remaja dengan tingkah laku serius

21
Ulasan Penelitian Tahunan: Pendekatan Perkembangan Psikopatologis untuk Memahami Sifat Tanpa Perasaan (Callous-Unemotional) pada Anak dan Remaja dengan Masalah Tingkah Laku Serius Penelitian akhir menyebutkan keberadaan sifat tanpa perasaan (callous-unemotional / CU) dengan level signifikan menandakan kepentingan secara klinis dan perbedaan etiologi pada kelompok anak dan remaja dengan masalah tingkah laku yang serius. Berdasarkan penelitian ini, sifat CU telah dimasukkan ke dalam hal yang paling sering direvisi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi 5 (DSM-5; Asosiasi Psikiatri Amerika, 2013) – sebagai hal spesifik untuk diagnosis gangguan tingkah laku. Dalam ulasan ini, kami mencoba memahami sifat CU dalam kerangka perkembangan psikopatologi. Secara spesifik kami merangkum penelitian perkembangan normal emosi prososial dari empati dan perasaan bersalah (yaitu hati nurani) dan kami menggambarkan bagaimana perkembangan sifat CU dapat dilihat sebagai perkembangan normal hati nurani. Kami juga mengulas penelitian tentang stabilitas sifat CU pada periode perkembangan yang berbeda dan faktor penting yang mempengaruhi stabilitas ini. Akhirnya, kami menyoroti implikasi dari kerangka perkembangan psikopatologi untuk penelitian etiologi selanjutnya, untuk penliaian dan klasifikasi diagnostik, dan untuk penanganan anak dengan masalah tingkah laku serius. Kata Kunci: sifat CU, perkembangan psikopatologi, hati nurani, empati, rasa bersalah, stabilitas Pendahuluan Masalah tingkah laku serius didefinisikan sebagai perilaku yang melibatkan pelanggaran hak orang lain (seperti mencuri, penyerangan secara fisik, perusakan properti) atau pelanggaran norma utama masyarakat (seperti berbohong, kabur dari rumah, Asosiasi Psikiatri Amerika, 2013). Perilaku seperti ini pada anak merupakan masalah kesehatan mental serius karena mereka berhubungan dengan pemilik lain sosial, emosi, dan masalah

description

Ulasan Penelitian Tahunan

Transcript of remaja dengan tingkah laku serius

Page 1: remaja dengan tingkah laku serius

Ulasan Penelitian Tahunan: Pendekatan Perkembangan Psikopatologis untuk Memahami Sifat Tanpa Perasaan (Callous-Unemotional) pada Anak dan Remaja dengan Masalah

Tingkah Laku Serius

Penelitian akhir menyebutkan keberadaan sifat tanpa perasaan (callous-unemotional / CU) dengan level signifikan menandakan kepentingan secara klinis dan perbedaan etiologi pada kelompok anak dan remaja dengan masalah tingkah laku yang serius. Berdasarkan penelitian ini, sifat CU telah dimasukkan ke dalam hal yang paling sering direvisi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi 5 (DSM-5; Asosiasi Psikiatri Amerika, 2013) – sebagai hal spesifik untuk diagnosis gangguan tingkah laku. Dalam ulasan ini, kami mencoba memahami sifat CU dalam kerangka perkembangan psikopatologi. Secara spesifik kami merangkum penelitian perkembangan normal emosi prososial dari empati dan perasaan bersalah (yaitu hati nurani) dan kami menggambarkan bagaimana perkembangan sifat CU dapat dilihat sebagai perkembangan normal hati nurani. Kami juga mengulas penelitian tentang stabilitas sifat CU pada periode perkembangan yang berbeda dan faktor penting yang mempengaruhi stabilitas ini. Akhirnya, kami menyoroti implikasi dari kerangka perkembangan psikopatologi untuk penelitian etiologi selanjutnya, untuk penliaian dan klasifikasi diagnostik, dan untuk penanganan anak dengan masalah tingkah laku serius.

Kata Kunci: sifat CU, perkembangan psikopatologi, hati nurani, empati, rasa bersalah, stabilitas

Pendahuluan

Masalah tingkah laku serius didefinisikan sebagai perilaku yang melibatkan pelanggaran hak orang lain (seperti mencuri, penyerangan secara fisik, perusakan properti) atau pelanggaran norma utama masyarakat (seperti berbohong, kabur dari rumah, Asosiasi Psikiatri Amerika, 2013). Perilaku seperti ini pada anak merupakan masalah kesehatan mental serius karena mereka berhubungan dengan pemilik lain sosial, emosi, dan masalah akademik pada tahap perkembangan selanjutnya (Odgers et al., 2007, 2008). Penelitian yang menyelidiki penyebab masalah tingkah laku yang serius telah sangat membantu untuk mendokumentasi susunan yang luas dari faktor risiko disposisional (seperti biologis, emosional, kognitif) dan lingkungan (seperti keluarga dan masyarakat) yang membuat anak rentan untuk mengalami masalah tingkah laku serius (lihat Frick & Viding, 2009; Hill, 2002; Moffitt et al., 2008 untuk ulasan). Mengenali keberagaman tipe faktor risiko penting untuk teori kausa karena hal itu menunjukkan berbagai penyebab yang focus pada siapapun atau bahkan sedikit tipe risiko tidak cukup sebagai penjelasan perkembangan masalah tingkah laku anak. Akan tetapi, keberagaman tipe faktor risiko telah membuatnya sulit untuk mengembangkan teori terintegrasi untuk memandu penelitian etiologi mengenai masalah tingkah laku pada anak, dan juga untuk menegmbangkan intervensi efektif untuk anak dengan masalah tingkah laku serius yang berasal dari penelitian ini.

Pendekatan perkembangan psikopatologisDalam studi ini, kami mencoba menunjukkan bagaimana perkembanagn psikopatologis

penting untuk mengatasi kesulitan ini. Perkembangan psikopatologis mencoba mengintegrasi penelitian perkembangan normal dengan psikopatologis untuk mengetahui bagaimana proses

Page 2: remaja dengan tingkah laku serius

perkembangan normal dapat berjalan berbeda pada orang dengan gangguan kesehatan mental (Cicchetti & Rogosch, 1996). Terdapat sejumlah implikasi penting dari pendekatan ini tapi ada 3 implikasi yang kami debatkan yang penting untuk mengembangkan teori kausa dari masalah tingkah laku serius dan bahwa itu penting pada ulasan ini.

Pertama, perkembangan psikopatologis member penekanan besar pada pemahaman mekanisme perkembangan yang berjalan salah pada anak dengan maslah emosi dan perilaku daripada menekankan berbagai faktor risiko yang berdampak negatif pada mekanisme ini. Sebagai contoh, daripada fokus pada pengasuhan yang disfungsional atau penolakan dari orang lain sebagai faktor risiko potensial untuk perkembangan masalah tingkah laku, kerangka perkembanagn psikopatologis menekankan bagaimana faktor-faktor risiko ini berdampak negatif pada perkembangan anak (contoh: gagal belajar menguasai emosi). Daripada fokus untuk menggambarkan abnormalitas neurokimia atau deficit pada fungsi otak, pendekatan perkembangan psikopatologis menjelaskan proses perkembangan apa yang terkait penanda fisiologis ini sebagai petunjuk bagaimana proses ini dapat berjalan salah pada orang dengan masalah penyesuaian, seperti anak dengan masalah tingkah laku serius.

Kedua, pendekatan perkembangan psikopatologis mengenali bahwa tiap keluaran perkembangan, baik normal dan abnormal, terjadi melalui banyak jalur dimana melibatkan proses perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini adalah konsep berlabel ‘equifinality’ (Cicchetti & Rogosch, 1996). Karena equifinality, pendekatan perkembangan psikopatologis tentang masalah tingkah laku serius mencoba menggambarkan berbagai proses yang melibatkan beragam deviasi pada perkembangan normal, yang menempatkan anak pada posisi berisiko mengalami masalah tingkah laku serius. Oleh karena itu, berbagai faktor risiko disusun dan dimengerti terkait beragam ‘jalur perkembangan’ ini.

Ketiga, perkembangan psikopatologis juga mengenali perkembangan normal dan abnormal tidak statis tetapi dinamis dan berkelanjutan. Perkembanagn orang terus berjalan dan dapat berubah. Sebagai hasilnya, model kausa harus mempertimbangkan stabilitas mekanisme keluaran (seperti masalah tingkah laku) dan lingkungan (seperti masalah pengaturan emosi). Faktor yang mempengaruhi bisa/tidak bisa menjadi faktor pengaruh perkembangan awal dari keluaran (Loeber & Farrington, 2000) dan sifat lunak relatif dari keluaran perkembangan tertentu (yaitu kemampuan mempengaruhi stabilitas) dapat bervariasi sepanjang tahap perkembangan. Oleh karena itu, memahami kelanjutan dan diskontinuitas sepanjang perkembangan penting untuk menjelaskan masalah tingkah laku serius dan mekanisme perkembangan yang membuat anak berisiko pada masalah-masalah ini.

Sebelumnya, Frick dan Viding (2009) menunjukkan kerangka perkembangan psikopatologis untuk memahami etiologi masalah tingkah laku serius. Sebagai rangkuman, mereka membuat pembagian bagus yang dibuat oleh Moffitt (2006), Patterson (1996), dan yang lain (Aguilar, Sroufe, Egeland, & Carlson, 2000; Nagin & Tremblay, 1999) antara masalah tingkah laku serius yang muncul pada awal masa anak dan pada masa awal remaja. Mereka menyediakan data pendukung dimana onset masalah tingkah laku serius pada remaja kelihatannya berkaitan dengan masalah perkembangan identitas yang terjadi pada masa remaja, sedangkan onset masalah tingkah laku serius pada anak berkaitan dengan penyimpangan perkembangan yang mudah menyebabkan masalah selama tahap perkembangan. Selain itu, mereka menunjukkan ada 2 jalur umum pada kelompok onset anak, yang pertama melibatkan masalah emosional dan perilaku dan yang kedua melibatkan masalah perkembangan hati nurani yang ditandai gaya interpersonal yang tanpa perasaan.

Page 3: remaja dengan tingkah laku serius

Tujuan ulasan ini adalah memperluas model yang sebelumnya diulas (Frick & Viding, 2009) dengan fokus pada jalur kedua ini dalam kelompok onset anak melibatkan sifat CU. Secara spesifik kami member penjelasan singkat dari tubuh penting penelitian yang menunjukkan bahwa keberadaan sifat ini menggambarkan kelompok anak dan remaja berbeda yang menunjukkan pola stabil dan progresif masalah tingkah laku dan yang menunjukkan beragam faktor risiko emosional, kognitif, biologis, dan sosial. Penelitian ini menjelaskan singkat karena hal itu menjadi fokus ulasan lain (Frick, Ray, Thorntorn, dan Kahn 2013; Frick & White, 2008). Kontribusi unik ulasan akhir-akhir ini adalah menempatkan penelitian ini dalam konteks perkembangan psikopatologis yang telah disebutkan di atas. Kami mengintegrasi penelitian pada anak dan remaja dengan sifat CU dengan teori perkembangan normal hati nurani dan kami mempertimbangkan faktor apa yang menyebabkan proses perkembangan normal ini berjalan salah pada anak denagn sifat CU. Kami juga mengulas penelitian stabilitas sifat CU selama berbagai tahap perkembangan dan kami menekankan faktor yang mempengaruhi stabilitas ini. Fokus pada stabilitas ini penting untuk pendekatan perkembangan psikopatologis, tapi tidak dijelaskan pada ulasan sebelumnya. Akhirnya kami membahas implikasi perkembangan psikopatologis untuk penelitian kausa dari masalah tingkah laku serius, untuk penilaian dan klasifikasi diagnostik anak dan remaja dengan masalah tingkah laku serius, dan untuk pencegahan dan penanganan.

Sifat CU dan masalah tingkah laku seriusSifat CU adalah karakter tanpa rasa bersalah dan menyesal, tidak memikirkan perasaan

orang lain, ekspresi emosi minimal, dan kurang perhatian pada performa dalam aktivitas penting (Frick, 2009). Sifat ini dianggap sebagai psikopati pada penelitian sifat antisosial pada dewasa (Hare & Neumann, 2008) dan mereka adalah bagian penting (indicator negatif) beberapa definisi prososialitas anak (Lahey & Waldman, 2003). Sifat CU telah diukur pada anak mulai usia 2 tahun (Waller et al., 2012) dan prevalensi peningkatan sifat CU beragam dari 10%-32% pada sampel komunitas dan 21%-50% pada sampel anak secara klinis (Kahn, Frick, Youngstrom, Findling, & Youngstrom, 2012; untuk ulasan lihat Herpers, Rommelse, Bons, Buitelaar, & Scheepers, 2012). Terdapat beberapa ulasan pada penelitian sifat CU dan hubungannya dengan masalah tingkah laku serius pada sampel anak dan remaja (Frick, 2009; Frick & White, 2008; Frick et al., 2013). Kami memberikan ringkasan singkat beberapa penemuan dari penelitian ini. Pertama, penelitian menunjukkan dalam masalah tingkah laku onset anak (Kahn et al., 2012; Pardini, Stepp, Hipwell, Stouthamer-Loeber, & Loeber, 2012) atau pada remaja dengan perilaku antisosial serius (Kruh, Frick, & Clements, 2005; Lawing, Frick, & Cruise, 2010), sifat CU menggambarkan subgrup yang agresif. Disamping agresi berat, pemuda dengan sifat CU meningkat menunjukkan agresi lebih instrumental (yaitu untuk dominansi personal) dan terencana dibandingkan anak dan remaja lain dengan masalah tingkah laku serius (Frick, Cornell, et al., 2003; Kruh et al., 2005; Lawing et al., 2010; Marsee & Frick, 2007). Lebih lanjut, sifat CU berkaitan dengan onset lebih awal dari masalah tingkah laku serius (Dandreaux & Frick, 2009; Silverthorn, Frick, & Reynolds, 2001) dan dengan pola lebih stabil dari masalah tingkah laku serius (Frick, Stickle, Dandreaux, Farrell, & Kimonis, 2005; Rowe et al., 2010). Bahkan mengkontrol masalah tingkah laku serius mereka akan membuat anak dengan sifat CU menunjukkan perilaku antisosial lebih pada masa dewasa (Burke, Loeber, & Lahey, 2007; McMahon, Witkiewitz, & Kotler, 2010). Sebagai contoh, pada sampel komunitas berisiko tinggi (n=754), McMahon et al. (2010) melaporkan sifat CU yang dinilai pada level 7 memprediksi

Page 4: remaja dengan tingkah laku serius

keluaran usia dewasa dengan antisosial yang mengkontrol jumlah masalah tingkah laku dan onset masa anak dari masalah tingkah laku serius (seperti gejala ADHD pada level 7).

Kedua, anak dan remaja dengan masalah tingkah laku serius dan sifat CU juga menunjukkan kognitif berbeda dari dewasa muda dengan masalah tingkah laku. Anak dan remaja dengan sifat CU menunjukkan insensitivitas isyarat hukuman dengan tugas dimana respons penghargaan diutamakan (Fisher & Blair, 1998; Frick, Cornell, et al., 2003; Frick, Kimonis, et al., 2003) dan mereka berespons buruk terhadap jadwal hukuman bertahap (Blair, Colledge, Murray, & Mitchell, 2001). Remaja dengan sifat CU dilaporkan meremehkan kecenderungan emreka akan dihukum karena perilaku salah relatif terhadap remaja lain dengan masalah tingkah laku serius (Pardini, Lochman, & Frick, 2003). Beberapa studi melaporkan bahwa anak dan remaja dengan masalah tingkah laku serius dan sifat CU memiliki nilai dan tujuan menyimpang dalam situasi sosial, seperti menunjukkan agresi lebih diterima untuk mencapai tujuan, menyalahkan orang lain karena perilaku salah, menekankan dominansi dan pembalsan dendam dalam konflik sosial (Chabrol, Van Leeuwen, Rodgers, & Gibbs, 2011; Pardini, 2011; Pardini et al., 2003; Stickle, Kirkpatrick, & Brush, 2009).

Ketiga, anak dan remaja dengan sifat CU menunjukkan respons emosi rendah dalam beberapa situasi. Contohnya, relatif terhadap anak dan remaja lain dengan masalah tingkah laku, mereka dengan sifat CU meningkat menunjukkan respons lemah sebagai tanda tekanan pada yang lain (Blair, Colledge et al., 2001; Kimonis, Frick, Fazekas, & Loney, 2006; Kimonis, Frick, Mu~noz, & Aucoin, 2008; Marsh et al., 2011). Willoughby, Waschbusch, Moore, and Propper (2011) melaporkan anak usia 5 tahun (n=178) dengan sifat CU tinggi orang tua gejala gangguan menentang (ODD) menunjukkan reaktifitas negatif pada paradigm wajah orang tua tanpa emosi atau interaksi dengan bayi saat bayi (6 bulan) dibandingkan dengan mereka dengan gejala ODD tapi tingkat normal dari sifat CU. Sifat CU berelasi negatif dengan reaktivitas konduksi kulit pada provokasi orang lain dengan sampel remaja pria yang tertahan (Kimonis, Frick, Skeem, et al., 2008). Anastassiou-Hadjicharalambous dan Warden (2008) dan de Wied, van Boxtel, Matthys, dan Meeus (2012) melaporkan bahwa dewasa muda dengan masalah tingkah laku serius dan sifat CU meningkat menunjukkan perubahan dari denyut nadi lambat menjadi emosional dibandingkan dewasa muda dengan masalah tingkah laku dan tingkat normal sifat CU. Anak dengan sifat CU menunjukkan reaktifitas tumpul kortisol pada percobaan diinduksi stres (Stadler et al., 2011). Melalui beragam sampel dan metode untuk mengukur respons emosi, anak denagn sifat CU meningkat menunjukkan respons emosional lemah terhadap stimulus emosional dibandingkan anak dengan masalah tingkah laku serius dan tingkat normal sifat CU.

Keempat, anak dan remaja dengan sifat CU meningkat menunjukkan perbedaan personalitas relatif terhadap dewasa muda dengan masalah tingkah laku serius. Sifat CU sering berkaitan dengan tingkat ketakutan dan kecemasan yang rendah terutama saat mengkontrol level masalh perilaku mereka (Frick, Lilienfeld, Ellis, Loney, & Silverthorn, 1999; Lynam et al., 2005; Pardini, 2006; Pardini et al., 2012). Hubungan ini tidak ditemukan dalam studi potong lintang, tetapi hubungan prediktif telah ditunjukkan. Contohnya, Barker, Oliver, Viding, Salekin, and Maughan (2011) memakai sampel berbasis populasi (n=7000) dan melaporkan bahwa sifat tidak takut pada usia 2 tahun memprediksi sifat CU dan masalah tingkah laku pada usia 13 tahun (Barker et al., 2013). Akan tetapi, pada analisis yang lain, anak usia 13 tahun dengan sifat CU dan masalah tingkah laku tingkat tinggi menunjukkan respons tidak takut yang lemah terhadap hukuman pada usia 2 tahun dibandingkan mereka dengan hanya masalah tingkah laku.

Kelima, penelitian genetik perilaku yang memeriksa penanda biologis telah menemukan perbedaan pada anak dengan masalah tingkah laku serius dengan atau tanpa sifat CU yang

Page 5: remaja dengan tingkah laku serius

meningkat. Sebagai contoh, studi populasi (n=7374) pada kembar usia 7 tahun, pengaruh genetik pada masalah tingkah laku onset anak dilaporkan lebih tinggi pada sifat CU meningkat (81%) dari sifat CU level normal (30%; Viding, Blair, Moffitt, & Plomin, 2005). Anak pria dengan masalah tingkah laku dan sifat CU meningkat menunjukkan respons lemah amigdala terhadap kejadian menakutkan, sedangkan anak pria dengan masalah tingkah laku dan sifat CU level normal menunjukkan peningkatan respons amigdala (Sebastian et al., 2012; Viding et al.,2012).

Akhirnya, masalah tingkah laku cenderung memiliki hubungan berbeda dengan pola pengasuhan tergantung pada ada tidaknya peningkatan level sifat CU pada anak dan remaja. Disiplin yang keras dan inkonsisten lebih berkaitan dengan masalah tingkah laku pada dewasa muda dengan level normal sifat CU relatif terhadap sifat CU meningkat (Edens, Skopp, & Cahill, 2008; Hipwell et al., 2007; Oxford, Cavell, & Hughes, 2003; Pasalich, Dadds, Hawes, & Brennan, 2012; Wootton, Frick, Shelton, & Silverthorn, 1997; Yeh, Chen, Raine, Baker, & Jacobson, 2011). Kehangatan rendah dalam pengasuhan tampaknya lebih berkaitan dengan , masalah tingkah laku pada dewasa muda dengan sifat CU meningkat (Kroneman, Hipwell, Loeber, Koot, & Pardini, 2011; Pasalich et al., 2012).

Anak dengan masalah tingkah laku serius dan sifat CU meningkat menunjukkan beragam karakteristik kognitif, afektif, biologis, dan sosial yang menandakan proses kausa dibalik masalah perilaku mereka berbeda dari mereka dengan sifat CU level normal. Frick dan Viding(2009) menemukan bahwa anak dengan masalah tingkah laku serius dan sifat CU meningkat memiliki temperamen (yaitu tidak takut, respons lemah pada hukuman) yang dapat mengganggu perkembangan normal hati nurani dan membuat mereka berisiko memiliki perilaku antisosial pola agresif.

Perkembangan hati nurani dan sifat CUPerkembangan hati nurani. Hati nurani telah menjadi konstruksi perkembangan

psikologis dan terutama mereka yang mempelajari emosi moral yang menunjang perilaku prososial (Hoffman, 1970). Hati nurani didefinisikan oleh 2 konstruksi utama yaitu rasa bersalah dan empati (Thompson & Newton, 2010). Rasa bersalah adalah pikiran dan perasaan tertekan terkait dengan transgresi (Baker, Baibazarova, Ktistaki, Shelton, & Van Goozen, 2012; Kochanska, Gross, Lin, & Nichols, 2002; Zahn-Waxler, Kochanska, Krupnick, & McKnew, 1990). Pada masa awal anak, hal ini mungkin sulit dibedakan dengan rasa bersalah terkait efek perilaku orang lain dan perasaan malu (Eisenberg, Eggum, & Edwards, 2010). Pada usia 2 tahun, anak menunjukkan campuran rasa malu dan bersalah terkait pengaruh transgresi, seperti pada perubahan afek mengikuti perilaku buruk (Kochanska et al., 2002). Tetapi, rasa bersalah dan malu lebih dibedakan pada perkembangan dengan rasa bersalah berkaitan dengan perilaku prososial dan rasa malu berhubungan dengan masalah seperti kecemasan dan depresi (Tangney, Wagner, & Gramzow, 1992).

Komponen kunci kedua hati nurani adalah empati yang berarti respons emosional yang dibagikan hasil dari apresiasi terhadap emosi orang lain (Eisenberg et al., 2010). Empati mulai timbul pada usia 2-3 tahun dan berkembang pada awal masa anak (Eisenberg & Fabes, 1998). Empati melibatkan komponen kognitif dan afektif dan teori empati menekankan komponen terpisah ini (Blair, 2005). Tetapi, 2 komponen ini memiliki interrelasi dengan penularan emosional (yaitu anak menjadi tertekan karena tangisan anak lain) pada awal masa anak dapat meningkatkan ambilan perspektif lebih awal (Belacchi & Farina, 2012; Zahn-Waxler & Radke-

Page 6: remaja dengan tingkah laku serius

Yarrow, 1982). Kemampuan mengetahui dan memahami emosi orang lain dapat meningkatkan pengalaman afektif (Hinnant & O’Brien, 2007).

Emosi moral empati dan rasa bersalah bersama mendefinisikan kata ‘hati nurani’ dan tujuan utama perkembangan hati nurani adalah meningkatkan perilaku prososial (Eisenberg & Miller, 1987). Perilaku prososial adalah perilaku secara sadar untuk keuntungan orang lain, seperti menolong, membagi, mendukung (Eisenberg, 1986). Tetapi, emosi moral juga menghambat perilaku antisosial dengan mengajak orang menghindari aksi yang melanggar hak orang lain (Miller & Eisenberg, 1988). Karena pentingnya empati dan rasa bersalah untuk mendukung perilaku prososial dan menghambat aksi antisosial, terdapat beberapa penelitian tentang faktor terkait perkembangan hati nurani.

Temuan konsisten kami adalah gaya temperamental dapat menignkatkan / menghambat perkembangan hati nurani. Terdapat temperamen yang dideskripsikan secara perilaku tidak terhambat (Kagan, Reznick, & Snidman, 1988) atau tanpa rasa takut (Rothbart, 1981) yang didefinisikan oleh kecenderungan mencari kegiatan berbahaya dan menunjukkan bangkitan lemah fisiologis terhadap orang tidak dikenal, hukuman, dan stimulus negatif lain. Anak dengan temperamen tak terhambat / tanpa takut memiliki nilai lebih rendah pada perkembangan hati nurani (Asendorpf & Nunner-Winkler, 1992; Kochanska, DeVet, Goldman, Murray, & Putnam, 1994; Kochanska et al., 2002) dan hal ini ditemukan ketika temperamen diukur dengan ukuran perilaku terhadap inhibisi rasa takut (seperti stimulus mengancam, aneh) dan saat diukur dengan index psikofisiologis reduksi reaktivitas terhadap stimulus mengancam (Baker et al., 2012; Fowles & Kochanska, 2000). Hubungan ini telah ada dalam suatu studi prospektif, dengan ukuran tanpa rasa takut pada anak memprediksi penilaian rasa malu dan bersalah pada usia 6 dan 7 tahun (Rothbart, Ahadi, & Hershey, 1994).

Sebagai hasil temuan ini, beberapa teori muncul untuk menjelaskan hubungan antara temperamen anak dan perkembangan hati nurani. Kochanska (1993) menjelaskan kecemasan yang mengikuti perilaku salah dan hukuman adalah integral dalam perkembangan sistem internal yang berfungsi menghambat perilaku salah. Kochanska (1991) menunjukkan bangkitan negatif didorong oleh perilaku ‘kecemasan terdeviasi’ dan emosi negatif ini membantu anak belajar berperilaku disesuaikan dengan aturan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lebih lanjut, Kochanska (1993) anak dengan perilaku dilarang dapat berisiko mengalami kecemasan terdeviasi, sedangkan tidak pada anak dengan perilaku tanpa takut dan tak terlarang. Kelompok anak terakhir ini berisiko bermasalah pada perkembangan hati nurani.

Terdapat beberapa perluasan model ini yang menempatkan pentingnyabangkitan emosi negatif terhadap perilaku buruk (yaitu rasa bersalah) untuk perkembangan prososial (Dadds & Salmon, 2003). Sebagai contoh, Malti and Krettenauer (2013) menjelaskan saat anak berkembang mereka meningkatkan perasaan bersalah dan kurang menunjukkan keluaran positif hasil dari transgresi moral. Normalnya, anak yang berkembang akan dilengkapi oleh moral secara internal dan mempertimbangkan kelengkapan ini bercampur dengan meningkatnya pengalaman (Nunner-Winkler, 2007). Tetapi, proses internalisasi ini akan dihindari jika bangkitan negatif terkait rasa bersalah menjadi lemah karena temperamen anak.

(Blair, 1995; Blair, Jones, Clark, & Smith, 1997; Blair, Mitchell, & Blair, 2005; Blair, Colledge et al., 2001; Blair, Monson, et al., 2001) menjelaskan model teori tentang inhibisi rasa takut dalam perkembangan hati nurani dan model ini fokus pada perkembangan empati. Mereka berpendapat bahwa proses penting dalam perkembangan empati adalah kemampuan menyandi secara emosional stimulus bervalensi. Kemampuan ini membuat anak berespons pada distres orang lain dengan peningkatan aktivitas otonom dan respons emosional negatif ini berkembang

Page 7: remaja dengan tingkah laku serius

sebelum anak secara kognitif dapt menerima perspektif orang lain, seperti saat anak kecil kecewa karena anak lain menangis. Menurut model ini, respons emosional negatif pada distres orang lain menjadi disyaratkan untuk perilaku pada anak yang terbawa distres orang lain. Melalui proses pengkondisian ini, anak belajar menghambat perilaku tersebut sebagai cara menghindari bangkitan negatif. Anak tanpa rasa takut mungkin bermasalah dalam menyandi stimulus emosi dan dapat mengalami bangkitan negatif sekuat anak lain yang membawa permasalahan empati.

Teori terkait temperamen pada perkembangan hati nurani menekankan pentingnya bangkitan emosional. Meskipun beberapa teori menunjukkan pengaruh kognitif pada perkembangan moral (yaitu internalisasi kelengkapan moral; perhatian pada isyarat penghargaan dan hukuman), pengaruh kognitif dianggap sekunder terhadap masalah respons emosional. Newman dan Baskin-Sommers (2012) dan Vitale dan Newman (2009) menjelaskan teori perkembangan hati nurani yang menempatkan faktor kognitif sebagai faktor primer dengan menyebutkan bahwa kemampuan memodulasi perilaku yang bertujuan tertentu sebagai respons pada isyarat perifer dan sekunder penting untuk perkembangan empati dan rasa bersalah. Orang yang memiliki masalah dalam mengganti perhatian dari fokus primer (seperti mendapatkan mainan) menjadi kemungkinan kurang menonjol (seperti anak menangis karena mainannya diambil) dapat mengalami kesulitan dalam perkembangan empati. Moul, Killcross, and Dadds (2012) menjelaskan teori perkembangan hati nurani melibatkan 2 proses kognitif berkaitan dengan fungsi amigdala. Proses pertama adalah pergeseran refleksif anak pada daerah mata sebagai respons terhadap isyarat rasa takut dan distres orang lain. Perhatian pada regio mata penting untuk anak dalam mengenali dan berespons terhadap isyarat rasa takut dan distres orang lain. Proses kedua adalah keseimbangan (a) belajar yang dipandu oleh valensi umum keluaran potensional dan (b) belajar yang dipandu oleh nilai spesifik keluaran (yaitu seberapa besar konsekuensinya). Gaya belajar yang didominasi valensi keluaran dan kurang pada nilai keluaran akan menyebabkan perilaku yang dimotivasi penghargaan potensial, bahkan sesekali perilaku dapat menyebabkan konsekuensi negatif.

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan bagaimana anak dengan temperamen tertentu, terutama dengan defisit respons emosional dan atau kognitif terkait kemungkinan hukuman, dapat mempunyai masalah dalam perkembangan hati nurani. Tetapi hal ini juga jelas dalam penelitian sebelumnya bahwa tidak semua anak dengan watak tanpa takut dan tak terhambat akan menunjukkan kurangnya empati dan rasa bersalah. Teori perkembangan hati nurani juga mempertimbangkan peran pengasuhan dalam interaksinya dengan temperamen anak dalam perkembangan hati nurani. Kochanska (1997) dan Kochanska & Murray (2000) menjelaskan hubungan orang tua-anak terutama respons orang tua dan anak penting pada perkembangan hati nurani pada anak tanpa rasa takut. Aspek pengasuhan ini tidak bergantung pada bangkitan terkait hukuman untuk sosialisasi dan fokus pada kualitas positif (seperti kehangatan orang tua) dari hubungan orang tua dan anak. (Kochanska, 1995, 1997). Sebagai contoh lain hubungan temperamen dan pengasuhan dalam prediksi perkembangan hati nurani, Cornell and Frick (2007) menyebutkan bahwa anak dengan inhibisi perilaku sering mendapat pengasuhan kurang optimal. Tetapi, anak dengan perilaku dilarang memerlukan pengasuhan lebih konsisten untuk mengembangkan level rasa bersalah yang sesuai. Mereka menguji kemungkinan ini pada sampel anak prasekolah (usia 3-5 tahun) dengan perilaku dilarang dan tanpa larangan. Anak dengan perilaku dilarang menunjukkan level rasa bersalah lebih tinggi terlepas dari pengasuhan konsisten. Tetapi anak dengan perilaku tanpa larangan menunjukkan level rasa bersalah lebih tinggi hanya saat konsistensi pengasuhan tinggi. Pola pengasuhan dengan penekanan aturan dan

Page 8: remaja dengan tingkah laku serius

kepatuhan tidak berhubungan dengan ukuran rasa bersalah pada anak dengan perilaku dilarang, tapi berelasi positif pada anak dengan perilaku tanpa larangan.

Sifat CU saat perkembangan hati nurani berjalan salahBerdasarkan ulasan ini, terdapat beberapa penelitian yang menginvestigasi faktor terkait

perkembangan normal empati dan rasa bersalah, terutama bagaimana watak mempengaruhi perkembangan hati nurani. Penelitian ini dapat penting untuk mengetahui perkembanagn sifat CU dan untuk menegmbangkan pencegahan dan penanganan efektif untuk anak dengan peningkatan level sifat itu. Beberapa temuan penelitian ini menunjukkan sifat CU yang meningkat mencerminkan kegagalan perkembangan normal hati nurani.

Pertama, masalah dalam empati dan rasa bersalah menjadi indikator penting dari keseluruhan konsep sifat CU (Frick, 2009). Sifat CU didefinisikan oleh 2 komponen penting hati nurani. Kedua, ukuran hati nurani berhubungan dengan ukuran rasa bersalah (Lotze, Ravindran, & Myers, 2010; Pardini & Byrd, 2012) dan lebih berkorelasi negatif pada ukuran empati (Chabrol et al., 2011; Dadds, Cauchi, Wimalaweera, Hawes, & Brennan, 2012; Dadds et al., 2009; Jones, Happe, Gilbert, Burnett, & Viding, 2010; Kimonis, Frick, Skeem, et al., 2008 Pardini & Byrd, 2012; Pardini et al., 2003). Ketiga, empati dan rasa bersalah adalah emosi moral yang dipertimbangkan karena membantu mendukung perilaku prososial dan sifat CU berhubungan negatif dengan pengukuran perilaku prososial (Roose, Bijttebier, Decoene, Claes, & Frick, 2010) dan remaja dengan sifat CU tinggi sering membuat keputusan yang menguntungkan diri mereka tapi merugikan orang lain (Sakai, Dalwani, Gelhorn, Mikulich-Gilbertson, & Crowley, 2012). Anak dan remaja dengan sifat CU juga kurang dalam mengevaluasi transgresi moral (Blair, 1997; Blair, Monson, dan Frederickson, 2001; Dolan & Fullam, 2010). Pemuda dengan sifat CU meningkat cenderung membuat perbedaan kabur antara moral dan transgresi konvensional (yaitu pelanggaran aturan sosial seperti berbicara di dalam kelas). Sehingga ada hubungan jelas antara sifat CU, aspek hati nurani yang berbeda, dan perilaku prososial.

Berdasarkan penelitian pada ulasan sebelumnya tentang karakteristik emosional dan kognitif anak dan remaja dengan sifat CU meningkat, mereka menunjukkan sejumlah faktor risiko yang menyebabkan masalah dalam perkembangan hati nurani. Mereka kurang responsif pada tanda distres orang lain dan menunjukkan tingkatan rendah inhibisi rasa takut. Anak dengan sifat CU meningkat dan masalah perilaku serius kurang respons pada daerah mata sehingga kurang mengenali ekspresi takut pada wajah orang lain (Dadds, El Masry, Wimalaweera, & Guastella, 2008).

Hubungan antara sifat CU dan perkembangan hati nurani menunjukkan pentingnya menerima perspektif perkembangan psikopatologis untuk menunjang penelitian kausa dan penanganan anak dengan sifat CU dan masalah perilaku serius. Model kausa sifat CU perlu mempertimbangkan temuan penelitian yang melibatkan perkembangan normal hati nurani. Penanganan anak dengan masalah perilaku serius dapat ditingkatkan untuk mereka dengan sifat CU meningkat dengan target faktor yang terbukti meningkatkan perkembangan hati nurani pada perkembangan anak. Studi oleh Dadds dan kawan-kawan (Dadds et al., 2012) pada anak dan remaja (usia 6-16 tahun) menentukan apakah kelompok latihan pengasuhan (n=109) atau pengenalan emosi (n=87). Partisipan kelompok terakhir menerima latihan untuk akurasi interpretasi emosi orang lain. Hasilnya menunjukkan partisipan dengan sifat CU meningkat menunjukkan respons lemah pada program latihan pengasuhan dalam mengubah level masalah

Page 9: remaja dengan tingkah laku serius

perilaku. Mereka dengan sifat CU meningkat yang menerima latihan akurasi interpretasi emosi menunjukkan peningkatan empati afektif.

Stabilitas sifat CUAsumsi lain perspektif perkembangan psikopatologis adalah pentingnya mengetahui

kelanjutan dan diskontinuitas sifat CU. Hal penting juga untuk mengetahui stabilitas sifat CU selama perkembangan dan faktor yang mempengaruhi stabilitas itu. Memahami stabilitas sifat CU dapat membantu menentukan intervensi tahap apa yang paling efektif. Faktor yang mempengaruhi stabilitas ini penting untuk menunjukkan target terpenting dalam intervensi ini. Tetapi, mengerti stabilitas sifat CU juga berkaitan dengan konsep permasalahan pada perkembangan normal hati nurani. Sifat CU berhubungan dengan proses yang sama yang bekerja dalam perkembangan normal hati nurani, sehingga ada ekspekstasi bahwa pada periode penting untuk perkembangan hati nurani, akan terdapat variasi relatif pada level sifat ini. Terdapat penelitian yang memeriksa stabilitas sifat CU dan mencakup usia anak hingga dewasa. Ringkasan studi-studi ini tersedia pada tabel 1.

Stabilitas sifat CU pada tahap perkembangan berbedaSeksi pertama tabel 1 menunjukkan stabilitas sifat CU pada awal masa anak dan 3 studi

ini memakai skala orang tua dari sifat ini pada tiap poin waktu. Pada masa usia 2-8 tahun, 3 studi menunjukkan 5 koefisien stabilitas sifat CU yang diukur dengan metode sama selama periode 6 bulan dan 2 tahun dengan rerata stabilitas 0,59 (jangkauan dari 0,41–0,84; Hawes & Dadds, 2007; Waller et al., 2012; Willoughby et al., 2011). Willoughby et al. (2011) melaporkan stabilitas r = 0,84 (p<0.001) untuk komponen laten sifat CU dari usia 3-5 tahun. Penulis juga melaporkan stabilitas gejala ADHD selama periode yang sama (r = 0,79, p < .0001), menggambarkan stabilitas sifat CU dibandingkan komponen psikopatologis lain selama tahap perkembangan. Sifat CU berkaitan dengan level agresi tinggi dari sampel anak usia 3-4 tahun (Ezpeleta, de la Osa, Granero, Penelo, & Domenech, 2013; Kimonis et al., 2006).

Beberapa studi juga memeriksa stabilitas sifat CU selama masa anak atau dari masa anak sampai awal remaja. Temuan beberapa studi menunjukkan sifat CU stabil pada masa anak dengan variabilitas tingkat stabilitas. Lima studi memeriksa stabilitas sifat CU pada anak dan remaja dan menunjukkan 87 koefisien stabilitas selam interval follow-up 1-9 tahun dengan rerata koefisien stabilitas 0,59 dan korelasi intra kelas (ICC) 0,44-0,74 (Barker & Salekin, 2012; Barry, Barry, Deming, & Lochman, 2008; Mu~noz & Frick, 2007; Obradovic, Pardini, Long, & Loeber, 2007; Pardini, Lochman, & Powell, 2007; Van Baardewijk, Vermeiren, Stegge, & Doreleijers, 2011). Selain lama follow-up, pengaruh terbesar dari kekuatan stabilitas adalah pelapor untuk menilai sifat CU. Skala orang tua untuk sifat CU lebih stabil daripada laporan diri sendiri (Marsee & Frick, 2007) atau laporan guru (Barry et al., 2008; Obradovic et al., 2007). Obradovicet al. (2007) menilai stabilitas sampel anak pria 9 tahun (usia 8-16 tahun; n=503) dan melaporkan stabilitas r = 0,5 (p<0,01) untuk laporan orang tua dan r = 0,27 (p<0,01) untuk laporan guru. Korelasi lemah untuk guru mencerminkan perbedaan efek dari pelapor. Munoz dan Frick (2007) juga melaporkan bahwa laporan terhadap diri sendiri kurang stabil dibandingkan laporan orang tua. Dalam sampel 91 anak pria komunitas berisiko tinggi (rerata usia 13,4 tahun), stabilitas sifat CU dengan laporan orang tua selama 3 tahun adalah r = 0,71 sedangkan untuk laporan diri sendiri adalah r = 0,48 (p<0,1 untuk keduanya). Alasan perbedaan estimasi stabilitas dari pelapor tetap belum dimengerti.

Page 10: remaja dengan tingkah laku serius

Estimasi ini menjelaskan level stabilitas substansial lebih pada selama masa anak dan remaja untuk sifat CU laporan orang tua, tetapi untuk laporan guru dan diri sendiri masih signifikan. Estimasi ini dapat dibandingkan dengan komponen psikopatologis lain (Verhulst & Van Der Ende, 1995; Visser, van der Ende, Koot, & Verhulst, 1999). Dalam perbandingan langsung stabilitas sifat CU dan komponen psikopatologis lain, Loeber, Pardini, Stouthamer Loeber, Hipwell, and Sembower (2009) melaporkan dalam sampel (n=2451) komunitas anak perempuan usia 5-12 tahun, stabilitas tahun ke tahun sifat CU (rerata ICC = 0,74) daapt dibandingkan dengan yang ditemukan untuk agresi relasional (0,76), untuk gejala ODD (0,81), untuk gejala inatensi ADHD (0,75), dan untuk gejala hiperaktivitas ADHD (0,79).

Empat studi dalam tabel 1 memeriksa stabilitas sifat CU dari masa anak atau remaja ke dewasa. Forsman, Lichtenstein, Andershed, dan Larsson (2008) melaporkan stabilitas sifat CU usia 16-19 tahun (n=1467) adalah r = 0,43 dan r = 0,54 (p<0,5 untuk keduanya) untuk pria dan wanita secara berurutan. Blonigen, Hicks, Kruger, Patrick, dan Iacono (2006) melaporkan stabilitas r = 0,6 (p<0,01) dari usia 17-24 tahun (n=1252). Dua studi menyajikan informasi stabilitas sifat itu dalam periode lebih lama dari masa anak hingga awal dewasa. Burke et al. (2007) melaporkan skala orang tua dan guru dari sifat CU pada usia 7-12 tahun sampel anak pria (n=177) berhubungan signifikan dengan sifat CU pada usia 18-19 tahun. Lynam, Caspi, Moffitt, Loeber, and Stouthamer-Loeber (2007) melaporkan sifat psikopatik dengan laporan diri sendiri, termasuk sifat CU, pada usia 13 tahun (n=250) berhubungan signifikan, r = 0,31 (p<0,001) dengan skala klinisi sifat psikopatik, termasuk sufat CU, pada usia 24 tahun. estimasi ini berdasarkan metode berbeda untuk menilai sifat CU dan sebagai hasilnya, estimasi stabilitas lebih tinggi dengan metode sama pada 2 poin waktu.

Hal yang penting untuk mempertimbangkan stabilitas sifat CU dari anak/remaja hingga dewasa dibandingkan dengan stabilitas komponen psikopatologis lain. Kokko dan Pulkkinen (2005) memeriksa stabilitas agresi dari usia 14-36 tahun dan melaporkan stabilitas r = 0,18 (p<0,5) dan 0,13 (p tidak terukur) untuk pria (n=154) dan wanita (n=145) secara berurutan. Level stabilitas dari anak/remaja ke dewasa untuk sifat CU dialporkan dapat dibandingkan dengan stabilitas sifat kepribadian lain yang dinilai pada masa anak berdasarkan meta-analisis komprehensif (Roberts & DelVecchio, 2000). Roberts dan DelVecchio (2000) melaporkan koefisien stabilitas antara r = 0,35 hingga 0,49 untuk sifat kepribadian diukur sebelum usia 12 tahun dan r = 0,43 hingga 0,54 untuk pengukuran pada usia 12-21 tahun, stabilitas sifat CU dari masa anak dan remaja hingga dewasa ditemukan lebih tinggi pada beberapa bentuk psikopatologis dan dibandingkan dengan yang ditemukan untuk sifat kepribadian.

Level stabilitas sifat CU dari anak hingga dewasa dilaporkan oleh Lynam et al. (2007) yaitu r = 0, 31 juga menyebutkan sifat CU tidak dapat diubah. Hanya 21% anak pria dengan skor diatas 10% pada pengukuran sifat psikopatik usia 13 tahun yang naik pada pengukuran usia 24 tahun. Sifat CU anak adalah faktor risiko untuk menunjukkan sifat psikopatik pada saat dewasa, tetapi sejumlah anak pria menunjukkan penurunan sifat CU sepanjang waktu. Temuan ini penting untuk menginvestigasi faktor yang memperngaruhi stabilitas sifat CU selama perkembangan.

Pengaruh terhadap sifat CUBeberapa studi memeriksa pengaruh genetik pada stabilitas sifat CU (Blonigen et al.,

2006; Fontaine, Rijsdijk, McCrory, & Viding, 2010; Forsman et al., 2008). Blonigen et al. (2006) melaporkan faktor genetik berpengaruh pada varians (58%) pada stabilitas sifat CU dibandingkan faktor lingkungan. Forsman et al. (2008) juga menyebutkan faktor genetik

Page 11: remaja dengan tingkah laku serius

berpengaruh pada stabilitas sifat CU diatas faktor lingkungan. Fontaine et al. (2010) mengidentifikasi lintasan sifat CU dalam sampel besar (n=9462) anak kembar dari studi perkembangan awal anak kembar (TEDS) berdasarkan skala guru dari sifat CU pada usia 7, 9, dan 12 tahun. terdapat 4 lintasan sifat CU (stabil tinggi, meningkat, menurun, dan stabil rendah). Untuk anak pria, genetik berpengaruh lebih untuk menentukan keanggotaan kelompok (r = 0,58–0,71, p < 0,05) dibandingkan efek lingkungan tak dibagikan (r = 0,21–0,39, p < 0,05) dan dibagikan (r = 0,01–0,08, p = tidak terukur). Untuk anak wanita, faktor lingkungan yang dibagikan lebih menentukan keanggotaan kelompok daripada faktor genetik. Dalam studi ini, faktor genetik berperan menentukan stabilitas sifat CU.

Meskipun hasil menunjukkan pengaruh faktor genetik, terdapat beberapa varians stabilitas akibat faktor lingkungan. Waller et al. (2012) melaporkan pola asuh keras (hukuman fisik dan verbal) memprediksi sifat CU berikutnya diukur 1 tahun setelah kontrol sifat CU sebelumnya. Frick, Kimonis, et al., 2003 menyebutkan pola asuh positif dan keras berhubungan dengan stabilitas lebih sifat CU pada sampel 98 anak selama waktu studi 4 tahun. Pardini et al. (2007) melaporkan temuan mirip pada pola asuh keras berhubungan dengan sifat CU meningkat, sedangkan kehangatan orang tua menurunkan sifat CU selama periode 1 tahun dalam sampel (n=120) anak usia 9-12 tahun. Pardini dan Loeber (2008) melaporkan komunikasi buruk orang tua-anak menimbulkan stabilitas sifat CU pada saat remaja (14-18 tahun) pada sampel 506 pemuda.

Fontaine, McCrory, Boivin, Moffitt, dan Viding (2011) memakai pendekatan terpusat orang pada sampel TEDS untuk identifikasi lintasan sifat CU. Mayoritas sampel berada pada kondisi stabil (79,3%). Kemampuan kognitif lemah (verbal dan non verbal), masalah perilaku, hiperaktivitas, status sosial ekonomi rendah, pola asuh kurang baik, dan kondisi kacau rumah tangga berhubungan dengan lintasan stabil tinggi dan meningkat dari sifat CU.

Fontaine et al. (2011) menemukan pengaruh masalah relasi pad astabilitas sifat CU. Barry et al. (2008) memeriksa pengaruh sesame dalam stabilitas sifat CU 2 tahun pada sampel anak usia 9-12 tahun (n=80) tetapi mereka tidak menemukan kompetensi sosial untuk mempengaruhi stabilitas. Hal ini mungkin dikarenakan tipe masalah relasi yang dipelajari atau perbedaan pengaruh sesama pada stabilitas sifat CU yang tergantung pada sifat anak. Barker dan Salekin (2012) melaporkan dalam sampel anak (n=5923), penipuan sesama saat usia 8 tahun berhubungan dengan sifat CU pada usia 13 tahun melalui efek tidak langsung terhadap tingkat iritabilitas anak.

Temuan oleh Fontaine et al. (2011) konsisten dengan studi lain dan memiliki implikasi untuk memahami stabilitas sifat CU pada anak dan remaja. Mereka menyebutkan hal biasa bagi anak untuk mengalami penurunan sifat CU selama perkembangan (lihat juga Frick, Kimonis, et al., 2003; Lynam et al., 2007; Pardini & Loeber, 2008). Frick, Kimonis, et al., 2003 juga menyebutkan keberadaan masalah perilaku dan status sosioekonomi rendah menimbulkan pola stabil pada sifat CU.

Pemahaman tentang faktor yang mempengaruhi stabilitas sifat CU dapat membantu intervensi untuk mengurangi sifat CU pada anak dan remaja. Meskipun beberapa intervensi berhasil menurunkan masalah perilaku anak (Kolko & Pardini, 2010) dan remaja (Caldwell, Skeem, Salekin, & Van Rybroek, 2006; White, Frick, Lawing, & Bauer, 2013), hanya sedikit studi yang membuat reduksi sifat CU sebagai target langsung. Hawes dan Dadds (2007) melaporkan latihan pola asuh sosial untuk anak pria (4-8 tahun) dengan masalah perilaku menunjukkan penurunan level sifat CU sebelum dan sesudah intervensi (d = 0,49) dan dari sebelum penanganan hingga follow-up 6 bulan (d = 0,57). Somech dan Elizur (2012)

Page 12: remaja dengan tingkah laku serius

menunjukkan efek kuat intervensi sifat CU pada anak usia 3-5 tahun dengan latihan poal asuh lebih intensif. Terdapat penurunan signifikan level sifat CU dari sebelum dan sesudah intervensi (d = 0,85) dan temuan ini dipertahankan hingga follow-up 1 tahun. Intervensi intensif yang dilakukan lebih awal pada anak dapat menurunkan level sifat CU.]

Implikasi untuk penelitian, diagnosis, penilaian, dan penangananKeberadaan sifat CU yang meningkat menunjukkan perbedaan kelompok anak dan

remaja dengan masalah perilaku serius yang menunjukkan kurangnya perkembangan hati nurani. Skala orang tua dari sifat ini relatif stabil pada usia 3-4 tahun. Meskipun sejumlah anak mengalami penurunan sifat CU selama masa anak dan remaja, anak dengan sifat CU meningkat lebih berisiko menunjukkan hal serupa pada saat dewasa. Orang dengan sifat ini berisiko terhadap agresi berat dan perilaku antisosial serius lain.

Mengetahui bahwa anak dengan sifat CU meningkat adalah kelompok unik anak dengan masalah perilaku serius dengan mekanisme perkembangan menuju masalah mereka adalah hal penting untuk penelitian selanjutnya untuk menyingkirkan faktor risiko terkait masalah perilaku serius. Penelitian perlu mempertimbangkan faktor kausa yang bekerja pada subgrup anak dengan masalah perilaku serius dengan atau tanpa sifat CU meningkat. Kimonos et al. (2006) melaporkan anak dengan masalah perilaku serius menunjukkan profil emosional berbeda tergantung keberadaan peningkatan sifat CU. Anak dengan masalah perilaku serius dan sifat CU meningkat menunjukkan penurunan respons pada distres orang lain. Sebastian et al. (2012) menunjukkan perbedaan ini tercermin pada perbedaan aktivitas neural dimana anak dengan masalah perilaku serius dan sifat CU meningkat mengalami penurunan aktivitas amigdala. Penemuan ini menggambarkan pentingnya mempertimbangkan anak dengan sifat CU terpisah dari anak dengan masalah perilaku. Jika tidak, pola respons emosi yang berbeda dapat menimbulkan kesimpulan salah tentang pentingnya respons emosi dalam menjelaskan perkembangan masalah perilaku serius.

Penelitian seperti itu ditingkatkan dengan memasukkan sifat CU dalam kriteria disgnostik untuk gangguan yang melibatkan masalah perilaku serius, seperti CD. Memasukkan sifat CU dalam kriteria disgnostik juga didukung oleh penelitian yang mengindikasikan bahwa sifat CU berhubungan dengan perilaku anti sosial dan yang lebih penting, mereka memprediksi keluaran anti sosial bahkan dengan mengkontrol metode lain dari subgrup anak dengan masalah perilaku serius, seperti kontrol jumlah masalah perilaku, usia onset masalah perilaku, dan level impulsivitas (McMahon et al., 2010). Oleh karena itu, DSM 5 menambahkan hal spesifik pada diagnosis CD untuk menggambarkan anak muda dengan masalah perilaku serius yang juga mengalami penignkatan sifat CU (American Psychiatric Association, 2013). Untuk mengurangi efek iatrogenik dari ‘CU’, nama hal spesifik itu adalah ‘dengan emosi prososial terbatas’ yang juga konsisten dengan hubungan antara perkembangan sifat ini dan empati serta rasa bersalah (yaitu emosi prososial).

Hal yang penting bahwa penelitian lanjutan memeriksa cara optimal menilai sifat CU dan bagaimana metode ini berbeda dengan penilaian gejala perilaku CD. Untuk menilai gejala perilaku CD, klinisi perlu merekamnya jika perilaku muncul pada waktu spesifik (contoh: 6-12 bulan lalu). Sebaliknya, untuk menilai indikator hal spesifik untuk CU, karakterisitik harus ditunjukkan persisten selama 12 bulan dan dalam lebih dari 1 hubungan relasi (American Psychiatric Association, 2013). Hal yang penting untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu menentukan apakah karakteristik mencerminkan pola fungsi interpersonal dan emosi

Page 13: remaja dengan tingkah laku serius

pada anak dan remaja. Penelitian lanjutan penting untuk menguji berbagai metode untuk menilai praktik klinis karena terdapat kasus psikopatologis lain (De Los Reyes et al., 2011).

Berhubungan dengan hal spesifik untuk sifat CU, seseorang harus memenuhi kriteria diagnosis CD. Hal ini konsisten dengan mayoritas penelitian sifat CU yang menggambarkan subgrup unik dan penting dalam individu anti sosial. Tetapi menurut Frick et al. (2013), kebanyakan penelitian yang tersedia tidak memenuhi kriteria CD dan meneliti sifat CU dalam individu anti sosial dengan berbagai metode seperti peningkatan skala perilaku atau keberadaan perilaku ilegal. Sifat CU menggambarkan alur perkembangan unik ke masalah perilaku serius. Lebih lanjut, ada bukti bahwa level signifikan sifat CU muncul pada beberapa sampel tanpa masalah perilaku serius (Kumsta, Sonuga- Barke, & Rutter, 2012) dan pada individu tersebut, hal ini berhubungan dengan level pelemahan (Moran, Ford, Butler, & Goodman, 2008) dan pola respons emosi (Musser, Galloway-Long, Frick, & Nigg, 2013).

Akhirnya, menggunakan sifat CU untuk menggambarkan subgrup anak dan remaja dengan masalah tingkah laku serius juga memiliki implikasi penting untuk pencegahan dan penanganan. Pertama, dengan mempertimbangkan sifat CU melibatkan proses sama dengan yang bekerja pada perkembangan normal hati nurani, intervensi dapat dilakukan pada awal perkembangan, sebelum masalah perilaku serius timbul, seperti meningkatkan hubungan orang tua-anak yang hangat dan responsif (Somech & Elizur, 2012). Kedua, dengan mengenali proses unik yang menimbulkan masalah tingkah laku serius pada anak dan remaja dengan peningkatan sifat CU, intervensi intensif dapat disesuaikan dengan karakteristik unik grup anak dan remaja dengan masalah tingkah laku serius, seperti mengajarkan keterampilan mengenali emosi dan yang berhubungan dengan empati, atau dengan menemukan cara member motivasi pada anak dan remaja dengan sifat CU (contoh: memaksimalkan hobi mereka) yang tidak bergantung pada hukuman (Caldwell et al., 2006; Dadds et al., 2012; White et al., 2013).