RENCANA STRATEGIS 2015 - 2019 REHABILITASI DAN...

70
RENCANA STRATEGIS 2015 - 2019 REHABILITASI DAN PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI SELURUH ANAK INDONESIA, MELALUI PENINGKATAN PERAN DAN TANGGUNGJAWAB KELUARGA SERTA MASYARAKAT DIREKTORAT REHABILITASI SOSIAL ANAK DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI SOSIAL KEMENTERIAN SOSIAL RI 2015

Transcript of RENCANA STRATEGIS 2015 - 2019 REHABILITASI DAN...

RENCANA STRATEGIS 2015 - 2019

REHABILITASI DAN PERLINDUNGAN SOSIAL ANAK

MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI

SELURUH ANAK INDONESIA, MELALUI PENINGKATAN

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB KELUARGA

SERTA MASYARAKAT

DIREKTORAT REHABILITASI SOSIAL ANAK

DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI SOSIAL

KEMENTERIAN SOSIAL RI

2015

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Convention on The Rights of The Child ( CRC/KHA ) merupakan instrumen/

hukum internasional tentang hak-hak anak. Indonesia telah meratifikasi KHA

melalui Kepres No 36/1990. Negara yang telah meratifikasi sebuah konvensi

maka negara tersebut terikat secara yuridis dan politis.

Secara Yuridis, dengan telah meratifikasi KHA, Indonesia memiliki kewajiban

untuk mengembangkan sistem nasional kesejahteraan dan perlindungan anak

dalam bentuk kebijakan, peraturan perundang-undangan, strategi dan program

yang selaras dengan kewajiban negara dalam konvensi. Undang-Undang No 23

tahun 2002 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang No. Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Revisi atas Undang-Undang Nomor 23 tahun

2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan salah satu perwujudan

kewajiban negara dalam melaksanakan keterikatan secara yuridis sebagai

konsekuensi dari ratifikasi hukum internasional. Dalam proses penyusunan

undang-undang tersebut, menjadikan Konvensi Hak Anak menjadi rujukan

utama, selain norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia.

Secara politis, negara berkewajiban secara aktif mengembangkan sistem yang

dapat menjamin terciptanya kesejahteraan dan perlindungan anak. Oleh karena

itu, konvensi mewajibkan negara untuk menjadikan prinsip non-diskriminasi,

kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsung hidup, dan

perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak harus masuk

dalam semua perencanaan nasional dan kebijakan di level pemerintah dan

parlemen, termasuk menjamin penyediaan anggaran yang memadai untuk

perlindungan anak. Hak-hak anak merupakan bagian integral dari HAM, berkaitan

2

dengan peranan negara, maka tiap negara mengemban beberapa kewajiban yaitu :

melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill ) dan menghormati (to respect).

Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak merupakan salah satu Unit Eselon II dari

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI yang

melaksanakan pembangunan di bidang kesejahteraan dan perindungan sosial

anak. Mandat untuk melaksanakan kebijakan perlindungan anak antara lain

diberikan kepada Kementerian Sosial sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor

11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial pasal 1 (15) dan 24 (2) yang

mengamanatkan Kementerian Sosial sebagai kelembagaan pemerintah yang

diberi mandat menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Pasal 6 Undang-Undang

tersebut menyuratkan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara lain

mencakup perlindungan sosial, termasuk didalamnya perlindungan sosial

terhadap anak. Oleh karena itu Kementerian Sosial melalui Direktorat

Kesejahteraan Sosial Anak memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan

kesejahteraan sosial anak dan perlindungan anak.

Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak pada Kementerian Sosial RI, seperti diatur

dalam Keputusan menteri Sosial Ri No 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan

Tata kerja Kementerian Sosial, mempunyai tugas melaksanakan penyiapan

perencanaan program, perumusan kebijakan teknis, standardisasi, pelaksanaan

perumusan kebijakan teknis dan pemberian bimbingan teknis serta evaluasi di

bidang Kesejahteraan Sosial. Adapun Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak

melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,

standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi

di bidang kesejahteraan sosial anak. Tugas tersebut menjadi dasar untuk

merumuskan arah kebijakan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dalam

melaksanakan kebijakan nasional tentang kesejahteraan dan perlindungan anak.

Sehubungan dengan hal tersebut fungsi dari Direktorat Kesejahteraan Sosial

Anak meliputi :

a. Perumusan kebijakan di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan

pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial

3

anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan

kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan

khusus;

b. Pelaksanaan kebijakan di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan

pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial

anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan

kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan

khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang kesejahteraan

sosial anak balita dan pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak

terlantar, kesejahteraan sosial anak berhadapan dengan hukum,

kesejahteraan sosial anak dengan kecacatan dan kesejahteraan sosial anak

yang membutuhkan perlindungan khusus;

d. pemberian bimbingan teknis di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan

pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial

anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan

kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan

khusus;

e. evaluasi pelaksanaan kegiatan di bidang kesejahteraan sosial anak balita dan

pengangkatan anak, kesejahteraan sosial anak terlantar, kesejahteraan sosial

anak berhadapan dengan hukum, kesejahteraan sosial anak dengan

kecacatan dan kesejahteraan sosial anak yang membutuhkan perlindungan

khusus; dan

f. pelaksanaan urusan tata usaha, perencanaan program dan anggaran,

kepegawaian, dan rumah tangga Direktorat.

Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang 35 tahun 2014 atas perubahan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, maka

penyelenggaraan perlindungan anak dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial

4

anak merupakan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, serta tanggung

jawab masyarakat.

Rencana Strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Tahun 2015-2019

merupakan dokumen perencanaan yang memuat program-program

pembangunan di bidang Kesejahteraan Sosial Anak yang akan dilaksanakan

langsung oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak maupun dengan

memberikan dukungan dan advokasi kepada Kementerian teknis terkait,

pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat untuk berperan aktif selama

kurun waktu lima tahun.

Renstra Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak memuat visi, misi, tujuan, strategi,

kebijakan, program, dan kegiatan, indikator-indikator kinerja capaian

pembangunan nasional sesuai dengan tugas dan fungsi Direktorat

Kesejahteraan Sosial Anak. Rernstra ini disusundengan menyesuaikan pada

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM–Nasional) dan

bersifat indikatif. Alasan penting perlunya dilakukan penyusunan Rencana

Strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, adalah sebagai aturan resmi

dalam pelaksanaan pembangunan selama 5 (lima) tahun kedepan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disusun Rencana strategis Direktorat

Kesejahteraan Sosial Anak dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Perlindungan

Anak.

B. Maksud dan Tujuan,

Maksud penyusunan Renstra Rehabilitasi Sosial Anak adalah membuat acuan

guna menyatukan persepsi, pemahaman dan komitmen dari beragam pemangku

kepentingan (stakeholders) tentang visi, misi, tujuan, strategi, sasaran utama,

kebijakan dan Program rehabilitasi sosial yang didasarkan pada Renstra

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial dan Renstra Kementerian Sosial tahun

2015-2019

1. Tujuan

Tujuan penyusunan Renstra Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Tahun

2015-2019, adalah:

5

a. Menjadikan dasar acuan penyusunan kebijakan di bidang Rehabilitasi dan

perlindungan sosial anak;

b. Terciptanya keterpaduan dan keserasian dalam kegiatan rehabilitasi dan

perlindungan sosial anak dengan pembangunan kesejahteraan sosial

anak;

c. Sebagai pedoman dan alat pengendalian kinerja dalam pelaksanaan

program dan kegiatan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak;

d. Sebagai bahan rujukan bagi pimpinan dalam pengambilan keputusan

terkait dengan perencanaan dan penganggaran.

2. Sasaran

Tersusunnya Rencana Strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak yang

memuat analisis lingkungan internal dan eksternal, SWOT Analysis, visi, misi,

tujuan, sasaran, strategi operasional, kebijakan, program, dan kegiatan yang

memuat indikator-indikator kinerja capaian pembangunan nasional sesuai

dengan tugas dan fungsi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak

3. Indikator Hasil/ Rencana Tindak Lanjut

Indikator output Renstra Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak adalah

tersedianya Dokumen Rencana Strategis yang diselesaikan tepat waktu dan

memenuhi kaidah-kaidah penyusunan ilmiah dengan menggunakan

pendekatan Manajemen Strategik (Strategic Management).

Indikator hasil yang ingin dicapai meliputi:

a. Meningkatnya aksibiitas dalam pemenuhan hak dasar anak dalam

keberfungsian sosial sebesar 5%

b. Meningkatnya sistem dan kualitas pengasuhan anak dalam keluarga dan

pengasuhan alternative 5 % pertahun

c. Meningkatnya peran dan tanggungjawab keluarga dalam pengasuhan

anak rata-rata 10 % pertahun

6

d. Meningkatnya Lembaga Kesjahteraan Sosial Anak dan komunitas dalam

perlindungan sosial anak rata-rata 3 % pertahun

e. Meningkatnya sumber daya manusia Pekerja Sosial/Sakti Peksos, TKSA

dan Petugas LKSA dalam pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial

Anak sebanyak 10 % per tahun

f. Meningkatnya Sistem Data PKSA berbasis IPTEK yang dapat diakses oleh

masyarakat sebesar 5 % per tahun

g. Meningkatnya implementasi produk hukum dalam perlindungan dan

rehabilitasi sosial anak rata-rata sebanyak 3 % per tahun

Hasil Renstra yang telah disusun akan disosialisasikan kepada seluruh

pejabat dan karyawan di lingkungan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak

dan stakeholders yang terkait.

C. Metode Penyusunan Renstra

Perencanaan strategis adalah proses yang dilakukan suatu organisasi

untuk menentukan strategi atau arahan, serta mengambil keputusan untuk

mengalokasikan sumber dayanya (termasuk modal dan sumber daya

manusia) untuk mencapai strategi ini (http://id.wikipedia.org/wiki/

Rencana_strategis)

Substansi renstra meliputi Visi, Misi dan Nilai-nilai; Analisis Lingkungan

Stratejik (PLI, PLE, KAFI, KAFE); Faktor-faktor Kunci Keberhasilan (FKK);

Renstra dan Rencana Kinerja Tahunan

Berbagai teknik analisis manajemen strategis dapat digunakan dalam proses

ini, termasuk analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats),

PEST (Political, Economic, Social, Technological), atau STEER (Socio-cultural,

Technological, Economic, Ecological, Regulatory). (http://id.wikipedia.org/

wiki/Rencana strategis). Dalam penyusunan Renstra Direktorat Kesejahteraan

Sosial Anak digunakan analisis SWOT

7

Gambar 1.1. Diagram ilustrasi analisis SWOT.

Analisis SWOT (singkatan bahasa Inggris dari "kekuatan"/strengths,

"kelemahan"/weaknesses, "kesempatan"/opportunities, dan "ancaman"/threats)

adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi

kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam suatu program/ proyek.

Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari program/ proyek dan

mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak

dalam mencapai tujuan tersebut.

Merujuk pada metode penyusunan renstra Unicef (2007), flow diagram berikut

menunjukkan kerangka teoritis dan pertimbangan praktis, termasuk kendala

kontekstual, membantu menentukan kebutuhan informasi. Kebutuhan ini

kemudian dijabarkan dalam ke dalam indikator yang dapat diukur dan akhirnya

metode dan alat/ perangkat.

"Teori"

Sejumlah rujukan memberikan arahan mengenai pertanyaan yang hendaknya

diajukan dan karenanya, membantu kita dalam menentukan kebutuhan

informasi:

Kerangka analitis (analytical framework) menyajikan teori hierarki kausal dan

hubungan antar faktor yang mempengaruhi masalah atau isu tertentu.

Kerangka analitis didasarkan pada akumulasi pengalaman dan studi empiris.

Kerangka analitis digunakan untuk mengorganisasikan dan menganalisis data

8

yang ada, yang menggiring kita pada kesenjangan informasi yang utama, dan

kemudian memberi bingkai pertanyaan untuk memandu pengumpulan data.

Kerangka itu menunjukkan sebab dan akibat yang mungkin atau akan ada

dari pertanyaan mengapa hak-hak tertentu dilanggar, pemangku kepentingan

yang menuntut dan melindungi hak-hak tersebut, dan kesenjangan kapasitas

pemangku kepentingan yang harus didalami.

Standar dan patokan (Standards and benchmarks) menyediakan referensi

mengenai kondisi yang diharapkan atau dikehendaki. Standar dan patokan ini

membantu kita membandingkan keadaan saat ini dengan pengalaman lain,

mengukur tingkat keadaan, dan menjadi referensi dalam mengambil

keputusan tentang bidang prioritas intervensi.

Pengalaman sebelumnya (Previous experience) membantu kita merumuskan

kemungkinan isu, pertanyaan, dan masalah yang perlu diselami.

Perangkat / checklist yang ada (Checklists/existing tools) biasanya

didasarkan pada hal di atas dan juga membantu menentukan informasi

apakah yang mungkin diperlukan dalam keadaan tertentu.

"Kenyataan di Lapangan "

Membingkai kebutuhan informasi bukanlah suatu hal yang abstrak.

Pertimbangan praktis juga memberi bentuk pada pilihan atas data apa yang

diperlukan. Hal ini mencakup hal berikut:

Pertanyaan prioritas yang jawabannya diperlukan para pengelola di berbagai

tingkatan, baik yang mengenai keadaan umum yang membantu membentuk

desain program ataupun yang mengenai kinerja program.

Ketersediaan informasi, baik secara internal maupun secara eksternal,

termasuk beberapa pertimbangan mengenai kualitas informasi itu;

Kapasitas organisasi kita sendiri mitra dan mitra potensial untuk mendukung

pengumpulan data serta kapasitas pemangku kepentingan yang utama dalam

hal waktu, kepentingan, dan potensi terlibat secara aktif.

Pengaruh kendala kontekstual

Seluruh konteks memiliki kendala praktis tambahan. Dalam konteks yang stabil,

bahkan mobilitas musiman akan sangat menentukan kelayakan (feasibility)

9

pengumpulan data lapangan. Dalam konteks krisis atau ketidakstabilan, kendala

tersebut menyangkut akses, keamanan, dan kejaran waktu. Kendala seperti itu

tidak hanya mempengaruhi keluasan namun juga mutu dari apa yang tersedia.

Lebih banyak isu lagi yang semata-mata menjadi terlalu sensitif sehingga

pengumpulan data yang benar kurang dimungkinkan. Apa yang penting

diketahui berdasarkan pada teori maupun kenyataan di lapangan—pada

akhirnya disaring menurut apa yang mungkin diketahui.

D. LANDASAN HUKUM

1. Undang-Undang Dasar 45 Pasal 34 ayat (1) tentang fakir miskin dan Anak-

Anakterlantar dipelihara oleh Negara.

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1979 tentang Pengadilan Anak.

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4235);

6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Republik Indonesia

Nomor 4967);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4165) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4165);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4578);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

10

Nomor 4593);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah Pada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada (Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4693);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, Dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20 Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4816);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan

Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 68, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5294);

15. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan

Kapasitas Pemerintahan Daerah

16. Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan;

17. Peraturan Menteri Sosial Nomor 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal

Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota;

18. Peraturan Menteri Sosial Nomor 20/HUK/2016, tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Sosial Republik Indonesia;

19. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan

Anak di Lembaga Rehabilitasi Sosial Anak;

20. Keputusan Menteri Sosial Nomor 80/HUK/2010 tentang Panduan Perencanaan

Pembiayaan Pencapaian SPM bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah

Kabupaten/Kota;

11

21. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2004 tentang pertimbangan Keuangan Pusat dan

Daerah.

22. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Rehabilitasi Sosial Anak

Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah.

23. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengerahan Convention On The

Rights Of Child ( Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) yang ditetapkan di Jakarta pada

tanggal 25 Agustus 1990

24. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan

Anak.

25. Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 Th 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan

Anak.

26. Kesepakatan Bersama Antara Kementerian Sosial, Hukum dan HAM, Pendidikan

Nasional, Kesehatan, Agama dan POLRI tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum

A. HUBUNGAN RENSTRA, RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH

KEMENTRIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) DAN DOKUMEN PERENCANAAN

LAINNYA

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (Bab I, Pasal 1) menyatakan bahwa perencanaan adalah

suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan

pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sehubungan

dengan hal tersebut, pencapaian pembangunan nasional dijabarkan dalam

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagai acuan perencanaan

pembangunan 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

sebagai acuan perencanaan pembangunan 5 tahun dan Rencana Kerja

Pemerintah (RKP) sebagai acuan perencanaan pembangunan tahunan.Rencana

Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial tahun 2015 - 2019 merupakan

pedoman bagi semua jajaran pembangunan kesejahteraan sosial dalam

berkoordinasi antara pusat dan daerah di bidang kesejahteraan sosial akan

berakhir masa berlakunya pada tahun 2019. Evaluasi pelaksanaan pembangunan

selama kurun waktu tersebut dijadikan bahan acuan dalam penyusunan Rencana

12

Kkerja Kementerian/Lembaga Tahunan untuk menyusun RPJM 2015-2019 sesuai

ketentuan yang berlaku.

Rencana Strategis Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak sebagai perencanaan yang

berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1- 5 tahun

sehubungan dengan tugas dan fungsi Kementerian Sosial melalui Direktorat

Rehabilitasi Sosial Anak, berpedoman pada RPJM dan telah memperhitungkan

perkembangan lingkungan strategis serta substansi program dalam merespon

berbagai masalah sosial dan mengantisipasi berbagai upaya yang dapat

dilakukan Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak bersinergi dengan masyarakat, lintas

sektoral (instansi terkait dan LKSA) dan dunia usaha.

B. PENGERTIAN

1. RENSTRA : perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai

dalam kurun waktu 1- 5 tahun sehubungan dengan tugas dan fungsi Satker

RPJPN

(20 Tahun)

RPJMN

(5 Tahun)

RKP

(1 Tahun)

Renstra Kemsos

(5 Tahun)

Renja Satker

(1 Tahun)

jadi

pedoman

jadi pedoman

menjadi masukan

dijabarkan

menjadi masukan

jadi acuan

Renstra Satker

(5 Tahun)

13

yang disusun dengan memperhitungkan perkembangan lingkungan

strategis.

2. VISI : rumusan umum mengenai suatu keadaan yang diinginkan pada akhir

periode perencanaan yang dirumuskan untuk memberi arah kemana dan

bagaimana suatu satker harus dibawa agar tetap eksis dan dapat berkarya

secara konsisten, antisipatif, inovatif dan produktif.

3. MISI : rumusan umum mengenai upaya-upaya yang perlu diemban oleh

satker untuk mencapai visi yang ditetapkan sejalan dengan tujuan

organisasi.

4. TUJUAN : rumusan yang menjelaskan arah pelaksanaan visi, ditetapkan

sesuai dengan tugas, fungsi dan peranan organisasi.

5. SASARAN : penjabaran dari tujuan secara terukur yang akan dicapai secara

nyata oleh Satker dalam jangka waktu tertentu (5 tahun).

6. STRATEGI : Langkah-langkah yang berisikan program-program indikatif untuk

mewujudkan visi dan misi.

7. KEBIJAKAN : arah/tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan.

8. PROGRAM : kumpulan kegiatan-kegiatan nyata, sistematis dan terpadu yang

dilaksanakan oleh satu atau beberapa Satker dan masyarakat guna

mencapai sasaran dan tujuan.

C. SISTEMATIKA PENULISAN

Berdasarkan substansi sajian tersebut, maka naskah Rencana Strategis disusun

dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini menguraikan pokok-pokok pikiran yang

meliputi (1) Latar belakang tentang pentingnya penyusunan Rencana Strategis

(RENSTRA) Rehabilitasi sosial Anak, (2) Maksud dan tujuan disusunnya Rencana

Strategis (RENSTRA) Rehabilitasi Sosial Anak, (3) Landasan hukum yang

memuat berbagai komitmen, regulasi dan legislasi nasional yang relevan dengan

Rencana Rehabilitasi Sosial Anak, (4) Hubungan Renstra Rehabilitasi sosial

dengan dokumen perencanaan lainnya dan (5) Sistematika penulisan.

14

Bab II Gambaran Umum Kondisi Rehabilitasi Sosial Anak. Berisikan

tentang : (1) Kondisi umum yang sudah dijalankan pada periode pembangunan

sebelumnya, (2) Isu-isu strategis dan (3) Kondisi yang diinginkan dan proyeksi

ke depan.

Bab III Struktur Organisasi dan Tata Kerja. Berisikan tentang : (1)

Struktur Organisasi, (2) Tugas dan Fungsi, (3) Susunan Kepegawaian dan

Perlengkapannya serta hal-hal lain yang relevan.

Bab IV Visi, Misi, Tujuan, Strategi dan Kebijakan Rehabilitasi sosial

Tuna Sosial. Bab ini menguraikan tentang : (1) Visi dan misi Rehabilitasi sosial

tuna sosial yang akan dicapai pada lima tahun mendatang yang dilandasi oleh

nilai-nilai kerja, (2) Tujuan yang ingin dicapai, (3) Kebijakan dan (4) Strategi

yang akan digunakan (5) Sasaran utama serta (6) Indikator kinerja Rehabilitasi

sosial Anak.

Bab V Program dan Kegiatan. Bab ini berisikan sajian tentang Program

rehabilitasi sosial anak yang terdiri atas program-program dalam cakupan

lokalitas direktorat ditambah program lainnya yang bersifat lintas direktorat dan

kewilayahan, sebagaimana ditetapkan dalam Renstra Kementerian Sosial dan

Direktorat Jenderal Rehabilitasi sosial 2015-2019. Sajian pada bab ini akan

mencakup keadaan, tujuan, sasaran, kegiatan pokok. Fokus sajian pada bab ini

terutama ditujukan pada penajaman prioritas permasalahan dan sasaran, serta

pendayagunaan manajemen sumber dan mekanisme pengelolaannya.

E. Bab VI Penutup. Naskah RENSTRA Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Sosial

Tahun 2015-2019 ini diakhiri dengan suatu uraian penutup yang memuat

urgensi, manfaat dan kaidah pelaksanaan RENSTRA Rehabilitasi sosial Anak bagi

para pengambil keputusan, penanggungjawab program dan pelaksana

Rehabilitasi sosial tuna sosial serta himbauan kepada para pelaku pembangunan

kesejahteraan sosial untuk ikut serta secara aktif dalam pelaksanaan

pembangunan kesejahteraan sosial anak

15

BAB II

GAMBARAN UMUM

REHABILITASI SOSIAL ANAK

A. PERKEMBANGAN MASALAH SOSIAL

Berdasarkan Hasil Survey Hasil Kekerasan Terhadap Anak yang dilakukan

UNICEF bekerja sama dengan Pusdatin, Kesos. (2013), disebutkan bahwa

dari 600.000 anak – 1,5 juta anak, telah dilakukan survey kepada anak laki-

laki dan perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sekian anak tersebut

sebagai sample terdapat 1 anak dari 4 anak laki-laki mengalami kekerasan

fisik oleh orang dewasa, 1 anak dari 8 anak laki-laki mengalami kekerasan

emosional dan 1 anak

dari 12 anak laki-laki

mengalami kekerasan

seksual. Sedangkan anak

perempuan disebutkan

bahwa 1 (satu) anak

dari 7 anak perempuan

mengalami kekerasan

fisik, 1 dari 9 anak

perempuan mengalami

kekerasan emosional dan

1 dari 19 anak

perempuan mengalami kekerasan seksual. Jumlah anak Indonesia usia di

bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 orang. Sedangkan menurut data

nasional Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tahun 2012

menyebutkan bahwa Anak yang mengalami kasus keterlantaran (anak

telantar) sebanyak 3.115.177 jiwa (6,76 persen), Balita terlantar 1.224.168

anak (susenas), Anak Berhadapan Hukum/Anak Nakal 146.228 dan anak

16

jalanan sebanyak 134.903 anak (dinsos th. 2012) dan anak penyandang

disabilitas sebanyak 532.130 anak (Pusdatin. 2013)

Informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial

(2008), selain anak yang terlantar, terdapat anak yang berhadapan dengan

hukum sebanyak 295.763 jiwa, anak dengan kecacatan sebanyak 189.075

jiwa, anak korban kekerasan sebanyak 182.406 jiwa, anak yang bekerja

sebanyak 5.201.1452 jiwa, anak jalanan sebanyak 232.894 jiwa.

Grafik di atas dapat dijelaskan bahwa PKSA telah dilaksanakan sejak tahun

2010 hingga tahun 2015 dimana dalam kurun waktu selama 5 atau 6 tahun

walauppun berdampak terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak,

tetapi belum mengalami perubah yang signifikan. Dalam hal peganggaran

dan jumlah sasaran pada awal tahun 2010 berjalanannya PKSA sasaran

anak sebanyak 147.321 dengan anggaran 271, 227 milyar, sedangkan

sampai tahun 2015 ini Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak telah

memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap anak yang

bermasalah sebanyak 981.747 jiwa.

Dibandingkan dengan anggaran tahun 2008 mengalami penurunan 5% dan

dalam 3 tahun terakhir rata-rata menurun 3,4 %. Akibatnya jumlah sasaran

anak yang dapat dibantu juga mengalami penurunan. Kondisi ini merupakan

kondisi pada umumnya di berbagai kementrian dan lembaga negera,

mengingat keterbatasan anggaran negara yang terkena dampak dari krisis

ekonomi dan harga minyak dunia yang fluktuatif meningkat.

17

Lima Klaster Anak PKSA

3.657

532.1301,2 juta

2,9 juta

5.900

ABT –Anak Balita

Terlantar

ABH –Anak

Berkonflik dengan

Hukum

APD –Anak Penyandang

Disabilitas

AMPK –Anak Memerlukan

Perlindungan Khusus

Anak Jalanan LKSA

Dari 2,9 juta Anak

Terlantar, terdapat 34.400

Anak Jalanan (STKS,

2014)

Sebagian Antar tinggal di

5,166 LKSA. Mereka masih

punya ORTU (60%); Yatim

(24%), Piatu (3%) dan Yatim

Piatu (5%)

Sakti Peksos

Ada 670 Sakti Peksos yang

mendampingi anak dan

LKSA

Sumber: Pusdatin (2013), BPS (2012); Dit KSA (2015)

ANTAR/ANJAL

Anak Terlantar/

Anak Jalanan

Gambar 2.1. Data Lima Klaster Anak PKSA tahun 2015

Sumber : BPS, Pusdatin dan Dit. KSA.

Dalam kondisi demikian terdapat potensi dana yang berhasil dapat digali

untuk pembiayaan program perlindungan anak antara lain dari lembaga

swadaya masyarakat antara lain kerjasama dengan Unicef, Save the

Children, ILO, IOM, Plan Indonesia, World Vision Indonesia, Child Fund, dan

lembaga lainnya.

Walaupun sudah ada dukungan dana hasil kerjasama luar negeri, jangkauan

pelayanan (coverage rate) dari pemanfaatan dana APBN hanya mencapai

sekitar 1,8 persen, KLN sekitar 0,7 persen, APBD sekitar 1,2 persen dan

Dana Usaha Kesejahteraan Sosial sekitar 0,8 persen. Dalam kondisi anggaran

dan coverage rate layanan yang terbatas dan stagnan, mengakibatkan

pertumbuhan masalah anak semakin meningkat. Pada tahun 2000,

persentase anak terlantar sebesar 5,3 %, meningkat menjadi 5,4 % pada

tahun 2003 dan data terkahir tahun 2006 menjadi 6,5 %. Sementara itu,

sumber pendanaan bertumpu hanya dari APBN, KLN, APBD, ormas, orsos,

dan LSM.

18

Hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan

perlindungan anak, banyak ditemukan permasalahan yang bervariasi baik di

Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kebanyakan Daerah belum

mengalokasikan anggaran secara khusus untuk penyelenggaraan

kesejahteraan sosial dan perlindungan anak karena dianggap anggaran di

bidang sosial masih dianggap suatu pemborosan dan dianggap tidak

menghasilkan. Pembangunan kesejahteraan sosial, seperti pengembangan

anak sebagai investasi SDM bangsa, justru sangat menentukan keberhasilan

pembangunan ekonomi dan daerah pada masa yang akan datang.

Daerah yang menjamin kesejahteraan anak adalah daerah yang mempunyai

visi ke depan, untuk memajukan daerahnya. Masa depan suatu daerah

terletak pada komitmen untuk menjamin kesejahteraan anak, karena anak

yang sejahteralah yang kelak akan menjadi putera terbaik daerah, yang akan

menjadi pemimpin masa depan, yang dapat membawa daerahnya menjadi

lebih baik, bahkan terbaik dibanding daerah lain. Jadi daerah yang ingin maju

selayaknya memastikan terwujudnya kesejahteraan anak yang baik pula.

Anggaran yang dapat dimanfaatkan untuk program perlindungan anak

tahun 2015 antara lain bersumber dari APBN sebesar Rp. 326.993.078.000.

Anggaran itu dialokasikan untuk pusat sebesar Rp 101.067.028.000,

anggaran untuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) senilai Rp 83.957.757.000, dan

dana dekonsentrasi (Dekon) sebesar Rp. 141.968.293.000.

Anggaran tahun 2015 terdapat penambahan pagu yang berasal dari Hibah

Luar Negeri (HLN) kegiatan UNICEF dan Child Helt Internationla (CHI)

sebesar Rp. 2.138.484.000

B. Permasalahan

Akibat dari modernisasi dan globalisasi yang tidak dapat dibendung selama

ini, maka jangkauan dan mengalami kesenjangan, sehingga masalah anak

terlantar, anak yang diekploitasi, korban kekerasan, anak berhadapan hukum,

19

anak yang memerlukan perlindungan khuusus, anak jalanan, dan anak

dengan disabilitas yang diperlakukan salah semakin meningkat.

Selain adanya kekeliruan dalam kebijakan Kesejahteraan Sosial Anak, saat ini

cenderung pelayanan sosial kepada anak sektoral/ fragmentaris,

mengembangkan program berdasarkan trend isu aktual, jangkauan pelayanan

terbatas, reaktif dan berorientasi pada krisis, fokus pada pendekatan institusi/

panti sosial dan menciptakan ketergantungan keluarga dan masyarakat, serta

belum adanya rencana strategis nasional yang dapat diajukan acuan bagi

pemangku kepentingan dalam mewujudkan upaya-upaya perlindungan

kepada anak.

Tujuan utama rehabilitasi dan perlindungan sosial anak adalah memperkuat

pengasuhan keluarga atau menghindarkan keterpisahan anak dari keluarga,

kecuali dalam kasus yang dengan jelas bertentangan dengan kepentingan

terbaik anak. Pengasuhan keluarga adalah pengasuhan yang dilakukan oleh

keluarga inti (orang tua termasuk ayah/ibu tiri) atau keluarga besar anak

seperti kakek, nenek, paman, dan bibi atau kerabat anak.

Alasan ekonomi dan kemiskinan tidak boleh menjadi alasan bagi penempatan

anak dalam pelayanan panti. Semua organisasi yang menyediakan pelayanan

sosial bagi anak-anak yang tergolong rentan, termasuk panti asuhan, harus

memberikan/menfasilitasi bantuan bagi kebutuhan pengasuhan anak dalam

keluarga mereka secara individual, termasuk bantuan keuangan dan

psikososial agar anak tidak ditempatkan di panti karena alasan ekonomi. Jika

keluarga dinyatakan tidak mampu memberikan pengasuhan pada anak karena

berbagai alasan, termasuk yang bertentangan dengan kepentingan terbaik

anak, maka pengasuhan berbasis komunitas harus menjadi alternatif

pengasuhan yang terlebih dahulu diprioritaskan bagi anak.

Pengasuhan alternatif merupakan pengasuhan berbasis komunitas yang

dilaksanakan oleh pihak-pihak di luar keluarga inti (orang tua, termasuk

ayah/ibu tiri) atau keluarga besar (kakek, nenek, paman, bibi) atau kerabat

20

anak (kinship). Pengasuhan berbasis komunitas ini dilakukan melalui sistem

orang tua asuh (fostering), wali (guardianship) atau adopsi (adoption) dan

pada pilihan terakhir adalah panti asuhan (residential care). Pengasuhan

tersebut, kecuali adopsi, bersifat sementara. Apabila setelah melalui asesmen,

orang tua atau keluarga besar atau kerabat anak dianggap sudah mampu

untuk mengasuh anak, maka anak akan dikembalikan kepada mereka.

Kebijakan yang bertumpu pada sistem panti asuhan berdampak jangkauan

pelayanan menjadi terbatas dan kualitas pelayanan sangat tergantung pada

upaya yang dilakukan panti tersebut, yang umumnya kurang melibatkan

orang tua/ keluarga dan masyarakat.

Secara lebih jelas, faktor-faktor penyebab rendahnya jangkauan dan kualitas

pelayanan sosial kepada anak sebagai berikut:

1. Pelayanan sosial kepada anak cenderung sektoral dan

fragmentaris. Sumber daya pembangunan di bidang perlindungan dan

kesejahteraan anak didistribusikan kepada berbagai kementrian dan

lembaga negara dan tidak dikelola secara terpadu. Masing-masing pihak

melaksanakan program berdasarkan kepentingan dan target-target

sasaran masing-masing, tanpa upaya untuk mensinegiskan sasaran

strategis, sehingga pada tataran implementasi di daerah sering terjadi

tumpang tindih. Akibatnya menjadi tidak efisien dan efektif.

2. Pengembangan program cenderung berdasarkan trend isu aktual.

Permasalahan anak yang dinamis direspon dengan berbagai program

sektoral dan kurang memperhatikan sasaran strategis pemenuhan hak-hak

anak secara menyeluruh. Hal ini juga disebabkan adanya isu dan

kepentingan donor dari berbagai lembaga international, baik organisasi-

organisasi PBB maupun lembaga international non pemerintah.

21

3. Sumber daya pelayanan terbatas. Dengan sumber daya yang terbatas

dan dikelola secara sektoral, mengakibatkan jangkauan pelayanan sosial

bagi anak menjadi terbatas. Pada sisi lain laju pertumbuhan masalah anak

meningkat terus. Hal ini disebabkan percepatan pertumbuhan masalah

anak tidak diikuti dengan percepatan jangkauan pelayanan sosial bagi

anak. Rendahnya jangkauan dan kualitas Kesejahteraan Sosial Anak

mengakibatkan perkembangan masalah anak tanpa asuhan orang tua

(anak terlantar), anak yang diekploitasi, korban kekerasan dan

diperlakukan salah semakin meningkat. Keterbatasan jangkauan

pelayanan sosial bagi anak, disebabkan alokasi sumber daya

pembangunan, termasuk dana masih sangat terbatas dan cenderung

dialokasikab berdasarkan incremental analysis.

4. Program dibuat cenderung reaktif dan berorientasi pada

pemecahan masalah krisis. Program dan kegiatan yang dikembangkan

oleh berbagai sektor cenderung reaktif, misalnya ketika sedang ramai

dibicarakan masalah perdagangan anak, maka semua sektor

mengembangkan program penanggulangan perdagangan anak. Padahal

masalah anak berkembang demikian kompleks, bukan hanya masalah

perdagangan anak, namun masalah lainnya juga berkembang sedemikian

rupa, seperti perlakuan salah, diskriminasi, eksploitasi dan penelantaran

5. Fokus pelayanan bertumpu pada pendekatan institusi/ panti

sosial dan cenderung mengabaikan pendekatan keluarga dan

masyarakat. Merespon masalah anak cenderung didorong

penyelesaianya dimasukkan ke panti, sehingga tanggung jawab orang tua

dan keluarga semakin melemah.

Untuk memahami gap antara kondisi saat ini dengan kondisi yang diharapkan

dilakukan gap analysis sebagai berikut:

22

Tabel 2.1. Gap Analysis antara Kondisi Saat ini dan Kondisi yang

diharapkan

Dimensi

Kondisi Saat Ini

Kondisi yang Diharapkan

Perspektif

analisis

masalah &

kebutuhan

- Pendekatan Patologis

- Melihat masalah

sebagai hambatan

fungsi sosial/ penyakit

social

Pendekatan Hak Anakdan HAM

umumnya, sehingga negara

mempunyai kewajiban dalam

mempromosikan, memenuhi dan

melindungi hak dasar anak.

Pola

operasional

layanan

- Pendekatan kolektivitas

- Institutional/ residential

care & long term based

care

- Pendekatan individual & respon

keberagaman kebutuhan

- Continum care (primary

prevention, family suport &

protective services for target

beneficiares)

Keberlanjutan

layanan

- Fokus pada individu dan

kurang memperhatikan

tanggung jawab orang

tua/ saudara/keluarga/

dan komunitas

- Layanan keluarga

bertumpu pada

pemberdayaan ekonomi

keluarga

- Layanan bersifat

fragmentaris & sektoral

- Layanan terbatas/ hit

and run

- Masalah yang ditangani

mengikuti trend/ isu

actual

- Continum care (anak,

ortu/keluarga, komunitas

- Pelayanan anak (child protective

services, intensive family suport,

out-home care)

- Pelayanan keluarga (home care,

kinship care, foster parent care,

guardianship care, adoption,

residential care)

- Pelayanan remaja & komunitas

(gerakan nasional tanggung

jawab keluarga dalam

pengasuhan dan perlindungan

anak, youth services, pendidikan

masyarakat, penyebarluasan

informasi, advokasi dan

kampanye sosial)

Penerima

Manfaat

- anak balita, anak

terlantar, anak jalanan,

anak putus sekolah,

anak nakal, anak cacat,

anak yang

diperdagangkan, anak

dalam situasi darurat

- anak balita, anak tanpa asuhan

orang tua, anak dgn kecacatan,

anak berhadapan dgn hukum,

anak yg memerlukan

perlindungan khusus

23

Dimensi

Kondisi Saat Ini

Kondisi yang Diharapkan

Pengelola

Direktorat

Direktorat Kesejahteraan

Sosial Anak :

- Subdit Kesos. Anak

Balita

- Subdit Kesos. Antar dan

Anak Jalanan

- Subdit Kesos. Anak

Berhadapan Hukum

- Subdit Kesos. Anak

Dengan Kecacatan

- Subdit Kesos. Anak

Membutuhkan

Perlindungan Khusus

Direktorat Rehabilitasi dan

Perlindungan Sosial Anak :

- Subdit Pelayanan Sosial Anak

Balita

- Subdit Rehabilitasi Sosial Anak

Terlantar

- Subdit Rehabilitasi Sosial Anak

Berhadapan dengan Hukum

- Subdit Rehabilitasi dan

Perlindungan Anak Yang

Membutuhak Perlindungan

Khusus

- Subdit Kelembagaan Rehabilitasi

Sosial Anak

Sistem

penetapan

target

sasaran/

target

beneficiaries

- berdasarkan kriteria

dalam pedoman

operasional/ Juklak/

Juknis

- diserahkan ke lembaga

atau dinsos

Penerima Manfaat:

- data Program Perlindungan

Sosial (hasil PPLS)

- database Panti Sosial

- data sasaran LSM/ Yayasan

Ortu/ Keluarga

- maching targeting

- maching lokasi

Lembaga Kesos Anak

- Data regristasi & database Panti

Sosial

- Seleksi LKS

Pemerintah Daerah

- Lokasi pengembangan model

- Lokasi prioritas nasional

Pengelola UPT

- Panti Sosial Asuhan

Anak

- Panti Sosial Bina

Remaja

- Panti Sosial Petirahan

Anak

- Panti Sosial Marsadi

Putra

- Taman Anak Sejahtera/

Kelompok Bermain

- Rumah Perlindungan

Sosial Anak

- FKKADK

- LPA

- Pusat Asuhan Anak

- Pusat Pengembangan Remaja

- Pusat Perlindungan Anak

Sekolah

- Pusat Perlindungan Anak

Berhadapan Dengan Hukum

- Taman Balita Sejahtera/

Kelompok Bermain

- Rumah Perlindungan Sosial

Anak

- Optimalisasi fungsi PSR Paca

bagi Anak dengan Kecacatan

(<18 tahun)

- Optimalisasi fungsi PSR Korban

Napza (< 18 tahun)

- Optimalisasi fungsi PSR Karya

Wanita (< 18 tahun)

24

Dimensi

Kondisi Saat Ini

Kondisi yang Diharapkan

Peran UPT

- Fungsi terbatas, jika

ada multifungsi layanan

- longterm care atas

dasar kebutuhan

pendidikan

- Jenis vocational training

terbatas dan sejenis

(umumnya bengkel,

jahit, salon)

- Layanan kepada

keluarga dan

masyarakat terbatas

- Multifungsi bagi target

beneficiares (satu rumpun

karakteristik masalah/ sasaran &

multi metode)

- PSAA, PSBR, TPA

- PSMP, PSPA, RPSA

- SDC & Daarud Saadah

- PRS Paca (dewasa dan Anak)

- PRS Tuna Sosial

- PRS Lansia & Anak

- Temporary shelter & early

intervention berbasis case

management

- Peningkatan keberagaman

vovational training dan terapi

(musik, olah raga, melukis, tari,

jenis keterampilan sesuai

kebutuhan pasar)

- Pusat layanan kepada keluarga

(family suport) dan masyarakat

- outreaching, tracing, home visit,

family mediation, family

preservation, family

reunification, reintegrasi,

sosialisasi/ awarness raising,

kampanye sosial, dll.

- Pusat Ekonomi Produktif

Kondisi yang diharapkan merupakan refleksi adanya paradigma baru yang

hendaknya dapat dipahami dan diimplementasikan oleh Direktorat KSA,

Pemerintah Daerah, LSM /Orsos dan Instansi terkait. Paradigma baru ini

akan lebih banyak membawa manfaat bagi Pemerintah Daerah dan

masyarakat dibanding paradigma lama. Paradigma baru mendorong

penyelenggaraan kesejahteraan anak menjadi lebih efektif dan efisien.

Dalam jangka panjang, paradigma tersebut merupakan penghematan

anggaran secara signifikan, karena menekankan pada pelayanan yang

terkoordinasi dan system yang terintegrasi, komprehensif, prioritas pada

aspek pencegahan, berfokus pada penguatan anak dan keluarga (bukan

panti) melalui Temu Penguatan Keluarga dan Anak (TEPAK). Paradigma ini

juga dapat memperkecil timbulnya permasalahan anak khususnya dan

25

masalah social umumnya, karena fokusnya lebih pada pencegahan. Untuk

mempercepat terjadinya perubahan paradigma dalam peningkatan

kesejahteraan dan perlindungan anak diperlukan manajemen strategik, yang

meliputi rencana strategis dan pengembangan indikator kinerja untuk

mengetahui implementasi dari perubahan paradigma dimaskud.

Selanjutnya dalam rangka memahami hubungan antara kondisi eksternal dan

intrenal, digunakan analisis SWOT, sebagai berikut:

Tabel 2.2. Analisis SWOT

Ekternal

Internal

Tantangan 1. Masalah sosial dan hak anak (5

cluster) 2. Tgg jawab ortu , kelg , masy

( pengasuhan alternatif ) 3. Jangkauan dan Mutu

Pelayanan Sosial Dasar ( kes , dik , sos )

4. Kelembagaan nas - lok era otda

Peluang 1. NGO nas - lok - inter 2. Lembaga PBB ( konvensi

int’l) 3. Stake Holder (KOMNAS

PA, KPAI, LPA, instansi , dunia usaha , PT)

4. Perkembangan IPTEK ( Sosial )

Kekuatan 1. Legislasi (Konvensi, UU,

PerUU, PP, Kepmen, Permen)

2. Komitmen dan Kapasitas SDM

3. Sarana & Prasarana 4. Kerjasama dgn pihak luar

Strategi Utama Sosialisasi , promosi , kampanye

sosial dan publikasi , KIE Advokasi sosial & bant hukum Fasilitasi dan Peningkatan

kapasitas kelembagaan Pemberdayaan dan Penguatan

fungsi keluarga Koordinasi lintas pelaku

Strategi Kerjasama Penguatan, Pengembangan

kerjasama serta kemitraan strategis

Pengembangan model pelayanan berbasis iptek

Mobilisasi sumber & pemberdayaan stakeholder/mitra kerja

Kelemahan 1. Data indikator & SIM 2. Koordinasi internal 3. Strategic Planning,

Management & conseptual framework

4. Anggaran

Strategi Investasi Pemutakhiran data base anak Capacity building/ pendidikan dan

pelatihan Manajemen program terpadu Sharing budget

Strategi Jangka Panjang Peningkatan otoritas

kelembagaan Pengembangan SIM Pengembangan sistem

nasional perlindungan anak

26

BAB III

STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA

DIREKTORAT REHABILITASI SOSIAL TUNA SOSIA

A. STRUKTUR ORGANISASI

B. Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 20/HUK/2015

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI, maka struktur

organisasi Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak adalah sebagai berikut :

B. SUSUNAN KEPEGAWAIAN DAN PERLENGKAPANNYA

Susunan kepegawaian dilingkungan Direktorat Rehabilitasi sosial tuna

sosial diproyeksikan akan mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas sesuai

dengan tantangan dan kebutuhan selama 2015-2016 itu. Mengacu kepada

kondisi terakhir 2009, susunan kepegawaian ditinjau berdasar deskripsi ; tingkat

pendidikan, golongan, dan penempatannya sebagai berikut :

27

Tabel 1.1. Susunan Pegawai berdasarkan Pendidikan Tahun 2015 - 2016

Pendidikan 2015 2016

Doktor/S3

Pasca Sarjana/S2

Sarjana/S1

D4

D3

D1

SMA sederajat

SMP sederajat

J u m l a h

Sumber : Dit. Rehsos. Anak 2015

Memperhatikan tabel latar belakang pendidikan di atas, terdapat peningkatan

jumlah pegawai yang mempunyai pendidikan S2 dan S1 pada tahun 2015. Hal

ini dikarenakan adanya mutasi dan penambahan jumlah pegawai yang

ditempatan di Direktorat REhabilitasi Sosial Anak, selain itu adanya

peningkatan jenjang pendidikan dari tingkatan SMA/sederajat ke pendidikan

S1 pada tahun 2009.

Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak, terdiri dari :

1. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Balita

2. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar dan Anak Jalanan

3. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan Hukum.

4. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan

Khusus

5. Sub Direktorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak

6. Sub Bagian Tata Usaha.

28

7. Kelompok Jabatan Fungsional Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak.

1. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Balita.

Subdirektorat Pelayanan Sosial Anak Balita sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 219 huruf a mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan

pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria,

pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan

pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan sosial anak balita.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220,

Subdirektorat Pelayanan Sosial Anak Balita menyelenggarakan fungsi:

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang pengangkatan anak dan

pengasuhan anak balita;

b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang pengangkatan anak

dan pengasuhan anak balita;

c. penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di

bidang pengangkatan anak dan pengasuhan anak balita;

d. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang

pengangkatan anak dan pengasuhan anak balita; dan

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang

pengangkatan anak dan pengasuhan anak balita

Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Balita Terlantar terdiri dari :

1. Seksi Pengangkatan Anak.

2. Seksi Pengasuhan Anak Balita.

2. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar.

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 219 huruf b mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan

pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria,

pemberian bimbingan teknis, dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan

pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak terlanta.

29

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224,

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar menyelenggarakan

fungsi:

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak

terlantar di dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga;

b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial

anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat dan lembaga;

c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang

rehabilitasi sosial anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat, dan

lembaga;

d. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang

rehabilitasi sosial anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat, dan

lembaga; dan

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang

rehabilitasi sosial anak terlantar di dalam keluarga, masyarakat, dan

lembaga..

Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar terdiri dari :

1. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar dalam Keluarga dan Masyarakat;

dan

2. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Terlantar dalam Lembaga.

3. Sub Direktorat Kesejahteraan Soaial Anak Berhadapan dengan

Hukum.

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf c mempunyai tugas

melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan

norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan

supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan

di bidang rehabilitasi sosial anak berhadapan dengan hukum

30

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228,

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum

menyelenggarakan fungsi:

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak

korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan hukum;

b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak

korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan hukum;

c. penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di

bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak pidana dan anak berkonflik

dengan hukum;

d. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang

rehabilitasi sosial anak korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan

hukum; dan

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang

rehabilitasi sosial anak korban tindak pidana dan anak berkonflik dengan

hukum

Sub Direktorat Kesejahteraan Soaial Anak Berhadapan Hukum dan terdiri dari

:

1. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Korban Tindak Pidana; dan

2. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Berkonflik Dengan Hukum.

4. Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan

Khusus.

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf d mempunyai tugas

melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan

norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan

supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan

di bidang rehabilitasi sosial anak yang memerlukan perlindungan khusus.

31

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232,

Subdirektorat Rehabilitasi Sosial Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus

menyelenggarakan fungsi:

1) penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak

korban tindak kekerasan, anak korban situasi darurat, minoritas, dan

terisolasi;

2) penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial anak korban

tindak kekerasan, anak korban situasi darurat, minoritas, dan terisolasi;

3) penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan

kriteriarehabilitasi sosial anak yang memerlukan perlindungan khusus di

bidang rehabilitasi sosial anak korban tindak kekerasan, anak korban

situasi darurat, minoritas, dan terisolasi;

4) penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang

rehabilitasi sosial anak yang memerlukan perlindungan khusus; dan

5) pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang

rehabilitasi sosial anak korban tindak kekerasan, anak korban situasi

darurat, minoritas, dan terisolasi.

Sub Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Yang Memerlukan Perlindungan

Khusus terdiri dari :

1. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Korban Tindak Kekerasan; dan

2. Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Korban Situasi Darurat, Minoritas, dan

Terisolasi.

5. Sub Direktorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak

Subdirektorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 219 huruf e mempunyai tugas melaksanakan penyiapan

perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar,

prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta

pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang

kelembagaan rehabilitasi sosial anak.

32

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236,

Subdirektorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak menyelenggarakan

fungsi:

a. penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang analisis dan pemetaan

kelembagaan serta pemantauan dan evaluasi kelembagaan;

b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan pemetaan

kelembagaan serta pemantauan dan evaluasi kelembagaan;

c. penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di

bidang analisis dan pemetaan kelembagaan serta pemantauan dan

evaluasi kelembagaan;

d. penyiapan bahan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan

pemetaan kelembagaan serta pemantauan dan evaluasi kelembagaan;

dan

e. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan teknis di

bidang analisis dan pemetaan kelembagaan serta pemantauan dan

evaluasi kelembagaan.

Sub Direktorat Kelembagaan Rehabilitasi Sosial Anak terdiri dari :

1. Seksi Analisis dan Pemetaan Kelembagaan ; dan

2. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Kelembagaan.

6. Sub Bagian Tata Usaha.

Subbagian Tata Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 huruf f

mempunyai tugas melaksanakan urusan tata usaha, kepegawaian, dan

rumah tangga serta administrasi perencanaan program dan anggaran

Direktorat

Perubahan paradigma dan Implikasi Kebijakan

Tantangan terbesar yang dihadapi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, yaitu

melakukan pergeseran paradigma (paradigm shift) dalam upaya-upaya

peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak yang sejak lama berbasis

sistem panti sosial menjadi berbasis keluarga dan komunitas. Untuk itu

33

diperlukan analisis kebijakan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan

anak

1. Identifikasi variable

Adapun variable yang berkaitan dengan upaya untuk

mengimplentasikan perubahan paradigma kebijakan peningkatan dan

perlindungan anak yang semula berbasiskan sistem panti sosial

menjadi berbasiskan keluarga dan komunitas, sebagai berikut:

a. Sektoral.

b. Trend Isu

c. Sumber Daya

d. Reaktif

e. Fokus Institusi/ Panti

f. Renstra

g. Jangkauan Pelayanan

h. Kualitas Pelayanan

i. Masalah Anak

2. Causal Loop Diagram

Sektoral

Trend Isu

Sumber Daya

Reaktif

Fokus Institusi

Jangkauan

Pelayanan

Kualitas Pelayanan

Masalah AnakRenstra

oo

o

so

o

oos

o

o

o

o

o

o

s

ss

s

s

s

o

o

R1

o

o

B2

B1

B3

B4

Gambar 2.2 Causal Loop Diagram

34

Tabel 2.3. Jumlah Loop berdasarkan variable

Variabel Jumlah Loop Keterangan

Renstra

Fokus Institusi

Trend isu

Reaktif

Sumber Daya

Sektoral

Jangkauan pelayanan

Kualitas Pelayanan

3

3

3

3

3

3

4

4

Pengungkit

Pengungkit

Berdasarkan CLD diketahui variable pengungkit ada dua yaitu Jangkauan

Pelayanan dan Kualitas Pelayanan. Hal ini membuktikan bahwa

peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan dapat ditingkatkan, jika

peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak tidak hanya bertumpu

pada focus institusi, namun perlu dikembangkan berbasis keluarga dan

komunitas, sehingga jangkauan dan kualitas pelayayanan dapat

meningkat.

Analisis Kebijakan

1. Dinamika Lingkungan Kebijakan

Untuk memahami permasalahan strategis, digunakan analisis

berdasarkan teori Gunung Es (Ice Berg), melalui pemahaman tentang

berbagai kejadian/ peristiwa (events). Berbagai tindakan yang

dilakukan dalam menangani masalah tersebut sifatnya reaktif karena

hanya memecahkan masalah simtomnya saja. Tahap selanjutnya

dilakukan analisis pada tingkat pemahaman yang lebih mendalam

melalui analisis pola perilaku (patern of behavior) yang menyebabkan

kejadian itu terjadi. Tindakan yang diambil atas pola perilaku tersebut

dilakukan tindakan yang bersifat responsif.

35

Untuk memahami masalah yang fundamental dari events tersebut

dilakukan analisis yang lebih dalam lagi melalui analisis struktur

sistemik (sistemic structure) dengan tindakan yang dilakukan bersifat

generative. Tahap akhir dari analisis adalah mempelajari mental model

individu atau organisasi yang menyebabkan mengapa hal itu terjadi.

Berdasarkan pemahaman melalui implementasi teori Ice Berg dapat

diidentifikasi masalah dalam peningkatan kesejahteraan dan

perlindungan anak sebagai berikut:

Events: peningkatan anak tanpa asuhan orang tua, dieksploitasi,

korban kekerasan, berhadapan dengan hukum dan didiskriminasi.

Upaya yang sifatnya

Reactive yang telah dilakukan adalah peningkatan pelayanan sosial

berbasis panti asuhan dan pemberian subsidi panti. Namun, upaya ini

tidak menyelesaikan permasalahan karena sifatnya kuratif/ rehabilitatif.

Dalam keadaan sumber daya terbatas, maka peningkatan anak yang

mengalami masalah sosial tidak dapat direspon melalui pelayanan

sosial berbasis panti asuhan. Pada sisi lain, pelayanan berbasis panti

asuhan adalah pilihan terakhir, apabila orang tua/ keluarga sudah

dipandang tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya.

a. Patern of behavior: disparitas dan rendahnya cakupan dan

kualitas Kesejahteraan Sosial Anak di daerah. Distribusi anggaran

yang kurang merata atau proporsional karena terbatasnya sumber

daya pembangunan/ anggaran mengakibatkan jangkauan

pelayanan menjadi tidak merata. Faktor sosial ekonomi yang

beragam antar daerah mempengaruhi disparitas dan rendahnya

cakupan dan kualitas Kesejahteraan Sosial Anak di daerah. Upaya

yang sifatnya Responsive yang dilakukan adalah optimalisasi

APBD dan peningkatan peran masyarakat. Namun demikian,

kurangnya upaya peningkatan dan perlindungan anak di banyak

daerah belum menjadi prioritas pembangunan, sehingga upaya

36

yang sifatnya responsive ini tidak dapat menyelesaikan masalah

yang lebih fundamental.

b. Sistemic structure: ketidakselarasan KHA dengan UU 23/ 2002

tentang Perlindungan Anak, serta peraturan daerah. Upaya yang

bersifat generative yang telah dilakukan adalah kajian peraturan

perundangan di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak. Hasil

kajian yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Pelayanan Sosial

bekerjasama dengan Unicef dan Save The Children menunjukkan

bahwa substansi peraturan perundangan yang ada belum

sepenuhnya mengadopsi substansi Konvensi Hak Anak, sehingga

pemerintah dan pemerintah daerah belum memiliki rujukan hukum

yang kuat, terutama mengenai diferensiasi kewajiban pemerintah

dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat.

c. Mental model: rendahnya komitmen penyelenggara

Kesejahteraan Sosial Anak dalam meningkatkan sumber daya

pembangunan. Komitmen ini juga terkait dengan kurangnya

pemahaman terhadap prinsip-prinsip dalam meningkatkan

kesejahteraan dan perlindungan anak, termasuk hak-hak anak dan

kewajiban negara.Hasil pemahaman masalah melalui Ice Berg

dapat dilihat pada gambar berikut ini:

37

Gambar 2.3. Analisis Ice Berg

Tahap berikut ini adalah penetapan Agenda Setting yang merupakan

urutan pertama dalam proses pembuatan kebijakan. Berikut ini gambar

tentang proses agenda formasi.

Private Problem - Anak sulit sekolah & droup out - Anak sulit mendapat pelayanan kesehatan dasar - Orang tua menelantarkan anak

Public Problem -Hak dasar anak tidak

terpenuhi -Akses anak terhadap pelayanan dasar rendah -keluarga miskin meningkat

Issues Anak jalanan/terlantar (anak tanpa asuhan orang tua), anak dieksploitasi, anak korban kekerasan, anak berhadapan hukum meningkat

Institutional Agenda

Kajian kebijakan/ perundangan

tentang kesejahteraan dan

perlindungan anak

Systemic Agenda

Ketidakselarasan KHA dengan

UU No 23/2002 tentang

Perlindungan Anak dan Perda

diberbagai daerah

Peningkatan anak yang

terlantar, dieksploitasi, korban

kekerasan, berhadapan dengan

hukum dan didiskriminasi

Disparitas dan rendahnya

cakupan dan kualitas

Kesejahteraan Sosial Anak di

daerah

Ketidakselarasan KHA dengan

UU 23/ 2002 tentang

Perlindungan Anak, serta

peraturan daerah

Rendahnya komitmen

penyelenggara Kesejahteraan

Sosial Anak dalam

meningkatkan sumber daya

pembangunan

Event

Patern of

Behavior

Sistemic

structure

Mental model

JENIS TINDAKAN

REACTIVE

Pelayanan berbasis panti

asuhan, bantuan subsidi panti

RESPONSIVE

Optimalisasi APBD dan peran

masyarakat

GENERATIF Kajian peraturan perundang-

undangan di bidang

perlindungan anak

38

Gambar 3. The Agenda Formation Process

Berdasarkan proses formasi agenda dapat diketahui bahwa munculnya

masalah private yang terjadi masif, seperti banyak anak dari keluarga

miskin yang sulit mendapatkan akses sekolah dan pelayanan

kesehatan disertai dengan melemahnya tanggung jawab orang tua/

keluarga, dapat merefleksikan masalah publik tidak terpenuhi hak-hak

dasar anak atau rendahnya aksesibilitas anak terhadap pelayanan

sosial dasar.

Dalam kondisi semakin meningkatnya keluarga miskin, berdampak

munculnya masalah masalah anak yang lebih kompleks dan telah

menjadi isu publik, seperti semakin banyaknya anak-anak yang

terpaksa bekerja di jalanan, anak terlantar, anak dieksploitasi seksual

komersial, anak korban kekerasan, anak berhadapan hukum dan anak-

anak yang membutuhkan perlindungan khusus lainnya.

Dalam kondisi demikian, kondisi menjadi semakin parah karena

pemerintah pusat dan daerah belum dapat menjangkau seluruh anak-

anak yang mengalami masalah sosial. Kemampuan APBN setiap tahun

hanya mampu menjangkau 1,8% per tahun dari total populasi anak

terlantar sebanyak 5,4 juta orang. Demikian juga kemampuan APBD

Provinsi maupun Kabupaten/Kota jauh lebih rendah lagi, atau sekitar

0,4% (hasil kajian Kementerian Sosial di 10 provinsi tahun 2007).

Terbatasnya alokasi anggaran untuk peningkatan kesejahteraan dan

perlindungan anak, disebabkan oleh landasan hukum yang tidak jelas

mengatur kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah dalam

peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak. Dalam UU nomor

23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak ada pasal yang

mengatur hal tersebut.

39

Berbeda dengan UU Nomor 20 Tahun 2007 tentang Sistem Pendidikan

Nasional yang secara jelas mencantumkan prosentase anggaran yang

wajib dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk

kewajiban negara (pasal 49 ayat 1), demikian juga pembagian

kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah diatur sedemikian

rupa secara jelas, sehingga ketika daerah menetapkan Perda maka

memperoleh rujukan yang jelas dari peraturan perundangan diatasnya.

Untuk dapat merumuskan kebijakan yang sesuai dengan masalah

kebijakan selanjutnya diidentifikasi terlebih dahulu elemen sistem

kebijakan. Gambar berikut menunjukkan tentang elemen sistem

kebijakan.

PEMBUAT KEBIJAKAN

1. Depsos

2. Kementrian PP & PA

3. Kementrian Hukum & HAM

4. Gubernur/Bupati/Walikota

5. DPR/DPRD

LINGKUNGAN KEBIJAKAN

Stakeholders

- Kelpok Kepentingan

- Partai Politik

- Instansi Pemerintah

- Masyarakat

Masalah Kebijakan

- Data base

- Kinerja Pelayanan- Koordinasi

- Pengawasan

- Evaluasi

- Keterpaduan Program

- Anggaran, dll

KEBIJAKAN PUBLIK

• Kepres 36/ tahun 1990 tentang

Ratifikasi KHA

• UU Nomor 23 tahun 2009

tentang Perlindungan Anak

• Peraturan Daerah tentang

perlindungan anak

KELOMPOK SASARAN- Anak- Orang Tua/ keluarga- LSM/ Yayasan/ Orsos- NGO International- KPAI- Komnas PA

I IIIII

IV

Gambar 4. Elemen Sistem Kebijakan

40

2. Masalah kebijakan

Berdasarkan analisis dinamikas lingkungan kebijakan ditetapkan

masalah kebijakan : “Bagaimana mewujudkan kebijakan peningkatan

dan perlindungan anak yang selaras antar sektor dan antar pemerintah

pusat dan daerah?”

3. Peramalan

Ketidakselarasan kebijakan/peraturan perundangan antara sektor dan

antar pemerintah dan daerah jika tidak segera diatasi, akan berdampak

semakin tidak jelas arah kebijakan nasional dan daerah dalam

mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak. Arah

kebijakan yang tidak jelas akan berdampak pada strategi dan program/

kegiatan tidak didukung oleh anggaran yang cukup, sehingga

jangkauan dan kualitas Kesejahteraan Sosial Anak tidak dapat

ditingkatkan secara signifikan untuk mencakup keseluruhan masalah

anak yang semakin kompleks. Kondisi anak yang membutuhkan

perlindungan khusus (anak yang dieksploitasi, korban kekerasan,

memperoleh perlakukan salah dan berhadapan dengan hukum) jika

tidak dapat ditangani secara serius, akan berdampak pada rendahnya

kualitas SDM pada masa yang akan datang, sehingga kemiskinan pada

generasi berikutnya semakin sulit diatasi atau semakin meningkatnya

kemiskinan kronis (chronic poverty).

4. Alternatif kebijakan

Untuk dapat mewujudkan kebijakan peningkatan dan perlindungan

anak yang selaras antar sektor dan antar pemerintah pusat dan

daerah, maka alternatif kebijakan yang diajukan sebagai berikut:

a. Yudicial review terhadap UU nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

b. Membuat peraturan pemerintah dan peraturan lainnya secara rinci.

c. Optimalisasi peraturan yang sudah ada dan pembuatan peraturan

dibawahnya secara komprehensif

41

5. Penilaian alternatif kebijakan

Untuk memilih alternatif kebijakan yang paling sesuai dengan tujuan

yang akan dicapai, maka ditetapkan kriteria pemilihan alternatif

dengan menggunakan metode SWOPA, sebagai berikut:

a. Kekuatan (Strengths), keunggulan kebijakan dilihat dari (a)

dampaknya terhadap kehidupan masyarakat yang mengalami

masalah sosial (b) dukungan publik; (c) beban anggaran

b. Kelemahan (Weaknesses), kekurangan kebijakan dilihat dari point

a s.d c di atas

c. Peluang (Opportunities) apa kesempatan/peluang eksternal yang

akan mendukung diterimanya kebijakan ini oleh policy audience

dilihat dari: (a) political agenda (kebijakan ini sejalan dengan

agenda pemerintah); (b) public interest sejalan dengan untuk

meningkatkan kualitas SDM/investasi sosial; (c) global trends (akan

didukung oleh masyarakat luas yang sedang gandrung untuk

meningkatkan praktik good governance.

d. Masalah (Problems) apa masalah-masalah yang mungkin

menghambat diterimanya kebijakan ini oleh policy audience dilihat

dari point a sd c di atas.

e. Aksi (Actions) apa saja tindakan atau langkah yang dapat/perlu

dilakukan untuk mengatasi kelemahan dan masalah di atas?

(terutama untuk melihat apakah kebijakan ini ‘cukup’ realistis dalam

arti tujuan-tujuannya dapat dicapai dalam kurun waktu yang

ditentukan.

42

Tabel 2.3. Analisis penilaian kriteria evaluasi

Kriteria Yudicial review Membuat PP Menerapkan komprehensif

Kekuatan

Jika hasil UU 23/2002 selaras dengan KHA,

maka akan memberikan kepastian

hokum

Pembuatan PP lebih mudah

dibandingkan 2 alternatif lain

Substansi dapat mencakup kebutuhan

kepastian hukum yang sifatnya

mendesak

Kelemahan

Proses amandemennya membutuhkan waktu

lama

Proses pembuatan PP relatif lebih

cepat dari 2 alternatif lainnya

Proses pembuatan PP, Permencos dan

peraturan lainnya yang komprehensif

membutuhkan waktu

yang lama

Peluang

Adanya lembaga

international yang siap

mendukung (Unicef, ILO, Save the

Children, dll)

Adanya program

legislasi dari Pusat

Penyusunan Undang-undang dan

Bantuan Hukum untuk membuat PP

Adanya anggaran

Direktorat

Kesejahteraan Sosial Anak untuk

mendukung proses pembuatan peraturan

perundangan dipadukan dengan

anggaran PPUBH

Masalah

Membutuhkan kesiapan substansi

yang memerinci

kelemahan-kelemahan UU 23/2003

dibandingkan KHA agar Mahkamah

Konstitusi dapat menyetujui Yudicial

Review

Akan ada sejumlah pasal yang tidak

ada payung

hukumnya jika hanya merujuk UU

23/2002

Akan ada sejumlah pasal yang diperlukan

tetapi dasar

hukumnya harus merujuk pada KHA

langsung

Aksi

Membuat usulan Yudicial review ke

Mahkamah Konstitusi

dan DPR. Jika disetujui proses selanjutnya

dapat dilaksanakan (pembahasan, draft

usulan, uji publik, dll sesuai UU No 10/2007

tentang Penyusunan

Peraturan Perundang-undangan)

Membuat usulan ke PPUBH diikuti

dengan Naskah

Akademis dan Draft PP serta analisis

rujukan UU yang akan dibuatkan PP-

nya. Proses lanjut akan berada di

Setneg dan juga

dilakukan rapat koordinasi lintas

sektor

Membuat conceptual frame work legislasi

nasional di bidang

perlindungan anak dengan memetakan

KHA, UU dan Peraturan lainnya

yang membutuhkan pengaturan lebih

lanjut. Selanjutnya

dilakukan penyusunan peraturan-peraturan

perundangan yang terkait (PP, Keppress,

Permen, Perda, dll)

43

6. Penetapan alternatif terpilih

Berdasarkan penilaian alternatif kebijakan tersebut, prioritas kebijakan

yang diusulkan adalah : “Optimalisasi peraturan yang sudah ada dan

pembuatan peraturan dibawahnya secara komprehensif”

Alasan mengusulkan alternatif dimaksud adalah:

a. Substansi dapat mencakup kebutuhan kepastian hukum yang

sifatnya mendesak

b. Proses pembuatan PP, Permensos dan peraturan lainnya yang

komprehensif membutuhkan waktu yang lama, namun masih lebih

cepat dibandingkan dengan yudicial review UU nomor 23/2002.

c. Adanya anggaran Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak untuk

mendukung proses pembuatan peraturan perundangan dipadukan

dengan anggaran PPUBH, dan kerjasama dengan PPUBH selama ini

sudah terjalin dengan baik.

d. Kelemahan akan ada sejumlah pasal yang diperlukan tetapi dasar

hukumnya harus merujuk pada KHA langsung, dapat

dikonsultasikan kepada PPUBH atas kekuatan Kepres 36 tahun

1990 tentang Ratifikasi KHA untuk dapat dijadikan rujukan

langsung dalam penyusunan peraturan perudang-udangan yang

sifatnya melengkapi UU nomor 23 tahun 2002.

e. Membuat conceptual frame work legislasi nasional di bidang

perlindungan anak dengan memetakan KHA, UU dan Peraturan

lainnya yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut. Selanjutnya

dilakukan penyusunan peraturan-peraturan perundangan yang

terkait (PP, Keppress, Permen, Perda, dll). Hal ini juga didukung

oleh UNICEF dalam tahun anggaran 2009 ini, sehingga diharapkan

hasilnya dapat menjadi landasan penyusunan peraturan

perundangan yang lebih komprehensif pada tahun anggaran 2010.

44

7. Pengendalian kebijakan

Berdasarkan alternatif yang terpilih, maka langkah-langkah

pengendalian kebijakan yang ditetapkan dengan indikator kinerja yang

relevan, sebagai berikut:

Tabel 2. Tahapan dan indikator pengendalian kebijakan

No Tahapan Indikator Output Indikator Outcome

1 Penyusunan

Conceptual framework legislasi

perlindungan anak

Tersusunnya 1

(satu) dokumen Conceptual

Framework tepat

waktu

Digunakannya Coceptual

framework untuk dasar penyusunan program/kegiatan

legislasi serta anggaran tahun

2010-2014

2 Penyusunan PP,

Kepres, Permensos dan Pilot Project

Perda Perlindungan Anak

Tersusunnya 3

paket peraturan perudangan (PP,

Permensos dan Perda didaerah pilot

project)

Adanya landasan hukum yang

lebih sesuai dengan prinsip-prinsip dan substansi KHA

3 Sosialisasi Peraturan perundangan

Terlaksananya sosialisasi di 33

provinsi dalam 5 tahun

Pelaku dan sasaran kebijakan mampu memahami substansi

peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif

4 Implementasi

Peraturan Perundang-

undangan

Digunakannya

peraturan perudangan dalam

program/ kegiatan

peningkatan kesejahteraan dan

perlindungan anak

Meningkatnya aksesibilitas anak

yang mengalami masalah sosial terhadap pelayanan sosial dasar

yang merupakan kewajiban

pemerintah dan atau tanggung jawab orang tua/keluarga dan

masyarakat. 5 Penegakan dan

bantuan hukum

yang berlaku

Digunakannya

peraturan

perundangan yang meharuskan

sasaran kebijakan patuh terhadap

hukum, baik anak

sebagai pelaku maupun anak

sebagai korban

Anak-anak yang berhadap

dengan hukum dapat

memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan

rehabilitasi sosial

6 Monitoring dan

evaluasi

Terlaksananya

kegiatan monev di

33 propinsi dalam 5 tahun

Kepatuhan hukum para pelaku

dan sasaran kebijakan semakin

meningkat.

45

BAB IV

VISI, MISI DAN STRATEGI

A. Conceptual Framework

Menurut Unicef (2009), paradigma baru yang selayaknya diimplementasikan

berdasarkan prinsip dan perspektif perlindungan anak sesuai dengan KHA,

merupakan upaya perlindungan yang merupakan kontinuitas dari tingkat

primer, sekunder sampai dengan tertier.

Tingkat primer ini berupa edukasi, informasi dan peningkatan kesadaran

pihak-pihak yang terkait tentang perlindungan anak, sedangkan upaya

sekunder berupa penguatan/dukungan tanggung jawab keluarga. Adapun

yang tertier adalah pemberian perlindungan, berupa dukungan intensif

terhadap keluarga dan pengasuhan anak di luar keluarganya.

Berbeda dengan paradigma lama, anak yang mengalami masalah sosial

solusinya dimasukkan ke Panti sebagai alternatif pengasuhan anak di luar

keluarganya, pada paradigma baru diadakan dahulu upaya intensif dukungan

terhadap keluarga sebelum anak diasuh di luar keluarga.

Jika keluarganya mengalami masalah sehingga dapat menghambat tumbuh

kembang anak, harus diadakan upaya penguatan dan bantuan terhadap

keluarga, sehingga anak dapat terpenuhi hak dan kebutuhan tumbuh

kembangnya. Namun, jika telah diberikan dukungan intensif, tetapi melalui

pengkajian yang mendalam, anak tetap membutuhkan pengasuhan di luar

keluarganya, maka akan diutamakan pengasuhan yang berbasis keluarga,

bukan panti, seperti: keluarga kerabat (kinship care), orang tua asuh

pengganti (foster parent), perwalian (guardianship) dan pengangkatan anak

(adoption). Tempat yang terbaik agar anak tumbuh kembang secara

maksimal adalah dalam keluarga. Dalam penentuan alternatif ini, anak

terlibat dalam pengambilan keputusan dan sesuai dengan prinsip kepentingan

46

terbaik anak. Pada dasarnya, Panti adalah alternative terakhir, jika

pengasuhan berbasis keluarga benar-benar tidak dapat dilakukan.

Penguatankeluarga secara

intensifPelayanan diluar

rumah

Penguatankeluarga

Intervensidini

Pendidikan, informasi dan

sensitisasi

Pelayananperlin-dungan

anak

Gambar 2. Komponen sistem kesejahteraananak dan keluarga

KebijakanUtama

Kebijakansekunder

Kebijakantertier

PELAYANAN KONTINUM

Mengembangkan program-program dan aturan kebijakan untuk mencegah

penempatan anak-anak dalam panti, secara inter alia, melalui penyediaan dukungan

dan panduan kepada keluarga-keluarga paling rentan dan dengan menjalankan

kampanye-kampanye penggalangan kesadaran, mengambil semua tindakan yang

perlu untuk mengijinkan anak-anak yang ditempatkan dalam institusi-institusi

kembali ke keluarga mereka kapan pun dimungkinkan dan mempertimbangkan

penempatan anak-anak dalam institusi-institusi sebagai sebuah upaya penempatan

terakhir. Oleh karena itu perlu ditetapkan standar-standar yang jelas bagi panti-panti

yang sudah ada dan memastikan adanya tinjauan periodik terhadap penempatan

anak, sesuai dengan pasal 25 dari Konvensi Hak Anak.

Agar terwujud kesejahteraan anak secara keseluruhan dan terlebih dengan adanya

perubahan Paradigma, diperlukan juga pengembangan kapasitas pelaksana

lapangan, baik Pekerja Sosial, unsur Pemda, LSM maupun instansi terkait lainnya

agar dapat menjalankan Paradigma Baru ini dengan baik.Khusus bagi Daerah yang

terpilih menjadi lokasi Pengembangan Model Penanganan Perlindungan Anak, agar

47

berperan aktif dalam upaya pengembangan model tersebut. Hasil pengembangan

model akan menjadi masukan bagi penyempunaan Konsep Dasar Penyelenggaraan

Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di daerah di seluruh Indonesia.

B. Visi dan Misi

1. Visi

Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir

periode perencanaan, dirumuskan untuk memberi arah kemana dan

bagaimana Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak harus dibawa agar tetap

eksis dan dapat berkarya secara konsisten, antisipatif, inovatif dan

produktif untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Visi

yang ditetapkan adalah: Visi Kementerian Sosial Republik Indonesia

Tahun 2015-2019

Visi Kementerian Sosial dalam 5 tahun kedepan (2015-2019) mengacu dan

merupakan pelaksanaan dari visi pembangunan nasional untuk tahun 2015-2019

yaitu:

“Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan

Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”

2. Misi

Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang perlu diemban

oleh Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak untuk mencapai visi yang

ditetapkan sejalan dengan tujuan organisasi. Misi Direktorat Kesejahteraan

Sosial Anak adalah:

a) Meningkatkan Pemenuhan hak dasar anak secara universal

b) Meningkatkan sistem dan kualitas pengasuhan anak dalam keluarga,

pengasuhan alternatif serta kepedulian orang tua, keluarga,

masyarakat dan pemerintah dalam promosi, pemenuhan hak dan

perlindungan anak

c) Meningkatkan jaringan kerja dan kapasitas sumber daya manusia bagi

Pekerja Sosial/Sakti Peksos, TKSA dan Petugas LKSA

48

d) Meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan secara profesional,

terpadu dan berkelanjutan serta Sistem Akses Data PKSA berbasis

IPTEK.

Misi Kementerian Sosial Republik Indonesia Tahun 2015-2019

Upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi tersebut

dilaksanakan melalui misi pembangunan nasional yaitu:

1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan

wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan

sumber daya maritim, dan mencerminkan keperibadian Indonesia

sebagai nergara kepulauan.

2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan dan demokratis

berlandaskan negara hukum

3. Mewujudkan politik luar negeri yang bebas aktif dan memperkuat jati

diri sebagai negara maritim

4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan

sejahtera.

5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing

6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju,

kuat dan berbasiskan kepentingan nasional

7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Kementerian Sosial RI dalam 5 tahun kedepan (2015-2019) akan

melaksanakan misi no 4 yaitu “Mewujudkan kualitas hidup manusia

Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera”.

Misi tersebut di sinergikan dengan pencapaian 9 (sembilan) agenda

prioritas pembangunan pemerintah atau Nawa Cita :

1. Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan

memberikan rasa aman pada seluruh warga negara;

2. Membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola

pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya;

3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

daerah dan desadalamkerangkanegarakesatuan;

49

4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi system dan

penegakanhukum yang bebaskorupsi, bermartabat, danterpercaya;

5. Meningkatkan kualitashidup manusia Indonesia melalui program

Indonesia Pintar dengan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Dan

program Indonesia Sehat untuk peningkatan layanan kesehatan

masyarakat. Serta Indonesia Kerjadan Indonesia Sejahtera dengan

mendorong program kepemilikan tanah seluas Sembilan juta hektar.

6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar

internasional.

7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-

sektor strategis ekonomi dan domestik.

8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali

kurikulum pendidikan nasional.

9. Memperteguh Keb-Bhineka-an dan memperkuat restorasisosial

Indonesia melalui penguatan kebhinekaan dan menciptakan ruang

dialog

NAWA CITA yang akan dilaksanakan Kementerian Sosial tahun 2015-

2019 adalah: 1). No. 1 “Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi

segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara”;

2). “ No 2: “Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata

kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya”;

3).No. 3“Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-

daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan”; 4). No. 4“Memperkuat

kehadiran negara dalammelakukanreformasisistemdanpenegakanhukum

yang bebaskorupsi, bermartabat, danterpercaya”; 5). No. 5.

“Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia”.

C. Landasan Nilai

Sesuai dengan KHA cluster I mengenai General Measures of Implementation;

pasal 4 menekankan kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah

50

legislatif, administratif dan langkah-langkah lain guna mengimplementasikan

seluruh kewajiban negara sesuai dengan yang tertera dalam KHA.

Ada empat prinsip utama dalam KHA yang menjadi landasan nilai dalam

rencana strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, yaitu :

1. Non-diskriminasi. KHA Pasal 2 menyatakan bahwa semua hak berlaku

untuk anak-anak tanpa kecuali. Adalah kewajiban Negara untuk

melindungi anak dari segala diskriminasi dan mengambil langkah-langkah

positif guna mempromosikan hak-hak mereka. Kendatipun demikian, itu

tidak berarti bahwa semua anak harus diperlakukan persis sama. Sebagian

anak memerlukan perhatian lebih dibanding yang lain atau memerlukan

perhatian/perawatan khusus (misalnya anak penyandang ketidak-

mampuan, anak yang hidup dalam kemiskinan, anak dalam situasi konflik

bersenjata)

2. Kepentingan terbaik bagi anak. KHA Pasal 3 menyatakan bahwa

semua aksi yang berkaitan dengan anak hendaknya secara penuh

memperhitungkan kepentingan mereka. Prinsip ini jelas di sepanjang KHA.

Prinsip ini mencakup keputusan publik dan privat yang berkenaan dengan

anak-anak secara individual dan anak-anak secara keseluruhan. Rujukan

khusus ke kepentingan terbaik anak ditemukan dalam pasal-pasal yang

berkaitan dengan hubungan keluarga–peran orang tua dalam mengasuh

anak mereka dan peran negara dalam mengasuh anak yang tanpa orang

tua, baik karena mereka telah diambil dari rumah demi perlindungan

mereka sendiri atau karena mereka menjadi yatim (piatu) atau

ditinggalkan orang tuanya.

3. Hidup, Kelangsungan hidup dan Perkembangan. KHA Pasal 6

menyatakan bahwa anak memiliki hak melekat untuk hidup, kelangsungan

hidup dan perkembangan semaksimum mungkin. Hak untuk hidup

merupakan jaminan standar di semua dokumen HAM; itu berarti bahwa

tak seorang pun hendaknya dirampas hidupnya oleh Negara.

Perkembangan didefinisikan dalam pengertian yang luas yang mencakup

perkembangan aspek fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Konsep

“perkembangan” tidak hanya persiapan anak menuju kedewasaan .

51

Perkembangan adalah tentang pemberian kondisi optimal bagi masa

kanak-kanak untuk kehidupan anak sekarang. Ketentuan lain seperti hak

atas kesehatan, standar hidup yang memadai, pendidikan dan bersenang-

senang dan bermain adalah relevan untuk menjamin perkembangan yang

maksimum.

4. Menghormati Pandangan Anak. KHA Pasal 12 memberikan kepada

anak hak untuk mengungkapkan pandangan/ pendapatnya dan agar

pendapatnya dipertimbangkan dalam segala hal atau prosedur yang

menyangkut anak. Referensi untuk “segala hal” menunjukkan bahwa

seorang anak memiliki hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya

mengenai masalah keluarga serta masalah kemasyarakatan. KHA tidak

menetapkan batas usia dalam hak anak untuk menyatakan pandangannya

secara bebas.Pandangan anak harus diberi bobot sesuai dengan

kematangan dan usia anak. KHA mengakui bahwa kemampuan anak

untuk melaksanakan haknya akan tergantung pada “kapasitas yang

tengah berkembang”. Dengan kata lain, ketika anak sudah matang, ia

memiliki lebih banyak tanggung jawab dan juga kebebasan untuk

melaksanakan lebih banyak haknya.

D. Tujuan

Tujuan adalah rumusan yang menjelaskan arah pelaksanaan visi, ditetapkan

sesuai dengan tugas, fungsi dan peranan organisasi Direktorat Kesejahteraan

Sosial Anak, sebagai berikut:

1. Terwujudnya aksibiitas dalam pemenuhan hak dasar anak dalam

keberfungsian sosial

2. Terwujudnya sistem dan kualitas pengasuhan anak dalam keluarga dan

pengasuhan alternatif

3. Terwujudnya peran dan tanggungjawab keluarga dalam pengasuhan anak

4. Terwujudnya Lembaga Kesjahteraan Sosial Anak dan komunitas dalam

perlindungan sosial anak

52

5. Terwujudnya sumber daya manusia Pekerja Sosial/Sakti Peksos, TKSA

dan Petugas LKSA dalam pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial

Anak

6. Terwujudnya Sistem Data PKSA berbasis IPTEK yang dapat diakses oleh

masyarakat

7. Terwujudnya implementasi produk hukum dalam perlindungan dan

rehabilitasi sosial anak

Tujuan Kementerian Sosial Tahun 2015-2019

Tujuan pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang ingin dicapai

Kementerian Sosial tahun 2015-2019 adalah:

1. Meningkatnya kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar

2. Meningkatnya pemenuhan hak dasar dan Inklusivitas bagi penduduk

miskin dan rentan, penyandang disabilitas, lanjut usia dan kelompok

marjinal lainnya

Meningkatnya kualitas manajemen dan pengelolaan penyelenggaraan

kesejahteraan sosial.

E. Kebijakan

Arah/tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan, adalah:

a. Meningkatkan aksesibilitas anak terhadap pelayanan sosial dasar secara

lebih adil, dalam arti bahwa setiap orang khususnya anak memiliki hak

untuk memperoleh pelayanan sosial yang sebaik-baiknya.

b. Meningkatkan profesionalisme pelayanan sosial dan perlindungan anak

yang berbasis pekerjaan sosial baik yang dilaksanakan oleh pemerintah,

masyarakat dan dunia usaha terhadap anak

c. Memantapkan manajemen pelayanan sosial dan perlindungan anak yang

mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan

pelaporan serta koordinasi atau keterpaduan, sehingga mencerminkan

pengelolaan pelayanan sosial yang semakin profesional, berkualitas dan

akuntabel.

53

d. Menciptakan iklim yang dapat mendorong, meningkatkan dan

mengembangkan peran serta masyarakat dalam usaha kesejahteraan

sosial dan perlindungan anak

e. Mendukung terlaksananya kebijakan desentralisasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan dengan

mempertimbangankan keunikan nilai sosial budaya daerah yang beragam

serta mengedepankan potensi dan sumber sosial keluarga dan masyarakat

setempat dalam pelayanan sosial dan perlindungan anak

6. Mengembangkan advokasi dan pendampingan sosial di dalam pengelolaan

program pelayanan kesejahteraan sosial anak

F. Sasaran Startegis

Sasaran Strategis yang ingin dicapai Kementerian Sosial dalam lima

tahun kedepan (2015-2019)sebagai ukuran kinerja dan pencapaian

tujuanadalah:

1. Meningkatnya kemampuan keluarga miskin dan rentan dalam memenuhi

kebutuhan dasar

2. Meningkatnya kemampuan keluarga miskin dan rentan dalam mengelola

kegiatan ekonomi produktif

3. Meningkatnya kemampuan penduduk miskin dan rentan, anak,

penyandang disabilitas, lanjut usia dan kelompok masyarakat marjinal

lainnya dalam pemenuhan hak dasar dan Inklusivitas

4. Meningkatnya kualitas dan cakupan pelayanan dasar minimal dalam sistim

pelayanan dan rujukan terpadu

Meningkatnya kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan fungsi lembaga

penyelenggara kesejahteraan sosial

G. Sasaran dan Indikator

Sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015 s.d 2019 dan indikator

kinerja ditetapkan sebagai berikut:

54

1. Meningkatnya persentase anak yang mengalami masalah sosial yang

memperoleh Kesejahteraan Sosial Anak sebesar 10%.

2. Meningkatnya persentase orang tua / keluarga yang melaksanakan

tanggung jawab sosial dalam pengasuhan dan perlindungan anak 5%

pertahun.

3. Menurunnya persentase anak yang mengalami masalah sosial 2 %

pertahun

4. Meningkatnya persentase lembaga pelayanan sosial masyarakat yang

berperan dalam menangani anak bermasalah sosial rata-rata 5% pertahun

5. Meningkatnya jumlah lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang telah

melaksanakan standar operasional prosedur paling sedikit 2

kabupaten/kota pertahun di tiap provinsi.

6. Meningkatnya persentase tenaga kesejahteraan sosial yang terlatih di

bidang pelayanan anak sebesar 15%.

7. Meningkatnya produk hukum yang sesuai dengan kebutuhan perlindungan

hak anak.

H. Target

Target Program Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak pada rencana

strategis tahun anggaran 2015 – 2019 untuk alokasi pusat dan dekon

tersebar pada kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

55

SASARAN, TARGET DAN ANGGARAN TAHUN 2015 – 2019 (TARGET RPJM) PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK

REHABILITASI SOSIAL ANAK

2015 2016 2017 2018 2019 TOTAL

TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

ALOKASI PUSAT 35.361 185.880.180 35.361 131.328.224 55.000 153.023.606 64.000 295.675.134 70.000 383.036.838 259.722 1.310.943.981

ALOKASI UPT 6.671 34.719.111 6.671 43.919.675 5.000 50.507.626 5.000 55.558.389 6.000 66.670.067 45.297 251.374.868

ALOKASI DEKON 110.150 20.006.763 120.150 146.073.601 120.500 196.132.269 130.500 215.865.423 140.500 39.703.095 621.800 154.781.151

JUMLAH : 149.465 240.606.054 177.500 283.321.500 175.000 317.663.500 194.500 386.098.946 210.500 489.410.000 881.522 1.717.100.000

(Sumber : Dit. Kesos. Anak 2015)

PERSEBARAN SASARAN DAN TARGET PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK TAHUN 2015 – 2019 (TARGET RPJM)

SASARAN

TARGET 2015 – 2019 JUMLAH

2015 2016 2017 2018 2019

PUSAT DEKON PUSAT DEKON PUSAT DEKON PUSAT DEKON PUSAT DEKON PUSAT DEKON

ANAK BALITA 7.070 0 5.070. 0 7.500 0 8.000 0 9.000 0 36.640 0

ANAK TERLANTAR & ANAK JALANAN

11.950 0 30,897 0 35.000 0 40.000 0 45.000 0 162.847 0

ABH 3.000 0 3.000 0 4.000 0 4.500 0 5.000 0 19.500 0

ADK 2.520 0 3.020 0 0 0 0 0 0 0 5.540 0

AMPK 1935 0 3.020 0 3.500 0 3.500 0 4.000 0 15.955 0

UPT (10) 6.671 0 6.671 0 5.000 0 5.000 0 6.000 0 45.297 0

One day for Children 3.000 200 3.000 200 3.000 500 3.000 500 3.000 500 15.000 1.900

DEKON 0 110,150 0 93.175 0 120.000 0 130.000 0 140.000 0 619.900

JUMLAH : 35.361 110.150 35.361 120.150 55.000 120.500 64.000 130.500 70.000 140.500 259.722 621.800

TOTAL PUSAT +DEKON 149.465 177.500 175.500 194.500 210.500 881.522

Catatan : Target tahun 2017 turun karena Terjadi perpindahan target ADK ke Direktorat Rehabsos. OPD

56

I. Komponen Program dan Strategi implementasi

Perubahan-perubahan tersebut di atas diarahkan untuk memperbaiki citra

Kesejahteraan Sosial Anak, menjadi lebih melekat pada kepentingan terbaik

bagi anak. Adapun perubahan-perubahan Bidang Kesejahteraan Sosial Anak

yang mengacu pada perubahan paradigma

Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial adalah; Kesejahteraan Sosial Anak

berubah menjadi Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial, sedangkan perubahan

kegiatan sebagai berikut :

1. Perlindungan dan Pengasuhan Anak Balita

a. Kesejahteraan Sosial Anak Balita

1) Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita

diselenggarakan melalui UPT, Pemerintah Daerah dan masyarakat

dengan pendekatan Holistik Integratif melalui Taman Anak

Sejahtera (TAS)

2) Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita yang

diselenggarakan melalui Taman Anak Sejahtera (TAS) berdasarkan

standart pengasuhan dan perlindungan Anak.

3) Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita yang

diselenggarakan melalui Taman Anak Sejahtera (TAS) untuk

meningkatkan aksesibilitas anak melalui akte kelahiran dan

peningkatan gizi anak.

4) Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita yang

diselenggarakan melalui Taman Anak Sejahtera (TAS) untuk

meningkatkan pengasuhan anak dalam keluarga melalui kegiatan

Penguatan Kapasitas Keluarga (PKK).

5) Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita yang

diselenggarakan melalui Taman Anak Sejahtera (TAS) untuk

meningkatkan kemampuan tumbuh kembang anak melalui

Penguatan Kapasitas Anak (PKA).

6) Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial anak Balita

mengupayakan peningkatan ekonomi keluarga anak penerima

manfaat dengan mengembangkan usaha ekonomi kreatif (UEK).

57

b. Pengangkatan Anak

1) Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia dengan warga

negara asing, terdiri dari :

a. Pengangkatan Anak antar Negara Indonesia oleh Warga Negara

Asing;

b. Pengangkatan Anak antar Negara Indonesia oleh salah satu calon

orang tua angkat Warga Negara Asing;

diselengarakan melalui mekanisme sidang Tim Pertimbangan Perizinan

Pengangkatan Anak (PIPA) Pusat

2) Pelaksanaan proses pengangkatan anak antar warga negara

Indonesia, diselengarakan melalui mekanisme sidang Tim

Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah.

3)Perlu Adanya pembentukan Tim Pertimbangan Perizinan

Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah

4) Perlu Adanya pembentukan/ penunjukan Yayasan Sosial Anak Balita

sebagai lembaga yang diberikan mandat untuk menyelenggarakan

proses pengangkatan anak.

5) Pelaksanaan proses pengangkatan anak memerlukan peran pekerja

untuk melaksanakan assemen awal calon orang tua angkat, motivasi

untuk mengangkat anak, dan mengetahui perkembangan anak baik

secara fisik dan psikologis selama dalam pengasuhan calon orang tua

angkat, serta membuat laporan sosial.

2. Perlindungan Anak Tanpa Asuhan Orang Tua

Perlindungan anak tanpa asuhan orang tua ditujukan untuk memenuhi

hak-hak anak baik kebutuhan dasar, kebutuhan pengasuhan anak,

kebutuhan perlindungan dan kebutuhan partisipasi anak.

Perlindungan anak tanpa asuhan orang tua diprioritaskan melalui

pengasuhan berbasis keluarga pengganti (keluarga besar, kerabat,

keluarga asuh dan keluarga angkat) dan pelayanan pengasuhan

alternatif yang berbasis institusi (panti) sebagai tempat pengasuhan

sementara.

58

Tujuan utama pelayanan sosial bagi anak adalah memperkuat

pengasuhan keluarga atau menghindarkan keterpisahan dari keluarga,

kecuali dalam kasus yang dengan jelas bertentangan dengan

kepentingan terbaik anak. Pengasuhan keluarga adalah pengasuhan

yang dilakukan oleh keluarga inti (orang tua termasuk ayah/ibu tiri)

atau keluarga besar anak seperti kakek, nenek, paman, dan bibi atau

kerabat anak.

Alasan ekonomi dan kemiskinan tidak boleh menjadi alasan bagi

penempatan anak dalam pelayanan panti. Semua organisasi yang

menyediakan pelayanan sosial bagi anak-anak yang tergolong rentan,

termasuk panti asuhan, harus memberikan/menfasilitasi bantuan bagi

kebutuhan pengasuhan anak dalam keluarga mereka secara individual,

termasuk bantuan keuangan dan psikososial agar anak tidak

ditempatkan di panti karena alasan ekonomi.

Jika keluarga dinyatakan tidak mampu memberikan pengasuhan pada

anak karena berbagai alasan, termasuk yang bertentangan dengan

kepentingan terbaik anak, maka pengasuhan berbasis komunitas harus

menjadi alternatif pengasuhan yang terlebih dahulu diprioritaskan bagi

anak.

Pengasuhan alternatif merupakan pengasuhan berbasis komunitas

yang dilaksanakan oleh pihak-pihak di luar keluarga inti (orang tua,

termasuk ayah/ibu tiri) atau keluarga besar (kakek, nenek, paman,

bibi) atau kerabat anak. Pengasuhan berbasis komunitas ini dilakukan

melalui sistem orang tua asuh (fostering), wali (guardianship) atau

adopsi dan pada pilihan terakhir adalah panti asuhan. Pengasuhan

tersebut, kecuali adopsi, bersifat sementara. Apabila setelah melalui

asesmen, orang tua atau keluarga besar atau kerabat anak dianggap

sudah mampu untuk mengasuh anak, maka anak akan dikembalikan

kepada mereka.

Penempatan anak dalam pengasuhan alternatif harus dilakukan atas

keputusan formal sesuai peraturan perundang-undangan bersama

59

instansi sosial yang berwenang berdasarkan asesmen kebutuhan anak

dan keluarga

Pelaksanaan pelayanan multi layanan melalui Panti Sosial Asuhan

Anak (PSAA) dan Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) atau panti sosial

anak lainnya dikembangkan program layanan dalam institusi dan

dalam keluarga. Pelayanan pengasuhan anak dalam keluarga

mendapat prioritas perhatian untuk semakin dikembangkan.

Kegiatan yang dilakukan melalui Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) dan

Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) atau panti sosial anak lainnya dalam

pelaksanan pelayanan multi layanan dengan pengembangan jenis

layanan yang serumpun, seperti Rumah Perlindungan Sosial Anak,

Taman Balita Sejahtera dan pelayanan serta perlindungan sosial anak

lainnya.

Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) berfungsi mengembangkan program

sebagai Pusat Pengembangan Remaja yang open system.

Penempatan anak dalam institusi/panti adalah alternatif terakhir dan

harus di review secara regular dengan tujuan utama untuk segera

mengembalikan anak pada keluarganya atau ke keluarga

besar/kerabatnya, jika bertentangan dengan kepentingan terbaik anak.

Orang tua merupakan sumber utama pengasuhan anak. Panti perlu

bekerjasama dengan orang tua untuk merespon berbagai persoalan

pengasuhan yang dihadapi anak. Orang tua/kerabat/wali tetap

bertanggung jawab dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang

terkait dengan pengasuhan anak di panti termasuk untuk review

penempatan, kecuali bertentangan dengan kepentingan terbaik anak.

Tujuan dari pengasuhan alternatif ditujukan untuk penyediaan

lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan anak akan kasih sayang,

juga menciptakan lingkungan layaknya keluarga. Pelaksanaan

pelayanan alternatif bagi anak harus selalu dilakukan berdasarkan

asesmen tentang kebutuhan spesifik anak, dengan tujuan utama tetap

untuk mendukung pengasuhan anak dalam keluarga.

60

Panti yang dikembangkan fungsinya menjadi lembaga kesejahteraan

sosial anak (LKSA) berdasarkan Permensos nomor 30/HUK/2011

merupakan alternatif terakhir bagi pelayanan pengasuhan alternatif

untuk anak-anak yang tidak bisa diasuh didalam keluarga inti, keluarga

besar, kerabat atau keluarga pengganti. Sesuai dengan pengembangan

fungsi panti untuk mendukung pengasuhan berbasis keluarga, maka

panti harus melakukan pencegahan agar anak tidak terpisah dari

keluarganya melalui pemberian bantuan finansial kepada keluarga dan

atau dukungan psikososial pada anak di dalam keluarganya atau

menciptakan/ membangun akses serta melakukan rujukan kepada

lembaga yang memberikan pelayanan kepada keluarga rentan.

Bagi setiap anak yang dirujuk ke panti dan teridentifikasi

membutuhkan pelayanan alternatif, panti perlu melakukan asesmen

yang dilakukan pekerja sosial dan bekerjasama dengan Dinas/Instasi

Sosial secara menyeluruh untuk memahami isu-isu yang dihadapi oleh

anak dan sistuasi keluarganya.

Panti yang menyelenggarakan pelayanan pengasuhan anak harus

berdasar kepada Standar Nasional Pengasuhan Anak (SNPA)

berdasarkan Permensos nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional

Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial.

SNPA menjadi pedoman bagi panti dalam melaksanakan perannya

sebagai alternatif terakhir dalam pengasuhan anak. Mengembangkan

pelayanan langsung untuk mendukung keluarga yang menghadapi

tantangan-tantangan dalam pengasuhan anak.

Apabila isu utama yang dihadapi keluarga adalah pengasuhan, panti

harus melakukan asesmen untuk mengidentifikasi secara jelas tentang

hambatan utama yang dialami keluarga dalam pengasuhan anak.

Apabila isu utama yang dihadapi keluarga adalah tidak adanya

kemampuan atau keinginan untuk mengasuh, maka panti perlu

memperkuat kemampuan keluarga melalui pelayanan berbasis

keluarga untuk meningkatkan pengasuhan dan keberfungsian

keluarga, atau jika tidak memungkinkan atau bertentangan dengan

61

kepentingan terbaik anak, maka panti perlu mengidentifikasi pengasuh

dari lingkungan keluarga besar yang mampu memberikan pengasuhan.

Apabila isu utama yang dihadapi keluarga adalah perlindungan terkait

dengan kasus anak tertentu, panti harus segera merujuk kasus

tersebut kepada lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan (Dinas

Sosial) untuk menentukan jenis perlindungan yang dibutuhkan. Dalam

kasus tersebut penempatan anak dalam lembaga pengasuhan hanya

bersifat sementara berdasarkan persetujuan lembaga yang berwenang.

Apabila pengasuhan dalam keluarga besar tidak memungkinkan, panti

perlu bekerjasama dengan Dinas Sosial untuk mempertimbangkan dan

mengidentifikasi kemungkinan pengasuhan keluarga alternatif melalui

keluarga asuh, perwalian atau adopsi.

Apabila isu utama yang dihadapi keluarga adalah akses terhadap

pendidikan, maka panti perlu menyediakan atau memfasilitasi akses

terhadap pendidikan.

Apabila isu utama yang dihadapi keluarga adalah ekonomi, panti perlu

memberikan dukungan untuk anak dalam keluarganya melalui bantuan

finansial atau pemberdayaan keluarga secara ekonomi, atau

mendukung keluarga untuk mengakses program-program bantuan

sosial yang tersedia.

Apabila kebutuhan pengasuhan anak tidak dapat dipenuhi oleh

keluarga, keluarga besar dan kerabat maka panti dapat menjadi

alternatif dengan penyediaan pengasuhan darurat, pengasuhan jangka

pendek dan jangka panjang sebelum anak mendapatkan pengasuhan

berbasis keluarga lainnya seperti keluarga asuh atau keluarga angkat

melalui adopsi apabila tidak dimungkinkan sama sekali anak berada

dalam pengasuhan keluarga inti, keluarga besar atau kerabat

LKSA atau panti harus memastikan bahwa setiap anak memiliki

identitas legal yang jelas, termasuk akta kelahiran dan Kartu Tanda

penduduk (KTP).

LKSA atau panti perlu mendukung keluarga untuk melengkapi akte

kelahiran, kartu keluarga dan KTP.

62

LKSA atau panti dilarang mengganti identitas asal anak, termasuk

nama, agama dan etnisitas.

Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) atau panti harus memiliki

pekerja sosial profesional yang

memiliki latar belakang pendidikan pekerjaan sosial dan pengalaman

bekerja dengan anak, membantu pelaksanaan tugas pengasuhan

melalui kegiatan asesmen, merumuskan rencana pengasuhan baik

darurat, jangka pendek dan pengasuhan jangka panjang serta

mendukung pelayanan dan pengasuhan keseharian.

Pekerja sosial perlu mendukung keluarga yang menempatkan anaknya

dipanti agar selalu menjalin relasi dengan anak, memahami pentingnya

pengasuhan keluarga, meminta bantuan/dukungan apabila mengalami

kesulitasn serta merubah perilaku pengasuhan orang tua.

Pekerja sosial memberikan peningkatan kapasitas keluarga dan

peningkatan pemenuhan kebutuhan anak dalam pengasuhan, melalui

program Temu Penguatan Anak dan Keluarga (TEPAK) yang dilakukan

secara rutin.

TEPAK dilakukan juga terhadap anak-anak untuk merangsang tumbuh

kembang anak, kemandiran daan partisipasi anak melalui permainan

edukatif dan dinamika kelompok.

Pekerja sosial perlu membangun jaringan dengan berbagai sumber

untuk mengoptimalkan dukungan terhadap penguatan keluarga,

pelaksanaan pengasuhan oleh keluarga alternatif, adopsi dan dalam

institusi atau panti. Dengan demikian, jumlah anak yang diasuh di

panti dapat dieliminir.

Panti harus menyediakan pengasuh yang bertanggungjawab terhadap

setiap anak asuh secara individual dan melaksanakan tugas sebagai

pengasuh selama anak berada dalam pengasuhan panti serta tidak

merangkap tugas lainnya untuk mengoptimalkan pengasuhan.

Setiap pengasuh harus memiliki kompetensi profesional dan

pengalaman dalam pengasuhan anak serta kemampuan untuk

63

mengasuh yang dalam pelaksanaannya mendapatkan supervisi dari

Dinas/Instansi Sosial setempat.

3. Perlindungan Anak Berhadapan Hukum dan Pengembangan Remaja

Perubahan nomenklatur anak nakal menjadi anak berhadapan dengan

hukum (Children in contact with the law) merujuk kepada Konvensi

Hak Anak dimana Indenesia merupakan salah satu negara yang telah

ikut meratifikasi dengan Kepres No. 36 Tahun 1990

Perubahan nomenklatur Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) menjadi

Pusat Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum(ABH)

Kementerian Sosial dalam mengemban amanat UU No.3 Tahun 1997

tentang Pengadilan anak pasal 5 dan 24. Pasal tersebut mengandung

makna bahwa Kementerian Sosial menjadi pilihan terakhir untuk

menerima anak yang belum bisa dituntut secara hukum serta putusan

tindakan dari proses pengadilan hukuman tindakan (putusan hakim)

walaupun fakta di lapangan masih sangat sedikit kasus yang terjadi

menyangkut pasal dimaksud diatas.

Pendekatan penanganan anak berhadapan hukum telah bergeser dari

yang retributif kepada restorative justice serta dengan mengutamakan

pendekatan pemenuhan hak-hak anak (right based approach).

Berdasarkan hal tersebut diperlukan perhatian dan kesungguhan kita

semua dalam penanganannya dengan mengedepankan kepentingan

terbaik untuk anak dan tetap terpenuhi hak-haknya sebagai anak serta

melihat anak sebagai korban sehingga mereka dapat tetap

mendapatkan perlindungan serta tumbuh kembang secara normatif.

Penanganan ABH diperlukan penanganan secara professional, terpadu

dan terintegrasi antar pemangku kepentingan /lintas sector dan harus

dilembagakan secara formal dengan pembentuk Komite Peradilan Anak

dengan kesekretariatan berada di Pusat Perlindungan ABH

Mendukung pengembangan Model perlindungan ABH di perlukan

dukungan dan partisipasi masyarakat dengan mengedepankan

Perlindungan ABH berbasis masyarakat yang berada di tingkat local

64

dimana kasus terjadi . PABH BM di arahkan kepada fungsi pencegahan

dan pengawasan terhadap hasil diversi dengan didampingi oleh

Pekerja Sosial Profesional

Sehubungan dengan perubahan nomenklatur menjadi ABH membawa

implikasi penerima manfaat dari Pusat perlindungan ABH sudah

mengarah kepada dua kategori ABH sebagai berikut : (a) Offender

status : perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang

dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan ( tidak menurut, bolos

sekolah, kabur dari rumah,dsb); dan (b) Juvenile Deliquency : perilaku

kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap

melanggar hukum atau kejahatan (mencuri, pengedar narkoba,

membunuh,dll)

Sehubungan amanat UU No.3/1997 pasal 5 dan pasal 24(c) dimana

anak dapat diserahkan kepada Kementerian Sosial, Kesepakatan

Bersama 7 Dirjen dalam penanganan ABH serta Rencana perubahan

UU Peradilan anak maka para Pekerja Sosial Pusat Perlindungan ABH

maupun Pekerja Sosial/Pendamping di lembaga yang menangani ABH

harus proaktif/tanggap dalam merespon kasus yang terjadi dari awal

terjadinya kasus baik laporan dari masyarakat ataupun tetap ditangkap

penegak hukum/Polisi dengan melakukan penjangkauan

Melakukan pendampingan terhadap ABH dan keluarganya selama

proses peradilan dan menindak lanjuti putusan hakim yang merujuk

pada UU 3/1997 pasal 24(c)

Perubahan tersebut menuntut pengembangan peran dan tugas dari

para pemangku kepentingan penanganan kasus anak berhadapan

hukum segera dapat mengoptimalkan diversi terhadap kasus anak

berhadapan hukum, dengan demikian dapat mewujudkan bahwa

pemidanaan anak merupakan alternatif terakhir dan bahkan tidak ada

tempat di penjara untuk anak sehingga tidak terjadi pelanggaran

terhadap hak-hak ABH.

65

4. Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak dengan Kecacatan

Perubahan nomenklatur anak cacat menjadi anak dengan kecacatan

(children with disability).

Penanganan masalah kecacatan yang juga penting adalah program

pencegahan kecacatan dan peningkatan kesadaran masyarakat bahwa

anak dengan kecacatan mempunyai hak yang sama dengan anak

tanpa kecacatan; demikian juga, yang penting untuk mendapat

perhatian adalah pembangunan gedung dan fasilitas yang “ramah”

pada penyandang cacat

Adanya keterbatasan pemerintah dalam panti pelayanan dan

rehabilitasi sosial bagi anak dengan kecacatan, dan dalam rangka

meningkatkan efektifitas multi fungsi layanan panti penyandang cacat,

maka dalam kasus emergency (darurat) diharapkan panti penyandang

cacat dapat memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak

dengan kecacatan dari kategori usia 0-18 tahun.

Permasalahan anak dengan kecacatan pada dasarnya merupakan

menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, pemerintah dan

masyarakat. Menjawab permasalah tersebut, telah dimulai suatu

paradigma baru (shift paradigm) dan munculnya transformasi yang

berfokus dari ”Residential Care” menjadi ”Family Centered Support

Services”. Diperlukannya suatu pengembangan model pelayanan dalam

penguatan tanggungjawab orangtua dan keluarga bagi anak dengan

kecacatan. Disamping itu, partisipasi anak perlu mendapat perhatian,

juga dilakukan upaya peningkatan kapasitas anak, seperti melatihnya

agar terampil dalam “life skills”. Model ”Family Centered Support

Services” ini memperkuat peran dan tanggungjawab orangtua/keluarga

yang memiliki anak dengan kecacatan. Pengembangan model ini

diperkuat dengan pembentukan Forum Komunikasi Keluarga Dengan

Anak Cacat (FKKDAC), dilokasi pengembangan model. Forum

merupakan wadah bagi para orang tua yang memiliki anak dengan

kecacatan untuk dapat saling bertukar informasi dan mengembangkan

66

pelayanan bagi anak-anak dengan kecacatan agar mereka dapat

terpenuhi hak-haknya.

4. Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK).

Pengembangan lebih lanjut secara fungsional bagi penanganan anak yang

membutuhkan perlindungan khusus dan mengalami kesulitan belajar

pendampingannya dilakukan oleh Pekerja Sosial di sekolah.

Pengembangan jaringan dan pola penangan anak yang membutuhkan

perlindungan khusus dilakukan melalui jejaring yang ada dan bisa

dikembangkan melalui RPSA, TESA 129, dan LPA yang tersebar di

beberapa provinsi.

Fungsi Hotline Service dalam rangka mengakomodir dan memberikan

pelayanan pengaduan anak dan kasus anak melalui telepon bisa

dilaksanakan dan diakses dengan membuka jaringan khsusus bebas pulsa

pada Dinas Sosial, LPA dan RPSA yang ada.

LPA yang terbentuk baik pada level provinsi maupun kota/kabupaten

diharapkan mampu mengembangkan fungsi Rumah Perlindungan Sosial

dalam menangani anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

Penanganan anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang

dieksploitasi, anak dari komunitas adat terpencil dan anak dengan

HIV/AIDS dilakukan melalui kerjasama lintas sektor dan stakeholder

seperti Dinas Sosial (Provinsi, Kab/Kota), RPSA, LPA, Yayasan/ Orsos/LKSA

dll.

Penanganan kasus pada tingkat lokal/daerah dilaksanakan oleh beberapa

stakeholder yang ada di daerah, akan tetapi apabila kasus dimaksud

berskala nasional maka pemerintah pusat melalui Tim Reaksi Cepat (TRC)

working group berkewajiban melaksanakan penanganan dengan

berkoordinasi dengan Dinas Sosial Provinsi maupun Kabupaten Kota.

Upaya perlindungan bagi anak korban Bencana Alam maupun Bencana

Sosial dilaksanakan dengan melibatkan TRC, Sakti Peksos, LPA, RPSA dan

Tagana melalui kegiatan Pondok Anak Ceria (PAC) dan Dukungan

Psikososial bagi anak korban bencana alam atau bencana sosial .

67

Layanan Telekonseling melalui layananan Telepon Sahabat Anak (TESA

129) dan Layanan Telepon Perlindungan Sosial Anak (TEPSA) yang

dilaksanakan berdasarkan kerjasama lintas sejtor

J. Perencanaan dan Anggaran

Sehubungan dengan adanya perubahan-perubahan pada Kebijakan Teknis

Kesejahteraan Sosial Anak baik itu yang bersifat nomenklatur maupun

program dan kegiatannya, maka seluruh pihak terkait yaitu perencana

program dan pelaksanaannya, untuk segera menyesuaikan, sehingga akan

terwujud optimalisasi pencapaian tujuan.

K. Pengendalian dan Evaluasi

1. Gubernur, Bupati/Walikota cq. Kepala Instansi Sosial provinsi dan

Kabupaten/Kota untuk melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap

implementasi Renstra ini, untuk mensinergikan, mensinkronisasikan dan

mengintegrasikan pencapaian sasaran dan prioritas program

Kesejahteraan Sosial Anak.

2. Pihak pemeriksa / auditor baik dari Inspektorat Jenderal Kementerian

Sosial maupun Badan Pemeriksa lainnya, dalam pelaksanaan pemeriksaan

program dan kegiatan Program Kesejahteraan Sosial Anak baik di Pusat

maupun Daerah untuk dapat menyesuaikan dengan surat edaran ini.

68

BAB V

P E N U T U P

Rencana Strategis (Renstra) Rehabilitasi Sosial Anak Tahun 2015 – 2019.

Terpenuhi hak-haknya merupakan dan menjadi langkah awal dari upaya

mengelola program rehabilitasi sosial anak secara lebih tertib manajemen. Oleh

karena itu, Renstra Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak sesuai dengan Visi,

Misi Presiden dan Strategi Pembangunan Kesejahteraan Sosial 2015-2019 dan

Renstra Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial.

Sehubungan dengan hal tersebut, dokumen ini diharapkan dapat mempertegas

posisi dan peranan pelayanan dan rehabilitasi sosial anak yang berbasis hak

anak dan demi kepentingan terbaik anak, serta dapat menyatukan derap

langkah semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan rehabilitasi sosial

anak (stake holders) baik Pemerintah, Dunia Usaha dan institusi

kemasyarakatan untuk mencapai suatu arah yaitu terlaksananya perencanaan,

pelaksanaan dan pengendalian program yang sesuai dengan paradigma

pembangunan serta kebutuhan dan aspirasi masyarakat sebagai pengguna

(beneficiariest customer) pelayanan dan rehabilitasi sosial anak.

Rencana Strategis Rehabilitasi Sosial Anak Tahun 2015–2019 disusun dengan

memperhatikan Renstra Pembangunan Kesejahteraan Sosial yang dalam

konteks makro kita memahami bahwa sampai saat ini pelaksanaan

pembangunan Kesejahteraan Sosial masih dipengaruhi dampak berbagai krisis

yang menimbulkan permasalahan sosial yang semakin kompleks serta

perubahan paradigma yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi

kecenderungan yang terjadi.

Sebagai rencana strategis untuk 5 (lima) tahun mendatang, rencana strategis

rehabilitasi sosial anak tahun 2015 – 2019 diharapkan dapat menjadi dokumen

yang mampu memberikan arah strategis, target dan sasaran yang tepat tetapi

fleksibel dengan perkembangan situasi yang terjadi khususnya dalam bidang

pembangunan kesejahteraan sosial anak dan kondisi setempat yang unik dan

spesifik.

69

KATA PENGANTAR

Rencana Strategis Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dalam Mewujudkan

Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Tahun 2015-2019 mengacu pada

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan Rencana

Strategis Kementerian Sosial RI tahun 2015-2019. Renstra merupakan dokumen

perencanaan yang berwawasan jangka menengah (lima tahun). Oleh karena itu

renstra merupakan acuan dalam penyusunan rencana kerja tahunan Direktorat

Kesejahteraan Sosial Anak. Renstra juga merupakan acuan penilaian kinerja baik

oleh lembaga auditor internal maupun internal. Oleh karena itu menjadi suatu

keharusan setiap Unit Eselon II memiliki Renstra mengacu visi, misi Presiden RI

terpilih tujuan dan sasaran strategis, serta kebijakan, strategi dan program.

Jakarta, 05 Oktober 2015

Direktur Kesejahteraan Sosial Anak

Edi Suharto, M.Sc. Ph.D NIP. 196511061992011001