Refrat AIHA

15
BAB I I.1 Latar Belakang Autoimmune hemolitic anemia (AIHA) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh hemolisis eritrosit- eritrosit berdasarkan reaksi antigen-antibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah permukaan sel darah merah (SDM). Sedangkan antibodi yang terdapat dalam serum penderita adalah suatu jawaban tubuh terhadap perubahan-perubahan pada antigen tersebut. Pemeriksaan yang baik untuk mengetahui adanya antibodi dalam darah penderita ialah dengan menggunakan tes Coombs, yang menunjukan immunoglobulin atau komponen- komponen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Dari lembaga tranfusi darah PMI jakarta, AIHA dengan antibodi hangat didapatkan dalam tahun 1983: 31 kasus, tahun 1981 sebanyak 82 kasus. Sedangkan untuk antibodi tipe dingin ditemukan sebanyak 9 kasus pada tahun 1983 dan dalam tahun 1984 sebanyak 72 kasus.(1) AIHA lebih jarang ditemukan daripada anemia yang disebabkan penurunan sel darah merah. Karena insidensi AIHA jarang maka terkadang dalam penangannya kurang diperhatikan. Oleh karena itu penulis mencoba untuk memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana AIHA itu sehingga dapat ditinggkatkan upaya penanganannya. 1

description

anemia hemolitik

Transcript of Refrat AIHA

Page 1: Refrat AIHA

BAB I

I.1 Latar Belakang

Autoimmune hemolitic anemia (AIHA) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh hemolisis eritrosit-eritrosit berdasarkan reaksi antigen-

antibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini adalah permukaan

sel darah merah (SDM). Sedangkan antibodi yang terdapat dalam serum

penderita adalah suatu jawaban tubuh terhadap perubahan-perubahan

pada antigen tersebut. Pemeriksaan yang baik untuk mengetahui adanya

antibodi dalam darah penderita ialah dengan menggunakan tes Coombs,

yang menunjukan immunoglobulin atau komponen-komponen yang

menyelubungi permukaan eritrosit.

Dari lembaga tranfusi darah PMI jakarta, AIHA dengan antibodi

hangat didapatkan dalam tahun 1983: 31 kasus, tahun 1981 sebanyak 82

kasus. Sedangkan untuk antibodi tipe dingin ditemukan sebanyak 9 kasus

pada tahun 1983 dan dalam tahun 1984 sebanyak 72 kasus.(1)

AIHA lebih jarang ditemukan daripada anemia yang disebabkan

penurunan sel darah merah. Karena insidensi AIHA jarang maka

terkadang dalam penangannya kurang diperhatikan. Oleh karena itu

penulis mencoba untuk memberikan gambaran tentang apa dan

bagaimana AIHA itu sehingga dapat ditinggkatkan upaya penanganannya.

I.2 Tujuan

Tujuan penulisan refrat ini adalah untuk mengetahui dan

memahami tentang AIHA dari definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,

manifestasi klinis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis

AIHA.

1

Page 2: Refrat AIHA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

AIHA adalah suatu kelainan darah yang didapat, dimana kerusakan

berasal daari abnormalitas sistem imun, yang menyebabkan destruksi

prematur eritrosit. Hemolisis dapat juga disebabkan oleh gangguan

lingkungan sel darah merah, yang sering kali memerlukan respon

autoimun. Respon autoimun terdiri dari pemberntukan antibodi terhadap

sel-sel darah merah itu sendiri. Keadaan yang dinamakan AIHA dapat

timbul tanpa sebab yang diketahui.(1,2)

II.2 Etiologi

Penyebab belum diketahui secara pasti dan tidak ada keterangan

lengkap yang dapat menjelaskan sebab terbentuknya autoantibodi dalam

tubuh penderita yang merusak eritrositnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh

perjalanan penyakit yang sangat bervariasi yatiu dari jenis akut, berta dan

hanya berlangsung beberapa waktu sampai jenis menahun yang ringan.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap etiologinya ialah:

1. Modifikasi dari antigen eritrosit

Obat (seperti penicilin, acetaminofen, alfa metildopa), bakteri (E. Coli

dan streptococus), virus (CMV, EBV, hepatitis) dapat merusak dinding

eritrosit. Selanjutnya eritrosit yang rusak ini atau kompleks eritrosit dan

obat/bakteri/virus merupakan antigen baru dalam tubuh dengan sifat

yang lain. Antigen baru ini akan menyebabkan pembentukan antibodi

baru dalam tubuh penderita sendiri.

2. Timbulnya cross reacting antibodi

Autoantibodi yang terbentuk akibat adanya antigen baru ini bersifat

tidak hanya merusak antigen yang spesifik (eritrosit yang sudah rusak),

tetapi juga menghancurkan eritrosit normal. Oleh karena itu disebut

cross reacting antibodi.

2

Page 3: Refrat AIHA

3. Kegagalna terhadap kontrol autoimmun

Ehrlich mendapatkan fakta bahwa bila beberapa ekor kambing

(resipien) diimmunisasi oleh darah kambing lain (donor), maka pada

resipien akan dibentuk antibodi (isolisin) yang dapat menghemolisis

semua eritrosit kambing donor, kecuali eritrosit kambing resipien.

Karena itu ia berkesimpulan bahwa pada kambing donor tersebut

harus ada mekanisme yang mencegah terbentuknya antibodi yang

mungkin merusak eritrosit sendiri.

Pada anemia hemolitik autoimun adaknya mekanisme ini terganggu.

Dikemukakan pula bahwa antigen lemah dalam tubuh yang seolah-

olah dilupakan, tiab-tiba bersifat antigen kuat bila ada rangsangan

(infeksi, virus, bakteri).

4. Faktor genetik

Anemia hemolitik autoimmun tidak jarang terdapat dalam suatu

keluarga dan juga hanya sebagian kecil penderita (20-30%) yang

mendapat obat aldomet menderita penyakit ini. Data ini menyatakan

bahwa peranan faktor individu atau genetik tidak dapat

dikesampingkan.

5. Mutasi

Hipotesis ini dikemukakan karena seringnya terdapat perubahan

struktur kromosom pada penyakit keganasan (seperti limfoma,

leukemia limfositik kronik, SLE) dan seperti telah diutarakan, AIHA

sering terdapat pada penyakit demikian. Akibat mutasi ini tubuh akan

membentuk autoantibodi.(3,5)

II.3 Klasifikasi

Berdasarkan jenis antibodi AIHA terbagi atas:

1. Timbulnya cross reacting antibodi

Primer (idiopatik) : >50% kasus

Sekunder

3

Page 4: Refrat AIHA

Limfoma: leukemia limfositik kronik, limfoma non Hodgkin dan

penyakit Hodgkin.

Kelainan jaringan ikat (terutama sistema lupus

eritematosus/SLE) dan penyakit kolagen vaskular lainnya.

Obat-obatan : Tipe alfa metildopa (autoantibodi pada antigen

Rh)

Tipe penisilin (hapten stabil)

Tipe kuinidin (hapten tak stabil)

Neoplasma non limfoid (misalnya tumor ovarium)

Penyakit infeksi kronis (misalnya kolitis ulserosa)

2. AIHA karena autoantibodi reaktif dingin, yang terdiri dari:

a. Penyakit aglutinin primer (idiopatik)

b. Penyakit aglutinin sekunder

- Akut : infeksi mikoplasma, infeksi mononukleosis

- Kronik : penyakit limfoproliperatif (limfoma)

c. Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH)

- Primer (idiopatik)

- Sifilis tertier atau kongenital

- Sindrom virus (paling sering) (3,5)

II.4 Patofisiologi

Sejumlah bahan dengan kemampuan merusak eritrosit dapat

menyebabkan kerusakan prematur. Diantaranya yang paling jelas adalah

antibodi-antibodi yang berkaitan dengan anemia hemolitik. Antibodi-

antibodi ini yang ditujukan terhadap antigen intrinsik yang khas, merusak

eritrosit sedemikian rupa sehingga eritrosit mati dan terjadi penghancuran

yang cepat dalam jaringan retikuloendotelial, hati dan limpa. Puncak dari

penyakit golongan ini adalah hasil positif pada test coombs yang

mendeteksi pelapisan immunoglobulin atau komplemen pada permukaan

eritrosit.

4

Page 5: Refrat AIHA

Pada AIHA yang berkaitan dengan antibodi hangat, penderita

menghasilkan antibodi abnormal yang ditujukan terhadap eritrosit. Tetapi

mekanisme patogenesisnya belum dapat diketahui. Autoantibodi mungkin

dihasilkan oleh respon immun yang tidak serasi terhadap antigen eritrosit.

Bahan-bahan infeksi dengan beberapa cara dapat juga mengubah

membran eritrosit sehingga menjadi asing. AIHA yang berkaitan dengan

proses penyakit primer seperti limfoma, SLE, immunodefisiensi disebut

sebagai sekunder atau simptomatis.

Pada keadaan lain, penyakit primer tidak ditemukan (idiopatis).

Pada sebanyak 20% kasus AIHA, terlibat obat-obatan. Sejumlah obat

seperti penisilin dan sefalosporin, melekat erat pada membran sel eritrosit

dan mengubah antigen serta mengubah antigenitas serta menimbulkan

produksi antibodi yang ditujukan pada kompleks eritrosit obat. Pada kasus

lain, obat-obatan seperti kina dan kuinidin tidak terikat pada eritrosit tapi

membentuk bagian dari “kompleks tiga serangkai” yang terdiri atas obat,

antigen membran eritrosit dan antibodi yang mengenali keduanya. Alfa

metildopa mungkin mempengaruhi autoantibodi sejati dengan mekanisme

yang belum diketahui.

Pada AIHA yang berkaitan dengan antibodi dingin, antibodi

eritrositnya lebih aktif pada suhu rendah dan mengaglutinasi eritrosit pada

suhu dibawah 37°C. Autoantibodi ini terutama kelas Ig M dan memerlukan

komplemen untuk aktivitasnya. Antibodi dingin biasanya mempunyai

spesifisitas pada antigen disakarida sistem I/i. Mereka mungkin terjadi

pada penyakit aglutinin dingin primer atau idiopatik. Setelah infeksi

mycoplasma pneumonia, kadar anti I/i dapat meningkat lumayan dan

kadang-kadang peningkatan hebat terjadi sampai titer 1: 30.000 atau

lebih. Jika ditemukan titer antibodi dingin yang sangat tinggi, maka

episode hemolisis intravaskuler hebat dengan hemogllobinuria akan

menyusul suatu pemaparan penderita dengan keadaan dingin.

Sedangakan PCH berkaitan dengan suatu tipe khas antibodi dingin

yaitu hemolisin Donat Landsteiner yang memiliki spesifisitas anti-P.

5

Page 6: Refrat AIHA

Antibosi ini mengikat sejumlah besar komplemen pada suhu dingin dan

eritrosit mengalami lisis bila suhu meningkat.(5)

II.5 Manifestasi Klinis

Secara umum anemia ini bervariasi dari yang ringan sampai berat

(mengancam jiwa). Pasien mengeluh fatig dan keluhan ini dapat terlihat

bersama dengan angina atau gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan

fisik, biasanya dapat ditemukan splenomegali dan ikterus. Apabila pasien

mempunyai penyakit dasar seperti SLE atau leukemia limfositik kronik,

gambaran klinis penyakit tesebut dapat terlihat.

Untuk AIHA karena antibodi hangat, AIHA dapat terjadi melalui dua

pola. Pertama adalah tipe akut sementara yang berlangsung 3-6 bulan

yang terjadi terutama pada anak berusia 2-12 tahun. Penyakit ini sering

didahului oleh suatu infeksi, biasanya saluran pernafasan. Awitannya

mungkin akut, dengan lemah sekali, pucat, ikterus, pireksia dan

hemoglobinuria atau mungkin lebih bertahap dengan awitan terutama

kelelahan dan pucat. Limpa biasanya membesar dan meripakan tempat

utama destruksi eritrosit yang diselubungi Ig G. Kelainan sistemik yang

mendasari tidak biasa pada kelompok ini. Bentuk tipe ke-2 meliputi

perjalanan kronis dan menahun yang lebih sering pada bayi dan anak

lebih dari 12 tahun. Hemolisis dapat berlanjut selama beberapa bulan atau

beberapa tahun.

Anemia yang disebabkan AIHA dengan antibodi dingin pada

umumnya berlangsung secara kronik dan hemolsis intravaskular dapat

terjadi pada waktu-waktu cuaca dingin. Mereka kelihatan kebiru-biruan

terutama pada bagian akral (hidung, telinga, dan sebagainya) pada suhu

dibawah 28°C yang menghilang bila suhu naik kembali.

Sedangkan PCH dapat diderita si pasien selama beberapa tahun

dan dapat menghilang dikemudian hari. Insidensinya jarang sekali.

Berbeda dengan pendapat dahulu PCH akhir-akhir ini lebih sering

ditemukan bersama dengan penyakit influenza yang dimulai dengan

6

Page 7: Refrat AIHA

badan panas dan menggigil, sakit pinggang yang menjalar ke perut dan

mual-mual, dalam urin ditemukan hemoglobinuria. Gejala-gejala ini dapat

berlangsung beberapa hari untuk kemudian hilang tanpa residif.(1,5,6,7)

II.6 Diagnosis

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium berupa uji

antiglobulin (Coombs) direk positif dan terdapatnya tanda hemolisis

eritrosit yang meninggi.

Sangat sukar memastikan diagnosis AIHA tanpa uji antiglobulin

positif, meskipun hal ini mungkin terjadi (sangat jarang). Sebaliknya

terdapat pula keadaan uji antiglobulin positif tanpa gejala AIHA seperti

terdapatnya antibosi setelah pemberian obat , adanya perubahan

membran eritrosit (anemia megaloblastik) atau pada serum antiglobulin

terdapat reaksi dan antitransferin.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah:

1. Pemeriksaan untuk diagnosis

Uji antiglobulin dan resistensi eritrosit atau pemeriksaan lain untuk

menentukan adanya hemolisis yang berlainan.

2. Pemeriksaan spesifikasi antibodi

a. Aglutinasi/hemolisis pada suhu 37°C, 20°C, dan 4°C. Reaksi

dikerjakan baik dengan eritrosit normal atau dengan enzime rated

red cells.

b. Mengetahui jenis antibodi, apakah anti ig G, anti Ig A,

antikomplemen dan sebagainya.

c. Reaksi dengan bermacam-macam antigen eritrosit untuk

mengetahui adanya antirhesus, anti I, anti i, anti p dan sebagainya.

Jenis antibodi ini sering pada AIHA

Pemeriksaan laboratorium sangat kompleks dan memerlukan

ketelitian, bahkan perlu diulang karena kemungkinan terdapatnya

perbedaan hasil pemeriksaan pada waktu yang berlainan. Misalnya pada

penderita, pertama kali diperiksa terdapat jenis antibodi campuran yaitu

7

Page 8: Refrat AIHA

anti Ig G dan antikomplemen, tetapi pada beberapa waktu kemudian

hanya terdapat anti Ig G. (3)

II.7 Penatalaksanaan

Warm antibody syndrome

1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/KgBB/hari)

Merupakan terapi inisial yang diberikan kepada pasien yang

mengalami hemolisis bermakna. Pada beberapa penderita dengan

hemolisis hebat, dosis prednison sampai 6 mg/kgBB/hari, mungkin

diperlukan untuk mengurangi laju hemolisis. Terapi harus diteruskan

sampai laju hemolisis menurun dan kemudian dosis diturunkan

bertahap. Jika relaps terjadi penggunaan kembali dosis penuh

diperlukan.

2. Tranfusi darah

Tranfusi darah dilakukan dengan hati-hati karena kegagalan

mentranfusi bayi atau anak anemia berat dapat menyebabkan

morbiditas serius bahkan kematian.

3. Splenektomi

akan memberikan hasil yang memuaskan bila penderita mengandung

Ig G tetapi bila terdapat dalam bentuk Ig M hasilnya kurang

memmuaskan.

4. Obat immunosupresif

Diberikan bila gagal dengan kortikosteroid dan splenektomi.

5. Immunoglobulin dosis tinggi

Diberikan dengan dosis 500 mg/KgBB/hari mungkin mempunyai

efektivitas tinggi dalam mengontrol hemolisis. Namun efek pengobatan

ini hanya digunakan pada situasi gawat darurat dan bila pengobatan

dengan prednison merupakan kontraindikasi.

8

Page 9: Refrat AIHA

Cold antibody syndrome

1. suhu lingkungan dipanaskan. Mempertahankan pasien dalam

lingkungan yang hangat. (seperti pada anemia hemolitik karena

pneumonia, mikoplaasma atau mononukleosis infeksiosa).

2. obat immunosupresif dapat dicoba diberikan meskipun hasilnya belum

memuaskan. Pemberian tranfusi darah pada cold antibody sydrome

hendaknya ditangguhkan, kecuali bila keadaannya sudah gawat,

karena darah yang akan mudah dihemolisis oleh cold antibody dalam

serum penderita.

Kortikosteroid dan splenektomi hasilnya tidak efektif bila dibandingkan

dengan hasil pada warm antibody syndrome. (3,6)

II.8 Prognosis

Pada pentakit autoimmun idiopatik varian akut pada masa anak bervariasi

dalam keparahannya, tetapi sembuh sendiri dan mortalitas anemia yag

tidak diterapi jarang. Kira-kira 30% dari penderita berkembang menjadi

hemolisis kronis, sering terkait dengan penyakit yang mendasari, seperti

SLE , limfoma atau leukemia. Mortalitas pada penderita kronis tergantung

kepada penyakit primer. (5)

Meskipun splenektomi, kortikosteroid dan obat immunosupresif

memberikan harapan yang lumayan pada warm antibody syndrome, Dacie

mendapatkan angka kematian 11% sembuh sempurna 27% sisanya masih

diragukan. Selain itu prognosis ditentukan pula oleh penyakit utamanya,

sepert keganasan prognosisnya fatal. (3)

9

Page 10: Refrat AIHA

DAFTAR PUSTAKA

1.Soeparman, Anemia Hemolitik Autoimmun, dalam: S.Waspadji,

Daldiyono, R.H.H. Nelwan (eds), Ilmu Penyakit Dalam, Balai penerbit

FKUI, Jakarta, 1990, hal: 433-437.

2.Price, S. A, Wilson L. M (ed), Konsep Klinis Proses-proses penyakit I,

edisi 4, EGC, Jakarta, 1992, hal: 232-234.

3.Hasan R. E, Alatas, H, Ilmu Kesehatan Anak I, Balai penerbit FKUI,

Jakarta, 1991, hal: 511-515.

4.Elstrom R, Autoimmune Hemolitic Anemia,

Http://www.google.com/philadelphia,2001

5.Corringan, J, J, dalam Nelson, W, Textbook of paediatrics, 14th edition,

WB saunders company, Philadelphia, 1992, p: 1716: 1719.

6.Mansjoer, A, dkk, Kapita Selecta Kedokteran I. Edisi 3. Media

Aesculapius FKUI, Jakarta, 2001, hal: 551-552.

7.Rose W, Bunn F, Anemia Hemolitik, dalam Harisson, Prinsip-prinsip

Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13, Vol 4, EGC, Jakarta, 2000, hal: 1940-

1948.

10