Reformation Lecturer 2015

24
Reformation Lecturer 2015 Devosi luther dan berkatnya bagi kita. Sungguhkah ada Filsafat Devosionalisme itu ? Oleh : Jannus P. Sihombing 31 Oktober 2015, Posko Komunitasinjili Cibinong, Jl Mayor Oking 106.c Cibinong

description

Luther dan penggiatan reformasi abad 16, jelas bukan kemunculan fisafat baru, termasuk jika dikategorikan akan kegemaran berfilsafat. Momen 500 tahun Reformasi--31 oktober 2017, maka pada 31 oktober 2015, komunitasinjili menyajikan ceramah ; "Devosi Luther Dan Berkatnya Bagi Kita, Sungguhkah Ada Filsafat Devosionalisme itu ? cat. karena keterbatasan terasa kurang diedit dibagian awal.

Transcript of Reformation Lecturer 2015

Page 1: Reformation Lecturer 2015

Reformation Lecturer 2015

Devosi luther dan berkatnya bagi kita.

Sungguhkah ada Filsafat Devosionalisme itu ?

Oleh : Jannus P. Sihombing

31 Oktober 2015, Posko Komunitasinjili Cibinong,

Jl Mayor Oking 106.c Cibinong

Page 2: Reformation Lecturer 2015

Reformation lecturer 2015

Copyright © Sihombing., Jannus

Komunitasinjili Cibinong

Page 3: Reformation Lecturer 2015

1

Devosi luther dan berkatnya bagi kita.

Sungguhkah ada Filsafat Devosionalisme itu ?

Sub: Reformasi & tahapan awal mengenal yang silam dari

Filsafat Devosionalisme

Oleh : jannus P. Sihombing1

Awalannya…

Kerap kali momen reformasi gereja mendapati tiga cakupan ,

cakupan pertama tentu merayakan yang pastinya hanya sedikit

dalam bagian, dimana ketika gereja (pelayanan)merasa itu menjadi

bagian penting. sisi ke dua. Sadar dan tentu menjadi bagian tapi

tidak merayakan, karena tidak ada dalam agenda kerohanian

setidaknya gereja atau organ pelayanan untuk melakukannya

dibanding hal yang memang umum sperti natal dan lain-lain.

Cakupan ketiga, tidak menjadi bagian dan tentu tidak merayakan.

Apa yang kita pelajari ketika pelayanan menjadi hal yang

penting. Maka kekristenan yang berevolusi setidaknya dalam

‘bentangan’ sebuah kiasan agar terkesan alamiah adalah banyaknya

atau bentangan dari ragam organ, bentuk dan tema besar

‚Kekristenan‛ sebuah pokok dengan bentangan variannya tersebut.

1 Penggiat & eksponen awal “indie” reformed (Baptist) komunitasinjili

Cibinong, ,’ teolog awam’ & novelist. Visiting STT Jakarta 2006-2011.

Paper ini disampaikan dalam Reformation lecturer, Komunitasinjili

Cibinong, 31 oktober 2015.

Page 4: Reformation Lecturer 2015

2

Dari mulai laku bentuk yang menandai dalam akan kekristenan yang

beribadat dimana ada yang; hening minimalis sampe yang muatan

local dan kontemporer bergirang loncat. Ragam bentuk organ dari

yang disubsidi, mandiri perseorangan yang hingga yang hadir

dengan memanfaatkan ceruk pasar karena iman ‘agama’ dan

bergereja tetap saja penting.

Sisi ini tidak bisa diabaikan dari figure yang diingat sebagai

penanda tersebut. Seakan menegaskan sebuah pembeda ketika kita

harus diajak dan menyoal tentang Reformasi itu kembali, menegaskan

pembeda karena kurun waktunya. Ada banyak yang bisa menjelaskan

akan tetapi ketika bermula kehidupan begitu terkooptasi, kehidupan

yang begitu dikuasai dan dipenuhi sebuah kebergantungan bagi titah

kekuatan sipil dai keuasaan lembaga agama--gereja. Timothy George

merujuk pada konstruksi identitas, apa yang terbangun yang

menjelaskan tentang kondisi yang mencetuskan momen tersebut,

momen yang memang menjadi penanda pada 31 oktober sehingga

Luther memakukan sebagai wujud protes, 95 dalil ( George;1988).

Dimana ihwal kemunculannya adalah karena sebuah jaman yang

cemas ‚an age of anxiety‛ penjelasan ini menarik ketika pada masa

itu spiritualitas yang melatari adalah juga terbangunnya secara infra-

struktur, bahasan ini pernah saya paparkan sebelumnya ketika

mengkaji sebuah identitas kelompok keagamaan (sihombing; 2013),

dimana menjelaskan akan bangunan-banguan megah gereja dan

disertai dengan kekuatan sipil. Akan tetapi sisi yang menarik adalah;

adalah ketakutan akan kematian. Dipuncaknya secara harafiah

kekuasaan gereja begitu mendominasi akan tetapi justru kecemasan

Page 5: Reformation Lecturer 2015

3

juga terpupuk. Theodorus Beza yang menjadi penerus Calvin

memiliki alasan dalam mengungkapkan ini, hingga oleh calvin

sendiri ‚kecemasan konstan jiwa-jiwa yang tidak bahagia yang

terpenjara‛ (George;1988) lantas mengapa ada yang bisa tertera

sebagai devosionalisme. Mazhab dalam kehidupan penyerahan, atau

mazhab dalam ‚devosi‛. Laku kehidupan yang sudah tentu

mempercayai transendensi, orbit metafisis, sang liyan. Kita tentu

menyadari bahwa kita tidak netral dalam mengetengahkan akan hal

ini, karena berangkatnya adalah sebuah momen peraayaan yang ingin

diketengahkah. Karena itu, sebuah laku kehidupan dengan

menerawang wujud transendensinya dan mengetengahkan sebagai

sebuah ide besar.

Aspek spiritualitas yang tetap menarik, aspek yang justru dalam

analisa sekarang bisa dijelaskan sebagai cakupan dalam banyak hal,

sehingga tetap saja menjadi bahasan yang menarik. Akan tetapi

bagian yang ingin dicoba adalah ketika justru bagian dari

spiritualitas. Hal pertama yang menarik, mengingat sebagai sebuah

kurun waktu, adakah sebuah pembelokan sejarah, distorsi, atau

ketidaksinambungan. Hal yang terjadi dengan kurun waktu yang

lama, seakan setuju bahwa kooptasi itu berlangsung. Hal kedua,

adalah kesinambungan sejarah itu sendiri. Karenanya latar tersebut

yang diurai menjadi perlu, bahwa cakupan yang dimaksud dengan

kondisi sekarang. Kesinambungan sejarah yang justru membuat

sejarah menjadi telaah utama, arus utamanya dari alur sejarah yang

terlihat adalah justru apa yang dimulai dari warisan sebelumnya yang

bersifat monastic—sederhananya untuk diutarakan dan berada dalam

wilayah yang umum adalah perilaku membiara khas Eropa;

Page 6: Reformation Lecturer 2015

4

kehadiran dengan itu juga seakan meligitimasi keberlangsungan

kekuasaan sipil dari kewenangan religious. Maka telaah apa yang bisa

kita dapat ?

Beberapa dengan sangat berani memaktubkan sebagai ‚the

failure of medieval Christendom‛ (Gregory; 2012) , kegegalan priode

abad pertengahan dengan spiritualitas yang sangat kental. Periode

yang menandai dan respon dari spiritualitas yang untuk itu Martin

Luther menjadi tampil. Apa penjelasan dari sisi spiritualitas yang

memang sangat kental tersebut ? apa yang ingin diketengahkan

ketika justru saat itu tidak bisa ditampikan bahwa dunia yang bukan

hanya Luther semata akan tetapi terkondisikan menjadi sangat

religius (Harga; 2012), sehingga ketika cakupan religiusitas itu

menjadi sangat terasa dan hadir, dengan ini pertautan antara

spiritualitas yang melepaskan maknanya pada pribadi dan

reliegiusitas yang melembagakan yang spiritulitas. Dengan

meyakinkan saya memberi penekanan pada religiusitas yang lebih

dari spiritulitas.

Sisi devosi dan realita

Inilah yang menarik, mengapa ? sinyal politik tentu sebagai

bagian dari religiusitass menjadi sulit diabaikan dan sangat terlihat,

hal yang memang kentara. Mengapa dapat dikatakan sebagai sinyal

politik perihal religiusitas yang berkehendak ? tentulah penjelasan

yang harus dipahami dan tidak bisa diabaikan. Ketika kita mengenal

penyerahan Martin Luther—dengan ini devosi menjadi sesuatu yang

menggugah, bahwa devosi tersebut, dengan kata lain kehidupan

Page 7: Reformation Lecturer 2015

5

penyerahan tersebut menjadi sesuatu yang menggerakan. Artiannya

tentu; devosi adalah menyoal bentuk dari religiusitas. (Sihombing;

2012)

Momen sejarah selanjutnya kita ketahui. Arsip-arsip yang

menjelaskan tentang devosi luther adalah juga bagian yang melihat

sebagai proyeksi yang terdalam, apa maksudnya ? Spiritualitas yang

diketengahkan. Jadi pada saat itu momen yang sangat dominan

ketika otoritas religious dengan ini pembaktian diri ataupun sisi

devosi ihwal individu, tidak bisa melihat akan realita penyimpangan

yang ada. (George; 1988,16) ‘kelaziman’ religiusitas untuk

menyimpang.

Bahasan-bahasan yang sekarang ada justru melihat dari segi

ketika realita itu mengalami kepelbagaian arti, dengan ini juga

dianggap sebagai hal yang menafsir. Karenanya apa yang bisa

dilakukan ketika justru Reformasi menghendaki sebuah perubahan.

Beberapa uraian juga mengetahui bahwa Luther mengambil sisi

penghayatan iman yang terdalam, apa artinya bergulat dengan hal

yang terdalam dimana dia merasakan bahwa dirinya berdosa. Hal

mana dia tidak merasa sungguh-sungguh akan pengampunan dosa

yang saat itu dengan keadaan sisi religiusitas yang sangat-sangat

berperan dan mendominasi (Gregory; 2012).

Sekarang menjadi soal ketika justru otoritas yang mendaku

sebagai ‚central‛, menghadapkan pertanyaan-pertanyaan. Hal yang

mengemuka secara diskursif—tak menarik ketika melihat

pembanding bahwa inilah bahasan berfilsafat, sesuatu yang ingin

Page 8: Reformation Lecturer 2015

6

mencari pada bagian inti yang terdalam. Maka tidakkah seharusnya

justru; rasionalitas religious ?

Rasionalitas sebagai pelacur ?

Perihal Luther kerap menjadi sesuatu yang sama ditonjolkan

dengan latar cerita reformasi itu sendiri, sebagai pencetus, sekalipun

bukan actor tunggal. Ketika reformasi itu telah terjadi, ketika yang

dibaharui, hal yang dituntut untuk terjadinya pembaharuan. Ini yang

selalu terlintas disiratkan karena terhubung dengan Luther. Ketika

luther dalam lakon gereja, yang sekarang justru—‘berbuah’ dengan

telah berkembang kepada banyak hal, telaah terbaru yang lagi-lagi

bersifat sejarah dari Brad S Gregory bahwa momen Reformasi Luther

berbuah ‚hyperpluaritas‛ yang melaju terus dalam kondisi sekarang

(Gregory;2012) semacam keberagaman yang ‘berlebihan’ yang belum

pernah terpikirkan dan terbayangkan, dimana seakan gereja dengan

pelembagaannya yang untuk itu Luther meniatkan pembaharuan

bisa meletakan keterlibatan, sebuah berkah yang didapat dari gereja—

pembanding juga bisa dilihat dengan pemikir yang berlangsung

sesudahnya yang mengubungkan dengan konteks yang lebih dekat

dengan kita, yakni; Neo-Calvinisme dimana Abraham kuyper justru

berada dalam kewenangan otoritas sipil, yang sayangnya untuk

Luther seakan ‘dikecilkan’ dari pelibatan sebuah pemikiran, menjadi

hanya kekuasaan gereja semata, kontradiksi yang ketara Agak sulit

mengabaikan sebuah ide tanpa konteks politik yang dimaksud dan ini

melihat kepada upaya membanding tersebut (Gregory; 2012). Karena

yang terakhir sangat dekat dalam membandingkan dan membuat

bahasan yang khusus yang tentu punya ciri sebagai sebuah ide yang

dimaksud, otoritas sipil yang merepresentasikan religiusitas. Adakah

Page 9: Reformation Lecturer 2015

7

juga Luther yang dimaksud sebagai kemunculan awal ? Hal yang

tentu melihatnya, diartikan tentu sebagai membandingkan adalah

sebuah dampak dari apa yang telah Luther lakukan. Karenanya akan

sangat luas dan berdampak dari ‚hyperpluralitas‛ tersebut,

keniscayaan kondisi yang memang terjadi.

Konteks pemikiran yang menekankan akan rasionalitas, karena

itu yang ketara disini adalah ‘serapahan’ Luther yang tetap dengan

prinsip‛ sola scriptura‛nya—dalam hal ini ada sebuah kritik yang

harus diketengahkan, bahwa sisi devosionalitas bergulat dengan hal

ini, hal yang juga menjadi luas dari sekedar pengakuan atau dengan

sangat kekinian adalah diketengahkan sebagai ‚hermeneutis

kekuasaan‛—dengan secara sengaja itu bisa terlihat sekarang-- hal ini

memang akan terkesan menjauh. Bahasan yang memang tersendiri

dan menjadi ciri, akan tetapi hidup pembaktian diri atau katakanlah

sebagai devosi yang melibatkan adalah berangkat dari otoritas kitab,

sebuah devosi dengan teks (Sihombing; 2012).

Mengetengahkan akan rasionalitas yang menilai dan menjadi

pangkal dari katakanlah mengenai berfilsafat, penilaian adalah

dengan menghasilkan rasionalitas yang mengoreksi—konon tentunya

dianggap sebagai titik tolak filsafat . Rasionalitas yang bersikap,

mengadapi ‚an age of anxiety‛ atau anfechtungen, benarkah sesuatu

yang memadai ketika justru aspek rasionalitas, sekalipun tetap bukan

hal yang memberi label. Problem selanjutnya tentu adalah otonomi

pada rasio itu sendiri, kebajikan alamiah dari ‚teologi natural‛ yang

bisa melayakan dan mendekati Allah. Pengertian dan tentu juga

ketidakmengertian ini adalah apa yang bisa diketengahkan sebagai

Page 10: Reformation Lecturer 2015

8

rasionalitas itu. Aspek yang memadai akan tetapi pergulatan untuk

mengerti perihal wahyu dan tentu pembenaran dalam menerima dan

mempercayai Allah. ‚Reason is a whore‛ dengan sangat menyentil

sinisme seoarang biarawan yang sudah tentu bahasan filsafat menjadi

tradisi dimana dengan merujuk kepada bahasan diskursus seputar

plato dan aristoteles (graci & noone; 2013)—sebuah ‘rasionaitas’ yang

lain yang belum kentara, ketika wujud dari yang ideal atau ‚form‛

menjadi ada dari ide- itu berkembang, hal yang dimengerti justru

ketika pergulatannya adalah wahyu. Sebuah pengertian lain ketika

titik tolak antara apa yang diketengahkan sebagai ‚Athena &

Yerusalem‛, ketika penggambarannya adalah antara ‚rasio dan

wahyu‛, sekalipun ada yang berani mengenyahkan hal ini dalam

periode setelah Luther dengan tidak merujuk kepada periode dari

sebelum Reformasi Luther, dapatka dikatakan sebagai sebuah

filasafat ketika mengabaikan hal ini ? (Mavrodes, 1983;192-217)

dimana memang rasionalitas yang berbenturan dengan religiusitas.

Sementara hal yang bisa dilihat, bahwa rujukan luther juga

datang dari Anselmus, sekalipun rasionalitas dalam koherensinya,

semacam kememadaian dan hal yang membangun; ketika

menunjukan fides quarenes intellectum, untuk selanjutnya pengertian

dianggap berguna bagi masyarakat, pengertian yang meluas diakui

bagai tatanan sipil yang reigius itu. ‚Iman yang mencari pengertian‛

sudut pandang yang menilai realita, menilai dalam argument ketika

bahasan pengertian (filsafat) didapat dengan ‚seteguh‛ iman, hal

Page 11: Reformation Lecturer 2015

9

yang bisa diurai lebih jauh adalah tradisi yang membentuk abad

pertengahan yang mengalami kegagapan dan koreksi oleh luther

‚failure medieval ages‛ sehingga melahirkan reformasi (George,

1988). Sesuatu yang melatari, ketika kehidupan monastic memberi

anjuran akan iman dan pengertian. Bahwa negasi atau

penentangannya tidak didapat, jikalau selanjutnya yang justru

menjadi menarik untuk diketengahkan adalah Thomas Aquinas

dengan teologi natural, bahwa upaya mencari pengertian tersebut

menjadi sesuatu yang transendens. Kita mengenalnya juga dan

William Ockham, hal yang memang menarik ketika persoalan secara

ekonomi dan hak property, hal yang berkutat ketika secara

pelembagaan terlibat (Robinson; 2010).

Rasionalitas yang bisa dikatakan bukan dari pencerahan yang

memberi semacam sebuah telaah dari otonomi, entah yang dimaksud

demikian ketika justru Descartes selanjutnya menggemakan sebuah

maksud dari otonomi berpikir, menjalani dengan ‘kendali’ berpikir.

Akan tetapi sebuah penilaian ketika pengertian menangkap sebuah

hal yang menyimpang, luther menjadi semacam menegaskan

pembada ketika sebuah devosi dari pembenaran, lebih tepatnya

dikatakan sebagai doktrin pembenaran—hal yang memang menjadi

utama dalam 95 these-nya yang bisa diartikan bersinggungan untuk

berhadapan dengan teologi natural dari periode sebelumnya.

Selanjutnya hal ini menjadi diskusi yang menarik (Sihombing; 2012).

Page 12: Reformation Lecturer 2015

10

Karena risalah filsafat Luther yang menjadikan distorsi ketika

tradisi harusnya membawa pada perenungan. Perenungan yang tidak

datang dari keutuhan pesan. Justru dengan itu rasio yang dipakai,

karena dengan laku dan tindakan luther yang menilai—dengan ini

agak enggan menggunakan praktis tindakan sekalipun, sekalipun

berbuah dengan tindakan; Luther melakukan, Luther bertindak.

Adakah justru perenungan didapat dari Anselmus, Okcham, Aquinas

? dan beberapa yang lain dari menghidupi dan berada akan wujud

dunia, dengan Allah yang berada dalam dunia ide, perenungan secara

metafisis dan lakon-lakon yang menyertai bagian perenungan—titik

tolak rasionalnya seputar itu; karena sekali lagi ungkapan

mengenyahkan dengan mengganggap dan melabeli sebuah niat

rasional dianggap sebagai hal yang buruk. Melihatnya ketika

menggambarkan, bahwa rasionalitas tidak membawa kepada

pengetian ketika tidak-- sebagaimana Luther mengalami akan terang

dari teks firman— menjadi hal yang berbuah sebagai pegangan dalam

hal ini tentu menyoal pada pegangan yakni pengakuan iman. Kita

sangat maklum dengan ungkapan ‚here I stand‛ (Hier stehe, ich kann

nicht andres), hal yang ingin ‘merampungkan’ supaya tidak ada

perdebatan.

Sekalipun untuk itu jalur yang ditempuh adalah ‚Diet of worms‛,

sebuah perdebatan di worms, dengan ini bersoal jawab seputar apa

yang telah dikemukakan dalam 95 dalilnya tersebut, hal yang

memang memperkarakan adalah otoritas sipil saat itu—otoritas dar

Page 13: Reformation Lecturer 2015

11

kewenangan religius. Tegangannya akan didapat ketika koreksi dari

laku hidup beragama adalah pengertian (rasio) seturut firman.

Otoritas rasio an sich tentu harus menjadi pertimbangan. Dengan ini

juga rasionalitas yang ‘mengurai’ firman. Sekalipun untuk itu sinisme

yang lain juga muncul dengan penegasan; yang seakan Luther tidak

memahami filsafat sebagai inti, karenanya apa yang Descartes

lakukan selanjutnya menjadi ketara sebagai koreksi. Sekalipun itu

juga berguna sebagai pengakuan iman yang rasional. Seakan abai

dan menentang sekalipun sebenarnya menggunakan. Maka

rasionalitas dipahami sebagai kontradiksi yang mengetengahan sisi

satu dan lainnya (Sihombing; 2012).

Devosionalitas dari Agustinus.

Kita selalu berangkat dengan argument ini, bahwa yang mejadi

sebuah bagian dari laku kehidupan beragama, setidaknya ketika

dirunut pada masa itu bahwa; karena Luther juga seorang dengan

ordo keagaman yang agustinian, bagian dari lembaga dengan tugas

kegamaan yang juga punya perangai monastik, dimana pengertian

doctrinal tetap penting. Doktrin apa yang dketengahkan sebagai

kemunculan sebuah ide, argument yang untuk itu merujuk sebagai

bentuk pengakuan, sungguhkah dan kita menemukannya disini ?

Devosionalitas yang merujuk kemudian pada laku pengakuan akan

‚sola scriptura‛. Sangat tidak memungkinkan untuk martin luther

disebut Filosof ? terlebih ada ketuntasan pengertian ketika kecemasan

Page 14: Reformation Lecturer 2015

12

akan kematian terjawab. Menjadi ‘sukar’ dan dianggap mengada-

ngada ketika coba mengetengahkan filsafat dari Martin Luther .

Saya mendapati dari beberapa sumber bahwa hidup yang tertuju

dan mengelola adalah bagian penting dari hidup devosi tersebut.

Sehingga membuat sesuatu yang menarik antara sebuah penyerahan

total. Pada masanya kesinambungan dalam tugas biara agustinian

adalah merujuk kepada tegaknya doktrin dan ajaran gereja. Tegaknya

yang dimaksud tentunya adalah katolisitas yang terjaga;

keuniversalan gereja dengan kewenangan yang sangat ‘religius’ pada

ciri yang sekli lagi harus dikemukakan adalah; teologi natural—hal

yang justru secara ‘alamiah’ tidak melakukan koreksi. Tentunya

karena pandangan yang dikemukakan oleh Agsustinus pada masanya

dan yang juga dietruskan, perihal manusia dan kehendak bebasnya

serta gereja yang menjaga akan ajaran Injil keselamatan menjadikan

justru devosi dengan praktis, keinsafan yang bukan alamiah.

Metafisika yang bukan alamiah untuk menuju dunia ide, dengan

menyadari dunia real telah dicemari. Kekhasan yang memang

bersumber pada wahyu, bahwa yang real pada ‚daging‛ yang terjerat

dosa membutuhkan pendamaian dan pengertian yang ‘rasional’

dengan wahyu. Iman (fide) menjadi sebuah totalitas, ketika justru

yang alamiah bisa diselewengkan. Yang alamiah telah berdosa, dunia

real sangat kacau balau dan berbuah kepada kecemasan pun bagi

orang yang bersungguh-sungguh secara alamiah.

Ditandai dengan keterlibatan johan stautpitz, pribadi yang

berperan sebagai pemimpin ordo agustinian. Keterlibatan dalam

Page 15: Reformation Lecturer 2015

13

mencari dan menyoal tentang tanggung jawab moral, dimana

konsepsi tentang dosa asal ada. Hal yang ditetapkan dan berkanjang

bahwa realita dari manusia berdosa—sekalipun secara premature titik

persingguangan ketika memang Luther tampil sebagai pengajar.

Keterlibatan pergulatan seakan apa yang bisa disejajarkan dengan

agustinus, pergulatan ‚Anfechtungen‛. Maka pengakuan dari adanya

kebergantungan realita kepada transendensi Allah ? semacam

penjelasan dari hidup yang tidak berguna dan sia-sia. Satunya

kesatuan antara yang ‚ideal‛ dan yang ‚real‛ dengan mempercayai

yang ideal itu diwahyukan dan akan dituju. Meyakini akan

transendensi Allah yang mencipta dan tentu otoritas Alkitab yang

menuntun kepada yang ideal disinilah sebentuk devosionalitas itu

didapat. Sekalipun ketika dianggap sebagai proses, pemikiran

Agustinus perihal penakdiran ‘dikembangkan’ oleh Calvin (George;

1988, 163-251).

Devosi yang ditopang secara formal dan material bagi prinsip

sola fide dari doktrin sola scriptura—sekalipun mengenai hal ini juga

Luther tidak meneruskan Agustinus dengan prinsip ‚akomodasinya‛

hal yang dipahami sebagai otoritas wahyu (woodbridge;1986,

George;1988,84). Menarik bahasan yang menekankan pencarian itu

sebagai kesadaran yang memang berkembang, kemunculan sebagai

individu yang seharsnya dilihat, karena problem otonomi manusia

yang bermasalah dengan otoritas religious justru diartiakan lain oleh

mereka yang pada masa itu bercita-cita pada otonomi manusia

Page 16: Reformation Lecturer 2015

14

Maka pemutusan hubungan dengan ‘trah’ yang menjadikan

berfilsafat adalah bagian dari gereja. Bahwa laku pemikiran dari abad

pertengahan untuk selanjutnya menjadi bagian yang kita pahami

hingga sekarang. Lantas siapa yang melanjutkan abad pertengahan

tersebut dengan bahasa saya; menyatunya objek ideal yang berdevosi

hingga dalam kondisi sekarang ? juga bercita-cita dengan ini pada

otonomi manusia ? Walau kita juga tahu latar politik yang sangat

dominan, dimana Luther sebenarnya tidak menginginkan pemisahan,

aka n tetapi kondisi yang tak terelakan. Dengan menandai problem

yang selalu membekas dan sangat ketara bagi kita‛Iustitia Dei‛

pembenaran Allah oleh iman semata, dengan inilah lembaga religious

(baca: gereja) berdiri (Bainton; 1950). Dengan inilah otonomi manusia

sejati didapat. Inlah laku perenungan (devosi) yang ‚sejati‛ itu.

Devosionalitas juga didapati dalam periode-periode sesudahnya.

Praktis dalam kegiatan yang terinstruksikan sebagai ‚saat teduh‛,

‚momen hening‛. Dimana hal ini bisa diartikan sebagai hal yang

‘berkembang’ atau justru seakan melihat bagian dari keterlibatan

yang religious. Akan tetapi ada yang justru berkembang yang

dianggap berbeda, ketika membedah konsep dasarnya adalah

‚communication idomatum‛ (George; 1988). Hal yang justru

membeda ketika pelibatan tidak dengan laku perenungan yang

monastic—terlalu ‘sederhanakah’ ketika saya mengatakan sebagai

‚menarik diri‛, disini yang memang akan menjadi pertanyaan, karena

bagaimana respon yang lainnya ? sebabnya menjadi pertanyaan yang

menarik ketika pembeda itu menjadikan polarisasi. Sebuah

pengertian terhadap firman yang menjadi daging, keliahian yang

Page 17: Reformation Lecturer 2015

15

menjadi manusia. Dasarnya iman yang berpartisipasi dalam hal ini

bahwa tetap ditegaskan sebelum perdebatan yang berkembang.

Adalah menarik justru dari sisi perenungan adalah Luther yang

melibatkan. Sekalipun ada yang menanyakan akan momentum yang

melahirkan pembakuan 95 tesis adalah sebuah event tertentu atau

justru proses tertentu (Campi &Opitz; 2012).

Devosionalitas yang praksis atau Devosionalitas sebagai candu…

Sungguhkah ini ketika justru menilai institusi yang sacral

memegang peranan, sehingga pada istilah yang dimaksud adalah

pelibatan dari meyakini pesan teks. Kita tahu artian dalam rangka

mencari atau memaknai sesuatu adalah sebuah tafsir. Maka bagian

yang berkuasa secara total jelas memilki kecenderungan dominansi,

hal yang justru seakan dijauhi. Sehingga artian atau pemaknaan

Luther dengan merespon tafsir perkembangan gereja atau otoritas

dari institusi sacral adalah justru merespon praksis. Menyanggah dan

mengoreksi secara proposisi, tesis-tesis yang disajikan. Salah satu

yang menarik yang bisa diketengahkan adalah Luther dan kategori

pemikiran dari William Ockham, kategori apa yang bisa dinilai

sebagai devosionalitas yang menarik. Karena justru dengan hak

property,secara sekilas tetap meneguhkan akan sikap keberagaman

dari tatanan sipil yang ada yang sangat religious, setidaknya ketika

diera Luther (Robinson; 2010)

Inilah justru yang kerap dikenakan. Sekedar ketakutan terhadap

kematian yang dengan penjelasan momen reformasi mengakhiri abad

pertengahan ‚failure medieval ages‛ dengan anfechtungen-nya yang

segera saja melampaui yang natural untuk mendapatkan jawaban.

Page 18: Reformation Lecturer 2015

16

Menarik laku hening justru berkembang setelah reformasi ? mengapa

bisa ? akan sangat paham dengan rujukan imanuel kant sebagai

filosof dan masa pietisme yang terbangun—sebuah kebajikan yang

menjelaskan Tuhan dan wahyunya; terlalu sederhana mengartikan ini

memang. Proses berpikir yang membutuhkan atau justru laku

hening. Sekalipun variannya lebih banyak. Sementara dalam sisi

yang lain justru ada yang melakukan lebih, apa yang dimaksudkan

dengan hal ini ? keterlibatan praksis Luther dengan teelaah yang juga

terkait dengan berpihaknya pada mereka yang saat itu mengalami

penindasan, untuk yang ini memang ada figure lain yang dianggap

mewakili dan juga melihatnya pada kondisi sekarang, yakni kalangan

‚Radical Reformation‛—melihatnya dalam kondisi sekarang tetap

menarik memang untuk ditelaah. Pergulatan yang sangat real dengan

kekisruhan yang dibuat saat itu dengan tokoh seperti munzter,

Conrad grebel dengan ‚pemberontakan petani‛-nya, juga menno

simmons, ‘kekisruhan’ yang luar biasa dengan landasan pengertian

saat-saat akhir dari prinisp ‚sola scriptura‛ (Williams;1962,

George;1988,253-307).

Melihatnya secara praxis dengan apa yang bisa dipakai untuk

menganalisa yakni ‚teori kelas‛, sebuah dialektika yang dengan ini

agama menjadi candu dan menindas dari filsafat marxisme. Tapi

sungguhkah terhubung dengan hal itu ? karena tetap pilarnya seakan

aksi dan reaksi dengan latar religious saat itu (Bainton;1950, George;

1988,22-50). Jika demikian Luther dianggap tanggung ?

Kembali pada soal yang mengemuka untuk memahami sebuah

‘bentangan’ dari ‚kekristenan‛ hal yang sangat besar sebagai hal yang

Page 19: Reformation Lecturer 2015

17

cukup terbentang dalam khasanah panorama kita ketika kita berniat

merayakan atau tidak ? mengenang dan mengambil pelajaran atau

justru perlahan mengabaikan karena hanya membuat ‚pemisahan‛.

Dengan beberapa hal yang perlu dicatat Luther tidak diakomodasi

sebagai salah satu ‚orang kudus‛ yang mungkin sudah terlalu parah

tersusupi kecemaran—hal yang memungkinkan jika dialog seputar

inisiasi deklarasi bersama terkait doktrin pembenaran (justification)

dari organ gereja yang merepresentasikan pertentangan tersebut

(Husbands & treier; 2004).

Maka apa yang bisa dikatakan dalam pandangan Gregory

‚masyarakat yang disekulerkan dengan sebuah revolusi religious‛,

dimana yang bisa menghasilkan sebuah ‘artian’ atau katakanlah

tafsiran sebagai momen event sekali atau justru proses menuju ?

Dimana luther dengan laku kehidupan monastic untuk disudahi—

tidak ada keraguan mengenai hal ini, yang juga sekarang tetap

mendapat tempat, tentunya menarik dengan telaah-telaah

lanjutannya. Sebuah berkat dengan takjub pada apa yang terjadi

sekarang dari ‚hyperpluritas‛ yang dijalani, tentu kita tidak akan

mengidekan sebuah otoritas religious dan nada kecaman untuk itu

ketika berlaku bagi kehidupan sipil; mengingat juga jarak yang sangat

jauh dan telah ditinggalkan. Semantara, haruskah itu ketika kita

agak sukar mencari pendasaran akan devosi sebagai sebuah laku

hening ?

Dan kini tetap berjibaku dengan masyarakat yang telah

disekulerkan untuk tetap sebagaimana Luther dulu ‚Hier stehe, ich

Page 20: Reformation Lecturer 2015

18

kann nicht andres‛. Semoga bukan sebuah penentangan dan sekedar

menegaskan pemisahan ! Entahlah ?

Selamat hari Reformasi, 31 oktober 2015

Kepustakaan

Bainton, Roland H. (1950) ‚Here I stand: A Life of Martin Luther‛

Abingdon Press

Carson, DA & Woodbridge, John. Ed. (1986) ‚Hermeneutics, Authority &

Canon ‛ Intervarsity Press

George, Timothy (1988) ‚Theology of the Reformers‛: Broadman Press

Gregory, Brad S (2012) ‚The unitended Reformation, How A Religious

Revolution Secularized society‛:

Havard University press

Haga, Joar (2012) ‚was there a Lutheran Metaphysics‛ Vandenhoeck

& Ruprecht KC

Mavrodes, G (1983) ‛Faith & Rationality, Reason and Belief in God‛

Ed. Plantinga & Wolterstorf University of

Notredame Press

Opitz, Peter., Ed.(2013) ‚The Myth of the Reformation‛ Vandenhoeck

& Ruprecht KC

Sihombing, Jannus (2012) ‚Nature Agama & Kebenaran. Agama itu;

Proposisi, Realitas Hidup & Kebenaran Komunitasinjili press

Sihombing, Jannus (2013) ‛Telaah terhadap pemikiran james P. Boyce‛

Ed. Guyub Theological lecture & Reviiew Komunitasinjili

Robinson, JR (2012) ‚ William Ockham and property Right‛ Ph D. dissert.

In Toronto Medieval Ages Studies

Williams, George H(1962) ‚The Radical Reformation ‚ Philadelphia

Westminster press

Page 21: Reformation Lecturer 2015

19

Karya-karya Luther Luther's Works (LW), ed. J. Pelikan and H.T. Lehmann. St. Louis, MO:

Concordia, and Philadelphia, PA: Fortress Press, 1955 -1986. 55 vols.

.1513-1515, Lectures on the Psalms (LW: 10 -11).

1515-1516, Lectures on Romans (LW: 25).

1517, Ninety Five Theses (LW: 31).

1518, Heidelberg Disputation (LW: 31)

1519, Two Kinds of Righteousness (LW:31).

1520, Freedom of a Christian (LW: 31).

1520, To the German Nobility (LW: 44).

1521, Concerning the Letter and the Spirit (LW:39).

1522, Preface to Romans (LW: 35).

1523, On Temporal Authority (LW 45).

1525, The Bondage of the Will (LW: 33).

1525, Against the Robbing and Murdering Hordes of Peasants (LW:45).

Written before the Peasant’s War, it was published afterward.

1530, Larger Catechism (LW:34).

1531, Dr. Martin Luther's Warning to His Dear German People (LW:45).

Luther’s first expression of a right to resist tyranny.

1536, Disputation Concerning Justification (LW: 34).

A mature presentation of Luther’s doctrine on Justification.

1536, Disputation Concerning Man (LW: 34).

Page 22: Reformation Lecturer 2015

Orang Kristen tidak boleh

membaca fiksi, orang

Kristen lazim hanya

membaca kesaksian !

Benarkah ?

Sebuah Fiksi:

“Disekitar Pabrik”

ISBN 978-979-16284-6-4

Harga : Rp. 60.000*

Apa yang sesungguhnya terjadi “Di Sekitar Pabrik” ? Bekas warteg

yang selalu disambangi oleh Ratni sewaktu jeda istirahat makan

siang pabrik, dimana hanya digunakan di hari minggu sore dan

sesekali pagi.

Hal yang lain; Uci dan para aktivis serikat buruh yang tetap

bergiat, Bu Nio penjual makanan berbungkus yang tidak menetap.

Laut dengan keluarganya yang tidak ketara jelas dan tentu saja

tidak terlihat, dimana adalah teman lama suami Ratni yang tetap

mempertahankan bekas warteg tersebut.

“Disekitar pabrik” berusaha mengurai ada yang terhubung. Dalam

hal yang mendasar ? Atau dalam hal keyakinan ?

Page 23: Reformation Lecturer 2015

*info pemesanan buku

0838-9495-4900

Sebuah fiksi

“Sekelebat

Dan Rintik Hujan Yang Berwarna Oren”

ISBN 978-979-16284-5-7

Harga Rp. 60.000*

Apa yang bisa dibayangkan akan “Sekelebat dan rintik hujan yang berwarna oren” tersebut ?

Aybie yang bergiat dan tidak bisa dimengerti dimana terhubung dengan Greg perihal keyakinan dalam aktivitas syiar misionarisnya ? akan halnya Keponakan Aybie, Iko dan temannya Ilya, juga bapaknya Ilya. Apa yang terhubung ketika soal keyakinan dan kenyataan yang dihadapi. Soal yang ideal ?

“Sekelebat dan rintik hujan yang berwarna oren” terjadi sebagai soal momen. Soal ‘kegemaran’, soal yang tidak selamanya indah. Atau bisa jadi soal yang tragis ?

***

“Ngaco aja lu ! Mana ada hujan berwarna oren ? ”

Kubil, Ex-honorer Disperindag Cibinong

Page 24: Reformation Lecturer 2015

Dari Jannus P. Sihombing Tentang penulis. Jannus P. Sihombing, Aktif dan penggiat Komunitas Injili

Cibinong, sebuah “jemaat lokal” dan indie yang intens dengan problem

situasional dan kultural. Dengaan karakteristik doktrin anugerah (Reformatoris

Baptis) . Ceramah dan telaahnya hanya didapat di Komunitasinjili Cibinong e-mail: [email protected]

Uraian “Reformed Baptist” Cibinong Komunitasinjlili “Reformed Baptist” Cibinong Jl. Mayor Oking 106.C – Cibinong. www.komunitasinjili.org Persekutuan Minggu Pk. 10.00 – 11.15 Persekutuan Rabu Pk. 19.00 – 20.30 Kelompok kecil (tentative)

Komunitasinjili Cibinong (Reformed Baptist) Jl. Mayor Oking 106.c Cibinong Bogor

Telp. 0838-9495-4900

Penginjilan, Jelas Perlu! Perihal Injil Yang Berdasar & Perlu. ISBN 978-979-16284-0-2

Harga : Rp. 35.000 (sudah termasuk ongkos kirim) -------------------------------------------------- Menunjang pemahaman dalam pemberitaan Injil. Dimana, menurut pengantarnya “Buku kecil ini ingin berkutat dengan prinsip...” Buku yang sangat diperlukan, ketika “penginjilan, Jelas Perlu !” Sesuatu yang harus dimulai dari prinsip. Temukan di buku ini

Nature Agama dan Kebenaran Agama itu; Proposisi, Realitas Hidup dan Kebenaran ISBN 978-979-16284-1-9 Harga Rp. 45.000 (sudah termasuk ongkos kirim) ------------------------------------------------------------ Hal berkeyakinan membutuhkan pengujian, hal yang harus dijelaskan ketika dianggap “institusi yang paling berkuasa saat ini menjelaskan mengenai makna adalah; agama” . Sebuah teks yang menarik yang dalam proposisinya membuat kita berkutat, memilah, ‘menantang’ perihal berkeyakinan ini.