KONDISI SOSIAL DAN POLITIK EKSIL DI PRANCIS DALAM NOVEL ... · PDF filedalam Novel Pulang...

107
KONDISI SOSIAL DAN POLITIK EKSIL DI PRANCIS DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI DAN IMPLIKASI PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Dwina Agustin 1110013000011 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Transcript of KONDISI SOSIAL DAN POLITIK EKSIL DI PRANCIS DALAM NOVEL ... · PDF filedalam Novel Pulang...

KONDISI SOSIAL DAN POLITIK EKSIL DI PRANCIS

DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI

DAN IMPLIKASI PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Dwina Agustin

1110013000011

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

i

ABSTRAK

Dwina Agustin, 1110013000011, “Kondisi Sosial dan Politik Eksil di Prancis

dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori dan Implikasinya pada Pembelajaran

Sastra di SMA.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Doesn

Pembimbing: Ahmad Bachtiar, M. Hum.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kondisi sosial dan politik eksil di

Prancis dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasi pada pembelajaran

sastra di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif dengan menggunakan pendekatan disipliin ilmu sastra dan sosiologi.

Analisis novel Pulang dapat memenuhi standar kopetensi dan kopetensi dasar pada

pembelajaran sastra melalui memahami pembacaan penggalan novel dengan

menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Melalui pembelajaran ini, siswa

diharapkan dapat saling toleransi, mengahargai, dan bertangung jawab serta kepekaan

terhadap lingkungan sosial. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil

penelitian ini menunjukan bahwa kondisi sosial dan politik eksil politik

mempengaruhi interaksi mereka kepada individu dan kelompok lain di luar kelompok

eksil. Kondisi sosial yang tergambarkan adalah perekonomian, disorganisasi

keluarga, dan nilai-nilai sosial, sedangkan kondisi politik yang digambarkan adalah

kekuasaan dan nasionalisme.

Kata kunci: sosial, politik, eksil, novel Pulang

ii

ABSTRACT

Dwina Agustin, 1110013000011, “The Social dan Polilitical exile in France in

Novel Pulang by Leila S. Chudori and its Implications on Learning Literature in

Hight School” Majors Language Education and Indonesian Literature, Science

Faculty Tarbiyah and Teacher Training, Jakarta Islamic State University. Advisor

Ahmad Bahtiar, M.Hum.

This study aims to describe the social dan polilitical exile in France in the

novel Pulang by Leila S. Chudori and its implications in the lessons literature in high

school. The method used in this research is descriptive qualitative approach between

disciplines, which is Literature and Sociology. Analysis of novel Pulang this can

meet standard competence and basic competence in learning literature that is to

reding a piece novel with a describe intrinsic dan extrinsic substance. Through this

learning students are expected to tolerance, appreciative, responsibility, and

sensitivnes to social in environment. Based on analysis has been done, these result

showed the social dan polilitical exile can influence they interaction to individual and

groups. Social condition witch is show economic, family disorganization, and sosial

values. In the another, political conditionas witch is showen is power and

nasionalism.

Keywords: Social, political, exile, novel Pulang

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin segala puji bagi Allah atas segala yang ada di

semesta jagad raya dan telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah

limpahkan untuk Nabi besar Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya.

Penulis menyusun penelitian ini guna memenuhi salah satu syarat

mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan penelitian ini

penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, dan semangat dari

berbagai pihak. Semua itu tak lain untuk menjadikan penulis menjadi pribadi yang

lebih baik dan kaya informasi, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa’i, M.A.,Ph.D., dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

Syarif Hidayatullah.

2. Hindun, M.Pd., ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN

Syarif Hidayatullah.

3. Dona Aji Karunia, MA., sekertaris jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia UIN Syarif Hidayatullah.

4. Ahmad Bahtiar, M.Hum., dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar

membimbing dan membantu penulis untuk segera merampungkan penelitian

ini.

5. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

membagi ilmunya selama masa perkuliahan.

6. H. Setiawan dan Hj. Sulasmi, kedua orang tua yang sangat luar biasa karena

selalu memberikan kebebasan kepada penulis untuk melakukan apapun.

Kalian mengajarkan tanggung jawab yang akan selalu penulis genggam.

iv

Kakak satu-satunya, Jayadi Setiawan, S. Kom, yang selalu menjadi

penyeimbang keberadaan penulis dalam keluarga.

7. Leila S. Chudori yang telah berkenan meluangkan waktu untuk di wawancarai

penulis, untuk memberikan informasi sebagai data penunjang penelitian ini.

8. Nurul Fatihah, S.Pd., (saudara, sahabat, serta pesaing) yang dari jauh selalu

menemani penulis merampungkan masa studi dengan nyaman dan damai.

9. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas B yang senantiasa

menemani tidak hanya selama perkuliahan tapi diwaktu-waktu senggang

lainnya.

10. Anak-anak PKK (Penggiat Kumpul Kosan), Ade Fauziah, Tazka Adiati,

Nurul Inayah, Mawaddah, Humairoh, Aulia Herdiana P, Fitri Khoiriani, Ade

Ruafaida, Yunia Ria Rahayu, Mabruroh, Aisyatul Fitriah, dan anggota lain

yang ikut meramaikan. Kalian semua hebat.

11. Guru-guru TK Tunas Karya, SD Purwawinaya, MTs. AI Mertapada, MAAI

Mertapada, serta guru-guru kehidupan. Tanpa kalian, penulis tidak akan

pernah sampai di tahap ini.

Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam

proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah membalas kalian semua.

Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk

menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian

ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.

Jakarta, Desember 2014

Penulis

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………..…………………...i

KATA PENGATAR .. ……………………………………………..………………...iii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………v

BAB I PENDAHULUAN………………………………….………………………...1

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………1

B. Identifikasi Masalah……………………………………………………….. .... 5

C. Batasan Masalah………………………………………………………............ 6

D. Rumusan Masalah……………………………………………………….. ....... 6

E. Tujuan Penelitian……………………………………………………….. ........ 6

F. Manfaat Penelitian……………………………………………………….. ...... 7

G. Metode Penelitian……………………………………………………….......... 7

1. Teknik Penelitian……………………………………………………….. .. 8

2. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….. 9

BAB II KAJIAN TEORI……………………………………………………….. .... 10

A. Sosiologi Sastra……………………………………………………….. ......... 10

B. Sosial dan Politik……………………………………………………….. ...... 11

1. Kondisi Sosial……………………………………………………….. ..... 11

2. Kondisi Politik……………………………………………………….. .... 14

C. Eksil……………………………………………………….. .......................... 15

D. Pengertian Novel……………………………………………………….. ....... 16

E. Jenis-jenis Novel……………………………………………………….. ....... 17

F. Unsur Pembangun Karya Sastra……………………………………………..19

1. Intrinsik……………………………………………………….. ............... 19

a. Tema……………………………………………………….. .............. 19

vi

b. Alur……………………………………………………….. ............... 20

c. Tokoh……………………………………………………….. ............ 22

d. Latar……………………………………………………….. .............. 24

e. Sudut Pandang……………………………………………………….25

f. Gaya Bahasa……………………………………………………….. .. 26

2. Ekstrinsik……………………………………………………….. ............ 27

G. Pembelajaran Sastra di Sekolah……………………………………………...28

H. Penelitian Relevan……………………………………………………….. ..... 30

BAB III PROFIL LEILA S. CHUDORI……………………………………….…33

A. Biografi Leila S. Chudori……………………………………………..…….. 33

B. Karya-karya Leila S. Chudori……………………………………………… . 34

C. Pemikiran Leila S. Chudori……………………………………………….. ... 38

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL PULANG

KARYA LEILA S. CHUDORI……………………………….........................……42

A. Deskripsi Data……………………………………………………….. ........... 42

1. Tema……………………………………………………….. ................... 42

2. Tokoh……………………………………………………….. ................. 42

3. Latar……………………………………………………….. ................... 51

4. Sudut Pandang……………………………………………………….. .... 57

5. Gaya Bahasa……………………………………………………….. ....... 59

6. Alur………………………………………………………....................... 61

B. Kondisi Sosial Eksil……………………………………………………….. .. 64

1. Perekonomian……………………………………………………….. ...... 65

2. Disorganisasi Keluarga…………………………………………………..68

3. Nilai-nilai Sosial……………………………………………………..….. 73

C. Kondisi Politik Eksil………………………………………………………… 78

1. Kekuasaan………………………………………………………………..78

vii

2. Nasionalisme………………………………………………………..……80

D. Implikasi di Sekolah…………………………………………………..…….. 82

BAB V PENUTUP…………………………………………………………….……89

A. Simpulan……………………………………………………………………..89

B. Saran…………………………………………………………………………90

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….91

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Novel merupakan hasil karya sastra yang mewakili gagasan-gagasan

penulis tentang sesuatu yang ingin diwakili oleh karya yang diciptakan. Di

Indonesia, novel dari masa ke masa memliki karakteristik masing-masing.

Bila diamati lebih jeli, perkembangan novel melikupi banyak hal. Tidak hanya

dari segi bahasa dan ide, namun kebutuhan dan keadaan kondisi pada

zamannya banyak mempengaruhi setiap novel yang diciptakan. Novel dapat

dilatarbelakangi oleh gagasanan yang ingin ditanamkan pengarang pada

pembaca.

Sesuai dengan ungkapan Plato yang menganggap sastra sebagai tiruan

dari kenyataan. Karya sastra tidak akan terlepas dari konsep yang sudah ada

dalam kehidupan, pijakan gambaran yang terdapat dalam karya tersebut sudah

memiliki konsep yang telah dipahami oleh manusia termasuk penggunaan

latar, tokoh, ataupun ide yang disampaikan. Pengarang membaurkan

kenyataan dan realitas kehidupan dengan imajinasi. Terjadilah pengembangan

cerita dan sisipan-sisipan yang menarik untuk pembaca dalam memahami

karya sastra, walupun karya tersebut sedang memaparkan sebuah teori,

ideologi, atau bukti sejarah.

Peristiwa yang terjadi pada sebuah negara dapat memberkan inspirasi

pengarang dalam mengangkat cerita dari sudut pandangnya. Keruntuhan Orde

Lama dan tibanya Orde Baru di Indonesia adalah salah satu peristiwa yang

diceritakan dalam beberapa karya sastra. Runtuhnya Orde Lama menimbulkan

lahirnya beberapa peristiwa yang cukup sering dibahas, baik dari segi

keamaanan, politik, bahkan dunia sastra. Kejadian runtuhnya Orde Lama

salah satunya dipicu oleh terjadinya pembunuhan enam orang jenderal dan

beberapa perwira. Pembunuhan terhadap enam orang jenderal dan beberapa

2

perwira dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu

menimbulkan kekerasan sepanjang tahun 1965-1966.1

Buku Dalih

Pembunuhan Massal yang ditulis oleh John Roosa memaparkan bahwa

pembantaian dan pengasingan terhadap PKI tidak hanya berlaku untuk

anggota partai tersebut. Tapi merambat pula kepada anggota-anggota sealiran,

seperti Lekra.

Penangkapan terhadap anggota PKI dan orang-orang yang dianggap

melindungi, mendukung, atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang

menyangkut PKI dilakukan secara besar-besaran. Namun, ada pula orang-

orang yang sedang berada di luar negeri, karena sedang menempuh

pendidikan, menjalani tugas sebagai diplomat, atau yang sedang menjadi

wakil di organisasi regional/internasional, ada juga rombongan yang diundang

oleh pemerintahan Tiongkok untuk menghadiri perayaan ulang tahun mereka

pada akhir 1965. Mereka umumnya diutus oleh pemerintahan Sukarno dan

sedang berada di negara-negara sosialis-komunis.2 Mereka tertahan di luar

negeri karena beberapa alasan, salah satunya takut ditanggap saat kembali ke

Indonesia karena tuduhan anggota atau simpatisan PKI, atau mereka yang

menolak pulang karena tidak mau mengakui kesetian kepada kepemimpinan

Orde Baru. Mereka terlunta-lunta tanpa ada kepastian, paspor dicabut, para

pelajar pun dicabut beasiswanya. Bertahan hidup dengan melakukan

pekerjaan serabutan, demi bertahan hidup di luar negeri. Dalam

perkembangnanya, para eksil tersebar ke berbagai negara Eropa, termasuk

Prancis. Para eksil mendapat suaka dan kewarganegaraan di tempat mereka

tinggal. Namun, jiwa mereka masih menganggap memiliki Indonesia. Mereka

membuat komunitas, kegiatan, dan acara yang berhubungan dengan Indonesia.

1 Amin Mudzakir, “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita” makalah disampaikan dalam

seminar PSDR-LIPI pada Selasa, 3 Desember 2013 di LIPI, Jakarta, h.2 2 Ibid, h.3

3

Bahkan eksil di Prancis membuka usaha rumah makan Indonesia yang sudah

terkenal di kalangan pejabat Prancis waktu itu.

Kisah eksil yang merantau di Prancis menjadi bahan yang diambil

Leila S. Chudori untuk mengembangkan kisah yang ia tulis dalam Pulang,

diterbitkan pada tahun 2012. Secara singkat Pulang digambarkan dalam

sampul belakangnya adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan

pengkhianatan berlatar tiga peristiwa sejarah: Indonesia 30 September 1965,

Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Latar Prancis yang disampaikan

mulai dari tahun 1965 melalui sudut pandang seorang perantau yang terbuang

dari negaranya dan memberikan gambaran perjuangan hidup untuk bertahan

serta berjuang.

Cerita ini bermula dengan penangkapan Hananto Prawiro oleh

“sepupu dari Jawa Tengah” atau aparat di Jakarta April 1968 yang sudah lama

menjadi buronan karena meletusnya Gerakan 30 September 1966. Kemudian

cerita meloncat ke Paris pada Mei 1968 yang mengisahkan tentang peristiwa

kerusuhan mahasiswa dan buruh Prancis melawan pemerintahan De Gaulle

yang membuat Dimas Suryo bertemu dengan Vivienne Deveraux seorang

mahasiswa Sorbonne. Cerita terus berputar antara masa lalu yang terjadi tahun

antara 1966 di Indonesia dan kisah yang berjalan pada masa waktu cerita

berjalan di Prancis dan Indonesia. Dalam cerita akan bermunculan tokoh-

tokoh yang menguatkan untuk menjadi saksi mata dalam kejadian-kejadian di

Indonesia dan Prancis. Seperti surat-surat dari Surti Anandari seorang kekasih

Dimas Suryo di masa lalu, surat dari Kenanga Prawiro, anak sulung Surti

yang ikut diboyong Surti untuk memenuhi panggilan intrograsi aparat di Jalan

Budi Kemuliaan, dan surat-surat dari Aji Suryo yaitu adik dari Dimas Suryo.

Surat-surat yang dicantumkan seperti bukti sejarah yang kuat dalam novel

Pulang. Cerita mengalir pada tahun 1998 di Indonesia oleh putri Dimas Suryo,

yaitu Lintang Utara. Lintang Utara yang mendapatkan tugas dari dosen

pembimbingnya untuk meliput peristiwa tahun 1966 dari berbagai pihak

4

saksi-saksi hal itu mengharuskan Lintang berangkat ke Indonesia pada tahun

1998, saat itu terjadi pergolakan politik di Indonesia. Kunjungan Lintang ke

Indonesia membuatnya bertemu Segara Alam, anak bungsu dari Surti dan

Hananto. Di Indonesia Lintang menemukan Indonesia yang baru dikenalnya

secara dekat, sebab sebelumnya ia hanya mendengar tentang Indonesia dari

Ayah dan kawan-kawan ayahnya hanya sampai tahun 1966. Akhir cerita

ditutup dengan Dimas Suryo yang meninggal dan dapat dimakamkan di

tempat yang ia inginkan dan rindukan, Karet.

Leila S. Chudori bukan penulis pertama yang mengangkat cerita

berlatarkan peritiwa sejarah di Indonesia. Sebelumnya sudah banyak

pengarang Indonesia yang mengakat keterkaitan sejarah Indonesia dengan

karya sastra, seperti Ayu Utami dengan karyanya Saman dan Larung yang

membahas kejadian sebelum masa reformasi Indonesia, atau Tetralogi Pulau

Buru karya Pramoedya Anantra Toer yang mengkisahkan keadaan Hindia

(Indonesia) sebelum masa kemerdekaan. Para pengarang membuat

perlawanan dengan karya sastra, memaparkan sejarah yang tidak diceritakan

oleh buku-buku sejarah di sekolah. Pulang merupakan sebagian kecil dari

karya sastra Indonesia yang berlatarkan sebuah realita sosial pada suatu

zaman, kenyataan dalam interaksi masyarakat dan manusia tidak banyak

diungkapkan oleh pemerintah. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa sastra

tidak terlepas dari sosiologi sebuah bangsa, sehingga dalam perkembangan

sastra muncul kajian sastra melalui pendekatan sosiologi. Menurut Sapardi

Djoko Damono, sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang

manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari

tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan

bagaimana ia tetap ada; maka sastra menyusup, menembus permukaan

5

kehidupan sosial dan menunjukan cara-cara menusia menghayati masyarakat

dengan perasaannya, melakukan telaah secara subjektif dan personal.3

Pada ranah pendidikan, terutama pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia di sekolah, pembelajaran sastra persentase pengajarannya masih

sangat kurang dibanding materi lainnya. Padahal, pengajaran sastra dapat

membangkitkan keindahan, kepekaan, interaksi, bahkan sampai cara pandang

hidup. Namun, ada materi yang sering dibahas dalam sekolah, yaitu kajian

terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel ataupun cerita pendek,

baik itu jenjang sekolah menengah pertama atau tingkat menengah atas.

Karena dengan mempelajari sastra siswa dituntut memahami realitas

kehidupan yang dapat tercermin oleh karya sastra. Sehingga penting bagi

penelitian dapat mengaitkan bahan kajian yang dibahas dengan penerapan

karya sastra di sekolah.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan rincian dasar penilaian

sebagai berikut: Dari segi penceritaan, novel Pulang karya Leila S. Chudori

begitu pas dikaji menggunakan telaah sosiologi sastra. Novel Pulang yang

menggambarkan kehidupan eksil yang berada di Prancis. Hampir separuh

kisah menggambarkan perjuangan hidup dan kekuatan bertahan akibat

keputusan-keputusan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru. Serta

impikasi kajian novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran

sastra di SMA.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah yang memungkinkan setelah pemaparan latar

belakang yang melikupi:

1. Sudah banyak penjabaran peristiwa yang terjadi di Indonesia sekitar tahun

1965 sampai 1998

2. Kurangnya pembahasan seputar eksil di Prancis.

3 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas, (Jakarta: editum, 2013) h. 8

6

3. Kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel Pulang karya Leila

S. Chudori belum adanya implikasi terhadap kajian pada pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

C. Batasan Masalah

Penelitian sastra tidak harus mengkaji segala aspek yang terdapat pada

karya sastra. Kajian sastra bisa dibatasi dari segi struktur, diksi, atau

pendekatan ilmu indisipliner yang berkaitan dengan kajian karya sastra. Agar

permasalahan yang diteliti tidak meluas pada aspek lainnya, penelitian ini

hanya membahas kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel

Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasi pembelajaran sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan

sebelumnya, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel Pulang

karya Leila S. Chudori?

2. Bagaimana implikasi kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel

Pulang karya Leila S. Chudori terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini, diharapkan:

1. Mendeskripsikan kondisi sosial dan politik eksil di Prancis pada novel

Pulang karya Leila S. Chudori dengan tinjauan sosiologi sastra.

2. Mendeskripsikan penerapan kajian kondisi sosial dan politik eksil di

Prancis pada novel Pulang karya Leila S. Chudori terhadap implikasi

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

7

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan menganai studi Sastra Indonesia khususnya

dalam memahami sejarah dari sisi yang berbeda. Penelitian ini juga

diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam teori sosiologi sastra

dalam mengungkapkan novel Pulang Karya Leila S. Chudori.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca

untuk memahami isi cerita novel Pulang karya Leila S. Chudori terutama

mengguraikan cara pandanng pengarang yang direpresentasikan dalam

karyanya, dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu sosisologi dan sastra.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif,

yaitu penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnogarfi, interaksionis

simbolik, prespektif ke dalam, etnometodologi, the Chicago School,

fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptif.4 Menurut

Strauss dan Corbin, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuan-

temuannya tidak diperoleh prosedur statistik atau bentuk hitung lainnya. Para

peneliti yang menggunakan pendekatan ini harus mampu menginterpretasikan

segala fenomena dan tujuan melalui sebuah penjelasan. Pendekatan kualitatif

adalah pendekatan yang penting untuk memahami suatu fenomena sosial dan

prespektif individual yang diteliti. Tujuan pokoknya adalah menggambarkan,

mempelajari, dan menjelaskan fenomena itu. Penelitian kualitatif menjadikan

peneliti sendiri menjadi instrumen penelitian, sehingga penelitian kualitatif

diolah secara fleksibel.

4 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosada Karya,

1999) h. 2

8

Penelitian kualitatif yang menuntut peneliti sendiri yang terjun

mencari informasi dan menggumpulkan data secara nyata dari yang peneliti

dapatkan. Data tersebut kemudian diolah peneliti untuk memperoleh jawaban

atas masalah yang diangkat oleh penelitian. Sumber data dalam penelitian

kualitatif adalah objek dari penelitian, yaitu novel Pulang karya Leila S.

Chudori dan data-data yang menunjang penelitian seperti buku, esai, makalah

dan jurnal.

Penelitian kulitatif yang menjadikan objek berupa novel dapat

menggunakan model pendekatan sosiologi sastra.

1. Teknik Penelitian

Penelitian ini berbasis content analysis yang berarti dokumen merupakan

objek dalam penelitian ini. Dokumen yang diteliti adalah novel Pulang

karya Leila S. Chudori. Penelitian ini dijelasakan secara deskriptif ketika

penggolahan data. Sebab penjelasaan deskriptif merupakan ciri khas

penelitian berbasis data kualitatif. Penelitian ini dilakukan beberapa

tahapan, yaitu:

a. Mengumpulkan data-data prosa karya Leila S. Chudori sebagai objek

dalam penelitian ini.

b. Memilih novel Pulang sebagai objek penelitian.

c. Melakukan pembacaan secara intensif terhadap objek penelitian.

d. Mengumpulkan data-data tambahan yang menunjang dalam

penelitian, seperti buku, esai, makalah, jurnal, maupun pencarian

secara online.

e. Menganalisis data-data yang dijadikan objek penelitian dengan

menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

f. Menentukan hasil kesimpulan dari hasil penelitian yang telah

dilakukan terhadap objek.

9

2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini mengunakan teknik dokumentasi, yaitu teknik

pengumpulan data melalui pengumpulan dokumen untuk memperkuat

informasi. Teknik dokumentasi dapat dikatakan sebagai strategi yang

digunakan dengan mengumpulkan data dari buku, majalah, esai, jurnal,

online, dan dokumen lain yang menunjang dalam penelitian ini. Penulis

melakukan seleksi dalam pemilihan data yang menunjang dengan melihat

keterkaitan data penunjang dengan objek yang dikaji.

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Sosiologi Sastra

Swingewood mendefinisikan sosiologi merupakan studi yang ilmiah

dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-

lembaga dan proses-proses sosial.1

Dilihat dari pernyataan Swingewood

tersebut ada perbedaan mendasar sosiologi dengan dunia sastra, sebab

sosiologi bersifat objektif dan ilmiah, sedangkan sastra lebih berdasar pada

perasaan. Walau memiliki perbedaan yang mendasar, ranah kajian sosiologi

memiliki kesamaan pula dengan dunia sastra, karena karya sastra tidak

tercipta dengan sendirinya, namun ada sastrawan yang merupakan anggota

dari suatu masyarakat, juga karya sastrawan yang terpengaruh oleh

lingkungan sosial sekitar. Seperti yang diungkapkan Wolff, bahwa sosiologi

kesenian dan kesuasastraan merupakan suatu disiplin tanpa bentuk, tidak

terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai

percobaan pada teori yang lebih general, yang masing-masing hanya

mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan

hubungan antara seni/kesuasastraan dan masyarakat.2 Sosiologi dan sastra

dapat dilihat dari hubunga antar manusia dan masyarakat, baik dari segi

interaksi, hubungan, komunikasi, dan komponen-komponen sosial yang

lainnya. Sehingga sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, karena

pengaruh dari masyarakat menjadi poin penting penciptaan karya sastra.

Dilihat dari penjabaran sebelumnya, bahwa sastra dan sosiologi saling

melangkapi, walau kenyataannya selama ini cenderung untuk dipisahkan.

Maka dapat diambil simpulan bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan

1 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) h. 1

2 Ibid., h. 4

11

sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat. 3 Lepas dari sastra itu

cerminan dari realitas masyarakat, atau sebuah hasil yang baru dan otentik

dari buah pemikiran seorang pengarang.

Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren dibagi

menjadi tiga bagian. 4

Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan

institusi sastra. Permasalahan sosiologi pengarang berkaitan dengan ideologi,

status sosial, dan hal lain yang berkaitan dengan pengarang dalam

menghasilkan karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra. Ranah sosiologi

karya sastra mencangkup isi, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya

sastra. Ketiga, sosiologi sastra yang berhubungan dengan pembaca dan

dampak sosial karya sastra.

B. Sosial dan Politik

Masyarakat dan individu tidak bisa dilepaskan dengan gambaran-

gambaran masalah yang ada di sekitarnya, kondisi sosial yang digambarkan

akan menjelaskan permasalan yang ditemui. Keadaan sosial mempengaruhi

cara bersikap masyarakat dalam menentukan sikap, begitu juga dunia politik

ikut menyumbang gambaran kondisi sosial yang tercipta. Kondisi sosial dapat

tergambarkan dari perekonomian, hubungan dengan keluarga, hingga nilai-

nilai sosial yang muncul dalam masyarakat. Dalam ranah politik akan muncul

permasalahan kekuasaan dan nasonalisme. Kondisi sosial dan politik tersebut

akan memperjelas sebuah gambaran yang dapat menjabarkan perjalanan hidup

suatu masyarakat.

1. Kondisi Sosial

Kondisi sosial novel dapat dikaji dari beberapa aspek yang terlihat dari

cerita, baik terlihat secara langsung atau tidak langsung. Sesuai dengan

pengkategorian Mundar Soelaeman pada buku Ilmu Sosial Dasar, aspek sosial

3 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas , (Jakarta: editum, 2013) h. 2

4 Rene Wellek dan Austin Warren, Op.cit., h. 111

12

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kajian perekonomian,

disorganisasi keluarga, dan nilai-nilai sosial.

a. Perekonomian

Ekonomi mencoba memahami kehidupan individu dan

masyarakat dalam usahanya memproduksi, mendistribusi dan

mengkonsumsi barang dan jasa yang terbatas dalam masyarakat.5

Kebutuhan individu dan masyarakat itu bisa dipenuhi dengan adanya

institusi yang mengelola dalam memahami kebutuhan yang berbeda-

beda. Individu dan kelompok yang memenuhi kebutuhannya dengan

barang dan jasa bisa dikatakan sebagai fenomena ekonomi.6 Ekonomi

juga dapat memperbesar jarak antar kelas sosial, rasial, dan

ketidaksamaan gender.7

Dalam mekanisme penerimaan dan

penawaran, sosiologi dapat memberikan resep untuk mencegah konflik

sosial. Dalam memenuhi kebutuhan manusia, selain merupakan

kebutuhan ekonomi, dapat pula diklasifikasikan sebagai kebutuhan

sosial, contoh ternak, selain fungsi ekonomi, dapat diklasifikasikan

sebagai kebutuhan sosial. 8Sebab ekonomi saat ini menjadi salah satu

penilaian kehidupan masyarakat.

b. Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi sosial dapat diakibatkan oleh laju perubahan

kondisi sosial. Perubahan kondisi sosial dapat berupa pengambilan

tempat, pembaruan norma, peraturan baru, konflik yang terjadi, dan

institusi yang mengambil bentuk dan fungsi yang baru. 9

Disorganisasi

5 Ng. Philipus dan Nuril Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2009) h. 2 6 Ibid., h.65

7 Kenneth J. Neubeck and Davita Silfen Glasberg, Sosiology: Diversity, Conflict, and Change,

(New York: McGraw-Hill, 2005) h. 67 8 M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT

ERESCO, 1995) h. 186 9 Judson R. Landis, Sociology: Concepts and Characteristics, (California: Wadworth

Publishing Company, 1971) h. 192

13

keluarga merupakan salah satu bentuk dari disorganisasi sosial yang

disebabkan oleh perpecahan keluarga yang unit anggota keluarganya

tidak dapat menunaikan kewajiban yang sesuai dengan peranan sosial.

Disorganisasi kelurga menurut Soelaeman terdiri dari lima

definisi:

1) Ketidaksaahan. Merupakan unit keluarga yang tidak

lengkap. Kegagalan anggota keluarga menjalankan

kewajiban peranannya.

2) Pembatalan, perpisahan, perceraian, dan meninggal.

3) Keluarga selaput kosong. Keluarga yang tinggal bersama,

namun tiap anggota keluarga tidak ada interaksi.

4) Ketidak hadiran seseorang dari pasangan karena hal yang

tidak diinginkan, baik karena meninggal, dipenjara,

peperangan, depresi, dan malapetaka lainnya.

5) Kegagalan peranan penting yang tak diinginkan. Seperti

penyakit mental, emosional, atau badaniah.

c. Nilai-nilai Sosial

Nilai merupakan patokan perilaku sosial yang melambangkan

baik-buruk, benar-salah suatu objek hidup masyarakat. Nilai biasanya

diukur berdasarkan kesadaran terhadapa apa yang pernah dialami

seseorang, terutama pada waktu merasakan kejadian yang dianggap

baik atau buruk, benar atau salah, baik oleh dirinya sendiri maupun

anggapan masyarakat.10

Konsep keyakinan menjadi faktor utama

munculanya nilai-nilai sosial, baik merupakan sebuah fakta yang pasti

atau justru bukan, karena konsep tersebut tidak perlu dibuktikan.

Nilai-nilai sosial juga mempengaruhi individu atau kelompok untuk

berprilaku, baik secara keseluruhan ataupun hanya sebagian.

10

Abdul Syani, Sosiologi: Skematika, Teori, dan Penerapan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012) h. 31

14

Nilai-nilai sosial dapat juga timbula kerena adanya prasangka,

sehingga timbullah diskriminasi. Sikap yang ditunjukan dari sebuah

prasangka mempunyai komponen-komponen, yaitu:

1) Kognitif: Memiliki pengetahuan mengenai objek sikapnya,

terlepas pengetahuan itu benar atau salah.

2) Afektif: Selalu mempunyai evaluasi emosional (setuju-

tidak setuju) mengenai objek sikapnya.

3) Konatif: Kecenderungan bertingkah laku bila bertemu

dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif

(tindakan sosialisasi) sampai pada yang sangat aktif

(tindakan agresif).

2. Kondisi Politik

Kondisi politik yang tergambarkan dalam sebuah novel dapat bermacam

jenisnya, seperti partisipasi politik, sistem politik, kekuasaan dan wewenang,

mobilisasi politik, hingga nasionalisme atau yang berhubungan dengan

kewarganegaraan.11

Aspek politik yang digunakan untuk penelitian ini

terdapat pada kekuasaan dan nasionalisme.

a. Kekuasaan

Pengertian Kekuasaan yang paling umum menurut Roderick

Martin mengacu pada suatu jenis pengaruh yang dimafaatkan oleh si

objek, individu, atau kelompok terhadap yang lainnya.12

Kekuasaan

bergaris besar dengan pengaruh, pemaksaan, dan otoritas. Pengaruh

yang dimiliki individu atau kelompok dalam suatu tempat dapat

digunakan untuk membujuk yang lain untuk melakukan atau

mempercayai sesuatu, bila dengan membujuk tidak bisa dilakukan,

11

M. Munandar Soelaeman, Op. cit, h. 207 12

Ibid., h. 135

15

maka sifat pemaksaan yang akan dikeluarkan sebegai otoritas yang

dimiliki oleh si penguasa.

Soerjono Soekanto menyebutkan empat macam usaha untuk

mempertahankan kekuasan13

, yaitu:

1) Menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama,

terutama dalam bidang politik yang merugikan kedudukan

penguasa.

2) Mengadakan sistem-sistem kepercayaan (bilief-system)

yang akan dapat mengkokoh kedudukan penguasa atau

golongannya, sistem-sistem kepercayaan tersebut meliputi

agama, ideologi, dan seterusnya.

3) Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik.

4) Mengadakan konsolidasi secara horizontal dan vertikal.

b. Nasionalisme

Menurut Kleiden bahwa nasionalisme merupakan semangat

dari suatu kelompok bangsa tertentu dengan segala cita-cita dan

harapan ideal yang akan dikejarnya merupakan roh yang tumbuh dan

berkembang dari zaman ke zaman. Nasionalisme tidak terhalang oleh

jarak suatu bangsa dengan tempat asalnya. Nasionalisme tidak

mengenal jarak tersebut dikenal dengan nasionalisme jarak jauh.

Nasionalisme jarak jauh lebih menekankan kepada komitmen politisi

dengan melakukan aksi-aksi tertentu yang merupakan tanggapan

terhadap situasi bangsanya.14

C. Eksil

Bahasa Inggris istilah exile, yang diindonesiakan menjadi eksil,

memiliki tiga pengertian. Pertama, sebuah ketakhadiran, sebuah absensi yang

13

Abdulsyani, Op. cit., h. 141 14

Amir Mudzakkir, “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita”, makalah disampaikan dalam

seminar PSDR-LIPI pada Selasa, 3 Desember 2013 di LIPI, Jakarta, h. 4

16

panjang dan biasanya karena terpaksa dari tempat tinggal ataupun negeri

sendiri. Kedua, pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri,

dan pengertian ketiga adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar

tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat). Istilah exile

itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu exsilium (pembuangan) dan exsul

(seseorang yang dibuang). Dari ketiga pengertian istilah eksil di atas kita bisa

melihat bahwa faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke

sebuah tempat asing merupakan faktor utama yang menciptakan kondisi

yang disebut sebagai eksil itu. Dislokasi geografis itu sendiri bisa

terjadi karena disebabkan oleh negara secara resmi ataupun karena pilihan

pribadi. Pada kasus pertama, para pelarian politik segera muncul dalam

pikiran kita sebagai representasi dari mereka yang diusir dari negeri kelahiran

sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, sementara pada kasus kedua

kita segera teringat pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau

yang mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka.15

Pada peristiwa di

Indonesia tahun 1965, munculan istilah eksil untuk para warga negara

Indonesia yang tertahan karena memiliki hubungan atau sebagai tertuduh

peristiwa Gerakaan 30 September (G30S), dan dari pengertian eksil

sebelumnya, konsep eksil yang disuguhkan untuk mewakili para eksil yang

tersangkut peristiwa G30S adalah konsep geografis dari tempat kelahiran ke

tempat baru baik karena keinginan pribadi atau perintah resmi pemerintahan

atau istilah lainnya yaitu pembuangan.

D. Pengertian Novel

Menurut Abrams novel berasal dari bahasa Italia novella yang

memiliki arti “sebuah barang baru yang kecil”, kemudian diartikan

sebagai ”cerita pendek dalam bentuk prosa”. Namun, pada masa sekarang

penggunaan istilah novel di Indonesia sama dengan penggunaan istilah

15

Saut Situmorang, “Sastra Eksil Sastra Rantau”, diunduh tanggal 28 Oktober 2014,

http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/

17

novelet yang merujuk pada sebuah karya prosa yang cukup panjang dan tidak

terlalu pendek.16

Pembauran istilah novel dan novelet masih dipertanyakan.

Namun, dilihat tidak adanya batasan pasti untuk sebuah karya disebut novel,

maka istilah tersebut novelet dan novel bisa dikatakan sama saja.

Novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan

seseorang dengan orang-orang di sekitarnya dengan menonjolkan watak dan

sifat setiap pelaku. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu.

Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Penggunaan unsur-

unsur instrinsik masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahsa, nilai,

tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang ditekankan aspek tertentu dari

unsur instrinsik tersebut.17

Karena unsur intrinsik merupakan unsur yang

membangun novel dari dalam karya tersebut, tidak ada perbedaan antara novel

maupun roman.

Pengertian novel dari berbagai tokoh sebelumnya menitikberatkan

bahwa novel adalah sebuah karya sastra yang memiliki unsur-unsur dalam

mendukung jalan cerita sehingga terjadi alur yang berawal dari awalan hingga

leraian atau penyelesaian dan tidak terlepas dari unsur-unsur luar yang

mendukung terciptanya karya tersebut. Seperti unsur sosial, politik, ekonomi,

dan unsur-unsur yang berkaitan dengan realita kehidupan. Istilah tersebut

dikenal dengan unsur ekstrinsik.

E. Jenis-jenis Novel

Penggolongan novel dalam dunia penerbitan buku sulit dilakukan,

karena beberapa hal yang bersifat subjektif sehingga pemisahan jenis novel

menjadi kabur, seperti kebiasaan penerbitan dalam mengelurkan buku, atau

kebiasaan seorang penulis dalam mengeluarkan karyanya. Berdasarkan teori

16

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Perss,

2013) h. 11 17

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008) h.141

18

Lukas, Girard, Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu

pencarian yang terdegradasi akan nilai yang otentik yang dilakukan oleh

seorang hero yang problematika dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi.

Goldmann membedakan jenis novel menjadi tiga jenis, yaitu: novel idealisme

abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.18

Novel idealis diwakili oleh

Don Quixote yang menceritakan bahwa sang hero penuh optimisme dalam

petualangan tanpa menyadari kompleksitas. Novel psikologi diwakili oleh L.

‘Education Sentrimentale, Goethe yang menceritakan bahwa sang hero

cenderung pasif karena kekuasaan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia

konvensi. Novel pendidikan diwakili oleh Wilhelm Meister yang

menceritakan bahawa sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-

nilai yang otentik, tetapi tetap menolak dunia.

Nurgiyantoro lebih spesifik dalam mengkasifikasikan jenis novel

berdasarkan keadaan sastra di Indonesia. Jenis novel Indonesia dapat

dijeniskan menjadi dua bagian, novel serius dan novel populer. Novel serius

dikenal pula dengan novel sastra. Menurut Stanton, fiksi populer memerlukan

pembacaan dan „pembacaan kembali‟. Maksud pernyatan tersebut bahwa

pembacaan novel serius tidak mudah, sehingga pembaca tidak hanya

menikmati saja, namun dituntut untuk memahami dengan cara diserap sedikit

demi sedikit. Jarang sekali ada orang yang dapat langsung memahami novel

serius hanya dengan sekali membaca.

Tujuan utama novel serius adalah memungkinkan pembaca

membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Untuk

menjawab pertanyaan mengapa maksud tersebut harus dicerna melalui

berbagai hal rumit dan sulit, harus diingat bahwa pengalaman manusia

bukanlah sekadar rangkaian kejadian-kejadian yang sinambung. Rangkaian

tersebut hendaknya dirasakan sedalam mungkin seolah sedang benar-benar

18

Faruk, Op. cit., h. 90

19

dialami.19

Bila sebuah novel hanya menjadi bahan bacaan yang menghibur

dan memuasakan kesamaan realita yang terjadi, tanpa membangkitkan

imajinasi, bisa diaktakan novel tersebut adalah novel populer.

Pembatasan novel serius dan novel populer masih memiliki kekaburan

dan pembantasan yang tipis, salah satu penyebabnya adalah steriotip pembaca

terhadap pengarang. Bila ada pengarang yang dikenal melahirkan karya yang

selalu serius, maka pembaca akan langsung menilai karya yang dilahirkan

akan serius, padahal belum tentu semua karya yang dibuat memiliki karakter

novel serius, begitu pula sebaliknya dengan novel populer. Bila pembaca atau

masyarakat mengenal suatu penerbit sering mencetak novel-novel populer,

walau novel itu memiliki karakter novel serius, pembaca akan tetap

mengkatagorikan sebagai novel populer.

F. Unsur Pembangun Karya Sastra

Karya sastra merupakan sebuah hasil karya pengarang yang diwakili

dalam bentuk kata-kata dan rangkaian cerita yang saling membangun. Unsur

pembangun karya sastra, khususnya novel terdiri dari unsur intrinsik dan

unsur ekstrinsik.

1. Intrinsik

Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang

membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang

menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang

secara faktual akan dijumpai orang membaca karya sastra. Unsur yang

terkandung dalam instrinsik menjadi bahan kajian kritik sastra seperti

tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.

a. Tema

Tema merupakan aspek yang sejajar dengan „makna‟ dalam

pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman

19

Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 6

20

begitu diingat.20

Ada banyak kisah berhubungan dengan

pengalaman yang dirasakan manusia, mulai dari cinta hingga

penderitaan. Aminuddin berpendapat tema adalah ide yang

mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak

pengarang saat memaparkan karya rekaan yang diciptakannya.

Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan

pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.21

Hartoko &

Rahmanto mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar

umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di

dalam teks sebagai struktur sistematis dan menyangkut persamaan

juga perbedaan.22

Di pihak lain, Nurgiyantoro menyimpulkan tema

sebagai gagasan (makna) dasar umum yang menompang sebuah

karya sastra sebagai struktur sematis dan bersifat abstrak secara

berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya

dilakukan secara implisit.23

Dari beberapa pendapat ahli, diketahui

bahwa tema merupakan makna pokok pembicaraan sebuah cerita,

kemunculannya akan lebih sering terlihat karena masalah-masalah

yang ada pada cerita akan menuju kepada makna tersebut.

b. Alur

Stanton menjelaskan bahwa alur atau plot (istilah yang

digunakan Nurgiyantoro) merupakan cerita yang berisi urutan

kejadian, namun kejadian dihubungkan secara sebab akibat,

peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa

yang lain.24

Pendapat Stanton sebelumnya sudah dikemukakan

oleh Forster yang mengartikan alur sebagai peristiwa-peristiwa

20

Robert Stanton, Op.cit., h. 36 21

Wahyudi Siswanto, Op.cit, h. 161 22

Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h.115 23

Ibid. 24

Ibid., h. 167

21

cerita yang mempunyai pendekatan pada adanya hubungan

kausalitas. Penggambaran peristiwa berdasarkan pada urutan cerita

saja tidak dapat menggambarkan pengertian alur. Alur haruslah

menjadi sebuah jalinan cerita yang memiliki keterkaitan cerita satu

dengan yang lain. Peristiwa terjadi pasti ada penyebabnya, atau

peristiwa itu terjadi karena penyebab peristiwa lain. Hal seperti itu

merupakan jalinan cerita saling berkaitan, maka akan terjadilah

jalinan cerita tidak hanya berdasarkan urutan cerita, tapi lebih

kepada kaitan antar cerita yang memiliki ikatan satu sama lain.

Abrams mengungkapkan, bahwa alur haruslah berupa

rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa

sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku

dalam suatu cerita.25

Sedangkan Sudjiman mengartikan alur

sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai

efek tertentu. Siswanto mengartikan alur adalah rangkaian

peristiwa rekaan dan dijalani dengan saksama, menggerakan jalan

cerita melalui rumitan ke arak klimaks dan selesaian. Menurut

pendapat Abrams dan Siswanto menggambarkan alur dengan

tahapan-tahapan tertentu sehingga cerita dapat bergerak

menghadirkan peristiwa. Bila dilihat kembali dari pendapat

beberapa ahli seputar alur atau plot, cerita fiksi pada umumnya

harus memiliki jalinan peristiwa yang memiliki keterkaitan

sehingga akan menimbulkan tahapan-tahapan pembangun cerita

yang akan mengesankan pembaca.

Tahapan alur menurut Aminuddin diawali dengan pengenalan,

konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.

Pengenalan adalah tahapan peristiwa suatu cerita rekaan atau

25

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 161

22

drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita.

Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara

dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama.

Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan

atau drama yang mengembangkan tikaian. Klimaks merupakan

bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak

ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional

pembaca. Krisis atau titik balik berupa bagian alur yang

mengawali penyelesaian. Leraian adalah bagian struktur alur

sesudah tercapainya klimaks. Selesaian merupakan tahap akhir

suatu cerita rekaan atau drama.26

Sedangkan Nurgiyantoro

membedakan alur berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu alur

lurus (progresif), alur sorot-balik (flash back), dan alur campuran.

Alur lurus menekankan kepada urutan kronologis yang tertata dari

awal hingga akhir cerita. Alur sorot-balik lebih kepada

pengambilan tengah cerita sebagai pembuka cerita, kemudian

barulah cerita dilanjutkan secara berurutan. Alur campuran

merupakan penggambungan antara alur lurus dan alur sorot-balik.

c. Tokoh

Aminudin mengungkapkan bahwa tokoh merupakan pelaku

yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa

itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan

tokoh disebut penokohan. Tokoh menurut Sudjiman merupakan

individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam

berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama

(protagonis), ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah

tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk

26

Ibid., h. 159-160

23

mengimbangi tokoh utama. Konflik di antara mereka itulah yang

menjadi inti dan menggerakan cerita.27

Bukan perkara tokoh

protagonis adalah tokoh baik, atau tokoh antagonis adalah tokoh

jahat. Tapi, lebih menyoroti kedudukan tokoh dalam cerita.

Boulton mengungkapkan bahwa cara sastrawan

menggambarkan atau memunculkan tokoh dapat menempuh

berbagai cara.28

Jadi, dapat dikatakan tokoh merupakan tokoh

rekaan yang menjalani peristiwa sehingga membangun cerita.

Setiap tokoh memiliki karakterisasi atau pemeranaan, pelukisan

watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah

metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu

karya fiksi.29

Sehingga pengambaran tokoh ditunjukan oleh

pengarang dapat dilihat melalui metode langsung (telling) dan

metode tidak langsung (showing). Menurut Minderpop, metode

langsung dapat disimak bahwa pengarang tidak sekadar

menyampaikan watak para tokoh berdasarkan apa yang tampak

melalui lakuan tokoh tetapi ia mampu menembus pikiran, perasaan,

gejolak serta konflik batin dan bahkan motivasi yang melandasi

tingkah laku para tokoh. Sedangkan metode tidak langsung dapat

dijelaskan ketika seorang tokoh membicarakan tingkah laku tokoh

lainnya ternyata pembicaraan justru dapat menunjukan tidak

sekadar watak tokoh yang dibicarakan, bahkan watak si penutur

sendiri tampak jelas.

27

Melani Budianta dkk, Membaca Sastra: Pengentar Memahami Sastra untuk Perguruan

Tinggi, (Indonesia Tera: Magelang, 2006) h. 86 28

Wahyudi Siswanto, Op.cit, h. 104 29

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2005) h. 2

24

d. Latar

Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan

susana terjadinya lakuan pada karya sastra. Deskripsi latar dapat

bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskipsi

perasaan.30

Wellek & Warren mengemukakan bahwa latar adalah

lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora,

atau ekspresi tokohnya. Abrams mengemukakan latar cerita adalah

tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time),

dan kebiasaan masyarakat (social circumatances) pada setiap

episode atau bagian-bagian tempat.31

Latar merupakan lingkungan

yang menjelaskan segala keterangan, mencakup tempat, waktu,

dan suasana.

Leo Hamalida dan Frederick R. Karell menjelaskan bahwa

latar cerita karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu,

peristiwa, suasana serta benda-benda di lingkungan tertentu, tetapi

juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan

pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam

menanggapi suatu problem tertentu. Pendapat Leo & Frederick

sepaham dengan pendapat Abrams yang menyebutkan bahwa latar

sebagai landasan tumpu, menunjuk pada pengertian tempat,

hubungan sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa diceritakan.32

Latar berhubungan dengan

keadaan tertentu dikenal melalui penggambaran latar suasana,

gambaran terjadi lebih membangun nuansa yang terasa oleh

pembaca.

30

Melani Budianta dkk, Op.cit., h. 31

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h.149 32

Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 302

25

e. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang cerita,

dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,

tempat, waktu dengan gayanya sendiri.33

Hal itu biasanya

dikemukakan oleh narator. Berbicara tentang narator, berarti

berbicara tentang sudut pandang, yaitu suatu metode narasi yang

menentukan posisi atau sudut pandang darimana cerita

disampaikan.34

Sedangkan menurut Aminuddin, titik pandang

diartikan sebagai cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita

yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi (1) narrator

omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer

omniscient, dan (4) narrator the thrid person omnisceant.

Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas (1) sudut

pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan

pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang

nentral, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah

dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang

dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama,

kedua, atau ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas (a)

pengarang menguatkan sudut pandang tokoh, (b) pengarang

menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan (c) pengarang

menggunakan sudut pandang yang impersonal: ia sama sekali

berdiri di luar cerita.35

Pengarang sudah tidak punya kedudukan

ketika cerita sudah dipaparkan. Tidak ada pengarang dalam cerita,

melainkan tokoh yang diciptakan pengarang untuk memandu cerita.

33

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 151 34

Albertine Minderop, Op.cit., h. 44 35

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 90

26

Baik tokoh yang terlibat langsung, atau tokoh di luar cerita

berlangsung.

Sudut pandang orang pertama atau “akuan” adalah tokoh yang

terdapat dalam cerita, walau kehadirannya belum tentu sebagai

tokoh utama. Sedangkan sudut pandang orang ketiga atau “diaan”

mengacu kepada kata ganti orang ketiga, dia, atau ia. Sudut

pandang “diaan” berada di luar cerita, ia bertugas menyampaikan

suatu cerita tanpa ikut terlibat di dalamnya.36

Selain itu, ada pula

sebutan sudut pandangan gabungan dapat mengamati bagaimana

pengarang menyampaikan ceritanya. Menggunakan sudut pandang

gabungan dapat melihat sebuah masalah ditinjau lebih dari satu

tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut.37

Menurut Miderop,

sudut pandang berfungsi sebagai penentu tokoh mayor (utama) dan

minor (bawahan), memahami perwatakan para tokoh yang

dianalisi, memperlihatkan motivasi, menentukan alur dan latar bila

dianggap perlu untuk mendukung perwatakn atau tema, dan

menentukan tema karya sastra tersebut.

f. Gaya Bahasa

Aminuddin mengungkapkan bahwa gaya bahasa adalah cara

seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan

menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta

mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh

daya intelektual dan emosi pembaca. 38

Gorys Keraf membedakan

gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna ke dalam dua

kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan kisan. Gaya retoris adalah

gaya bahasa yang harus diartikan menurut nilai lahirnya atau

36

Melani Budianta, dkk, Op.cit., h. 90 37

Albertine Minderop, Op.cit., h. 91 38

Wahyudi Siswanto, Op.cit., h. 158-159

27

memiliki unsur kelangsungan makna. Sebaliknya, gaya bahasa

kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan

sesuai dengan makna kata-kata yang membentuknya.39

Gaya

bahasa kiasan umumnya dikenal dengan sebutan majas.

Umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula

dari bahasa biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal

untuk menjelaskan orang atau objek. Gaya bahasa mencangkup:

arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol dan alegori. Arti kata

mencangkup, antara lain: arti denotatif dan konotatif, alusi, parodi,

dan sebagainya; sedangkan perumpamaan mencangkup, antara

lain: simile (merupakan perbandinngan langsung antara benda-

benda yang tidak selalu mirip secara ensesial), matafor (suatu gaya

bahasa yang membandingkan suatu benda dangan benda lain

secara langsung, dalam bahasa Inggris menggunakan to be dan

bisa digunakan secara langsung) dan personifikasi (suatu proses

penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non-

manusia, termasuk abstrak dan gagasan).40

Ada beberapa macam

gaya bahas kiasan selain perumpamaan. Ada kaya bahasa yang

berupa perbandingan, sindiran, pertentangan, dan penegasan.

2. Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di

luar teks sastra itu, tetapi tidak langsung memengaruhi bangun atau

sistem organisme teks sastra, atau secara khusus dapat dikatakan

sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebagai

karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.41

39

Burhan Nurgiyantoro, Op.cit., h. 399 40

Albertine Minderop, Op. cit., h. 42 41

Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h.30

28

Faktor lingkungan dan sejarah menjadi salah satu pembentuk unsur

ekstrinsik sebuah karya.

Seperti ungkapan Wellek dan Warren yang meyakinkan bahwa

metode terbaik dalam ekstrinsik adalah mengaitkan karya sastra

dengan latar belakang keseluruhan.42

Baik dari segi biografi, psikologi,

sosiologi, maupun pemikiran pengarang. Segala aspek kehidupan yang

berada di lingkungan kehidupan pengarang dapat menjadi wahana

pembangun sebuah karya sastra secara tidak langsung, baik itu

disadari ataupun tidak oleh pengarang.

G. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pengajaran ranah formal atau dikenal dengan pembelajaran di sekolah

atau perguruan tinggi merupkan salah satu cara mengenalkan sastra pada

peserta didik. Pengajaran sastra dapat dikaitkan kedalam bidang disiplin ilmu

lainnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Walaupun sastra bersifat karya

rekaan, namun keterkaitan karya sastra erat dengan kejadian-kejadian yang

terjadi di kehidupan sehari-hari. Keluwesan sastra dapat membantu pengajar

mengajarkan masalah-masalah yang akan dihadapi di dunia nyata.

Sayangnya, murid di sekolah tidak dibiasakan untuk membaca novel

secara keseluruhan. Mereka hanya terbiasa membaca ringkasannya saja.

Sedangkan ringkasan tidak dapat menggambarkan keindahan dan isi novel

secara keseluruhan, tidak mengungkapkan gaya penulisan dan diksi pengarang

yang bersangkutan dengan gaya kepenulisan pengarang lain, serta tidak dapat

mengguah rasa dan menimbulkan kesan untuk merangsang perenungan.43

Hal

seperti itu tidak dapat dibiarkan begitu saja oleh pengajar, sebab akan

menimbulkan ketidaktertarikan siswa untuk mengkaji sebuah novel. Bila

keadaan murid yang suka membaca novel secara ringkasannya saja terus

42

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesuasastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1993) h. 80 43

Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan

Tinggi, (Magelang: Indonesia Tera, 2006) h. 145

29

dilanjutkan, maka hanya akan lahir pengetahuan-pengetahuan sebatas teoretis

saja. Murid akan menghafal unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang

bersangkutan dengan novel yang dibahas. Mereka tidak akan terbiasa untuk

mengkaji sastra dengan memberi apresiasi, kritik, atau proses kreatif pada

sebuah novel. Hanya saja, kurikulum saat ini di sekolah hanya sebatas

membahas unsur intrinsik dan ekstrinsik, serta struktur lain yang bersifat

teoretis tanpa melibatkan kajian yang lebih dalam pada karya sastra, tidak

terkecuali novel.

Pembelajaran di sekolah, kajian terhadap novel dapat diterapkan

kepada siswa kelas XII semester satu kurikulum KTSP yang membahas

tentang kajian unsur ektrinsik dan instrinsik dari penggalan novel yang

dibacakan.

SILABUS

Sekolah : SMA/MA

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas : XII

Semester : 1 (Satu)

Standar Kopetensi : Memahami pembacaan novel

Kopetensi Dasar : Menjelaskan unsur instrinsik dan ekstrinsik dari

penggalan novel.

Indikator Materi

Pembelajaran

Kegiatan

Pembelajaran

Metode Penilaian Alokasi

Waktu

Sumber/

Bahan Alat

Menjelaskan

unsur-unsur

Instrinsik

dalam

Penggalan

novel

Menjelaskan

unsur-unsur

pembangun

sastra (tema,

Diskusi

dan

Present

asi

Jenis

Tagihan:

tugas

individu

3 X 45

menit

Buku novel

Media

setempat

Buku-buku

30

penggalan

novel yang

dibacakan.

latar,

penokohan,

alur, pesan

atau sudut

pandang,

dan konflik)

dalam

penggalan

novel yang

dibacakan

teman .

Menjelaskan

unsur-unsur

ektrinsik

yang

terdapat

dalam

penggalan

novel.

Mendiskusik

an unsur-

unsur

intrinsik dan

ekstrinsik

penggalan

novel.

tugas

kelomp

ok

ulangan

praktik

Bentuk

Instrumen:

uraian

bebas

pilihan

ganda

jawaban

singkat

penunjang

31

H. Penelitian Relevan

Penelitian dilakukan terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori

pernah dilakukan oleh Bagus Takwin (2013) yang berjudul “Mencermati

Naratif Novel Pulang”. Makalah tersebut disajikan dalam musyawarah buku

Pulang karya Leila S. Chudori di Serambi Salihara pada tanggal 29 Januari

2013, membahas tentang kekuatan naratif yang terdapat pada novel Pulang

sehingga membuat kekuatan dan daya tarik yang menghasilkan daya pikat dan

daya gugah. Kekuatan yang dijabarkan Takwin tentang kekuatan narasi

Pulang terletak pada empat poin. Pertama, penetapan kejadian dalam alur

waktu membantuk jejaring. Kedua, Penetapan waktu yang piawai sehingga

menghasilkan dinamika cerita yang menggerakan. Ketiga, deskripsi lokasi

tempat kejadian berlagsung juga menghasilkan karakteristik khas. Keempat,

Penataan adegan dengan kesan visual yang kuat. Pulang dikatakan dapat

membantu pembaca memaknai kembali menjadi orang Indonesia sehingga

Pulang menjalankan fungsi dari naratif itu sendiri.

Kajian terhadap keberadaaan eksil pernah disampaikan dalam seminar

dengan makalah berjudul “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita” oleh Amin

Mudzakkir (PSDR-LIPI) disampikan dalam seminar PSDR-LIPI “Eksil

Indonesia dan Nasionalisme Kita” pada Selasa, 3 Desember 2013 d LIPI,

Jakarta. Kajian makalah tersebut menjelaskan tentang kaum eksil yang

tertahan di luar negeri karena dicabutnya paspor serta kewarganegaraa. Walau

kaum eksil sudah tidak dianggap sebagai warga Indonesia dan telah memiliki

kewarganegaraan sesuai negara tempat mereka tertahan, dan dipisahkan oleh

ruang dan waktu dari tanah kelahairannya. Kaum eksil politik tersebut merasa

masih memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia. Istilah yang digunakan

untuk menggambarkan keadaan tersebut adalah nasionalisme jarak jauh. Para

nasionalis jarak jauh boleh saja tinggal bahkan menjadi warga negara lain,

tetapi mereka tetap berjuang dan berpartisipasi untuk bangsa.

32

Makalah Amin Mudzakir menjelaskan bahwa nasionalisme kaum eksil

menggugat konsep kewarganegaraan formal yang mengacu pada aspek legal.

Mereka mematahkan nasionalisme terhadap satu negara saja, karena mereka

telah menjadi warga negara lain, namun ideologi kaum eksil tetap

mempertahankan Indonesia sebagai komitmen politik. Melalui argumen

tersebut munculah konsep “warga negara lintas-batas” oleh Schiller dan

Fouron.

Penelitian terhadap novel Pulang pernah dilakukan oleh Eko Sulistyo

dengan judul “Novel Pulang karya Leila S. Chudori: Analisis Struktur Plot

Robert Stanton” pada tahun 2014. Penelitian itu diajukan untuk tugas akhir

Strata 1 (S1) jurusan Sastra Indonesia di UGM. Penelitian tersebut

mendeskripsikan penggunaan struktur plot novel Pulang dengan hasil bahwa

novel Pulang memiliki 840 peristiwa kausal yang disusun dalam 48 episode

dan 5 bab (terbagi dalam 17 subbab). Dari keseluruhan cerita dapat dibagi

menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan awal, tengah, dan akhir. Tahapan awal

menjelaskan pengenalan tokoh, latar, serta konflik-konnflik yang mulai

bermunculan. Tahapan tengah menampilkan konflik yang semakin meningkat

dan memunculkan konflik baru. Tahapan akhir menampilkan klimaks dan

penyelesaian dari kisah perjalanan Dimas serta keragu-raguan Lintang untuk

menetap di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut mengemukakakn bahwa

novel Pulang memiliki sifat rekat dan plausibel atau tiap peristiwa

keseluruhan dalam novel tersebut memiliki hubungan kausal.

33

BAB III

PROFIL LEILA S. CHUDORI

A. Biografi Leila S. Chudori

Leila Salikha Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Leila

tinggal di Jakarta bersama putri tunggalnya, Rain Chudori-Soerjoatmodjo. Ia

terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di

Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges) di Victoria,

Kanada. Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development

Studies dari Universitas Trent, Kanada.1 Pendidikan pertamanya tahun 1969-

1975 SD Batahari Jakarta, dilanjutkan SMP Negeri 8 Jakarta tahun 1976-1979,

kemudian SMA 3 Jakarta tahun 1979-1984.2

Leila selalu pergi dan pasti kembali. Setelah beberapa tahun

“menghilang“, Leila yang ditulis Kompas sebagai anak emas sastra Indonesia

yang telah kembali.3 Terbukti setelah menghilang dari dunia kepengarangan

selama 20 tahun, ia muncul dengan melahirkan kumpulan cerita pendek 9 dari

Nadira.

Ia seorang gemar membaca, bila gizi manusia terpenuhi dengan empat

sehat lima sempurna, bagi Leila, nomor lima itu adalah membaca buku.

Membaca buku bukan lagi sebuah hobi, tapi sebuah kebutuhan seperti

manusia membutuhkan udara untuk bernafas. Ia pun seorang yang detail

dalam segala hal, termasuk dalam menentukan detail ilustrasi setiap karya-

karyanya. Namun, tanpa dipungkiri Leila merupakan orang yang mudah bosan.

Termasuk dalam menggarap karya-karyanya. Ia bukan pengarang yang setiap

1 Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Leila S. Chudori, diunduh 23 Juni 2013,

(http://www.penerbitkpg.com/), 2 Taman Ismail Marzuki, Leila S. Chudori, diunduh 26 Juni 2013,

(http://www.tamanismailmarzuki.com/) 3 Anonim, Leila Selalu Pulang, diunduh 29 Juni 2013, ( http://www.dw.de/)

34

tahun menlahirkan karya, dan tidak akan langsung melahirkan karya lanjutan

dalam waktu yang kronologis.4

Nama Leila S. Chudori pernah tercantum dalam daftar keanggotaan

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1993-1996. Ia menegaskan bahwa

sudah sejak lama menolak untuk duduk dalam keanggotaan itu. Sebuah jurnal

sastra Asia Tenggara mencantumkan Leila S. Chudori sebagai salah satu

sastrawan Indonesia dalam kamus sastra Dictionnaire des

Creatrices diterbitkan oleh EDITIONS DES FEMMES, Prancis, disusun oleh

Jacqueline Camus. Kamus sastra ini berisi data dan profil perempuan yang

berkecimpung di dunia seni.

B. Karya-karya Leila S. Chudori

Karya-karya awal Leila dimuat saat berusia 12 tahun di majalah Si

Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini ia menghasilkan buku kumpulan

cerpen berjudul Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati

Andra. Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di majalah Zaman, majalah

sastra Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina),

Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Cerpen Leila dibahas oleh

kritikus sastra Tinneke Hellwig “Leila S. Chudori and Women in

Contemporary Fiction Writing dalam Tenggara”.

Selain sehari-hari bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo,

Leila (bersama Bambang Bujono) juga menjadi editor buku Bahasa!

Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo (Pusat Data Analisa Tempo, 2008).

Leila juga aktif menulis skenario drama televisi.

Masa kanak-kanak, Leila mengarang semenjak anak-anak hingga

dewasa. Semasa kanak-kanak, Leila memulai kariernya dengan membuat

cerpen yang berjudul “Sebatang Pohon Pisang”, dimuat di majalah Kawanku

4 Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-

15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.

35

tahun 1974. Setelah itu karyanya rajin muncul di majalah tersebut dan majalah

lainya seperti Kuncung.

Bakatnya dalam menulis memang sudah menonjol sejak kecil. Dia

terpikirkan untuk membuat animasi benda mati, menghidupkan botol, kursi,

dan lain-lainnya sehingga bisa bicara, punya perasaan atau berkeluh kesah.

Kemampuan Leila untuk menangkap sesuatu terus berlanjut seiring dengan

umurnya, wawasan yang didapat memiliki hubungan dengan karya-karyanya.

Ketika beranjak remaja dengan wawasan remaja dia membuat cerita remaja.

Tetapi mulanya sempat tak yakin, permasalahannya merasa tidak bisa

membuat cerpen yang bertemakan cinta, ungkap Leila yang menurutnya lebih

senang membuat cerita fiksi ketimbang artikel. Meski begitu, pada

kenyataannya Leila dikenal sebagai pengarang cerita remaja.5

Karyanya manis, menggemaskan, tapi tidak cengeng. “Saya tidak bisa

membuat karya yang dibikin-bikin. Pokoknya apa yang saya pikirkan, saya

tuangkan,” cetusnya. Untungnya dipikirkan Leila bukan cinta saja meski usia

remaja lumrah berisi dengan warna-warna cinta. Ini tercermin dari keragaman

tema cerita yang diproduksinya. Salah satu karya yang diingatnya,

persahabatan seorang remaja dengan tukang koran. Itu tidak lazim dibuat

pengarang remaja masa itu, yang umumnya senang membuat cinta-cintaan si

tampan dan si cantik.

Sejak kecil Leila sudah biasa berkumpul dengan pengarang terkenal

seperti Yudhistira Massardi, Arswendo Atmowiloto, dan Danarto. Tapi dia

memang bukan perempuan yang pantang mundur, terutama untuk bidang tulis

menulis yang diyakininya sebagai pilihan hidup dan karier. Karena itu, dia

memilih karier sebagai wartawan. Kerjanya memang sungguh menyita waktu

dan meletihkan, sehingga ia tak sempat lagi menulis cerita fiksi. Sempat

mewawancarai tokoh-tokoh terkenal, yang kemungkinan tak bisa dijumpai

5 Taman Ismail Marzuki, loc.cit

36

kalau ia cuma sekadar penulis fiksi. Meski diakui kariernya sebagai pengarang

cukup cemerlang, diminta ceramah, sampai diundang ke pertemuan pengarang

Asia di Filipina. Tapi dia juga tak bisa menyembunyikan kegembiraannya

sempat bertemu dengan Paul Wolfowitz, Bill Morison, HB Jassin, Corry

Aquino dan menjadi satu dari 11 wanita Indonesia yang bisa makan siang

bersama Lady Diana.

Berikut ini beberapa karyanya yang sudah dipublikasikan, baik berupa

novel, kumpulan cerrita pendek, maupun naskah film:

1. Dunia Tanpa Koma

Drama TV berjudul Dunia Tanpa Koma, produksi SinemArt, sutradara

Maruli Ara. Menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro

ditayangkan di RCTI tahun 2006. Mendapatkan penghargaan sebagai

acara TV terbaik tahun 2007 pada penghargaan Bandung Film Festival.

Leila S. Chudori mendapatkan penghargaan sebagai penulis drama dan

televisi pada acara dan tahun yang sama.

2. Drupadi

Menulis skenario film pendek Drupadi pada tahun 2008, produksi

SinemArt dan Miles Films, sutradara Riri Riza. Merupakan tafsir

kisah Mahabharata. Diperankan oleh Dian Sastrowardoyo sebagai

Drupadi dan Nicholas Saputra sebagai Arjuna.

3. Malam Terakhir

Kumpulan cerpen Malam Terakhir pertama kali terbit tahun 1989 oleh

Pustaka Utama Grafiti beberapa bulan sebelum pengarang bergabung

dengan majalah Tempo,6 kemudian pada tahun 2009 dicetak ulang oleh

Kepustakaan Populer Gramedia. Terdiri dari sembilan judul cerpen, “Paris,

Juni 1988’, “Adila”, “Air Suci Sita”, “Sehelai Pakaian Hitam”, “Untuk

Bapak”, “Keats”, “Ilona”, “Sepasang Mata Menatap Rain”, dan “Malam

6 Leila S. Chudori, Malam Terakhir, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012) h. xiii

37

Terakhir”. Kumpulan cerpen Malam Terakhir diterjemahkan ke dalam

bahasa Jerman Die Letzie Nacht (Horlemman Verlag).7

4. 9 dari Nadira

Kumpulan cerpen 9 dari Nadira terbit pertama kali tahun 2009

bersamaan dengan terbit ulang Malam Terakhir oleh penerbit Kepustakaan

Populer Gramedia. Terdiri dari sembilan judul, “Mencari Seikat Seruni”,

“Nina dan Nadira”, “Melukis Langit”, “Tasbih”, “Ciuman Terpanjang”,

“Kirana”, “Sembilan Pisau”, “Utara Bayu”, dan “At Pedder Bay”.

Beberapa judul cerpen dalam 9 dari Nadira pernah dipublikasikan di

beberapa media, “Melukis Langit” dimuat di majalah Mantra Maret 1991

dan direvisi ketika masuk menjadi kumpulan 9 dari Nadira, “Nina dan

Nadira” di majalah Mantra Mei 1992 direvisi ketika masuk menjadi

kumpulan 9 dari Nadira, “Mencari Seikat Seruni” di majalah Horison

April 2009, dan “Tasbih” di majalah Horison September 2009.8 Tahun

2011, 9 dari Nadira mendapat apresiasi dari Penghargaan Sastra Badan

Bahasa Indonesia. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lontar

Foundation dengan judul The Longest Kiss.9

5. Pulang

Akhir tahun 2012, lahirlah Pulang sebagai novel pertama Leila S.

Chudori. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, dan

diluncurkan pertama kali di Goethe Institut Jakarta. Riset yang dilakukan

penulis selama enam tahun untuk pergi ke Pernacis dan mewawancari

Oemar Said dan Sobron Aidit sebagai eksil tahanan politik.10

Pulang

menceritakan tentang perjalanan hidup eksil politik di Prancis, khususnya

perjalanan hidup Dimas Suryo yang berusaha untuk “Pulang” kembali ke

7 Taman Ismail Marzuki, loc.cit

8 Leila S. Chudori, 9 dari Nadira, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012)

9 Leila S. Chudori, “Tentang Leila”, 28 Oktober 2014, ( http://www.leilaschudori.com/)

10 Ibid,

38

pelukan Tanah Air. Tahun 2013, Pulang memenangkan Katulistiwa

Literary Award.11

C. Pemikiran Leila S. Chudori

Leila S. Chudori merupakan pengarangan yang hampir selalu memilih

cerita pendek sebagai format ketika berkarya. Baginya, cerita pendek dalam

beberapa hal memiliki peraturan yang lebih ketat, lebih keras, dan lebih galak

dari pada jenis format lainnya. Sebab cerita pendek harus memuat ledakan

dalam ruang yang sempit, tidak ada tempat untuk ngalor-ngidul seenaknya

menghabiskan kata-kata untuk memperlihatkan keindahan kosa kata.

Keputusan itu tidak hanya berurusan dengan masalah fisik dari cerita pendek,

tapi berhubungan dengan perasaan yang disampaikan.12

Ia sangat tidak percaya dengan bakat, baginya kata bakat itu

mengandung misteri. “Manusia itu ditentukan oleh faktor internal dan

eksternal. Kita harus menguji diri kita, punya jiwa seni atau tidak.” katanya.

Bagi Leila, seorang pengarang memiliki kepekaan menangkap fenomena

dalam dirinya, kemudian diekspresikan lewat kertas. “Kita harus mengadakan

pendekatan pada kepekaan itu. Sesudah mengenal kepekaan itu, barulah

dilanjutkan dengan proses edukasi, ya membaca, belajar dari pengalaman,

menghayati kehidupan,” Bagi Leila, seni itu tidak diperoleh dalam pendidikan

akademis, kecuali masalah politik dan ekonomi. Seorang pengarang berbakat

itu tak ditentukan oleh kuantitas karyanya, tapi bobot karya itu sendiri.

Pengarang yang terlalu produktif itu diragukan kualitas karya-karyanya.

“Kapan sih kesempatannya untuk mengendapkan karyanya dan kemudian

merenung. Lain halnya dengan Putu Wijaya yang benar-benar produktif, tapi

terasa ada pengulangan-pengulangan tanpa disadarinya,”13

Leila beranggapan,

11

The Jakarta Post, Leila s. Chudori: Khatulistiwa Award winner’s commitment to the writing

process, 28 Oktober 2014, http://www.thejakartapost.com/ 12

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-

15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City. 13

Ibid

39

menulis haruslah dari hati dan menikmati prosesnya. Tidak hanya sekadar

ingin terkenal, apalagi mendampatkan penghargaan. Bila suatu karya

diapresiasi baik, maka itu menjadi nilai tambah, tapi bukan sesuatu yang

diharapkan dari awal pembuatan.14

Leila tumbuh dengan cerita-cerita pewayangan yang memiliki cerita

yang mendalam dan kerumitan tidak biasa. Kisah pewayangan seperti kisah

yang agung semacam dengan kisah-kisah para dewa di Yunani. Karyanya pun

banyak terinspirasi dengan kisah-kisah pewayangan. Beberapa karyanya

memiliki dasar kisah drama keluarga tidak biasa seperti kisah pewayangan.

Baginya, kisah keluarga yang baik-baik saja tidak menarik untuk diceritakan.

Berbeda hal bila cerita menggambarkan drama keluarga yang rumit karena

anggota keluarganya meninggal karena bunuh diri15

atau keluarga yang

menjadi korban dari peristiwa 30 September 196516

akan sangat menarik bila

diceritakan dalam sebuah karya.17

Leila tidak mematok karya menjadi karya yang harus mendidik, justru

menurut pandangannya bila karya sudah dilahirkan dan dinikmati oleh

pembaca, pengarang haruslah membuat jarak dengan karya. Tidak ada lagi

keharusan menjawab dan membahas masalah-masalah yang tidak dipahami

dari karya tersebut. Biarkan pembaca menafsirkan sendiri maksud dari karya-

karyanya. Termasuk memberikan kebebasan pengamat dan pembaca

mengkatagorikan karya dalam bentuk novel sastra, novel populer, novel

sejarah, atau katagori lainya.18

14

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-

15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City. 15

Kisah yang mendasari kumpulan cerita pendek 9 dari Nadira, keluarga yang ditinggal mati

oleh Ibunya dengan cara bunuh diri, tanpa sebab dan tidak ada kejelasan kenapa sang ibu bisa

memutuskan bunuh diri, sehingga menimbulkan pertanyaa-pertanyaan serta kejutan bagi anggota

keluarga lainnya. 16

Kisah ini merupakan formula dari novel Pulang. 17

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-

15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City. 18

Ibid.

40

Tahun 1982, Leila pergi kuliah ke Kanada, negeri multikultural yang

damai dengan standar hidup yang jauh lebih “menjanjikan“. Enam tahun

hidup di negeri yang “tertib“ tak membuat Leila kehilangan selera atas tanah

airnya. Ia memilih pulang: kembali ke tempat yang chaos, sumpek dan penuh

persoalan. Leila ingat pesan ayahnya, “Ada alasan mengapa kita dilahirkan

sebagai orang Indonesia. Alasan itu harus kita cari sepanjang hidup kita.”

“Karena tanah air ini sungguh remuk luka, penuh persoalan…

Manusia Indonesia? Manusia yang gemar duit dan malas bekerja, yang gemar

bergunjing hanya untuk kesenangan sehari-hari, yang main tembak, yang

mempermainkan hukum…” tulis Leila dalam peringatan 40 hari kepergian

ayahnya.

Tetapi, seperti kata Ayah pula, Indonesia juga memiliki matahari yang

hangat. Ada banyak orang yang baik, yang peduli, yang bekerja tanpa

mengeluh, banyak yang terus menerus berpeluh tanpa pamrih agar sekadar

sejengkal-dua-jengkal tanah air ini membaik. Kekaguman Leila pada ayahnya

Mohammad Chudori wartawan kantor Berita Antara dan The Jakarta Post itu, tak

mampu disembunyikannya.19

Saat Leila merampungkan studinya dan akan kembali ke Indonesia, ia

dan teman-temannya mampir ke Eropa terlebih dahulu. Ia mengajak teman-

temannya untuk mencicipi masakan Indonesia di Prancis, restoran masakan

Indonesia yang berada di Prancis bernama Restoran Indonesia. Pemilik

restoran tersebut adalah eksil politik dari peristiwa tahun 1965, Sobron Aidit

dan Oemar Said. Cerita perjalan Sobron dan Oemar merupakan langkah awal

Leila melahirkan Pulang.20

Kisah perlawanan eksil di Prancis dapat dikatahui

dengan lebih jelas dalam buku Melawan dengan Restoran karya Sobron Aidit.

19

Anonim, Leila Selalu Pulang, 2013,( http://www.dw.de/) 20

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014 pukul 13:00-

15:00, bertempat di Thai Alley Gandaria City.

41

Buku yang menceritakan perjuangan hidup para eksil di Prancis dalam

menjalani kesehariansetelah penahanan mereka di Paris.

42

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN NOVEL PULANG

KARYA LEILA S. CHUDORI

A. Deskripsi Data

1. Tema

Tema merupakan ide yang mendasari sebuah cerita berjalan merangkai

peristiwa. Rangkaian peristiwa yang terjadi dalam Pulang didasari pada

keberadaan segala keputusan Dimas Suryo yang tidak ingin memiliki

ikatan dengan apapun atau siapa pun. Baik dari segi ideologi, percintaan,

hingga keputusan-keputusan yang diambil dalam hidupnya. Kebimbangan

Dimas dalam keputusannya yang tidak ingin terikat, menyeretnya dalam

pusaran peristiwa sejarah.

“ … Lebih mudah untuk tidak memilih, seolah tak ada

konsekuensi. Tetapi seperti katamu, memilih adalah jalan

hidup yang berani.” 1

Keinginan bebas tanpa ikatan menimbulkan drama di kehidupannya,

kehidupan keluarganya, dan sekelilingnya. Masalah-masalah yang timbul

setelah memilih untuk tidak menentukan pilihan merupakan persoalan

yang memicu permasalahan ia ditinggal menikah oleh Surti, kekasihnya,

menjadi eksil di Paris, kemudian menikah dengan Vivienne dan akhirnya

bercerai.

2. Tokoh

Novel Pulang memiliki kehadiran yang cukup banyak, terlebih dari

sudut korban dari peristiwa tahun 1965. Satu sudut inilah yang membuat

Pulang hampir memiliki keseragaman pemikiran pada tiap tokohnya.

Namun, tiap tokoh memiliki karakter yang kuat dan dibekali proporsi

cerita sesuai, sehingga tokoh yang akan ditampilkan pada penelitian ini

1 Leila S. Chudori, Pulang, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012) h. 448

43

hanya tokoh yang memiliki pengaruh cukup besar dan mendapatkan

sorotan lebih.

a. Dimas Suryo

Pulang dapat dikatakan cerita yang mengkisahkan perjalanan hidup

Dimas Suryo. Di awal cerita, ia diceritakan terdampar di Paris pada tahun

1968 dengan sudut pandang dirinya sendiri dalam membandingkan

demonstrasi yang terjadi di Paris dengan demonstrasi yang berkecamuk di

Indonesia.

Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh

jelas keinginannya. … Di Indonesia, kami akrab dengan

kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan

siapa lawan.2

Penggambaran dialog tersebut mengawali cerita tentang latar belakang

terdamparnya Dimas Suryo di Paris, dan bertemu Vivienne Devereaux

mahasiswa Sorbonne yang ikut revolusi Prancis Mei 1968. Kedekatannya

dengan Vivienne membuat cerita-cerita masa lalu Dimas terungkap,

sehingga membuat pembaca penasaran apa yang terjadi sesungguhnya

pada kehidupan Dimas sebelumnya, kehidupannya di Indonesia dan

kerinduannya terhadap Indonesia. Ia menguak cerita dibalik

kedatangannya ke Prancis, hubungannya dengan keluarga Hananto

Prawiro dan kedekatannya dengan Surti Anandari sebelum menikah

dengan Hananto. Cerita itu mengalir melalui ingatan yang dipancing oleh

sesuatu yang mengikangatkan pada masa lalu. Ingatan di masa lalu

menjelaskan bahwa Dimas adalah seorang yang masih terikat dengan

segala masa lalunya, entah dengan simbol benda ataupun perwakilan

tokoh wayang yang ia kagumi.

Di ruang tengah apartemen kami, ada Indonesia yang

ditanamkan Dimas Suryo, dua sosok wayang kulit yang

2 Ibid., h. 10

44

digantung di dinding: Ekalaya dan Bima. … Isi stoples

pertama adalah berliter-liter cengkih. Isi stoples kedua adalah

bubuk kunyit kuning.3

Dimas merupakan pribadi yang tidak dapat menentukan pilihan, ia

ingin bersikap netral pada segala hal. Ia ingin mengetahui segala

pemikiran tanpa berpihak pada satu pemikiran, namun sikap itu yang

menjebak Dimas dalam kondisi yang menyulitkannya karena ikut terkena

arus pembersihan orang-orang yang bersentuhan dengan pihak “kiri”.

“Kau menolak masuk ormas. Apalagi masuk partai. Kau

menolak memihak. Kau mengkritik Lekra tapi kau juga

mengkritik para penandatangan Manifes Kebudayaan.”

“Ya, lalu?” Aku menatap Hananto, menantikan dia

melanjutkan gerutunya.

“Apa maumu, Dimas? Lihat kehidupan pribadimu. Kau juga

tak punya keinginan jelas. Apa karena hatimu masih tertambat

pada masa lalu, atau kau terlalu menyukai masa bujangmu?”4

Secara fisik, Dimas memiliki perawakan pria ideal. Memiliki kulit

tubuh yang kecoklatan, rambutnya ikal tebal dan dagunya lacip dan

mancung. Dimas adalah seorang wartawan di kantor Berita Nusantara

sebelum tertahan karena peristiwa 30 September. Ia memiliki ketertarikan

kepada dunia kuliner dan memiliki keahlian memasak di atas rata-rata

eksil yang terdampar di Prancis, oleh karena itu didaulat sebagai juru

masak di Restoran Tanah Air.

Menjadi wartawan, bagiku adalah jalan yang tak bisa ditolak.

Wartawan adalah profesi yang memperlakukan kekuatan kata

sama seperti koki menggunakan bumbu masakan.5

Dimas menjadikan dunia jurnalis dan memasak adalah hidupnya. Bahkan

ketika di Prancis ia tetap aktif menulis dan berkontribusi dalm suratkabar

3 Ibid., h. 214

4 Ibid., h. 42

5 Ibid., h. 65

45

yang disebarkan di eropa untuk orang-orang yang tertarik perihal

Indonesia.

b. Nugroho Dewantoro

Seorang pria kelahiran Yogyakarta yang memiliki kumis seperti artis

Clark Gable dan bersuara sumbang. Ia pernah mempelajari tentang

sinologi6

, namun tidak lulus dan memilih bekerja di kantor Berita

Nusantara.

Di antar kami berlima hanya Mas Nug yang gemar menyanyi

dan bersiul, tapi justru suara dia yang paling sember dan tak

beraturan.7

Mas Nug sempat belajar sinologi seusai menyelesaikan

sekolah menengah tinggi. Tapi pendidikan ini tak

diselesaikannya.8

Ia memiliki keahlian memasak seperti Dimas, namun ia lebih

mementingkan efektivitas dan rasa puas. Sehingga ia dapat menggantikan

bumbu sate atau gado-gado dengan selai kacang, berbeda dengan Dimas

yang menyembah ritual dalam memasak.

Ada perbedaan antara masakan Om Nug dan Ayah. Om Nug

adalah seorang koki modern yang baru mempelajari

kehebatan bumbu Indonesia setelah semua memutuskan untuk

mendirikan koperasi restoran Indonesia. Dia mementingkan

efektivitas dan rasa puas.9

Perihal masalah efektivitas dan rasa pusa, Nugroho menerapkannya

pula dalam kehidupan percintaan. Setelah tertahan di Peking, ia

memutuskan singgah ke Swiss dan memiliki hubungan dengan seorang

wanita bersuami hanya karena nama wanita tersebut memiliki kesamaan

simbol dengan istrinya di Indonesia.

6 Ilmu pengetahuan yang mempelajari seputar bahasa dan kebudayaan Tiongkok.

7 Leila S. Chudori, Op.cit., h. 92

8 Ibid., h. 60

9Ibid., h. 139

46

Nugroho merupakan ayah dari Bimo Nugroho dan suami dari Rukmini.

Walau semenjak Nugroho menjadi eksil dan menetap di Prancis, ia

menyanggupi perceraian yang diminta isterinya. Padahal, ia begitu

mencintai Rukmini dan anaknya.

Nugroho Dewanto, lelaki Yogyakarta yang selalu

menekankan untuk berbahas Indonesia daripada bahasa Jawa,

sebetulnya sangat sentimentil. Bahkan aku curiga, meski dia

sering berlaga seperti pemain perempuan, Mas Nug sangat

menginginkan kehangatan keluarga.10

Nugroho menjadi pemimpin secara tidak langsung dalam pilar

Restoran Tanah Air setelah berpisahnya mereka dengan Hananto Prawiro.

Ia menjadi penompang karena memiliki sifat riang dan penuh dengan rasa

optimis dalam memandang kehidupan.

c. Risjaf

Risjaf merupakan anggota yang dianggap paling muda dan peka. Ia

digambarkan begitu tampan dengan rambut berombak, bertubuh tinggi

besar, berhati lurus dan tulus, namun tidak menyadari ketampannanya.

Lelaki Riau yang begitu tampan, berambut ombak, dan

bertubung tinggi besar itu sibuk, mengorek-ngorek rak

bukuku untuk mencari buku puisi, padahal dia sendiri

sebetulnya adalah perwakilan dari segala kejantanan.11

Ia pandai memainkan harmonika dan seruling. Seorang yang

menemukan pendamping hidup ketika sudah menjadi eksil di Prancis dan

membangun keluarga yang bahagia. Ia menikahi seorang adik dari salah

satu eksil di Belanda, serta dikaruniai seorang putri. Risjaf adalah satu-

satunya eksil Perancis yang dapat singgah ke Indonesia di masa Orde Baru

berlangsung.

10

Ibid., h. 105 11

Ibid., h. 55-56

47

d. Tjai Sin Soe (Thahjadi Sukarna)

Tjai adalah seorang yang rasional, segala hal dalam hidupnya sudah

ada dalam perhitungannya, termasuk tertahannya ia di Prancis bersama

ketiga temannya di Restoran tanah Air, karena ia termasuk dari etnis

Tionghoa. Salah satu etnis yang akan pertama kali diciduk akibat kejadian

30 September karena memiliki hubungan dengan Tiongkok atau

diidentikan dengan paham komunis.

Tjai Sin Soe (yang terkadang dikenal dengan nama Thahjadi

Sukarna) yang lekat dengan kakulator di tangan kirinya jauh

melebihi nyawanya sendiri, lebih banyak berbuat, berpikir

cepat daripada coa-coa.12

Diskusi langsung mati akibat algojo Tjai yang rasional. Apa

boleh buat, memang dialah kalkulator kami.13

Suami dari Theresa ini digambarkan selalu membawa kakulator dan

menjadi bagian keuangan dalam pengelolaan koperasi restoran. Hidupnya

serba lurus, baik, dan di jalan yang benar. Tjai adalah perekat bagi pilar

Restoran Tanah Air yang memiliki keanehan dalam bertingkah laku.

e. Hananto Prawiro

Tokoh ini merupakan benang merah segala hubungan yang terjadi di

masa lalu Dimas dan ketiga eksil lainnya. Hananto seorang yang

berpendirian teguh dengan yang dipercayainya, dan berusaha orang-orang

di sekitarnya sependapat dengannya melalui cara memaklumi dan

mengarahkan. “Mas Hananto tahu, cara untuk mendekatiku bukan dengan

memerangi dan membantah seleraku.”14

Hananto yang mendekatkan pemikiran-pemikiran tetang sosialisme. Ia

adalah redaktur Luar Negeri kantor Berita Nusantara yang merupakan

anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) sehingga melibatkan orang-orang

12

Ibid., h. 50 13

Ibid., h. 99 14

Ibid., h. 31

48

terdekatnya menjadi korban pembersihan oleh pemerintahan Orde Baru.

Hananto seorang yang cerdik mengambil kesempatan suatu kondisi,

sehingga dalam penangkapannya oleh pihak militer memerlukan waktu

yang cukup lama.

Hubungan Hananto dengan Surti yang membuat Dimas tidak dapat

jauh dari kelurga Prawiro. Hingga setelah penangkapan Hananto, Dimas

lah yang menunjang kehidupan dari keluarga Prawiro. Dimas tidak

menyukai sikap Hananto yang tidak setia terhadap Surti, sehingga

membuat gambaran yang jelas bahwa Dimas sangat tertambat terhadap

pesona istri Hananto.

f. Vivienne Deveraux

Seorang wanita dengan rambut berwarna coklat, tebal, berombak

dengan bola mata berwarna hijau dan memiliki tubuh yang sintal.

Pemikirannya tentang pengembaraan ideologi tanpa harus singgah

merasakan keagungan berlama-lama memiliki kesamaan dengan Dimas. Ia

seorang yang berani, tegas, dan juga cerdas. Dirinya memiliki kepekaan

dalam memahami kepribadian orang lain. Vivienne memiliki kemakluman

lebih untuk setiap sikap yang Dimas tunjukan, ia menjadi istri yang

mengerti kebutuhan keluarga dan mempersiapkan segala kemungkinan

yang terjadi pada keluarganya.

Surti adalah lambang aroma kunyit dan cengkih. Itu semua

menjadi satu di dalam Indonesia. Malam itu, aku mengatakan

kepada Dimas, aku ingin berpisah darinya.15

Penyataan tersebut terlontar oleh Vivienne setelah membaca surat-

surat Surti kepada Dimas, sehingga membuat Vivienne sadar bahwa

selamanya Dimas tidak dapat melepaskan Surti, sedangkan Vivienne

tidak dapat menerima orang ketiga di kehidupan percintaannya.

Walaupun Vivienne bercerai dengan Dimas, ia tetap menjalin komunikasi

15

Ibid., h. 216

49

dengan Dimas, hal itu karena ia masih memiliki rasa peduli terhadap

Dimas, dan ia memiliki Lintang Utara sebagai anaknya.

Mas Nug tertawa seperti monyet. Dia tahu Vivienne akan

cerewet sekali menyuruhku berobat. Meski kami sudah

bercerai, Viviene dan aku tetap berkawan baik.16

Dibalik dari segi kekuataan dan kemandiriannya terhadap hidup dan

pemikiran-pemikirannya, ia sangatlah lemah dengan rasa cintanya

terhadap Dimas. Ia tidak dapat mengatakan segala pertanyaan-

pertanyaannya tentang rasa kasih yang Dimas berikan kepadanya dengan

rasa kasih yang ia tidak tunjukan secara langsung kepada Surti.

g. Lintang Utara

Anak tunggal dari pasangan Dimas dan Vivienne memilik fisik yang

menarik sebab Lintang mewarisi perawakan ibunya. Sifatnya mirip

dengan Dimas, sehingga pada beberapa hal, ia dan Lintang sering

mengalami perselisihan. Ia memiliki kemauan kuat dan seorang

mahasiswa sinematografi Sorbonne yang menyukai karya sastra. Ia

mendapatkan tantangan dari dosen pembimbing tugas akhirnya untuk

membuat film dokumenter tentang latar belakang keluarga peristiwa tahun

1965 di Indonesia sebagai tugas akhirnya.

“Lintang, kamu lupa ada sesuatu yang menarik dari dirimu,

dari latar belakangmu.”

Jantungku yang sejak tadi berhenti berfungsi kini terasa

mendapat segelintir oksigen. “Kamu juga mempunyai dua

tanah air: Indonesia dan Prancis. Dan kamu lahir di Paris,

tumbuh dan besar di Paris. Tidakkah kamu ingin mengetahui

identitasmu, tanah kelahiranmu?”17

Dialog tersebut langkah awal Lintang memikirkan tentang dirinya dan

Indonesia. Tanah kelahiran ayahnya yang sering ia dengar ceritanya

16

Ibid., h. 128 17

Ibid., h. 133

50

namun ia tidak mengenalnya secara langsung. Kejadian itu mengguncang

identitasnya dan membuatnya berinteraksi dengan orang-orang yang

menghindari keluarganya karena cap mantan Tapol (Tahanan Politik).

Tugas akhir membuatnya mendatangi Indonesia bertepatan dengan

reformasi pada tahun 1998, sehingga ia mengawali perkenalan dengan

Indonesia pada suasana yang tidak aman. Tapi suasana seperti itu justru

membuat Lintang jatuh terpesona kepada Indonesia.

h. Surti Anandari

Seorang wanita berlatar belakang keluarga dokter terpandang namun

memilih belajar di fakultas sastra dan filsafat. Ia memiliki sifat keibuan

dengan paras cantik sehingga diidamkan oleh para pria. Surti merupakan

kekasih Dimas masa awal kuliah, namun karena sikap Dimas yang

menunjukan keraguan dan Surti akhirnya memilih Hananto menjadi

suaminya. Ia menjadi seorang ibu dan istri yang memiliki karakter orang

Indonesia pada umumnya, penurut dan pasrah.

Vivienne nampak tak yakin. Aku sendiri merasa tak yakin.

Aku tahu, setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih

terasa bergetar dan teriris. Mendengar nama Kenanga, bulan,

dan bahkan Alam, si bungsu yang tak pernah kukenal itu,

tetap membaut jantungku berlompatan. Itu adalah nama-nama

pemberianku. Aku tak pernah tahu apakah Mas Hananto

menyadarinya.18

Satu-satunya cinta yang selalu disimpan oleh Dimas adalah cinta

kepada Surti. Surti memiliki tempat tersendiri di hati Dimas, walaupun

sudah menikah Dimas tetap menjadikan Surti seseorang yang memiliki

tempat yang spesial dan merupakan salah satu alasan Dimas untuk terus

kembali pulang ke Indonesia. Bila dilihat penggalan dialog sebelumnya

dapat terlihat bahwa Surti terlihat masih menyimpan hati pada Dimas,

walaupun ia menikah dengan Hananto. Karena nama-nama anak Surti dan

18

Ibid., h. 41

51

Hananto merupakan nama-nama yang diajukan oleh Dimas ketika Surti

dan Dimas masih berpacaran. Hingga usia Dimas dan Surti menua,

keduanya tetap memiliki kenangan indah tetang kisah meraka.

i. Segara Alam

Anak bungsu dari pernikahan Hananto dan Surti adalah seorang

aktivis tahun 1998 yang memmiliki karakter keras, tegas, dan mudah

terpancing emosi. Ia termasuk tipe pria tidak mau dianggap lemah, namun

Alam merupakan pria sensitif dan suka memainkan perasaan wanita yang

menyukainya. Alam menaruh hati pada Lintang, mereka menjalin

hubungan dengan keadaan yang cukup menegangkan sebab saat itu sedang

terjadi reformasi di Indonesia.

Tetapi dikejauhan itu aku malah melihat Alam yang duduk

sendirian di bawah pohon kamboja. Dia menatapku terus-

menerus, terpusat padaku dan mengikat aku. Sedangkan di

belakangku ada Narayana. Ayah, kau benar. Lebih mudah

untuk tidak memilih, seolah tak ada konsekuensi. Tetapi

seperti katamu, memilih adalah jalan hidup yang berani.”19

Dialog tersebut mengambarkan bahwa Alam akhirnya memilih

menaruh hatinya kepada Lintang, namun Lintang memilih kekasihnya,

Narayana. Pilihan Lintang tidak disematkan kepada Alam, karena Lintang

tahu bagaimanapun ia telah memiliki Narayana yang menerima Lintang

serta keluarganya tanpa mempeduliakan cap yang disematkan pemerintah.

Padahal, Narayana merupakan seorang anak dari keluarga yang memiliki

hubungan dekat dengan pemerintahan.

3. Latar

a. Latar Waktu

Kejelasan latar waktu dalam Pulang terjadi pada beberapa waktu

terutama pada kilas balik masa lalu, dan pada bagain surat. Terlepas

19

Ibid., h. 448

52

dari keadan pagi, siang, sore atau malam, penggunaan waktu dapat

menegasakan bahwa waktu yang digunakan merupakan sebuah

penunjuk yang menguatkan kejadian nyata dan kesesuai dengan fakta

yang ada.

1) Tahun 1952

Januari sampai Oktober: Merupakan kilas balik masa lalu Dimas

ketika masih menjadi mahasiswa, kemudian bertemu Surti dan

menjalin hubungan dengannya dan akhirnya Surti jatuh ketangan

Hananto.20

2) Desember 1964

Kilas balik cerita masa lalu tentang Dimas Suryo ketika ia berada

di tengah-tengah kubu pengikut PKI dan kubu non-pengikut. 21

3) Tahun 1965

5 September: Kilas balik cerita masa lalu Dimas yang mengetahui

bahwa Hananto Prawiro berselingkuh dari Surti, istrinya. 22

12 September: Kisah masa lalu Dimas ketika ia ditunjuk untuk

mengikuti kegiatan wartawan tingkat Internasional di Santiago

mewakili Kantor Berita Nusantara dan menjadi pertemuan terakhir

antara Dimas dan Hananto. 23

4) Tahun 1968

Surat dari Aji Suryo yang menceritakan kisahnya ketika di Solo. Ia

diintrogasi bersama ibunya seputar Dimas yang dituduh terlibat

kegiatan PKI. 24

April: Menjelaskan tentang kronologis penangkapan Hananto

Prawiro dari sudut pandang Hananto sendiri. 25

20

Ibid., h. 51 21

Ibid., h. 28 22

Ibid., h. 38 23

Ibid., h. 44 24

Ibid., h. 239

53

Mei: Kisah Dimas terdampar di Paris ketika ada revolusi Prancis

1968 dan kisah perkenalannya dengan Vivienne. 26

Agustus: Surat dari Aji Suryo dan Kenanga Prawiro. 27

Desember: Surat dari Surti yang menceritakan tentang

pengintrograsi tentang Hananto dan penyiksaan-penyiksaan yang

ia dapatkan ketika introgasi itu dilakukan. 28

5) Tahun 1969

Surat dari Amir Jayadi yang menjawab pertanyaan Dimas akan

kekosongan ruang dalam hatinya. 29

6) 18 Juni 1970

Surat dari Kenanga yang menceritkan pertemuan dengan Hananto

sebelum Hananto dieksekusi. 30

7) Tahun 1975

Kilas balik tetang cerita Nugroho yang ditinggalkan oleh Rukmini,

istrinya. 31

8) Tahun 1982

Kisah Vivienne bertemu Sumarno yang ingin mengusik kehidupan

keluarga Dimas. 32

Agustus: Cerita awal pemikiran pembentukan restoran Tanah Air.

Dipelopori oleh empat pilar, yaitu Dimas, Nugroho, Tjai, dan

Rijaf.33

25

Ibid., h. 1 26

Ibid., h. 9 27

Ibid., h. 19 dan h. 21 28

Ibid., h. 234 29

Ibid., h. 248 30

Ibid., h. 246 31

Ibid., h. 105 32

Ibid., h. 217 33

Ibid., h. 97

54

Oktober: Kisah pencarian dan rintisan awal berdirinya restoran

Tanah Air di Prancis dan empat pilar Tanah Air diganggu oleh

lawan mereka ketika di Indonesia. 34

9) Tahun 1985

Cerita di mana hambatan-hambatan didapatkan restoran Tanah Air

dengan tuduhan rapat untuk melaksanakan unjuk rasa. 35

10) Tahun 1988

Vivienne mengetahui bahwa Dimas sesungguhnya masih

mengharapkan Surti dengan simbol-simbol yang bertebaran dalam

kehidupan Dimas. Vivienne akhirnya meminta bercerai dari

Dimas.36

11) Tahun 1993

Masa lalu Segara Alam dan Bimo Nugroho yang dipojokan karena

mereka merupaka keturunan dari tapol. 37

12) Tahun 1994

Juni: Surat Aji Suryo yang mengabarkan bahwa ada membredelan

terhadap tiga media di Indonesia sehingga menyebabkan

masyarkat pers dan mahasiswa berdemonstrasi. 38

Oktober: Pertemuan antara Dimas dan Narayana untuk pertama

kali, pertemuan ini menyebabkan hubungan Lintang dan Dimas

menjadi berjarak. 39

13) Mei 1997

Cerita antara Lintang dan Narayana melihat video pertama dibuat

oleh Lintang kecil ketika ia pertama kali dibeikan kamera oleh

Dimas. 40

34

Ibid., h. 109 35

Ibid., h. 139 36

Ibid., h. 213 37

Ibid., h. 285 38

Ibid., h. 240 39

Ibid., h. 169

55

14) Tahun 1998

April: Kegiatan di restoran Tanah Air dan gambaran kondisi

Dimas yang sudah menurun karena sakit. 41

Kisah Lintang yang dianjurkan untuk meliput tentang kejadian

tahun 1965 di Indonesia untuk tugas akhir kuliahnya.42

Surat Aji Suryo yang menceritakan kekuatan Orde Baru yang

semakin kokoh dan memberedel tiga media masa. Ia menceritakan

pula cerita tentang kehidupan keluarganya.

Mei: Lintang dan Dimas berkunjung ke pekuburan di Paris. Dimas

mengakui kisahnya dengan Surti di masa lalu. 43

2 Mei 1998: Kedatangan Lintang pertama kali ke Indonesia dan

berkenalan dengan Alam juga kehidupannya. 44

6 Mei: Surat Lintang untuk Dimas berisikan cerita Lintang tentang

keadaannya di Indonesia dan keadaan Indonesia. 45

13 Mei: Surat Lintang untuk Dimas dan Vivienne perihal

keadaannya di Indonesia dan suasana Indonesia yang semakin

memanas karena mahasiswa menuntut reformasi. 46

16 Mei: Suasana Indonesia ketika menuntut turunnya Presiden

Soeharto. 47

18 Mei: Demonstrasi yang diadakan mahasiswa di MPR untuk

menurunkan Presiden Soeharto. Dan cerita romansa Lintang dan

Alam yang membaik. 48

40

Ibid., h. 167 41

Ibid., h. 91 dan h. 126 42

Ibid., h. 131 43

Ibid., h. 271 44

Ibid., h. 298 45

Ibid., h. 292 46

Ibid., h. 409 47

Ibid., h. 431 48

Ibid., h. 436

56

10 Juni: Surat Dimas untuk Lintang yang menceritakan gejolak

batin Dimas tentang keputusan dan keinginannya untuk

dimakamkan di Karet. 49

b. Latar Tempat

Latar tempat dalam Pulang secara keseluruhan terdapat di

Jakarta dan Paris. Namun, para eksil sempat singgah di Santiago,

Kuba, dan Peking. Kedua latar tempat yang mendominasi menegaskan

bahwa Pulang terfokus terhadap kejadian-kejadian di Jakarta dan Paris.

Latar tempat dijelasakan dengan pemaparan visual yang jelas dan

membuat pembaca dapat membayangkan secara terang tempat

kejadian yang diceritakan.

“Di antara ribuan mahasiswa Sorbonne yang baru saja

mengadakan pertemuan, aku melihat dia berdiri di bawah

patung Victor Hugo.” 50

Teks tersebut menjelaskan tidak secara langsung bahwa

kejadian itu terjadi di Paris, namun Sorbonne merupakan universitas

yang berada di Prancis, dan Victor Hugo merupakan sastrawan yang

berasal dari Prancis. Keterangan tersebut sudah menjadi bukti yang

cukup jelas untuk menunjukan latar waktu di Paris, Prancis.

Penjelasan latar tempat lainnya dijelaskan melalui

penggambaran tempat yang dapat ditelusuri melalui fakta, tanpa perlu

menyebutkan secara langsung letak termpat tesebut.

“Tanggal 30 Sepetemeber 1975. Kami dihalau naik ke atas bis

warna kuning kunyit untuk mengunjungi Monumen Pancasila

Sakti.” 51

49

Ibid., h. 442 50

Ibid., h. 9 51

Ibid., h. 289

57

Keterangan tersebut memberi petunjuk bahwa kejadian yang

terjadi ada di Indonesia, sebab pancasila adalah ideologi di Indonesia,

dan bila merujuk pada faktanya bahwa Monumen Pancasila Sakti

berada di Jakarta.

c. Latar Suasana

Suasana yang tergambarkan dalam Pulang membangun

peristiwa yang menunjukan identitas setiap tokoh ketika menyuarakan

keadaan dan kekuatan cerita. Suasan yang digambarkan sepanjang

cerita menampilkan kesenduan sekaligus kekuatan untuk bertahan.

“Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu

yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata.” 52

“Tetapi, ajaib. Kami tak mendengar apa-apa tentang Mas

Hananto. Dia menghilang. Raib tanpa bekas.”

“Jangan-jangan dia menyamar,” kata Risjaf dengan suara

dibuat berat dan misterius.

“Menyamar jadi apa, jadi gembel?” Aku terkekeh-kekeh.

“Mas Hananto itu lihai. Dia bisa menyusup ke mana-mana

tanpa diketahui jejaknya,” kata Mas Nug dengan yakin dan

optimis.” 53

Dialog ditunjukan membuat kejelasan suasana yang terjadi,

seperti kutipan di atas menjelaskan kesedihan yang terjadi merupakan

langkah untuk saling menguatkan satu sama lain. Suasana dibangun

tidak hanya melalui pemaparan pencerita. Namun dialog-dialog

menjadi pendukung penggambaran suasana yang terjadi.

4. Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan Pulang adalah sudut pandang orang

pertama dan orang ketiga mahatahu, walaupun sudut pandang orang pertama

digunakan bergantian antar tokoh. Pergantian sudut pandang orang pertama

terjadi secara sebab akibat. Sudut pandang orang pertama Pulang hampir

52

Ibid., h. 23 53

Ibid., h. 75

58

didominasi oleh Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam. Namun, ada

tiga tokoh yang mendapatkan peran untuk menceritakan peristiwa dan

mengemukakan pendapat melalui sudut pandang tokoh tersebut, seperti

Hananto, Vivienne, dan Bimo.

a. Sudut pandang Dimas Suryo lebih menyoroti latar belakangnya

menjadi eksil dan kehidupan setelah menjadi eksil bersama teman-

temannya. Keinginan Dimas pulang ke Indonesia dan gambaraan

kehidupan eksil di Paris.

“Ada perjanjian yang tak terucapkan di antara Tjai, Risjaf,

dan aku. Sejak Mas Nug ditinggal sang bunga anggrek

Rukmini –yang memutuskan menikah dengan Letkol Prakosa-

kami memberi keleluasaan padanya untuk bertindak seperti

“pemimpin”.54

Dialog tersebut menjelaskan pandangan Dimas tentang keadaan

Nugroho setelah diceraikan oleh Rukmini. Bahwa perceraian yang

dialami Nugroho merupakan sebuah pukulan yang keras dan ia

membutuhkan sebuah pengakuan bahwa Nugroho merupakan

pemimpin yang baik bagi teman-temannya, walau ia tidak diakui

sebagia pemimpin di keluarganya.

b. Sudut pandang Lintang Utara lebih menceritakan tentang hubungan

keluarga di masa kecil, saat kerenggangan dengan Dimas, dan

perjuanggannya mengenal tanah air ayahnya, Indonesia.

“Tetapi saat yang paling penting untukku adalah berkhayal

bersama Ayah dan Maman.”55

Lintang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan ayahnya, ia

mengetahui masa lalu Dimas dari surat-surat Dimas yang sempat ia

baca dan dari cerita-cerita Vivienne tentang keadaan ayah dan teman-

teman ayahnya di masa lalu.

54

Ibid., h. 105 55

Ibid., h. 184

59

c. Sudut pandang Segara Alam lebih menceritakan tentang kejadian pada

reformasi Indonesia tahun 1998 dan nasib keturunan tapol di Indonesia.

“Aku takut, Bimo jeri. Entah mengapa kami gentar. Apa

karena cerita yang terdengar begitu mengerikan. Atau kami

takut karena Ibu pemandu akan tahu siapa Bapak kami.” 56

Kisah perjuangan kelaurga tapol digambarkan melalui sudut pandang

Alam sebagai seorang aktivis di masa Orde Baru. Peranan sudut pandang

Alam dalam bercerita memberikan gambaran dari sudut keturunan tapol yang

terlibat dan ada di Indonesia.

Sudut pandang orang ketiga digunakan saat menjelaskan keadaan masa

kecil Lintang (Pulang, h. 178-181), keluarga Aji Suryo pada bab “Keluarga

Aji Suryo” (Pulang, h. 327-361), kejadian bertemunya Dimas dan Vivienne

pertama kali (Pulang, h. 201-208), tentang kembalinya hubungan baik antara

Lintang dan Dimas, serta surat-surat Surti yang dikirimkan untuk Dimas

(Pulang, h. 223-249), pada bab flaneur (Pulang, h. 251-282).

5. Gaya Bahasa

Penggunaan gaya bahasa dalam Pulang didominasi oleh perumpamaan

dalam mengungkapkan sebuah keadaan dan kehidupan. Perumpaman yang

digunakan dapat berupa perbandingan manusia dengan sesuatu hal

(dipersonifikasi), penggambaran benda yang memiliki sifat seperti manusia

(personifikasi), atau mengungkapkan sesuatu dengan cara berlebihan

(hiperbola).

a. Contoh dari penggunaan majas dipersonifikasi dalam Pulang:

Atau menggunakan bahasa Maman, aku terbang seperti

burung camar tanpa ingin hinggap. 57

56

Ibid., h. 287 57

Ibid., h. 446

60

Ketiga dara cantik itu adalah bunga yang membuat Jakarta

menjadi bercahaya. 58

Pengibaratan manusia dengan benda atau makhluk di luar manusia

menjadi pilihan yang mengibarkan gambaran lebih tepat untuk

menunjukansebuah keadaan atau peristiwa terjadi.

b. Contoh dari penggunaan majas personifikasi:

Malam telah turun. Tanpa gerutu dan tanpa siasat.59

Tapi angin bulan Mei kembali mengoyak-ngoyak

rambutnya.60

Majas personifikasi digunakan dengan cukup sering untuk memasukan

unsur hidup pada benda-benda atau suasana keadaan yang tidak

memiliki unsur tersebut karena keterbatasan sifat asli dari benda atau

keadan yang sedang digambarkan.

c. Contoh dari penggunaan majas hiperbola:

Aku melihat sepasang mata hijaunya mampu menembus

hatiku yang tengah berkabut.61

Badan dan mataku seolah sudah berangkat menghampirinya,

tetapi kakiku seperti kaki para narapidana yang akan

dieksekusi mati. Terikat rantai besi.62

Penggunaan majas hiperbola untuk menunjukan suatu keadaan dapat

digambarkan dengan cara berlebihan dari keadaan sesungguhnya.

Hiperbola digunakan membantu cerita menjadi lebih teatrikal melalui

penggunaan media kata-kata.

58

Ibid., h. 51 59

Ibid., h. 5 60

Ibid., h. 9 61

Ibid 62

Ibid., h. 12

61

6. Alur

Pulang memiliki tahapan yang membuat efek saling menguatkan antar

cerita, seperti menyusun kepingan yang belum rapi namun memiliki hubungan

yang jelas. Beberapa bagian terlihat seperti meloncat-loncat, memainkan

ingatan si tokoh untuk menceritakan segala sebab yang mengakibatkan

kejadian demi kejadian terjadi. Secara urutan waktu, Pulang menggunakan

alur sorot-balik, karena cerita diawali dengan penangakapan Hananto Prawiro,

kemudian dilanjutkan dengan terdamparnya tokoh Dimas Suryo di Paris pada

tahun 1968, barulah kronologis waktu bercampur dari masa kisah itu

diceritakan, kembali ke masa lalu, sampai pada penutup cerita melalui

pemakaman Dimas Suryo di Karet, Jakarta tahun 1998. Pulang memiliki

jalinan cerita sebab akibat, berkali-kali mengalami naik-turun intensitas

ketegangan cerita. Dari keseluruhan cerita, ada dua hal yang menjadi sorotan

penting dalam Pulang. Sorotan pertama cerita tentang kehidupan eksil di

Prancis, khususnya Dimas Suryo. Sorotan kedua lebih di arahkan kepada anak

Dimas Suryo, Lintang Utara, yang memandang kehidupan ayahnya, serta

keterlibatan Lintang dalam peristiwa Mei 1998 di Indonesia. Tahapan alur

yang di kemukakan oleh Aminuddin dapat diterapkan ke dalam novel Pulang

dengan klasifikasi:

a. Orientasi

Tahapan ini merupakan perkenalan cerita yang menggambarkan awal

cerita dimulai. Pulang mengawali cerita dengan ditangkapnya Hananto

Prawiro setelah bertahun-tahun menjadi buronan pemerintah. Cerita

tersebut digambarkan oleh sudut pandang Hananto sendiri dalam

bagian “Prolog: Jalan Sabang, Jakarta, April 1968”. Bagian “Paris,

Mei 1968” merupakan pengenalan terhadap tokoh sentral dari Pulang,

Dimas Suryo, yang tertahan di Paris dan menjalin hubungan dengan

seorang mahasiswa Sorbone, Vivienne Deveraux, yang sedang

berunjuk rasa bersama mahasiswa lainnya. Pengenalan berikutnya

62

digambarkan pada bagian “Hananto Prawiro”. Pada bagian ini

dijelaskan asal usul terdamparnya Dimas dan ketiga teman lainnya di

Paris. Cerita diliputi dengan kegiatan ruang redaksi kantor Berita

Nusantara dan perselisihan ideologi yang saling bersebrangan antara

kubu “kiri” dan kubu pendukung M. Natsir.

b. Konflik

Tahapan konflik merupakan bagian permasalahan yang akan diangkat

pada sebuah cerita. Masalah yang timbul dan akan diangkat dapat

dilihat pada bagian “Surti Anandari”, “Paris, April 1998”, “Naryana

Lafebvre”, “L’irreparable”, “Sebuah Diorama”, “Bimo Nugroho”,

“Keluarga Aji Suryo”. Pada bagian itu dijelaskan perjalanan hidup

Dimas dan Risjaf dalam menjalani rasa cinta kepada Surti dan

Rukmini pada saat mahasiswa. Namun, kisah cinta mereka tidak

berjalan baik karena terhalang oleh kemapanaan dari Hananto dan

Nugroho, tetangga kosan mereka. Pada bagian “Paris, April 1998”

merupakan cerita lain yang mengkisahkan awal perjalanan Lintang

untuk menggarap tugas akhirnya di Indonesia sebagai mahasiswa yang

membuat film dokumenter tentang kisah para korban langsung atau

tidak langsung pasca kejadian 30 September 1965, bukan sebagai anak

dari korban kejadian tahun 1965 di Indonesia. “Naryana Lafebvre”

merupakan bagian yang mengkisahkan kerinduan Lintang akan masa

kecil yang memiliki keluarga penuh kehangatan. Pada bagian itu

diceritakan pula awal jalan masuk Lintang untuk mengenal Indonesia

selain dari versi Ayah dan ketiga teman eksilnya. Ketegangan antara

Lintang dan Dimas diceritakan pada bagian “L’irreparable”,

dikisahkna bahwa Lintang mengenalkan Naryana dan Dimas. Dimas

memandang sebelah mata pada Naryana karena dia termasuk kalangan

“tinggi”, hal itu merupakan awal pemicu renggangnya hubungan

antara Dimas dan Lintang. Pertemuan pertama kali antar Lintang dan

63

Segara Alam, anak dari Hananto Prawiro dan Surti Anandari adalah

langkah awal Lintang menggarap tugas akhirnya diceritakan dalam

bagian “Sebuah Diorama”. Kisah hidup keluarga yang ditinggalkan

eksil diceritakan pada bagian “Bimo Nugroho” dan “Keluarga Aji

Suryo”. Kisah kehidupan keluarga yang selalu ditekan dan dianggap

ikut berdosa untuk menanggung dosa tururan karena pilihan ideologi

salah satu anggota keluarga.

c. Komplikasi

Tahapan komplikasi merupakan tahapan mengidentifikasikan naiknya

sebuah permasalahan dalam cerita. Seperti yang terjadi pada Pulang,

tahapan komplikasi terdapat pada bagian “Terre D’ Asile”, “Ekalaya”,

“Surat-surat Berdarah” dan “Potret yang Muram”. “Terre D’ Asile”

menceritakan kepanikan Dimas dan kawan-kawan yang sedang

ditugaskan ke luar negeri untuk pendelegasian dan tertahan tidak bisa

kembali ke Indonesia. Suasana Indonesia telah memanas karena

beredar kabar pembunuhan para jenderal yang dituduhkan kepada

Partai Komunis Indonesia. Dikisahkan pula perjalanan mereka

sebelum menetap dan berjuang hidup di Paris, Prancis. Pada bagian

“Ekalaya” berkisah tentang kisah tokoh wayang kegemaran Dimas

karena mereka memiliki kesamaan nasib, yaitu penolakan dari yang

diharapkan dapat menerima. “Surat-surat Berdarah” mengkisahkan

ketegangan di Indonesia melalui surat-surat yang dikirim oleh Aji,

Surti, Kenanga, dan Amir untuk Dimas. Kisah “Potret yang Muram”

menjelaskan bahwa Lintang menambatkan hatinya pada Alam, serta

kisah Surti bertahan hidup setelah pemburuan Hananto yang tak

kunjung ditemukan oleh pemerintah.

d. Klimaks

Klimaks merupakan tempat puncak masalah pada cerita. Pada tahapan

ini terlihat masalah-masalah pendukung sebelumnya menemukan titik

64

temu pada bagian klimaks. Tahapan klimaks yang terdapat Pulang ada

di bagian “Vivienne Deveraux” dan “Mei 1998”. Pada bagian

“Vivienne Deveraux” menjelaskan penyebab perceraian pernikahan

Dimas dan Vivienne yang didasari oleh rasa cinta Dimas terhadap

Surti tidak kunjung padam, sehingga selalu mengikat Dimas dengan

segal simbol yang tertuju pada Surti, memaksa Dimas untuk terus

meningat Surti dan berusaha kembali ke Indonesia. “Mei 1998”

merupakan cerita Lintang yang terlibat ke dalam keriuhan demo dan

peristiwa Mei 1998, padahal Lintang baru saja merasa menemukan

tanah kelahiran yang sempat tidak dikenalinya.

e. Peleraian

Turunnya intensitas permasalahan akan ditemui pada sebuah cerita

merupakan tahapan peleraian. Peleraian dalam Pulang ditemuai pada

bagian “Empat Pilar Tanah Air” dan “Flaneur”. Tercetusnya

pembukaan restoran Indonesia yang diberi nama Restoran Tanah Air

sebagai penopang kehidupan ekonomi dan apresiasi eksil terhadap

Indonesia diceritakan pada bagian “Empat Pilar Tanah Air”.

Kemudian mulai membaiknya hubungan antar Dimas dan Lintang

serta ikut andilnya Dimas menanamkan kekuatan Lintang mengenal

Indonesia terdapat pada “Flaneur”.

f. Penyelesaian

Tahapan terakhir untuk menutup sebuah cerita terdapat pada bagian

“Epilog: Jakarta, 10 Juni 1998” yang mengkisahkan kembalinya

Dimas ke Indonesia, ke Karet. Akhirnya pengembaraan Dimas ditutup

dengan pemakaman yang dilakukan di Karet, Jakarta.

B. Kondisi Sosial Eksil

Pulang merupakan satu dari sekian novel yang mengambil sepintas

sejarah dalam pengembangan cerita. Gambaran-gambaran sosial yang

ditampilkan menjadi hal yang lumrah terjadi pada novel yang mengambil latar

65

cerita berdasarkan peristiwa di dunia nyata. Kondisi sosial yang ditampilkan

Pulang menggambarkan kondisi eksil di Prancis akan dibahas dalam tiga

bagian, yaitu: perekonomian, disorganisasi keluarga, dan nilai-nilai sosial.

1. Perekonomian

Perekonomian merupakan salah satu peranan penting bagi kehidupan

manusia, baik secara individu maupun kelompok. Hal tersebut

tergambarkan bagi kaum eksil yang tertahan di luar negeri pasca kejadian

30 September 1965. Saat terjadinya peristiwa itu, Dimas dan Nugroho

mendapat tugas untuk mengikuti konferensi International Organization of

Journalistis di Santiago mewakil kantor Berita Nusantara, dan Risjaf

dikirim ke Havana untuk ikut membantu mempersiapkan konferensi

Organisasi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika untuk tahun 1966. Mereka

bertiga berkumpul di Havana setelah terjadinya peristiwa 30 September,

dan memutuskan pindah ke Peking setelah terjadi pencabutan paspor

Indonesia.

Awal keberadaan tiga eksil di Peking disambut dengan baik, mereka

dibantu dalam segala hal. Selama di Peking, Nugroho yang pernah belajar

sinologi diminta untuk bekerja sebagai penerjemah majalah Peking

Review. Sedangkan Dimas dan Risjaf hanya membantu pekerjaan

seadaanya karena tidak bisa berbahasa Tiongkok.

Dalam waktu sebulan, Mas Nug yang sempat belajar sinologi

di jakarta diminta bekerja sebagai penerjemah majalah Peking

Review. Risjaf dan aku yang sama sekali tidak bisa bahasa

Cina membantu pekerjaan klerek di kantor yang sama.63

Mereka bekerja seadaanya karena yang terpenting adalah mencari

nafkah sebagai bekal perjalanan berikutnya. Akhir 1966 sampai 1968,

ketiga eksil diminta untuk pindah ke pinggiran Peking, Desa Merah,

mendukung Ketua Mao dalam revolusi Kebudayaan.

63

Ibid., h. 73

66

Awal tahun 1968, Dimas memilih pergi ke Paris, Prancis, untuk

bertemu dan bersama Tjai yang sudah ada di Paris semenjak Natal.

Nugroho menjadikan Swiss sebagai tempat persinggahannya, dan Risjaf

memilih Belanda. Tidak beberapa lama keempat eksil Indonesia

berkumpul di Paris. Awal mula hidup di Paris, para eksil berkerja

serabutan, Nugroho yang memiliki keahlian akupuntur yang dipelajari di

Peking mulai mendapatkan pelanggan di Paris. Tjai yang seorang sarjana

ekonomi mendapatkan pekerjaan di beberapa toko kecil sebagai akuntan,

serta Dimas dan Risjaf yang seorang lulusan sastra mendapat pekerjaan

yang berubah-ubah, dimulai dari buruh di restoran, klerek(juru tulis) di

bank, dan asisten kurator di galaeri-galeri kecil. Mereka tinggal di

apartemen kecil dan kumuh di Tere d’ Asile.

Mulailah kami mencari kerja serabutan. Mas Nug yang

mendapat keahlian akupuntur di peking mulai mendapat

pelanggan. Aku baru paham mengapa ia betah betul di Swiss:

karena rata-rata pelanggan yang menggemari akupuntur di

Eropa adalah perempuan. Tjai yang seorang sarjana ekonomi

lebih mudah mendapat pekerjaan di beberapa toko kecil di

pinggir kota Paris sebagai akuntan. Sedangkan Risjaf dan aku

adalah dua pengelana yang paling sial. Kami belajar sastra

karena merasa diri sebagai bagian dari kumpulan intelektual.

Sedangkan Prancis adalah negeri tempat lahirnya para

sastrawan dan intelektual besar yang buku-bukunya menjadi

pedoman dan panutan kami. Tak heran jika Risjaf dan aku

setiap tiga atau empat bulan berubah profesi. Dari pekerja

buruh di restoran, klerek bank, hingga asisten kurator di

galeri-galeri kecil yang hanya dikunjungi tiga atau empat

orang yang sok merasa dirinya seniman.64

Keadaan para eksil di tahun-tahun awal cukup memprihatinkan. Bekerja

serabutan, tanpa peduli pada tanggapan kebutuhan sosial mereka.

Setelah menikah dengan Vivienne dan memiliki anak, Lintang, Dimas

yang awalnya memiliki pekerjaan tidak tetap, diwajibkan untuk mencari

pekerjaan untuk menunjang kontribusinya kepada keluarga. Kebutuhan

64

Ibid., h. 78-79

67

sosial Dimas sebagai kepala keluarga dipertaruhkan karena kebutuhan

ekonomi penunjang kehidupan keluarga tidak dapat ditunaikan secara baik

oleh Dimas. Dimas memutusakan bekerja di Kementerian Pertanian

karena gajinya cukup untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Namun,

Dimas akhirnya keluar dan memutuskan membangun sebuah restoran

bersama ketiga teman eksilnya. Restoran tersebut diberi nama Restoran

Tanah Air. Restoran yang bergerak dalam bentuk usaha koperasi bersama,

termasuk pembagian tips yang dikumpulkan dan dibagikan merata kepada

tiap anggota. Restoran tanah Air memberikan pekerjaan yang tetap dan

menyenangkan bagi tiap eksil, Dimas yang lihai dalam mengolah bumbu

masakan mendapat tugas sebagai juru masak, Tjai yang lihai dalam

hitungan memegang keuangan, Risjag sebagai pengelola acara-acara yang

akan berlangsung di Restoran Tanah Air, dan Nugroho berperan sebagai

pemimpin, membantu pekerjaan ketiga eksil. Berkat berdirinya dan

ketenarannya Restoran Tanah Air di Paris, kehidupan keuangan para eksil

semakin membaik, walau tidak dapat dikatakan berlebihan.

“Sebelum mengepak,” Nug mengeluarkan sebuah amplop

cokelat yang agak gemuk,”ini dari kami semua. Masih dalam

franc, kamu nanti tukar sendiri di Jakarta ya.”

“Iki opo to?” Dimas mengngerutkan kening.

“Jumlah tak terlalu banyak, Lintang,” kata Risjaf, “tapi

lumayan buat jajan. Bagi kami semua, kamu adalah anak.”

Lintang memandang ketiga wajah om bergantian. Tjai

mengangguk membenarkan ucapan Risjaf. Ini gila. Lintang

tahu, mereka bukan orang kaya raya.65

Ekonomi tidak menjadi masalah biaya kehidupan saja, namun menjadi

konflik sosial. Kebutuhan ekonomi sudah memiliki sinergi dengan

kebutuhan sosial, hal itu dapat dilihat dari besarnya pengaruh pekerjaan

eksil bagi kehidupan mereka. Seperti kasus Dimas yang ditekan oleh

Vivienne karena kontribusinya dalam pembiayaan hidup keluarga yang

65

Ibid., h. 269

68

kurang bahkan tidak mencukupi. Kedudukan Dimas sebagai kepala

keluarga tergoyahkan karena kontribusi keuangan keluarga. Gambaran

lain hubungan ekonomi dan kebutuhan sosial terlihat saat para eksil

pertama kali hidup di Paris, mereka mencari pekerjaan apapun demi

mendapatkan bayaran untuk memenuhi kebutuhan hidup, walaupun

pekerjaan tersebut tidak menentu bahkan harus berganti-ganti. Para eksil

mengambil pekerjaan apapun agar kehidupan mereka terus berlanjut, tidak

mempedulikan pekerjaan tersebut patas atau tidak, yang terpenting

kebutuhan sosial terpenuhi.

Kebutuhan sosial terpenuhi dengan baik saat perekonomian para eksil

mulai stabil, mereka bisa bekerja dengan layak sesuai kemampuan dan

keinginan dari masing-masing eksil. Para eksil tidak lagi bekerja serabutan

dan memiliki pemasukan yang tetap karena mengelola Restoran Tanah Air.

Restoran Tanah Air sudah menjadi kebutuhan sosial karena memiliki

mekanisme penerimaan dan penawaran. Para eksil membutuhkan

pekerjaan tetap yang dapat menunjang kehidupan mereka, dan Restoran

Tanah Air merupakan tawaran penyelesaian dari masalah yang terjadi

karena para eksil ingin memiliki pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan

mereka.

Gambaran perekonomian eksil di Prancis pada novel Pulang

mengalami perubahan yang membaik. Semula para eksil hidup terlunta-

lunta melakoni pekerjaan apapun demi mencari nafkah, namun semenjak

berdirinya Restoran Tanah Air semua keadaan ekonomi yang

memprihantinkan dapat dilalui dengan baik. Restoran tanah air merupakan

penawaran yang diterima para eksil atas harapan mereka dari pekerjaan

yang lebih baik, agar kebutuhan ekonomi dan sosial terpenuhi.

2. Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi keluarga merupakan salah satu bentuk kondisi sosial

yang terjadi di masyarakat, terutama pada keluarga yang mengalami

69

peristiwa tertentu, salah satunya keluarga Nugroho Dewantoro dan

keluarga Dimas Suryo yang memiliki latar peristiwa 30 September.

Nugroho Dewantoro menikahi Rukmini sebelum tertahannya di

Prancis karena ia merupakan salah satu anggota partai terlarang pada masa

itu. Ia dan Rukmini dikaruniai seorang putra bernama Bimo Nugroho.

Sebelum kejadian 30 September, Nugroho bersama Dimas diminta untuk

mewakili kantor Berita Nusantra sebagai delegasi konferensi IOJ di

Santiago. Setelah itu ia tertahan di luar negeri, tidak bisa pulang ke

Indonesia. Nugroho kehilangan kontak dengan istri dan anaknya yang

baru berumur satu tahun. Setelah itu singgah di Peking dan baru mendapat

kabar tentang keluarganya dari sang ibu, bahwa istri dan anaknya

bersembunyi di Yogyakarta. Beberapa tahun di Pinggiran Peking, ia

memutuskan untuk singgah ke Swiss sebelum berkumpul dengan teman-

teman eksil di Prancis. Selama di Swiss, Nugroho berselingkuh dengan

seorang istri polisi, Agnes Baumgartner. Alasan Nugroho berselingkuh

dengan Agnes karena nama keluarganya, Baumgartner mempunyai arti

seorang yang memiliki sebidang kebun. Selain itu karena semenjak di

Zurich Rukmini sudah menolak untuk menyusul Nugroho Ke Eropa tanpa

ada alasan yang jelas. Bagi Nugroho, Rukmini adalah anggrek, ia bisa

mengibaratkan seoarang Agnes dengan Rukmini karena kesamaan simbol

dari kedua perempuan tersebut. Keduanya memiliki kesamaan simbol

melalui tumbuhan.

“Kau tahu, Mas, Agnes bukanlah sekedar pasienku.”

“Ya Mas Nug, kau sudah cerita soal jarum, soal paha …”

“Bukan, bukan,” Suara Mas Nug semakin parau dan dia

menggeleng-geleng dengan keras.

Aku memandang matanya yang merah didera kepedihan.

“Agnes Baumgartner adalah nama kelaurganya. Dia tidak

menggunakan nama si polisi. Baumgartner itu berarti seorang

yang memiliki sebidang kebun …”

Lalu?

“Setiap kali aku bercinta dengannya, aku milihat setangkai

70

anggrekku.”66

Prancis merupakan saksi bagi Nugroho kehilangan Anggreknya,

Rukmini menggugat cerai Nugroho karena ingin menikah dengan Letkol

Prakosa, tentara adalah teman ayahnya yang selalu mendampingi Rukmini

selama perburuan tahun 1966-1967.

Bila perceraian Nugroho dan Rukmini disebabkan oleh tidak

berfungsinya peranan seorang suami dalam keluarga karena tertanhannya

Nugroho di Paris, lain hal dengan perceraian yang terjadi pada Dimas dan

Vivienne.

Dimas merupakan pria yang tidak ingin memiliki ikatan dengan

apapun atau siapa pun. Termasuk dengan orang yang dicintainya, baik itu

Surti, mantan kekasihnya, ataupun Vivienne Deveraux, istrinya. Tahun

1968 merupakan awal hari-hari Dimas di Paris, ia berkenalan dengan

Vivienne, seorang mahasiswa Sorbonne yang berdemo. Mereka menjalin

hubungan hingga memasuki jenjang pernikahan dan dikaruniai seorang

anak perempuan, Lintang Utara. Satu prinsip Vivienne dalam pernikahan

adalah tidak adanya perempuan lain di dalam kehidupan Dimas, namun

Dimas selalu menyimpan Surti di hatinya.

Aku lebih tidak tahu lagi mengapa sampai detik ini, setelah

bertemu dengan Vivienne yang jelita dan menikahinya, hatiku

masih bergetar setiap kali mengenang Surti. Barangkali aku

sudah terlanjur memberikan hatiku padanya. Untuk selama-

lamanya.67

Sebelum perceraian Dimas dan Vivienne, keluarga mereka hidup

dengan bahagia. Lintang memiliki struktur dengan fungsi keluarga yang

lengkap, walau memiliki orang tua yang berbeda kebangsaan. Pada ulang

tahun Lintang yang ke sepuluh, masa kritis bagi pernikahan Dimas dan

66

Ibid., h. 107 67

Ibid, h. 65

71

Vivienne karena pertengkaran-pertengkaran tidak bisa dihindari.

Permasalahan ekonomi salah satu pemicu awal ketegangan hubungan

Dimas dan Vivienne, puncak pertengkaran terjadi ketika Lintang

menemukan surat-surat untuk ayahnya dari seseorang di Indonesia, orang

tersebut adalah Surti. Setelah kejadian itu, fungsi Dimas sebagai suami

terputus karena Vivienne meminta perceraian.

Surti adalah lambang aroma kunyit dan cengkih, itu semua

menjadi satu di dalam Indonesia. Malam itu, aku mengatakan

pada Dimas, aku ingin bepisah dengannya.68

Setelah perceraian, hubungan Vivienne dan Dimas membaik, mereka tetap

menjalin komunikasi. Tidak ada yang memutuskan untuk menikah

kembali, menghabiskan sisa hidup dengan sendiri.

Awal perpisahan antara kedua orang tuanya membuat Lintang tidak

bisa menerima keadaan. Ia menunjukannya dengan cara tetap menyiapkan

perlengkapan makan secara sempurna, untuk ibunya, dia, dan untuk

ayahnya, walaupun ayahnya sudah tidak tinggal bersama Lintang dan

Vivienne. Setelah dewasa, Lintang mendambakan keluarga yang hangat

seperti masa kecil sebelum ayah dan ibunya bercerai. Ia lebih senang

menghabiskan akhir pekannya dengan keluarga kekasihnya, keluarga

Lefebvre. Keluarga penuh dengan kehangatan dan kenyamanan sehingga

Lintang merasa tentram di lingkungan keluarga Lefebvre.

Aku lebih suka membantu Tante Jayanti merajang bawang

putih, meracik bumbu, atau memanggang daging, daripada

memasak di apartemen Ayah di Le Marais atau apartemen

Maman.69

Perceraian antara Dimas dan Vivienne memiliki dampak terhadap

psikologi Lintang. Ia rindu kehangatan keluarga dan ketentraman rumah.

Lintang mencari cara menghilangkan kerinduannya dengan bergaul

68

Ibid, h. 216 69

Ibid, h. 148

72

bersama keluarga Lefebvre yang secara kebetulan keluarga campuran

Prancis dan Indonesia seperti keluarganya.

Diorganisasi terjadi pada keluarga Dimas dipicu oleh ketidaksahan

Dimas menjalani peranannya sebagi suami dari Vivienne dan ayah bagi

Lintang. Dimas masih menyimpan hati pada wanita lain selain istrinya,

sedangkan pernikahan di negara manapun menjunjung kesetiaan.

Meskipun Dimas tidak berselingkuh secara lengsung dengan Surti di

Indonesia, namun Dimas terus mendukung Surti melalui surat-surat yang

dikirimkannya. Surat-surat tersebut menjadi bukti nyata bahwa Dimas

selalu menghadirkan dirinya baik dari segi emosi hingga keuangan untuk

membantu kehidupan Surti dan anak-anaknya di Indonesia. Padahal saat

itu keuangan keluarga Dimas pas-pasan bahkan dapat dikatakan sulit.

Dimas mengakui perasaannya melalui pernyataan-pernyataannya

dalam cerita bahwa ia selalu menyimpan hatinya untuk Surti, walau

dahulu ia mundur ketika diminta melangkah lebih serius untuk

berhubungan dengan Surti. Pengakuan tersebut menambah bukti bahwa ia

tidak bisa menjalankan peranannya sebagai suami yang dapat menjaga

hati hanya untuk istrinya seorang.

Bila keluarga Dimas mengalami disorganisasi karena ketidaksahan

peranan Dimas sebagai suami, lain hal dengan keluarga Nugroho.

Disorganisasi yang dialami oleh Nugroho dan Rukmini penyebabnya

adalah ketidakhadiran Nugroho karena tertahan di Paris dan tidak bisa

pulang ke Indonesia, atau bisa dikatakan bahwa Nugroho secara tidak

langsung sedang di penjara. Ketidakhadiran Nugroho sebagai suami dari

Rukmini merupakan pemicu hilangnya peranan ia sebagai suami. Seorang

suami harus dapat menafkahi istri secara lahir dan batin. Namun

tertahannya Nugroho di Paris dengan cap eksil membuatnya tidak bisa

memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Rukmini lebih memilih

73

lelaki lain yang bisa mendampinginya daripada menunggu Nugroho yang

entah kapan bisa kembali ke Indonesia.

Disorganisis dialami keluarga Dimas dan Nugroho berujung pada

perceraian. Pernikahan Dimas dan Vivienne mengalami kegagalan karena

dipicunya kegagalan Dimas menjaga perasaan Vivienne, sedangkan

kegagalan pernikahan Nugroho dan Rukmini dipicu oleh ketidakhadiran

Nugroho untuk memberikan kewajibannya sebagai pelindung keluarga.

3. Nilai-nilai Sosial

Nilai tercipta karena adanya pengalaman individu atau kelompok

dalam menemui sesuatu. Nilai tersebut akan mempengaruhi individu atau

kelompok ketika menentukan sikap. Seperti para eksil ketika menilai

sesuatu hal di luar lingkungan mereka. Menilai tingkah laku dan gaya

hidup individu atau kelompok yang tidak termasuk lingkungan para eksil

menjadi langkah hati-hati saat hidup dipembuangan. Individu dan

kelompok di luar eksil pun memiliki penilaian terhadap hidup kaum yang

dicekal oleh pemerintah Indonesia. Nilai-nilai yang timbul dari para eksil

dipengaruhi dari sebuh prasangka. Prasangka tersebut menjadi penentu

eksil menilai individu atau kelompok di luar kelompok mereka, begitu

juga sebaliknya.

a. Penilaian eksil terhadap Sumarno si Telunjuk

Penilaian eksil terhadap lingkungan di luar mereka banyak

dipengaruhi oleh pengalaman-pengalam dalam menghadapi

ancaman serta tantangan yang disuguhkan setelah tertahannya di

luar negeri. Penilaian eksil terhadap orang lain itu dapat dikatakan

sebuah prasangka, karena eksil tidak mengalami langsung kejadian

peristiwa pasca 30 September di Indonesia. Pada tahapan

pengethuan para eksil kepada objek, sudah termasuk tahapan

kognitif. Seperti saat Sumarno Biantoro, atau “Si Telunjuk” datang

membawa teror untuk anggota Restoran Tanah Air. Dimas dan

74

anggota Restoran Tanah Air sudah menilai negatif kedatangan

Sumarno karena rekam jejak dia terdengar sampai kepada para

eksil. Sumarno seorang seniman yang terkena “sapuan” pasca

peristiwa 30 September, setelah penangkapan dan penyiksaan dia

dibebasakan dan justru membongkar tempat-tempat

persembunyian teman-teman lain yang belum tertangkap, termasuk

Hananto Prawiro, sahabat dekat dari para eksil di Restoran Tanah

Air.

Ketika tikus itu akhirnya menggelinding pergi, Yazir dan

Bahrum buru-buru mengelap meja, kursi, dan gerendel pintu –

semua yang kena sentuhan Sumarno- dengan disinfektan,

seolah-olah tubuhnya mengandung kuman yang menular. Aku

rasa kedua anak itu hanya ikut berpartisipasi saja.70

Sikap yang ditunjukan oleh para eksil terhadap Sumarno

menunjukan ketidaksukaan mereka akan kehadiran individu lain

di luar kelompok mereka merupakan satu bentuk dari tahapan

konatif, hal tersebut dipengaruhi oleh pengaruh kognitif dan

afektif yang sudah ditunjukan sebelumnya oleh para eksil.

b. Penilaian Dimas kepada Naryana Lefebvre

Penilaian Dimas terhadap individu lain yang memiliki nasib

berbeda menjadikannya seorang berkepribadian sinis.

Permasalahan terjadi ketika Dimas bertemu Naryana, kekasih

Lintang yang memiliki kelas sosial berbeda dengan Dimas dan

lingkungannya. Naryana Lefebvre merupakan anak Gabriel

Lefebvre dan Jayatmi Ranti. Ayahnya merupakan pengusaha

berkebangsaan Prancis, dan ibunya merupakan penari asal

Indonesia. Naryana hidup serba berkecukupan, tanpa perlu susah

payah mencari tambahan uang untuk memenuhi kebutuhannya

70

Ibid., h. 126

75

sehari-hari. Dimas menilai Naryana sebagai orang yang pretensius

karena merupakan anak orang kaya sehingga dapat mendapatkan

sesuatu tanpa perlu banyak usaha. Penilaian kognitif Dimas kepada

Naryana didasari oleh lingkungan Naryana yang serba mewah dan

megah, sehingga pengalaman Dimas terhadap orang-orang yang

satu lingkungan dengan Naryana mengatakan bahwa Naryana tidak

akan ada bedanya dengan orang-orang di lingkungannya. Orang

kaya yang suka menghamburkan uangnya untuk hal-hal yang

kurang penting.

“Dia pretensius!” Ayah menyelaku seperti tidak sabar.

Tenyata dia tengah menahan diri untuk tidak memuncratkan

kata-kata yang disampaikannya sejak kali pertama bertemu

dengan Nara. “Dia anak orang kaya, borjuasi yang mudah

mendapatkan apa saja tanpa perjuangan. Mengendarai mobil,

makan di restoran atau bistro termahal di Eropa. Bayangkan,

bertemu dengan Ayah saja kita harus jauh-jauh ke Brussel.

Apa itu tidak prestensius?”71

Penilaian kognitif Dimas terhadap Naryana yang membuatnya

selalu mengevaluasi setiap pilihan dan jawaban yang diberikan

Naryana. Dimas selalu menilai bahwa pilihan Naryana merupakan

pilihan biasa dan mencari jalan aman, sikap ketidaksukaan Dimas

karena prasangka membuatnya selalu tidak setuju atas pilihan-

pilihan yang Naryana berikan. Sikap afektif Dimas itu

menimbulkan kecenderungan untuk menolak pembelaan Lintang

kepada Naryana. Dimas bersikap kaku dan tidak nyaman saat

makan bersama Naryana juga Lintang.

c. Penilaian diplomat muda kepada para eksil

Penilaian yang berbeda dari mayoritas orang-orang dan

lingkungan tempat berada ditunjukan oleh para diplomat muda

71

Ibid, h. 177

76

KBRI di Prancis. Para diplomat muda berteman akrab dengan

Naryana dan Lintang, bahkan mereka membantu Lintang

mengurusi berkas-berkas yang diperlukan untuk mengunjungi

Indonesia. Padahal pada masa itu ada keputusan “Bersih

Lingkungan” dari pemerintah di Indonesia bagi pekerja

pemerintahan. Namun, para diplomat muda tidak mempedulikan

keputusan itu. Mereka beranggapan bahawa tidak ada hubungan

masalah ideologi politik dengan interaksi yang akan dibina.

Penilaian diplomat muda bertolak belakang dengan mayoritas

orang-orang di lingkungan mereka, KBRI atau pemerintah

Indonesia.

“Sorry,” Lintang menggeleng kepala, “mereka agak protektif.

Maklum belum pernah ada orang KBRI yang mengunjungi

restoran ini.”72

Sikap para diplomat muda mengunjungi Restoran Tanah Air

merupakan upaya pemberontakan dari keputusan tidak masuk akal

bagi generasi masa itu. Mereka siap atas konsekuensi yang

didapat atas keputusan tersebut. Termasuk dipandang aneh oleh

pihak KBRI, bahkan oleh para eksil.

Dimas kini paham mengapa para diplomat junior itu berani

datang ke Restoran Tanah Air dan tidak peduli larangan resmi

dari Jakarta. Bukan hanya persoalan lezatnya lezatnya

rendang dan gulai ayam buatannya. Tetapi ini adalah generasi

baru yang merasa tidak bisa didikte oleh sesuatu yang mereka

anggap tidak rasional. Mereka adalah generasi baru yang

cerdas, yang mulai bernai berpikir mandiri. 73

Bagi pemerintah Indonesia, yang dilakukan para diplomat muda

merupakan sebuah kesalahan, tapi bagi penilaian eksil keputusan

mereka merupakan keputusan yang dewasa dan berpikir maju.

72

Ibid., h. 261 73

Ibid., h. 265

77

Tiga penilaian yang dilakukan dari golongan yang berbeda menjadikan

gambaran yang berbeda dari masing-masing sudut. Sikap yang ditujukan

eksil terhadap sumarno si telunjuk di dasari oleh prasangka dengan ciri-

ciri sikap:

a. Kognitif: Mereka mendapatkan kabar bahwa Sumarno merupakan

seorang penunjuk teman-teman seperjuangnnya dalam organisasi

kepada pemerintah agar teman-temannya itu bisa diciduk dan

dihukum.

b. Afektif: Para eksil sangat tidak setuju dengan sikap yang diambil

Sumarno terhadap penunjukan teman-temannya.

c. Konatif: Para eksil menujukan sikap tidak suka kepada Sumarno

dengan cara beragam, seperti Dimas terus-menerus membawa pisau

dapurnya saat Sumarano mengunjungi Restoran Tanah Air atau

anggota lain yang mengikuti setiap gerak-gerik Sumarno selama di

Restoran Tanah Air.

Sikap Dimas terhadap Naryana dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:

a. Kognitif: Pengalaman dan prasangka Dimas menyatakan bahwa

mayoritas orang bergaya hidup seperti Naryana merupakan orang-

orang manja dan borjuis, tidak mengenal kesusahan hidup.

b. Afektif: Dimas selalu menilai setiap hal yang disukai dan ditunjukan

Naryanya merupakan kesalahan dan Dimas tidak setuju dengan setiap

sikap dan pilihan Naryana.

c. Konatif: Dimas selalu memandang sinis dan menutup diri saat

bersama Naryana walaupun ada Lintang menemani pertemua mereka.

Sikap diplomat muda terhada eksil dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai

berikut:

78

a. Kognitif: Penilaian diplomat muda terhadap eksil berbeda dengan

pendapat mayoritas anggota KBRI yang menganggap bahwa eksil

harus dihidari.

b. Afektif: Diplomat muda bergaul dengan Lintang, anak Dimas,

bahkan membantu Lintang mengurus dokumen-dokumen keperlukan

untuk mengunjungi Indonesia, dan mereka mendatangi Restoran

Tanah Air untuk bergaul serta menikmati hidangan di Restoran itu.

c. Konatif: Diplomat muda dengan akrab berbicara dan terbuka

terhadap eksil, walaupun mereka tahu keputusan mendekakan diri

kepada eksil akan mendapat pandangan sinis oleh anggota KBRI lain,

bahkan hukuman dari pemerintah pusat di Indonesia.

C. Kondisi Politik Eksil

1. Kekuasaan

Kekuasaan identik dengan pengaruh, pemaksaan, dan otoritas yang

dilakukan individu atau kelompok tertentu terhadap individu atau

kelompok lain. Kekuasaan yang ditunjukan novel Pulang adalah kekuatan

dari pemeritahan Orde Baru, dimulai dari jatuhnya pemerintahan Soekarno

dan diambil alih oleh Soeharto. Selama pemerintahan Orde Baru, semua

hal berbaru “kiri” harus diasingkan. Termasuk orang-orang tertuduh

memihak kepada PKI akan dianggap ancaman dan harus dihilangkan.

Nasib keluarga dan sanak saudara yang ditinggalkan bahkan dilahirkan

setelah kejadian 30 September mendapat “dosa turunan” yang didapatkan

dari anggota keluarga yang memiliki hubungan PKI.

Dimas meninggalkan ibu dan adiknya, Nugroho meninggalkan istri

dan anaknya, sedangkan Tjai justru membawa istrinya keluar dari

Indonesia karena dia yakin keluarga Tionghoa salah satu orang-orang

yang akan ditangkap dan diasingkan. Dimas, Nugroho, dan Risjaf

merupakan anggota dari tim Berita Nusantara yang sedang mendapat tugas

di luar negeri saat kejadian 30 September, setelah kejadian itu berlangsung

79

beberapa hari dan terjadi pembantaian serta pencidukan bagi orang-orang

yang memiliki hubungan dengan PKI, dan untuk yang berada di luar

Indonesia hukumannya adalah pencabutan paspor.

Setelah pencabutan paspor, para eksil mendapat pencekalan dengan

tidak diberikannya izin atau visa untuk sekadar mengunjungi Indonesia.

Tahun demi tahun berlalu. Namun, selama masih masa Orde Baru

berlangsung, visa untuk para eksil tidak pernah turun. Untuk Dimas, Tjai,

dan Nugroho, visa mengunjungi Indonesia tidak pernah didapatkan walau

mereka sudah menggunakan paspor Prancis. Namun, setelah beberapa

tahun, Risjaf akhirnya mendapat visa untuk berkunjung ke Indonesia,

walau dengan pengawalan ketat dari Intel Indonesia.

Aku baru menyadari bahwa setiap tahun Ayah rutin mencoba

mengajukan permohonan visa untuk masuk ke Indonesia.

Tentu saja sebagai seorang yang mendapat suaka politik Ayah

–seperti juga kawan-kawannya- seduah menggunakan paspor

Prancis. Namun, berbeda dengan Om Risjaf yang entah

bagaiman bisa mendapat visa, permohonan Ayah, Om Nug,

dan Om Tjai selalu ditolak.74

Pemerintah Indonesia masa Orde baru tidak hanya cukup dengan

pencabutan paspor dan penolakan visa, pemerintahan mengeluarkan

peraturan bahwa orang-orang KBRI di Prancis melarang anggota untuk

berinteraksi dan mengunjungi restoran milik para eksil. Bagi pemerintah

di Indonesia hal tersebut merupakan salah satu cara untuk menunjukan

sikap Bersih Lingkungan. Sikap yang melarang anggota instansinya

memiliki hubungan dengan anggota atau keluarga yang memiliki anggota

PKI.

“Nara,” katanya dengan nada seorang ibu menegur anak

berusia lima tahun, “Om Marto menyebut-nyebut soal Bersih

Lingkungan.”

74

Ibid, h. 195-196

80

Nara tertawa terkekeh-kekeh. Aku mengenali tawa itu.

Ekspresi kejengkelan. “Tante, Om Marto dan om lain tak

akan ditegur Pusat hanya karena Lintang datang ke acara

fashion show kebaya Kartini. Tenang, tante.”75

Kekuasaan pemerintahan Soeharto terus menjegal kepulangan para

eksil Restoran Tanah Air. Pemerintahan mempertahankan kekuasaann

dengan mengadakan sistem-sistem kepercayaan seperti penyeabaran

peraturan Bersih Lingkunagn di kalangan pegawai pemerintahan. Sistem

kepercayaan tersebut mengkokohkan kedudukan rezin Orde Baru untuk

terus bertahan dan menyingkirkan peraturan-peraturan yang sebelumnya

telah berlaku. Pemerintah membuat dukungan untuk melanjutkan

kekuasaan dengan beberapa cara, tidak hanya sekadar menanamkan

kepercayaan Bersih Lingkungan di kalangan pegawai, tapi mengadakan

kosolidasi di bidang-bidang pemerintahan dengan menaruh keluarga-

keluarga memimpin di ranah yang strategi.

2. Nasionalisme

Mencintai dan berkontribusi untuk negara sendiri tidak hanya bisa

dilakukan saat individu atau kelompok berada di negaranya. Nasionalisme

yang tertanam dapat diterapkan ketika individu atau kelompok berada di

mana pun, termasuk kasus yang terjadi pada eksil politik tahun 1965 di

Prancis. Para eksil tertahan di Prancis karena pencabutan paspor dan

penolakan visa. Namun, mereka selalu berusaha kembali ke tanah

kelahiran. Para eksil juga selalu memantau keadaan Indonesia melalui

siaran-siaran berita yang sering mereka tonton. Walaupun ditolak oleh

pemerintahan Indonesia, mereka tidak merasa ditolak oleh Indonesia.

Sikap nasionalisme ditunjukan para eksil dengan menerapkan sistem

koperasi pada bidang mata pencarian meraka, yaitu membuka restoran

masakan Indonesia. Serta membuat pergelaran budaya, seperti bedah buku,

75

Ibid., h. 163

81

pagelaran seni dan hal lainnya. Sikap nasionalisme pun ditunjukan warga

Indonesia non eksil yang berada di sekitar Eropa. Mereka ikut membantu

menyumbang berdirinya Restoran Tanah Air. Kontribusi eksil ditunjukan

dengan kesedian Dimas mengisi dan menulis kolom Tahanan Politik

walau saat itu ia menjadi eksil di Prancis.

“Tjai juga akan membuat riset bentuk usaha apa yang ingin

kita bangun, apakah PT atau ko…”“Koperasi. Sudah pasti

koperasi!” kata Tjai tegas.

“Oke, koperasi,” kata Mas Nug dengan patuh hingga aku

bertanya-tanya, siapa sesungguhnya yang lebih ditakuti dalam

kelompok ini.76

Rasa nasionalisme juga terarah kepada keinginan kembali ke

Indonesia walau para eksil tertahan bertahun-tahun dan telah menetap di

Paris. Namun, tanggapan untuk kepulangan meraka berbeda-beda.

Nugroho sudah merasa nyaman dan merasa tenang untuk menghabiskan

masa hidupnya di Paris. Tjai masih ingin terus mencoba kembali ke

Indonesia meski tidak untuk menetap. Sedangkan Risjaf yang berhasil

mendapatkan visa Indonesia, tidak cukup tertarik karena dia sudah

memiliki Istri dan anak di tempat pembuangnnya. Dimas adalah satu-

satunya orang yang tetap memiliki harapan kembali ke Indonesia

walaupun kekuatan pemerintahan Orde Baru tetap kokoh dan belum bisa

digantikan. Dimas menginginkan jasadnya dikembumikan di Karet,

Jakarta, meski belum diketahui saat itu pemerintahan Orde Baru akan

runtuh. Indonesia adalah tempat dia merasa pulang, tempat yang ia kenal

harum tanahnya.

Sikap nasionalisme tidak hanya bisa ditunjukan dengan berada di

Indonesia, sikap yang ditunjukan para eksil dapat dikategorikan menjadi

nasionalisme jarak jauh. Mereka menunjukan rasa nasionalisme dengan

76

Ibid., h. 103

82

membuka rumah makan masakan Indonesia di Paris, menggunakan sistem

koperasi sebagai wadah bagi Restoran Tanah Air, hingga menggelar acar-

acara budaya Indonesia di restoran tersebut. Sebuah sikap mencintai tanah

air yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Mereka tetap mencintai dan

menghargai Indonesia dengan memberikan kontribusinya di luar

Indonesia.

D. Implikasi di Sekolah

Pembelajaran sastra di sekolah sudah seharusnya membangun kondisi

siswa menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dalam memperluas

pengatahuan di bidang sosial, karena karya sastra banyak dipengaruhi oleh

realitas yang terjadi pada dunia nyata. Kecakapan hidup dikelompokan

menjadi lima bagian: kecakapan mengenali diri atau personal, kecakapan

berpikir, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan kejuruan.

Lima kecakapan tersebut masuk dalam ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah

psikomotorik. Ranah kognitif berhubungan dengan tingkat keceradaan peserta

didik yang telah dicapai. Ranah afektif berhubungan dengan sikap atau

tingkah laku yang ditunjukan peserta didik dalam pembelajaran. Ranah

psikomotorik berhubungan dengan perkembangan peserta didik dalam

menerapkan nilai-nilai yang didapat dalam kebiasaannya di kehidupan sehari-

hari.

Berdasarkan kajian terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori,

kompetensi dasar yang dapat digunakan pembelajaran di sekolah adalah

menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik dari pembacaan penggalan

novel pada tingkat SMS/MA kelas XII semester satu dalam aspek

mendengarkan. Pembelajaran unsur instrinsik dan ektrinsik pada novel

Pulang dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami perasaan,

imajinasi, kepekaan serta pemahaman terhadap lingkungan sekitar.

Ranah kognitif dapat dilihat dari kemampuan peserta didik memahami

dan menafsirkan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik yang terkandung dalam

83

pembacaan penglaman novel. Setelah diketahui kemampuan pengatahuna

peserta didik dalam memahami, guru mengamati sikap dan tingkah laku

peserta didik selam pembelajaran berlangsung. Bagaimana keterlibatan

peserta didik selama pembelajaran, apakah peserta didik aktif, atau justru

peserta didik tidak tertarik dengan pembahasan yang dipelajari. Pengetahuan

dan sikap dapat ditunjukan dalam pembelajaran berlangsung kemudian

dilanjutkan dengan pengamatan guru terhadap nilai-nilai yang dapat peserta

didik terapkan untuk membangun kebiasaan sehari-hari. Peranan guru dalam

mengawasi peseta didik tidak hanya terjadi saat pembelajaran di kelas saja.

Namun, dilakukan pula kontrol lapangan untuk membuat kebiasaan baru agar

membangun peserta didik menjadi individu yang lebih baik setelah

pembelajaran usai.

Bila dikaitkan antara pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di

sekolah dengan kajian novel Pulang karya Leila S. Chudori, peserta didik

dapat menjadikan novel Pulang sebagai objek kajian untuk membahas unsur

intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam novel Pulang memiliki

keragamanan untuk dipahami, mulai dari tema, alur, tokoh dan penokohan,

sudut pandang, serta gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Untuk

kajian ekstrinsik, peserta didik dapat mengambil kajian sosial, baik latar sosial,

kondisi, atau peristiwa sosial yang terjadi. Pembahasan intrinsik dan ektrinsik

yang dilakukan peserta didik dapat menumbuhkan kepekaan terhadap

lingkungan sosial, sikap kepekaan tersebut dapat berupa sikap toleransi,

mengahargai, dan tangung jawab. Guru berperan penting dalam mengarahkan

peserta didik untuk menafsirkan data-data temuan dalam penerapan di

kehidupan sehari-hari. Terkadang pembelajaran hanya berakhir dalam

memahami saja, tanpa tahu bagaimana pesan yang dapat diterapkan di

kehidupan sehari-hari yang dialami peserta didik.

Novel Pulang memiliki kaitan latar sejarah Indonesia pada peristiwa

1965 dan 1998. Guru Bahasa dan Sastra Indoesia harus memiliki wawasan

84

seputar sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada latar novel tersebut.

Pembelajaran peristiwa tersebut berhubungan dengan pembelajaran sejarah di

sekolah, kaitannya dengan peristiwa G30S dan Mei 1998. Tugas guru Bahasa

dan Sastra Indonesia adalah berkoordinasi dengan guru sejarah untuk

menyatukan pemahaman seputar kejadian peristiwa tersebut, agar tidak terjadi

perbedaan pendapat dalam menanggapi peristiwa tersebut sehingga

menimbulkan kebingungan peserta didik dalam memahami peristiwa sejarah

Indonesia. Metode yang digunakan dalam pembelajaran memahami unsur

ektrinsik dapat digunakan metode tematik, yaitu menyatukan tema

pembelajaran antara pelajaran Bahasa dan Sastra Indoensia dengan

pembelajaran sejarah melalui pembahasan latar sejarah peristiwa G30S atau

Mei 1998. Kolaborasi pembelajaran juga membuka peluang untuk peserta

didik melebarkan wawasan baru dengan membaca literatur yang berkaitan

dengan peristiwa tersebut. Dengan demikian kolaborasi antara pelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia dengan sejarah menjadi pembelajaran menarik

dan memudahkan siswa untuk memahami kedua mata pelajaran sekaligus.

85

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

NAMA SEKOLAH SMA/MA .......................

MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia

KELAS /SEMESTER XII (dua belas) / 1 (satu)

PROGRAM

ASPEK

PEMBELAJARAN

Mendengarkan

STANDAR

KOMPETENSI

Memahami pembacaan novel

KOMPETENSI DASAR Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dari

pembacaan penggalan novel

Indikator Pencapaian Kompetensi

Nilai Budaya

Dan Karakter

Bangsa

Kewirausahaan/

Ekonomi Kreatif

Menjelaskan unsur-unsur –unsur intrinsik dan

ekstrinsik dalam penggalan novel yang

dibacakan.

Kreatif

Bersahabat/

komunikatif

Gemar

membaca

Keorisinilan

Kepemimpinan

ALOKASI WAKTU 3 x 45 enit

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN Siswa mampu menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan

ekstrinsik dari pembacaan penggalan novel

MATERI POKOK

PEMBELAJARAN

Pembacaan penggalan novel

Unsur-unsur intrinsik novel

Unsur-unsur ektrinsik novel

METODE PEMBELAJARAN

1. Diksusi

2. Presentasi

KEGIATAN PEMBELAJARAN

TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN Nilai Budaya Dan

86

Karakter Bangsa

PEMBUKA

(Apersepsi)

Siswa diajak untuk mengingat kembali cerita

penggalan novel yang telah dibacanya pada

pertemuan sebelumnya. Guru membantu

mengingatnya dengan melontarkan beberapa

pertanyaan.

Guru menyatakan bahwa dalam cerita novel

tersebut terdapat unsur-unsur cerita yang

menarik untuk dibahas

Bersahabat/

komunikatif

INTI

Pertemuan ke-1

Eksplorasi

Guru meminta siswa menyebutkan dan

menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik

yang membangun cerita novel

Guru menjelaskan secara lebih mendetail

beberapa unsur intrinsik yaitu karakter tokoh dan

latar cerita yang akan menjadi fokus pembahasan

Guru menjelaskan secara lebih detail beberapa

unsur ekstrinsik yaitu keadaan sosial masyarakat.

Seorang siswa yang ditunjuk Guru membacakan

sebuah penggalan novel sementara siswa yang

lain menyimaknya.

Elaborasi

Siswa berdiskusi kelompok untuk

mengidentifikasi dan menjelaskan unsur-unsur

intrinsik dan ekstrinsik novel yang telah

didengarkannya.

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:

Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum

diketahui

Menjelaskan tentang hal-hal yang belum

diketahui.

Kreatif

Pertemuan ke-2

Elaborasi

Secara bergantian, setiap kelompok ke depan

kelas mempresentasikan hasil diskusinya.

Kelompok lain diberi kesempatan untuk

memberikan tanggapan.

Guru memberikan ulasan dan tanggapan atas

setiap hasil presentasi kelompok.

Guru menyimpulkan unsur-unsur intrinsik dan

Kreatif

87

ektrinsik novel yang dibahas.

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:

Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum

diketahui

Menjelaskan tentang hal-hal yang belum

diketahui.

PENUTUP

(Internalisasi dan

refleksi)

Siswa menjawab soal-soal Kuis Uji Teori untuk

mereview konsep-konsep penting tentang unsur-

unsur intrinsik dan ektrinsik novel yang telah

dipelajari

Siswa merefleksikan nilai-nilai serta

kecakapan hidup (live skill) yang bisa dipetik

dari pembelajaran

Gemar membaca

SUMBER BELAJAR

Pustaka rujukan Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk

SMA kelas XII karya Alex Suryanto dan Agus

Haryanto terbitan ESIS 2007

Pulang karya Leila S. Chudori

Biografi Leila S. Chudori

Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiyantoro

Material: VCD,

kaset, poster

Mediacetak dan

elektronik

Website internet https://www.leilaschudori.com

Narasumber

Model peraga

Lingkungan Lingkungan masyarakat sekitar siswa

PENILAIAN

TEKNIK DAN BENTUK

Tes Lisan

V Tes Tertulis

V Observasi Kinerja/Demontrasi

V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio

V Pengukuran Sikap

88

Penilaian diri

INSTRUMEN /SOAL

Tugas untuk menganalisis dan mengidentifikasi unsur-

unsur intrinsik penggalan novel melalui berdiskusi.

Tugas mempresentasikan hasil diskusi kelompok

Daftar pertanyaan Kuis uji teori untuk mengukur

pemahaman siswa atau konsep-konsep yang telah dipelajari

1. Apa yang dimaksud dengan unsur intinsik dan

ekstrinsik?

2. Sebutkan dan jelaskan unsur intrinsik novel Pulang

karya Leila S. Chudori?

3. Sebutkan dan jelaskan unsur ektrinsik novel Pulang

karya Leila S. Chudori?

RUBRIK/KRITERIA

PENILAIAN/BLANGKO

OBSERVASI

...............,...................

Mengetahui,

Kepala SMA/MA Guru Mata Pelajaran

........................... ...................................

NIP./NIK. NIP./NIK.

89

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian terhadap novel Pulang karya Leila S. Chudori

dapat disimpulkan beberahap hal sebagai berikut:

1. Kondisi sosial dan politik eksil yang digambarkan pada novel Pulang

terdiri sebagai berikut:

a. Kondisi sosial terdiri dari perekonomian, diorganisasi keluarga dan

nilai-nilai sosial. Perekonomian yang dibangun para eksil diawali

dengan permintaan mereka memiliki perkerjaan yang tidak hanya

mampu menopang kehidupan. Namun, pekerjaan yang sesuai dengan

kemampuan. Dari tahap permintaan itu timbul penawaran pembuatan

restoran yang mampu memberikan pekerjaan tetap serta sesuai dengan

keinginan para eksil. Disorganisasi keluarga yang terjadi pada eksil

dialami oleh Dimas dan Nugroho. Dimas mengalami ketidaksahan

peranan sebagai seorang suami menjaga perasaannya hanya untuk istri,

sedangkan disorganisasi yang dialmi Nugroho karena

ketidakhadirannya sebagai sosok suami dan ayah karena tertahan di

Prancis. Keduanya mengalami diorganisasi keluarga berujung pada

perceraian. Nilai-nilai sosial tergambarkan pada penilaian para eksil

terhadap Sumarno “si Telunjuk”, Dimas terhadap kehidupan Naryana,

dan para diplomat muda KBRI Prancis terhadap para eksil. Penilaian

terhadap tiga hal tersebut dipengaruhi oleh tiga sikap prasangka yang

terdiri dari sikap kognitif, afektif, dan konatif.

b. Kondisi politik terdiri dari kekuasaan dan nasionalisme. Kekuasaan

yang ditunjukan pemerintahan Orde Baru, pertama melalui cara

menanamkan kepercayaan atau ideologi kepada pegawai pemerintahan

dengan membuat peraturan Bersih Lingkungan. Kedua melalui cara

90

mengubah peraturan lama dengan peraturan baru, seperti pencabutan

paspor dan menolakan visa terhadap eksil. Nasionalisme jarak jauh

yang ditunjukan oleh para eksil dengan membangun restoran masakan

Indonesia yang diberi nama Restoran Tanah Air dengan menggunakan

sistem Koperasi. Para eksil tetap berkontribusi dalam pengembangan

kebudayaan dengan ikut menulis yang berhubungan dengan Indonesia

dan membuat acara-acara budaya di restoran. Keinginan pulang para

eksil pun terus tertanam di hati, walaupun kekuasaan Orde Baru masih

kokoh bertahan.

2. Implikasi yang dapat diterapkan dari novel Pulang di sekolah merupakan

kecakapan hidup yang ikut membangun perasaan, imajinasi, kepekaan

serta pemahaman terhadap lingkungan sekitar dengan menerapkan ranah

kognitif, afektif, dan psikomotorik.

B. Saran

Berdasarkan hasil dan implikasi penelitian, maka ada beberapa saran yang

bisa menjadi masukan untuk kedepannya.

1. Pendidik harus dituntut dapat memperluas pengetahuan, tidak hanya

seputar pendidikan dan kebahasaan. Namun, pengetahuan-pengetahuan

umum yang berkaitan dengan pembelajaran.

2. Pendidik dapat lebih kreatif dalam menyampaikan materi agar peserta

didik lebih antusias dan memahami dalam menerima materi yang didapat.

3. Pendidik sebaiknya dapat membimbing peserta didik untuk memahami

nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dari karya

sastra yang telah dibahas.

4. Pendidik dan orang tua seharusnya dapat memberikan contoh kepada

peserta didik untuk dapat bertoleransi terhadap perbedaan.

5. Pendidik dan orang tua seharusnya ikut membantu peserta didik

menumbuhkan minat baca karya sastra dengan memfasilitasi bacaan dan

keragaman bahan bacaan.

91

DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, Ahmad, “Kondisi Sosial dan Politik di Indonesia pada Zaman Pendudukan

Jepang dalam Empat Novel Indonesia: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra”,

Tesis pada Pascasarjana Universitas Indonesia: 2006. Tidak dipublikasilaan.

Budianta, Melani dkk.. Membaca Sastra: Pengentar Memahami Sastra untuk

Perguruan Tinggi. Indonesia Tera: Magelang. 2006

Chudori, Leila S.. 9 dari Nadira. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012

-------------------. Malam Terakhir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012

-------------------. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: editum. 2013

Dw. De.. “Leila Selalu Pulang”. 2013. ( http://www.dw.de/)

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013

Hasil wawancara pribadi dengan Leila S. Chudori tanggal 28 Oktober 2014.

Landis, Judson R.. Sociology: Concepts and Characteristics. California: Wadworth

Publishing Company. 1971

Leila S. Chudori. “Tentang Leila”. 2014. http://www.leilaschudori.com/

Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia. 2005

Moleong, Lexy J..Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosada

Karya. 1999

Mudzakkir, Amir. “Eksil Indonesia dan Nasionalisme Kita”. Makalah disampaikan

dalam seminar PSDR-LIPI pada Selasa, 3 Desember 2013 di LIPI, Jakarta

Neubeck, Kenneth J. and Davita Silfen Glasberg. Sosiology: Diversity, Conflict, and

Change. New York: McGraw-Hill. 2005

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University

Perss. 2013

92

Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia. Leila S. Chudori. 2013.

(http://www.penerbitkpg.com/)

Philipus, Ng. dan Nuril Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada. 2009

Robert, Robertus. “Pulang, Nostalgia, Harapan, dan Kebebasan”. Makalah

disampaikan dalam acara musyawarah buku Pulang, karya Leila S. Chudori, di

Serambi Salihara,29 Januari 2013

Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta

Soeharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. 2008

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008

Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial.

Bandung: PT ERESCO. 1995

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007

Syani, Abdul. Sosiologi: Sematika, Teori, dan Penerapan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

2012

Takwin, Bagus. “Mencermati Naratif Novel Pulang”. Makalah disampaikan dalam

acara musyawarah buku Pulang, karya Leila S. Chudori, di Serambi Salihara,

29 Januari 2013

Taman Ismail Marzuki. Leila S. Chudori. 2013.

(http://www.tamanismailmarzuki.com/)

The Jakarta Post. Leila s. Chudori: Khatulistiwa Award winner’s commitment to the

writing process. 2014. http://www.thejakartapost.com/

Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesuasastraan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama. 1993

Worsley, Peter (ed.). Pengantar Sosilogi: Sebuah Pembanding (Jilid I). Yogyakarta:

PT. Tiara Wacana Yogya. 1991