reproduksi kapitalisme
-
Upload
andy-setiawan -
Category
Documents
-
view
52 -
download
8
Transcript of reproduksi kapitalisme
REPRODUKSI DESAIN BANGUNAN “MINIMALIS” SEBAGAI
ALAT MEMPERKOKOH IDEOLOGI KAPITALIS
1
Pendahuluan
Arsitektur modern hadir pada awal abad akhir abad 19 dengan
semangat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Perkembangan dunia arsitektur tidak lepas dari perkembangan arus
pemikiran dunia pada saat yang bersamaan.
Arsitektur selalu membawa semangat ideologi tertentu sesuai
dengan pemikiran sang arsitek atau dalam kasus tertentu bahkan
ideologi suatu kelompok atau negara.
Di sisi lain, Indonesia sangat kaya dengan arsitektur
vernacular, hampir setiap suku di Indonesia mempunyai kekhasan
dalam perwujudan rumah mereka. Munculnya bentuk arsitektur non
vernacular di Indonesia bisa diamati semenjak kedatangan para
arsitek Belanda. Dengan idelogi kolonialismenya, Belanda ingin
menunjukkan hegemoninya sebagai bangsa yang lebih beradab
dengan menghadirkan bangunan neo-klasik gaya eropa di tanah hindia.
Selanjutnya arsitek Belanda generasi tahun 1920 an, sesuai dengan
angin ideologi humanisme, yang diterjemahkan dalam politik balas
budi, mulai memikirkan asimilasi dalam desain mereka, yang
menggabungkan semangat arsitektur modern dengan konteks iklim
tropis di Indonesia. Arsitek semacam Thomas Karsten, Maclaine Pont,
merupakan sedikit dari yang bisa dikatagorikan dalam kelompok arus
ini.
Setelah Indonesia merdeka, persoalan ideologi dalam
perkembangan arsitektur terus berlanjut. Di era orde lama arsitektur
diarahkan sebagai salah satu corong kemajuan bangsa, dengan
digalakkannya desain arsitektur bergaya universal style, sebagai
penanda kemajuan Indonesia, Presiden Sukarno ingin menunjukkan
bahwa bangsa indonesia pantas disejajarkan dengan bangsa bangsa
lain di dunia. Hal ini bisa dibaca sebagai sebuah cerminan ideologi
perlawanan terhadap hegemoni barat.
Ketika orde baru naik, persoalan counter hegemony barat
sudah tidak lagi mengemuka, ideologi orde baru adalah ideologi
2
pembangunan, yang tidak lain ditandai dengan pencapaian
pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin. Berlawanan dengan orde
lama yang berusaha menampilkan semangat universalisme bangsa
Indonesia, orde baru cenderung ingin menampilkan jati diri bangsa
Indonesia dalam segala hal. Dalam ranah arsitektur mulai digalakkan
pemakaian bentuk bentuk arsitektur tradisional yang digabungkan
dengan arsitektur modern. Sehingga banyak kita jumpai bangunan
pencakar langit kotak kaca yang tiba tiba atapnya berbentuk joglo atau
atap minangkabau.
Kejenuhan terhadap penyeragaman arsitektur ini semakin
terasa di kalangan arsitek muda. Akhirnya mulai muncul arsitek arsitek
muda yang berusaha mendobrak kemandekan ini dengan
menghadirkan karya-karya sesuai idealisme prinsip desain.
Sekelompok arsitek muda tersebut pada sekitar akhir 90 an mulai
membentuk sebuah jaringan dan menamakan kelompoknya sebagai
Arsitek Muda Indonesia.
Dari karya karya mereka inilah mulai dikenal apa yang saat ini
sering disebut masyarakat dengan desain bangunan minimalis. Pada
awalnya yang bisa menerima desain hasil karya AMI adalah kalangan
muda tepelajar yang pada umumnya pernah mengenyam pendidikan
di luar negeri. Sehingga gaya ini sering diidentikan dengan gaya kaum
muda, terpelajar, dan mapan. Sinergi antara arsitek muda dan klien
muda tersebut menghasilkan sebuah kelompok alternatif yang
berusaha mendobrak kemapanan dan kemandekan arsitektur di
Indonesia saat itu.
Ideologi perlawanan itu yang ingin diperjuangkan untuk
menyegarkan kembali dunia arsitektur di Indonesia, dari hegemoni
penguasa yang berusaha memaksakan keseragaman sebuah bentuk
arsitektur.
Desain yang sesungguhnya diusung oleh AMI sebetulnya tidak
bisa diseragamkan sebagai arsitektur gaya minimalis. Bahkan
penamaan itu ditentang oleh beberapa kalangan AMI. Para
pengembang properti swasta serta majalah populer desain lah yang
3
pada mulanya memberikan katagorisasi atau penamaan desain karya
AMI sebagai gaya minimalis.
Gaya minimalis merupakan sebuah gaya arsitektur yang
dikenalkan oleh John Pawson. Pawson yang merupakan arsitek
kelahiran Inggris mencetuskan gaya ini setelah mengeksplorasi
estetika dari komponen fundamental desain yaitu, bidang, cahaya, dan
material. Dalam bukunya “Minimum” yang terbit tahun 1996, terlihat
manifestonya mengenai minimalisme yang berakar dari konsep desain
simplicity dan pengaruh unsur ajaran zen dari Jepang, mengingat
Pawson sempat lama menjadi guru bahasa Inggris di Jepang.
Menurut Pawson, berbicara mengenai minimalis bukanlah
pembicaraan seputar gaya atau fashion arsitektur, akan tetapi
merupakan kesadaran untuk berfikir tentang kualitas bidang,
permukaan dan pencahayaan.
Membutuhkan sebuah kedalaman untuk bisa memahami arti
kenyamanan dalam rumah minimalis. Pawson mengatakan bukanlah
terletak pada sofa yang lebar dan dinding bercat putih, arti sebuah
kenyamanan, akan tetapi ketika mengetengahkan sesuatu seperti apa
yang seharusnya, disitulah letak kenyamanan.
Masih menurut Pawson, bahwa manusia cenderung tertarik
untuk memikirkan masa depan, perkiraan akan masa depan itulah
yang coba dipenuhi dan diwujudkan pada saat ini. Dalam arsitektur,
hal ini harus diwadahi dalam sebuah kerangka yang jelas. Sebuah
ruang yang simple dan bersih akan menawarkan sebuah potensi untuk
selalu berkembang. Disinilah estetika dari minimalisme, dimana
kesederhanaan bersatu secara paradoks dengan kekayaan dan
sensualitas.1
Secara visual bangunan rancangan Pawson biasanya berwarna
putih, warna selain putih memang berasal dari warna materialnya,
1 John pawson, To be minimalist ... or maximalist?,
http://www.guardian.co.uk/culture/2004/apr/19/guesteditors1
4
misalnya kayu atau logam. Jujur dalam penggunaan material, dan
bersih dari ornamen.
Bahkan pada beberapa proyeknya, terdapat contoh ekstrem, betapa
sangat diminimalkan penggunaan detail, misalnya disembunyikannya
handel pintu.
de Camaret House, sebuah contoh karya desain minimalis John Pawson, rumahtinggal
di Perancis
Dilihat dari kedalaman konsep sebuah bangunan minimalis
menurut Pawson tersebut, boleh dikatakan apa yang disebut bangunan
minimalis yang akhir akhir ini berkembang di Indonesia sejatinya
bukanlah bangunan minimalis. AMI sendiri enggan menyebut hasil
karya mereka disebut minimalis. Disinilah peran media membentuk
pendapat umum yang menggolongkan bangunan hasil karya AMI
sebagai bangunan minimalis, penggolongan tersebut didasarkan
beberapa ciri visual yang sering muncul pada karya karya AMI,
misalnya penggunaan atap datar, warna dinding abu abu, pemakaian
louvre berupa batang lurus horizontal, pengaplikasian material
concreet expose, dan bukaan jendela kaca yang besar.