, pengelolaan penerimaan negara, juga rehabilitasi lingkungan dan pasca-tambang. Penataan izin tidak hanya berhenti pada pencabutan izin melainkan perlu dilakukan sinkronisasi dengan UU Pemda No 23/2014 dan kebijakan PTSP yang sedang dikembangkan. Program SETAPAK ini didukung oleh The Asia Foundation dan DFID - UKCCU. Sementara terkait pengelolaan penerimaan negara, PWYP menilai penting untuk menutup celah potential lost baik dalam penerimaan pajak maupun PNBP. Rehabilitasi lingkungan dan pasca-tambang juga menjadi concern dalam program ini, mengingat sekitar 80% izin pertambangan tidak memiliki dokumen reklamasi dan pasca-tambang. Belum lagi, lubang bekas tambang yang tidak direklamasi telah menelan 25 korban jiwa di Kalimantan Timur. Agung Budiono, pengelola Program SETAPAK-PWYP Indonesia dalam penutupan menegaskan pentingnya kolaborasi antar CSO yang memiliki fokus kerja yang sama dan juga skema kerjasama antara CSO dan Pemda untuk mendorong reformasi tata kelola minerba. [RAWSR] Ilustrasi Reformasi Tata Kelola Sektor Pertambangan oleh PWYP Indonesia

Transcript of Resource Governance News Edisi Agustus 2016

1PWYP INDONESIA - Newsletter

ResourceAgustus 2016

NewsNewsletter

G NANREVO C E

PWYP INDONESIA DORONG REFORMASIDI SEKTOR MINERBA

PWYP Indonesia menggelar kick-off meeting program “Perbaikan Tata Kelola Pertambangan Berbasis Hutan dan Lahan-SETAPAK,” kegiatan tersebut berlangsung pada awal Februari 2016 lalu. Kick-off meeting itu tidak hanya menjadi penanda dimulainya program, pertemuan yang dihadiri oleh anggota, mitra serta jaringan PWYP Indonesia sekaligus menjadi ruang untuk memperkuat strategi advokasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam membenahi tata kelola minerba.

Mengusung misi untuk mendorong reformasi tata kelola pertambangan minerba, program ini berfokus pada tiga aras utama, yaitu perizinan pertambangan, pengelolaan penerimaan negara, juga rehabilitasi lingkungan dan pasca-tambang. Penataan izin tidak hanya berhenti pada pencabutan izin melainkan perlu dilakukan sinkronisasi dengan UU Pemda No 23/2014 dan kebijakan PTSP yang

sedang dikembangkan. Program SETAPAK ini didukung oleh The Asia Foundation dan DFID - UKCCU.

Sementara terkait pengelolaan penerimaan negara, PWYP menilai penting untuk menutup celah potential lost baik dalam penerimaan pajak maupun PNBP. Rehabilitasi lingkungan dan pasca-tambang juga menjadi concern dalam program ini, mengingat sekitar 80% izin pertambangan tidak memiliki dokumen reklamasi dan pasca-tambang. Belum lagi, lubang bekas tambang yang tidak direklamasi telah menelan 25 korban jiwa di Kalimantan Timur.

Agung Budiono, pengelola Program SETAPAK-PWYP Indonesia dalam penutupan menegaskan pentingnya kolaborasi antar CSO yang memiliki fokus kerja yang sama dan juga skema kerjasama antara CSO dan Pemda untuk mendorong reformasi tata kelola minerba. [RAWSR]

Ilustrasi Reformasi Tata Kelola Sektor Pertambangan oleh PWYP Indonesia

SETAPAK News

2 PWYP INDONESIA - Newsletter

Usaha Ditjen Minerba untuk menertibkan IUP yang dianggap bermasalah sebagai tindak lanjut dari Koordinasi dan Supervisi KPK di Sektor Mineral dan Batubara (Minerba) terus berlangsung hingga sekarang. Akhir Juli lalu, Ditjen Minerba Kementrian ESDM menyatakan telah mencabut 534 IUP yang berstatus non Clear and Clean (non-CnC).

Penertiban IUP itu telah berlangsung sejak Mei 2011 lalu. Saat ini, dari total IUP sebanyak 10.348 di seluruh Indonesia, tersisa sekitar 3.900 IUP yang masih berstatus non-CnC (Per April 2016).

Direktur Jenderal Minerba (Dirjen Minerba) Kementrian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjelaskan, 534 IUP yang dicabut itu tidak kemudian bebas dari kewajibannya. “Pemegang IUP ini tetap harus membayar kewajibannya seperti membayar pajak dan PNBP (iuran tetap dan royalti),” tegas Bambang Gatot.

Bambang menjelaskan, sebelumnya dilakukan verifikasi untuk IUP yang direkomendasikan mendapat status CnC dari seluruh daerah yakni sebanyak 1079 IUP. Namun, Kementerian ESDM hanya menindaklanjuti sekitar 20% dari IUP yang direkomendasikan. “Sedangkan sisanya harus mendapatkan catatan pengantar Gubernur di wilayah masing-

masing IUP bersangkutan,” tuturnya. Hingga kini proses CnC telah memasuki tahap ke-17.

Korsup Minerba merupakan kerjasama antara KPK bersama Kementrian ESDM, dan pemerintah daerah dalam menertibkan izin tambang bermasalah. Kategorisasi CnC ini membedakan izin tambang berdasarkan permasalahan administrasi, permasalahan kewilayahan, dan gabungan keduanya (administrasi dan kewilayahan).

IUP berstatus non CnC ini disebabkan perusahaan tidak memiliki NPWP, konsesi tumpang tindih dengan sama atau beda komoditas, tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung/konservasi, dan belum melunasi kewajiban keuangan negara.

Dari data hasil Koordinasi dan Supervisi KPK di sektor minerba diketahui sebanyak 75% dari 10.000an pemegang IUP tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pascatambang. Padahal, dalam PP no. 78/2010 pemegang IUP eksplorasi wajib melakukan reklamasi, dan IUP produksi wajib melakukan reklamasi dan pascatambang. Tidak dilakukannya reklamasi dan pascatambang ini yang menjadi salah satu faktor banyaknya anak yang menjadi korban di lubang tambang. [Asr]

Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur sekaligus Ketua Asosiasi Dinas Pengelola ESDM Provinsi se-Indonesia (ADPESDMPI), Dewi Putriatni menyampaikan aspirasi daerah terkait perubahan kebijakan penerimaan daerah dalam FGD “Permasalahan Penerimaan Daerah dari Sektor Pertambangan Pasca-Implementasi UU Pemda” yang diselenggarakan oleh PWYP Indonesia bersama ADPESDMPI pada 16 Maret 2016 di Solo.

Menurut Dewi, pelimpahan kewenangan penerbitan izin berdampak pada penambahan beban kerja provinsi. Akan tetapi, hal ini tidak diikuti dengan penambahan “insentif fiskal” yang memadai. Wewenang penerbitan izin berada di provinsi, sementara pengawasan ada di pusat dan pajak diberikan ke kabupaten/kota. Seharusnya, kata Dewi, perlu juga diikuti dengan perubahan pembagian pajak mineral bukan logam dan batuan antara kabupaten dan provinsi.

Sementara itu, Nasrullah dari Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan menegaskan tidak ada perubahan kebijakan penerimaan daerah sejauh ini. Pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) SDA, termasuk sektor pertambangan, masih mengacu pada prinsip by origin. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan adanya perubahan mengikuti situasi yang berkembang. [RAWSR]

Asosiasi Kadistamben Provinsi Minta Perubahan Kebijakan Penerimaan Daerah pasca UU Pemda

PENERTIBAN IUP PERLU DIPANTAU

Dok. PWYP Indonesia

Dok. PWYP Indonesia

SETAPAK News

3PWYP INDONESIA - Newsletter

Berlakunya UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah telah membawa perubahan paradigma penyelenggaraan kewenangan pemerintah terkait pengelolaan SDA, termasuk di dalamnya pengelolaan sektor minerba.

Sebelum UU ini lahir, pembagian urusan pemerintahan diatur dalam PP No. 38/2007. PP ini menjelaskan, di sektor minerba pemerintah pusat mempunyai 27 kewenangan, pemprov mempunyai 18 kewenangan, dan pemkab/pemkot mempunyai 18 kewenangan. UU pemda yang baru, menyederhanakan kewenangan pemerintah pusat menjadi 11 kewenangan, dan pemprov 7 kewenangan.

UU ini membagi penyelenggaran urusan pemerintahan di sektor minerba menjadi dua, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Beberapa hal yang diatur oleh pemerintah pusat seperti: penetapan wilayah pencadangan sebagai bagian dari tata ruang wilayah nasional; penetapan WIUP mineral logam dan batubara serta wilayah IUP Khusus; penetapan WIUP mineral bukan logam dan batuan lintas daerah provinsi dan wilayah laut

lebih dari 12 mil; penerbitan IUP dalam rangka penanaman modal asing; juga pengelolaan inspektur tambang dan pejabat pengawas pertambangan.

Sedangkan pemerintah provinsi mempunyai kewenangan seperti: Penetapan WIUP mineral bukan logam dan batuan dalam 1 daerah provinsi dan wilayah laut s/d 12 mil; penerbitan IUP operasi produksi khusus pengolahan dan pemurnian dalam penanaman modal dalam negeri di satu daerah provinsi; penetapan harga patokan mineral bukan logam dan batuan; penerbitan Izin Usaha Pertambangan Rakyat dalam wilayah pertambangan rakyat.

Pemerintah Kabupaten/Kota yang sebelumnya mempunyai kewenangan menerbitkan IUP, kini kewenangannya dialihkan ke pemerintah provinsi. Kewenangan yang dimiliki pemkab/pemkot hanya penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah Kabupaten/Kota. Konsekensi lain dari UU Pemda adalah pemindahan Personil, Pendanaan, Prasarana dan Sarana, dan Dokumen (P3D) dari Kabupaten/Kota ke Provinsi. [Asr]

Memahami Perizinan Minerba Pasca Berlakunya UU Pemda

Penerbitan Keputusan Presiden (Kepres) No 13/2014 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Open Government Partnership mengawali implementasi inisiatif open government di Indonesia. Inisiatif pemerintahan terbuka ini menitikberatkan pada keterbukaan informasi, pelibatan masyarakat sipil serta perbaikan akses teknologi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas.

Pelaksanaan inisiatif keterbukaan ini diwujudkan melalui penyusunan dan pelaksanaan rencana aksi (renaksi) Open Government Indonesia (OGI) yang tahun ini memasuki renaksi yang ke-4, untuk periode tahun 2016-2017. Adapun renaksi OGI ini terdiri dari komitmen kementerian dan lembaga di sektor pelayanan publik hingga sumber daya alam.

Sebagai lembaga yang peduli akan reformasi dalam tata kelola hutan dan penggunaan lahan, PWYP Indonesia bersama dengan ICEL, IESR dan FWI mendorong komitmen pemerintah pada beberapa kebijakan, yakni:

1) implementasi EITI di Indonesia, khususnya terkait transparansi beneficial ownership, 2) penguatan sistem pengaduan pelanggaran untuk sektor SDA-LH, 3) percepatan perwujudan 12,7 hektar hutan kelola rakyat, 4) transparansi dan keterbukaan data perizinan, 5) membuka ruang partisipasi publik dalam kebijakan satu peta (one map policy). [RAWSR]

Mengawal Reformasi Tata

Kelola Hutan Dan Lahan

Melalui Inisiatif Keterbukaan

Ilustrasi Reformasi Perizinan Di Bidang Pertambangan Minerba pasca

berlakunya UU No. 23 Tahun 2014oleh PWYP Indonesia

SETAPAK News

4 PWYP INDONESIA - Newsletter

CSO Suarakan Akses Energi untuk Masyarakat

Sejumlah kelompok masyarakat sipil yang peduli pada isu sumber daya alam hadir dalam Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Energi yang berlangsung di Palembang tengah Mei lalu. Pada forum ini, masyarakat sipil menyampaikan rekomendasi terkait perlunya akses energi untuk masyarakat.

Di sektor ketenagalistrikan, hak masyarakat untuk mendapatkan listrik juga belum terpenuhi secara menyeluruh. Rasio elektrifikasi di Sumsel masih di angka 80,44%. Dengan rasio elektrifikasi ini, Sumsel menempati posisi terendah ke-2 di region Sumatera setelah Kepulauan Riau. Oleh karenanya, CSO mendorong pemerintah daerah agar mengoptimalkan pemanfaatan EBT, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk memenuhi pasokan listrik.

Di sektor minerba, masyarakat sipil meminta pemerintah Sumsel lebih transparan dalam membuka data SK pencabutan IUP. Sebelumnya,

Pemprov Sumsel mengklaim telah mencabut 78 IUP bermasalah. Masyarakat sipil juga menyoroti kerugian negara karena kurang bayar dari perusahaan tambang. Terdapat 167 IUP yang kurang bayar di Sumsel dan nominalnya mencapai 46,3 M dan US$16 juta.

Aspek lingkungan juga turut menjadi perhatian. Pasalnya, lebih dari 70% IUP di Sumsel yang tidak memenuhi kewajiban jaminan reklamasi dan pascatambang. Padahal, berdasarkan PP no. 78/2010 pemegang IUP eksplorasi wajib melakukan reklamasi, dan IUP produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang. Oleh karenanya, CSO merekomendasikan

agar Presiden Jokowi segera menerbitkan kebijakan moratorium tambang di level nasional. Kebijakan moratorium ini tidak hanya mencegah penerbitan izin baru, namun juga penertiban izin bermasalah.

CSO yang hadir antara lain: WALHI Sumsel, PINUS, LBH Palembang, HaKI, AMAN Sumsel, PeTA, SUMSEL Watch, FITRA Sumsel, Lingkar Hijau, dan PWYP Indonesia. Korsup Energi merupakan forum koordinasi antara KPK, Kementrian ESDM, dan pemerintah daerah. Korsup Energi mencakup 4 sektor, yaitu mineral dan batu bara (minerba), ketenagalistrikan, migas, dan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). [Asr]

Dok. PWYP Indonesia

Dok. PWYP Indonesia

Website : pwyp-indonesia.orgEmail : [email protected] Fanpage : Publish What You Pay IndonesiaTwitter : @PWYP_INDONESIA