REPRESENTASI NASIONALISME EKSIL 1965 (ANALISIS...
-
Upload
nguyenkhanh -
Category
Documents
-
view
238 -
download
2
Transcript of REPRESENTASI NASIONALISME EKSIL 1965 (ANALISIS...
REPRESENTASI NASIONALISME EKSIL 1965
(ANALISIS SEMIOTIKA FOTO EXILE KARYA ROSA
PANGGABEAN)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Rizki Solehudin
NIM : 1110051100046
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Rizki Solehudin
1110051100046
Representasi Nasionalisme Eksil 1965 (Analisis Semiotika Foto Exile Karya
Rosa Panggabean)
Nasionalisme merupakan sebuah keniscahayaan yang dimiliki setiap warga
negara, tak terkecuali para Eksil. Hidup dalam pengasingan di negeri orang selama
berpuluh-puluh tahun tidak lantas melunturkan sikap nasionalisme para Eksil
terhadap Indonesia. Melalui media fotografi seorang pewarta foto Antara Rosa
Panggabean mencoba membukukan keseharian Eksil yang berada di Belanda. Dari
foto tersebut penulis melihat adanya bentuk nasionalisme yang direpresentasikan
melalui aktifitas keseharian para Eksil.
Berdasarkan latar belakang tersebut untuk mengetahui representasi
nasionalisme yang ditunjukan oleh para Eksil, maka muncul pertanyaan bagaimana
makna denotasi, konotasi, serta mitos pada foto Exile karya Rosa Panggabean?
Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivis dengan
pendekatan kualitatif. Sementara metode penelitian yang digunakan adalah
semiotika Roland Barthes. Semiotika model Roland Barthes memiliki tiga tahapan
dalam memaknai sebuah foto, yaitu tahapan denotasi, konotasi serta mitos.
Setelah melakukan pengkajian melalui analisis semiotika model Roland
Barthes terhadap foto Exile karya Rosa Panggabean, penulis menemukan makna
nasionalisme yang direpresentasikan melalui aktivitas keseharian para Eksil.
Nasionalisme tersebut dapat dilihat dari kerinduan para Eksil terhadap Indonesia
yang dipraktekan dengan menyajikan makanan khas Indonesia, mengenakan
kemeja batik khas Indonesia, bekerja dengan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan Indonesia, serta mengikuti isu-isu yang sedang berkembang di Indoensia.
Terlebih menurut Schiller dalam konsep nasionalisme jarak jauh ditujukan bagi
mereka yang masih melakukan aktivitas sosial tekait dengan Indonesia, meskipun
mereka sudah bukan lagi tercatat sebagai warga negara Indonesia.
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Eksil masih memiliki sikap
naionalisme. Kesimpulan tersebut berasal dari temuan dan pemaknaan terhadap
tanda-tanda yang disajikan oleh fotografer. Selain itu, penelitian yang telah
dilakukan terhadap foto Eksil karya Rosa Panggabean, menunjukan bahwa pelihat
foto harus lebih jeli lagi dalam memaknai sebuah foto. Sehingga informasi yang
ingin disampaikan oleh fotografer dapat diterima dengan baik oleh pelihat foto.
Kata Kunci : Fotografi, Semiotika, Nasionalisme, Eksil
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru
sekalian alam yang menyeru sekalian hati hamba-Nya untuk selalu turut serta dalam
samudra makrifat hingga tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya. Tiada kata yang
tepat untuk mendeskripsikan segalanya selain rasa syukur atas petunjuk dan
pertolongan kepada penulis, sehingga terselesaikannya skripsi ini. Shalawat serta
salam ditujukan kepada Al-Mustafa Sayyidina Muhammad SAW, serta keluarga
dan para sahabatnya yang telah membawa kebaikan kepada umatnya dari jalan
kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Setelah beberapa semester lamanya menimba ilmu di kampus tercinta,
akhirnya penulis dapat dengan sabar mengentaskan karya ini sebagai tongkat estafet
pengejawantahan ilmu. Penulis menyadari, karya ini belum mencapai
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik serta saran
para pembaca. Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Untuk itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M,Ed, Ph,D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik,
Dr. Hj. Roudhonah, M. Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi
Umum, dan Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan.
2. Kholis Ridho, M. Si selaku ketua Program Studi Jurnalistik sekaligus
menjadi dosen pembimbing dalam penelitian ini yang telah banyak
vi
meluangkan waktu serta memberikan ilmunya dalam selama proses
bimbingan. Sebagai Ketua Program Studi beliau juga telah banyak
memberikan bantuan moril kepada penulis.
3. Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A selaku sekertaris Program Studi Jurnalistik
yang telah meluangkan waktu untuk berkonsultasi dan membantu penulis
dalam hal perkuliahan
4. Terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-
ilmunya kepada penulis selama penulis menimba ilmu di sana.
5. Terima kasih kepada segenap staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
6. Terima kasih kepada fotografer kantor Berita Antara Rosa Panggabean
selaku narasumber yang telah meluangkan waktu untuk wawancara serta
berbagi wawasan dan pengalaman kepada penulis.
7. Kepada orang tua penulis, Bapak Janudin dan Ibu Sri Suwarni yang telah
menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih
telah bersabar.
8. Terima kasih kepada kakak dan adik penulis, Susi Ekawati, Hilman
Ropiudin, dan Nur Syahru Aulia yang tiada hentinya memberi dukungan
baik yang bersifat moril mapun materiil. Serta kepada Silmi Kafatusolihah
sebagai keponakan penulis yang telah memberikan dukungan moril,
meskipun hanya beberapa hari melihat dunia.
vii
9. Terima kasih kepada Maya Eka Riyani Putri yang telah banyak memberi
semangat dan memantau perkembangan penelitian.
10. Terima kasih kepada sahabat-sahabat Jurnalistik UIN 2010, Irvan, Algi,
Ardi, Tyo, Fahri, Atep, Aan, Farhan, Farid, Acim, Jalih, Yoga, Medan,
Ambar, Erna, Anas, Hety, Welda, Viky, Tanti, Rahmaidah, Isye, Fika, serta
seluruh sahabat Jurnalistik B khususnya yang selalu memberikan semangat
serta pencerahan dalam melakukan penelitian. Tidak lupa mahasiswa
Jurnalistik dari seluruh angkatan, semoga tali silaturahmi kita akan terus
abadi.
11. Terima kasih kepada sahabat-sahabat lainnya, Sahroji, Rt, Riza, Rian, Upi,
Bayu, Husni, Baun, Mufti, Vatria, Ijal, Golib dan Ahong, yang tidak bosan-
bosannya menemani dalam mencari inspirasi serta referensi.
12. Terima kasih kepada keluarga besar LPM Journo Liberta yang telah
mengajarkan penulis tentang betapa pentingnya menjadi manusia yang
bermanfaat bagi manusia lainnya, terlebih dalam memberikan ilmu serta
pengalaman di bidang kejurnalistikan.
13. Terima kasih kepada keluarga besar Galeri Watoe Ireng, Lingkar Studi-Aksi
untuk demokrasi Indonesia (LS-ADI), Black Coffee Gallery, PAV
Production, Debu Management, JB Techne, dan Majelis Taklim
Siraajutthaalibiin.
14. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Depok, 9 Juni 2017
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ....................................
1. Batasan Masalah .....................................................
2. Rumusan Masalah ..................................................
10
10
11
C. Tujuan Penelitian ......................................................... 11
D. Manfaat Penelitian .......................................................
1. Manfaat Akademis .................................................
2. Manfaat Praktis ......................................................
12
12
12
E. Metodologi Penelitian ..................................................
1. Paradigma Penelitian ..............................................
2. Metode Penelitian ...................................................
3. Sumber Data ...........................................................
4. Teknik Pengumpulan Data .....................................
5. Teknik Analisis Data ..............................................
12
12
14
14
15
16
F. Tinjauan Pustaka .......................................................... 16
G. Sistematika Penulisan ................................................... 17
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi .............................
1. Pengertian Fotografi ..............................................
2. Fotografi Jurnalistik ...............................................
3. Etika Fotografi Jurnalistik .....................................
19
19
25
31
B. Tinjauan Umum Tentang Semiotika ............................ 34
ix
1. Semiotika Ferdinand De Saussure .........................
2. Semiotika Roland Barthes .....................................
3. Semiotika Charles Sanders Peirce .........................
35
37
43
C. Teori Representasi ....................................................... 45
D. Konsep Nasionalisme dalam Pandangan Tokoh ..........
1. Soekarno ................................................................
2. Azyumardi Azra .....................................................
48
51
53
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Eksil ...............................................
B. Profil Rosa Panggabean ...............................................
C. Gambaran Umum Buku Foto Eksil .............................
58
61
64
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data Foto 1 .....................................................
1. Tahap Denotasi .......................................................
2. Tahap Konotasi ......................................................
3. Tahap Mitos ...........................................................
69
69
70
74
B. Analisis Data Foto 2 .....................................................
1. Tahap Denotasi .......................................................
2. Tahap Konotasi ......................................................
3. Tahap Mitos ...........................................................
77
77
78
82
C. Analisis Data Foto 3 .....................................................
1. Tahap Denotasi .......................................................
2. Tahap Konotasi ......................................................
3. Tahap Mitos ...........................................................
83
84
84
88
D. Analisis Data Foto 4 .....................................................
1. Tahap Denotasi .......................................................
2. Tahap Konotasi ......................................................
3. Tahap Mitos ............................................................
90
91
91
94
x
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................
1. Tahap Denotasi .....................................................
2. Tahap Konotasi .....................................................
3. Tahap Mitos ..........................................................
96
96
96
97
B. Saran ............................................................................ 98
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 101
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 106
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Peta Tanda Roland Barthes .......................................................... 38
Tabel 2 : Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto ........................ 40
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini isu berbau komunisme1 di Indonesia kembali naik ke
permukaan. Isu tersebut semakin cepat berkembang di tengah masyarakat
Indonesia, mulai dari ditemukannya logo palu arit di buku kunci jawaban ujian
nasional, diterbitkannya buku Jokowi Undercover oleh Bambang Tri yang di
dalamnya secara gambalang menyebut bahwa Jokowi merupakan seorang
komunis, hingga kasus yang menjerat imam besar Front Pembela Islam (FPI)
Habib Rizieq Shihab terkait ceramahnya yang menuding adanya unsur komunis
di 11 pecahan uang rupiah baru tahun emisi 2016 yang diterbitkan Bank
Indonesia (BI) pada 19 Desember 2016 lalu, dan beberapa isu lain yang belum
dipastikan kebenarannya hingga penelitian ini dibuat.
Kekhawatiran tersebut mendorong sejumlah purnawirawan Tentara
Nasional Indonesia (TNI), Organisasi Massa Islam, dan beberapa elemen
masyarakat yang khawatir akan isu kebangkitan komunis di Indonesia
mendeklarasiaan Simposium Anti-PKI. Simposium tersebut menitikberatkan
1 Komunisme adalah paham atau ideologi yang menganut ajaran Karl Marx dan Fredrich
Engels, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak
milik bersama yang dikontrol oleh Negara. Paham komunisme masuk ke Indonesia pada tahun 1913,
diperkenalkan oleh Endericus Josephus Francisscus Maria Sneevliet. Ia adalah mantan ketua
Sekretariat Buruh Nasional dan mantan pimpinan Partai Revolusioner Sosialis di salah satu provinsi
di Negeri Belanda. Pada bulan Juli 1914 Sneevliet dengan P. Bersgma, J.A. brandstedder, HW.
Dekker mendirikan organisasi politik yang bersifat radikal yang bernama Indisch Social
Democratische Verceniging (ISDV) atau Serikat Sosial Demokrat India. Kemudian ISDV
menerbitkan surat kabar yang bernama Het Vrije Woord (Suara Kebebasan). Terbitan pertama surat
kabar ini pada tanggal 10 Oktober 1915. Melalui surat kabar inilah Sneevliet dan kawan-kawannya
melakukan propaganda untuk menyebarluaskan Marxsisme. Lihat pada Abdul Ghofur, Peran
Soeharto dalam G-30S PKI (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poitik UIN Jakarta, 2010), h.
30.
2
pada kekerasan pasca Oktober 1965 dan tidak membahas tindakan kekerasan
yang disebutnya dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada sekitar tahun
1948 dan pra Oktober 1965.2
Terkait komunisme, pemerintah Republik Indonesia menggunakan dua
dasar hukum utama untuk melarang, memberangus, dan mencegah komunisme
di Indonesia. Pertama, ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang
pembubaran partai komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang
di seluruh wilayah negara republik Indonesia bagi partai komunis Indonesia dan
larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau
ajaran komunis/marxisme-leninisme, dan kedua, Pasal 107 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 1999 tentang perubahan kitab undang-undang hukum pidana
yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.3
PKI merupakan partai yang sangat “kontroversional” terhadap
pemerintahan Republik Indonesia pada masa presiden Soekarno. Pada tahun
1948, PKI mulai mengadakan pemberontakan untuk merebut kekuasaan
Republik Indonesia, di bawah pimpinan Muso yang merupakan tokoh utama
komunis Indonesia, dan anggota komunis di Rusia. Kedatangan Muso dari luar
negeri semakin mempertajam hukum politik PKI sehingga meletuslah peristiwa
Madiun, dan memicu terjadinya demonstrasi dan pemogokan di mana-mana.4
2 BBC Indonesia, Purnawirawan TNI Pastikan Simposium Anti-PKI, diakses dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160530_indonesia_simposium_antipki,
pada tanggal 25 Januari 2017. 3 CNN Indonesia, Deretan Pasal Krusial Untuk Memberangus Komunisme di Indonesia,
diakses dari http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160511154554-20-129985/deretan-pasal-
krusial-untuk-berangus-komunisme-di-indonesia/, pada tanggal 28 Januari 2017. 4 Romly A. M, Agama Menentang Komunis (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1997), h. 11.
3
Perseteruan yang terjadi pada tahun 1955-1965 antara kepentingan
politik yang berhaluan militer, umat Islam, dan PKI, karena Partai-Partai Islam
pada masa Pemilu 1955 merupakan bagian sentral dalam pemerintahan. Hal itu
dapat dilihat dari perolehan suara yang diraih oleh Partai-Partai Islam. Masyumi
memperoleh kursi 60 suara, NU 47 suara, PSSI 8 suara dan Perti 4 suara.5
Dengan suara yang cukup banyak ini (hampir ½ suara parlemen), partai Islam
kembali mengangkat persoalan dasar negara yang di awal kemerdekaan terhenti
oleh agresi Belanda. Misi inilah kiranya yang kemudian menghangat dan
menjadi perdebatan sengit dan berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 atas dukungan militer.6
Perkembangan politik era 60-an adalah merupakan pergulatan sengit
tetapi terselubung antara militer melawan PKI sebagai satu-satunya partai
politik yang dominan karena perlindungan Soekarno, yang dengan tangkas
berhasil memainkan peranan balance of power7 antara militer dan PKI. Akhir
dari kemelut itu ialah meletusnya peristiwa Gerakan Tiga Puluh September
(GESTAPU) 1965, di mana pada malam itu terjadi penculikan serta
pembunuhan terhadap enam jendral dan satu letnan oleh PKI, yang
kemudian mengakhiri era Soekarno dan PKI itu sendiri. Kejadian tersebut secara
progresif memberikan peluang kepada militer untuk memainkan peran
5 Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 195. 6 A. Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,
1994), h. 174. 7 Balance of Power adalah perimbangan kekuatan (power) yang dilakukan oleh suatu
negara untuk bisa mengimbangi kekuatan (power) negara lain. Balance of Power juga bisa diartikan
sebagai sebuah sistem politik untuk mencapai adanya kekuatan (power) antara negara-negara di
dunia, sehingga kekuatan (power) ini mampu seimbang/ berimbang. Lihat pada Wikipedia, Balance
of Power, diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Keseimbangan_kekuasaan_(hubungan_internasional), pada tanggal 6
maret 2017.
4
politiknya, karena peristiwa GESTAPU ini secara frontal mengakibatkan
perubahan iklim politik yang besar dalam tatanan politik di Indonesia yaitu
dengan bergesernya kekuatan politik dari pihak sipil ke militer secara dominan.8
Mengutip jurnal yang dibuat oleh Wahyudi Akmaliah dengan judul
Indonesia yang dibungkam: Peristiwa 1965-1966 dan Kemunculan Eksil
Indonesia, bahwa penumpasan PKI serta organisasi yang berbau komunis yang
dilakukan oleh militer, paramiliter, dan masyarakat sipil yang didukung oleh
militer, pada periode 1965 akhir hingga pertengahan 1966 telah membunuh 500
ribu hingga 1 juta orang Indonesia, baik yang berafiliasi dengan PKI atau yang
di-PKI-kan.9 Angka tersebut belum termasuk 1 juta orang lebih yang dipenjara
tanpa adanya peradilan.10
Presiden Suharto pada tanggal 7 Mei 1966 yang diwakili oleh Menteri
Pendidikan Indonesia mengeluarkan instruksi kepada mahasiswa Indonesia,
intelektual publik, dan budayawan yang sedang berada di luar negeri untuk
menjalani pemeriksaan dan pernyataan loyalitas terhadap pemerintah baru, yaitu
Orde Baru di bawah pimpinan Suharto. Jika menolak, mereka hanya
mendapatkan stempel ijin sekali pulang ke Indonesia. Akibatnya, mereka yang
menolak memberikan paspor atau masanya sudah habis, mereka tidak dapat
8 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 46. 9 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan
Kemunculan Eksil Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI),
Volume 17 No.1, 2015, h. 70. 10 Para tahanan yang dipenjara memiliki masa tahanan yang beragam, tergantung dari
tingkat atau beratnya tuduhan yang diajukan, mulai dari beberapa tahun hingga 20 tahun lebih.
Mereka masuk dalam tiga kelompok kategori, C, B, dan A. Kurang lebih ada 1, 375,320 orang yang
dikategorikan sebagai kelompok C. Mereka dianggap terkait langsung dengan PKI dan organisasi
yang terkait dengan PKI, dan di penjara selama 10 tahun. Kelompok B adalah mereka yang
diindikasikan memiliki kaitan dengan Gerakan 30 September. Jumlahnya sekitar 34,587 orang,
termasuk di dalamnya 10 ribu orang yang dibuang ke Pulau Buru. Kelompok A berjumlah 426
orang. Mereka ini yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September dan menghabiskan sisa
hidupnya di penjara. Lihat pada Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-
1966 dan Kemunculan Eksil Indonesia, h. 70.
5
kembali ke Indonesia dan kehilangan statusnya sebagai warga negara Indonesia.
Alasan penolakan mereka beragam, mulai dari ketidaktahuan sistem baru, upaya
untuk menuntaskan studi sampai selesai, hingga sikap politik yang berpihak
kepada Sukarno dan menjadi pengurus PKI luar negeri. Sebagian diantara
mereka berpendapat bahwa Orde Baru telah melakukan kudeta kepada
pemerintahan yang sah. Sikap politik tersebut harus dibayar mahal dengan
kehilangan paspor mereka yang berarti tercabutnya identitas mereka sebagai
warga negara Indonesia serta hak-hak yang mereka miliki, yang membuat
mereka tidak dapat kembali ke Indonesia.11
Tidak sedikit pula di antara mereka yang di-PKI-kan diasingkan ke luar
negeri, sebagaimana yang terjadi pada para Eksil 65.12 Bertahun-tahun, para
Eksil 65 hidup tanpa kewarganegaraan di banyak negara seperti Rusia, Rumania,
Albania, Tiongkok, serta Kuba. Saat mereka hidup tanpa identitas yang legal
tersebut, negara-negara yang mereka tempati mengalami gejolak politik yang
mengakibatkan kondisi perekonomian negara tersebut menjadi tidak stabil. Pada
1980-an, sebagian dari mereka bermigrasi ke Jerman, Belgia, dan Belanda.
Mereka pun kemudian melamar menjadi warga negara Belanda. Karena rata-rata
para Eksil ini lahir sebelum tahun 1945, pemerintah Belanda menganggap para
Eksil ini sejatinya warga negara Belanda karena lahir sebelum Indonesia
merdeka, atau masih dianggap lahir di wilayah Nederlandsch-Indische. Tidak
11 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan
Kemunculan Eksil Indonesia, h. 71. 12 Eksil berasal dari kata bahasa Inggris exile yang berarti terasing atau dipaksa
meninggalkan kampung halaman atau rumahnya. Eksil 65 adalah sebutan bagi orang-orang
Indonesia yang terpaksa tidak dapat pulang ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965.
Perubahan pemerintahan yang terjadi pada tahun 1966 secara drastis dari pemerintahan sipil ke
pemerintahan di bawah kekuasaan militer diawali oleh peristiwa GESTAPU pada akhir tahun 1965.
Lihat pada Wikipedia, Eksil, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Eksil, pada 6 Maret 2017.
6
ada data yang pasti mengenai Eksil yang tinggal di Belanda, namun diperkirakan
jumlah mereka ratusan. Meskipun para Eksil ini sudah menjadi warga negara
Belanda dan beranak pinak di sana, mereka tidak pernah melupakan tempat asal
mereka, yaitu Indonesia.13
Meskipun tidak lagi menjadi warga negara Indonesia, ingatan dan rasa
nasionalisme para Eksil masih cukup kuat. Hal tersebut telihat dari aktivitas
sosial yang mereka lakukan terkait dengan isu keindonesiaan, baik peristiwa
1965-1966, Hak Asasi Manusia (HAM), ataupun persoalan sosial lainnya.
Seperti yang dilakukan oleh Umar Said, Sobron Aidit, J.J Kusni, dan Budiman
Shudasono, dengan dibantu oleh empat orang warga Prancis, komunitas Eksil
ini mendirikan restoran koperasi Indonesia di Paris, Prancis pada tahun 1982.
Pengelolaan restoran menggunakan sistem berbasis koperasi atau yang dikenal
dengan Société Coopérative Ouvriere de Production (SCOP) Fraternite
(Persaudaraan), di Restoran tersebutlah representasi wajah Indonesia
ditampilkan melalui ragam acara kesenian dan kebudayaan. Beberapa tokoh-
tokoh politik penting di Perancis sering berkunjung ke Restoran tersebut, seperti
Madame Daniele Mitterrand (Istri mantan Presiden Perancis, Francois
Mitterand), Louis Joinnet (Mantan Penasehat Hukum dari 5 Perdana Menteri)
dan para sastrawan Prancis. Saat dikenal publik, Restoran ini kerap kali menjadi
rujukan mengenai Indonesia ketimbang kantor KBRI Perancis sendiri.14
Selain itu, di antara mereka juga berusaha menghadirkan masakan
Indonesia di kesehariannya dan menyimpan barang-barang yang berkaitan
13 National Goegraphic Indonesia, Kehidupan Para Eksil, diakses dari
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/09/kehidupan-para-eksil, pada tanggal 28 Januari 2017. 14 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan, h. 73.
7
dengan Indonesia, hal tersebut mereka lakukan demi menghilangkan rasa rindu
mereka terhadap kampung halaman.15 Salah satu adalah yang dilakukan
Sarmadji, pria asal Solo yang kini berusia 83 tahun tersebut mendirikan
Perkumpulan Dokumentasi Indonesia (PERDOI), di dalamnya terdapat
kumpulan arsip dan dokumentasi tentang sejarah Indonesia yang berkaitan
dengan tragedi 65/66.16
Seorang peneliti dari Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR)
LIPI, Amin Mudzakir mengatakan bahwa para Eksil memiliki “nasionalisme
jarak jauh” yang terbentuk sebagai cerminan dari kesetiaan mereka terhadap
Indonesia, meski mereka sudah bukan sebagai warga negara Indonesia.17 Bagi
Sarmadji, salah seorang dari kaum Eksil yang mencari suaka di Belanda, ia harus
menerima kenyataan bahwa pada ahrinya dirinya menjadi warga negara
Belanda, negara yang dahulu menjajah bangsanya. Namun keberadaanya di
pengasingan bukan pilihannya, melainkan tersingkir oleh sesama bangsanya.18
Meskipun secara geografis mereka tidak tinggal di Indonesia, bukan lagi warga
negara Indonesia, dan aktivitas sosial mereka tentang hal-hal yang terkait dengan
Indonesia, dalam kacamata Benedict Anderson (1994), mereka ini adalah
bentuk dari “nasionalisme jarak jauh”. Menurut Schiller (2007) dalam Wahyudi
mendefinisikan nasionalisme jarak jauh sebagai satu perangkat mengenai klaim
identitas dan praktik-praktik yang dilakukan yang menghubungkan orang-orang
15 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan, h. 72. 16 Rosa Panggabean, Exile (Jakarta: 2014), h. 67. 17 Antara News, Jejak orang-orang terbuang yang tetap setia pada Indonesia, diakses dari
http://m.antaranews.com/berita/409639/jejak-orang-orang-terbuang-yang-tetap-setia-pada-
indonesia, pada tanggal 14 Februari 2017. 18 Amin Mudzakir, Hidup di Pengasingan: Eksil Indonesia di Belanda, Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), Volume 17 No.2, 2015, h. 178-179.
8
yang tinggal di pelbagai wilayah geografis kepada wilayah khusus yang mereka
anggap sebagai rumah leluhur mereka.19
Nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta
memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seseoang
nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas
bangsa.20 James G Kellas mengatakan nasionalisme merupakan sebuah ideologi
dan bentuk prilaku. Ideologi nasionalisme dibangun di atas masyarakat yang
memiliki kesadaran berbangsa (kesadaran diri nasional) yang ditunjukan dengan
sikap dan aksi, dalam bentuk budaya, ekonomi, atau politik.21 Sementara itu M.D
La Ode mengutip Hans Kohn mengungkapkan, Nasionalisme merupakan bentuk
tertinggi dari sebuah loyalitas yang dirasakan oleh seorang individu atas sebuah
bangsa. Ini juga merupakan sebuah perasaan yang mendalam terhadap tanah asal
(kampung halaman) seseorang, tradisi lokal dan otoritas teritorial yang didirikan
sepanjang sejarah.22
Kisah para Eksil 65 kemudian didokumentasikan oleh seorang pewarta
foto dari kantor berita Antara, Rosa Panggabean. Wanita yang lebih akrab disapa
Oca ini, mengikuti keseharian para Eksil 65 yang tinggal di Amsterdam,
Belanda. Sekembalinya dari Belanda, Rosa membukukan kehidupan mereka
lewat sebuah katalog foto yang diberi judul Exile. Dengan menggunakan media
19 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan, h. 74. 20 Anthony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah (Jakarta: Erlangga, 2003), h.
26. 21 James G. Kellas, The Politics of Nationalism and Ethnicity (USA: St. Martin’s Press,
Inc, 1998), h. 4. 22 M D. La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota
Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012, h.
54-55.
9
fotografi, Rosa berusaha menyampaikan pesan yang telah didapatnya untuk
disebarkan kepada khalayak luas.
Di dalam karyanya tersebut, Rosa menampilkan keseharian para Eksil 65
yang hidup di luar negeri, dengan kerinduan mendalam untuk bisa menginjakan
kaki kembali ke Indonesia. Lewat foto Eksil itu pulalah yang membuat Rosa
menyabet gelar juara 2 kategori foto essay, dan dibukukan ke dalam katalog foto
Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) Tahun 2014.
Di dalam katalog tersebut Rosa bercerita: 23
Tiga lelaki bernama Ibrahim Isa, Chalik Hamid, dan Sarmadji.
Mereka adalah tiga orang Eksil 1965 yang sudah sangat terbuka atas
identitas diri mereka. Sebelum tahun 1965, Sarmadji adalah seorang guru
yang dikirim ke Tiongkok untuk mempelajari bagaimana pendidikan di
luar sekolah yang diterapkan di Tiongkok. Chalik Hamid, seorang
sastrawan muda yang bergabung dengan organisasi Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) yang dikirim ke Albania untuk mempelajari
sinematografi, dan Ibrahim Isa adalah seorang delegasi muda yang diutus
sebagai Indonesian Permanent Representative at the Permanent
Secretariat of the AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization)
pada 1960-1966 di Kairo.
Paska peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1965, keadaan
politik nasional memanas. Militer mengambil alih pemerintahan dan
petinggi PKI ditangkap, bahkan beberapa di antara mereka dieksekusi
tanpa melalui persidangan. Operasi yang dilakukan militer itu pun tak
hanya mendera anggota PKI dan underbow-nya, tapi juga terhadap
orang-orang yang bertalian dengan pemerintahan Soekarno, para
simpatisan, dan tentu saja pemuda-pemuda yang mengikuti beasiswa di
negara-negara berpaham sosialis. Para delegasi yang berada di luar
negeri tidak luput dari operasi yang mengatasnamakan pembersihan
terhadap paham komunis di Indonesia. Paspor mereka dicabut alias tidak
berlaku lagi dan jika pulang ke tanah air, mereka langsung ditangkap.
Kondisi itulah yang menyebabkan banyak dari pemuda yang
mengikuti program beasiswa itu tidak dapat kembali ke Indonesia.
Mereka hidup sebagai orang Eksil di luar negeri. Mereka memilih tidak
kembali karena rezim militer melakukan represi yang luar biasa. Cap
sebagai komunis itu tidak hanya dikenakan kepada mereka, tapi juga
kepada keluarga dan keturunan mereka yang masih tinggal di Indonesia.
Para Eksil 1965 hidup bertahun-tahun tanpa kewarganegaraan di banyak
23 Pewarta Foto Indonesia, Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2014.
10
negara seperti Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok serta Kuba. Saat
mereka hidup tanpa identitas yang legal tersebut, negara-negara yang
mereka tempati mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kondisi
perekonomian negara tersebut menjadi tidak stabil. Maka pada era 1980-
an, sebagian dari mereka berimigrasi ke Jerman, Belgia, dan Belanda.
Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah orang Eksil yang tinggal di
Belanda. Namun, jumlah mereka diperkirakan ratusan. Meskipun para
Eksil itu sudah menjadi warga negara Belanda dan beranak pinak di sana,
mereka tidak pernah melupakan tanah kelahiran mereka, Indonesia.
Harapan yang tersisa dari mereka yang kini sudah tua, pemerintah
Indonesia memberi pengakuan bahwa telah terjadi penyimpangan
sejarah. Mereka tidak meminta kompensasi materi atas penderitaan
mereka akibat tragedi 1965 yang telah memakan begitu banyak korban
secara fisik dan moral. Mereka hanya mengharapkan permintaan maaf
dari pemerintah atas keterbuangan mereka sebagai anak bangsa.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian secara mendalam untuk menemukan makna
nasionalisme yang ada dalam foto karya Rosa Panggabean yang berjudul Exile.
Metode analisis yang digunakan adalah semiotika Roland Barthes yaitu bidang
ilmu yang mempelajari tentang sistem tanda untuk memahami makna denotasi,
konotasi, dan mitos. Judul yang dipilih adalah sebagai berikut “Representasi
Nasionalisme Eksil 1965 (Analisis Semiotika Foto Exile karya Rosa
Panggabean)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Nasionalisme dapat dipahami dalam beragam bentuk terlihat dari
karya foto. Maka, pembatasan pada penelitian ini difokuskan pada karya
Rosa Panggabean berjudul Exile, yang dibuat pada tahun 2014. Karya
Rosa Panggabean tersebut bercerita tentang kehidupan para Eksil 65 di
Amsterdam, Belanda. Penulis melihat adanya rasa nasionalisme terhadap
bagsa Indonesia pada Eksil 65, meski mereka sudah bukan lagi menjadi
11
warga negara Indonesia. Penulis hanya mengambil empat dari 31 foto
yang terdapat dalam buku Foto “Exile” yang mana keempat foto tersebut
menggambarkan sikap nasionalisme eksil. Dalam Penelitian ini penulis
menggunakan konsep nasionalisme jarak jauh milik Schiler, dimana
nasionalisme jarak jauh ditunjukan oleh mereka yang secara geografis
tidak tinggal di Indonesia, bukan lagi warga negara Indonesia, dan aktivitas
sosial mereka tentang hal-hal yang terkait dengan Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Nasionalisme dimiliki oleh semua orang, tak terkecuali oleh para
Eksil 65. Maka, bagaimana representasi nasionalisme Eksil dalam foto Exile
karya Rosa Panggabean tersebut. Berikut pertanyaan umum dalam penelitian
ini:
a. Bagaimana makna denotasi dalam foto Exile karya Rosa Panggabean?
b. Bagaimana makna konotasi dalam foto Exile karya Rosa Panggabean?
c. Bagaimana makna mitos dalam foto Exile karya Rosa Panggabean?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi dalam foto Exile karya
Rosa Panggabean.
2. Untuk mengetahui dan memahami makna konotasi dalam foto Exile karya
Rosa Panggabean.
12
3. Untuk mengetahui dan memahami makna mitos dalam foto Exile karya
Rosa Panggabean.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademisi
Penulis berharap penelitian ini dapat memperkaya bidang studi ilmu
komunikasi yang berkaitan dengan analisis semiotika dalam foto terutama
pada kajian nasionalisme, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Dakwah
Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik.
2. Manfaat Praktis
Penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan mengenai
teknik fotografi dokumenter bagi para mahasiswa di bidang fotografi atau
jurnalistik. Serta dapat menambah ilmu tentang cara penafsiran foto bagi
para mahasiswa Jurusan Jurnalistik khususnya, serta pewarta foto, penikmat
foto, dan mahasiswa lain yang mempunyai minat di bidang fotografi dan
jurnalistik pada umumnya.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma menurut definisi Harmon (1970) yakni sebagai cara
mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang
berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas.24 Paradigma
yang digunakan adalah paradigma konstruktivisme. Konstruktivisme
diambil dari kata “konstruksi” yakni merancang, dan apa yang dirancang.
24 Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya)
Cet. 28, h. 49.
13
Konstruksivisme berasumsi bagaimana pesan dikonstruksi atau disusun.25
Sehingga dapat dipahami realitas (pesan) tidak bersifat natural, melainkan
adalah hasil dari konstuksi terlebih dahulu.
Dalam riset ini, paradigma konsturksivisme lebih mengkaji soal
pesan, dimana pesan dikonstruksikan (dibentuk). Dalam fotografi
jurnalistik, pesan tidak saja teks yang tertulis, tercetak, tetapi gambaran
keseluruhan dari isi foto, yaitu teks (caption), komposisi, pencahayaan,
latarbelakang (background) bahkan pemilihan subjek dan objek dalam foto
itu sendiri yang semuanya memiliki maksud dan tujuan tertentu sesuai
dengan keinginan komunikator agar dapat menyamakan persepsinya kepada
komunikan.
Sementara pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Ragin, C.C., Nagel J., dan White P. dalam workshop
Scientifi Foundation of Qualitatie Research yang dikutip Morissan dalam
bukunya mengungkapkan bahwa riset atau penelitian kualitatif adalah suatu
penelitian yang mendalam atau in-depth dengan menemukan data secara
terperinci pada sebuah kasus yang sering kali bertujuan menemukan
bagaimana sesuatu dapat terjadi.26 Melalui pendekatan kualitatif ini
penulis berusaha untuk menjelaskan representasi nasionalisme eksil dengan
pengumpulan data dan analisis yang mendalam.
25 Ardianto Elvinaro & Bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung; Simbiosa
Rekatama Media, 2011), h. 154. 26 Morissan, Metode Penelitian Survei (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h.
22.
14
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotik, yaitu
ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semua yang hadir
dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yaitu sesuatu yang harus kita
beri makna. Mengerucut pada analisis semiotika Roland Barthes.
Ketika kita mempertimbangkan: iklan, berita, dan TV atau
teks film, hal itu akan menjadi jelas bahwa lingustik, visual dan
jenis tanda lain digunakan tidak semata-mata untuk menunjukkan
sesuatu, tetapi juga memicu berbagai konotasi yang melekat pada
tanda.27
Semiotika Barthes ini memaparkan cara membaca simbol atau
tanda-tanda yang terkandung dalam makna denotasi, konotasi dan mitos.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua yaitu sumber data
primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sasaran utama
dalam penelitian ini sedangkan sumber data sekunder merupakan
pengaplikasian dari sumber data primer di mana sumber data ini sebagai
pendukung dan penguat dalam penelitian.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil foto yang
dipilih penulis sesuai dengan objek penelitian yaitu empat foto Eksil karya
Rosa yang merepresentasikan nasionalisme para Eksil. Sedangkan subjek
dari penelitian ini adalah buku foto karya Rosa Panggabean yang berjudul
Exile yang dibuat pada tahun 2014.
27 Jonathan Bignell, Media Semiotics, An Introduction (New York: Manchaster University
Press), h. 16.
15
Sedangkan data sekunder diperoleh dari transkip wawancara dengan
fotografer yang karyanya akan diteliti, yaitu Rosa Panggabean. Serta daftar
pustaka seperti, buku-buku, artikel, dan informasi lainnya yang berkaitan
dengan penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Pemilihan Foto
Data foto diperoleh dari buku foto Exile karya Rosa
Panggabean yang dibuat pada tahun 2014. Dari buku foto tersebut
kemudian dipilih, sesuai dengan batasan penelitian yaitu empat foto
yang memiliki representasi nasionalisme di dalamnya. Lalu foto-foto
tersebut dikaji menggunakan teori semiotika Roland Barthes yang
memaknai tanda lewat tahapan denotasi, konotasi, dan mitos.
b. Wawancara/Interview
Wawancara (interview) merupakan alat pengumpul data yang
melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubung dengan
realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti.28 Wawancara merupakan
metode pengambilan data yang digunakan untuk memperoleh
informasi langsung dari sumbernya. Wawancara ini dilakukan sebagai
pendukung untuk mengetahui analisis semiotika Roland Barthes pada
foto Exile karya Rosa panggabean. Wawancara dilakukan untuk
mengumpulkan dan menguatkan data. Penulis mengadakan
wawancara langsung dengan Rosa Panggabean guna menggali data
28 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2007),
h. 132.
16
sebanyak-banyaknya tentang foto yang akan diteliti, khususnya
gambaran umum foto tersebut.
c. Dokumentasi
Untuk memperdalam penelitian ini, penulis juga mencari dan
mengumpulkan data yang berkaitan dengan foto Exile karya Rosa
Panggabean dari berbagai dokumen seperti buku-buku, majalah,
jurnal, media massa dan lainnya yang sebelumnya telah terlebih dahulu
membahas tentang foto.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk
membedah representasi nasionalisme pada foto Exile karya Rosa
Panggabean. Dimana setiap foto akan dibedah melalui tiga tahapan,
pertama denotasi, kedua konotasi, dan ketiga mitos. Masing-masing foto
akan dikaji berdasarkan pengamatan penulis terhadap foto tersebut, dengan
didukung oleh hasil wawancara bersama Rosa Panggabean, serta dikuatkan
dengan temuan dari daftar pustaka dan informasi lainnya yang dapat
dipertanggungjawabkan.
F. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini penulis juga menggunakan skripsi yang memiliki
beberapa kesamaan dengan penelitian ini. Adapun beberapa judul penelitian
yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:
Pertama, Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Romi Perbawa
Berjudul The Riders of Destiny Pada Ajang Pameran The Jakarta International
Photo Summit Tahun 2014, oleh M. Hendartyo Hanggi W jurusan Konsentrasi
17
Jurnalistik UIN Jakarta tahun 2015. Skripsi tersebut memiliki kesamaan pada
metode penelitian yaitu analisis semiotika Roland Barthes, serta subjek
penelitian buku foto. Perbedaannya terletak pada objek penelitian.
Kedua, skripsi yang berjudul Analisis Semiotik Representasi
Nasionalisme K.H. Hasyim Asy’ari Dalam Film Sang Kiai oleh Muhammad
Reza Rijalul Umam, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Jakarta 2016.
Skripsi tersebut memiliki kesamaan pada metode penelitian yaitu analisis
semiotika, serta objek penelitian representasi Nasionalisme. Perbedaannya
terletak pada subjek penelitian yaitu film.
Ketiga, skripsi yang berjudul Representasi Anak Jalanan dalam Foto
Jurnalistik oleh Dwi Kurniawan Muhartono, jurusan ilmu komunikasi
Universitas Gajah Mada (UGM). Skripsi tersebut memiliki kesamaan yaitu
mengaji sebuah foto memakai analisis semiotika Roland Barhes. Sedangkan
perbedaanya terletak pada objek penelitian yaitu representasi anak jalanan.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pembahasan mengenai berbagai dasar tentang peneitian yang berisi
pendahuluan yang mana di dalamnya terdapat latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika
penulisan yang seluruhnya mendasari penelitian “Representasi
Nasionalisme Eksil 1965 (Analisis Semiotika Foto Exile Karya
Rosa Panggabean)”
BAB II : Penjabaran mengenai landasan teori yang digunakan untuk
penelitian ini, yaitu berisi tentang tinjauan umum mengenai
18
fotografi (pengertian fotografi, fotografi jurnalistik dan Etika Foto
Jurnalistik), tinjauan umum semiotika, menjelaskan teori
representasi, serta menjelaskan konsep nasionalisme menurut
beberapa tokoh.
BAB III : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang Eksil 1965, tentang
profil Rosa Panggabean, dan tentang buku foto Exile karya Rosa
Panggabean.
BAB IV : Berisi analisis dan pembahasan tentang foto Exile karya Rosa
Panggabean dengan menggunakan analisis semiotika Roland
Barthes, dan mencari representasi nasionalisme yang terdapat
dalam foto tersebut.
BAB V : Penutup penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Secara etimologis, fotografi berasal dari bahasa Inggris
photography, yang diadaptasi dari bahasa Yunani, yakni photos yang berarti
cahaya dan graphein yang berarti gambar atau menggambar.1 Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) fotografi adalah seni dan penghasilan
gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan.2 Dengan
demikian, secara harfiah, fotografi bermakna ‘menggambar dengan cahaya’.
Maka dari itu, kegiatan fotografi dengan berbagai teknik hanya dapat
dilakukan ketika ada cahaya. Tanpa cahaya, tidak mungkin dapat dihasilkan
sebuah foto.3
John Hedgecoe dalam bukunya John Hedgecoe’s Complete Guide to
Photography; A Step-by-Step Course from The World’s Best-Selling
Photographer, mengemukakan pengertian fotografi, “The word
‘photography’ means drawing with light”.4
Pada dasarnya fotografi adalah kegiatan merekam dan memanipulasi
cahaya untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan. Fotografi dapat
dikategorikan sebagai teknik dan seni. Fotografi sebagai teknik adalah
1 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2013), h. 7. 2 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), h. 421. 3 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, h. 7. 4 John Hedgecoe, John Hedgecoe’s Complete Guide to Photography; A Step-by-Step
Course from The World’s Best-Selling Photographer (New York: Sterling Publishing Company,
1990), h. 6.
20
mengetahui cara-cara memotret dengan benar, mengetahui cara-cara
mengatur pencahayaan, mengetahui cara-cara pengolahan gambar yang
benar, dan semua yang berkaitan dengan fotografi sendiri. Sedangkan
fotografi sebagai karya seni mengandung nilai estetika yang mencerminkan
pikiran dan perasaan dari fotografer yang ingin menyampaikan pesannya
melalui gambar/foto.5
Kegiatan memotret dalam beberapa kejadian memang terkadang
menyimpulkan banyak arti dan cerita yang tidak kunjung habis atau dibahas
hingga berjuta kata. Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa peristiwa
penting yang mewarnai sejarah fotografi. Salah satunya adalah peristiwa
yang menimpa Kevin Carter, seorang stringer kantor berita Reuters dan
Sygma Photos New York, peraih Pulitzer dalam World Press Photo Holland
tahun 1994. Dimana ia akhirnya mengambil jalan pintas, bunuh diri karena
tekanan berbagai pemberitaan (berita tulis) yang membicarakan dan
menganalisa karya fotonya hingga berjuta kata. Tindakan bunuh diri itu
terungkap penyebabnya melalui surat yang ditinggalkannya, di mana ia
mengatakan mengalami penderitaan batin yang amat dalam karena telah
mengutamakan pekerjaan memotret daripada usaha kemanusiaan yaitu
menolong subjek fotonya.6 Sebagai salah satu cara untuk menyampaikan
pesan, seseorang membuat foto untuk menceritakan sesuatu hal kepada
5 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, h. 7. 6 Foto tersebut menggambarkan subjek seorang anak kecil yang terjatuh dalam perjalanan
menuju posko pembagian makanan. Sementara di belakang anak, seekor burung pemakan bangkai
menunggu, seakan burung itu yakin bahwa anak kecil itu akan menjadi santapannya, memang sangat
memilukan, sangat kuat merespon hati, pikiran dan tindakan bagi siapapun yang melihatnya. (Atok
Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki, h. 69.)
21
orang lain, apa yang sedang mereka lihat disekitarnya, juga untuk
mengungkapkan realitas yang nyata dalam kehidupan masyarakat.7
Hal tersebut membuktikan sedemikian besarnya arti dan dampak
foto sehingga menghasilkan tafsiran berjuta kata, sampai-sampai pembuat
foto sendiri terkena dampak dari kesimpulan foto yang telah dibuatnya. Foto
dapat mempunyai kekuatan luar biasa yang tidak terbayangkan oleh
siapapun, sehingga seorang wartawan foto sudah semestinya juga yakin
bahwa dengan kameranya ia bisa berbuat banyak melebihi ribuan atau
bahkan jutaan kata.8
Bagas Dharmawan dalam bukunya yang berjudul Belajar Fotografi
dengan Kamera DSLR membagi aliran-aliran fotografi ke dalam 13 bagian,
diantaranya:9
1) Journalism Photography atau biasa disebut foto jurnalistik adalah foto
yang terdapat niai berita dan unsur 5W+1H di dalamnya. Sebuah karya
foto dapat disebut foto jurnalistik apabila dalam foto itu terdapat nilai
sebuah berita. Tidak hanya itu saja, dalam foto itu juga harus
mengandung keterangan apa, siapa, kapan, di mana, kenapa, dan
bagaimana.
2) Portrait Photography adalah dimana sang fotografer menunjukan penuh
bagian muka objek atau subjek yang diambil bahkan hampir tanpa latar
belakang. Tujuan dari aliran foto ini adalah untuk menonjolkan ekspresi
7 Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), h.
69. 8 Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki, h. 71. 9 Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR (Yogyakarta: Pustaka Baru
Press), h. 80.
22
dari subjek yang difoto. Aliran ini juga menggambarkan kondisi
perasaan manusia dengan mengambil bagian besar raut wajah subjek,
dengan menghadap ke depan kamera.
3) Comercial Advertising photography ditujukan untuk promosi sebua
produk atau iklan. Peran komputer untuk mengolah foto cukup penting
dalam aliran ini, karena dalam prosesnya aliran ini dibutuhkan banyak
elemen guna keperluan iklan. Jadi bisa dikatakan fotografer yang
berkecimpung di dunia commercial advertising ini tidak hanya mahir
dalam bidang fotografi, namun juga mahir dalam olah digital di dalam
komputer.
4) Wedding Photography adalah aliran yang biasa dilakukan oleh
fotografer yang sudah ahli atau professional karena dalam aliran ini
dibutuhkan kecepatan dan ketepatan disetiap momen-momennya yang
penting serta bersejarah. Seperti namanya aliran ini ada disegala macam
aktifitas pernikahan. Tantangan dalam aliran ini yaitu mampu
mendapatkan momen-momen sakral saat proses pernikahan terjadi
karena momen tersebut tidak dapat diulang kembali.
5) Fashion photography hampir mirip dengan aliran commercial
advertising photography yaitu untuk mempromosikan pakaian atau
perlengkapan-perlengkapan berbusana. Yang membedakan dalam aliran
ini adalah barang yang ditampilkan adalah barang-barang fasion seperti
pakaian dan barang-barang perlengkapan yang digunakan tubuh. Fasion
photography menggunakan model sebagai pemanis dan penunjang
produk tersebut.
23
6) Food photography dibutuhkan untuk iklan sebuah makanan atau
minuman serta pengemasannya. Dalam pengambilan foto food
photography dibutuhkan alat dan keterampilan yang lebih karena tujuan
dari aliran ini membuat siapa saja yang melihat tertarik dan ingin
mencoba hidangan tersebut. Selain berfungsi sebagai promosi sebuah
hidangan, foto aliran ini juga sering dijumpai di dalam menu-menu
untuk memudahkan konsumen dalam memilih hidangan.
7) Landscape photography adalah aliran foto yang menunjukan
keindahan-keindahan alam. Aliran ini dikategorikan menjadi empat
bagian yaitu, foto landscape yang menampilkan pemandangan alam di
daratan, foto seascape yang menampilkan pemandangan lautan,
skyscape yang menampilkan pemandangan langit, dan terakhir
cityscape yang menampilkan foto pemandangan di kota atau di desa.
Kategori ini banyak diminati oleh beberapa fotografer dan penikmat foto
itu sendiri, karena dalam foto ini pembaca bisa menikmati keindahan
alam tanpa harus berpergian jauh ke suatu tempat.
8) Cinemagraph photograpy adalah aliran yang menampilkan foto yang
mampi bergerak. Dalam aliran ini perlu keahlian khusus dalam
pengambilan serta mengolah fotonya. Dalam pengolahannya foto diolah
menjadi file GIF yang membuat gambar mampu bergerak seperti
layaknya video.
9) Wildlife photography merupakan aliran yang menampilkan foto-foto
aktivitas hewan dalam keseharian baik pagi maupun malam. Aliran ini
tergolong berbahaya karena objek fotonya adalah binatang-binatang
24
yang menarik di alam bebas. Lensa tele (zoom) menjadi lensa yang
sering dipakai dalam aliran ini, karena memudahkan fotografer
mengambil gambar dari jarak yang cukup jauh untuk alasan keamanan.
10) Street photography biasanya aliran ini mengambil gambar secara diam-
diam atau biasa dikenal dengan snapshoot. Lokasi pengambilan gambar
bisa dimana saja, tentunya di luar ruangan. Foto aliran ini biasanya berisi
mengenai kehidupan di jalanan dan sekitarnya. Untuk mendapatkan
hasil yang baik seorang fotografer dalam aliran ini harus mampu
mengambil gambar tanpa diketahui oleh objek, agar gambar dihasilkan
natural atau apa adanya.
11) Underwater photography menampilkan foto-foto di bawah laut. Aliran
ini memiliki dua golongan yaitu macro photographer yang
menggambarkan keadaan laut secara dekat dan detail seperti ikan, siput,
rumput laut, dan biota laut lainnya. Sedangkan wide angle photographer
yang menampilkan keindahan pemandangan bawah laut secara luas.
Fotografi aliran ini terbilang cukup mahal jika ingin mendapatkan hasil
yang maksimal, karena untuk kameranya harus menggunakan pelapis
anti air, serta perangkat lainnya seperti lampu sebagai penerangan di
bawah laut yang juga harus memakai lampu pelindung anti air. Dimana
kedua aksesoris tersebut tergolong cukup mahal.
12) Infra red photography agak sulit dilakukan karena tidak semua kamera
bisa melakukannya dan harus ada perubahan-perubahan pengaturan di
dalam kamera yang harus memiliki sensitif pada cahaya inframerah.
25
Foto yang dihasilkan akan berbeda dengan warna aslinya karena yang
tampil dari hasil foto tersebut akan palsu warna atau hitam putih.
13) Macro photography yaitu aliran yang menampilkan foto-foto dengan
jarak sangat dekat serta sangat detail pada bagian tertentu dari sebuah
objek. Dalam aliran ini diperlukan lensa khusus yang biasa disebut
dengan lensa makro.
2. Fotografi Jurnalistik
Foto Jurnalistik menurut Kobre dalam bukunya yang berjudul
Photojournalism The Professionals Approach:
“Photojuornalism report with camera. Their job is to search out the
news pand report it in visual from. Today’s news photographers
must combine the skill of an incestigative reporter and
determination of a beat report with the flair of the feature writer.
Photojournalism are visual reporters who interpret the news with
cameras rather than pencil”.10
Definisi tersebut menjelaskan bahwa sebuah foto jurnalistik
merupakan laporan yang mempergunakan kamera untuk menghasilkan
bentuk visual. Seorang jurnalis foto hendaklah mampu menggabungkan
antara keahlian membuat laporan investigasi dan membedakan dengan
penulisan feature. Dengan demikian kobre menegaskan bahwa foto
jurnalistik adalah pelaporan visual yang menginterpretasikan berita lebih
baik dibanding tulisan.
10 Kenneth Kobre, Photojournalism The Professionals Approach (Burlington, USA: Focal
Press Elsevier, 1991), h. Viii.
26
Sederhanya yang dimaksud foto jurnalistik adalah foto yang bernilai
berita atau foto yang menarik bagi pembaca tertentu, dan informasi tersebut
disampaikan kepada masyarakat sesingkat mungkin.11
Hal tersebut menjelaskan bahwa ada pesan tertentu yang terdapat
dalam foto tersebut sehingga layak untuk disiarkan kepada masyarakat.
Secara umum, foto jurnalistik merupakan gambar yang dihasilkan lewat
proses fotografi untuk menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita suatu
peristiwa yang menarik bagi publik dan disebarluaskan lewat media
massa.12
Embrio foto jurnalistik muncul pertama kali pada senin 16 april
1877, saat surat kabar harian The Dialy Graphic di New York memuat
gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu.
Terbitan ini menjadi tonggak awal adanya foto jurnlistik pada media cetak
yang saat itu hanya berupa sketsa.13
Perkembangan foto jurnalistik kian melesat sejak saat itu hingga
masuk ke era foto jurnalistik modern yang dikenal dengan “golden age”
(1930-1950). Saat itu terbitan seperti Sports Illustrated, Vu, dan Life
menunjukan eksistensinya dengan tampilan foto-foto yang menawan. Pada
era itu muncul nama-nama jurnalis foto seperti Robert Capa, Alfred
Eisenstaedt, Margaret Bourke-White, David Seymour, dan W. Eugene
Smith. Lalu Henri Cartier-Bresson dengan gaya candid dan
dokumenternya.14
11 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 17. 12 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, h. 47. 13 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 1. 14 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 4-5.
27
Carter-Bresson, bersama Robert Capa, David Seymour, dan George
Rodger kemudian mendirikan Magnum Photos pada tahun 1947. Magnum
adalah agensi foto berita pertama yang menyediakan foto jurnalistik dari
berbagai isu dan belahan dunia.15
Sementara di Indonesia sendiri kemunculan foto jurnalistik diawali
oleh Kassian Cephas, seorang pribumi anak angkat pasangan belanda
dengan foto pertama yang diidentifikasi bertahun 1875. Kemudian pada
tahun 1942 munculah nama Alex Mendur16 yang bekerja sebagai kepala
divisi foto, di kantor berita Domei. Alex Mendur, Frans Soemarto Mendur,
JK Umbas, FF Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda kemudian
mendirikan IPPHOS (Indonesian Press Photo Service) pada 2 oktober 1946
di Jakarta.17
Perkembangan foto jurnalistik di Indonesia semakin konsisten dan
berkelanjutan setelah kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto
Jurnalistik Antara (GFJA) tahun 1992, galeri pertama yang fokus pada foto
jurnalistik. Dengan kelas fotografinya Antara menjadi katalis lahirnya
jurnalis foto muda.18
Kelahiran foto jurnalistik tidak dapat dipisahkan oleh rasa
keingintahuan manusia. Apalagi salah satu keunggulan foto, yaitu dianggap
15 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 5. 16 Karya fenomenal yang dibuat oleh Mendur bersaudara yaitu Alex dan Frans Mendur
adalah imaji proklamasi 17 agustus 1945, saat presiden Soekarno sedang membacakan teks
proklamasi. Tentara Jepang yang mengetahui adanya pendokumentasian peristiwa proklamasi
kemudian merampas dan menghancurkan negatif milik Alex Mendur. Namun Frans lebih beruntung,
ia berhasil menguburkan negatif miliknya sebelum digeledah oleh tentara Jepang. Berkat karya
Frans inilah, sehingga kini masyarakat Indonesia mempunyai bukti nyata bahwa Indonesia pernah
merdeka. (Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto,h. 10.) 17 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 8-9. 18 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 13.
28
“tidak dapat berbohong” dan dapat menangkap setiap detail peristiwa yang
disajukan sehingga bisa menggambarkan perkembangannya dengan cepat.19
Menurut Frank P. Hoy, dari sekolah Jurnalistik dan Telekomunikasi
Walter Cronkite, Universitas Arizona, pada bukunya yang berjudul
Photojournalism The Visual Approach, terdapat delapan karakter foto
jurnalistik, yaitu:20 1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto
(communication photography). Komunikasi yang dilakukan akan
mengekspresikan pandangan wartawan terhadap suatu subjek, tetapi pesan
yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi; 2. Medium foto
jurnalistik adalah media cetak koran atau majalah, dan media kabel atau
satelit juga internet seperti kantor berita (wire services); 3. Kegiatan foto
jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita; 4. Foto jurnalistik adalah
paduan dari foto dan teks foto; 5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia.
Manusia adalah subjek, sekaligus pembaca foto jurnalistik; 6. Foto
jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audiences). Ini
berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus segera diterima
orang yang beraneka ragam; 7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja
editor foto; 8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak
penyampaian informasi kepada sesama, sesuai amendemen kebebasan
berbicara dan kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).
Foto Jurnalistik setidaknya harus mempunyai sifat-sifat yang sama
seperti halnya berita tulis yaitu memuat unsur-unsur apa (what), siapa (who),
19 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, h. 92. 20 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 4.
29
di mana (where), kapan (when), dan mengapa (why). Bedanya dalam bentuk
‘visual’, foto berita mempunyai kelebihan dalam menyampaikan unsur
(how), yaitu bagaimana kejadian itu berlangsung. Meskipun dalam suatu
peristiwa itu unsur (how) bisa terjawab dalam tulisan (berita tulis) tetapi
dalam sebuah foto, unsur ‘how’ lebih dapat menguraikan secara lebih baik
lagi.21
Audy Mirza Alwi menjelaskan bahwa foto jurnalistik terbagi
menjadi dua kategori yaitu foto berita dan foto feature.22 Foto berita adalah
adalah foto yang harus sesegera mungkin disampaikan kepada pembaca.
Tema foto berita umumnya meliputi informasi yang selalu ingin diketahui
perkembangannya dari waktu ke waktu oleh pembaca, seperti berita politik,
kriminal, olahraga, dan ekonomi. Sementara itu foto feature adalah foto
yang dalam penyiarannya dapat ditunda kapan saja. Tema berita yang
terdapat dalam foto feature pada umumnya lebih kepada masalah ringan
yang menghibur dan tidak membutuhkan pemikiran yang mendalam bagi
pembacanya serta mudah dicerna.23
21 Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki, h. 23. 22 Wilson Hicks Editor majalah Life mengatakan bahwa unit dasar dari foto jurnalistik
adalah foto tunggal dengan teks yang menyertainya yang disebut single picture. Foto tunggal bisa
berdiri sendiri serta dapat menyertai suatu berita atau feature. Selain foto tunggal terdapat pula foto
seri atau foto essay. Foto seri atau esai adalah foto-foto yang terdiri atas lebih dari satu foto tetapi
masih dalam satu tema pemberitaan. Baik foto seri atau esai pembuatanya memakan waktu yang
cukup lama. Namun, keduanya memudahkan fotografer dalam menjelaskan suatu peristiwa ke
dalam beberapa foto. Baik foto berita maupun foto feature bisa disiarkan dalam bentuk satu foto
tunggal disertai teks yang disebut foto tunggal (single picture), dan foto seri/foto esai (photo
story/photo essay). (Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa, h. 6.) 23 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 5.
30
Mengacu pada Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo
Foundation), Audy Mirza Alwi membagi jenis foto Jurnalistik kedalam
sembilan kategori, diantaranya:24
1) Spot Photo
Foto spot adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal
atau tidak terduga yang diambil oleh fotografer langsung di lokasi
kejadian. Misalnya, foto peristiwa kecelakaan, kebakaran, perkelahian,
dan perang. Karena dibuat dari peristiwa yang jarang terjadi dan
menampilkan konflik serta ketegangan, foto spot harus segera disiarkan.
2) General News Photo
General news photo adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa
yang terjadwal, rutin, dan biasa. Pada umumnya bertemakan politik,
ekonomi, dan humor.
3) People in the News Photo
Prople in the news photo adalah foto tentang orang atau masyarakat
dalam suatu berita, yang ditampilkan merupakan pribadi atau sosok
orang yang menjadi berita itu.
4) Daily Life Photo
Daily life photo adalah tentang kehidupan sehari-hari manusia
dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).
24 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 7.
31
5) Potrait
Potrait adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up.
Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau
kekhasan lainnya.
6) Sport Photo
Sport photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga.
7) Science and Technology Photo
Science and technology photo adalah foto yang diambil dari peristiwa-
peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
8) Art and Culture Photo
Art and culture photo adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan
budaya.
9) Social and Environment
Social and environment adalah foto tentang kehidupan sosial
masyarakat serta lingkungan hidupnya.
3. Etika Fotografi Jurnalistik
Seorang wartawan foto (fotografer jurnalistik) memiliki syarat yang
hampir sama dengan paparazzi,25 yaitu sama-sama sebagai ‘pemburu’ berita
fotografi. Namun demikian yang membedakannya adalah masalah etika
(etik).26
25 Paparazi adalah profesi yang membuat berita foto, yang nilainya didasarkan atas uang
dan sering mengabaikan subjek yang difoto. Sehingga dapat dikatakan semangat bekerjanya bisa
menghancurkan. Sedang wartawan foto bekerja atas dasar nilai berita dalam arti sesungguhnya,
karena itu sifatnya positif, lurus dan memiliki semangat memperbaiki. (Atok Sugiarto, Jurnalisme
Pejalan Kaki, h. 18.) 26 Atok Sugiarto, Jurnalisme Pejalan Kaki, h. 18.
32
Secara umum wartawan foto adalah karyawan atau pekerja pers,
sehingga keberadaannya memiliki syarat-syarat etika. Dan karenanya pula
untuk menjadi wartawan foto harus mematuhi kode etik jurnalistik.
Berbicara mengenai etika, berkutat soal apa yang pantas dan apa
yang tidak pantas terkait suatu hal. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).27 Sedangkan menurut Rita Gani
dan Ratri Rizki Kusumalestari dalam bukunya Jurnalistik Foto Suatu
Pengantar mendefinisikan etika sebagai nilai-nilai, norma-norma, dam asas-
asas moral yang dipakai sebagai pegangan yang umum diterima bagi
penentuan baik-buruknya perilaku manusia atau benar-salahnya tindakan
manusia sebagai manusia.28
Fotografi jurnalistik memiliki etika dalam mengatur konten foto
jurnalistik. Di Indonesia sendiri memiliki payung hukum yang menaungi
para fotografer jurnalistik dalam menjalankan tugasnya. Mengacu pada
Undang –undang nomor 40 tahun 1999 tantang pers, maka dibentuklah
Dewan Pers sebagai lembaga independen yang berfungsi melindungi
kebebasan pers.29
Salah satu tujuan dibentuknya dewan pers adalah untuk menetapkan
serta mengawasi kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik inilah yang harus
ditaati oleh para wartawan, organisasi pers, dan perusahaan pers.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwa batasan etika adalah salah
27 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 402. 28 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, h. 158. 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Bab V Pasal 15.
33
satunya terdapat kewajiban dan hak. Dewan pers merumuskan kode etik
jurnalistik dalam 11 pasal, pada pasal 4 jelas disebutkan bahwa wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.30
Dalam masalah konten yang terdapat di dalam foto jurnalstik,
Taufan Wijaya dalam bukunya Jurnalistik Foto menjelaskan, etika dikaitkan
dengan hal-hal etis, seperti kesopanan dan pantas atau tidaknya sebuah foto
untuk disajikan.31 Dengan adanya etika diharapkan fotografer bisa
membatasi dirinya saat bekerja di lapangan dan saat mengolah foto
tersebut.32
Salah satu yang tidak diizinkan seorang fotografer jurnalistik adalah
mengambil gambar yang berhubungan dengan perlindungan. Misalnya foto
pekerja seks, pelaku kejahatan anak di bawah umur, korban tindak asusila
dan aksi bunuh diri untuk menghindari kesan yang berkelanjutan
dikemudian hari.33 Hal tersebut dimaksudkan guna melindungi pribadi
mereka dari kesan eksploitasi dan penghakiman di tataran lingkungan sosial
masyarakat. Audy Mirza Alwi menambahkan, bahwa wartawan Indonesia
juga tidak dapat menyiarkan hal-hal yang bersifat destruktif dan dapat
merugikan bangsa dan negara, hal-hal yang dapat menimbulkan kekacauan,
hal-hal yang dapat menyinggung perasaan asusila, agama, kepercayaan atau
keyakinan atau suatu golongan yang dilindungi undang-undang.34
30 Lembaga Dewan Pers Indonesia, Kode Etik Jurnalistik (Jakarta: Dewan Pers Indonesia,
2011), pasal 4. 31 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 83. 32 Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto Suatu Pengantar, h. 158. 33 Taufan Wijaya, Jurnalistik Foto, h. 84. 34 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 9.
34
Dalam memproduksi foto tentang kecelakaan atau pembunuhan,
tidak boleh menampakkan wajah korban, serta diambil dari jarak agak jauh.
Serta foto pengadilan yang dibuat dari belakang orang yang diadili, bukan
dari depan, selama status orang tersebut masih tersangka, untuk
menghindari penghukuman yang dilakukan oleh wartawan (trial by the
press). Selain itu dalam teknik memanipulasi gambar di komputer juga tidak
boleh dilakukan jika hal tersebut dirasa menimbulkan pesan yang berbeda
dari kejadian yang sebenarnya terjadi. Namun mengganti warna hitam putih
pada sebuah foto korban kecelakaan yang berlumuran darah dapat dilakukan
dengan alasan menjaga kenyamanan pelihat foto saat menyaksikan foto.35
B. Tinjauan Umum Tentang Semiotika
Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semion yang berarti
tanda, atau seme yang berarti penafsir tanda.36 Dalam prakteknya semiotika
berfungsi sebagai ilmu atau metode analisis yang digunakan untuk mengkaji
tanda.37 Seperti pada penelitian ini, peneliti menggunakan semiotika sebagai alat
untuk mengkaji tanda-tanda dalam foto karya Rosa Panggabean yang berjudul
Exile, guna melihat representasi nasionalisme dalam foto tersebut.
Dalam sejarah linguistik, selain istilah semiotika dan semiologi terdapat
pula istilah semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi
yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Sesungguhnya
kedua isltilah semiotika dan semiologi mengandung pengertian yang sama,
35 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 10. 36 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 16. 37 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15.
35
walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya
menunjukkan pemikiran pemakainya. Mereka yang bergabung dengan Pierce
menggunakan kata semiotika, sedangkan mereka yang tergabung dengan
Saussure menggunakan kata semiologi. Namun ada kecendrungan, istilah
semiotika lebih popular daripada istilah semiologi sehingga para penganut
Saussure pun sering menggunakannya. Baik semiotika maupun semiologi,
keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan
untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda. Satu-satunya perbedaan antara
keduannya, adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa,
sementara semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris.
Dengan kata lain, penggunaan kata semiologi menunjukan pengaruh kubu
Saussure, sedangkan semiotika lebih tertuju pada kubu Pierce.38
Mengacu kepada penjelasan di atas, pada penelitan ini peneliti akan
menggunakan kata semiotika dalam penulisan selanjutnya, karena selain
memiliki arti yang sama, istilah semiotika juga lebih populer ketimbang
semiologi, sehingga penelitian ini akan mudah dicerna oleh para pembaca.
Terdapat tiga tokoh besar dalam ilmu Semiotika, yaitu: (1) Ferdinand de
Saussure; (2) Roland Barhes; (3) Charles Sanders Pierce.
1. Semiotika Ferdinand de Saussure
Saussure dilahirkan di Jenewa pada tahun 1857, semasa
hidupnya ia berada dalam satu zaman dengan Sigmund Freud dan Emile
Durkheim. Saussure hidup dalam keluarga yang sangat terkenal di kota
38 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 11-12.
36
Jenewa karena keberhasilan mereka dalam bidang ilmu. Selain sebagai ahli
linguistik, ia juga adalah seorang spesialis bahasa-bahasa Indo-Eropa dan
sansakerta yang menjadi sumber pembaruan intelektual dalam bidang ilmu
sosial dan kemanusiaan.39
John Lyons mengatakan:
“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistic
modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de
Saussure”. 40
Dalam definisi Saussure, semiotika merupakan sebuah ilmu yang
mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat serta menjadi bagian
dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan
bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang
mengaturnya.41
Menurutnya bahasa itu adalah suatu tanda, dan setiap tanda itu
tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda).
Bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara-suara, baik suara
manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa dikatakan sebagai
bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut
mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, pengertian-
pengertian tertentu.42
Tanda adalah kesatuan dari bentuk penanda dengan sebuah ide atau
petanda. Penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna.
Dengan kata lain, penanda adalah aspek material dari bahasa, apa yang
39 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 45. 40 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 43. 41 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 12. 42 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 46.
37
dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan
petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Dengan kata lain,
petanda adalah aspek mental dari bahasa.43 Jadi bisa diartikan ke dalam
bentuk yang sederhana bahwa, penanda adalah bentuk dari tanda itu sendiri.
Sedangkan petanda adalah orang yang memaknai bentuk dengan
pengetahuan yang ia miliki sesuai norma yang berlaku di masyarakat.
2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis
yang sering mempraktekkan model linguistik dan semiotik Saussurean. Ia
juga intelektual dan kritikus sastra prancis yang ternama, eksponen
penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra.44 Dalam teori
semiotikanya Barthes telah mengembangkan pendekatan struktural untuk
membaca sebuah fenomena gambar ysng mengandung tahapan-tahapan dan
pendekatan lain yang dapat digunakan untuk membedah penandaan dalam
karya fotografi.
Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah
Protestan di Cherbourg. Ayahnya, adalah seorang perwira angkatan laut
yang gugur dalam pertempuran di Laut Utara sebelum usia Barthes
menginjak satu tahun. Sepeninggal ayahnya, ia kemudian diasuh oleh ibu,
kakek, dan neneknya. Di usia Sembilan tahun ia pindah ke Paris bersama
ibunya yang bergaji kecil sebagai penjilid buku. Menginjak dewasa, Barthes
menderita penyakit tuberkulosa (TBC). Di tengah-tengah masa
43 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 46. 44 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63.
38
pemulihannya, Barthes menghabiskan waktu untuk membaca banyak hal,
dan menerbitkan beberapa artikel. Dari masa itulah karir Barthes terus
berkembang hingga namanya menjadi popular bersama karya-karyanya.45
Bagi Barthes perspektif semiotika adalah semua sistem tanda, entah
apapun substansinya serta batasannya (limit), yakni berupa: gambar, gerak
tubuh, bunyi, melodis, benda-benda, dan berbagai kompleks yang tersusun
oleh substansi yang merupakan sistem signifikasi (pertandaan), kalau bukan
merupakan ‘bahasa’ (language).46
Barthes menyempurnakan teori semiotik Saussure yang hanya
berhenti pada pemaknaan penanda dan petanda saja (denotasi). Barthes
mengembangkan dua tingkatan pertandaan (two way of signification), yang
memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat,
yaitu tingkat denotasi dan konotasi.47
Tabel 1 : Peta Tanda Roland Barthes48
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Connotative signifier
(penandaan konotatif)
5. Connotative
signified (petandaan
konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
45 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64. 46 Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 3. 47 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69. 48 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69.
39
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut
merupakan unsur material.49 Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak
sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.50
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas
yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Sedangkan
konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dengan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang implisit,
tidak langsung dan tidak pasti, artinya terbuka terhadap berbagai
kemungkinan. Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk
ketika penanda diakitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan,
emosi atau keyakinan.51
Barthes menjelaskan untuk memaknai konotasi yang terkandung
dalam sebuah foto, harus melewati prosedur-prosedur sebagai berikut,
diantaranya:52
a. Trick effect, artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyamaikan maksud pembuat berita.
49 Paul Cobley dan Litza Jansz, Introducing Semiotics (New York: Icon Books-Totem
Books, 1999), h. 51. 50 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69. 51 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261. 52 Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 7.
40
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam
mengambil foto berita, seorang wartawan foto akan memilih objek yang
sedang diambil.
c. Object, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke
dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of interest (POI) pada
sebuah gambar/foto.
d. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.
Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring
(keburaman), Panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze
(efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek), dan sebagainya.
Tabel 2: Pemaknaan photogenia dalam menganalisis foto53
TANDA
MAKNA KONOTASI
Photogenia Teknis
Fotografi
Pemilihan
Lensa
Normal Normalitas keseharian
Lebar Dramatis
Tele Tidak personal, voyeuritis
Shot size Close up Intimate, dekat
Medium up Hubungan personal dengan
subjek
Full shot Hubungan tidak personal
Long shot Menghubungkan subjek dengan
konteks, tidak personal
Sudut pandang High angle Membuat subjek tampak tidak
berdaya didominasi, dikuasai,
kurang otoritas
Eye level Khalayak tampil sejajar dengan
subjek, memberi kesan sejajar,
kesamaan, sederajat
53 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.
43.
41
Low angle Menambah kesan subjek
berkuasa, mendominasi, dan
memperlihatkan otoritas
Pencahayaan High key Kebahagiaan, cerah
Low key Suram, muram
Datar Keseharian, realistis
Penempatan
subjek/objek
pada bidang
foto
Atas Memberi kesan subjek berkuasa
Tengah Subjek penting
Bawah Subjek tidak penting
Pinggir Subjek tidak penting
e. Aestheticism, yaitu format gambar atau setetika komposisi gambar
secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
f. Syntax, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada
pada capion (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat membatasi
serta menimbulkan makna konotasi. Adapun fungsi caption itu sendiri
selain untuk membatasi pokok pikiran pesan yang ingin disampaikan,
juga berfungsi supaya maksud dari pesan itu cepat tersampaikan.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,
yang disebutkannya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan
dan memberikan pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu
periode tertentu.54 Dalam pandangan Barthes mitos adalah pengkodean
makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.55 Mitos
juga dapat diartikan sebagai sesuatu hasil dari tahap konotasi yang telah
sangat dipercayai dan menyebar dalam masyarakat hingga mejadi sebuah
54 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 71. 55 Tommy Christomy, Semiotika Budaya (Depok: Universitas Indonesia), h. 94.
42
ideologi.56 Mitos juga merupakan hasil dari kelas sosial yang sudah
memiliki dominasi dan hal ini berkaitan dengan realitas atau gejala alam.57
Sehingga dapat dikatakan mitos adalah tahapan pencarian makna
berdasarkan ideologi atau pemikiran yang sedang berkembang di
masyarakat.
Pada zaman dahulu contoh mitos yang berkembang dalam
masyarakat tentang kehidupan atau kematian, tentang dewa-dewa, atau
kepercayaan, hal ini jelas berbeda dengan mitos yang berkembang dalam
masyarakat zaman ini yaitu tentang ilmu pengetehuan, kesuksesan, gender,
dan hal semacan itu.58
Mitos bukanlah seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos
bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan
irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur.
Tetapi menurut Barthes mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya
bicara) seseorang. Mitos digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang
tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala
kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan
menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang
tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).59
56 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Universitas Indonesia,
2008), h. 5. 57 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2011), h. 17. 58 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h. 22. 59 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), h. 127.
43
3. Semiotika Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Pierce adalah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensional, selain itu Pierce juga dikenal sebagai seorang
pemikir yang argumentatif. Pierce lahir di keluarga intelektual pada tahun
1839. Ayahnya Benjamin adalah seorang professor matematika di
Harvard.60 Sumbangan pemikiran Pierce pada ilmu logika filsafat dan
matematika khususnya semiotika, berpendapat bahwa teori semiotikanya
hingga karyanya tentang tanda adalah hal yang tidak terpisahkan dari
logika.61
Pierce menjelaskan bahwa tanda adalah hal yang mewakili sesuatu
bagi seseorang.62 Dengan kata lain tanda yang diciptakan oleh sesorang
adalah bentuk lain dari media penyampai pesan, yang mewakili informasi
yang ingin di sampaikan kepada orang lain.
Pierce Membedakan tipe-tipe tanda menjadi tiga bentuk, antara
lain:63
a. Ikon
Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda
itu mudah dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon biasanya
sesorang cukup dengan ‘melihat’ saja, agar dapat mengartikan makna
dalam sebuah tanda. Contohnya adalah bentuk dari rambu lalu lintas
yang memiliki kesamaan dengan objek yang sebenarnya.
60 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 39. 61 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 40. 62 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 39. 63 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h. 14.
44
b. Indeks
Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan antara penanda dengan
petanda, atau bisa dikatakan memiliki hubungan sebab akibat. Di dalam
indeks seseorang harus memprtkirakan suatu hubungan sebab akibat,
agar dapat memaknai sebuah tanda. Contohnya adalah adanya asap
karena api.
c. Simbol
Simbol merupakan jenis tanda yang dihasilkan dari kesepakatan oleh
sejumlah orang atau masyarakat. Di dalam simbol seseorang harus
mempelajari terlebih dahulu tanda tersebut, agar dapat memaknai
sebuah tanda. Contohnya adalah rambu-rambu lalu lintas yang sudah
bersifat simbolik, atau sudah dikenal oleh masyarakat luas. Rambu-
rambu lalu lintas tersebut sudah dapat dikatakan simbol.
Pada penelitian ini, peneliti akan memakai teori semiotika Roland
Barthes dengan memaknai sebuah tanda melalui tiga tahapan, yaitu denotasi,
konotasi, dan mitos. Selain itu, semiotika Barthes juga dapat memaknai tanda-
tanda di dalam sebuah foto secara lebih mendalam dengan memakai batasan-
batasan seperti, efek tiruan, pose, objek, fotogenia, estetisme dan sintaksis.
45
C. Teori Representasi
Menurut John Fiske, saat kelompok atau seseorang menampilkan objek
peristiwa maupun gagasan, paling tidak ada tiga proses yang dihadapi:64
1. Realitas
Pada level pertama adalah peristiwa yang ditandakan sebagai realitas.
Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh media. Dalam
bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian,
lingkungan, ucapan, dan ekspresi. Di sini, realitas selalu siap ditandakan.
2. Representasi
Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas,
pertanyaan berikunya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Di sini,
kita menggunakan perangkat teknis. Dalam bahasa gambar, alat teknis itu
berupa kamera, pencahayaan, editing, atau musik. Pemakaian kata-kata,
kalimat atau preposisi tertentu misalnya, membawa makna tertentu ketika
diterima oleh khalayak.
3. Ideologi
Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam
konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode
representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam hal yang berkaitan
dengan sosial seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada
dalam masyarakat (patriarki, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya).
64 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001),
h. 114.
46
Menurut kamus besar bahas Indonesia Representasi memiliki arti sesuatu
perbuatan yang mewakili.65 Menurut Marcel Danesi representasi adalah proses
merekam ide, pengetahuan, atau pesan dalam beberapa cara fisik. Hal tersebut
dapat didefiniskan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk
menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti,
diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik.66
Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, Representasi
mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala kita masing-masing
(peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak.
Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep
abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang
lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang
sesuatu dengan tanda dari simbol tertentu.67
Media massa sebagai teks banyak menebarkan bentuk-bentuk
representasi pada isinya. Representasi dalam media massa menunjuk pada
bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu
ditampilkan dalam pemberitaan.68 Stuart Hall berpendapat bahwa ada dua
prinsip representasi sebagai sebuah proses produksi makna melalui bahasa.
Pertama, representasi untuk mengartikan sesuatu, maksudnya adalah
representasi menjelaskan dan menggambarkan dalam pikiran dengan sebuah
gambaran imajinasi untuk mendapatkan persamaan sebelumnya dalam pikiran
65 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, h. 1296. 66 Marcel Danesi, Understanding Media Semiotics (London: Arnold), h. 3. 67 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h. 122. 68 Eriyanto, Analisi Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 113.
47
atau perasaan kita. Kedua, representasi digunakan sebagai alat untuk
menjelaskan atau mengkonstruksi makna dari sebuah simbol.69
Menurut David Croteau dan Wiliam Hoynes, representasi merupakan
hasil dari suatu penyeleksian yang menggaris bawahi hal-hal tertentu. Dalam
representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi
tentang suatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-
kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang
digunakan, sementara tanda lain diabaikan.70
Stuart hall mengemukakan bahwa ada tiga bentuk pendekatan
representasi makna melalui bahasa. Pertama, reflektif, dimana representasi
menggunakan bahasa sebagai cermin yang merefleksikan/memantulkan makna
yang sebenarnya Misalnya, ketika kita melihat “piring” maka kita menyebutnya
“piring”. Kedua intensional, dimana menggunakan bahasa sebagai alat untuk
mengekspresikan apa yang ingin kita sampaikan atau lakukan. Misalnya,
memberi kecupan di kening sebagai tanda kasih sayang dan perlindungan.
Ketiga konsruksionis, dimana pemaknaan dikontruksi melalui bahasa. Misalnya,
tanda cinta disimbolkan dengan bunga mawar, bukan kamboja. Karena bunga
mawar memiliki banyak duri dan yang memetik rela terkena duri, demikian
dengan cinta siap atas sakitnya duri. Sedangkan kamboja seringkali dijumpai di
pemakaman, sehingga identik dengan bunga kematian. 71
Dari ketiga pendekatan diatas, terlihat bagaimana bahasa yang digunakan
merupakan cerminan dari sebuah makna atas apa yang ingin dikontruksikan.
69 Stuart Hall, Culture, the Media and the Ideological Effect (London: mass
Communication & Society, 1997), h. 16. 70 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 3-4. 71 Stuart Hall, Culture, the Media and the Ideological Effect, h. 17.
48
Begitu juga dengan gambar atau foto, bahwa setiap foto yang dihasilkan oleh
seorang fotografer adalah hasil imajinasi yang ada di pikirannya, atau pesan yang
coba ingin disampaikan kepada khalayak.
D. Konsep Nasionalisme dalam Pandangan Tokoh
Nasionalisme berasal dari kata Nation yang berarti bangsa.72 Secara
etimologis, terma nasionalisme, natie, national, kesemuanya berasal dari bahasa
latin, yakni nation yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata
nation ini berasal dari kata nascie yang berarti dilahirkan.73 Sedangkan
pengertian bangsa menurut Grosby adalah wilayah komunitas dari tanah
kelahiran.74 Dan nasionalisme adalah paham dan proses di dalam sejarah ketika
sekelompok orang merasa menjadi anggota dari suatu bangsa (nation) dan
mereka secara bersamaan ingin mendirikan suatu negara (state) yang mencakup
semua anggota kelompok itu.75 Jadi dapat dikatakan, nasionalisme adalah suatu
paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan
kepada negara kebangsaan.76
Nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta
memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seseoang
nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas
bangsa.77 James G Kellas mengatakan nasionalisme merupakan sebuah ideologi
72 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 57. 73 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai (Yogyakarta: LkiS, 2007), h. 28. 74 Steven Grosby, Nasionalisme (Surabaya: Portico, 2010), h. 11. 75 Setiawan, Nasionalisme NU (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2007), h. 25. 76 Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 11. 77 Anthony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah (Jakarta: Erlangga, 2003), h.
26.
49
dan bentuk prilaku. Ideologi nasionalisme dibangun di atas masyarakat yang
memiliki kesadaran berbangsa (kesadaran diri nasional) yang ditunjukan dengan
sikap dan aksi, dalam bentuk budaya, ekonomi, atau politik.78
Sementara itu M.D La Ode mengungkapkan, Nasionalisme merupakan
bentuk tertinggi dari sebuah loyalitas yang dirasakan oleh seorang individu atas
sebuah bangsa. Ini juga merupakan sebuah perasaan yang mendalam terhadap
tanah asal (kampung halaman) seseorang, tradisi lokal dan otoritas territorial
yang didirikan sepanjang sejarah.79
Pandangan lain dikemukakan oleh Schiller tentang nasionalisme, di
dalam konsepnya yang disebut dengan nasionalisme jarak jauh adalah sebagai
satu perangkat mengenai klaim identitas dan praktik-praktik yang dilakukan
yang menghubungkan orang-orang yang tinggal di pelbagai wilayah geografis
kepada wilayah khusus yang mereka anggap sebagai rumah leluhur mereka.
Menurut Benedict Anderson, nasionalisme jarak jauh ditunjukan oleh mereka
yang secara geografis tidak tinggal di Indonesia, bukan lagi warga negara
Indonesia, dan aktivitas sosial mereka tentang hal-hal yang terkait dengan
Indonesia.80
Lahirnya nasionalisme di Indonesia tidak dapat terlepas dari kongres
pemuda pada tanggal 28 oktober 1928. Kongres tersebut dihadiri oleh para
78 James G. Kellas, The Politics of Nationalism and Ethnicity (USA: St. Martin’s Press,
Inc, 1998), h. 4. 79 M D. La Ode, Etnis Cina Indonesia dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota
Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h.
54-55. 80 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan
Kemunculan Eksil Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI),
Volume 17 No. 1, 2015, h. 74.
50
pelajar dan mahasiswa seluruh Hindia Belanda.81 Adapun dari kongres tersebut
dihasilkan ikrar yang disetujui oleh seluruh peserta kongres yang disebut sebagai
sumpah pemuda. Berikut butir sumpah pemuda tersebut;82
Pertama, kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah
jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea, kami poetra dan poetri Indonesia
mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga, kami poetra
dan poetri Indonesia mendhoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.
Seluruh peserta kongres saat itu menyerukan bahwa harus adanya satu
kesatuan bagi Indonesia dalam bertanah air, berbangsa dan berbahasa.83 Dalam
tafsirannya pada butir pertama menegaskan bahwa masyarakat Indonesia tetap
satu tanah air walaupun memiliki banyak perbedaan, hal itu tentu diawali oleh
rasa senasib sepenanggungan sewaktu dijajah dalam waktu yang lama. Pada butir
kedua adalah lebih kepada legitimasi terhadap bangsa Indonesia. Sehingga
bangsa Indonesia dapat menjalankan kewajiban dan hak kebangsaannya, serta
mendapatkan pengakuan dari bangsa lain. Lalu pada butir ketiga, ditegaskan
bahwa masyarakat Indonesia wajib memakai bahasa nasional, yaitu bahasa
Indonesia. Mengingat Indonesia memiliki keragaman bahasa dari suku ataupun
ras, penyatuan bahasa dirasa perlu sebagai wujud dari bersatunya ras dan suku
tersebut.84
81 Tirto.id, Para Panitia Sumpah Pemuda, diakses dari https://tirto.id/para-panitia-sumpah-
pemuda-bYAj, pada tanggal 27 April 2017. 82 Wikisource, putusan Kongres Pemuda-Pemuda Indonesia, diakses dari
https://id.wikisource.org/wiki/Putusan_Kongres_Pemuda-pemuda_Indonesia, pada tanggal 21
April 2017. 83 Andi Suwirta, Memaknai Peristiwa Sumpah Pemuda dan Revolusi Kemerdekaan
Indonesia dalam Perspektif Pendidikan, diakses dari
https://www.academia.edu/15260897/Memaknai_Peristiwa_Sumpah_Pemuda_dan_Revolusi_Kem
erdekaan_Indonesia, pada tanggal 27 April 2017. 84 Dwi Januar, Menggali Makna yang Terkandung di dalam Ikrar Sumpah Pemuda, diakses
dari
https://www.academia.edu/8927732/MENGGALI_MAKNA_YANG_TERKANDUNG_DI_DAL
AM_IKRAR_SUMPAH_PEMUDA?auto=download, pada tanggal 27 April 2017.
51
1. Soekarno
Seperti yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam buku
“Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia” menjelaskan, bagi
Soekarno nasionalisme merupakan konsep sentral untuk membangun
Indonesia yang mandiri dan terhormat di tengah percaturan internasional.
Nasionalisme harus berdasarkan perasaan cinta kepada seluruh manusia.
Namun, masyarakat Indonesia jelas terlalu majemuk dalam banyak hal
untuk bisa diakomodasi dalam satu konsep nasionalisme. Karena baginya,
konsep nasionalisme harus mampu memikat dan mengikat seluruh bagian
masyarakat Indonesia.85
Soekarno mengutuk eksklusivisme dan chauvisme nasionalisme
Eropa, yang justru menciptakan eksploitasi tehadap bangsa-bangsa Asia
Afrika.86 Hal itulah yang membuat Soekarno memilih konsep nasionalisme
Timur untuk Indonesia, karena menurutnya nasionalisme Timur lebih
bersifat peri-kemanusiaan. Hal tersebutlah yang membuat konsep
nasionalisme Indonesia menjadi anti imprealisme dan kolonialisme, serta
anti-kapitalisme.87 Konsep nasionalisme Timur lahir karena adanya
kesamaan sejarah di antara bangsa-bangsa di wilayah Timur, yang pernah
sama-sama merasakan kesengsaraan dan penindasan yang dilakukan oleh
penjajah bangsa Barat (terutama Eropa).88
85 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia
(Jakarta: LIPI Press, 2011), h. 123. 86 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 123. 87 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
h. 85. 88 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, h. 77.
52
Selain itu, Soekarno menjelaskan bahwa berdirinya suatu bangsa,
rakyat harus melewati satu sejarah yang sama, dan memiliki kemauan serta
keinginan hidup menjadi satu.89 Kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia
bukan lagi menjadi penghalang untuk terbentuknya nasionalisme,
melainkan rakyat Indonesia harus memiliki sejarah yang sama dan kemauan
untuk bersatu, sehingga terbentuklah rasa cinta kepada bangsa Indonesia.
Dengan kata lain Soekarno merumuskan nasionalisme ke dalam beberapa
faktor, rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib, serta persatuan
antara orang dan tempat.90
Dalam perumusan nasionalismenya, Soekarno mengambil dan
menerapkan “analisis Marxis” tentang penindasan imprealisme. Soekarno
juga menggunakan sikap permusuhan kaum Muslimin terhadap kaum
penjajah kafir. Dengan begitu Soekarno dapat mengembangkan gagasan
nasionalisme untuk mendamaikan berbagai elemen yang bertentangan di
masarakat dan membawanya ke dalam tujuan jangka panjang. Dalam
kerangka itulah, pada tahun 1960-an Soekarno kemudian mengeluarkan
konsep Nasakom untuk menyimbolkan kesatuan nasionalisme, agama, dan
komunisme.91
Nasionalisme tidak hanya mengacu kepada tempat kelahiran
seseorang, melainkan pada tempat dimana mereka tinggal. Hal tersebut
dijelaskan oleh Soekarno dalam sebuah konsep nasionalisme Islam, bahwa
di manapun orang Islam bertempat tinggal, meskipun mereka jauh dari
89 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, h. 60. 90 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, h. 60. 91 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 124.
53
tempat kelahirannya, mereka harus mencintai dan bekerja untuk keperluan
negeri dan rakyat di negara yang mereka tempati.92
2. Azyumardi Azra
Azyumardi Azra menyebutkan, nasionalisme terbagi menjadi
beberapa tipe, yaitu nasionalisme agama, kultural (budaya), politik, serta
ekonomi.93
Nasionalisme agama adalah sikap cinta tanah air yang didasarkan
oleh agama. Di dalam agama Islam sendiri tidak pernah mepertentangkan
masalah nasionalisme.94 Justru Islam menganjurkan setiap muslim memiliki
rasa nasionalisme. Merujuk pada sebuah Hadist, Muhamad Rasyid Ridha,
tokoh pembaharu Islam di Mesir pada abad ke-20, mengatakan hubbul
wathan iman yang artinya cinta tanah air merupakan bagian dari iman.95
Dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sebenarnya
Indonesia memiliki potensi besar untuk membentuk religion-nationalism.
Potensi tersebut tidak terjadi karena adanya kemajemukan agama di dalam
masyarakat. Meskipun pada awalnya terjadi perdebatan masalah ideologi
negara, semua pemimpin Indonesia termasuk yang beragama Islam
92 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, h. 61.
93 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia
h. 10. 94 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 107. 95 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 108.
54
bersepakat menerima Pancasila.96 Secara konstitusional, nasionalisme
keislaman dan keindonesiaan sudah terwujud di dalam Pancasila.97
Nasionalisme agama menurut Azra telah menjadi instrumen untuk
membangun solidaritas di antara suku-suku yang berbeda.98 Sebagai contoh
orang Kristen di Tapanuli yang lebih merasa dekat dengan orang Kristen di
Manado daripada orang Islam di Tapanuli itu sendiri. Agama berperan aktif
dalam membangun sikap nasionalisme di Indonesia. Karena kesamaan
agama dalam masyarakat dapat membentuk sebuah kedekatan yang lebih
kuat.99
Nasionalisme kultural (budaya), adalah sikap cinta tanah air yang
didasarkan oleh kebudayaan seseorang. Menurut Azra nasionalisme
kebudayaan (cultural nationalism) di Indonesia cukup mencemaskan.100
Globalisasi informasi dan budaya yang dikendalikan oleh negara-negara
maju semakin dirasakan mengancam ketahanan budaya Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya. Meskipun tidak seluruh sistem nilai dan
budaya yang disebarkan itu berdampak negatif bagi perkembangan budaya
tradisional Indonesia yang mengandung banyak kearifan lokal.101
96 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 110. 97 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 109. 98 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 109. 99 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 110. 100 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 116. 101 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 118.
55
Bagaimanapun juga nasionalisme kebudayaan Indonesia masih
kalah, jika dibandingkan dengan nasionalisme prancis dan sejumlah negara
Eropa barat lainnya, yang sempat mengancam untuk memboikot program-
program TV buatan Amerika yang semakin mendominasi tayangan TV di
Negara mereka. Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya, masih
terpesona dalam menyaksikan dan menerima globalisasi sistem nilai dan
gaya hidup Amerika.102
Menurut Azyumardi Azra Indonesia telah menjalani tiga fase
nasionalisme, diantaranya:103
a. Proto-Nasionalisme
Tahapan yang pertama adalah pertumbuhan awal gagasan
nasionalisme yang ditandai dengan penyerapan gagasan nasionalisme
ke dalam pembentukan organisasi-organisasi, yang disebut Benda dan
Mc Vey atau Hobsbawm sebagai “proto-nasionalisme”.104
Pembentukan organisasi pada fase ini lebih bersifat kultural, sosial,
pendidikan dan ekonomi ketimbang politis. Organisasi-organisasi
tersebut antara lain, Budi Utomo, Jong Java, Jong Islamieten Bond, dan
Serikat Dagang Islam (SDI).105
Melalui organisasi-organisasi inilah semangat nasionalitas coba
digalang dan diciptakan. Seperti yang dilakukan para kaum terpelajar
102 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 118. 103 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 118. 104 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 119. 105 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 121.
56
yang mengambil inisiatif menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa
“nasional” tanah air Indonesia dalam lingkup geografis kekuasaan
Belanda.106 Karena, seperti yang dikatakan oleh Gallner, nasionalisme
tidak harus memiliki akar begitu kuat dalam psikis masnusia, melainkan
nasionalisme harus diciptakan serta ditumbuhkan.107
b. Political Nationalism
Fase kedua dimana menurut Azra nasionalisme sangat sarat
dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural.108 Dimana proses
pembentukan nation-state, penerapan elemen-elemen dasar seperti
pancasila dan UUD 1945 menandai fase nasionalisme politik ini.109
Sehingga dapat dikatakan bahwa nasionalisme politik adalah sikap
cinta tanah air karena didasarkan kepada proses politik yang terjadi.
Perdebatan sengit antara golongan nasionalis dan keagamaan
yang terjadi pada fase itu, adalah untuk memenangkan dasar negara
Indonesia. Masing-masing golongan mengkonsolidasi jaringannya
untuk memenanngkan tujuan mereka.110 Dengan ditutupnya
kemungkinan dimasukannya kembali piagam Jakarta ke dalam UUD
106 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 120. 107 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 121. 108 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 122. 109 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 123. 110 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 122.
57
1945, maka sangat kecil kemungkinan syariat islam digunakan sebagai
dasar negara Indonesia.111
c. Economic Nationalism
Fase ketiga dan terakhir ini ditandai dengan masuknya program
modernisasi dan industrialisasi atau yang lebih dikenal dengan
pembangunan, ke Indonesia pada masa kepemimpinan Jendral
Soeharto. Masuknya barang-barang dari luar ke Indonesia
mengakibatkan Indonesia tidak memiliki apa yang disebut dengan
nasionalisme ekonomi. Nasionalisme ekonomi berangkat dari
kecintaan masyarakat terhadap suatu kebijakan ekonomi dari rakyat
untuk rakyat, sehingga menimbukan kecintaan terhadap bangsanya.112
111 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 123. 112 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 125.
58
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Eksil
Eksil berasal dari kata bahasa Inggris exile yang berarti terasing atau
dipaksa meninggalkan kampung halaman atau rumahnya.1 Sedangkan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Eksil adalah keadaan tidak berada di
negara atau rumah sendiri.2 Senada dengan istilah tersebut, Saut Situmorang
membagi Eksil ke dalam tiga kategori. Pertama, sebuah ketidakhadiran yang
panjang dan biasanya karena terpaksa dari tempat tinggal ataupun negeri sendiri.
Kedua, pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri. Dan yang
ketiga, adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal
ataupun negerinya sendiri.3
Eksil 65 adalah sebutan bagi orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak
dapat pulang ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965. Perubahan
pemerintahan yang terjadi pada tahun 1966 secara drastis dari pemerintahan sipil
ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer diawali oleh peristiwa Gerakan
Tiga Puluh September (GESTAPU) pada akhir tahun 1965. Pasca peristiwa
tersebut terjadi penghancuran secara sistematis terhadap kekuatan kiri,
khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kalangan nasionalis pada
1 Rudy Haryono, Kamus Inggris Indonesia (Jombang: Lintas Media), h. 96. 2 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 2008), h. 379. 3 Saut Situmorang, Sastra Eksil, Sastra Rantau, diakses dari http://sastra-
pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Sastra-Eksil-Sastra-Rantau-td33812.html,
pada 17 Maret 2017.
59
umumnya. Para anggota PKI dan siapa saja yang dianggap terkait denganya
dibunuh, sebagian ditangkap dan dipenjara, lalu dibuang.4
Nasib buruk juga menimpa orang-orang Indonesia yang pada saat itu
sedang berada di luar negeri,5 khususnya mereka yang dianggap bertalian dengan
pemerintahan Soekarno, para simpatisan, dan para pemuda yang sedang
mengikuti program beasiswa di negara-negara berpaham sosialis.6 Melalui
Menteri Luar Negeri, pada tanggal 7 Mei 1966 mereka diminta untuk menjalani
pemeriksaan dan memberikan pernyataan loyalitas terhadap pemerintahan baru
yang dipimpin oleh Suharto.7 Mereka yang menolak akan dicabut paspornya,
sehingga dengan begitu hak mereka sebagai warga negara dihilangkan
sepenuhnya, dan terhalang untuk pulang kembali ke Indonesia.8
Para Eksil bertahun-tahun hidup tanpa kewarganegaraan di banyak
negara seperti, Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok, serta Kuba. Saat mereka
hidup tanpa identitas yang legal tersebut, negara-negara yang mereka tempati
mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kondisi perekonomian negara
tersebut tidak stabil. Pada tahun 1980-an, sebagian dari mereka bermigrasi ke
Jerman, Belgia, dan Belanda. Mereka pun kemudian melamar menjadi warga
4 Amin Mudzakir, Hidup di Pengasingan: Eksil Indonesia di Belanda, Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), Volume 17 No.2, 2015, h. 171. 5 Berangkat dari jargon politik Trisakti, berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang
ekonomi, dan berkepribadian di bdang kebudayaan demi mewujudkan amanat penderitaan rakyat
(Ampera), Presiden Soekarno pada saat itu menjalin kerjasama dengan sejumlah negara yang
berhaluan sosialis dengan mengirimkan pemuda-pemuda Indonesia sebagai delegasi bangsa dan
untuk bersekolah di luar negeri. Dengan begitu pemuda-pemuda tersebut diharapkan menjadi ahli
diberbagai bidang ilmu seperti, ilmu teknik, kedokteran, pertanian dan sastra, untuk dapat mengelola
sumber daya alam Indonesia. Lihat Rosa Panggabean, Exile (Jakarta: 2014), h. 61. 6 Rosa Panggabean, Exile, h. 62. 7 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan
Kemunculan Eksil Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI),
Volume 17 No.1, 2015, h. 71. 8 Amin Mudzakir, Hidup di Pengasingan: Eksil Indonesia di Belanda, Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), Volume 17 No.2, 2015, h. 173.
60
negara Belanda. Karena rata-rata para Eksil ini lahir sebelum tahun 1945,
pemerintah Belanda menganggap para Eksil ini sejatinya warga negara Belanda
karena lahir sebelum Indonesia merdeka, atau masih dianggap lahir di wilayah
Nederlandsch-Indische.9
Tidak ada data yang pasti mengenai Eksil yang tinggal di Belanda,
namun diperkirakan jumlah mereka ratusan. Meskipun para Eksil ini sudah
menjadi warga negara Belanda dan beranak pinak di sana, mereka tidak pernah
melupakan tempat asal mereka, yaitu Indonesia.10
Hingga saat ini Pemerintah Indonesia memakai dua landasan hukum
untuk melarang, membrangus, dan mencegah komunisme berkembang di
Indonesia, yang juga berdampak kepada para Eksil sehingga tidak dapat kembali
ke Indonesia. Pertama, ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang
pembubaran partai komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang
di seluruh wilayah negara republik Indonesia bagi partai komunis Indonesia dan
larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau
ajaran komunis/marxisme-leninisme. Kedua, Pasal 107 Undang-Undang Nomor
27 Tahun 1999 tentang perubahan kitab undang-undang hukum pidana yang
berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.11
Titik terang bagi para Eksil terjadi pada masa pemerintahan presiden ke-
4 Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur yang menyebut
para Eksil sebagai kaum “kelayapan” ini mengusulkan untuk mencabut Tap
9 Rosa Panggabean, Exile, h. 63. 10 Rosa Panggabean, Exile, h. 63. 11 CNN Indonesia, Deretan Pasal Krusial Untuk Memberangus Komunisme di Indonesia,
diakses dari http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160511154554-20-129985/deretan-pasal-
krusial-untuk-berangus-komunisme-di-indonesia/, pada tanggal 19 April 2017.
61
MPRS Nomor XXV Tahun 1966, namun usul ini kandas dalam rapat Panitia Ad
Hoc II Badan Pekerja (PAH II BP) Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR).12
Pada tanggal 27 September 2006, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada
saat itu Hamid Awaluddin menyatakan memberi waktu tiga tahun bagi para Eksil
untuk mendapatkan kembali hak kewarganegaraannya terhitung dari
disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan
republik Indonesia.13
B. Profil Rosa Panggabean
Rosa Panggabean adalah salah satu angkatan pewarta muda divisi
pemberitaan foto antara. Wanita yang akrab disapa Oca ini, lahir di Cirebon 25
May 1982.14 Dia sebenarnya tidak terlalu berminat pada carut marut dunia
politik, dia banyak meliput di area seni dan budaya yang memang menjadi
interestnya. Sambil sesekali memotret perihal keseharian masyarakat Jakarta
yang heterogen.15
Oca dilahirkan hanya beberapa bulan sebelum mendiang presiden kedua
RI, Suharto, pada 18 Agustus 1982 mencanangkan pemberantasan preman
secara fundamental dengan jalan kekerasan. Fakta pada kala itu menunjukan
tingkat kriminalitas di ibu kota, Yogya dan Jawa Tengah melesat tinggi. Pihak
keamanan lalu menggelar Operasi Celurit yang dalam catatan sejarah
12 Merdeka.com, 6 Kebijakan Gus Dur saat Menjadi Presiden, diakses dari
https://www.merdeka.com/peristiwa/6-kebijakan-kontroversial-gus-dur-saat-jadi-presiden.html,
pada tanggal 19 April 2017. 13 Liputan 6, Eksil Dapat Kembali Menjadi WNI, diakses dari
http://news.liputan6.com/read/129901/eksil-dapat-kembali-menjadi-wni, pada tanggal 19 April
2017. 14 Daftar Riwayat Hidup Rosa Panggabean 15 Oscar Motuloh, Melacak Jejak Darah Pada Waktu, Dalam Rosa Panggabean, Exile
(Jakarta: 2014), h. 68.
62
kriminalitas lebih dikenal sebagai Operasi ”Petrus” alias penembakan
misterius.16
Sesekali Oca kecil masih mendengar penuturan sang ibu di meja makan
perihal mayar-mayat yang diindikasi sebagai preman tergeletak di jalan-jalan, di
kanal, di pesisir pantai, dimana Operasi Celurit di gelar.17 Kekerasan selalu
menggetarkan bagi sanubari perempuan yang pernah mendapat penghargaan
fotografi anugerah adiwarta dan anugerah pewarta foto Indonesia. Fotografi
pernah mengantarkan Oca berkesempatan menunjungi Amsterdam dikarenakan
prestasinya. Amsterdam merupakan kota yang menjadi markas dari yayasan
World Press Photo, penyelenggara penghargaan fotografi jurnalistik tahunan
yang paling bergengsi saat ini di seantero bumi.18
Dalam kunjungan singkatnya di negeri kincir angin, alumni Universitas
Gajah Mada yang memperoleh gelar di bidang ilmu komunikasi itu melakukan
pemotretan dan melakukan wawancara dengan tiga tokoh Eksil Indonesia yang
terbuang dari kampong halamannya dan tampaknya akan terpaksa
menghabiskan sisa hidup mereka di negeri yang jauh dari tanah kelahiran
mereka.19
Melalui jalan yang berliku, perempuan yang sudah 7 tahun berkakir di
Antara Foto berhasil meyakinkan Sarmadji seorang guru, Chalik Hamid
sastrawan Lekra, dan staf kedutaan besar Republik Indonesia Ibrahim Isa yang
16 Oscar Motuloh, Melacak Jejak Darah Pada Waktu, Dalam Rosa Panggabean, Exile, h.
68. 17 Oscar Motuloh, Melacak Jejak Darah Pada Waktu, Dalam Rosa Panggabean, Exile, h.
69. 18 Daftar Riwayat Hidup Rosa Panggabean 19 Oscar Motuloh, Melacak Jejak Darah Pada Waktu, Dalam Rosa Panggabean, Exile, h.
69.
63
paspornya semuanya dibekukan dan terusir dari negaranya sendiri sebagai
narasumber bagi pelaksanaan proyek kemanusiaan pribadi yang tengah
dijalankannya. Mereka tengah berada di luar negeri saat peristiwa 30 September
1965 pecah dan sejak itu tak diijinkan untuk kembali ke Indonesia. Pada saat
peristiwa paling berdarah dalam sejarah Indonesia modern itu meletus Oca
belum dilahirkan, bahkan pada saat itu ayahnya masih seorang pemuda berusia
15 yang mencoba menjadi perantauan ke luar dari tanah kelahirannya di
Sumatera Utara.20
Rasa kemanusiaan perempuan yang hobi bernyanyi dan diving
mendorongnya melakukan proyek pribadi dengan tema yang sejatinya sangat
sensitif apalagi dilakukan oleh seorang pewarta foto muda yang minim
pengetahuannya tentang sejarah kekerasan orde baru di awal kekuasaannya.
Kebulatan hasrat Oca pada sejarah yang terkunci rapat dan mengangkatnya
dalam suatu reportase visual secara pribadi adalah jalan pada sebuah pengabdian
pada profesi jurnalistik yang tugasnya adalah menyiarkan kebenaran. Kepatuhan
pewarta yang pernah berkarir di perusahaan media besutan Dahlan Ishkan itu
melakukan riset kecil seputar keberadaan partai komunis Indonesia dan lingkar
dalamnya, membawanya kepada kotak terpendam dari kejahatan politik yang
beroleh dinastinya sendiri dalam estafet kesinambungan kepemimpinan nasional
Indonesia.21
20 Oscar Motuloh, Melacak Jejak Darah Pada Waktu, Dalam Rosa Panggabean, Exile, h.
70. 21 Oscar Motuloh, Melacak Jejak Darah Pada Waktu, Dalam Rosa Panggabean, Exile, h.
70.
64
C. Gambaran Umum Buku Foto Exile
Buku Foto berjudul Exile adalah karya dari fotografer Antara yang
bernama Rosa Panggabean. Buku foto yang diterbitkan pada tahun 2014 ini
bercerita tentang kehidupan para Eksil yang tinggal di Belanda. Buku foto ini
dimentori oleh Kadir Van Lohuizen, dan di kuratori oleh Fanny Octavianus.
Serta tak lupa Oscar Matuloh yang menjabat sebagai penanggung jawab dan
kurator foto jurnalistik Antara membubuhi tulisan tangannya pada kolom kata
pengantar.
Terdapat tiga puluh satu foto dalam buku Exile, keseluruhannya adalah
mencerminkan keseharian Eksil. Tidak semua Eksil dimuat di dalam buku foto
ini, melainkan hanya tiga tokoh saja yang dipilih Rosa untuk masuk ke buku
fotonya. Pemilihan tiga tokoh ini bukan tanpa alasan, karena beberapa diantara
Eksil tidak ingin diekspose untuk alasan keamanan. Tiga tokoh yang terdapat
dalam buku foto Exile ini bernama Ibrahim Isa, Chalik Hamid, dan Sarmadji.
Mereka sangat terbuka terhadap kedatangan Rosa, serta bersedia memberikan
informasi yang dibutuhkan. Meskipun mereka sempat khawatir terhadap
keselamatan Rosa setelah membuat catatan visual tentang mereka.22
Alasan utama Rosa membuat foto tentang Eksil adalah tentang
kemanusiaan. Meskipun pada awalnya ide untuk mendokumentasikan Eksil itu
muncul ketika perbincangan Rosa dengan temannya yang sedang mengeyam
pendidikan S-2 di Leiden. Temannya mengatakan bahwa dirinya mengenal
beberapa pria tua yang bertahun-tahun tidak pulang ke Indonesia karena dituduh
sebagai bagian dari komunis. Perbincangan tersebut membuat tanda tanya besar
22 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
65
di dalam benak Rosa, sehingga mendorongnya untuk mempelajari kembali versi
sejarah yang berbeda dari Indonesia. Dalam riset tersebut, Rosa menemukan
adanya hak-hak manusia yang direnggut paksa dalam perjalanan sejarah
Indonesia.23
Dalam narasi yang terdapat di buku fotonya, Rosa menjelaskan tentang
sejarah yang mengawali kisah perjalanan para Eksil ketika dikirim keluar negeri
oleh pemerintah Indonesia Soekarno, pencabutan paspor pasca peristiwa
GESTAPU, hingga perjuangan para Eksil untuk bertahan hidup dan
mendapatkan kewarganegaraan di negeri orang. Selain memberikan narasi
tentang para Eksil pada umumnya, Rosa juga memberikan narasi tentang tiga
tokoh yang ia jadikan sebagai objek utama karya visualnya. Sarmadji, seorang
guru yang tidak berafiliasi ke partai politik maupun organisasi sosial-politik
ketika itu, dikirim ke Tiongkok untuk mempelajari bagaimana pendidikan di
Luar seolah yang diterapkan di Tiongkok. Chalik hamid, seorang sastrawan
muda yang bergabung dengan organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
di kirim ke Albania untuk mempelajari sinematografi, dan Ibrahim Isa, seorang
delegasi muda yang diutus sebagai Indonesian Permanent Representative at the
Permanent Secretariat of the AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidarity
Organization) pada 1960-1966 di Kairo.24
Dari buku Exile ini, selain tergambar keseharian tiga tokoh Eksil, Rosa
juga menangkap beberapa foto detail barang-barang yang kaya akan nilai sejarah
yang dimiliki oleh para Eksil, diantaranya paspor, buku, kartu tanda penduduk,
23 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 24 Rosa Panggabean, Exile, h. 62.
66
surat, dan masih banyak lagi. Adapula foto yang menggambarkan emosi yang
ada di dalam benak Eksil, serta tidak ketinggalan foto portrait ketiga tokoh Eksil
yang menjadi objek utama dalam buku foto ini.
Buku foto yang memiliki 73 halaman ini adalah merupakan karya
pertama tentang Eksil yang dibekukan melalui media foto, setelah sebelumnya
kisah Eksil diceritakan melalui media tulis dan audio visual. Foto Eksil ini
berhasil mengantarkan nama Rosa sebagai pemegang juara 2 kategori foto esai,
pada ajang Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2014. Bahkan berkat foto
Eksil itu pulalah nama Rosa berhasil masuk ke dalam nominasi yang akan
diperlombakan serta bersanding dengan nama-nama fotografer jurnalistik kelas
dunia dalam ajang World Press Photo 2014, dimana ajang itu adalah
penganugerahan foto jurnalistik paling bergengsi di dunia.25 Seraya dengan
prestasi yang dicapai oleh Rosa melalui foto Eksilnya, ia juga mempunyai
harapan besar, bahwa lewat catatan kecil tentang Eksil ini mampu memberikan
informasi yang berguna bagi publik serta dapat membuka mata generasi muda
atas sejarah Indonesia. 26
25 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 26 Rosa Panggabean, Exile, h. 61.
67
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Nasionalisme merupakan sebuah keniscayaan yang dimiliki setiap warga
negara, tak terkecuali para Eksil 65.1 Hidup diasingkan berpuluh-puluh tahun di
negeri orang tidak lantas melunturkan nasionalisme para Eksil. Terlepas dari
“hegemoni” status hukum para Eksil, dugaan penulis mereka tetap memiliki
nasionalisme terhadap tanah kelahirannya yakni Indonesia. Seperti yang
dikemukakan oleh Schiller bahwa nasionalisme jarak jauh ditujukan bagi mereka
yang masih melakukan aktivitas sosial terkait dengan Indonesia, walaupun mereka
sudah bukan lagi tercatat sebagai warga negara Indonesia.2
Pada tahun 2014 aktivitas sosial para Eksil yang berada di Belanda berhasil
dibekukan ke dalam sebuah katalog oleh seorang jurnalis foto Indonesia. Melalui
media foto jurnalistik yang dibuat oleh pewarta foto Antara, Rosa Panggabean
dengan karyanya yang berjudul Exile, penulis menggali representsi nasionalisme
pada diri Eksil, yakni dengan mengeksplorasi makna denotasi, konotasi dan mitos
dati foto-foto tersebut.
Tahap pertama yaitu denotasi, penulis menguraikan secara rinci apa yang
dilihat dengan pada foto tersebut. Biasanya pada tahapan ini pesan yang dibuat oleh
1 Eksil 65 adalah sebutan bagi orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak dapat pulang ke
Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965. Perubahan pemerintahan yang terjadi pada tahun
1966 secara drastis dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer diawali oleh
peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (GESTAPU) pada akhir tahun 1965. Lihat Bab 3 pada
bagian gambaran umum tentang Eksil. 2 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan
Kemunculan Eksil Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI),
Volume 17 No. 1, 2015, h. 74.
68
fotografer bersifat eksplisit, langsung dan pasti.3 Dengan kata lain fotografer dan
pelihat foto akan memiliki pemakanaan yang sama terhadap sebuah foto.
Pada tahapan kedua yaitu konotasi, biasanya pada tahapan ini pesan yang
dibuat oleh fotografer bersifat implisit, tidak langsung dan tidak pasti, atau terbuka
terhadap berbagai kemungkinan.4 Dengan kata lain fotografer dan pelihat foto
belum tentu memiliki pemaknaan yang sama terhadap sebuah foto. Oleh karena itu
Roland Barthes membuat batasan dalam pemaknaan tahap kedua ini dengan
menguraikan sebuah foto melalui trick effect (manipulasi gambar), pose, objek,
photogenia (teknik foto), aestheticism (komposisi gambar), syntax (sintaksis).5
Pada tahapan ketiga yaitu mitos, penulis akan menguraikan bagaimana
pesan dimaknai melalui mitos. Mitos menurut Roland Barthes sebagai hasil dari
tahap konotasi yang telah sangat dipercayai dan menyebar dalam masyarakat
hingga menjadi sebuah ideologi.6 Dari ketiga tahapan tersebut penulis akan
menguraikan pesan-pesan nasionalisme Eksil yang ingin disampaikan oleh
fotografer melalui tanda-tanda yang terdapat di dalam sebuah foto.
3 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Bandung: Jalasutra, 2003), h. 261. 4 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, h.
261. 5 Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 7. 6 Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Universitas Indonesia,
2008), h. 5.
69
A. Analisis Data Foto 1
Secara umum foto ini menggambarkan nasionalisme budaya yang
terepresentasikan melalui kemeja batik yang dikenakan oleh objek pada foto
tersebut. Untuk menguji dugaan awal tersebut, penulis akan memberikan
analisa sebagai baerikut:
Gambar 1. Foto pertama
Sumber: Buku foto Exile karya Rosa Panggabean, 2014, hal. 26.
1. Tahap Denotasi
Dalam foto pertama ini terlihat seorang pria tua sedang menampilan
ekspresi di depan kamera. Pria tua ini mengenakan kemeja bermotif batik.
Dengan latar belakang berwarna merah, pria tua ini mengarahkan matanya
70
ke sebelah kiri kamera. Pria tua ini adalah Chalik Hamid7, dirinya
merupakan salah seorang Eksil yang berada di Amsterdam Belanda.
2. Tahap Konotasi
a. Trick effect (manipulasi gambar)
Dalam foto pertama ini penulis tidak menemukan adanya
manimpulasi gambar. Tidak ada penambahan atau penghilangan elemen
pada foto tersebut. Hal ini dikarenakan dalam foto jurnalistik seorang
fotografer tidak diperbolehkan mendramatisir atau mengubah informasi
yang sedang terjadi dengan memasukan elemen-elemen tambahan ke
dalam foto.8
Namun foto pertama ini tentu telah mengalami perbaikan pada
warna dan komposisi, agar pelihat foto dapat menikmati foto tersebut.
Alasan utama fotografer melakukan proses perbaikan atau biasa disebut
dengan editing adalah keperluan dari keindahan gambar.9 Keindahan
tersebut menurut penulis dapat dilakukan oleh seorang jurnalis foto,
selama tidak mengubah informasi yang terkandung dalam foto
jurnalistiknya.
7 Chalik Hamid adalah sastrawan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) organisasi ini
berkonsentrasi di bidang seni dan budaya. Diawal tahun 1965, pemerintah RI mengirim Chalik
Hamid ke Albania untuk belajar sinematografi. Setelah peristiwa Gestok 1965, paspor Chalik
dicabut sehingga ia tidak bisa pulang atau kembali ke Indonesia. Karena tak punya identitas legal
sebagai warga negara, Chalik pun tidak dapat melanjutkan studinya dan kemudian bekerja sebagai
montir di sebuah pabrik mobil. Kemudian dia bekerja di Radio Tirana (ibukota Albania) sebagai
penerjemah dan penyiar dalam bahasa Indonesia yang disiarkan langsung ditujukan ke Indonesia.
Lihat Rosa Panggabean, Exile (Jakarta: 2014), h. 27. 8 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 10. 9 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
71
b. Pose
Pada foto pertama ini Chalik Hamid menunjukan raut wajah
seperti sedang mencoba mengingat sesuatu. Hal tersebut terlihat dari
tatapan mata ke sebelah kiri kamera yang menandakan bahwa dirinya
sedang mengingat sesuatu yang dahulu pernah terjadi. Fotografer
mengatakan bahwa dalam membuat foto portrait10 ini, sebelumnya
Chalik Hamid telah bercerita banyak tentang masa lalunya, sehingga
emosi yang terkumpul dari cerita tersebut ditampilkan lewat ekpresi
Chalik Hamid.11 Pendekatan yang dilakukan oleh fotografer tersebut
dirasa sangat perlu dalam pembuatan foto portrait, agar subjek pada foto
dapat menampilkan emosi yang sebenarnya terjadi lewat ekspresi.
c. Objek
Objek pada foto pertama ini jelas adalah Chalik Hamid. Tidak
banyak elemen terdapat dalam foto ini, namun begitu kita dapat melihat
figure Chalik Hamid melalui raut wajah yang ia tunjukan. Dari raut
wajahnya Chalik Hamid adalah sosok yang tegar dan berani. Mengapa
demikian? Terlihat dari tatapan ke arah kiri kamera yang dapat
dikonotasikan sedang berusaha mengingat masa lalu yang sangat
menggugah sisi kemanusiaan seseorang.
10 Portrait Photography adalah salah satu aliran dalam fotografi, dimana sang fotografer
menunjukan penuh bagian muka objek atau subjek yang diambil bahkan hampir tanpa latar belakang.
Tujuan dari aliran foto ini adalah untuk menonjolkan ekspresi dari subjek yang difoto. Aliran ini juga
menggambarkan kondisi perasaan manusia dengan mengambil bagian besar raut wajah subjek,
dengan menghadap ke depan kamera. Lihat Bagas Dharmawan, Belajar Fotografi Dengan Kamera
DSLR (Yogyakarta: Pustaka Baru Press), h. 80. 11 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
72
Bukan hal mudah mengingat masa lalu Chalik Hamid, karena
penuh dengan duka yang mendalam. Selain harus berpisah dengan
keluarganya Chalik Hamid juga harus menerima kenyataan kehilangan
status kewargaannya sebagai warga negara Indonesia, negara yang saat
itu sedang ia perjuangkan untuk dapat berkembang pasca penjajahan.12
Menceritakan kembali kisah tersebut butuh keberanian dan ketegaran,
karena tidak ada yang bisa menjamin keselamatan keluarganya yang
berada di Indonesia setelah ia menceritakan semuanya. Keberanian dan
ketegaran tersebut dituangkan oleh fotografer dengan latar belakang
berwarna merah.13
d. Photogenia (teknik foto)
Pada foto pertama ini penulis beranggapan fotografer
menggunakan cahaya tambahan berupa lampu flash yang diletakan sisi
kanan, sehingga menghasilkan bayangan pada wajah sebelah kiri objek.
Teknik pencahayaan ini dinamakan oval light, dimana posisi cahaya
berada pada sudut 45 derajat dari posisi fotografer berada. Teknik
tersebut membuat objek hanya diterangi pada sebagian sisi saja, yaitu
sisi kiri pelihat foto. Sehingga menimbulkan makna konotasi bahwa
sejarah para Eksil sangat berhubungan erat dengan komunis, atau
peristiwa gestapu. Meski sebagian dari mereka adalah Soekarnois dan
menolak disebut sebagai anggota PKI.14 Fotografer juga menggunakan
12 Rosa Panggabean, Exile, h. 27. 13 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 14 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
73
lensa 50 mm.15 Karena dengan lensa ini foto akan terlihat seperti
pandangan pelihat foto tanpa adanya distorsi. Lensa jenis ini juga tidak
memiliki fitur zoom, sehingga menyebabkan fotografer harus
mengambil gambar dari satu jarak saja. Dengan memiliki satu jarak
dalam pemotretan, biasanya gambar yang didapat berupa gambar close
up. Sehingga menimbulkan makna konotasi bahwa fotografer dan objek
memiliki kedekatan.16 Dengan kedekatan tersebut, objek akan
memperlihatkan ekspresi naturalnya saat proses pembuatan foto portrait
dilakukan.
e. Aestheticism (komposisi gambar)
Komposisi dalam foto pertama ini, terlihat objek berada di
tengah dengan wajah yang hampir memenuhi seluruh ruang frame. Hal
tersebut kerap kali terjadi dalam foto portrait, yang memang pembuatan
foto portrait dimaksudkan untuk melihat ekspresi seseorang karena
dianggap unik atau memiliki kekhasan pada raut wajahnya.17 Raut
wajah pada foto pertama ini ditampilkan secara detail oleh fotografer,
mengingat fotografer mengambil gambar menggunakan lensa 50 mm
yang dapat mengambil gambar secara detail.
f. Syntax (sintaksis)
Ketersediaan bahasa visual dengan bahasa teks (caption) pada
foto sangat diperlukan, agar pelihat foto tidak memiliki tafsiran yang
15 Wawancaara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017, di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 16 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.
43. 17 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 7.
74
berbeda-beda dalam melihat sebuah foto, sehingga informasi yang ingin
disampikan oleh fotografer dapat tersampaikan dengan baik kepada
pelihat foto.18 Namun dalam foto pertama ini fotografer tidak
memberikan caption pada fotonya. Hal tersebut dilakukan karena dalam
foto story bahasa teks sudah dituangkan ke dalam sebuah narasi yang
mencakup informasi keseluruhan isi foto.19
Dalam foto pertama ini penulis berpendapat bahwa pemotretan
dilakukan oleh fotografer di rumah objek yaitu berada di Amsterdam
Belanda, dengan tata cahaya dan background yang disetting sendiri oleh
fotografer.20 Oleh karena itu dalam sintaksis ini penulis lebih melihat
kepada susunan elemen yang ada di dalam foto pertama dapat
disimpulkan, bahwa pada foto ini bercerita tentang lelaki tua yang
sedang menunjukan keberaniannya mengingat kembali masa lalu yang
kelam.
3. Tahap Mitos
Foto pertama ini masuk ke dalam ketegori foto portrait. Foto
portrait memang dimaksudkan untuk menampilkan ekspresi unik atau khas
dari objek utama. Selain memaknai ekspresi objek, pada tahapan mitos ini
penulis juga akan memaknai pakaian yang dikenakan oleh objek, dan
background yang digunakan fotografer untuk mengetahui representasi
nasionalisme yang ditampilkan oleh Eksil.
18 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, h. 7. 19 Wawancaara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017, di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 20 Wawancaara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017, di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
75
Raut wajah yang ditampilkan oleh Chalik Hamid, menandakan
bahwa ia sedang mengingat sesuatu yang dulu pernah terjadi. Hal tersebut
dapat terlihat dari tatapan kosongnya ke arah sebelah kiri kamera, dan
mencoba mengatakan kepada pelihat foto bahwa dahulu pernah terjadi
sesuatu yang sangat memilukan bagi dirinya dan keluarga. Karena kiri
memiliki mitos yang negatif di masyarakat. Segala yang baik harus
dilakukan dengan tangan kanan. Seperti makan, bersalaman, memberi serta
menerima sesuatu, dan lain sebagainya. Guratan dan flek hitam yang ada
pada wajahnya memastikan dirinya sudah memasuki masa penuaan.
Diketahui bahwa Chalik Hamid adalah salah satu dari beberapa
pemuda Indonesia yang dikirim keluar negeri untuk menuntut ilmu dan
membangun bangsanya pasca kemerdekaan. Chalik Hamid pada kala itu
dikirim ke Albania untuk belajar sinematografi. Ironisnya setelah tragedi
Gestapu, Chalik Hamid justru dituduh sebagai anggota komunis dan terlibat
pada peristiwa Gestapu. Keberanian Chalik Hamid yang mengaku bahwa
dirinya loyal terhadap Soekarno membuat Chalik Hamid harus kehilangan
paspor dan menjadi Eksil. Istrinya yang berada di Indonesia kala itu
ditangkap dan ditahan oleh pemeritah orde baru.21
Keberanian itulah yang tergambar di dalam foto pertama ini, yaitu
lewat background berwarna merah. Selain dimaksudkan untuk kenyamanan
pelihat foto dalam menikmati foto22, warna merah juga memiliki mitos yang
kuat. Bahwa warna merah adalah berani. Seperti filosofi warna merah pada
21 Wawancaara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017, di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 22 Wawancaara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017, di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
76
bendera Indonesia, yang menandakan keberanian.23 Keberanian yang ada
dalam diri Chalik Hamid terpancar dari sikap yang ia ambil sehingga
menjadi Eksil, dan berani mengingat masa kelam yang pernah menimpanya
dahulu.
Bentuk dari sikap nasionalisme Chalik Hamid terlihat dalam foto
pertama ini. Terlihat dari kemeja batik yang dikenakannya. Dari wawancara
yang dilakukan oleh penulis kepada fotografer, menjelaskan bahwa Chalik
Hamid selalu memakai kemeja batik selama ia mengikuti kesehariannya.
Meskipun dirinya telah tinggal berpuluh-puluh tahun di Belanda dan
menjadi warga negara Belanda, kecintaannya terhadap budaya Indonesia
tetap tidak hilang. Hal tersebut dipraktekan oleh Chalik Hamid ketika
sedang berkumpul atau menghadiri acara yang di hadiri oleh orang-orang
Indonesia, dimana ia selalu menggunakan batik sewaktu menghadiri acara
tersebut.24 Prilaku yang ditunjukan oleh Chalik Hamid lewat cara
berpakaian adalah bentuk lain dari ikut merasakannya menjadi bagian dari
suatu komunitas bangsa, yaitu bangsa Indonesia.25 Meskipun dirinya telah
menjadi warga negara asing, namun ia tetap menunjukan sikap
nasionalismenya lewat kecintaanya terhadap budaya Indonesia yaitu batik.
Hal tersebut sejalan dengan konsep nasionalisme budaya yang dicetuskan
23 Kemendikbud, Bendera Merah Putih Lambang Kebesaran Negara, diakses dari
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/12/24/bendera-merah-putih-lambang-
kebesaran-negara/, pada tanggal 9 Mei 2017. 24 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 25 Anthony D. Smith, Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah (Jakarta: Erlangga, 2003), h.
26.
77
oleh Azyumardi Azra yaitu suatu paham cinta tanah air yang didasari oleh
kecintaannya terhadap budaya lokal.26
B. Analisis Data Foto 2
Secara umum foto ini menggambarkan nasionalisme jarak jauh yang
terepresentasikan melalui makanan khas Indonesia. Untuk menguji dugaan awal
tersebut, penulis akan memberikan analisa sebagai baerikut:
Gambar 2. Foto kedua
Sumber: Buku foto Exile karya Rosa Panggabean, 2014, hal. 33.
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini terlihat dua orang yang sedang menikmati hidangan
makanan di sebuah ruangan. Chalik Hamid sedang duduk di sebuah sofa
memperhatikan sang istri yang sedang mengambil sambal dengan sendok
untuk ditambahkan ke dalam mangkuk soto yang ada di tangannya.
26 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia
(Jakarta: LIPI Press, 2011), h. 118.
78
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect (Memanipulasi Foto)
Pada foto kedua ini tidak terlihat adanya manipulasi foto atau
trick effect. Karena tidak terlihat adanya elemen yang dihilangkan atau
diganti, maupun dimasukan ke dalam foto tersebut. Karena dalam
memproduksi foto jurnalistik pewarta foto harus patuh terhadap etika
yang telah disepakati, yaitu tidak boleh mengubah keaslian gambar,
sehingga menimbukan informasi yang berbeda dengan kenyataan.27
Namun dalam wawancara dengan Rosa Panggabean, beliau
menjelaskan bahwa foto kedua ini telah melewati proses editing atau
olah digital, seperti penyesuaian warna dan pemotongan gambar. Hal ini
dilakukannya untuk kebutuhan estetika.28 Walaupun telah melalui
proses editing, foto kedua ini masih dapat dikatakan foto jurnalistik
karena proses editing adalah bagian dari foto Jurnalistik.29
b. Pose
Pada foto kedua ini terdapat dua pose yang berbeda. Pertama,
pose penuh keseriusan seorang wanita saat mengambil sambal dengan
sendoknya. Keseriusan pada wanita tersebut terlihat dari mengerutnya
kedua dahi. Dengan bangun dari tempat duduknya serta membungkukan
badan yang sudah tidak muda lagi, menunjukan kesan bahwa wanita ini
adalah istri yang setia melayani suaminya.
27 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 10. 28 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 29 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 4.
79
Kedua, pose seorang pria yang mengenakan pakaian hangat
sedang memperhatikan dengan seksama istrinya mengambil sambal.
Mata yang harusnya ia arahkan ke mangkuk makanan yang ada di
tangannya justru ia hadapkan ke sambal yang sedang diambil oleh sang
istri. Seolah-olah ia sedang mengatakan bahwa “hati-hati jangan terlalu
banyak”.
Dari kedua pose yang ditunjukkan memiliki konotasi bahwa
meski saat ini berstatus sebagai seorang Eksil, Chalik Hamid yang
usianya sudah tidak muda lagi menunjukan keharmonisan pada keluarga
kecilnya. Keharmonisan tersebut dapat dilihat dari ekspresi atau sikap
tubuh yang mereka berdua tunjukan dalam suasana makan bersama.
c. Objek
Terdapat beragam objek pada foto ini. Namun bagian yang
paling mecolok atau biasa dikenal dengan objek utama terdapat pada
sosok pria yang sedang duduk di sofa memegang mangkuk. Dalam
duduknya, pria tersebut memperhatikan dengan seksama objek kedua
yaitu seorang wanita yang sedang mengambil sambal untuk
makanannya. Kedua objek ini saling berinteraksi lewat ekspresi mereka
masing-masing. Objek-objek lainnya seperti, sofa, gelas yang berisi
minuman, piring yang berisi makanan, handphone, keyboard, mouse,
globe, lampu belajar, kasur, bantal, dan selimut mendukung kedua
objek, sehingga menimbulkan kesan kesederhanaan dalam suasana
makan di keluarga ini.
80
Kesederhanaan tersebut dapat terlihat dari benda-benda yang
tidak semestinya berada di sekitar meja makan, serta tersedianya
beberapa makanan penutup dan gelas pada sebuah meja makan. Melalui
wawancara yang dilakukan penulis dengan fotografer, bahwa para Eksil
yang berstatus sebagai penerima suaka ini berhak menerima tunjangan
hari tua dan sebuah flat oleh pemerintah Belanda sebagai tempat tinggal
mereka.30 Meski tinggal dalam sebuah flat pesan keceriaan juga terihat
pada motif bunga di sarung bantal yang terdapat di atas sofa, serta alas
meja yang juga bermotif bunga.
d. Photogenia (teknik foto)
Pada foto kedua penulis berpendapat bahwa fotografer tidak
memakai cahaya tambahan. Cahaya matahari merupakan satu-satunya
sumber cahaya dalam foto ini. Dimana cahaya matahari tersebut
menembus jendela rumah dan menimbulkan bayangan pada beberapa
objek, termasuk bayangan yang dihasilkan oleh wajah objek utama.
Cahaya matahari berada di sebelah kiri foto, karena bayangan yang
dihasilkannya berada pada sebelah kanan. Cahaya tersebut menimbukan
kesan bahwa terdapat sisi terang yang dapat diartikan sebagai harapan
meski dirinya berstatus sebagai Eksil.
Fotografer mengambil gambar dengan sudut pandang eye level,
dimana kamera berada sejajar dengan sang objek. Sudut pandang
tersebut biasanya memberi kesan bahwa objek memiliki kesamaan atau
30 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
81
sejajar dengan pelihat foto.31 Karena posisi kamera serta lensa sejajar
dengan objek, seperti mata manusia ketika melihat ke objek tersebut.
e. Aestheticism (komposisi gambar)
Komposisi pada foto kedua ini dinamakan dengan framing.
Komposisi jenis ini biasanya ditunjukan dengan meletakan objek utama
yang kemudian diapit oleh objek lainnya. Sehingga dalam komposisi
framing menimbulkan makna konotasi bahwa objek yang di framingkan
atau objek yang menjadi framing itu sendiri sama-sama memiliki
keterkaitan satu sama lain.
Dalam foto ini fotografer meletakan Chalik Hamid diapit oleh
sang istri, sehingga menimbulkan kesan bahwa sang istri memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan Chalik Hamid. Bagaimana tidak
diketahui Chalik Hamid sudah menjalani tiga kali pernikahan, dimana
pernikahan pertama kandas karena sang istri ditangkap dan ditahan saat
Chalik Hamid tidak dapat pulang ke Indonesia. Lalu Chalik Hamid
menikah dengan wanita Albania, yang juga kandas karena Albania
mengalami krisis ekonomi sehingga mengharuskan Chalik Hamid untuk
pindah ke Belanda. Kini Chalik Hamid menjalani sisa masa tuanya
bersama wanita yang berasal dari Sumatera Utara bernama Aisyah.32
f. Syntax (sintaksis)
Pada foto kedua ini fotografer tidak memberikan caption atau
keterangan foto. Uniknya fotografer juga tidak memberikan caption di
seluruh foto yang berada di dalam buku foto exile. Karena menurut
31 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, h. 43. 32 Rosa Panggabean, Exile, h. 27.
82
fotografer, foto story tidak memerlukan caption, karena informasi yang
ada di setiap fotonya sudah terdapat pada narasi. Keterangan tempat
pada masing-masing foto juga tidak diberikan, karena dikhawatirkan
akan mengancam keselamatan subjek yang berada di foto tersebut.33
Karena pada foto kedua ini tidak memiliki caption, maka penulis
akan memaknai elemen-elemen yang terdapat pada foto untuk
menjawab sintaksis. Pada foto kedua ini terdapat sintaksis yang
menggambarkan keharmonisan salah satu keluarga Eksil yang terlihat
jelas dari suasana makan bersama.
3. Tahap Mitos
Pada tahapan mitos di foto kedua ini, penulis melihat adanya
keunikan di dalam foto tersebut. Keunikan itu terlihat dari makanan yang
disantap oleh kedua objek dalam foto, yaitu Chalik Hamid dan istri. Meski
telah lama tinggal di Belanda, Chalik Hamid tetap menghadirkan makanan
khas Indonesia yaitu soto dan hidangan penutup pastel yang dibuat sendiri
oleh istrinya. Seperti yang dijelaskan oleh fotografer, bahwa selama empat
hari dirinya mengikuti keseharian Chalik Hamid, ia selalu melihat makanan
Indonesia sebagai hidangan di meja makan.34
Apa yang dilakukan oleh Chalik Hamid tersebut menurut Schiller
adalah bentuk dari nasionalisme jarak jauh35 yang dipraktekan dengan
33 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 34 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 35 Nasionalisme jarak jauh adalah sebagai satu perangkat mengenai klaim identitas dan
praktik-praktik yang dilakukan yang menghubungkan orang-orang yang tinggal di pelbagai wilayah
geografis kepada wilayah khusus yang mereka anggap sebagai rumah leluhur mereka. Lihat
Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan Kemunculan Eksil
83
menghadirkan masakan khas Indonesia guna mengobati kerinduannya
terhadap Indonesia. Terlebih fotografer menjelaskan para Eksil memiliki
kerinduan terhadap Indonesia yang tidak ada wadahnya.36
C. Analisis Data Foto 3
Secara umum foto ini menggambarkan nasionalisme, hal tersebut dapat
dilihat dari apa yang sedang dilakukan oleh objek pada foto, yaitu melakukan
pengarsipan tentang orang-orang Indonesia yang meninggal di Belanda. Untuk
menguji dugaan awal tersebut, penulis akan memberikan analisa sebagai
berikut:
Gambar 3. Foto Ketiga
Sumber: Buku foto Exile karya Rosa Panggabean, 2014, hal. 49.
Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI), Volume 17 No. 1,
2015, h. 74. 36 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
84
1. Tahap Denotasi
Terlihat seorang pria sedang membaca setumpuk kertas dari arsip
yang ia miliki, di sebuah ruangan dengan latar belakang tirai. Pria tersebut
membaca dengan seksama arsip yang ada di genggamannya dengan sebuah
kacamata. Ia juga mengenakan kemeja batik yang dibalut dengan pakaian
hangat. Di sisi kanan pria tersebut terdapat cahaya yang sangat terang
menembus tirai dari luar jendela, menerangi beberapa benda yang berada di
ruangan. Akan tetapi cahaya tersebut tidak menerangi sepenuhnya si pria,
dirinya telihat sedikit gelap bersama dengan sebuah kunci yang tergantung
di latar depan foto. Diketahui pria ini bernama Sarmadji37, ia salah satu Eksil
yang tinggal di Amsterdan, Belanda.
2. Tahap Konotasi
a. Trick effect (manipulasi gambar)
Sama seperti foto yang pertama dan kedua, foto ketiga ini tidak
mengandung manipulasi gambar dalam arti menambahkan atau
menghilangkan elemen-elemen ke dalam foto tersebut. Hal itu diperkuat
oleh ucapan fotografer yang tidak memberikan olah digital secara
berlebih pada foto tersebut. Fotografer hanya memperbaiki terang gelap
cahaya serta merubah warna pada gambar. Hal tersebut dimaksudkan
agar setelah masuk ke proses cetak, warna pada foto tidak turun. Olah
37 Sarmadji berprofesi sebagai guru saat ia dikirim ke China untuk belajar tentang
pendidikan anak di luar sekolah pada tahun 1965. Setelah tragedi 1965, Sarmadji dituduh sebagai
bagian dari komunis karena pengakuannya sebagai Soekarnois. Pemerintah Indonesia pada masa itu
mengambil paspornya dan ia tidak dapat kembali ke Indonesia. Sarmadji tidak pernahmengakui
pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Dalam pergulatannya melawan orde baru,
Sarmadji kemudian membuat Perkumpulan Dokumentasi Indonesia atau disingkat perdoi. Perdoi
memuat kumpulan arsip dan dokumentasi tantang sejarah Indonesia yang berkaitan dengan tragedi
65/66. Lihat Rosa Panggabean, Exile, h. 43.
85
digital lainnya juga dilakukan oleh fotografer dengan melakukan
pemotongan gambar, hal ini dilakukan oleh fotografer untuk kebutuhan
estetika.38
Dari dua proses editing yang dilakukan oleh fotografer, penulis
beranggapan proses editing tersebut dimaksudkan agar pelihat foto
dapat menyerap informasi dengan baik dan menikmati keindahan yang
disajikan oleh fotografer melalui fotonya. Meski telah melalui proses
editing, foto ketiga ini masih masuk ke dalam kategori foto jurnalistik.
Karena menurut Frank P. Hoy pada bukunya yang berjudul
Photojournalism The Visual Approach selain fotografer, foto jurnalistik
juga merupakan hasil kerja editor foto.39
b. Pose
Pada foto ketiga, Sarmadji sebagai objek utama foto ini
menunjukan gestur atau pose tubuh yang sedang serius membaca sebuah
tulisan. Dengan posisi kepala yang sedikit menunduk, Sarmadji
memastikan matanya dapat membaca tulisan yang ada di kertas tersebut.
Diketahui kertas tersebut adalah arsip yang berisi tentang data orang-
orang Indonesia yang telah meninggal di Belanda.40
Pose yang dilakukan Sarmadji tersebut memiliki konotasi bahwa
di usianya yang tidak muda lagi, dirinya sangat kesulitan dalam
menjalankan aktifitas di PERDOI. Terlebih, PERDIO ini berisikan arsip
38 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 39 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 4. 40 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
86
orang-orang Indonesia yang meninggal di Belanda, dimana arsip
tersebut harus diperiksa, dan dikirimkan salinannya kepada keluarga
yang berada di Indonesia.41
c. Objek
Terdapat banyak objek dalam foto ketiga. Namun penulis
melihat objek utama dalam foto ini adalah Bapak Sarmadji. Dimana hal
itu ditunjukan oleh fotografer yang lebih memilih menjatuhkan titik
fokusnya pada Bapak Sarmadji. Sementara objek lainnya seperti kunci
bertujuan untuk menguatkan informasi yang ada pada diri objek utama.
Dimana menurut penuturan fotografer kunci tersebut ia masukan ke
dalam foto sebagai bentuk dari pengukuhan bahwa objek utama adalah
seorang Eksil yang bersuku jawa, dimana menurut Letkol Untung dalam
film G30SPKI, “Jawa” adalah “kunci”.42 Sehingga dapat dikatakan
bahwa Sarmadji dan kunci adalah dua objek yang saling berketerkaitan
dalam foto ketiga ini.
d. Photogenia (teknik foto)
Pada foto ketiga ini penulis tidak menemukan adanya bantuan
cahaya selain dari cahaya asli yaitu matahari. Cahaya matahari yang
masuk ke ruangan tersebut membuat beberapa objek terlihat gelap. Hal
tersebut diakibatkan oleh posisi fotografer yang dengan sengaja
menghadapkan kameranya ke arah sumber cahaya, sehingga beberapa
41 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 42 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
87
objek terlihat gelap. Teknik cahaya tersebut dinamakan back light,
dimana dalam teknik tersebut posisi objek membelakangi cahaya.
Teknik pencahayaan back light membuat objek utama berwarna
sedikit gelap sehingga dinamakan silhouette. Dengan teknik silhouette
tersebut timbul kesan bahwa terdapat sisi kelam dari objek utama.43
Diketahui bahwa Sarmadji adalah seorang Eksil yang dahulunya
berprofesi sebagai guru. Perpindahan kekuasaan kepada pemerintahan
orde baru membuat Sarmadji yang saat itu sedang belajar di Luar negeri
harus menjadi Eksil, karena prinsipnya sebagai seorang yang loyal
kepada Soekarno.44 Sisi kelam itulah yang menurut hemat penulis
disampaikan oleh fotografer lewat teknik silhouette.
e. Aestheticism (komposisi gambar)
Komposisi dalam foto ini terbagi menjadi tiga bagian
foreground (latar depan), objek utama, dan background (latar belakang).
Objek utama dalam foto ini adalah Sarmadji, karena fotografer
menempatkan titik fokus kameranya kepada Sarmadji. Sarmadji
memiliki ukuran yang sama dengan kunci sebagai foreground yang
ditempatkan di posisi yang lebih dekat dengan kamera. Kemudian
cahaya kontras dari matahari ditempatkan sebagai background objek
utama.
Dari komposisi tersebut fotografer ingin menyampaikan bahwa
kunci, Sarmadji dan cahaya matahari adalah hal yang saling
berkesinambungan. Dimana Sarmadji adalah kunci dari sejarah lahirya
43 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, h. 43. 44 Rosa Panggabean, Exile, h. 43.
88
Eksil. Kemudian peran cahaya adalah bentuk dari adanya sebuah
harapan ataupun kekuatan dari luar yang membuat Sarmadji mampu
bangkit dari sisi kelamnya dahulu.
f. Syntax (sintaksis)
Pada foto ketiga ini fotografer tidak memberikan sedikitpun
keterangan dalam fotonya. Sehingga untuk menjawab unsur sitaksis
pada foto ketiga ini penulis hanya melihat dari perpaduan elemen-
elemen dalam foto tersebut. Dari foto ketiga ini penulis beranggapan
bahwa fotografer ingin memberikan pesan seorang pria tua yang sedang
memeriksa arsip berisikan data orang Indonesia yang meninggal di
Belanda. Mengingat pria tersebut adalah Sarmadji salah satu relawan
perkumpulan dokumentasi Indonesia (PERDOI), dimana perdoi
memiliki beberapa arsip tentang peristiwa 65/66.45 Dari wawancara
yang dilakukan kepada fotografer, bahwa yang dipegang oleh Sarmadji
adalah arsip tentang data orang-orang yang meninggal di Belanda.
Beberapa arsip yang ia kumpulkan berasal dari barang-barang
pribadinya, dan juga dari sumbangan rekan-rekan Eksil lainnya.46
3. Tahap Mitos
Penulis melihat adanya keunikan pada foto ketiga ini. Keunikan
tersebut dapat dilihat dari sosok Sarmadji yang sedang membaca sebuah
arsip mengenakan kemeja batik. Semua orang Indonesia mengetahui bahwa
45 Rosa Panggabean, Exile, h. 43. 46 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan.
89
batik adalah budaya khas Indonesia. Sarmadji sendiri menggunakan kemeja
bermotif batik, meski ia sudah bukan lagi warga negara Indonesia. Hal
tersebut tentu terdengar aneh, karena Sarmadji adalah seorang Eksil yang
sudah tinggal berpuluh-puluh tahun di luar negeri. Hal tersebut dilakukan
oleh Sarmadji untuk mengisi kerinduannya terhadap Indonesia.47
Sikap ini dapat dikatakan sebagai wujud dari nasionalisme jarak
jauh, dimana Sarmadji tetap mempertahankan budaya tanah kelahirannya
meski sudah berada jauh dari tanah tersebut.48 Terlebih Prof Azyumardi
Azra juga mengatakan bahwa nasionalisme dapat direpresentasikan lewat
kecintaan seorang individu terhadap budaya suatu negara.49 Jadi menurut
penulis apa yang dilakukan Sarmadji sebagai salah satu bukti bahwa
seorang Eksil masih memiliki sikap nasionalisme.
Hal unik lainnya dapat dilihat dari apa yang sedang dikerjakan oleh
Sarmadji. Dari informasi yang sudah dijabarkan oleh fotografer bahwa
dalam foto ini Sarmadji sedang melakukan pengarsipan tentang orang-orang
Indonesia yang meninggal di Belanda. Penulis beranggapan yang dikerjakan
oleh Sarmadji ini merupakan bentuk kecintaannya terhadap tanah air, tidak
peduli beragama apa, berasal dari suku atau etnis apa, namun yang pasti
mereka adalah lahir ditempat yang sama yaitu Indonesia. Seperti yang
dikatakan oleh Sokarno bahwa kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia
47 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 48 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan
Kemunculan Eksil Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI),
Volume 17 No. 1, 2015, h. 74. 49 Thung Ju Lan dan M. ‘Azzam Manan, Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia, h. 116.
90
bukan lagi menjadi penghalang untuk terbentuknya nasionalisme,
melainkan rakyat Indonesia harus memiliki sejarah yang sama dan kemauan
untuk bersatu, sehingga terbentuklah rasa cinta kepada bangsa Indonesia.50
D. Analisis Data Foto 4
Secara umum foto ini menggambarkan nasionalisme jarak jauh, hal
tersebut dapat dilihat dari apa yang sedang dilakukan oleh pria pada foto
keempat ini, yaitu sedang menyaksikan siaran dari televisi Indonesia. Untuk
menguji dugaan awal tersebut, penulis akan memberikan analisa sebagai
berikut:
Gambar 4. Foto keempat
Sumber: Buku foto Exile karya Rosa Panggabean, 2014, hal. 32.
50 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 60.
91
1. Tahap Denotasi
Dalam foto keempat ini terlihat seorang pria yang mengenakan baju
hangat berwarna abu-abu sedang duduk menyaksikan siaran televisi
nasional Indonesia di sebuah leptop. Dalam video siaran tersebut terlihat
gambar seseorang pria dengan nuansa gambar hitam-putih, juga tulisan
”Melawan Lupa, Wiji Tukul”.
2. Tahap Konotasi
a. Trick effect (manipulasi gambar)
Dari foto keempat ini penulis beranggapan bahwa tidak terdapat
penambahan elemen-elemen dalam foto tersebut, sehingga dapat
memberikan informasi yang berbeda dari kenyataannya. Namun bukan
berarti foto ini tidak melalui proses editing. Penulis melihat foto ini telah
melewati olah digital berupa editing warna, cahaya dan pemotongan
gambar. Hal tersebut dilakukan fotografer karena kebutuhan estetika
atau keindahan pada foto.51 Olah digital yang dilakukan oleh fotografer
dirasa sah-sah saja, karena olah digital seperti itu tidak merubah makna
atau informasi yang terkandung dalam sebuah foto. Sehingga foto
keempat ini masih dapat dikatakan sebagai foto jurnalistik. Karena
selain fotografer, foto jurnalistik adalah hasil kerja kerja editor foto.52
51 Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean pada tanggal 7 Mei 2017 di kafe Good
Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta Selatan. 52 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 4.
92
b. Pose
Terlihat secara samar-samar dalam foto keempat objek berpose
dengan duduk serta kepala yang sedang menghadap ke leptop. Pose
yang dilakukan oleh objek ini menandakan bahwa dirinya sedang
menonton sebuah siaran televisi pada leptopnya. Diketahui siaran
televisi tersebut adalah iklan dari sebuah program televisi nasional
Indonesia yaitu Metro TV. Dimana nama program tersebut adalah
melawan lupa53 episode “Wiji Thukul Penyair Demonstran”.
c. Objek
Objek utama pada foto keempat ini adalah sebuah leptop yang
sedang menampilkan video. Fotografer menempatkan titik fokusnya
pada leptop, sehingga hanya leptop saja yang terlihat fokus sedangkan
bagian lainnya terluhat buram atau blur. Fotografer ingin menampilkan
tayangan video pada objek utama tersebut untuk mendukung alur foto
cerita pada buku foto karyanya.
Selain objek utama, terdapat pula objek pendukung pada foto
keempat ini yaitu seorang pria yang sedang duduk menyaksikan leptop.
Diketahui pria ini adalah Chalik Hamid, seorang Eksil yang berpofesi
sebagai sastrawan. Meskipun sudah bepuluh tahun lamanya tinggal di
53 Melawan Lupa adalah sebuah program acara dokumenter di Metro TV yang mengulas
berbagai peristiwa bersejarah yang turut membentuk mengenai sebuah entitas yang hari ini dikenal
sebagai Indonesia. Tayangan ini, seperti judulnya, sedikit-banyak berupaya menjadi narasi tanding
atas apa-apa yang selama ini mendefinisikan diri sebagai sejarah nasional Indonesia. Dengan
menyajikan narasi-narasi kecil di balik peristiwa-peristiwa besar yang terjadi, Melawan Lupa
ditujukan bagi siapa saja yang menolak lupa atas segala hal yang pernah terjadi dalam sejarah
Indonesia. Lihat pada Metro TV.com, Tentang Melawan Lupa, diakses dari
http://video.metrotvnews.com/melawan-lupa/abouts, pada tanggal 13 Juli 2017.
93
Belanda, Chalik Hamid tetap menyaksikan siaran Indonesia, untuk
mendapatkan informasi terkait dengan Indonesia.
d. Photogenia (teknik foto)
Dalam foto keempat, tidak ada tambahan cahaya dalam foto ini,
fotografer hanya mengandalkan cahaya dalam ruangan tersebut. Penulis
beranggapan, teknik ini dilakukan oleh fotografer untuk memberikan
kesan alami, tanpa dibuat buat.54 Fotografer juga menggunakan sudut
padang eye level, dimana letak kamera sejajar dengan objek yang
memberi kesan bahwa antara pelihat foto dan objek memiliki
kesamaan.55
e. Aestheticism (komposisi gambar)
Komposisi gambar pada foto keempat ini dinamakan Rule Of
Third atau biasa dikenal dengan 1/3. Chalik Hamid sebagai subjek
dalam foto ini menempati bagian 1/3 dari seluruh isi foto. Sehingga
meninggalkan ruang kosong sebanyak 2/3 bagian. Dengan komposisi
seperti ini fotografer ingin menampilkan apa yang sedang dilakukan
oleh subjek berkaitan dengan apa yang mengisi bagian 2/3 tersebut.
Diamana bagia 2/3 tersebut diisi oleh sebuah leptop yang sedang
menyiarkan iklan program melawan lupa milik Metro TV.
f. Syntax (sintaksis)
Sintaksis adalah pengamatan keseluruhan elemen-elemen yang
terdapat pada suatu karya, yang biasanya dalam foto jurnalistik terdapat
54 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, h. 43. 55 M. Budyatna, Jurnalistik, Teori dan Praktik, h. 43.
94
foto dan teks.56 Pada foto keempat ini terdapat sintaksis bahwa pria
dalam foto tersebut sedang menyaksiakan siaran iklan program
melawan lupa milik televisi nasional Indonesia yaitu Metro TV.
Meskipun telah berpuluh tahun tinggal di Belandan pria tersebut masih
mengikuti perkembangan informasi di Indonesia.
3. Tahap Mitos
Pada foto keempat ini memiliki mitos yang sangat kuat. Dimana
Chalik Hamid sedang menyaksikan siaran iklan program “Melawan Lupa”
yang disiarkan oleh Metro TV pada sebuah leptop. Dengan program televisi
tersebut Chalik Hamid mendapatkan informasi tentang isu-isu yang sedang
berkembang di Indonesia.
Hal tersebut membuktikan bahwa dalam foto keempat, Eksil
memiliki nasionalisme. Terlebih menurut Schiller nasionalisme jarak jauh
ditujukan bagi mereka yang masih melakukan aktivitas sosial terkait dengan
Indonesia, walaupun mereka sudah bukan lagi tercatat sebagai warga negara
Indonesia.57 Aktifitas sosial tersebut tergambar jelas dalam foto keempat ini,
dimana Chalik Hamid sedang memperhatikan siaran televisi Indonesia
Metro TV.
Kehidupan dan identitas baru yang dimiiki Chalik Hamid tidak
menyurutkan perhatiannya terhadap negara asal di mana tempat mereka
lahir, tumbuh dan besar. Di Belanda, mereka sesama Eksil tetap aktif
56 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media
Massa, h. 4. 57 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan
Kemunculan Eksil Indonesia, h. 74.
95
membangun komunikasi ataupun diskusi terkait dengan isu-isu yang
berkaitan dengan Indonesia, mulai dari isu politik, sosial, ekonomi, dan juga
seni.58
58 Wahyudi Akmaliah, Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966 dan
Kemunculan Eksil Indonesia, h. 72.
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis berdasarkan data dan temuan terhadap buku
foto Exile karya Rosa Panggabean pada bab empat. Selanjutnya penulis akan
memberikan kesimpulan dari analisis tersebut pada bab lima ini. Berikut
kesimpulan dari penulis:
1. Tahap Denotasi
Seperti yang sudah dijabarkan pada bab dua, denotasi memiliki sifat
yang eksplisit, langsung, dan pasti dalam pemaknaan foto. Artinya
seseorang akan memiliki pemaknaan yang sama terhadap sebuah foto.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka makna denotasi yang terdapat pada
empat foto Exile karya Rosa Panggabean adalah bercerita tentang suasana
kehidupan para Eksil yang ada di Belanda. Mulai dari melakukan pekerjaan
kepustakaan, makan siang bersama, mengikuti perkembangan Indonesia,
hingga pada hal yang lebih personal.
2. Tahap Konotasi
Setelah mendapatkan kesimpulan pada tahap denotasi, kini penulis
akan mejelaskan kesimpulan dalam tahap konotasi. Pada tahap konotasi
pesan yang dibuat oleh fotografer bersifat implisit, tidak langsung dan tidak
pasti, atau terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Dengan kata lain
fotografer dan pelihat foto belum tentu memiliki pemaknaan yang sama
terhadap sebuah foto.
97
Terdapat beragam makna konotasi dalam empat foto yang dianalisis.
Adapun makna konotasi pada foto pertama adalah adanya keberanian yang
tergambar dari pemilihan background serta ekspresi saat melakukan
pemotretan. Foto kedua, adanya pesan keharmonisan pada sepasang pria
dan wanita yang telah lanjut usia. Keharmonisan tersebut tergambar dari
suasana makan siang seperti yang ada di dalam foto. Foto ketiga, masih
adanya hubungan batin antara eksil dengan orang Indoneisa. Hal tersebut
dapat dilihat dari pekerjaan yang sedang dilakukan oleh objek utama yaitu
memeriksa arsip orang-orang Indonesia yang meninggal di Belanda.
Kemudian pada foto keempat, tergambar jelas bahwa hingga detik ini para
eksil masih mengikuti isu-isu yang sedang berkembang di Indonesia.
3. Tahap Mitos
Kesimpulan dari tahap mitos ini merupakan kelanjutan dari tahap
denotasi dan konotasi sebelumnya. Mitos lahir karena adanya pesan
konotasi yang lalu dipercaya oleh banyak orang dalam suatu wilayah atau
budaya tertentu.
Dari keempat foto yang telah dianalisa, penulis berkesimpulan
bahwa adanya mitos tentang kerinduan terhadap Indonesia yang kemudian
dipraktekan dengan menyajikan makanan khas Indonesia, mengenakan
kemeja batik khas Indonesia, bekerja dengan dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan Indonesia, mengikuti isu-isu yang sedang berkembang di
indonesia. Keempat indikator tersebut mencerminkan bahwa Eksil memiliki
nasionalisme. Terlebih meskipun sudah tidak tercatat sebagai warga negara
98
Indonesia, para Eksil ini masih melakukan aktivitas sosial yang berkaitan
dengan Indonesia.
B. Saran
Fotografi tidak hanya hadir sebagai sebuah karya seni yang
menampilkan keindahan semata, melainkan mempunyai pesan yang terkandung
di dalamnya. Fungsi awal fotografi sebagai alat dokumentasi kini berubah
menjadi alat penyampai pesan. Perkembangan alat fotografi yang semakin
dinamis, menjadikannya mudah digunakan oleh masyarakat, sehingga fotografi
kian digandrungi oleh masyarakat dengan berbagai tujuannya.
Perkembangan fotografi yang kian dinamis juga mempengaruhi dunia
pendidikan. Analisis semiotika Roland Barthes adalah salah satu teori yang
ditujukan untuk melakukan pemaknaan pada foto dalam dunia akademis.
Melalui analisis tersebut diharapkan dunia akademis mampu mengimbangi
perkembangan fotografi dengan penelitian-penelitian terhadap sebuah foto.
Oleh karena itu penulis berusaha memberikan saran agar penelitian
terhadap sebuah foto dapat lebih maksimal. Terlebih saran ini dikhususkan
untuk Program Studi Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullan Jakarta serta para pecinta fotografi pada
umumnya. Adapun saran tersebut sebagai berikut:
1. Dalam dunia jurnalistik, fotografi memegang peran yang sangat penting,
karena pesan akan mudah tersampaikan melalui karya visual ketimbang
tulisan. Perkembangan dunia fotografi yang kian dinamis menjadikannya
semakin digandrungi oleh masyarakat dengan berbagai tujuan. Oleh karena
itu penulis menyarankan agar Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu
99
Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta menambah mata kuliah tentang
fotografi jurnalistik menjadi dua semester, dari yang sebelumnya hanya satu
semester. Selain itu penulis juga menyarankan untuk menambah koleksi
buku tentang fotografi guna memudahkan mahasiswa yang ingin
mendalami dan melakukan penelitian terhadap ilmu tersebut.
2. Analisis semiotika Roland Barthes adalah teori yang diperuntukan guna
membedah tanda dalam foto. Analisis tersebut seringkali digunakan oleh
mahasiswa yang sedang melakukan penelitian terhadap sebuah foto.
Mengingat semakin besarnya minat mahasiswa yang melakukan penelitian
terhadap karya foto. Penulis menyarankan agar Program Studi Jurnalistik
Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta membuat mata kuliah
baru yang membahas tentang ilmu semiotika. Selain itu penulis juga
menyarankan untuk menambah koleksi buku tentang semiotika Roland
Barthes untuk memaksimalkan karya ilmiah di UIN Jakarta.
3. Meskipun fotografi memiliki kekuatannya sendiri untuk bercerita atau
menyampaikan pesan, ada baiknya dalam pembuatan buku fotografi,
fotografer memberikan caption atau keterangan singkat pada setiap foto.
Selain memudahkan pelihat foto dalam mencerna pesan yang disampaikan
fotografer, hal tersebut juga dimaksudkan untuk memudahkan para peneliti
untuk mengkaji tanda yang terkandung dalam setiap fotonya tanpa harus
dijelaskan terlebih dahulu oleh fotografer.
Dengan itu, diharapkan penelitian-penelitian semiotika dan fotografi
yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
100
dapat terus berkembang, diikuti dengan perkembangan pemahaman fotografi
sebagai bahasa visual atau bahasa komunikasi di masyarakat Indonesia.
101
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1990.
Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Barhes, Roland. Imaji Musik Teks. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Bignell, Jonathan. Media Semiotics, An Introduction. New York: Manchaster
University Press.
Budiarjo, Mariam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1985.
Budyatna, M. Jurnalistik, Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Christomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia.
Cobley, Paul dan Litza Jansz. Introducing Semiotics. New York: Icon Books-Totem
Books, 1999.
Danesi, Marcel. Understanding Media Semiotics. London: Arnold.
- - - - - - - - - -. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Dharmawan, Bagas. Belajar Fotografi Dengan Kamera DSLR. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
Elvinaro, Ardianto dan Bambang Q-Anees. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2011.
Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS,
2001.
Gani, Rita dan Ratri Rizki Kusumalestari. Jurnalistik Foto Suatu Pengantar.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2013.
Grosby, Steven. Nasionalisme. Surabaya: Portico, 2010.
Hall, Stuart. Culture, the Media and the Ideological Effect. London: mass
Communication & Society, 1997.
Haryono, Rudy. Kamus Inggris Indonesia. Jombang: Lintas Media.
Hedgecoe, John. John Hedgecoe’s Complete Guide to Photography; A Step-by-Step
Course from The World’s Best-Selling Photographer. New York: Sterling
Publishing Company, 1990.
102
Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Universitas
Indonesia, 2008.
Kellas, James G. The Politics of Nationalism and Ethnicity. USA: St. Martin’s
Press, Inc, 1998.
Kobre, Kenneth. Photojournalism The Professionals Approach. Burlington, USA:
Focal Press Elsevier, 1991.
Kohn, Hans. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga, 1984.
Lan, Thung Ju dan M. ‘Azzam Manan. Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di
Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2011.
M, Romly A. Agama Menentang Komunis. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1997.
Ma’arif, Syafi’i. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan,
1994.
Martinet, Jeanne. Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussurean; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai. Yogyakarta: LkiS, 2007.
Moleong, Lexy. J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Morissan. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2014.
Ode, M. D. La. Etnis Cina Indonesia dalam Politik di Kota Pontianak dan Kota
Singkawang, Kalimantan Barat 1998 – 2008. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2012.
Panggabean, Rosa. Exile. Jakarta: 2014.
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara,
2007.
Pewarta Foto Indonesia. Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2014.
Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
Bandung: Jalasutra, 2003.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Setiawan. Nasionalisme NU. Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2007.
103
Smith, Anthony D. Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga, 2003.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012.
- - - - - - - - - -. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.
Sugiarto, Atok. Jurnalisme Pejalan Kaki. Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2014.
Yatim, Badri. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2011.
Wijaya, Taufan. Jurnalistik Foto. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Karya Ilmiah
Akmaliah, Wahyudi. Jurnal “Indonesia yang Dibayangkan: Peristiwa 1965-1966
dan Kemunculan Eksil Indonesia”. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan (P2KK-LIPI), 2015.
Ghofur, Abdul. Skripsi “Peran Soeharto dalam G-30S PKI”. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UIN Jakarta, 2010.
Mudzakir, Amin. Jurnal “Hidup di Pengasingan: Eksil Indonesia di Belanda”. Pusat
Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2015.
Website
Antara News. “Jejak orang-orang terbuang yang tetap setia pada Indonesia.” Artikel
diakses pada tanggal 14 Februari 2017 dari
http://m.antaranews.com/berita/409639/jejak-orang-orang-terbuang-yang-
tetap-setia-pada-indonesia.
BBC Indonesia. “Purnawirawan TNI Pastikan Simposium Anti-PKI.” Artikel
diakses pada 25 Januari 2017 dari
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160530_indonesi
a_simposium_antipki.
CNN Indonesia. “Deretan Pasal Krusial Untuk Memberangus Komunisme di
Indonesia.” Artikel diakses pada tanggal 28 Januari 2017 dari
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160511154554-20-
129985/deretan-pasal-krusial-untuk-berangus-komunisme-di-indonesia/.
104
Januar, Dwi. “Menggali Makna yang Terkandung di dalam Ikrar Sumpah Pemuda.”
Artikel diakses pada tanggal 27 April 2017 dari
https://www.academia.edu/8927732/MENGGALI_MAKNA_YANG_TE
RKANDUNG_DI_DALAM_IKRAR_SUMPAH_PEMUDA?auto=downl
oad.
Kemendikbud. “Bendera Merah Putih Lambang Kebesaran Negara.” Artikel
diakses pada tanggal 9 Mei 2017 dari
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/12/24/bendera-merah-
putih-lambang-kebesaran-negara/.
Liputan 6. “Eksil Dapat Kembali Menjadi WNI.” Artikel diakses pada tanggal 19
April 2017 dari http://news.liputan6.com/read/129901/eksil-dapat-kembali-
menjadi-wni.
Merdeka.com. “6 Kebijakan Gus Dur saat Menjadi Presiden.” Artikel diakses pada
tanggal 19 April 2017 dari https://www.merdeka.com/peristiwa/6-
kebijakan-kontroversial-gus-dur-saat-jadi-presiden.html.
Metro TV.com. “Tentang Melawan Lupa”. Artikel diakses pada tanggal 13 Juli
2017 dari http://video.metrotvnews.com/melawan-lupa/abouts.
National Goegraphic Indonesia. “Kehidupan Para Eksil.” Artikel diakses pada
tanggal 29 Januari 2017 dari
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/09/kehidupan-para-eksil.
Situmorang, Saut. “Sastra Eksil, Sastra Rantau.” Artikel diakses pada tanggal 17
Maret 2017 dari http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-
pembebasan-Sastra-Eksil-Sastra-Rantau-td33812.html.
Suwirta, Andi. “Memaknai Peristiwa Sumpah Pemuda dan Revolusi Kemerdekaan
Indonesia dalam Perspektif Pendidikan.” Artikel diakses pada tanggal 27
April 2017 dari
https://www.academia.edu/15260897/Memaknai_Peristiwa_Sumpah_Pem
uda_dan_Revolusi_Kemerdekaan_Indonesia.
Tirto.id. “Para Panitia Sumpah Pemuda.” Artikel diakses pada tanggal 27 April
2017 dari https://tirto.id/para-panitia-sumpah-pemuda-bYAj.
105
Wawancara
Daftar riwayat hidup Rosa Panggabean.
Wawancara langsung dengan Rosa Panggabean, Jakarta, 7 Mei 2017.
Arsip
Lembaga Dewan Pers Indonesia. Kode Etik Jurnalistik. Jakarta: Dewan Pers
Indonesia, 2011.
106
LAMPIRAN
Hasil Wawancara :
Narasumber : Rosa Panggabean
Jabatan : Pewarta Foto Antara
Hari / Tanggal : Minggu, 7 Mei 2017
Waktu : 19.00 WIB
Tempat : Kafe Good Dept, Lotte Mart Ciputra, Kuningan, Jakarta
Selatan.
1. Menurut Oscar Matulah, Rosa Panggabean adalah fotografer yang
konsen di bidang kemanusiaan, sosial, seni dan budaya. Mengapa mba oca
mengambil tema politik seperti karya eksil ini?
Awal saya tertarik karena dengar cerita teman yang sekolah S2 di Leiden,
bahwa ada sekumpulan orang-orang tua, mereka tinggal di sana dan dulunya
mereka Stateless. Namun berhubung tempat tinggal mereka jauh, dan kantor
juga tidak dapat memberangkatkan saya ke sana, pada akhirnya cerita itu
hanya berhenti di angan-angan saya saja. Maksud saya kenapa tidak pernah
ada yang mengangkat ya? Melainkan hanya dalam bentuk video dan tulisan.
Ketika saya ada kesempatan untuk ke sana, pada saat itu juga saya langsung
mencari para eksil. Maksud saya karena memang ada cerita yang menarik di
balik kehidupan para eksil, akhirnya sayang abadikan mereka di sana.
2. Apakah dapat dikatakan sebagai proyek pribadi?
Ya personal project.
3. Berbicara eksil berarti berbicara komunis, sedangkan di Indonesia isu
terhadap komunis sangat sensitif, kenapa mba bisa yakin meliput
mereka?
Pada awalnya saya tidak terlalu menyibukan tentang komunis. Saya
melihatnya hanya dari sisi bahwa ada orang-orang yang menjadi korban.
107
4. Apakah yang mba maksud kemanusiaan?
Iya lebih ke sisi kemanusiaannya. Kalo kemudian backgroundnya komunis, dan
akhirnya saya belajar sejarah banyak dari situ. Jadi akhirnya saya mengetahui
sejarah komunis dari konsen saya dikemanusiaan terlebih dahulu.
5. Apakah ada tanggapan negatif, setelah mba mempublish foto eksil?
Kalo secara frontal tidak. Jika dari kantor saya sendiri sebenernya isu-isu
komunis lumayan beresiko, karena kantor saya adalah kantor berita nasional.
Oleh karena itu saya mengangkatnya dari sisi kemanusiaan dan tidak semua
orang yang terlibat disini dia dulunya komunis, namun kemudian dituduh
sebagai komunis. Jadi mereka ini sebenernya dua diantara mereka bukan
komunis, melainkan sangat nasionalis dan satu orang pernah terlibat LEKRA
yaitu bapak Chalik Hamid. Dan mereka tidak menerima jika dicap sebagai
komunis.
6. Apakah ada fakta yang disembunyikan, sehingga tidak diinformasikan ke
dalam buku foto?
Tidak ada fakta yang disembunyikan, informasi yang saya sampaikan di dalam
buku foto memang sudah apa adanya. Justru para eksilah mengkhawatirkan
keselamatan saya, “kamu nulis tentang kami, di Indonesia bagaimana?” Lalu
saya jelaskan kepada mereka pada saat itu bahwa isu komunis di Indonesia
sebenarnya hanya di “goreng -goreng” saja, sementara “akar-akarnya”
sudah tidak ada. Saya tidak menyangka jika perkembangan isu komunis saat
ini “kencang sekali”.
7. Apakah hal tersebut yang membuat Mba Oca sulit mendapatkan
informasi tentang eksil? Seperti yang mba sampaikan dalam buku foto
bahwa hanya tiga orang eksil saja yang mau berbagi informasi.
Ya salah satunya seperti itu. Jadi sebenarnya gini, mereka kan lama sudah
tinggal di luar negeri dan tidak tahu situasi politik di Indonesia persis seperti
apa. Nah mereka itu justru lebih "parno" dibanding kita yang tinggal di
Indonesia. Jadi mereka itu karena saking takutnya terhadap situasi politik di
Indonesia mereka enggan difoto oleh saya karena akan memberikan efek
108
terhadap diri mereka sendiri atau keluarganya yang masih tinggal di
Indonesia.
8. Jadi sebenernya mereka itu terbuka?
Sebenarnya mereka terbuka, tapi mereka masih punya ketakutan-ketakutan
seperti itu. Dan menurut saya itu trauma.
9. Apa pengertian nasionalisme menurut Mba Oca?
Karena saya biasa bergerak dalam dunia jurnalistik dengan tidak membuat
opini. Menurat saya nasionalisme sebuah ideologi yang mencerminkan rasa
kecintaan mereka terhadap tanah air. Jadi dari keseluruhan story ini ada
beberapa perasaan yang berusaha saya terjemahkan dalam visual salah
satunya itu adalah perasaan kangen yang selalu mereka katakan pada saat
saya wawancara mereka. Dari ketiga subjek saya ini, mereka mengatakan
sangat mencintai Indonesia dan memiliki kerinduan yang tidak ada wadahnya.
Kerinduan itu saya tunjukkan lewat kehidupan sehari-hari para eksil yang
ingin membawa rasa tinggal di Indonesia ke luar negeri. Mereka setiap hari
berusaha untuk makan nasi, soto, memasak-masakan Indonesia dan lain
sebagainya. Untuk nasionalisme sebagai ideologi saya tunjukkan dalam foto
melalui simbol-simbol politik yang mereka masih pasang atau koleksi-koleksi
buku mereka.
10. Menurut undang-undang tentang kewarganegaraan tahun 2006, para
eksil dapat kembali menjadi warga negara Indonesia, lantas mengapa
mereka tidak mengajukan permohonan kewarganegaraan?
Hal itu juga sempat saya tanyakan kepada mereka. Satu, mengingat usia
mereka sudah menginjak 70 tahun ke atas secara logika mereka mengatakan
“kami harus kembali ke suatu negara yang sudah bertahun-tahun kami
tinggalkan, kami tidak punya keluarga di sana yang mau mengongkosi kami,
tidak punya jaminan hari tua”, secara akal sehat mereka tidak dapat hidup di
Indonesia sebagai warga negara Indonesia. Sementara pemerintah hanya
memberikan hak warga negara saja. Mereka mengatakan “kalau saya masih
109
punya keluarga dan mau menampung saya atau menghidupi saya dan saya
punya jaminan hari tua di sana saya nggak ada masalah”.
11. Bapak Chalik pernah bekerja di restoran, apakah ia memasak makanan
Indonesia?
Bukan, yang dia masak itu masakan sana dan restorannya juga restoran
Belanda. Dulu dia kerja sembunyi-sembunyi, karena dia cuman dapat Suaka
Politik, nggak boleh kerja.
12. Apakah hingga setua ini mereka masih bekerja?
Sekarang nggak, karena setelah mereka menginjak usia tertentu mereka dapat
jaminan hari tua dari pemerintah Belanda.
13. Berapa lama Mbak mengikuti keseharian mereka?
Rata-rata saya mengikuti mereka masing-masing 4 hari.
14. Selama sehari penuh Mba Oca mengikuti pak Chalik, benarkah ia
memakan makanan Indonesia?
Iya benar seharian. Pagi pagi itu makan pisang goreng cemilan, masuk waktu
siang ada soto, lalu di sore hari ada cemilan lagi, malam hari saya di masakin
nasi goreng. Jadi sehari itu tiga kali saya makan di rumah dia.
15. Apakah makanan yang ada di dalam foto dimasak oleh sang istri?
Ya. Ini istri ketiga. Ketika istri yang pertama menikah lagi dengan pria
Indonesia dia menceraikannya dan menikah dengan orang Albania. Lalu
bercerai. Terus dia nikah lagi dengan orang Indonesia seperti yang ada di foto.
16. Terkait hal teknis, apakah Mba dapat jelaskan tentang perlengkapan
fotografi yang digunakan?
Saya menggunakan Nikon D4 dengan lensa White 1735 dan fix 50 mm, saya
tidak pernah pake tele. Untuk lensa wide saya tidak pernah memakai di 17
maksimal 24, biasanya saya menggunakan 35 atau 28 untuk menghindari
distorsi pada gambar. Saya hanya menggunakan pencahayaan tambahan
ketika di foto potrait.
110
17. Apakah Mba melakukan proses editing pada foto?
Yang pasti ada ya, seperti pemotongan gambar itu saya lakukan karena
masalah teknis dan estetika. Editing warna juga ada, apa lagi untuk kebutuhan
buku saya naikan kecerahannya karena serapan warna pada buku itu beda.
Dan tidak masalah dalam foto jurnalistik. Tidak semua foto saya potong,
contohnya ada foto yang saya ambil saat saya berjalan dengan focal length 17
menghasilkan distorsi yang berlebihan sehingga mengharuskan saya untuk
melakukan pemotongan.
18. Mengapa tidak memberikan caption dalam setiap foto?
Karena foto exile merupakan foto Story menurut saya cerita ketiganya sudah
terwakilkan pada narasi masing-masing orangnya. Sebelumnya saya hanya
ingin memberikan nama tempat di dalam caption, namun menurut designer
buku tidak masalah jika tidak menaruhkan lokasi pada caption, karena untuk
alasan keamanan para eksil juga.
19. Apa yang dilakukan oleh Bapak Sarmadji dalam fotonya?
Itu dia sedang kerja. Dia sedang melakukan archiving atau pengarsipan,
selain Dia mengurus perdoi dia juga melakukan pekerjaan pengarsipan untuk
orang-orang Indonesia yang meninggal di Belanda jadi datanya ada di sini
semua. Misalnya data Si A semua didata sama dia, dia ini lahir di mana,
tinggalnya di mana, tinggal di mana, punya keluarga atau tidak. Nanti dari
pengarsipan itu biasanya kalau dia punya keluarga atau sanak saudara di
Indonesia, salinannya itu dikirim ke keluarganya. Jai kerjaanya itu mendata
orang-orang indonesia yang sudah meninggal di Belanda.
20. Apakah Bapak Sarmadji mengetahui jumlah Eksil yang ada di Belanda?
Jika iya ada berapakah jumlahnya?
Saya kurang tahu, mereka juga tidak punya data pastinya, namun sepertinya
diperkirakan ribuan, namun yang terdata itu kalau saya tidak salah ingat
sekitar 500 jiwa.
111
21. Berapa eksil yang ditemui oleh Mba Oca?
Yang saya temui ada 9 orang. Namun yang mau memberikan informasi hanya
3 orang. Jika semua eksil mau memberikan informasi dan waktu saya lebih
banyak saya jadi bisa membuat visual yang lebih lengkap. Karena ada
beberapa hal detail yang perlu saya visual kan. Mengingat tipikal mereka yang
suka menyimpan arsip seperti surat, kaset, foto dan lain sebagainya, bisa
dikatakan pengarsipan mereka itu lengkap. Jadi saya tertarik untuk melakukan
foto-foto detail dari masing-masing arsip mereka.
22. Apakah Bapak Sarmadji setiap hari mengenakan baju batik?
Setiap hari jika dirinya ingin keluar dan setiap ada tamu dia selalu
mengenakan batik.
23. Mengapa Mba memasukan kunci pada foto Bapak Sarmadji?
Berhubung Pak Sarmadji adalah orang Jawa, saya jadi ingat salah satu dialog
pada film G30S PKI “ingat Jawa adalah kunci”. Jadi ketika saya memotret
pak Sarmadji lalu melihat ada kunci maka saya ingat dengan adegan tersebut.
24. Dari manakah Bapak Sarmadji mendapatkan arsip-arsip tersebut?
Macam-macam. Dulu ada teman yang mengirim ke dia seperti naskah-naskah
Pramudya yang asli untuk dijaga. Dia menyimpan arsip-arsip perdoi di dalam
flat nya itu. Dan arsipnya bisa diakses di web. Karena waktu itu saya bertemu
dengan perempuan yang sedang berusaha mendigitalisasikan semua arsip-
arsip perdoi supaya dapat diakses oleh publik. Perempuan itu sekolah S2 di
Amerika terbang khusus ke Belanda hanya untuk membantu Pak Sarmadji.
Kalau tidak salah nama perempuan itu Inggrid.
25. Apakah Bapak Chalik Hamid mengenakan kemeja batik setiap hari?
Tidak mesti, sepertinya mereka mengenakan baju batik ketika datang ke acara
perkumpulan orang-orang Indonesia.
26. Bagaimana kehidupan sosial eksil dengan orang Belanda?
Baik-baik saja.
112
27. Apakah para eksil membuat suatu perkampungan?
Tidak, tetangga kanan kirinya itu bule. Mereka di tempatkan oleh pemerintah
Belanda. Jadi bagi penerima suaka seperti eksil diberikan rumah tergantung
kebijakan pemerintah ingin di tempatkan dimana. Dan mereka boleh menolak
sebanyak 3 kali. Hingga rumah ketiga ditetapkan jika mereka masih menolak
mereka harus menerima dengan apa adanya.
28. Mengapa memilih background merah pada foto portrait Bapak Chalik?
Saya dapat masukkan dari Jan Banning karena dia ngerti sejarah Indonesia.
Karena isu yang ingin diangkat tentang nasionalisme menyarankan saya untuk
menggunakan background garuda ataupun merah putih. Namun jika
background Garuda agak ribet jika dalam visual. Lalu jika merah putih akan
menjadi belang dan warna putih dapat menyolong warna juga. Karena
komunis identik dengan warna merah maka saya coba menggunakan
background merah. Namun merah yang saya pakai itu adalah warna merah
dari bendera merah putih bukan dari warna merah komunis yaitu merah cabai.
Namun ketika dicetak warna merahnya menjadi warna merah marun dan itu
adalah kesalahan teknis. Lalu untuk lighting juga saya coba dari kiri pada
setiap foto portrait. Karena komunis identik dengan kiri.
29. Apakah ada teknik khusus dalam membuat foto potrait Bapak Chalik
Hamid?
Tidak ada, mengalir begitu saja. Meski biasanya ketika saya membuat foto
portrait Saya akan mengajak ngobrol narasumber sangat lama sekali tentang
hal-hal masa lalu dan segala macamnya. Namun karena saya sudah ngobrol
dengan para Eksil jadi saya rasa sudah cukup.
30. Di dalam foto keempat, di rumah siapakah foto tersebut dibuat?
Di rumah Pak Chalik.
31. Apakah saat keluar Pak Chalik selalu mengenakan jaket yang ada di
dalam foto?
Tidak mesti. Itu hanya kebetulan kemungkinan Ia memiliki beberapa jaket.
113
32. Benarkah ini pintu utama?
Ya, itu adalah pintu masuk dan keluar rumah.
33. Mengapa Mba tertarik dengan foto ini, sehingga kemudian di tempatkan
pada halaman paling belakang? Karena biasanya foto paling belakang itu
adalah menggambarkan semuanya.
Karena ada Soekarnonya. Saya sangat terkesan dengan bapak Chalik yang
mesti sudah bertahun-tahun tinggal di Belanda masih memajang foto Soekarno
di rumahnya. Yang artinya jika mereka bilang mereka soekarnois, itu adalah
kenyataannya. Foto ini adalah ending dari storynya, yang intinya para Eksil
ini adalah soekarnois belum tentu mereka komunis. Jadi fakta baru yang saya
temui di sana adalah mereka orang-orang yang setia kepada Soekarno, dan
mereka merasa visi misi Soekarno ada dalam diri mereka, berbeda dari asumsi
pertama yang beranggapan bahwa mereka semua adalah komunis. Soekarno
pada saat itu memberangkatkan ribuan orang pelajar untuk membangun
Indonesia, jika hal itu benar-benar terjadi mungkin sekarang kita sudah
menjadi bangsa yang maju. Menurut saya inti story dari sisi politik mereka ini
adalah korban politik. Karena mereka soekarnois mereka menolak permintaan
dari pemerintahan orde baru untuk setia kepada Orde Baru. Itu fakta baru
saya temukan di sana.
34. Benarkah semua mendapat ancaman jika pulang kembali ke Indonesia?
Seperti bapak Ibrahim Isa yang diancam akan digantung oleh pemerintah
Orde Baru.
Ya semua mendapat ancaman. Bahkan ada salah satu dari mereka yang
akhirnya mengaku Pro Orde Baru, dan ketika kembali ke Indonesia ternyata
tidak selamat, hal itu diceritakan oleh Bapak Isa.
35. Ada berapa foto yang Mba ambil di Belanda?
Banyak, sekitar ribuan foto. Dan produksi sekitar 2 minggu.
36. Bagaimana proses pendekatan Mba dengan eksil?
Awalnya mereka terkejut mendengar bahwa saya dari kantor berita Antara,
karena yang mereka ketahui Antara itu adalah milik pemerintah dan saya
114
dicurigai sebagai mata-mata. Dan akhirnya saya dapat meyakini mereka
bahwa saya hanya melakukan reportase terkait kehidupan mereka. Setelah
buku ini jadi, saya kirim ke sana dan mereka senang.
37. Prestasi apa yang didapatkan dari foto Exile ini? Selain mendapatkan
juara 2 pada ajang PFI 2014.
Ada, foto eksil ini masuk ke dalam nominasi Tim Hetherington Grants WPP
2014.
38. Dari mana mendapatkan pengetahuan tentang eksil sebelum membuat
foto ini?
Karena saya jurnalis, saya bergerak atas dasar penelitian yang dibuat oleh
Amin Mudzakkir. Karena saya tidak boleh beropini dalam membuat karya
jurnalistik maka saya menggunakan penelitian Amin Mudzakkir sebagai
peneliti.
Foto penulis bersama narasumber:
115
Scan Buku Foto Exile Karya Rosa Panggabean:
Scan cover
Scan Foto 1, Halaman 3
Scan Foto 2, Halaman 10
116
Scan Foto 3, Halaman 12
Scan Foto 4, Halaman 13
Scan Foto 5, Halaman 14-15
117
Scan Foto 6, Halaman 16
Scan Foto 7, Halaman 17
Scan Foto 8, Halaman 19
118
Scan Foto 9, Halaman 20-21
Scan Foto 10, Halaman 22
Scan Foto 11, Halaman 23
119
Scan Foto 12, Halaman 26
Scan Foto 13, Halaman 28
Scan Foto 14, Halaman 29
120
Scan Foto 15, Halaman 30-31
Scan Foto 16, Halaman 32
Scan Foto 17, Halaman 33
121
Scan Foto 18, Halaman 35
Scan Foto 19, Halaman 36-37
Scan Foto 20, Halaman 38
122
Scan Foto 21, Halaman 39
Scan Foto 22, Halaman 42
Scan Foto 23, Halaman 44
123
Scan Foto 24, Halaman 45
Scan Foto 25, Halaman 46-47
Scan Foto 26, Halaman 48
124
Scan Foto 27, Halaman 49
Scan Foto 28, Halaman 51
Scan Foto 29, Halaman 52-53
125
Scan Foto 30, Halaman 54
Scan Foto 31, Halaman Terakhir