Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...
Transcript of Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...
1
Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok: Studi Kasus Praktik Negara Indonesia
Hagai, Adijaya Yusuf dan Arie Afriansyah
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Abstrak
Reservasi terhadap perjanjian HAM internasional merupakan isu yang kontroversial. Tindakan negara untuk tidak terikat terhadap pasal dari perjanjian HAM internasional dianggap mengurangi kefektivitasan perlindungan Hak Asasi Manusia. Keberadaan reservasi dalam hukum internasional berangkat dari bentuknya yang merupakan hukum kebiasaan internasional dimana kemudian diatur ke dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa reservasi terhadap substansi perjanjian HAM internasional menjadi alasan mengapa aturan HAM tidak dapat berlaku secara efektif di wilayah negara peserta. Kedaulatan negara dan tuntutan partisipasi universal menjadikan reservasi terus tumbuh. Lebih jauh, Indonesia sebagai salah satu negara peserta dari perjanjian HAM Internasional Pokok juga melakukan beberapa reservasi meskipun hanya dalam hal prosedural.
Kata kunci:
Reservasi; perjanjian HAM internasional; substansi
Reservation to the Core Human Rights Treaties: Case Study on Indonesia State Practice
Abstract
Reservation to human rights treaties is a controversial issue. State act to not bind to article from human rights treaties considered diminishing the effectiveness of human rights. The existence of reservation emerged from its form as customary international law which later codified into the Vienna Convention on the Law of Treaties. The research concluded that reservation to the substance of international human rights treaties is the reason that human right cannot be applied effectively in the state parties region. State sovereignty and the demand for universal participation made reservation continues to grow. Furthermore, Indonesia as one of the state parties of the core human rights treaties also takes part on making several reservations although only in procedural matters.
Keyword:
Reservation; human rights treaties; substance
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
2
Pendahuluan
Reservasi merupakan tindakan yang tidak terelakkan. Diperbolehkannya negara untuk
tidak tunduk pada pasal tertentu dalam suatu perjanjian HAM internasional merupakan hak
yang dipandang dapat meningkatkan keterlibatan negara- negara di dalam suatu perjanjian
internasional.1 Praktik reservasi terhadap perjanjian HAM internasional dimulai sejak
diadopsi Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide pada
tahun 1948.2 Perjanjian internasional ini yang menjadi titik tolak dengan banyaknya reservasi
dalam proses pembentukan perjanjian HAM internasional.3 Muncul anggapan bahwa reservasi
terhadap perjanjian HAM internasional mengurangi penerapan universal HAM.4 Hal ini tentu
menimbulkan permasalahan5 di dalam pembentukan perjanjian multilateral, dimana tidak
sedikit negara yang terlibat. Keberadaan reservasi diibaratkan dua sisi mata uang, satu sisi
untuk adanya keinginan untuk membuat perjanjian internasional diterima sebanyak-
banyaknya oleh negara (universal), tetapi di sisi lain ada integritas perjanjian itu sendiri yang
harus tetap dipegang.6
Dalam konteks praktik reservasi, masing- masing perjanjian HAM internasional ini
memiliki hubungan dengan reservasi yang bersifat kasuistis. Artinya, tidak semua pasal pada
setiap konvensi direservasi oleh negara peserta. Pada satu kasus ada konvensi yang mayoritas
direservasi pasal proseduralnya atau pasal substansialnya.
1Catherine Redgwell, “Universality or Integrity? Some Reflections on Reservation to General Multilateral
Treaties”, Oxford Journal of International Law, Hal. 247.
2William A. Schabas, “Reservation to the Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women and the Convention on the Rights of the Child”, 3 Wm. & Mary J. Women & L. 79, 1997, Vol 3 Issue 1, Hal. 80.
3Ibid.
4Johanna Fournier, “Reservations and the Effective Protection of Human Rights”, Goettingen Journal of International Law 2, 2010, Hal. 439.
5 Ruda dalam Lisbeth Lijnzaad, Reservations to UN- Human Right Treaties Ratify and Ruin?, Dordrecht:
Martinus Nijhoff Publishers, 1995), Hal. 7. Lihat juga Edward T. Swaine, “Reserving”, The Yale Journal of International Law Vol. 31, Hal. 307. Pierrick Devidal, Reservations, Human Rights Treaties in the 21st century: from Universality to Integrity, Tesis Master University of Georgia, (Athens, 2003), Hal. 2.
6Ibid
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
3
Indonesia sebagai negara berkembang memulai langkahnya untuk melakukan
perlindungan dan penegakan HAM pada era reformasi.7 Salah satu langkah yang diambil
untuk menjamin perlindungan HAM adalah dengan dicanangkannya Rencana Aksi Nasional
HAM (RAN-HAM). RAN-HAM bertujuan untuk menjamin peningkatan, pemajuan, dan
perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai- nilai, adat- istiadat, budaya
dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945,
serta memajukan budaya penghormatan HAM di Indonesia.8 Pada RAN-HAM Indonesia,
yang menjadi salah satu agenda penting adalah untuk meratifikasi perjanjian HAM
internasional pokok.9 Oleh karena itu, hal ini relevan tentu dengan melihat apakah Indonesia
telah meratifikasi kesembilan perjanjian HAM internasional serta bagaimana praktik
reservasinya.
Untuk penulisan ini, yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perkembangan aturan reservasi dalam sistem hukum internasional?
2. Bagaimanakah praktik reservasi negara peserta terhadap kesembilan perjanjian
HAM internasional?
3. Bagaimanakah praktik reservasi negara Indonesia terhadap kesembilan perjanjian
HAM internasional?
Tinjauan Teoritis
Reservasi adalah pernyataan sepihak, bagaimanapun dinyatakan atau dinamakan, yang
dibuat oleh negara pada saat penandatanganan, ratifikasi, persetujuan atas sebuah perjanjian
internasional untuk tidak mengikutsertakan atau memodifikasi akibat hukum dari pasal
7Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2008), Hal. 242.
8Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Kompilasi Rekomendasi terhadap Indonesia oleh Mekanisme HAM PBB (Treaty Bodies, Special Procedures, Universal Review), (Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia: 2008), Hal. ix.
9RAN-HAM periode 1998-2003, RAN-HAM 2004-2009 dalam Dirjen Multilateral, loc.cit.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
4
tertentu dalam hal penerapannya terhadap negara tersebut.10 Tindakan reservasi dalam
penelitian ini dilakukan terhadap perjanjian internasional khusus mengenai HAM (Hak Asasi
Manusia). HAM sendiri adalah hak yang melekat pada setiap manusia, dengan
kewarganegaraan apapun, dari tempat tinggal dimanapun, jenis kelamin, asal etnis, agama,
bahasa serta status.11 Perjanjian internasional atau treaty sendiri adalah perjanjian bersifat
internasional yang dibuat antar negara- negara dalam bentuk tertulis dan diatur menurut
hukum internasional, dan terwujud dalam satu instrumen atau lebih menurut pengaturan
tertentu.12
Metode Penelitian
Penelitian ini mengambil bentuk Yuridis- Normatif13, sehingga yang digunakan
sebagai metode penelitian adalah penelitian kepustakaan (library research). Penggunaan
metode ini untuk menjawab permasalahan- permasalahan dalam penelitian ini tidak terlepas
dari kebutuhan akan data yang dapat dipenuhi dengan pencarian bahan berupa buku atau
tulisan- tulisan lainnya maupun wawancara langsung dengan narasumber terkait. Dengan
melihat sudut ilmu yang dipakai, maka penelitian ini merupakan penelitian mono disipliner.
Penelitian mono disipliner adalah penelitian dengan pemilihan metode penelitian berdasarkan
satu disiplin ilmu . Pemilihan metode dalam penelitian ini didasarkan pada disiplin ilmu
hukum. Meskipun berkaitan dengan hukum hak asasi internasional, namun metode yang
digunakan terbatas pada penelitian hukum normatif. Dari sudut sifatnya, penelitian ini
merupakan penelitian eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris bertujuan menggambarkan atau
menjelaskan lebih dalam suatu gejala. Penelitian ini digunakan untuk mempertegas atau
10 Vienna Convention on the Law of Treaties, Hal. 3.
11United Nations Human Rights, Your Rights
http://www.ohchr.org/en/issues/pages/whatarehumanrights.aspx (diakses 14 Maret 2014 3:59 PM)
12 Vienna Convention on the Law of Treaties, Hal. 3.
13Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum , (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
5
membuktikan hipotesa yang ada. Dari sudut tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian
evaluatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan meninjau perkembangan sebuah gejala yang
ada. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan
dengan metode penelitian kepustakaan.14 Data sekunder bersumber dari bahan pustaka hukum
antara lain:
1. Bahan hukum primer yaitu bahan- bahan hukum yang mengikat , terdiri dari:
Vienna Convention on The Law of Treaties; Undang- Undang No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional; International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights; International Covenant on Civil and Political Rights;
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Women; Convention on the Rights of the Child; Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;
International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers
and Members of Their Families; International Convention for the Protection of
All Persons from Enforced Disappearance; Convention on the Rights of Persons
with Disabilities.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini penulis menggunakan hasil-
hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk jurnal, buku-
buku teks, dan buku- buku penunjang.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang
digunakan adalah data sekunder. Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data
sekunder, biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya . Dalam penelitian
ini pula diterapkan analisis data yang serupa. Sejalan dengan tipe problem solution, maka
bentuk hasil laporan penelitian ini akan berupa laporan yang meninjau pelaksanaan norma
yang berlaku dan mengemukakan masukan- masukan konstruktif.
14Ibid., Hal. 4.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
6
Hasil Penelitian
Reservasi merupakan tindakan yang telah lama berlaku Perkembangan reservasi dapat
ditelusuri pada 4 (empat) masa, yaitu: 1) periode sebelum Perang Dunia pertama; 2) periode
diantara perang; 3) periode Perang Dunia Kedua bagian pertama; dan 4) periode setelah
Perang Dunia Kedua bagian kedua. Tindakan reservasi mendapat perhatian lebih jauh dengan
adanya kasus reservasi terhadap Konvensi Genosida (The Genocide Case). Kasus ini
menitikberatkan keberadaan reservasi yang tidak sesuai dengan substansi dari Konvensi
Genosida (invalid reservation) menjadikan negara peserta tidak terikat dengan konvensi. Hasil
akhir yang dinyatakan oleh ICJ adalah bahwa reservasi yang ditolak oleh beberapa negara
tidak menjadi alasan sebuah negara untuk tidak menjadi negara peserta. Tetapi lain halnya
dengan reservasi yang tidak sesuai dengan objek dan tujuan konvensi, maka reservasi
dinyatakan tidak kompatibel dan negara tidak dapat digolongkan sebagai negara peserta. Dari
Advisory Opinion ICJ atas The Genocide Case, lahir suatu sistem yaitu object and purpose
test.
Berangkat dari kasus Genosida, prinsip kebulatan suara tidak lagi dipakai oleh
mayoritas negara- negara di dunia. Di benua Amerika selanjutnya berkembang sistem
reservasi baru, yaitu sistem Pan-Amerika. Berbeda dengan sistem kebulatan suara (unanimity
rule) yang kaku, dimana dibutuhkan persetujuan semua negara peserta atas reservasi yang
dibuat, maka lain dengan sistem Pan- Amerika. Sistem ini menganut pendekatan yang lebih
fleksibel. Sistem ini hanya membutuhkan satu persetujuan saja bagi reservasi agar dapat
berlaku. Konvensi Wina sendiri menggunakan sistem yang cenderung fleksibel (sistem Pan-
Amerika dengan kriteria kompatibilitas terbatas). Secara umum sampai saat ini, reservasi
diatur di dalam Konvensi Wina 1969 pada Pasal 19 sampai 23.
Pelaksanaan reservasi, merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh negara peserta
perjanjian HAM internasional. Atas dasar berbagai aturan maupun teori, kadangkala reservasi
yang tidak sesuai dengan objek dan tujuan dari konvensi menjadi tidak terelakkan. Hal ini
tentu menghalangi pelaksanaan HAM secara penuh. Sebagai negara peserta dari kesembilan
perjanjian HAM internasional, Indonesia juga melakukan reservasi.15 Meskipun terhadap 9
(sembilan) instrumen HAM internasional tidak semuanya direservasi oleh negara Indonesia,
tetapi ada pula tindakan deklarasi terhadap beberapa perjanjian.
15Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit., Hal. 2-4.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
7
Dengan tidak meratanya keberadaan aturan reservasi pada perjanjian HAM
internasional, muncul asumsi bahwa adanya kekosongan aturan reservasi. Pada kenyataannya,
hukum internasional mengakomodasi kemungkinan tersebut. Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969), sebagai sumber
hukum internasional, dalam salah satu pasalnya telah mengatur hal ini. Namun, perhatian
perlu diberikan kembali pada teori atau doktrin yang mendasari keberlakukan sebuah sistem,
khususnya reservasi. Karena tanpa adanya dasar yang kokoh, maka sistem hukum tidak dapat
berjalan sempurna.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki situasi berbeda dengan negara pada
umumnya perihal aturan reservasi. Dengan statusnya yaitu bukan negara peserta dari
Konvensi Wina, memberikan pertanyaan tersendiri karena banyak negara mengambil bagian
sebagai peserta dari konvensi ini.16 Selain itu, berdasarkan aturan pasal Konvensi Wina,
apabila tidak terdapat aturan reservasi pada suatu perjanjian internasional, maka aturan
reservasi dari Konvensi yang berlaku. Pernyataan ini dikuatkan dengan adanya Pasal 1
Konvensi Wina. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai status keberlakuan Konvensi
Wina terhadap Indonesia. Lebih lanjut, dengan lahirnya Undang- Undang tentang Perjanjian
Internasional tentu menjadi sebuah hal penting untuk ditelusuri lebih jauh.
Masih dalam konteks negara Indonesia, meskipun perhatian ditujukan kepada tindakan
reservasi, penulis mencoba mencoba mengetahui tidak saja reservasi tetapi juga deklarasi
yang dibuat oleh negara Indonesia, serta alasan dari tindakannya. Sebagai tambahan, reservasi
yang telah ditarik kembali oleh Indonesia dalam Konvensi Anak pada tahun 2005, penulis
menganggap masih relevan untuk dibahas. Terlebih lagi penting untuk diketahui alasan dari
pencabutan reservasi tersebut.
Dari data terakhir yang didapat penulis, Indonesia bukanlah negara peserta Konvensi
Wina.17 Dengan kondisi seperti itu, patut menjadi perhatian lebih lanjut mengenai praktik
Indonesia yang bukan negara peserta Konvensi Wina untuk melakukan reservasi terhadap
perjanjian HAM internasional dimana tidak terdapat aturan reservasi (silent to reservation).
Selain itu, teori dan/ atau aturan hukum apa yang mendasari Indonesia untuk dapat melakukan
reservasi.
16Dari data terakhir yang penulis dapatkan, Konvensi Wina memiliki 114 negara peserta dan 45 diantaranya telah melakukan penandatanganan. (https://treaties.un.org/Pages/ViewDetailsIII.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXIII~1&chapter=23&Temp=mtdsg3&lang=en diakses pada 26 April 2015).
17Status Ratifikasi Konvensi Wina di
https://treaties.un.org/pages/ViewDetailsIII.aspx?&src=&mtdsg_no=XXIII~1&chapter=23&Temp=mtdsg3&lang=en (diakses pada 22 February 2015 3:11 AM).
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
8
a. Pasal 1 Konvensi Wina
Dalam menjawab pertanyaan mengenai logika berpikir dari keberlakuan aturan
reservasi Konvensi Wina, maka Pasal 1 dapat menjadi langkah pertama sebagai dasar hukum.
Pada isi pasalnya disebutkan bahwa Konvensi Wina diterapkan berlaku untuk perjanjian
internasional (treaties) diantara negara- negara18 tidak terkecuali perjanjian HAM
internasional. Di sisi lain, Villiger mengutarakan pandangan bahwa perlu adanya pembatasan
mengenai lingkup keberlakukan dari Konvensi Wina,19 meski pada kenyataannya dalam kasus
perjanjian HAM internasional belum ada penelusuran mengenai hal ini.
Villiger berpendapat, Pasal 1 dianggap memberikan pernyataan yang tidak menutup
kemungkinan keberlakuan pasal-pasalnya terhadap perjanjian HAM internasional.20 Jika
diinterpretasikan menggunakan Pasal 2 Konvensi Wina yang berjudul ‘Use of terms’, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian HAM internasional dapat menggunakan Konvensi
Wina sebagai hukum yang mengatur (governing law). Perjanjian HAM internasional masuk
ke dalam definisi dari perjanjian (treaty) dari Pasal 2 huruf (a) Konvensi Wina, yaitu
perjanjian internasional tertulis yang dibuat diantara negara- negara dengan diwujudkan pada
sebuah instrumen atau dua atau lebih dan sesuai dengan maksud serta tujuannya.21 Berangkat
dari definisi tersebut dengan melihat ciri dari kesembilan perjanjian HAM internasional, ciri
yang dimaksud Konvensi Wina terpenuhi, dan tidak ada alasan bahwa Konvensi Wina tidak
dapat diberlakukan terhadapnya. Mengenai keberlakuan aturan reservasi, maka aturan
reservasi Konvensi Wina secara otomatis berlaku dengan adanya Pasal 1 apabila tidak ada
atau tidak diatur perihal reservasi terhadap suatu perjanjian HAM internasional. Sehingga,
Pasal 19- 23 Konvensi Wina menjadi dasar hukum bagi negara peserta perjanjian
internasional apabila tidak ada aturan reservasi (silent to reservation).
18Bunyi Pasal 1 Konvensi Wina secara langsung adalah sebagai berikut: “The present Convention applies to treaties between States” Lihat pula Villiger, op.cit., Hal. 58.
19Villiger, op.cit., Hal. 58.
20Villiger, op.cit., Hal. 59.
21Pasal 2 huruf (a) Konvensi Wina berbunyi sebagai berikut: “treaty”means an international agreement
concluded between States in written for and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrument and whatever its particular designation;”
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
9
b. Doktrin Penolakan Terus-Menerus (The Persistent Objector Doctrine)
Kembali ke negara Indonesia, kedudukannya yang bukan merupakan anggota peserta
dari Konvensi Wina melahirkan pertanyaan apakah aturan reservasi dapat berlaku
terhadapnya. Posisi Indonesia yang bukan persistent objector terhadap VCLT,
menjadikannya dapat mengambil bagian dari suatu perjanjian internasional yang tidak
mengatur reservasi.22 Oleh sebab itu, apabila tidak ada aturan mengenai reservasi dalam suatu
perjanjian HAM internasional, maka Konvensi Wina dapat berlaku. Lebih jauh, karena negara
Indonesia bukan negara yang melakukan penolakan terus- menerus terhadap Konvensi Wina,
maka Indonesia dapat turut serta menjadi negara peserta dan tunduk pada Konvensi Wina.
Persistent objector adalah negara- negara yang sejak norma itu atau kebiasaan itu
dilakukan, secara resmi dan terbuka mereka melakukan penolakan,23 dimana dalam
pembahasan ini, norma tersebut adalah aturan reservasi. Persistent objector atau penolakan
secara terus- menerus adalah doktrin turunan dari kedaulatan yang dimiliki oleh sebuah
negara.24 Kedaulatan (sovereignity) adalah prinsip yang sangat fundamental dalam hukum
internasional. Doktrin ini dibentuk pada saat negara secara terus-menerus melakukan
penolakan terhadap sebuah norma yang akan menjadi hukum kebiasaan internasional
(customary international law). Doktrin ini juga membatasi keberlakuan dari hukum
internasional.25 Persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan tindakan ini, antara lain:
pertama, sebuah negara harus melakukan penolakan terhadap norma yang baru dibentuk atau
pada tahap awal, dan secara terus-menerus (kontinu) menolak. Bukti penolakan harus jelas,
dan negara penolak dapat membantah adanya asumsi penerimaan atas norma. Sikap diam atau
gagal melakukan penolakan dianggap sebagai bentuk penerimaan (acceptance). Kedua,
penolakan (objection) harus secara konsisten dilakukan26.
22Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian
Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.
23 Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.
24Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian
Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.
25Holning Lau, “Rethinking the Persistent Objector Doctrine in International Human Rights Law”, Chicago Journal of International Law, 2005, Hal.495.
26Lynn Loschin, “The Persistent Objector and Customary Human Rights Law: A Proposed Analytical Framework”, 2 U.C. Davis J. Int’l L.& Pol’y 148, 1996.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
10
Telah disinggung sebelumnya bahwa penolakan secara terus-menerus dilakukan terhadap
norma atau kebiasaan internasional, maka patut pula dipertanyakan mengenai aturan reservasi
Konvensi Wina termasuk diantara keduanya. Seperti yang dinyatakan pada bagian pembukaan
Konvensi Wina, bahwa konvensi ini merupakan kodifikasi dan pengembangan lebih lanjut
(progressive development) dari hukum perjanjian internasional yang telah ada.27 Berdasarkan
pengamatan Villiger, untuk sementara waktu Pasal 19-23 dianggap sebagai hukum kebiasaan
internasional.28
Usaha perlu dilakukan untuk melihat apakah sebenarnya aturan VCLT khususnya
adalah customary international law. Berdasarkan putusan dari North Continental Shelf, untuk
dapat menentukan apakah suatu norma merupakan hukum kebiasaan internasional dapat
melihat dari 2 (dua) unsur, yaitu: 1) state practice; dan 2) opinion juris sive necessitates.29
State practice atau praktek dari negara- negara merupakan elemen objektif yang esensial
sifatnya untuk sebagai persyaratan dari pembentukan hukum kebiasaan internasional. Syarat
kedua, yaitu opinio juris, merupakan elemen subjektif yang juga menjadi faktor penentu.30
Opinion juris adalah pendapat dari pemikir bahwa kebiasaan dilakukan karena didorong oleh
kewajiban hukum.31 Hal inilah yang mengakibatkan bahwa apabila tidak terdapat dorongan
untuk melakukan kewajiban, maka bukanlah sebuah hukum kebiasaan internasional, tetapi
hanya kebiasaan internasional (international custom). Pada akhirnya, dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya aturan Konvensi Wina, yaitu Pasal 1 Konvensi Wina, serta doktrin
Penolakan Terus-Menerus menjadi dasar bagi Indonesia untuk dapat tunduk pada aturan
reservasi Konvensi Wina.
Aturan Reservasi dalam Undang- Undang Perjanjian Internasional
Undang- Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI)
adalah penjabaran lebih lanjut mengenai aturan hukum tentang pembuatan dan pengesahan
27Lihat bagian pembukaan Konvensi Wina paragraf ke-7.
28Villiger, op.cit., Hal. 325.
29International Court of Justice, Summary of the Summary of the Judgment of 20 February 2009: North Sea
Continental Shelf Cases, ( http://www.icj-cij.org/docket/index.php?sum=295&code=cs2&p1=3&p2=3&case=52&k=cc&p3=5 Diakses pada 23 Februari 2015 2:28 PM)
30Lihat pula Villiger, op. cit., Hal. 10.
31Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
11
perjanjian internasional yang telah diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945.32 Reservasi
menurut UUPI disebut juga sebagai “pensyaratan” yaitu merupakan perjanjian sepihak suatu
negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional,
dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau
mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.33 Pasal yang mengatur
reservasi adalah Pasal 8. Ayat (1) dari pasal 8 menyatakan bahwa Indonesia dapat melakukan
tindakan reservasi dan/atau deklarasi, kecuali ditentukan lain di perjanjian internasional. Pada
penjelasan ayat (1) dipaparkan bahwa reservsi hanya dilakukan terhadap perjanjian
internasional dengan bentuk multilateral dan tidak bertentangan dengan objek dan tujuan dari
perjanjian internasional. Selanjutnya di ayat (2) diatur bahwa tindakan pengesahan diperlukan
atas reservasi yang dibuat oleh negara Indonesia. Bentuknya menurut penjelasan ayat (2)
dapat dituangkan ke dalam bentuk piagam ratifikasi atau piagam aksesi. Di ayat (3) diatur
mengenai penarikan kembali (withdrawal) reservasi dan deklarasi yang dibuat oleh negara
Indonesia dapat dilakukan dengan membuat pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang
ditetapkan dalam perjanjian internasional.
Pada pokoknya isi dari Pasal 8 UUPI selaras dengan Pasal 19 Konvensi Wina, hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia secara langsung dan tidak langsung sudah tunduk kepada
Konvensi Wina karena Indonesia telah melakukan kebiasaan negara-negara (state practice)
dan itu sifatnya diluar kewajiban hukum (out of legal obligation).34 Lebih jauh, Indonesia pun
memasukkan ketentuan Konvensi Wina mengenai reservasi ke dalam ketentuan hukum
nasionalnya. Sehingga, persyaratan dari wujud hukum kebiasaan internasional (customary
international law) dari reservasi yang terdiri dari 2 (dua) indikator, antara lain praktek negara
(state practice) dan opinion juris telah terpenuhi, ditambah praktek reservasi yang telah
dilakukan Indonesia.
Praktek Reservasi negara Indonesia terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok
Setelah menelaah dasar hukum maupun dasar pembenar lain atas tindakan reservasi
secara umum, fokus pembahasan beralih kepada reservasi terhadap instrumen HAM
internasional pokok. Dari pengamatan yang dilakukan penulis, banyak reservasi dilakukan
32Indonesia, Undang- Undang tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 tahun 2000, LN No.185 Tahun
2000, TLN No. 4012.
33Definisi reservasi dapat ditemukan di Pasal 1 ayat 5 UUPI
34Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
12
terhadap substansi dari perjanjian HAM internasional.35 Menurut Lijnzaad, langkah reservasi
yang dilakukan negara membatasi penegakan HAM di tingkat nasional negara- negara
peserta.36
Indonesia, berdasarkan pengamatan penulis pada saat ini, bukanlah negara yang
mereservasi substansi dari perjanjian HAM internasional. Sebaliknya, dari 9 (sembilan)
perjanjian, semua reservasi bersifat prosedural, sehingga tidak begitu krusial perlindungan
HAM tidak dapat ditegakkan dalam konteks substansial. Hanya saja, perlu dikembalikan lagi
kepada implementasi riil Indonesia di lingkup wilayah nasional, selain dengan memperhatikan
pembentukan aturan hukum serta fakta yang ada di lapangan.
1. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
Indonesia melakukan ratifikasi terhadap konvensi ini dengan mengeluarkan Undang-
Undang No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Penerimaan instrumen oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dan tanggal mulai berlaku
pada 23 Februari 2006.37 Terhadap konvensi ini, Indonesia tidak melakukan reservasi yang
bersifat substansial dan hanya melakukan deklarasi. Pernyataan deklarasi Indonesia atas Pasal
1 ICESCR yaitu bahwa terkait dengan Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan
Bangsa Jajahan, Deklarasi Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Baik dan
Kerjasama antar Negara, serta ayat yang relevan dari Deklarasi Wina dan Program Kerja
1993, mengenai istilah “hak untuk menentukan diri sendiri” dalam pasal yang dimaksud tidak
berlaku untuk rakyat dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat dan tidak dapat
diinterpretasikan sebagai melegitimasikan dan mendorong tindakan yang dapat
memecahbelah atau merusak seluruh ataupun sebagai dari kesatuan negara yang merdeka dan
berdaulat.38
35Untuk lebih lengkapnya, dapat melihat pembahasan dari Bab III.
36Lijnzaad, op.cit., Hal. 3.
37Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit., Hal. 6.
38Pernyataan deklarasi Indonesia terhadap Pasal 1 secara langsung adalah sebagai berikut: "With reference to
Article 1 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the Government of [the] Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words "the right of self-determination" appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
13
2. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
Komitmen Indonesia untuk melakukan perlindungan HAM salah satunya adalah
dengan mengadopsi International Covenant on Civil and Political Rights ke dalam legislasi
nasional. Langkah tersebut terwujud dari lahirnya Undang- Undang No. 12 tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik).39 Atas konvensi ini tidak ada reservasi dari
Indonesia, dan yang ada hanya deklarasi terhadap Pasal 1 ICCPR. Alasan pengajuan ini dapat
ditemukan dalam pernyataan deklarasi yang serupa dengan deklarasi Indonesia atas ICESCR,
yaitu bahwa mengenai istilah “hak untuk menentukan nasib sendiri” tidak dapat diberlakukan
atau disahkan untuk mendorong tindakan disintegrasi secara keseluruhan maupun sebagian
dari wilayah negara yang merdeka dan berdaulat.40
3. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
(ICERD)
Reservasi Indonesia atas Kovensi dilakukan terhadap Pasal 22 dimana mengatur
tentang perselisihan antara dua pihak atau lebih mengenai interpretasi atau penerapan
Konvensi yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi atau prosedur yang diatur Konvensi,
maka atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa dapat diajukan ke Mahkamah
Internasional, kecuali kedua belah pihak menyetujui pilihan penyelesaian sengketa lain.41
Alasan yang diajukan oleh Indonesia adalah dalam persengketaan hanya dapat diajukan
dengan menunjuk Mahkamah Internasional dengan didasarkan pada kesepakatan dari pihak-
which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states.”
39 Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit., Hal. 6.
40Pernyataan deklarasi Indonesia yang dimaksud adalah sebagai berikut: "With reference to Article 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights, the Government of the Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation Among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words "the right of self-determination" appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states."
41Bunyi Pasal 22 ICERD adalah sebagai berikut:“Any dispute between two or more States Parties with
respect to the interpretation or application of this Convention, which is not settled by negotiation or by the procedures expressly provided for in this Convention, shall, at the request of any of the parties to the dispute, be referred to the International Court of Justice for decision, unless the disputants agree to another mode of settlement.”
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
14
pihak yang bersengketa.42 Hal ini berbeda dengan aturan awalnya yang mengizinkan
pengajuan ke Mahkamah Internasional atau lembaga sengketa lain hanya oleh satu pihak saja.
4. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW)
Reservasi dilakukan oleh negara Indonesia terhadap Pasal 29 ayat (1) Konvensi ini.43
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 dari undang- undang pengesahan44 maupun dokumen status
ratifikasi dari CEDAW. Alasan dari reservasi Indonesia adalah bahwa Indonesia tidak dapat
menerima suatu kewajiban untuk mengajukan sengketa internasional, dimana Indonesia
terlibat, kepada Mahkamah Internasional .45 Dari data status ratifikasi CEDAW, pernyataan
yang diajukan Indonesia atas reservasinya adalah bahwa Indonesia menganggap dirinya tidak
terikat pada aturan Pasal 29 ayat (1) CEDAW dan berkeyakinan bahwa perlu adanya
persetujuan dari semua pihak yang bersengketa untuk mengajukan penyelesaian sengketa
mengenai interpretasi atau implementasi Konvensi baik ke Mahkamah Internasional atau
lembaga arbitrase.46
5. Convention on the Rights of the Child (CRC)
Ratifikasi Indonesia atas Konvensi Hak Anak menggunakan bentuk yang berbeda
dengan ratifikasi instrumen HAM internasional lainnya. Bentuk Keputusan Presiden
(Keppres) dipakai untuk melakukan penerapan hak- hak anak dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 9 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the
42Indonesia, Undang- Undang tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All
Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapuan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965), UU No. 29 Tahun 1999, LN No. 83 Tahun 1999, TLN No. 3852.
43Pernyataan reservasi Indonesia adalah sebagai berikut:
“With regard to article 29 of the CEDAW, the Government of the Republic of India declares that it does not consider itself bound byparagraph 1 of this article.”
44Bunyi Pasal 1 dari UU No. 24 tahun 1984 yaitu: “Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.”
45Indonesia, Undang- Undang tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), UU No. 7 Tahun 1984, LN No. 29 Tahun 1984.
46CEDAW Ratification Status https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-
8&chapter=4&lang=en (diakses pada 2 Maret 2015 11:30 PM)
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
15
Child (Konvensi tentang Hak- Hak Anak). Dasar hukum dibentuknya aturan hukum ini adalah
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 dari Undang- Undang 1945.47
Terhadap Konvensi Hak Anak, Indonesia melakukan reservasi sebelumnya melakukan
reservasi tetapi melakukan penarikan kembali.48 Alasan dari reservasi Indonesia sebelumnya
terhadap Konvensi adalah tindakan ratifikasi Konvensi tidak memberikan arti bahwa
Indonesia melakukan penerimaan kewajiban yang melebihi dari Undang- Undang Dasar 1945
atau penerimaan diluar dari yang telah diatur dari Undang- Undang Dasar 1945.49 Dari data
yang didapat penulis, reservasi negara Indonesia pada awalnya dilakukan terhadap Pasal
1,14,16, 17,21,22, dan 29 CRC. Namun kemudian pada 11 Januari 2005, Indonesia
melakukan penarikan kembali (withdrawal) terhadap Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22, dan 29 dari
Konvensi.50 Alasan Indonesia meski tidak dinyatakan secara tertulis pada piagam penarikan
kembali, dapat ditelaah dari sudut pandang keadaan atau kondisi dalam negeri Indonesia.
Sebagai negara yang menghadapi era baru reformasi, Konvensi Hak Anak merupakan salah
satu perjanjian HAM internasional pertama yang diratifikasi dengan reservasi.51 Alasan
Indonesia untuk melakukan reservasi karena Indonesia menganggap dirinya belum mampu.52
Dengan ditarik kembali, menandakan kondisi Indonesia yang lebih baik dalam melindungi
hak- hak anak tersebut dalam bentuk jaminan hukum.53
Penarikan kembali sangat tergantung dari perkembangan internal suatu negara. Pada
tahun 2003, Indonesia melahirkan peraturan perundang- undangan mengenai anak, dengan
47Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak- Hak Anak), Keppres No.9 Tahun 1990, LN No. 57 Tahun 1990.
48Pernyataan penarikan kembali reservasi negara Indonesia adalah sebagai berikut: “The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees the fundamental rights of the child irrespective of their sex, ethnicity or race. The Constitution prescribes those rights to be implemented by national laws and regulations. The ratification of the Convention on the Rights of the Child by the Republic of Indonesia does not imply the acceptance of obligations going beyond the Constitutional limits nor the acceptance of any obligation to introduce any right beyond those prescribed under the Constitution. With reference to the provisions of articles 1, 14, 16, 17, 21, 22 and 29 of this Convention, the Government of the Republic of Indonesia declares that it will apply these articles in conformity with its Constitution.”
49Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit., Hal 18.
50Berdasarkan Status Pencabutan Reservasi Konvensi Hak Anak (CRC) oleh Pemerintah RI dalam Direktorat
Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit, Hal. 19.
51Hasil wawancara dengan Pak Irwansyah Mukhlis staff bagian Hukum dan HAM, Departemen Perjanjian Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 24 Desember 2014, Jakarta.
52 Hasil wawancara dengan Pak Irwansyah Mukhlis staff bagian Hukum dan HAM, Departemen Perjanjian Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 24 Desember 2014, Jakarta.
53 Hasil wawancara dengan Pak Irwansyah Mukhlis staff bagian Hukum dan HAM, Departemen Perjanjian
Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 24 Desember 2014, Jakarta.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
16
tetap mempertahankan reservasi atas CRC, maka akan timbul kontradiksi perlindungan hak
anak.54 Jadi, perkembangan dalam negeri menjadi alasan untuk penarikan kembali reservasi.
6. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment (CAT)
Reservasi Indonesia atas Konvensi dilakukan terhadap Pasal 30 ayat (1) CAT.55 Isi
dari pasal itu sendiri mengatur bahwa setiap sengketa mengenai interpretasi maupun
implementasi CAT diantara dua atau lebih negara peserta Konvensi dimana tidak dapat
diselesaikan melalui negosiasi, maka dengan permintaan salah satu pihak dapat diajukan ke
lembaga arbitrase. Apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan arbitrase
para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai lembaga arbitrase, maka salah satu
dari negara tersebut dapat mengajukan sengketa kepada Mahkamah Internasional atas
permintaan sesuai dengan Statuta Pengadilan.56 Alasan Indonesia atas reservasi pasal tersebut
adalah bahwa penyelesaian sengketa mengenai pemberlakuan maupun penginterpretasian
Konvensi yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur yang dimaksud pasal ini dapat diajukan
ke Mahkamah Internasional hanya berdasar pada persetujuan semua pihak- pihak yang
bersengketa dan bukan hanya dari salah satu pihak saja.57 Selain reservasi, deklarasi juga
dilakukan Indonesia terhadap Konvensi yaitu atas Pasal 20 ayat (1), (2), dan (3). Indonesia
menyatakan bahwa pemberlakuan dari pasal harus sesuai dengan prinsip kedaulatan dan
integritas territorial dari negara.58 Atas keseluruhan tindakan reservasi prosedural negara
54Hasil wawancara dengan Pak Irwansyah Mukhlis staff bagian Hukum dan HAM, Departemen Perjanjian
Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 24 Desember 2014, Jakarta.
55Pernyataan reservasi Indonesia adalah sebagai berikut: “The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of article 30, paragraph 1, and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the Convention which cannot be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes.”
56Bunyi Pasal 30 ayat (1) CAT secara lengkap adalah sebagai berikut: “Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of this Convention which cannot be settled through negotiation, shall, at the request of one of them, be submitted to arbitration. If within six months from the date of the request for arbitration the Parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those Parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in conformity with the Statute of the Court.”
57Pernyataan reservasi Indonesia secara lengkap adalah sebagai berikut:
“The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of article 30, paragraph 1, and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the Convention which cannot be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes.”
58Pernyataan deklarasi Indonesia secara lengkap adalah sebagai berikut:
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
17
Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa, setelah sampai pada konsepsi kedaulatan negara
(sovereignity) sebagai dasar untuk melakukan reservasi, konsep ini juga relevan dalam
membahas tindakan reservasi Indonesia.59 Dengan adanya kedaulatan negara, maka Indonesia
tidak berada dibawah koordinasi dari negara peserta lain (kedudukan setara antara negara
peserta).
Mengenai reservasi prosedural bentuk ini, International Law Commission dalam
Guide to Practice on Reservations to Treaties dapat dijadikan sebagai acuan. Pada poin
3.1.5.7 berjudul “Reservations to treaty provision concerning dispute settlement or the
monitoring of the implementation of the treaty” menyatakan bahwa mengenai sengketa yang
dimaksud dianggap tidak kompatibel dengan objek dan tujun dari perjanjian internasional,
kecuali: 1) reservasi merupakan wujud untuk memodifikasi efek dari pasal penting konvensi;
2) reservasi tersebut mengecualikan negara yang melakukan reservasi dari mekanisme
penyelesaian sengketa suatu perjanjian internasional.60
Pada konsep penyelesaian sengketa (dispute settlement), diperlukan adanya
persetujuan dari kedua belah pihak. Prakteknya untuk negara Indonesia sendiri adalah
meskipun Indonesia telah menjadi negara peserta dari UN Charter, tetapi Indonesia
melakukan reservasi terhadap yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) dari International
Court of Justice (ICJ). Menguatkan posisi Indonesia, sifat wajib dari yurisdiksi ICJ sendiri,
sebenarnya tidak sepenuhnya wajib karena berdasarkan adanya persetujuan dari negara-
negara. 61 Tetapi kemudian konsep unilateral declaration (pernyataan sepihak) untuk terikat
pada ICJ dalam penyelesaian sengketa masih terus berlaku,62 hal ini yang membuat Indonesia
“The Government of the Republic of Indonesia declares that the provisions of paragraphs 1, 2, and 3 of article 20 of the Convention will have to be implemented in strict compliance with the principles of the sovereignty and territorial integrity of States.”
59Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.
60Secara lengkap isi dari bagian ini adalah sebagai berikut: “A reservation to a treaty provision concerning dispute settlement or the monitoring of the implementation of the treaty is not, in itself, incompatible with the object and purpose of the treaty, unless: (i) the reservation purports to exclude or modify the legal effect of a provision of the treaty essential to its raison d’être; or (ii) the reservation has the effect of excluding the reserving State or international organization from a dispute settlement or treaty implementation monitoring mechanism with respect to a treaty provision that it has previously accepted, if the very purpose of the treaty is to put such a mechanism into effect.” Dalam United Nations, Guide to Practice on Reservations to Treaties, (United Nations, 2011), Hal. 18.
61Lihat Stanimir A. Alexandrov, “The Compulsory Jurisdiction of the International Court of Justice: How Compulsory Is It?”, Chinese Journal of International Law (2006) 5 (1): Hal. 29-38.
62Ibid.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
18
mengambil sikap untuk tidak tunduk terhadap mekanisme hukum yang ada. Pentingnya
kedaulatan negara bagi Indonesia yang menyebabkan Indonesia melakukan reservasi pasal
prosedural dari konvensi-konvensi HAM internasional, sehingga perlu adanya persetujuan
dari Indonesia dalam pengambilan langkah yang dimaksud.
Dalam konteks substantif, Indonesia sebagai negara yang menjunjung HAM, memiliki
tanggung jawab untuk mengambil langkah konkrit perlindungan HAM dengan meratifikasi
perjanjian HAM internasional. Dari pengamatan keseluruhan atas tindakan reservasi
prosedural negara Indonesia, maka Indonesia berkewajiban untuk memberikan perlindungan
HAM secara penuh. Hal ini berarti bahwa dari sisi substansi semua perjanjian HAM yang
telah diratifikasi, Indonesia tidak memiliki keberatan dan siap melaksanakannya.
Kesimpulan
Perjanjian internasional adalah sebuah instrumen yang penting dalam usaha untuk
menjalin hubungan dengan negara- negara di dunia. Perannya yang begitu penting
menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum internasional. Dalam pembentukan
perjanjian internasional ada suatu tindakan yang disebut sebagai reservasi. Reservasi
merupakan tindakan yang dilakukan pada saat negara menyatakan akan tunduk pada
perjanjian internasional (consent to be bound). Reservasi juga merupakan suatu hak yang lahir
karena adanya prinsip kedaulatan negara. Dengan membuat reservasi terhadap suatu
perjanjian internasional, memberikan dampak tidak berlakunya aturan yang direservasi dari
perjanjian tersebut. Pada pokoknya, selama 4 (empat) periode waktu, terjadi perubahan
paradigma mengenai penentuan berlaku atau tidaknya sebuah reservasi. Diawali dengan
pendekatan yang berbasis persetujuan (consent based) berubah menjadi pendekatan berbasis
objek dan tujuan (object and purpose based).
Tindakan reservasi terhadap perjanjian HAM internasional pada tulisan ini difokuskan
pada 9 (sembilan) konvensi. Dari sembilan perjanjian HAM internasional masih banyak
ditemukan reservasi substantif dari sebagian negara peserta, yang mana dapat dianggap tidak
sesuai dengan objek dan tujuan dari konvesi, namun sesuai dengan prosedur. Hal ini
menjadikan tujuan dari perjanjian HAM internasional tidak dapat diterapkan secara efektif di
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
19
wilayah negara peserta.
Indonesia sebagai negara peserta dari kesembilan perjanjian HAM internasional,
hanya melakukan reservasi terhadap 3 (tiga) reservasi dan 3 (tiga) deklarasi. Reservasi
Indonesia dilakukan terhadap CAT atas Pasal 30 ayat (1), CEDAW atas Pasal 29 dan ICERD
atas Pasal 22. Kesemua reservasi Indonesia bersifat prosedural dan tidak melanggar objek
serta tujuan dari konvensi. Mengenai pernyataan deklarasi, negara Indonesia melakukannya
terhadap CAT yaitu Pasal 20 ayat (1) sampai (3), ICESCR yaitu Pasal 1, dan ICCPR atas
Pasal 1. Inti dari deklarasi Indonesia atas Pasal 20 ayat (1) CAT adalah bahwa penerapan isi
pasalnya disesuaikan dengan prinsip kedaulatan serta integritas territorial negara. Dua
deklarasi yang lain, yaitu atas ICESCR dan ICCPR mengungkapkan hal yang serupa, bahwa
“hak untuk menentukan nasib sendiri” tidak dapat dibenarkan apabila mendorong tindakan
disintegrasi negara Indonesia. Secara substansi, Indonesia tidak memiliki keberatan dengan
kesembilan perjanjian HAM internasional.
Dalam hal posisinya yang tidak menjadi peserta dari Konvensi Wina, Indonesia
memiliki Undang- Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dimana di
dalamnya terdapat aturan reservasi. Pengaturan tindakan reservasi pada UU Perjanjian
Internasional diatur pada Pasal 8, dimana pasal ini pada prinsipnya berkesinambungan dengan
Pasal 19 Konvensi Wina 1969.
Dengan tidak adanya reservasi secara substansial, sepintas memberikan kesan bahwa
Indonesia siap menerapkan kesembilan perjanjian HAM internasional dalam lingkup
nasionalnya. Namun demikian, untuk mengetahui efektifitas pelaksanaannya di lapangan
masih perlu dilakukan penelusuran lebih mendalam.
Saran
Dengan melihat pada pembahasan sebelumnya, maka penulis memberikan saran
bahwa dengan tidak adanya akibat hukum atas reservasi yang tidak sesuai dengan objek dan
tujuan dari perjanjian HAM internasional, maka reservasi substantif dapat terus dilakukan.
Dorongan harus terus dilakukan untuk menarik kembali reservasi, agar perlindungan HAM
dapat dilaksanakan secara penuh di wilayah negara peserta.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015
20
Daftar Referensi
Alexandrov, Stanimir A. “The Compulsory Jurisdiction of the International Court of Justice: How Compulsory Is It?”. Chinese Journal of International Law (2006) 5 (1): Hal. 29-38.
Asplund, Knut D, Suparman Marzuki dan Eko Riyadi (ed.). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. 2008.
Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Kompilasi Rekomendasi terhadap Indonesia oleh Mekanisme HAM PBB (Treaty Bodies, Special Procedures, Universal Review). Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. 2008.
Fournier, Johanna “Reservations and the Effective Protection of Human Rights”. Goettingen Journal of International Law 2. 2010.
Lijnzaad, Liesbeth. Reservations to UN- Human Rights Treatis: Ratifiy and Ruin?. Dordrecht: Martin Nijhoff Publishers. 1995.
Loschin, Lynn “The Persistent Objector and Customary Human Rights Law: A Proposed Analytical Framework”. 2 U.C. Davis J. Int’l L.& Pol’y 148. 1996.
Redgwell, Catherine. “Universality or Integrity? Some Reflections on Reservation to General Multilateral Treaties”, Oxford Journal of International Law.
Schabas, William A. “Reservation to the Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women and the Convention on the Rights of the Child”. 3 Wm. & Mary J. Women & L. 79. Vol 3 Issue 1. 1997.
Sinclair, I.M. The Vienna Convention n the Law of Treaties. Manchaster: The University of Manchaster. 1973.
Sri Mamudji, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.
Villinger, Mark E. Commentary on the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers. 2009.
Devidal, Pierrick. Reservations, Human Rights Treaties in the 21st century: from Universality to Integrity. Tesis Master University of Georgia. Athens. 2003.
International Law Commission. Vienna Convention on the Law of Treaties.1969. Ditandatangani pada 23 Mei 1969 di Wina. Berlaku mulai 27 Januari 1980.
Indonesia. Undang- Undang tentang Perjanjian Internasional. UU No. 24 tahun 2000. LN No.185 Tahun 2000.
United Nations. “Vienna Convention on the Law of Treaties Ratification Status”. <https://treaties.un.org/Pages/ViewDetailsIII.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXIII~1&chapter=23&Temp=mtdsg3&lang=en>. Diakses pada 26 April 2015.
Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015