refrat-pa

download refrat-pa

of 10

description

refrat

Transcript of refrat-pa

II TINJAUAN PUSTAKA

1. Patogenesis

Berbagai mekanisme bagaimana virus hepatotropik merusak sel hati masih belum jelas, bagaimana peran yang sesungguhnya dari hal hal tersebut. Informasi dari kenyataanya ini meningkatkan kemungkinan adanya perbedaan patogenetik. Ada dua kemungkinan : (1) Efek simptomatik langsung dan (2) adanya induksi dan reaksi imunitas melawan antigen virus atau antigen hepatosit yang diubah oleh virus, yang menyebabkan kerusakan hepatosit yang di infeksi virus. Organ hati pada tubuh manusia.

Pada hepatitis kronik terjadi peradangan sel hati yang berlanjut hingga timbul kerusakan sel hati. Dalam proses ini dibutuhkan pencetus target dan mekanisme persistensi. Pencetusnya adalah antigen virus, autogenetic atau obat. Targetnya dapat berupa komponen struktur sel, ultrastruktur atau jalur enzimatik. Sedangkan persistensinya dapat akibat mekanisme virus menghindar dari sistem imun tubuh, ketidakefektifan respon imun atau pemberian obat yang terus - menerus (Stanley, 1995).

2. Patofisiologi

Pada hati manusia merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Virus Hepatitis B (VHB) mula mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma virus Hepatitis B (VHB) melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjuntnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam asam nukleat virus Hepatitis B (VHB) akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hopses dan berintegrasi pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA virus hepatitis B (VHB) memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi. Gambaran patologis hepatitis akut tipe A, B, Non A dan Non B adalah sama yaitu adanya peradangan akut di seluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati disertai infiltrasi sel sel hati dengan histosit (Aguslina, 1997).

Perubahan morfologi hati pada hepatitis A, B dan non A dan B adalah identik pada proses pembuatan billiburin dan urobulin. Penghancuran eritrosit dihancurkan dan melepaskan Fe + Globulin + billiburin. Pengahancuran eritrosit terjadi di limpa, hati, sum sum tulang belakang dan jaringan limpoid.

a. Billiburin IHasil penelitian eritrosit di lien adalah billiburin I atau billiburin indirect. Billiburin I masih terkait dengan protein. Di hati billiburin I dipisahkan protein dan atas pengaruh enzim hati, billiburin I menjadi billiburin II atau hepatobilliburin.b. Billiburin II

Billiburin dikumpulkan didalam vesica falea (kandung empedu) dan dialirkan ke usus melalui ductus choleducutus. Billiburin yang keluar dari vesica falea masuk ke usus diubah menjadi stercobilin, kemudian keluar bersama feces lalu sebagian masuk ke ginjal, sehingga disebut urobillinogen. Bila billiburin terlalu banyak dalam darah akan terjadi perubahan pada kulit dan selaput lendir kemudian kelihatan menguning sehingga disebut ikterus (Tjokronegoro, 1999).3. Gambaran Histopatologi

Terlihat sebukan sel-sel mononuklear meluas dari daerah portal dan merusak batas tepi hepatosit sehingga terjadi nekrosis, disebut piecemeal necrosis. Ada infiltrasi sel radang, dan terjadi kolap kerangka retikulin, dalam beberapa hari terjadi fibrosis dan regenarasi sel. Hepatosit ground glass, karena banyak HBCAg akan mengakibatkan nukleus berpasir Sanded nucleus.

4. Penatalaksanaan Hepatitis B

a. Terapi Lama

Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus, akan tetapi secara umum penatalaksanaan pengobatan hepatitis adalah sebagai berikut :

1) Istirahat

Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Istirahat mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kecuali mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk.

2) Diet

Jika pasien mual, tidak ada nafsu makan atau muntah muntah, sebaiknya diberikan infus. Jika tidak mual lagi, diberikan makanan cukup kalori (30-35 kalori/kg BB) dengan protein cukup (1 gr/kg BB), yang diberikan secara berangsur angsur disesuaikan dengan nafsu makan klien yang mudah dicerna dan tidak merangsang serta rendah garam (bila ada resistensi garam/air).b. Terapi Baru

1) Medikamentosa

Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan billiburin darah. Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestatis yang berkepanjangan, dimana transaiminase serumsudah kembali normal tetapi billburin masih tinggal. Pada keadaan ini dapat dberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7 hari, jangan diberikan antimetik, jika perlu sekali dapat diberikan fenotiazin. Vitamin K diberikan pada kasus dengan kecenderungan perdarahan. Bila pasien dalam keadaan perkoma atau koma, penanganan seperti pada koma hepatik (Arif, 2000).

2) Pencegahan Penularan Hepatitis B

Menurut Park ada lima pokok tingkatan pencegahan yaitu :

1) Health promotion

Helath promotion yaitu dengan usaha penigkatan mutu kesehatan. Helath promotion terhadap host berupa pendidikan kesehatan, peningkatan higiene perorangan, perbaikan gizi, perbaikan system tranfusi darah dan mengurangi kontak erat dengan bahan - bahan yang berpotensi menularkan virus hepatitis B (VHB).

2) Specific protection

Specific protection yaitu perlindungan khusus terhadap penularan hepatitis B dapat dilakukan melalui sterilisasi bendabenda yang tercemar dengan pemanasan dan tindakan khusus seperti penggunaan yang langsung bersinggungan dengan darah, serum, cairan tubuh dari penderita hepatitis, juga pada petugas kebersihan, penggunaan pakaian khusus sewaktu kontak dengan darah dan cairan tubuh, cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita pada tempat khusus selain itu perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg petugas kesehatan (unit onkologi dan dialisa) untuk menghindarkan kontak antara petugas kesehatan dengan penderita dan juga imunisasi pada bayi baru lahir.

3) Early diagnosis and prompt treatment

Menurut Noor (2006), diagnosis dan pengobatan dini merupakan upaya pencegahan penyakit tahap II. Sasaran pada tahap ini yaitu bagi mereka yang menderita penyakit atau terancam akan menderita suatu penyakit. Tujuan pada pencegahan tahap II adalah :

a) Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui pemeriksaan berkala pada sarana pelayanan kesehatan untuk mematiskan bahwa seseorang tidak menderita penyakit hepatitis B, bahkan gangguan kesehatan lainnya.b) Melakukan screening hepatitis B (pencarian penderita penyakit Hepatitis) melalui suatu tes atau uji tertentu pada orang yang belum mempunyai atau menunjukan gejala dari suatu penyakit dengan tujuan untuk mendeteksi secara dini adanya suatu penyakit hepatitis B.c) Melakukan pengobatan dan pearwatan penderita hepatitis B sehingga cepat mengalami pemulihan atau sembuh dari penyakitnya.4) Disability limitation

Disability limitation merupakan upaya pencegahan tahap III dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kecacatan dan kematian karena suatu penyakit.

Upaya mencegah kecacatan akibat penyakit hepatitis B dapat dilakukan dengan upaya mencegah proses berlanjut yaitu dengan pengobatan dan perawatan secara khusus berkisanambungan dan teratur sehingga proses pemulihan dapat berjalan dengan baik dan cepat. Pada dasarnya penyakit hepatitis B tidak membuat penderita menjadi cacat pada bagian tubuh tertentu. Akan tetapi sekali vitus hepatitis B masuk ke dalam tubuh maka seumur hidup akan menjadi carrier dan menjadi sumber penularan bagi orang lainnya.5) Rehabilitation

Rehabilitasi merupakan serangkaian dari tahap pemberantasan kecacatan (disability limitation) dengan tujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik, psikologis dan sosial. (Noor, 2006).

Rehabilitation yang dapat dilakukan dalam menanggulangi penyakit hepatitis B yaitu sebagai berikut :

a) Rehabilitasi fisik, jika penderita mengalami gangguan fisik akibat penyakit hepatitis B

b) Rehabilitasi mental dari penderita hepatitis B, sehingga penderita tidak merasa minder dengan orangtua masyarakat sekitarnya karena pernah menderita penyakit hepatits B.c) Rehabilitasi sosial bagi penderita penyakit hepatitis B sehingga tetap dapat melakukan kegiatan di lingkungan sekitar bersama orang lainnya.

5. PrognosisDengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Pada sebagian kasus penyakit berjalan ringan dengan perbaikan biokimiawi terjadi secara spontan dalam 1 3 tahun. Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronk aktif berubah menjadi keadaan yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat kelainan biokimiawi, pasien tetap asimtomatik dan jarang terjadi kegagalan hati (Tjokronegoro, 1999).

Infeksi Hepatitis B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi. Pada suatu survey dari 1.675 kasus dalam satu kelompok, tertnyata satu dari delapan pasien yang menderita hepatitis karena tranfusi (B dan C) meninggal sedangkan hanya satu diantara dua ratus pasien dengan hepatitis A meninggal dunia (Tjokronegoro, 1999). Di seluruh dunia ada satu diantara tiga yang menderita penyakit hepatitis B meninggal dunia (WHO, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Aguslina, S., 1997, Hepatitis B Ditinjau dari kesehatan Masyrakat dan Upaya Pencegahan. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

Ali, M., 2002, Pengetahuan, Sikap, Dan Prilaku Ibu Bekerja Dan Tidak Bekerja Tentang Imunisasi, http://library.usu.ac.id./modules.php. 25 Mei 2015.

Arni, 2008, Studi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan WD.Buri di Desa Pebaoa Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara Tahun.

Arif, M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aeculapius, Jakarta.

Azwar, A, 2003, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Edisi ke -3, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Bengen, D.g. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor

Gunawan, 2009. Pengaruh Karaterisitik Ibu dan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitisa B (0-7 hari) di Kabupaten Langkat, Medan

Idwar, 2000. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Status Imunisasi Hepatitis B Pada Bayi di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta.

Henny,2003. Lingkungan Pesisir dan Masalahnya SebagaiDaerah Aliran Buangan Limbah. http://rudyct.com/PPS702ipb/07134/henny_pagoray.htm. Manuaba, IB Gde, 1999, Memahami Reproduksi Wanita, Arcan, Jakarta

Moenir, 2002. Manajemen Pelayanan Umum Indonesia.Bumi Aksara. Jakarta

Musafin, 2005. Analisis Preferensi Masyarakat terhadap Pelayanan Pengobatan di Puskesmas Kota Bau Bau. Program Pasca Sarjana Unhas. Makassar.

Notoatmodjo, S, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta

Sandra F, Wastiar M, Syfiq A, 2004. Faktor Faktor yang berhubungan dengan kesediaan Bidan Desa Untuk Tetap bekerja dan Tinggal di Desa di kabupaten Tanggerang Provinsi Banten tahun 2003. Makara kesehatan, Vol.8, no. 1, 7 13, Jakarta.

Sastria, 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat, IPB Press. Bogor.

Siswandoyo, 2003. Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan StatusKelangkapan Imunisasi Hepatitis B pada Bayi di Puskesmas Lanjas Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Medika No. 4

Stanley, L.R, 1995, Buku Ajar Patologi, EGC, Jakarta

Suardika,P.D, 2008. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Cakupan Imunisasi Hepatitis B pada Baru Bayi Lahir (0-7hari) di Puskesmas Atarijaya Kabupaten Konawe Selatan

Wiyana, 2004. Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T). http://rudyct.com/PPS702-ipb/07134/afi_wiyana.htm.