Rere Bab 2 Dan 3
-
Upload
seven-squadrons -
Category
Documents
-
view
121 -
download
11
Transcript of Rere Bab 2 Dan 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Daun Sukun (arthocarpus atilis)
1. Nama Tumbuhan
Gambar 1. Daun sukun
2. Klasifikasi Tumbuhan
Berikut adalah klasifikasi tanaman sukun:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Magnolyophyta
Kelas : Magnolyopsida
Bangsa :Urticales
Suku : Moraceae
Marga : Artocarpus
Jenis : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg.
Nama daerah tanaman sukun adalah:
Sumatera : Gomu (Melayu) Kulu (Aceh) Kulur (Batak) Kalawi
(Minangkabau) Kaluwih (Lampung)
Jawa : Kelewih (Sunda) Kluwih (Jawa) Kolor (Madura)
Bali : Kalewih (Bali)
Nusa tenggara : Kolo (Bima) Lakuf (Timor)
Sulawesi : Gamasi (Makassar) Kuloro (Selayar) Ulo (Bugis)
Maluku : Limes, Unas (Seram) Dolai (Halmahera) (Ahmad
Nur R., 2009)
3. Morfologi tumbuhan
Habitus : Pohon tinggi mencapai 30 m, dengan stek
umumnya pendek dan bercabang rendah. Buah yang tidak
bermusim, namun mengalami puncak pengeluaran buah dan
bunganya dua tahun sekali.
Batang : Batangnya besar, agak lunak dan bergetah
banyak. Bercabang banyak, pertumbuhan cenderung ke atas.
Permukaan kasar, coklat, tingginya mencapai 20 meter. Kayunya
lunak dan kulit kayu sedikit kasar.
Daun : Daunnya lebar sekali, bercanggap menjari
dan berbulu kasar. Tunggal, berseling, lonjong, ujung runcing,
pangkal meruncing, tepi bertoreh, panjang 50-70 cm, lebar 25-50
cm, pertulangan menyirip tebal, permukaan kasar hijau.
Bunga : Bunga-bunga sukun berkelamin tunggal
(bunga betina dan bunga jantan terpisah), tetapi berumah satu.
Bungany keluar dari ketiak daun pada ujung cabang dan ranting.
Bunga jantan berbentuk tongkat panjang disebut ontel, panjang 10-
20 cm berwarna kuning. Bunga wanita berbentuk bulat bertangkai
pendek (babal) seperti pada nangka. Kulit buah menonjol rata
sehingga tampak tidak jelas yang merupakan bekas putik dari bunga
sinkarpik.
Buah : Buah sukun terbentuk dari keseluruhan
jambak bunganya. Buahnya terbentuk bulat atau sedikit bujur.
Ukuran garis pusatnya ialah diantara 10 hingga 30 cm. Berat normal
buah sukun ialah diantara 1 hingga 3 kg. ia mempunyai kulit yang
berwarna hijau kekuningan dan terdapat segmen-segmen petak
berbentuk polygonal pada kulitnya. Segmen polygonal ini dapat
menentukan tahap kematangan buah sukun. Polygonal yang lebih
besar menandakan buahnya telah matang manakala buah yang belum
matang mempunyai segmen-segmen polygonal yang lebih kecil dan
lebih padat. Buah-buah sukun mirip dangan buah keluwih (timbul).
Perbedaannya adalah duri buah sukun tumpul, bahkan tidak tampak
pada permukaan buahnya.
Biji : Berbentuk ginjal, panjang 3-5 cm, berwarna
hitam.
Akar : Akar tanaman sukun mempunyai akar
tunggang yang dalam dan akar samping yang dangkal. Akar samping
dapat tumbuh tunas yang sering digunakan untuk bibit (Ahmad Nur
R., 2009).
4. Kandungan kimia
Daun sukun memiliki kandungan kimia antara lain saponin,
polifenol, tanin, asam hidrosianat, asetilkolin, riboflavin sedangkan
kulimbatangnya mengandung flavonoida. Daun sukun yang telah kuning
mengandung fenol, kuersetin dan kamfero (Ahmad Nur R., 2009).
5. Khasiat
Daun sukunefektif mengobati penyaki seperti liver, hepatitis,
pembesaran limpa, jantung, ginjal, tekanan darah tinggi, kencing manis dan
juga bisa untuk penyembuh kulit yang bengkak atau gatal-gatal. Ada juga
yang memanfaakan batangnya untuk obat mencairkan darah bagi wanita
yang baru 8-10 hari melahirkan. Zat-zat yang terkandung di daunnya pun
juga bisa mampu untuk mengatasi peradangan (Ahmad Nur R., 2009).
B. Bakteri
1. Pengertian bakteri
Bakteri adalah suatu organisme yang jumlahnya paling banyak dan
tersebar luas, dibandingkan dengan organisme lainnya. Umumya merupakan
organisme uniseluler (bersel tunggal), prokariota, tidak mengandung
klorofil, serta berukuran mikroskopik (sangat kecil) (Dwidjoseputro, 1989).
2. Shigella dysentriae
a. Definisi shigella dysentriae
Shigella species adalah kuman patogen usus yang telah lama dikenal
sebagai agen penyebab penyakit disentri basiler. Berada dalam tribe
Escherichiae karena sifat genetik yang saling berhubungan,
tetapidimasukkan dalam genus tersenderi yaitu genus Shigella karena gejala
klinik yang disebabkannya bersifat khas. Sampai saat ini terdapat 4 spesies
Shigella yaitu:
1. Shigella dysenteriae
2. Shigella flexneri
3. Shigella boydii
4. Shigella sonnei
Gambar 2. Shigella dysentria
b. Taksonomi Shigella dysentriae
Divisio : Monomychota
Subdivisio : Schizomycetea
Clasiss : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Familia : Enterobacteriaceae
Tribe : Eschericeae
Genus : Shigella
Species : Shigella dysenteriae (Anonim. 2011 ).
c. Morfologi dan Fisiologi Shigella dysentriae
Shigella dysentriae merupakan spesies bakteri Shigella yang paling
umum ditemukan di Asia Timur dan Amerika Tengah. Bakteri ini
merupakan bakteri patogen usus yang umumnya dikenal sebagai bakteri
penyebab disentri (disentri basiler)
Shigella dysentriae termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dadan
tribus Escherichiae. Genus Shigella dinamakan sesuai dengan nama ahli
bakteriologi kebangsaan Jepang, Kiyoshi Shiga, yang menemukan basilus
disentri pada tahun 1897. Genus Shigella dibedakan dari genus-genus lain
karena menyebabkan gejala klinikyang khas. Hingga saatb ini telah
ditemukan 4 spesies Shigella, yaitu Shigella dysentriae, Shigella flexneri,
Shigella boydii, dan Shigell sonnei. Keempat spesies tersebut dibedaakan
berdasarkan komponen utama yang dimiliki oleh antigen O yang terdapat
pada setiap genus Shigella. Setiap spesies dari genus Shigella dibedakan
menjadi beberapa serotipe berdasarkan komponen minor antigen O. Shigella
dysentriae mempunyai 10 serotipe.
Shigella dysentriae merupakan bakteri Gram-negatif berukuran 0,5-
0,7 μm x 2-3 μm. Bentuk morfologi shigella dysentriae adalah batang
pendek atau basil tunggal, tidak berspora, tidak berflagel sehingga tidak
bergerak, dan dapat memiliki kapsul. Bentuk morfologi shigella dysentriae
sangat mirip dengan bakteri Salmonella, tetapi Shigella dysentriae dapat
dibedakan berdasarkan reaksi farmentasi dan uji serologi. Shigella
dysentriae tidak membentuk gas pada reaksi fermentasi dan lebih rentan
terhadap berbagai bahan kimia jika dibandingkan dengan salmonella. Dalam
media perbenihan, shigella dysentriae membentuk koloni yang halus dan
mengilap.
Shigella dysentriae merupoakan bakteri hidup dalam suasana aerob
atau fakultatif anaerob. Suhu optimum perrtumbuhan bakteri ini adalah 37 oC dan pH optimum 6,4-7,8. Shigella dapat memfermentasi berbagai macam
karbohidrat, kecuali laktosa, menghasilkan asam tanpa gas. Berdasarkan
reaksi fermentasi, Shigella dysentriae dapat dibedakan dari spesies Shigella
lain karena memberikan hasilnegatif pada fermentasi manitol.
Shigella dysentriae memiliki daya tahan yang rendah terhadap
berbagai zat kimia, mati pada suhu 55 oC, dan bertahan hidup dalam fenol
0,5% selama 5 jam dan dalam fenol 1% selama 1 jam. Akan tetapi, bakteri
ini tahan terhadap suhu dan kelembapan rendah, yakni dapat bertahan hidup
dalam es selama 2 bulan. Di alam bebas, bakteri ini dapat bertahan di air
laut selama 2-5 bulan (DR. Maksum Radji, 2011).
d. Patogenesis dan Gejala Klinik
Disentri basiler atau shigellosis adalah infeksi usus akut yang dapat
sembuh sendiri yang disebabkan oleh Shigella. Shigellosis dapat
menyebabkan 3 bentuk diare yaitu:
Disentri klasik dengan tinja yang konsisten lembek disertai darah,
mukus dan pus
Watery diarrhea
Kombinasi keduanya
Masa inkubasi adalah 2-4 hari, atau lebih lama sampai 1 minggu.
Oleh seorang yang sehat diperlukan 200 kuman untuk menyebabkan sakit.
Kuman masuk dan berada diusus halus, menuju terminal ileum dan kolon
melekat pada permukaan mukosa dan menembus lapisan epitel kemudian
berkembang biak d lapisan mukosa. Berikutnya adalah terjadinya reaksi
peradangan yang dapat menyebabkan terlepasnya sel-sel dan timbulnya
tukak pada permukaan mukosa usus. Yang terjadi organisme menembus
dinding usus dan menyebar kebagian tubuh yang lain. Reaksi peradangan
yang hebat tersebut mungkin merupakan faktor penting yang membatasi
penyakit ini hanya pada usus, selain itu juga menyebabkan timbulnya gejala
klinik berupa demam, nyeri abdomen dan tenesmus ani. Penyembuhan
spontan dapat terjadi dalam waktu 2-7 hari terutama pada penderita dewasa
yang sehat sebelumnya, sedangkan pada penderita yang sangat muda atau
tua dan juga pada penderita dengan gizi buruk penyakit ini akan
berlangsung lama. Pernah ditemukan terjadainya siptikemia pada penderita
dengan gizi buruk dan berakhir dengan kematian. (Anonim, 1994)
C. Ekstraksi Pelarut
1. Pengertian
Ekstrak adalah sediaan pekat didapat dengan cara mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau hewani, memakai pelarut yang sesuai,
kemudian hampir semua pelarut dan ekstrak yang tersisa diuapkan
sedemikian rupa sehingga memenuhi ketentuan baku yang ditetapkan
(Anonim, 1995).
Ekstraksi merupakan penarikan senyawa kimia dari jaringan
tumbuhan ataupun hewan dengan mengggunakan penyari tertentu. Terdapat
beberapa macam metode ekstraksi, diantaranya adalah maserasi, perkolasi,
dan soxhletasi. Untuk mengekstraksi senyawa kimia yang ada dalam
tumbuhan terlebih dahulu bahan dikeringkan kemudian dihaluskan dengan
derajat halus tertentu lalu diekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Untuk
mendapatkan sari yang kental dapat dilakukan dengan menguapkan hasil
ekstraksi dengan bantuan rotary evaporator (Harborne, 1987).
2. Maserasi
Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerace, yang artinya
“merendam”, merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam menstruum sampai meresap dan
melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut
(Ansel, 2008).
Maserasi merupakan cara penyarian yang paling sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif yang akan larut akibat adanya perbedaan
konsentrasi larutan zat aktif di dalam dan di luar sel. Larutan yang pekat
akan didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi
keseimbangan konsentrasi larutan di luar dan di dalam sel (Anonim, 1986).
Dalam proses maserasi, obat yang akan diekstraksi biasanya
ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, bersama
menstruum yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat, dan isinya dikocok
berulang-ulang lamanya biasanya berkisar dari 2-14 hari (Ansel, 2008).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan
dan peralatannya sederhana dan mudah digunakan. Penyarian dengan
maserasi dipakai untuk simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah
larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang
dalam larutan penyari, tidak mengandung benzoin, sitrak, dan lain-lain.
Penyarian dengan maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan
konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga derajat perbedaan
konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam dan di luar sel
tetap terjaga (Anonim, 1986).
3. Larutan penyari
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang
baik (optimal) untuk kandungan senyawa berkhasiat atau yang aktif,
sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari kandungan
senyawa lainnya. Ekstrak total hanya mengandung sebagian besar
kandungan senyawa yang diinginkan, maka cairan pelarut dipilih yang
melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung.
Pemilihan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan
penyari yang baik harus memenuhi beberapa kriteria yaitu murah, mudah
diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak menguap dan
tidak mudah terbakar, selektif hanya menarik zat yang berkhasiat yang
dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, diperbolehkan dalam
peraturan. Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari
adalah air, etanol, etanol-air, atau eter (Anonim, 1986).
Air sebagai penyari memiliki gaya ekstraksi yang menonjol untuk
banyak bahan kandungan simplisia yang aktif secara terapeutik, tetapi
sekaligus mampu mengekstraksi sejumlah besar bahan pengotor.
Keburukannya adalah dapat menyebabkan reaksi pemutusan secara
hidrolitik dan fermentative yang menyebabkan cepat rusaknya bahan aktif,
serta mudah dikontaminasi (Voight, 1995).
Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif,
kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun,
netral, absorpsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala
perbandingan, panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit
(Anonim, 1986). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel
dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut.
Etanol dapat melarutkan senyawa aktif tannin, polifenol,
poliasetilen, flavonol, terpenoid, sterol, alkaloid, dan propolis, sedangkan air
melarutkan pati, tannin, saponin, terpenoid, polipeptida, dan lektin (Cowan,
1999). Etanol (70%) sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif
yang optimal, dimana bahan penggangu hanya skala kecil yang turut ke
dalam cairan penyari (Voight, 1995).
D. Antibiotik
1. Definisi Antibiotik
Antibiotika adalah suatu substansi kimia yang diperoleh dari, atau
dibentuk oelh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi
rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya.
Antibiotik tersebar di dalam alam, dan memegang peranan penting dalam
mengantur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah, dan kompos.
Antibiotik yang kini banyak dipergunakan, kebanyakan diperoleh dari genus
Bacillus, Penicillium dan Streptomyces (Anonim,1994)
Sifat-sifat antibiotik adalah sebagai berikut:
a. Menghambat atau membunuh pathogen tanpa merusak host
b. Bersifat bakterisid dan bukan bakteriostatik
c. Tidak menyebabkan resistensi pada kuman
d. Berspektrum luas
e. Tidak bersifat alergik atau menimbulkan efek samping bila
dipergunkana dalam jangka waktu lama
f. Tetap aktif dalam plasma, ccairan badan, atau eksudat
g. Larut di dalam air serta stabil
h. Bactericidal level di dalam tubuh cepat dicapai dan bertahan
untuk waktu lama (Anonim,1994).
2. Mekanisme kerja antibiotik
Antibiotik mengganggu (interfere) bagian-bagian yang didalam sel,
yaitu:
a. Sintesis dinding sel
b. Fungsi membran
c. Sintesis protein
d. Metabolisme asam nukleat
e. Metabolisme intermedier (Anonim,1994).
3. Penggolongan Antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya
Antibiotik mengganggu (interface) bagian-bangian yang peka di
dalam sel, yaitu sintesis dinding sel, fungsi membrane, sintesis protein,
metabolism asam nukleat, metabolism intermedier.
a. Antibiotik yang mempengaruhi dinding sel bakteri
Antibiotik yang mempengaruhi dinding sel adalah penisilin,
fosfomisin, sikloserin, ristosetin, vankomisin, dan basitrasin. Sel bakteri
dikelilingi oleh suatu struktur kaku yang disebut dengna dinding sel,
melindungi membrane protoplasma di bawahnya terhadap trauma, baik
osmotik, maupun mekanik. Mekanisme kerja penisilin mengganggu
pembentukan dinding sel terutama pada tahap terakhir. Penggunaan
penisilin ini dapat menyebabkan sferoplas atau kuman tanda dinding sel
(kuman bentuk L)
b. Antibiotik yang merusak membrane sel
Antibiotik yang dapat merusak dinding sel adalah polimiksin.
Membran sel memegang peranan vital dalam sel yang merupakan pembatas
osmotic bagi bebasnya difusi antara lingkungan luar dan dalam sel.
c. Antibiotik yang mengganggu fungsi DNA
Sejumlah obat antimikroba berfungsi terutama menggangu/ merusak
struktur dan fungsi DNA, akan tetapi karena toksik, maka hanya beberapa
saja yang dapat dipakai di klinik. Meskipun demikian obat-obat ini sangat
bermanfaat sebagai alat biokimia, dan memberikan sumbangan yang penting
pada biologi molekuler. Mekanisme kerja antibiotic ini adalah dengan
mengganggu struktur double helix DNA bakteri tersebut. Antibiotik yang
menggangu fungsi DNA adalah mitomisin dan asam nalidiksat. Pemberian
mitomisin ke dalam biakan bakteri yang sedang tumbuh, akan
mengakibatkan hambtan pada pembelahan sel. Asam nalidiksat
dipergunakan dalam pengobatan infeksi saluran kemih yang disebabkan
oleh bakteri gram negatif.
d. Antibiotik yang menghambat sintesis protein
Sintesis protein merupakan hasil akhir dari dua proses utama, yaitu
transkripsi atau sintesis asam ribonukleat yang DNA-dependent dan
translasi atau sintesis protein yang RNA-de-pendent. Antibiotik yang
mampu menghambat sintesis proses ini, akan menghambat sintesis protein.
Antibiotik yang menghambat sintesis protein adalah aktinomisisn,
rifampisin, streptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, klindamisin.
(Anonim,1994).
4. Siprofloksasin (Ciprofloksacin)
Derivat siklopropil dari kelompok fluorkinolon (1987) berkhasiat
lebih luas dan kuat daripada nalidiksinat dan pipemidinat, juga
menghasilkan kadar darah/jaringan dan plasma-t½ yang lebih tinggi.
Penggunaan sistemisnya lebih luas dan meliputi ISK berkomplikasi, infeksi
saluran pernapasan bila disebabkan oleh Pseudomonas aurogenosa, infeksi
saluran cerna, jaringan lunak, kulit, dan gonore.
Resorpsinya baik dengan BA ca 70% dan kadar plasma maksimal
tercapai 0,5-1,5 jam setelah penggunaan oral. PP-nya ca 30%.
Dimetabolisasikan menjadi 4 metabolis aktif yang diekskresikan melalui
urin (55%) dan feces (39%). Plasma- t½ nya 3-5 jam dan mencapai kira-kira
8 jam pada ganguan fungsi ginjal yang serius.(Tan dan Raharja, 2007)
E. Uji Aktivitas Antimikroba
1. Metode difusi
a. Metode disc diffusion (tes Kirby & Bouwer)
Untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi
antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami
mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen
antimikroba pada permukaan media agar. (Pratiwi, 2008).
b. E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum
inhibitory concentration) atau KHM (kadar hambat minimum). Pada metode
ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar
terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang
telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih
yang ditimbulkannya yang menunjuk kadar agen antimikroba yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Pratiwi,
2008).
c. Ditch-plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang
diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam
cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji
(maksimum 6 macam) digoreskan ke arah parit yang berisi agen
antimikroba (Pratiwi, 2008).
d. Cup-plate technique / sumuran
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan
pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji. (Pratiwi,
2008).
e. Gradient-plate tecnique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikoba pada media agar
secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan
larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan petri
dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua dilanjutkan diatasnya.
Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba
berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6
macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil
diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroorganisme
maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil
goresan (Pratiwi, 2008).
2. Metode dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth
dilution) dan dilusi padat (solid dilution).
a. Metode dilusi cair/ broth dilution test (serial dilution)
Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau
kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bactericidal
concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan
adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium
cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba
pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba
uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM
tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan
mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam.
Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai
KBM (Pratiwi, 2008).
b. Metode dilusi padat / solidilution test
Prinsip dari metode ini sama dengan metode pengenceran berderet.
Pada metode ini masing-masing konsentrasi zat antibakteri ditambahkan
pada media agar terlebih dahulu, kemudian dituang ke cawan petri hingga
memadat. Selanjutnya, bakteri diinokulasi pada agar tersebut. Konsentrasi
terendah dari zat antibakteri yang menghambat pertumbuhan bakteri
dinyatakan sebagai konsentrasi hambatan minimal (Pratiwi, 2008).
F. Hipotesis
Ekstrak etanol daun sukun (arthocarpus atilis) mampu menghambat
pertumbuhan Shiggella dysentriae. Pada konsentrasi 60% ekstak etanol
daun sukun (arthocarpus atilis) yang paling berpotensi dalam menghambat
pertumbuhan Shiggella dysentriae.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan melihat
zona hambat ekstrak etanol daun sukun terhadap bakteri pada seri
konsentrasi 10%b/v, 20%b/v, 40%b/v, dan 60%b/v
B. Tempat dan Waktu
1. Tempat
Penelitian dilakukan di Laboratorium Obat Tradisional Akademi
Farmasi Nasional dan Laboratorium Mikrobiologi Akademi Farmasi
Nasional pada bulan Januari – Februari 2012.
2. Waktu
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari – Februari 2012.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah daun sukun (arthocarpus atilis) yang diperoleh dari
daerah Pengkol Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
2. Sampel
Sampel adalah ekstrak etanol daun sukun (arthocarpus atilis)
konsentrasi 10% b⁄v, 20% b⁄v, 40% b/v, dan 60% b/v
D. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah daya hambat ekstrak etanol daun sukun
(arthocarpus atilis) konsentrasi 10% b⁄v, 20% b/v, 40% b⁄v, dan 60%
b/v.terhadap pertumbuhan Shigella dysentriae
E. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun
sukun (arthocarpus atilis) dengan konsenterasi 10% b⁄v, 20% b/v, 40% b⁄v,
dan 60% b/v
b. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah diameter zona hambat
ekstrak etanol daun sukun (arthocarpus atilis) terhadap bakteri Shigella
dysentriae
c. Variabel Terkendali
Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi penelitian di
laboratorium dikerjakan secara aseptis dan steril
F. Kerangka pikir
Pembuatan serbuk daun sukun (arthocarpus atilis)
Pembuatan ekstrak daun sukun (arthocarpus atilis) dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%
Uji bobot konstan atau uji susut pengeringan
Uji kandungan kimia ekstrak daun sukun (arthocarpus atilis)
Uji penetapan kadar etanol ekstrak daun
sukun
Regenerasi bakteri Shigella
dysentriae kedalam media NA miring
Penanaman bakteri ke dalam media NA plate
Uji aktivitaas antibakteri ekstrak etanol daun sukun (arthocarpus
atilis) terhadap Shigella dysentriae dengan konsenterasi 10% b⁄v, 20% b/v, 40% b⁄v, dan
60% b/v
Kontrol (-) etanol
Kontrol (+) ciprofloxac
in
Analisi data
G. Instrumen Penelitian
1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik,
lampu spiritus, autoclav, ohse bulat, ohse lurus, petridisk steril, kapas, labu
ukur, erlenmeyer,cawan porselin, beker glass,tabung reaksi, pipet steril,
oven, inkubator, object glass, mikroskop, dan blender.
2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah ekstrak daun sukun, biakan murni
Shigella dysentriae, spiritus, media Nutrien Agar (NA) plate, NA miring,
etanol 70%, akuadest, reagen Dragendroff, reagen Mayer, Fecl3, KOH, eter,
etil asetat, NaOH, CaCl2, HCl, ammonia, klorofrom
H. Cara kerja
1. Persiapan Alat
Alat-alat gelas disterilkan dalam oven pada suhu 175 oC selama 90
menit. Ohse disterilkan dengan cara dipanaskan di atas api langsung sampai
berwarna merah. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 21oC selama
15 menit.
2. Prosedur Kerja
a. Pembuatan serbuk daun sukun
Daun sukun yang masih segar, dicuci hingga bersih. Diiris-iris kecil.
Daun sukun dikeringkan dalam oven sampai kering, pada suhu 50oC.
Haluskan sampai menjadi serbuk dengan menggunakan blender dan
kemudian diayak.
b. Pembuatan ekstrak daun sukun
Hasil
Kesimpulan
Timbang serbuk kering daun sukun. Masukan dalam bejana,
tambahkan etanol 70% sebanyak 7,5 kali bobot serbuk dan diaduk. Maserasi
selama 5 hari dalam bejana tertutup dengan pengadukan tiap hari. Pisahkan
maserat dari enapan, bilas enapan dengan penyarian secukupnya. Enapkan
maserat selama 2 hari ditempat sejuk (jangan diaduk). Pisahkan maserat dari
enapan dengan hati-hati. Uapkan maserat hingga diperoleh ekstrak. Ambil 1
gram ekstrak yang diencerkan dengan etanol 70% sampai dengan volume 10
ml untuk 10%. Ambil 2 gram ekstrak yang diencerkan dengan etanol 70%
sampai dengan volume 10 jml untuk 20%. Ambil 4 gram ekstrak yang
diencerkan dengan etanol 70% sampai dengan volume 10 ml untuk 40%.
Ambil 6 gram ekstrak yang diencerkan dengan etanol 70% sampai dengan
volume 10 ml untuk 60%. (Anonim, 1997)
c. Uji bobot konstan
Dengan pernyataan bobot tetap yang tertera pada uji susut
pengeringan dan penetapan sisa pemijaran dimaksudkan bahwa dua kali
penimbangan berturut-turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap gram sisa
yang ditimbang. Penimbangan dilakukan setelah zat dikeringkan atau
dipijarkan lagi selama 1 jam. Dengan pernyataan bobot yang dapat
diabaikan, dimaksudkan bobot yang tidak lebih dari 0,5 mg tiap g sisa yang
ditimbang (Anonim, 1997).
d. Uji penetapan kadar etanol
Masukkan 5 gram ekstrak kedalam labu destilasi, tambahkan air
dengan volume 75 ml. Destilasi hingga diperoleh destilasi kurang lebih 48
ml, destilat ditampung dalam labu takar 50 ml. Dalam labu takar tersebut
ditambah dengan aquades sampai tanda batas. Piknometer kosong,
piknometer berisi destilat, dan bpiknometer berisi aquades ditimbang
bobotnya, dan dihitung bobot jenis. Kadar etanol dapat diketahui dengan
menggunakan daftar tabel bobot jenis dan kadar etanol (Anonim, 1997).
e. Uji kandungan kimia daun sukun
Uji flavonoid
0,5 gram ekstrak ditambah 10 ml methanol dipanaskan
kemudian disaring panas-panas diperoleh filtrat diuapkan ditambah 5
ml klorofrom sampai larut ditambah 10 ml aquades diambil fase air.
1. 1 ml filtrat ditambah 2 tetes FeCl3 1% sampai terbentuk warna hitam
2. 1 ml filtrat ditambah 2 tetes NaOH 10% sampai terbentuk warna
hijau kebiruan
3. 1 ml filtrat ditambah 2 tetes CaCl2 sampai terbentuk warna orange
Uji Saponin
0,5 gram ekstrak ditambah 5 ml aquades kemudian dikocok kuat
dalam tabung reaksi sampai terbentuk busa
Uji Tanin
0,5 gram ekstrak ditambah 10 ml aquades kemudian disaring
sampai diperoleh filtrat. Filtrat ditambah FeCl3 sampai terbentuk
warna hijau kehitaman/biru
f. Regenerasi Bakteri
Membuat biakan agar miring
Menggoreskan biakan dari stok bakteri ke media nutrient agar (NA)
miring yang masih baru
Inkubasikan pada suhu 370C selama 24 jam
g. Uji daya antibakteri ekstrak daun sukun dengan metode difusi
Inokulasikan koloni sampel kuman Shigella dysentriae dari biakan
Na miring ke dalam NaCl 0,9% steril, bandingkan kekeruhan yang terjadi
dengan standar Neflometer Mc Farland seri tabung 5 hingga diperoleh
kekeruhan yang sama. Inokulasikan suspensi tersebut secara perataan
menggunakan kapas lidi steril pada NA plate. Biarkan mengering, inkubasi
pada suhu 370C selama 15 menit. Paperdisk kosong yang telah dicelupkan
ke dalam ekstrak etanol daun sukun dengan kosentrasi 10%b/v, 20%b/v,
40%b/v, dan 60%b/v, diletakkan pada permukaan NA plate yang telah
diinokulasikan suspensi bakteri. Sebagai control positif menggunakan paper
disk antibiotik??, control negatif menggunakan paper disk yang dicelupkan
kedalam pelarut etanol steril. Inkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Daerah bening di sekitar paper disk menunjukkan hasil uji positif mampu
menghambat pertumbuhan bakteri. Diameter daerah bening yang diperoleh
kemudian diukur menggunakan jangka sorong.
I. Analisi data
Hasil yang positif atau dapat menghambat pertumbuhan Shigella
dysentriae ditandai dengan terbentuknya zona hambat atau zona jernih pada
area di sekitar disk, sedangkan hasil negatif atau tidak dapat menghambat
pertumbuhan Shigella dysentriae ditandai dengan tidak terbentuknya zona
hambat atau zona jernih pada area disekitar disk. Diameter zona hambat atau
zona jernih yang diperoleh kemudian dianalisis statistika dengan
menggunakan software program SPSS 17 dengan metode one way anova.