Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

20
1 Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok: Studi Kasus Praktik Negara Indonesia Hagai, Adijaya Yusuf dan Arie Afriansyah Fakultas Hukum, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Reservasi terhadap perjanjian HAM internasional merupakan isu yang kontroversial. Tindakan negara untuk tidak terikat terhadap pasal dari perjanjian HAM internasional dianggap mengurangi kefektivitasan perlindungan Hak Asasi Manusia. Keberadaan reservasi dalam hukum internasional berangkat dari bentuknya yang merupakan hukum kebiasaan internasional dimana kemudian diatur ke dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa reservasi terhadap substansi perjanjian HAM internasional menjadi alasan mengapa aturan HAM tidak dapat berlaku secara efektif di wilayah negara peserta. Kedaulatan negara dan tuntutan partisipasi universal menjadikan reservasi terus tumbuh. Lebih jauh, Indonesia sebagai salah satu negara peserta dari perjanjian HAM Internasional Pokok juga melakukan beberapa reservasi meskipun hanya dalam hal prosedural. Kata kunci: Reservasi; perjanjian HAM internasional; substansi Reservation to the Core Human Rights Treaties: Case Study on Indonesia State Practice Abstract Reservation to human rights treaties is a controversial issue. State act to not bind to article from human rights treaties considered diminishing the effectiveness of human rights. The existence of reservation emerged from its form as customary international law which later codified into the Vienna Convention on the Law of Treaties. The research concluded that reservation to the substance of international human rights treaties is the reason that human right cannot be applied effectively in the state parties region. State sovereignty and the demand for universal participation made reservation continues to grow. Furthermore, Indonesia as one of the state parties of the core human rights treaties also takes part on making several reservations although only in procedural matters. Keyword: Reservation; human rights treaties; substance Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Transcript of Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

Page 1: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

1

Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok: Studi Kasus Praktik Negara Indonesia

Hagai, Adijaya Yusuf dan Arie Afriansyah

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Reservasi terhadap perjanjian HAM internasional merupakan isu yang kontroversial. Tindakan negara untuk tidak terikat terhadap pasal dari perjanjian HAM internasional dianggap mengurangi kefektivitasan perlindungan Hak Asasi Manusia. Keberadaan reservasi dalam hukum internasional berangkat dari bentuknya yang merupakan hukum kebiasaan internasional dimana kemudian diatur ke dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa reservasi terhadap substansi perjanjian HAM internasional menjadi alasan mengapa aturan HAM tidak dapat berlaku secara efektif di wilayah negara peserta. Kedaulatan negara dan tuntutan partisipasi universal menjadikan reservasi terus tumbuh. Lebih jauh, Indonesia sebagai salah satu negara peserta dari perjanjian HAM Internasional Pokok juga melakukan beberapa reservasi meskipun hanya dalam hal prosedural.

Kata kunci:

Reservasi; perjanjian HAM internasional; substansi

Reservation to the Core Human Rights Treaties: Case Study on Indonesia State Practice

Abstract

Reservation to human rights treaties is a controversial issue. State act to not bind to article from human rights treaties considered diminishing the effectiveness of human rights. The existence of reservation emerged from its form as customary international law which later codified into the Vienna Convention on the Law of Treaties. The research concluded that reservation to the substance of international human rights treaties is the reason that human right cannot be applied effectively in the state parties region. State sovereignty and the demand for universal participation made reservation continues to grow. Furthermore, Indonesia as one of the state parties of the core human rights treaties also takes part on making several reservations although only in procedural matters.

Keyword:

Reservation; human rights treaties; substance

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 2: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

2

Pendahuluan

Reservasi merupakan tindakan yang tidak terelakkan. Diperbolehkannya negara untuk

tidak tunduk pada pasal tertentu dalam suatu perjanjian HAM internasional merupakan hak

yang dipandang dapat meningkatkan keterlibatan negara- negara di dalam suatu perjanjian

internasional.1 Praktik reservasi terhadap perjanjian HAM internasional dimulai sejak

diadopsi Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide pada

tahun 1948.2 Perjanjian internasional ini yang menjadi titik tolak dengan banyaknya reservasi

dalam proses pembentukan perjanjian HAM internasional.3 Muncul anggapan bahwa reservasi

terhadap perjanjian HAM internasional mengurangi penerapan universal HAM.4 Hal ini tentu

menimbulkan permasalahan5 di dalam pembentukan perjanjian multilateral, dimana tidak

sedikit negara yang terlibat. Keberadaan reservasi diibaratkan dua sisi mata uang, satu sisi

untuk adanya keinginan untuk membuat perjanjian internasional diterima sebanyak-

banyaknya oleh negara (universal), tetapi di sisi lain ada integritas perjanjian itu sendiri yang

harus tetap dipegang.6

Dalam konteks praktik reservasi, masing- masing perjanjian HAM internasional ini

memiliki hubungan dengan reservasi yang bersifat kasuistis. Artinya, tidak semua pasal pada

setiap konvensi direservasi oleh negara peserta. Pada satu kasus ada konvensi yang mayoritas

direservasi pasal proseduralnya atau pasal substansialnya.

1Catherine Redgwell, “Universality or Integrity? Some Reflections on Reservation to General Multilateral

Treaties”, Oxford Journal of International Law, Hal. 247.

2William A. Schabas, “Reservation to the Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women and the Convention on the Rights of the Child”, 3 Wm. & Mary J. Women & L. 79, 1997, Vol 3 Issue 1, Hal. 80.

3Ibid.

4Johanna Fournier, “Reservations and the Effective Protection of Human Rights”, Goettingen Journal of International Law 2, 2010, Hal. 439.

5 Ruda dalam Lisbeth Lijnzaad, Reservations to UN- Human Right Treaties Ratify and Ruin?, Dordrecht:

Martinus Nijhoff Publishers, 1995), Hal. 7. Lihat juga Edward T. Swaine, “Reserving”, The Yale Journal of International Law Vol. 31, Hal. 307. Pierrick Devidal, Reservations, Human Rights Treaties in the 21st century: from Universality to Integrity, Tesis Master University of Georgia, (Athens, 2003), Hal. 2.

6Ibid

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 3: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

3

Indonesia sebagai negara berkembang memulai langkahnya untuk melakukan

perlindungan dan penegakan HAM pada era reformasi.7 Salah satu langkah yang diambil

untuk menjamin perlindungan HAM adalah dengan dicanangkannya Rencana Aksi Nasional

HAM (RAN-HAM). RAN-HAM bertujuan untuk menjamin peningkatan, pemajuan, dan

perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai- nilai, adat- istiadat, budaya

dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945,

serta memajukan budaya penghormatan HAM di Indonesia.8 Pada RAN-HAM Indonesia,

yang menjadi salah satu agenda penting adalah untuk meratifikasi perjanjian HAM

internasional pokok.9 Oleh karena itu, hal ini relevan tentu dengan melihat apakah Indonesia

telah meratifikasi kesembilan perjanjian HAM internasional serta bagaimana praktik

reservasinya.

Untuk penulisan ini, yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perkembangan aturan reservasi dalam sistem hukum internasional?

2. Bagaimanakah praktik reservasi negara peserta terhadap kesembilan perjanjian

HAM internasional?

3. Bagaimanakah praktik reservasi negara Indonesia terhadap kesembilan perjanjian

HAM internasional?

Tinjauan Teoritis

Reservasi adalah pernyataan sepihak, bagaimanapun dinyatakan atau dinamakan, yang

dibuat oleh negara pada saat penandatanganan, ratifikasi, persetujuan atas sebuah perjanjian

internasional untuk tidak mengikutsertakan atau memodifikasi akibat hukum dari pasal

7Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:

PUSHAM UII, 2008), Hal. 242.

8Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Kompilasi Rekomendasi terhadap Indonesia oleh Mekanisme HAM PBB (Treaty Bodies, Special Procedures, Universal Review), (Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia: 2008), Hal. ix.

9RAN-HAM periode 1998-2003, RAN-HAM 2004-2009 dalam Dirjen Multilateral, loc.cit.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 4: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

4

tertentu dalam hal penerapannya terhadap negara tersebut.10 Tindakan reservasi dalam

penelitian ini dilakukan terhadap perjanjian internasional khusus mengenai HAM (Hak Asasi

Manusia). HAM sendiri adalah hak yang melekat pada setiap manusia, dengan

kewarganegaraan apapun, dari tempat tinggal dimanapun, jenis kelamin, asal etnis, agama,

bahasa serta status.11 Perjanjian internasional atau treaty sendiri adalah perjanjian bersifat

internasional yang dibuat antar negara- negara dalam bentuk tertulis dan diatur menurut

hukum internasional, dan terwujud dalam satu instrumen atau lebih menurut pengaturan

tertentu.12

Metode Penelitian

Penelitian ini mengambil bentuk Yuridis- Normatif13, sehingga yang digunakan

sebagai metode penelitian adalah penelitian kepustakaan (library research). Penggunaan

metode ini untuk menjawab permasalahan- permasalahan dalam penelitian ini tidak terlepas

dari kebutuhan akan data yang dapat dipenuhi dengan pencarian bahan berupa buku atau

tulisan- tulisan lainnya maupun wawancara langsung dengan narasumber terkait. Dengan

melihat sudut ilmu yang dipakai, maka penelitian ini merupakan penelitian mono disipliner.

Penelitian mono disipliner adalah penelitian dengan pemilihan metode penelitian berdasarkan

satu disiplin ilmu . Pemilihan metode dalam penelitian ini didasarkan pada disiplin ilmu

hukum. Meskipun berkaitan dengan hukum hak asasi internasional, namun metode yang

digunakan terbatas pada penelitian hukum normatif. Dari sudut sifatnya, penelitian ini

merupakan penelitian eksplanatoris. Penelitian eksplanatoris bertujuan menggambarkan atau

menjelaskan lebih dalam suatu gejala. Penelitian ini digunakan untuk mempertegas atau

10 Vienna Convention on the Law of Treaties, Hal. 3.

11United Nations Human Rights, Your Rights

http://www.ohchr.org/en/issues/pages/whatarehumanrights.aspx (diakses 14 Maret 2014 3:59 PM)

12 Vienna Convention on the Law of Treaties, Hal. 3.

13Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum , (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 5: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

5

membuktikan hipotesa yang ada. Dari sudut tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian

evaluatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan meninjau perkembangan sebuah gejala yang

ada. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan

dengan metode penelitian kepustakaan.14 Data sekunder bersumber dari bahan pustaka hukum

antara lain:

1. Bahan hukum primer yaitu bahan- bahan hukum yang mengikat , terdiri dari:

Vienna Convention on The Law of Treaties; Undang- Undang No. 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional; International Covenant on Economic, Social and

Cultural Rights; International Covenant on Civil and Political Rights;

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial

Discrimination; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination

against Women; Convention on the Rights of the Child; Convention against

Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;

International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers

and Members of Their Families; International Convention for the Protection of

All Persons from Enforced Disappearance; Convention on the Rights of Persons

with Disabilities.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini penulis menggunakan hasil-

hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk jurnal, buku-

buku teks, dan buku- buku penunjang.

Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang

digunakan adalah data sekunder. Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data

sekunder, biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya . Dalam penelitian

ini pula diterapkan analisis data yang serupa. Sejalan dengan tipe problem solution, maka

bentuk hasil laporan penelitian ini akan berupa laporan yang meninjau pelaksanaan norma

yang berlaku dan mengemukakan masukan- masukan konstruktif.

14Ibid., Hal. 4.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 6: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

6

Hasil Penelitian

Reservasi merupakan tindakan yang telah lama berlaku Perkembangan reservasi dapat

ditelusuri pada 4 (empat) masa, yaitu: 1) periode sebelum Perang Dunia pertama; 2) periode

diantara perang; 3) periode Perang Dunia Kedua bagian pertama; dan 4) periode setelah

Perang Dunia Kedua bagian kedua. Tindakan reservasi mendapat perhatian lebih jauh dengan

adanya kasus reservasi terhadap Konvensi Genosida (The Genocide Case). Kasus ini

menitikberatkan keberadaan reservasi yang tidak sesuai dengan substansi dari Konvensi

Genosida (invalid reservation) menjadikan negara peserta tidak terikat dengan konvensi. Hasil

akhir yang dinyatakan oleh ICJ adalah bahwa reservasi yang ditolak oleh beberapa negara

tidak menjadi alasan sebuah negara untuk tidak menjadi negara peserta. Tetapi lain halnya

dengan reservasi yang tidak sesuai dengan objek dan tujuan konvensi, maka reservasi

dinyatakan tidak kompatibel dan negara tidak dapat digolongkan sebagai negara peserta. Dari

Advisory Opinion ICJ atas The Genocide Case, lahir suatu sistem yaitu object and purpose

test.

Berangkat dari kasus Genosida, prinsip kebulatan suara tidak lagi dipakai oleh

mayoritas negara- negara di dunia. Di benua Amerika selanjutnya berkembang sistem

reservasi baru, yaitu sistem Pan-Amerika. Berbeda dengan sistem kebulatan suara (unanimity

rule) yang kaku, dimana dibutuhkan persetujuan semua negara peserta atas reservasi yang

dibuat, maka lain dengan sistem Pan- Amerika. Sistem ini menganut pendekatan yang lebih

fleksibel. Sistem ini hanya membutuhkan satu persetujuan saja bagi reservasi agar dapat

berlaku. Konvensi Wina sendiri menggunakan sistem yang cenderung fleksibel (sistem Pan-

Amerika dengan kriteria kompatibilitas terbatas). Secara umum sampai saat ini, reservasi

diatur di dalam Konvensi Wina 1969 pada Pasal 19 sampai 23.

Pelaksanaan reservasi, merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh negara peserta

perjanjian HAM internasional. Atas dasar berbagai aturan maupun teori, kadangkala reservasi

yang tidak sesuai dengan objek dan tujuan dari konvensi menjadi tidak terelakkan. Hal ini

tentu menghalangi pelaksanaan HAM secara penuh. Sebagai negara peserta dari kesembilan

perjanjian HAM internasional, Indonesia juga melakukan reservasi.15 Meskipun terhadap 9

(sembilan) instrumen HAM internasional tidak semuanya direservasi oleh negara Indonesia,

tetapi ada pula tindakan deklarasi terhadap beberapa perjanjian.

15Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit., Hal. 2-4.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 7: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

7

Dengan tidak meratanya keberadaan aturan reservasi pada perjanjian HAM

internasional, muncul asumsi bahwa adanya kekosongan aturan reservasi. Pada kenyataannya,

hukum internasional mengakomodasi kemungkinan tersebut. Konvensi Wina tentang Hukum

Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969), sebagai sumber

hukum internasional, dalam salah satu pasalnya telah mengatur hal ini. Namun, perhatian

perlu diberikan kembali pada teori atau doktrin yang mendasari keberlakukan sebuah sistem,

khususnya reservasi. Karena tanpa adanya dasar yang kokoh, maka sistem hukum tidak dapat

berjalan sempurna.

Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki situasi berbeda dengan negara pada

umumnya perihal aturan reservasi. Dengan statusnya yaitu bukan negara peserta dari

Konvensi Wina, memberikan pertanyaan tersendiri karena banyak negara mengambil bagian

sebagai peserta dari konvensi ini.16 Selain itu, berdasarkan aturan pasal Konvensi Wina,

apabila tidak terdapat aturan reservasi pada suatu perjanjian internasional, maka aturan

reservasi dari Konvensi yang berlaku. Pernyataan ini dikuatkan dengan adanya Pasal 1

Konvensi Wina. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai status keberlakuan Konvensi

Wina terhadap Indonesia. Lebih lanjut, dengan lahirnya Undang- Undang tentang Perjanjian

Internasional tentu menjadi sebuah hal penting untuk ditelusuri lebih jauh.

Masih dalam konteks negara Indonesia, meskipun perhatian ditujukan kepada tindakan

reservasi, penulis mencoba mencoba mengetahui tidak saja reservasi tetapi juga deklarasi

yang dibuat oleh negara Indonesia, serta alasan dari tindakannya. Sebagai tambahan, reservasi

yang telah ditarik kembali oleh Indonesia dalam Konvensi Anak pada tahun 2005, penulis

menganggap masih relevan untuk dibahas. Terlebih lagi penting untuk diketahui alasan dari

pencabutan reservasi tersebut.

Dari data terakhir yang didapat penulis, Indonesia bukanlah negara peserta Konvensi

Wina.17 Dengan kondisi seperti itu, patut menjadi perhatian lebih lanjut mengenai praktik

Indonesia yang bukan negara peserta Konvensi Wina untuk melakukan reservasi terhadap

perjanjian HAM internasional dimana tidak terdapat aturan reservasi (silent to reservation).

Selain itu, teori dan/ atau aturan hukum apa yang mendasari Indonesia untuk dapat melakukan

reservasi.

16Dari data terakhir yang penulis dapatkan, Konvensi Wina memiliki 114 negara peserta dan 45 diantaranya telah melakukan penandatanganan. (https://treaties.un.org/Pages/ViewDetailsIII.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXIII~1&chapter=23&Temp=mtdsg3&lang=en diakses pada 26 April 2015).

17Status Ratifikasi Konvensi Wina di

https://treaties.un.org/pages/ViewDetailsIII.aspx?&src=&mtdsg_no=XXIII~1&chapter=23&Temp=mtdsg3&lang=en (diakses pada 22 February 2015 3:11 AM).

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 8: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

8

a. Pasal 1 Konvensi Wina

Dalam menjawab pertanyaan mengenai logika berpikir dari keberlakuan aturan

reservasi Konvensi Wina, maka Pasal 1 dapat menjadi langkah pertama sebagai dasar hukum.

Pada isi pasalnya disebutkan bahwa Konvensi Wina diterapkan berlaku untuk perjanjian

internasional (treaties) diantara negara- negara18 tidak terkecuali perjanjian HAM

internasional. Di sisi lain, Villiger mengutarakan pandangan bahwa perlu adanya pembatasan

mengenai lingkup keberlakukan dari Konvensi Wina,19 meski pada kenyataannya dalam kasus

perjanjian HAM internasional belum ada penelusuran mengenai hal ini.

Villiger berpendapat, Pasal 1 dianggap memberikan pernyataan yang tidak menutup

kemungkinan keberlakuan pasal-pasalnya terhadap perjanjian HAM internasional.20 Jika

diinterpretasikan menggunakan Pasal 2 Konvensi Wina yang berjudul ‘Use of terms’, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian HAM internasional dapat menggunakan Konvensi

Wina sebagai hukum yang mengatur (governing law). Perjanjian HAM internasional masuk

ke dalam definisi dari perjanjian (treaty) dari Pasal 2 huruf (a) Konvensi Wina, yaitu

perjanjian internasional tertulis yang dibuat diantara negara- negara dengan diwujudkan pada

sebuah instrumen atau dua atau lebih dan sesuai dengan maksud serta tujuannya.21 Berangkat

dari definisi tersebut dengan melihat ciri dari kesembilan perjanjian HAM internasional, ciri

yang dimaksud Konvensi Wina terpenuhi, dan tidak ada alasan bahwa Konvensi Wina tidak

dapat diberlakukan terhadapnya. Mengenai keberlakuan aturan reservasi, maka aturan

reservasi Konvensi Wina secara otomatis berlaku dengan adanya Pasal 1 apabila tidak ada

atau tidak diatur perihal reservasi terhadap suatu perjanjian HAM internasional. Sehingga,

Pasal 19- 23 Konvensi Wina menjadi dasar hukum bagi negara peserta perjanjian

internasional apabila tidak ada aturan reservasi (silent to reservation).

18Bunyi Pasal 1 Konvensi Wina secara langsung adalah sebagai berikut: “The present Convention applies to treaties between States” Lihat pula Villiger, op.cit., Hal. 58.

19Villiger, op.cit., Hal. 58.

20Villiger, op.cit., Hal. 59.

21Pasal 2 huruf (a) Konvensi Wina berbunyi sebagai berikut: “treaty”means an international agreement

concluded between States in written for and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrument and whatever its particular designation;”

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 9: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

9

b. Doktrin Penolakan Terus-Menerus (The Persistent Objector Doctrine)

Kembali ke negara Indonesia, kedudukannya yang bukan merupakan anggota peserta

dari Konvensi Wina melahirkan pertanyaan apakah aturan reservasi dapat berlaku

terhadapnya. Posisi Indonesia yang bukan persistent objector terhadap VCLT,

menjadikannya dapat mengambil bagian dari suatu perjanjian internasional yang tidak

mengatur reservasi.22 Oleh sebab itu, apabila tidak ada aturan mengenai reservasi dalam suatu

perjanjian HAM internasional, maka Konvensi Wina dapat berlaku. Lebih jauh, karena negara

Indonesia bukan negara yang melakukan penolakan terus- menerus terhadap Konvensi Wina,

maka Indonesia dapat turut serta menjadi negara peserta dan tunduk pada Konvensi Wina.

Persistent objector adalah negara- negara yang sejak norma itu atau kebiasaan itu

dilakukan, secara resmi dan terbuka mereka melakukan penolakan,23 dimana dalam

pembahasan ini, norma tersebut adalah aturan reservasi. Persistent objector atau penolakan

secara terus- menerus adalah doktrin turunan dari kedaulatan yang dimiliki oleh sebuah

negara.24 Kedaulatan (sovereignity) adalah prinsip yang sangat fundamental dalam hukum

internasional. Doktrin ini dibentuk pada saat negara secara terus-menerus melakukan

penolakan terhadap sebuah norma yang akan menjadi hukum kebiasaan internasional

(customary international law). Doktrin ini juga membatasi keberlakuan dari hukum

internasional.25 Persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan tindakan ini, antara lain:

pertama, sebuah negara harus melakukan penolakan terhadap norma yang baru dibentuk atau

pada tahap awal, dan secara terus-menerus (kontinu) menolak. Bukti penolakan harus jelas,

dan negara penolak dapat membantah adanya asumsi penerimaan atas norma. Sikap diam atau

gagal melakukan penolakan dianggap sebagai bentuk penerimaan (acceptance). Kedua,

penolakan (objection) harus secara konsisten dilakukan26.

22Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian

Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.

23 Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.

24Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian

Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.

25Holning Lau, “Rethinking the Persistent Objector Doctrine in International Human Rights Law”, Chicago Journal of International Law, 2005, Hal.495.

26Lynn Loschin, “The Persistent Objector and Customary Human Rights Law: A Proposed Analytical Framework”, 2 U.C. Davis J. Int’l L.& Pol’y 148, 1996.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 10: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

10

Telah disinggung sebelumnya bahwa penolakan secara terus-menerus dilakukan terhadap

norma atau kebiasaan internasional, maka patut pula dipertanyakan mengenai aturan reservasi

Konvensi Wina termasuk diantara keduanya. Seperti yang dinyatakan pada bagian pembukaan

Konvensi Wina, bahwa konvensi ini merupakan kodifikasi dan pengembangan lebih lanjut

(progressive development) dari hukum perjanjian internasional yang telah ada.27 Berdasarkan

pengamatan Villiger, untuk sementara waktu Pasal 19-23 dianggap sebagai hukum kebiasaan

internasional.28

Usaha perlu dilakukan untuk melihat apakah sebenarnya aturan VCLT khususnya

adalah customary international law. Berdasarkan putusan dari North Continental Shelf, untuk

dapat menentukan apakah suatu norma merupakan hukum kebiasaan internasional dapat

melihat dari 2 (dua) unsur, yaitu: 1) state practice; dan 2) opinion juris sive necessitates.29

State practice atau praktek dari negara- negara merupakan elemen objektif yang esensial

sifatnya untuk sebagai persyaratan dari pembentukan hukum kebiasaan internasional. Syarat

kedua, yaitu opinio juris, merupakan elemen subjektif yang juga menjadi faktor penentu.30

Opinion juris adalah pendapat dari pemikir bahwa kebiasaan dilakukan karena didorong oleh

kewajiban hukum.31 Hal inilah yang mengakibatkan bahwa apabila tidak terdapat dorongan

untuk melakukan kewajiban, maka bukanlah sebuah hukum kebiasaan internasional, tetapi

hanya kebiasaan internasional (international custom). Pada akhirnya, dapat disimpulkan

bahwa dengan adanya aturan Konvensi Wina, yaitu Pasal 1 Konvensi Wina, serta doktrin

Penolakan Terus-Menerus menjadi dasar bagi Indonesia untuk dapat tunduk pada aturan

reservasi Konvensi Wina.

Aturan Reservasi dalam Undang- Undang Perjanjian Internasional

Undang- Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI)

adalah penjabaran lebih lanjut mengenai aturan hukum tentang pembuatan dan pengesahan

27Lihat bagian pembukaan Konvensi Wina paragraf ke-7.

28Villiger, op.cit., Hal. 325.

29International Court of Justice, Summary of the Summary of the Judgment of 20 February 2009: North Sea

Continental Shelf Cases, ( http://www.icj-cij.org/docket/index.php?sum=295&code=cs2&p1=3&p2=3&case=52&k=cc&p3=5 Diakses pada 23 Februari 2015 2:28 PM)

30Lihat pula Villiger, op. cit., Hal. 10.

31Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 11: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

11

perjanjian internasional yang telah diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945.32 Reservasi

menurut UUPI disebut juga sebagai “pensyaratan” yaitu merupakan perjanjian sepihak suatu

negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional,

dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau

mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.33 Pasal yang mengatur

reservasi adalah Pasal 8. Ayat (1) dari pasal 8 menyatakan bahwa Indonesia dapat melakukan

tindakan reservasi dan/atau deklarasi, kecuali ditentukan lain di perjanjian internasional. Pada

penjelasan ayat (1) dipaparkan bahwa reservsi hanya dilakukan terhadap perjanjian

internasional dengan bentuk multilateral dan tidak bertentangan dengan objek dan tujuan dari

perjanjian internasional. Selanjutnya di ayat (2) diatur bahwa tindakan pengesahan diperlukan

atas reservasi yang dibuat oleh negara Indonesia. Bentuknya menurut penjelasan ayat (2)

dapat dituangkan ke dalam bentuk piagam ratifikasi atau piagam aksesi. Di ayat (3) diatur

mengenai penarikan kembali (withdrawal) reservasi dan deklarasi yang dibuat oleh negara

Indonesia dapat dilakukan dengan membuat pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang

ditetapkan dalam perjanjian internasional.

Pada pokoknya isi dari Pasal 8 UUPI selaras dengan Pasal 19 Konvensi Wina, hal ini

menunjukkan bahwa Indonesia secara langsung dan tidak langsung sudah tunduk kepada

Konvensi Wina karena Indonesia telah melakukan kebiasaan negara-negara (state practice)

dan itu sifatnya diluar kewajiban hukum (out of legal obligation).34 Lebih jauh, Indonesia pun

memasukkan ketentuan Konvensi Wina mengenai reservasi ke dalam ketentuan hukum

nasionalnya. Sehingga, persyaratan dari wujud hukum kebiasaan internasional (customary

international law) dari reservasi yang terdiri dari 2 (dua) indikator, antara lain praktek negara

(state practice) dan opinion juris telah terpenuhi, ditambah praktek reservasi yang telah

dilakukan Indonesia.

Praktek Reservasi negara Indonesia terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok

Setelah menelaah dasar hukum maupun dasar pembenar lain atas tindakan reservasi

secara umum, fokus pembahasan beralih kepada reservasi terhadap instrumen HAM

internasional pokok. Dari pengamatan yang dilakukan penulis, banyak reservasi dilakukan

32Indonesia, Undang- Undang tentang Perjanjian Internasional, UU No. 24 tahun 2000, LN No.185 Tahun

2000, TLN No. 4012.

33Definisi reservasi dapat ditemukan di Pasal 1 ayat 5 UUPI

34Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 12: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

12

terhadap substansi dari perjanjian HAM internasional.35 Menurut Lijnzaad, langkah reservasi

yang dilakukan negara membatasi penegakan HAM di tingkat nasional negara- negara

peserta.36

Indonesia, berdasarkan pengamatan penulis pada saat ini, bukanlah negara yang

mereservasi substansi dari perjanjian HAM internasional. Sebaliknya, dari 9 (sembilan)

perjanjian, semua reservasi bersifat prosedural, sehingga tidak begitu krusial perlindungan

HAM tidak dapat ditegakkan dalam konteks substansial. Hanya saja, perlu dikembalikan lagi

kepada implementasi riil Indonesia di lingkup wilayah nasional, selain dengan memperhatikan

pembentukan aturan hukum serta fakta yang ada di lapangan.

1. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)

Indonesia melakukan ratifikasi terhadap konvensi ini dengan mengeluarkan Undang-

Undang No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social

and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Penerimaan instrumen oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dan tanggal mulai berlaku

pada 23 Februari 2006.37 Terhadap konvensi ini, Indonesia tidak melakukan reservasi yang

bersifat substansial dan hanya melakukan deklarasi. Pernyataan deklarasi Indonesia atas Pasal

1 ICESCR yaitu bahwa terkait dengan Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan

Bangsa Jajahan, Deklarasi Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Baik dan

Kerjasama antar Negara, serta ayat yang relevan dari Deklarasi Wina dan Program Kerja

1993, mengenai istilah “hak untuk menentukan diri sendiri” dalam pasal yang dimaksud tidak

berlaku untuk rakyat dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat dan tidak dapat

diinterpretasikan sebagai melegitimasikan dan mendorong tindakan yang dapat

memecahbelah atau merusak seluruh ataupun sebagai dari kesatuan negara yang merdeka dan

berdaulat.38

35Untuk lebih lengkapnya, dapat melihat pembahasan dari Bab III.

36Lijnzaad, op.cit., Hal. 3.

37Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit., Hal. 6.

38Pernyataan deklarasi Indonesia terhadap Pasal 1 secara langsung adalah sebagai berikut: "With reference to

Article 1 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the Government of [the] Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words "the right of self-determination" appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 13: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

13

2. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

Komitmen Indonesia untuk melakukan perlindungan HAM salah satunya adalah

dengan mengadopsi International Covenant on Civil and Political Rights ke dalam legislasi

nasional. Langkah tersebut terwujud dari lahirnya Undang- Undang No. 12 tahun 2005

tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik).39 Atas konvensi ini tidak ada reservasi dari

Indonesia, dan yang ada hanya deklarasi terhadap Pasal 1 ICCPR. Alasan pengajuan ini dapat

ditemukan dalam pernyataan deklarasi yang serupa dengan deklarasi Indonesia atas ICESCR,

yaitu bahwa mengenai istilah “hak untuk menentukan nasib sendiri” tidak dapat diberlakukan

atau disahkan untuk mendorong tindakan disintegrasi secara keseluruhan maupun sebagian

dari wilayah negara yang merdeka dan berdaulat.40

3. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination

(ICERD)

Reservasi Indonesia atas Kovensi dilakukan terhadap Pasal 22 dimana mengatur

tentang perselisihan antara dua pihak atau lebih mengenai interpretasi atau penerapan

Konvensi yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi atau prosedur yang diatur Konvensi,

maka atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa dapat diajukan ke Mahkamah

Internasional, kecuali kedua belah pihak menyetujui pilihan penyelesaian sengketa lain.41

Alasan yang diajukan oleh Indonesia adalah dalam persengketaan hanya dapat diajukan

dengan menunjuk Mahkamah Internasional dengan didasarkan pada kesepakatan dari pihak-

which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states.”

39 Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit., Hal. 6.

40Pernyataan deklarasi Indonesia yang dimaksud adalah sebagai berikut: "With reference to Article 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights, the Government of the Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation Among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words "the right of self-determination" appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states."

41Bunyi Pasal 22 ICERD adalah sebagai berikut:“Any dispute between two or more States Parties with

respect to the interpretation or application of this Convention, which is not settled by negotiation or by the procedures expressly provided for in this Convention, shall, at the request of any of the parties to the dispute, be referred to the International Court of Justice for decision, unless the disputants agree to another mode of settlement.”

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 14: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

14

pihak yang bersengketa.42 Hal ini berbeda dengan aturan awalnya yang mengizinkan

pengajuan ke Mahkamah Internasional atau lembaga sengketa lain hanya oleh satu pihak saja.

4. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women

(CEDAW)

Reservasi dilakukan oleh negara Indonesia terhadap Pasal 29 ayat (1) Konvensi ini.43

Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 dari undang- undang pengesahan44 maupun dokumen status

ratifikasi dari CEDAW. Alasan dari reservasi Indonesia adalah bahwa Indonesia tidak dapat

menerima suatu kewajiban untuk mengajukan sengketa internasional, dimana Indonesia

terlibat, kepada Mahkamah Internasional .45 Dari data status ratifikasi CEDAW, pernyataan

yang diajukan Indonesia atas reservasinya adalah bahwa Indonesia menganggap dirinya tidak

terikat pada aturan Pasal 29 ayat (1) CEDAW dan berkeyakinan bahwa perlu adanya

persetujuan dari semua pihak yang bersengketa untuk mengajukan penyelesaian sengketa

mengenai interpretasi atau implementasi Konvensi baik ke Mahkamah Internasional atau

lembaga arbitrase.46

5. Convention on the Rights of the Child (CRC)

Ratifikasi Indonesia atas Konvensi Hak Anak menggunakan bentuk yang berbeda

dengan ratifikasi instrumen HAM internasional lainnya. Bentuk Keputusan Presiden

(Keppres) dipakai untuk melakukan penerapan hak- hak anak dengan mengeluarkan

Keputusan Presiden Nomor 9 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the

42Indonesia, Undang- Undang tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All

Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapuan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965), UU No. 29 Tahun 1999, LN No. 83 Tahun 1999, TLN No. 3852.

43Pernyataan reservasi Indonesia adalah sebagai berikut:

“With regard to article 29 of the CEDAW, the Government of the Republic of India declares that it does not consider itself bound byparagraph 1 of this article.”

44Bunyi Pasal 1 dari UU No. 24 tahun 1984 yaitu: “Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.”

45Indonesia, Undang- Undang tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), UU No. 7 Tahun 1984, LN No. 29 Tahun 1984.

46CEDAW Ratification Status https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-

8&chapter=4&lang=en (diakses pada 2 Maret 2015 11:30 PM)

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 15: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

15

Child (Konvensi tentang Hak- Hak Anak). Dasar hukum dibentuknya aturan hukum ini adalah

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 dari Undang- Undang 1945.47

Terhadap Konvensi Hak Anak, Indonesia melakukan reservasi sebelumnya melakukan

reservasi tetapi melakukan penarikan kembali.48 Alasan dari reservasi Indonesia sebelumnya

terhadap Konvensi adalah tindakan ratifikasi Konvensi tidak memberikan arti bahwa

Indonesia melakukan penerimaan kewajiban yang melebihi dari Undang- Undang Dasar 1945

atau penerimaan diluar dari yang telah diatur dari Undang- Undang Dasar 1945.49 Dari data

yang didapat penulis, reservasi negara Indonesia pada awalnya dilakukan terhadap Pasal

1,14,16, 17,21,22, dan 29 CRC. Namun kemudian pada 11 Januari 2005, Indonesia

melakukan penarikan kembali (withdrawal) terhadap Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22, dan 29 dari

Konvensi.50 Alasan Indonesia meski tidak dinyatakan secara tertulis pada piagam penarikan

kembali, dapat ditelaah dari sudut pandang keadaan atau kondisi dalam negeri Indonesia.

Sebagai negara yang menghadapi era baru reformasi, Konvensi Hak Anak merupakan salah

satu perjanjian HAM internasional pertama yang diratifikasi dengan reservasi.51 Alasan

Indonesia untuk melakukan reservasi karena Indonesia menganggap dirinya belum mampu.52

Dengan ditarik kembali, menandakan kondisi Indonesia yang lebih baik dalam melindungi

hak- hak anak tersebut dalam bentuk jaminan hukum.53

Penarikan kembali sangat tergantung dari perkembangan internal suatu negara. Pada

tahun 2003, Indonesia melahirkan peraturan perundang- undangan mengenai anak, dengan

47Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak- Hak Anak), Keppres No.9 Tahun 1990, LN No. 57 Tahun 1990.

48Pernyataan penarikan kembali reservasi negara Indonesia adalah sebagai berikut: “The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees the fundamental rights of the child irrespective of their sex, ethnicity or race. The Constitution prescribes those rights to be implemented by national laws and regulations. The ratification of the Convention on the Rights of the Child by the Republic of Indonesia does not imply the acceptance of obligations going beyond the Constitutional limits nor the acceptance of any obligation to introduce any right beyond those prescribed under the Constitution. With reference to the provisions of articles 1, 14, 16, 17, 21, 22 and 29 of this Convention, the Government of the Republic of Indonesia declares that it will apply these articles in conformity with its Constitution.”

49Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit., Hal 18.

50Berdasarkan Status Pencabutan Reservasi Konvensi Hak Anak (CRC) oleh Pemerintah RI dalam Direktorat

Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, op.cit, Hal. 19.

51Hasil wawancara dengan Pak Irwansyah Mukhlis staff bagian Hukum dan HAM, Departemen Perjanjian Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 24 Desember 2014, Jakarta.

52 Hasil wawancara dengan Pak Irwansyah Mukhlis staff bagian Hukum dan HAM, Departemen Perjanjian Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 24 Desember 2014, Jakarta.

53 Hasil wawancara dengan Pak Irwansyah Mukhlis staff bagian Hukum dan HAM, Departemen Perjanjian

Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 24 Desember 2014, Jakarta.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 16: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

16

tetap mempertahankan reservasi atas CRC, maka akan timbul kontradiksi perlindungan hak

anak.54 Jadi, perkembangan dalam negeri menjadi alasan untuk penarikan kembali reservasi.

6. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment

or Punishment (CAT)

Reservasi Indonesia atas Konvensi dilakukan terhadap Pasal 30 ayat (1) CAT.55 Isi

dari pasal itu sendiri mengatur bahwa setiap sengketa mengenai interpretasi maupun

implementasi CAT diantara dua atau lebih negara peserta Konvensi dimana tidak dapat

diselesaikan melalui negosiasi, maka dengan permintaan salah satu pihak dapat diajukan ke

lembaga arbitrase. Apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan arbitrase

para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai lembaga arbitrase, maka salah satu

dari negara tersebut dapat mengajukan sengketa kepada Mahkamah Internasional atas

permintaan sesuai dengan Statuta Pengadilan.56 Alasan Indonesia atas reservasi pasal tersebut

adalah bahwa penyelesaian sengketa mengenai pemberlakuan maupun penginterpretasian

Konvensi yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur yang dimaksud pasal ini dapat diajukan

ke Mahkamah Internasional hanya berdasar pada persetujuan semua pihak- pihak yang

bersengketa dan bukan hanya dari salah satu pihak saja.57 Selain reservasi, deklarasi juga

dilakukan Indonesia terhadap Konvensi yaitu atas Pasal 20 ayat (1), (2), dan (3). Indonesia

menyatakan bahwa pemberlakuan dari pasal harus sesuai dengan prinsip kedaulatan dan

integritas territorial dari negara.58 Atas keseluruhan tindakan reservasi prosedural negara

54Hasil wawancara dengan Pak Irwansyah Mukhlis staff bagian Hukum dan HAM, Departemen Perjanjian

Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 24 Desember 2014, Jakarta.

55Pernyataan reservasi Indonesia adalah sebagai berikut: “The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of article 30, paragraph 1, and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the Convention which cannot be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes.”

56Bunyi Pasal 30 ayat (1) CAT secara lengkap adalah sebagai berikut: “Any dispute between two or more States Parties concerning the interpretation or application of this Convention which cannot be settled through negotiation, shall, at the request of one of them, be submitted to arbitration. If within six months from the date of the request for arbitration the Parties are unable to agree on the organization of the arbitration, any one of those Parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in conformity with the Statute of the Court.”

57Pernyataan reservasi Indonesia secara lengkap adalah sebagai berikut:

“The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of article 30, paragraph 1, and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the Convention which cannot be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes.”

58Pernyataan deklarasi Indonesia secara lengkap adalah sebagai berikut:

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 17: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

17

Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa, setelah sampai pada konsepsi kedaulatan negara

(sovereignity) sebagai dasar untuk melakukan reservasi, konsep ini juga relevan dalam

membahas tindakan reservasi Indonesia.59 Dengan adanya kedaulatan negara, maka Indonesia

tidak berada dibawah koordinasi dari negara peserta lain (kedudukan setara antara negara

peserta).

Mengenai reservasi prosedural bentuk ini, International Law Commission dalam

Guide to Practice on Reservations to Treaties dapat dijadikan sebagai acuan. Pada poin

3.1.5.7 berjudul “Reservations to treaty provision concerning dispute settlement or the

monitoring of the implementation of the treaty” menyatakan bahwa mengenai sengketa yang

dimaksud dianggap tidak kompatibel dengan objek dan tujun dari perjanjian internasional,

kecuali: 1) reservasi merupakan wujud untuk memodifikasi efek dari pasal penting konvensi;

2) reservasi tersebut mengecualikan negara yang melakukan reservasi dari mekanisme

penyelesaian sengketa suatu perjanjian internasional.60

Pada konsep penyelesaian sengketa (dispute settlement), diperlukan adanya

persetujuan dari kedua belah pihak. Prakteknya untuk negara Indonesia sendiri adalah

meskipun Indonesia telah menjadi negara peserta dari UN Charter, tetapi Indonesia

melakukan reservasi terhadap yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) dari International

Court of Justice (ICJ). Menguatkan posisi Indonesia, sifat wajib dari yurisdiksi ICJ sendiri,

sebenarnya tidak sepenuhnya wajib karena berdasarkan adanya persetujuan dari negara-

negara. 61 Tetapi kemudian konsep unilateral declaration (pernyataan sepihak) untuk terikat

pada ICJ dalam penyelesaian sengketa masih terus berlaku,62 hal ini yang membuat Indonesia

“The Government of the Republic of Indonesia declares that the provisions of paragraphs 1, 2, and 3 of article 20 of the Convention will have to be implemented in strict compliance with the principles of the sovereignty and territorial integrity of States.”

59Hasil wawancara dengan Pak Haryo B. Nugroho staff bagian Politik dan Keamanan, Departemen Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 29 Desember 2014, Jakarta.

60Secara lengkap isi dari bagian ini adalah sebagai berikut: “A reservation to a treaty provision concerning dispute settlement or the monitoring of the implementation of the treaty is not, in itself, incompatible with the object and purpose of the treaty, unless: (i) the reservation purports to exclude or modify the legal effect of a provision of the treaty essential to its raison d’être; or (ii) the reservation has the effect of excluding the reserving State or international organization from a dispute settlement or treaty implementation monitoring mechanism with respect to a treaty provision that it has previously accepted, if the very purpose of the treaty is to put such a mechanism into effect.” Dalam United Nations, Guide to Practice on Reservations to Treaties, (United Nations, 2011), Hal. 18.

61Lihat Stanimir A. Alexandrov, “The Compulsory Jurisdiction of the International Court of Justice: How Compulsory Is It?”, Chinese Journal of International Law (2006) 5 (1): Hal. 29-38.

62Ibid.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 18: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

18

mengambil sikap untuk tidak tunduk terhadap mekanisme hukum yang ada. Pentingnya

kedaulatan negara bagi Indonesia yang menyebabkan Indonesia melakukan reservasi pasal

prosedural dari konvensi-konvensi HAM internasional, sehingga perlu adanya persetujuan

dari Indonesia dalam pengambilan langkah yang dimaksud.

Dalam konteks substantif, Indonesia sebagai negara yang menjunjung HAM, memiliki

tanggung jawab untuk mengambil langkah konkrit perlindungan HAM dengan meratifikasi

perjanjian HAM internasional. Dari pengamatan keseluruhan atas tindakan reservasi

prosedural negara Indonesia, maka Indonesia berkewajiban untuk memberikan perlindungan

HAM secara penuh. Hal ini berarti bahwa dari sisi substansi semua perjanjian HAM yang

telah diratifikasi, Indonesia tidak memiliki keberatan dan siap melaksanakannya.

Kesimpulan

Perjanjian internasional adalah sebuah instrumen yang penting dalam usaha untuk

menjalin hubungan dengan negara- negara di dunia. Perannya yang begitu penting

menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum internasional. Dalam pembentukan

perjanjian internasional ada suatu tindakan yang disebut sebagai reservasi. Reservasi

merupakan tindakan yang dilakukan pada saat negara menyatakan akan tunduk pada

perjanjian internasional (consent to be bound). Reservasi juga merupakan suatu hak yang lahir

karena adanya prinsip kedaulatan negara. Dengan membuat reservasi terhadap suatu

perjanjian internasional, memberikan dampak tidak berlakunya aturan yang direservasi dari

perjanjian tersebut. Pada pokoknya, selama 4 (empat) periode waktu, terjadi perubahan

paradigma mengenai penentuan berlaku atau tidaknya sebuah reservasi. Diawali dengan

pendekatan yang berbasis persetujuan (consent based) berubah menjadi pendekatan berbasis

objek dan tujuan (object and purpose based).

Tindakan reservasi terhadap perjanjian HAM internasional pada tulisan ini difokuskan

pada 9 (sembilan) konvensi. Dari sembilan perjanjian HAM internasional masih banyak

ditemukan reservasi substantif dari sebagian negara peserta, yang mana dapat dianggap tidak

sesuai dengan objek dan tujuan dari konvesi, namun sesuai dengan prosedur. Hal ini

menjadikan tujuan dari perjanjian HAM internasional tidak dapat diterapkan secara efektif di

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 19: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

19

wilayah negara peserta.

Indonesia sebagai negara peserta dari kesembilan perjanjian HAM internasional,

hanya melakukan reservasi terhadap 3 (tiga) reservasi dan 3 (tiga) deklarasi. Reservasi

Indonesia dilakukan terhadap CAT atas Pasal 30 ayat (1), CEDAW atas Pasal 29 dan ICERD

atas Pasal 22. Kesemua reservasi Indonesia bersifat prosedural dan tidak melanggar objek

serta tujuan dari konvensi. Mengenai pernyataan deklarasi, negara Indonesia melakukannya

terhadap CAT yaitu Pasal 20 ayat (1) sampai (3), ICESCR yaitu Pasal 1, dan ICCPR atas

Pasal 1. Inti dari deklarasi Indonesia atas Pasal 20 ayat (1) CAT adalah bahwa penerapan isi

pasalnya disesuaikan dengan prinsip kedaulatan serta integritas territorial negara. Dua

deklarasi yang lain, yaitu atas ICESCR dan ICCPR mengungkapkan hal yang serupa, bahwa

“hak untuk menentukan nasib sendiri” tidak dapat dibenarkan apabila mendorong tindakan

disintegrasi negara Indonesia. Secara substansi, Indonesia tidak memiliki keberatan dengan

kesembilan perjanjian HAM internasional.

Dalam hal posisinya yang tidak menjadi peserta dari Konvensi Wina, Indonesia

memiliki Undang- Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dimana di

dalamnya terdapat aturan reservasi. Pengaturan tindakan reservasi pada UU Perjanjian

Internasional diatur pada Pasal 8, dimana pasal ini pada prinsipnya berkesinambungan dengan

Pasal 19 Konvensi Wina 1969.

Dengan tidak adanya reservasi secara substansial, sepintas memberikan kesan bahwa

Indonesia siap menerapkan kesembilan perjanjian HAM internasional dalam lingkup

nasionalnya. Namun demikian, untuk mengetahui efektifitas pelaksanaannya di lapangan

masih perlu dilakukan penelusuran lebih mendalam.

Saran

Dengan melihat pada pembahasan sebelumnya, maka penulis memberikan saran

bahwa dengan tidak adanya akibat hukum atas reservasi yang tidak sesuai dengan objek dan

tujuan dari perjanjian HAM internasional, maka reservasi substantif dapat terus dilakukan.

Dorongan harus terus dilakukan untuk menarik kembali reservasi, agar perlindungan HAM

dapat dilaksanakan secara penuh di wilayah negara peserta.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015

Page 20: Reservasi terhadap Perjanjian HAM Internasional Pokok ...

20

Daftar Referensi

Alexandrov, Stanimir A. “The Compulsory Jurisdiction of the International Court of Justice: How Compulsory Is It?”. Chinese Journal of International Law (2006) 5 (1): Hal. 29-38.

Asplund, Knut D, Suparman Marzuki dan Eko Riyadi (ed.). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. 2008.

Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Kompilasi Rekomendasi terhadap Indonesia oleh Mekanisme HAM PBB (Treaty Bodies, Special Procedures, Universal Review). Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. 2008.

Fournier, Johanna “Reservations and the Effective Protection of Human Rights”. Goettingen Journal of International Law 2. 2010.

Lijnzaad, Liesbeth. Reservations to UN- Human Rights Treatis: Ratifiy and Ruin?. Dordrecht: Martin Nijhoff Publishers. 1995.

Loschin, Lynn “The Persistent Objector and Customary Human Rights Law: A Proposed Analytical Framework”. 2 U.C. Davis J. Int’l L.& Pol’y 148. 1996.

Redgwell, Catherine. “Universality or Integrity? Some Reflections on Reservation to General Multilateral Treaties”, Oxford Journal of International Law.

Schabas, William A. “Reservation to the Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women and the Convention on the Rights of the Child”. 3 Wm. & Mary J. Women & L. 79. Vol 3 Issue 1. 1997.

Sinclair, I.M. The Vienna Convention n the Law of Treaties. Manchaster: The University of Manchaster. 1973.

Sri Mamudji, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.

Villinger, Mark E. Commentary on the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers. 2009.

Devidal, Pierrick. Reservations, Human Rights Treaties in the 21st century: from Universality to Integrity. Tesis Master University of Georgia. Athens. 2003.

International Law Commission. Vienna Convention on the Law of Treaties.1969. Ditandatangani pada 23 Mei 1969 di Wina. Berlaku mulai 27 Januari 1980.

Indonesia. Undang- Undang tentang Perjanjian Internasional. UU No. 24 tahun 2000. LN No.185 Tahun 2000.

United Nations. “Vienna Convention on the Law of Treaties Ratification Status”. <https://treaties.un.org/Pages/ViewDetailsIII.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXIII~1&chapter=23&Temp=mtdsg3&lang=en>. Diakses pada 26 April 2015.

Reservasi terhadap ..., Hagai, FH UI, 2015