Reklamasi Bekas Tambang Sirtu3

6
1 PERUNTUKAN LAHAN WILAYAH PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C (SEDIMEN LEPAS) 1) Syekhfani 2) PENDAHULUAN Lahan untuk pertambangan adalah lahan yang mempunyai potensi untuk ditambang dan ditetapkan sebagai lokasi tambang. Material dapat dijumpai di permukaan atau berada di bawah lapisan tanah. Untuk jenis pertama, penambangan langsung dilakukan tanpa penghalang; berbeda dengan jenis kedua yang memerlukan penggalian tanah agar material dapat diambil. Pekerjaan penambangan akan berdampak negatif terhadap lahan karena terjadi kerusakan-kerusakan pada saat aktivitas berlangsung. Untuk menjaga agar kondisi lingkungan tidak menjadi rusak, maka lahan bekas penambangan perlu direklamasi. Reklamasi, selain memperbaiki lingkungan yang rusak juga dapat memfungsikan kembali lahan dari tidak produktif menjadi produktif. Usaha penghijauan lahan bekas tambang merupakan tindakan pemulihan dan pelestarian lingkungan; bila penghijauan disertai program penanaman tanaman pertanian, maka usaha tersebut berfungsi ganda yaitu selain pelestarian lingkungan juga peningkatan hasil. Pada wilayah yang ditetapkan sebagai lahan pertambangan, sebelum aktivitas penambangan dilakukan, lahan dapat dimanfaatkan agar tidak berstatus non-produktif. Akan tetapi, bila pemanfaatan ditujukan untuk pertanian maka selain tanah sebagai faktor produksi, perlu diperhatikan pula faktor tanaman, iklim dan sistim pengelolaan. Kemampuan lahan (land capability) menyangkut sifat dan ciri tanah, sedang kesesuaian lahan (land suitability) berkaitan dengan jenis tanaman, iklim serta pengelolaan tersebut. Berdasarkan hal di atas, maka dalam tulisan ini dicoba mengkaji sistim peruntukan lahan (land utilization) di wilayah pertambangan untuk usaha pelestarian dan pertanian, baik sebelum dilakukan aktivitas penambangan (pra penambangan) maupun setelah penambangan selesai (pasca penambangan). Tinjauan dilakukan khususnya terhadap jenis bahan galian golongan C (sedimen lepas) seperti: pasir, pasir kuarsa, pasir-batu (sirtu), dan tanah urug (timbunan); di samping juga tambang kapur, dolomit, dan batu fosfat sebagai tambahan karena banyak dijumpai di Jawa Timur. 1) Disajikan dalam Lokakarya Petunjuk Teknis Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Bahan Galian Golongan C di Jawa Timur, di hotel New Victory- Batu, Malang, BAPEDALDA JATIM, 28 s/d 30 Oktober 1993, 2) Staf Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

description

reklamasi bekas tambang

Transcript of Reklamasi Bekas Tambang Sirtu3

Page 1: Reklamasi Bekas Tambang Sirtu3

1

PERUNTUKAN LAHAN WILAYAH PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C

(SEDIMEN LEPAS)1)

Syekhfani2)

PENDAHULUAN

Lahan untuk pertambangan adalah lahan yang mempunyai potensi untuk

ditambang dan ditetapkan sebagai lokasi tambang. Material dapat dijumpai

di permukaan atau berada di bawah lapisan tanah.

Untuk jenis pertama, penambangan langsung dilakukan tanpa

penghalang; berbeda dengan jenis kedua yang memerlukan penggalian tanah

agar material dapat diambil.

Pekerjaan penambangan akan berdampak negatif terhadap lahan karena

terjadi kerusakan-kerusakan pada saat aktivitas berlangsung. Untuk

menjaga agar kondisi lingkungan tidak menjadi rusak, maka lahan bekas

penambangan perlu direklamasi.

Reklamasi, selain memperbaiki lingkungan yang rusak juga dapat

memfungsikan kembali lahan dari tidak produktif menjadi produktif. Usaha

penghijauan lahan bekas tambang merupakan tindakan pemulihan dan

pelestarian lingkungan; bila penghijauan disertai program penanaman

tanaman pertanian, maka usaha tersebut berfungsi ganda yaitu selain

pelestarian lingkungan juga peningkatan hasil.

Pada wilayah yang ditetapkan sebagai lahan pertambangan, sebelum

aktivitas penambangan dilakukan, lahan dapat dimanfaatkan agar tidak

berstatus non-produktif. Akan tetapi, bila pemanfaatan ditujukan untuk

pertanian maka selain tanah sebagai faktor produksi, perlu diperhatikan

pula faktor tanaman, iklim dan sistim pengelolaan.

Kemampuan lahan (land capability) menyangkut sifat dan ciri tanah,

sedang kesesuaian lahan (land suitability) berkaitan dengan jenis

tanaman, iklim serta pengelolaan tersebut.

Berdasarkan hal di atas, maka dalam tulisan ini dicoba mengkaji

sistim peruntukan lahan (land utilization) di wilayah pertambangan untuk

usaha pelestarian dan pertanian, baik sebelum dilakukan aktivitas

penambangan (pra penambangan) maupun setelah penambangan selesai (pasca

penambangan).

Tinjauan dilakukan khususnya terhadap jenis bahan galian golongan C

(sedimen lepas) seperti: pasir, pasir kuarsa, pasir-batu (sirtu), dan

tanah urug (timbunan); di samping juga tambang kapur, dolomit, dan batu

fosfat sebagai tambahan karena banyak dijumpai di Jawa Timur.

1) Disajikan dalam Lokakarya Petunjuk Teknis Reklamasi Lahan Bekas

Penambangan Bahan Galian Golongan C di Jawa Timur, di hotel New Victory-

Batu, Malang, BAPEDALDA JATIM, 28 s/d 30 Oktober 1993,

2) Staf Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

Page 2: Reklamasi Bekas Tambang Sirtu3

2

SIFAT DAN CIRI LAHAN TAMBANG GOLONGAN C

Lahan Pasir dan Pasir-Batu

Lahan tambang pasir, pasir kuarsa, dan pasir batu umumnya dijumpai

di daerah dataran banjir (flood-plain) terutama daerah meander berasal

dari proses aluviasi; atau pada perbukitan yang ter- bentuk dari

penimbunan pada proses koluviasi.

Ciri lahan bertekstur kasar hingga berbatu, tidak mempunyai

kemampuan menahan air dan mengikat unsur hara atau mempunyai kemampuan

kecil; struktur lepas sehingga sangat peka terhadap erosi.

Potensi kesuburan tergantung asal bahan induk pasir; mempunyai

potensi besar bila bahan induk dari batuan basik dan potensi rendah bila

batuanmasam. Pasir kuarsa mempunyai potensi kesuburan sangat rendah

karena berasal dari batuan masam, sehingga lahan pasir kuarsa tidak layak

untuk dijadikan lahan pertanian.

Kendala yang dihadapi bila lahan pasir akan dijadikan lahan

pertanian adalah daya pegang air rendah, miskin unsur hara dan mudah

mengalami erosi. Reklamasi lahan meliputi perbaikan sifat fisik/fisiko-

kimia agar tata air dan udara tanah menjadi baik serta konsistensi lebih

mantap, kapasitas penahanan ion lebih besar; dan sifat kimia berupa

penambahan unsur-unsur hara secara alami maupun masukan pupuk yang

seimbang.

Ketersediaan air tergantung kedalaman air tanah dan kontinyuitas

pengaliran air ke atas (uprise flow) sangat ditentukan oleh kehalusan

fraksi pasir.

Penambahan liat merupakan cara ideal dalam mengubah tekstur kasar

menjadi lebih halus (tekstur Pasir menjadi Pasir berlempung, Lempung

berpasir atau Lempung). Tetapi cara ini sulit diterapkan karena umumnya

lokasi tanah liat jauh dari lokasi tanah pasir sehingga tidak ekonomis.

Cara yang paling mungkin adalah masukan bahan organik, karena bahan

organik seperti halnya liat mampu meningkatkan daya pegang air (water

holding capasity) maupun daya ikat hara (cation exchange capasity).

Pemasukan bahan organik dapat berupa pupuk kandang, pupuk hijau atau

bahan sisa panen. Keberadaan jenis tanaman legum dalam pola tanam dapat

membantu masukan unsur N berasal dari fiksasi atmosferik.

Kondisi lahan pasca tambang, sangat tergantung pada pemunculan

tanah asli di mana pasir atau sirtu ditambang. Pada lokasi dataran

banjir, tanah bekas penambangan dapat berupa cekungansehingga berpeluang

untuk tergenang secara terus menerus. Tetapi pada lokasi perbukitan,

cekungan hanya tergenang secara temporer.

Page 3: Reklamasi Bekas Tambang Sirtu3

3

Lahan Bekas Urugan

Lahan bekas urugan dijumpai sebagai tanah yang mengalami kehilangan

lapisan atas (top soil)karena lapisan ini telah diangkut sebagai tana

urug, dan meninggalkan lapisan bawah (sub soil). Oleh karena itu sifat

dan ciri tanah bekas urugan sangat tergantung pada proses pedogenesis

sebelumnya. Tanah-tanah yang mengalami perkembangan lanjut dicirikan

oleh adanya diferensiasi horizon pada profilnya. Lapisan bawah (horizon

B) merupakan lapisan penimbunan liat atau akumulasi unsur-unsur tertentu

berasal dari proses eluviasi ataupun iluviasi.

Kadar bahan organik rendah hingga sangat rendah, tekstur berliat,

dan seringkali dijumpai kadar Fe dan Mn tinggi pada proses podzolisasi

atau kadar Si tinggi pada proses laterisasi. Pemunculan lapisan bawah ke

permukaan dapat mengubah kondisi tanah menjadi keras dan masif akibat

proses sementasi oleh unsur-unsur tersebut.

Sifat dan ciri lahan bekas urugan di atas menyebabkan berbagai

kendala bila ia akan digunakan sebagai lahan pertanian. Kendala utama

adalah miskin akan unsur hara, rendahnya kadar bahan organik, serta

kemungkinan terjadi keracunan bila drainase memburuk. Untuk hal terakhir

ini terjadi bila permukaan tanah urugan lebih rendah dari lahan

sekitarnya.

Lahan Kapur, Dolomit dan Fosfat

Penambangan umumnya dilakukan pada lokasi perbukitan di mana

deposit kapur, dolomit atau fosfat dijumpai. Di Jawa Timur, lokasi

penambangan tersebar di bagian selatan dan utara pada rangkaian

pegunungan kapur serta pulau Madura.

Deposit kapur dan dolomit umumnya dijumpai dalam suatu perbukitan

utuh, sedang batu fosfat alam berupa kantong-kantong pada perbukitan.

Kawasan tambang ini dicirikan oleh kondisi iklim kering atau setengah

kering, kalkareus dengan nilai pH tinggi, kedalaman air tanah sangat

dalam, dan topografi berombak hingga berbukit. Dengan demikian kendala

yang dihadapi bila lahan akan dijadikan pertanian adalah kekurangan air,

kadar bahan organik rendah, dan pH tinggi yang menyebabkan unsur-unsur

tertentu bermasalah (N, K, Fe, Mn, Cu, Zn dan fiksasi P).

KESESUAIAN LAHAN TAMBANG GOLONGAN C UNTUK PERTANIAN

Lahan Pasir dan Pasir-Batu

Di bagian depan telah disinggung bahwa kehalusan fraksi pasir

menentukan jenis tanaman yang akan diusahakan karena menyangkut suplai

Page 4: Reklamasi Bekas Tambang Sirtu3

4

air tanah ke permukaan. Oleh sebab itu, kesesuaian tanaman perlu

dipertimbangkan berdasar pada ukuran fraksi pasir.

Fraksi Kasar:

Tanaman yang dipilih adalah jenis pohon atau perdu berakar dalam

dan tahan terhadap kekurangan air. Tanaman jenis legum merupakan pilihan

bijaksana karena ia mampu mengikat N atmosferik. Beberapa jenis tanaman

dapat dipertimbangkan berupa tanaman hutan industri (HTI) yang bernilai

ekonomis, seperti misalnya Albizia, Leucaena, Sesbania, dan lain-lain.

Fraksi Sedang:

Kemampuan menyuplai air lebih baik dibandingkan dengan fraksi kasar

meskipun belum mencukupi untuk jenis tanaman berperakaran dangkal. Oleh

sebab itu, pertanaman yang tepat adalah sistim Tanaman Pagar (Tanaman

Lorong, Alley Cropping), di mana tanaman pohon/perdu dari jenis legum

seperti dikemukakan di atas dan tanaman lorong berupa jagung digilirkan

dengan legum (kacang tanah, kacang tunggak, kacang hijau) dan penutup

tanah (Centrosema, Crotalaria).

Fraksi Halus:

Sifat penyediaan air paling baik dari ketiga jenis fraksi sehingga

tanah kecukupan air meskipun perakaran tanaman dangkal. Jenis tanaman

berupa tanaman semusim berakar dangkal dengan mengikutkan tanaman penutup

tanam dalam pola pergiliran (jagung-palawija - penutup-tanah, ubi-ubian -

penutup-tanah atau palawija-palawija - penutup-tanah).

Lahan Pasca Tambang:

Lahan ini hanya sesuai dijadikan persawahan atau usaha tanaman yang

toleran kelebihan air seperti tebu atau sayur-sayuran dari jenis tanaman

air. Pada lokasi perbukitan, lahan pasca tambang bisa berupa cekungan

yang berpeluang tergenang secara temporer. Lahan ini bisa ditanami jenis

tanaman darat (jagung, palawija, ubi-ubian) asalkan dilakukan usaha

perbaikan drainase, misalnya pembuatan guludan atau gondokan tanah.

Lahan Bekas Urugan

Reklamasi lahan bekas urugan meliputi perbaikan sifat fisik tanah

melalui penambahan baha organik, mengusahakan agar drainase tetap baik,

pengolahan tanah serta masukan pupuk. Jenis tanaman yang diusahakan

beragam dan dalam kisaran lebar sesuai dengan iklim dan pengelolaan

setempat.

Page 5: Reklamasi Bekas Tambang Sirtu3

5

Lahan Kapur, Dolomit dan Fosfat

Dalam program diperlukan pemilihan jenis tanaman yang toleran

terhadap kekeringan dan kalkareus dan bila mungkin mempertimbangkan

tanaman indiginous (asli setempat).

Pemasukan bahan organik mutlak diperlukan berupa pupuk kandang dan

pupuk hijau. Sisa tanam harus dikembalikan ke lahan dan diusahakan

memasukan tanaman jenis legum dalam pola pertanaman.

Sistim agroforestri, sebagai contoh tanaman kayu putih dengan

palawija atau sayur-sayuran, dijumpai di daerah bukit berkapur di deretan

Gunung Kapur Utara.

Pada kondisi bukit kapur, dolomit atau batu fosfat, di mana lapisan

tanah sangat tipis atau bahkan tidak terbentuk, maka usaha pemanfaatan

dapat dilakukan dengan menanami celah-celah atau lubang-lubang di antara

bebatuan yang terisi tanah. Tanaman dapat berupa pohon/perdu jenis HTI

atau tanaman buah-buahan yang toleran terhadap kalkareus dan kekurangan

air. Tanaman pepaya dilaporkan tumbuh baik pada kondisi demikian.

Tanah bekas tambang menyisakan bagian batuan keras dan masif dan

tidak lagi bernilai tambang. Bagian ini tidak mungkin ditanami kecuali

mendapat perlakuan khusus dalam reklamasi. Salah satu usaha misalnya

membuat lubang-lubang tanam dengan cara menggali batuan kemudian diisi

dengan tanah atau bahan organik. Selanjutnya tanaman dari jenis pioner

ditanaman dalam lubang tersebut.

Secara suksesi pertumbuhan tanaman akan membentuk lapisan tanah

pada permukaan batuan. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu relatif lama

dan pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian dapat dilakukan setelah

lapisan tanah yang terbentuk cukup tebal. Tindakan mempercepat pelapukan

melalui proses kimia dan/atau biologi serta pencegahan erosi merupakan

kunci keberhasilan program.

PENUTUP

Beberapa butir penting yang dapat dikemukakan dari tinjauan di

atas, yaitu:

1. Peruntukan lahan wilayah pertambangan bahan galian golongan C, selain

untuk tambang dapat pula dimanfaatkan untuk lahan pertanian asalkan

diikuti oleh tindakan reklamasi.

2. Pemanfaatan dipertimbangkan berdasar pada kemampuan lahan serta

kesesuaian tanaman terhadap iklim dan pengelolaan setempat. Pemanfaatan

lahan dapat dilakukan pra ataupun pasca penambangan.

Page 6: Reklamasi Bekas Tambang Sirtu3

6

3. Penggunaan lahan pertambangan untuk pertanian selain ditujukan untuk

meningkatkan hasil juga dapat bersifat pencegahan kerusakan serta

pelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Dent, F.J. 1980. Land utilization type catalogue. Pertemuan Teknis

Survei dan Pemetaan TanahDaerah Transmigrasi. P3MT-LPT,

Litbang. Tan., Cisarua 3-5 Maret 1980.

Desaunettes, J.R. 1977. Catalogue of landforms for Indonesia. Examples of

physiographic approach to land evaluation for agricultural

development. Trust Fund of Govern. of Indonesia-FAO, Soil

Res. Inst. Bogor, Indonesia.

Dijkerman, J.C. and Julia Widianingsih. 1985. Evaluasi Lahan. Com. Soil

Sci. No. 2, Jurusan Tanah, Fak. Pertanian Univ. Brawijaya,

Malang.

FAO-UNESCO. 1976. A framework for land evaluation. Soil Resources

Development and Conser. Service Land and Water Develop.

Devis. Soil Bull. 32.

Madiadipoera, T., Amir, dan Zulfahmi. 1977. Batu gamping dan dolomit di

Indonesia. Publ. Teknik-Seri Geol. Ekon. No. 8. Dir. Geol.

Dirjen. Pertamb. Umum, Dep. Pertambangan.

Soepraptohardjo, M. and G.H. Robinson (eds.). 1975. A proposed land

capability appraisal system for agricultural uses in

Indonesia. FAO-United Nation-Dir. Gen. Agric. Ministry of

Agric. Soil Res. Inst. Bogor, No 9/1975.