Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

31

Click here to load reader

Transcript of Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

Page 1: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

IMPLEMENTASI STANDAR OPERASIONAL TATA KERJA (SOTK) ORGANISASI KECAMATAN DAN

KELURAHAN DI KOTA SEMARANG BIDANG PELAYANAN ADMINISTRASI DASAR

Oleh : Benny Sumardiana, S.H., M.H.1

Abstrak

Birokrasi diperlukan, tapi terkadang menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya demokrasi. Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan. Berdasarkan rekaman pemberitaan yang dilakukan LPP-HAN Semarang, telah terjadi 1.843 pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan pelayanan umum atas dasar persyaratan dan persamaan umum (Juli 2007 – Juni 2008). Keluhan masyarakat mengenai kinerja administrasi negara menunjukkan bahwa institusi ini belum bisa men jalankan fungsinya secara baik. Permasalahan; Bagaimanakah Implementasi Standar Operasional Tata Kerja (SOTK) Organisasi Kecamatan dan Kelurahan di kota Semarang bidang pelayanan administrasi dasar ?. Metode, penelitian empiris dengan pendekatan diskritif kuantitatif-kualitatif. menggunakan Metodologi Report Card System dan Partisipatory Action Research. Lokasi di Kota Semarang. Lokus penelitian pada Kecamatan dan Kelurahan. Populasi dan Sampel: metode Proportional Sample dan metode Purposive sampel. Pengumpulan data dengan Library Research, Field Work Research, (yang terdiri dari : Observasi) Interview, Kuesioner), Document Research, Metode Analisis data trianggulasi method. Hasil dan pembahasan, Pemerintah Kota Semarang telah menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan dalam Perda Kota Semarang No. 14 2008. Rendahnya kualitas pelayanan publik bidang administrasi dasar ,adanya kecenderungan ketidakadilan dalam pelayanan publik. Simpulan dan saran, mempercepat gerak dan mempermudah keputusan tanpa harus menunggu keputusan yang berjenjang dan sangat birokratis. Perlu dibentuk Tim internal pemerintah daerah yang berposisi sebagai pembaharu dalam sistem birokrasinya.

. Kata Kunci : Implementasi, Pelayanan Publik

A.Pendahuluan

Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang

dihadapi Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di

Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya

birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan

1 Dosen fakultas hukum Universiras Negeri Semarang

1

Page 2: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding

keadaan Cina, Vietnam dan India. Di tahun 2007, Indonesia memperoleh skor 8,0

atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol

untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini

diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi

responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi

pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri

sendiri dan orang terdekat (MTI; 2008).

Birokrasi diperlukan, tapi terkadang menjadi penghambat dan sumber

masalah berkembangnya demokrasi. Reformasi merupakan langkah-langkah

perbaikan pembusukan politik. Apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak,

merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Pembatasan

hak merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya soal

hak-hak rakyat. Mereka yang kontra berpendapat gejala tumpang tindihnya peran

sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus, baik dalam tingkatan

perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan

conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut,

merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang

menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Praktik birokrasi di

negara-negara berkembang menunjukkan, pemihakan birokrasi pada suatu partai

politik telah memunculkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, khususnya dari

kalangan birokrasi itu sendiri.

Ketidakpuasan masyarakat tersebut bisa diatasi apabila pemerintah

bisa lebih dekat dengan masyarakat. Peluang pemerintah untuk bisa lebih

memahami kebutuhan masyarakat tersebut sebenarnya telah didukung dengan

adanya Otonomi Daerah. Salah satu paradigma baru dari otonomi daerah

sebenarnya adalah semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Otonomi

daerah memberikan peluang pemerintah untuk lebih mengetahui persoalan-

persoalan di masyarakat. Oleh karenanya untuk dapat memberikan pelayanan

yang baik terhadap masyarakat selayaknya perlu diketahui terlebih dahulu

persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.

Di Kota Semarang, berdasarkan rekaman pemberitaan yang dilakukan

Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN)

Semarang selama satu tahun, telah terjadi 1.843 pelanggaran terhadap hak untuk

2

Page 3: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

mendapatkan pelayanan umum atas dasar persyaratan dan persamaan umum

(periode Juli 2007 – Juni 2008). Jumlah itu baru yang terekam dalam berita

media massa. Kasus yang kerapkali terjadi di Jawa Tengah, misalnya masalah

pengurusan KTP yang tidak sesuai harga yang tertera, pengurusan Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tugas-

tugas PNS. Keluhan masyarakat mengenai kinerja administrasi negara

menunjukkan bahwa institusi ini belum bisa menjalankan fungsinya secara baik.

Untuk itu, perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan

irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar

sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat

pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan

mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif

dan proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua

orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian,

setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.

Permasalahan penelitian: Bagaimanakah Implementasi Standar

Operasional Tata Kerja (SOTK) Organisasi Kecamatan dan Kelurahan di Kota

Semarang bidang Pelayanan Administrasi Dasar?

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris yang dilakukan dengan pendekatan

diskriptif kuantitatif-kualitatif (kuantilatif) masuk kategori Action Research.

Untuk penelitian kuantitatif dilakukan survei dengan menggunakan Metodologi

Kartu Laporan (Report Card System = RCS). Untuk kualitatif menggunakan

metode pendekatan Partisipatory Action Research (PAR). Lokasi Penelitian di

Kota Semarang. Lokus penelitian pada Kecamatan dan Kelurahan. Populasi dan

Sampel Penelitian menggunakan metode Proportional Sample dan metode

Purposive sampel. Pengumpulan data dengan Library Research, Field Work

Research (Observasi, Interview, Kuesioner), Document Research, Metode

Analisis Data menggunakan triangulasi method.

3

Page 4: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Standar Operasional Tata Kerja (SOTK) Organisasi Kecamatan dan

Kelurahan di Kota Semarang

Perkembangan Kota Semarang sebagai pusat pemerintahan telah terbukti

jauh sebelum Kota Semarang menyandang status IbuKota Propinsi Jawa Tengah

dan Semarang juga terdapat Komando Daerah Militer IV DiponegoroJumlah

kecamatan di Kota Semarang saat ini ada 16 kecamatan dan 177 kelurahan. 

Dalam rangka mengantisipasi pelaksanaan Pemerintahan dan

Pembangunan maka Kota Semarang telah membentuk Dinas-Dinas Daerah,

Lembaga Daerah dan Perusda. Untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat

Pemerintah Kota Semarang berupaya memusatkan semua unit / instansi tersebut di

lingkungan komplek Balikota dengan membangun gedung bertingkat VIII lantai

dengan berbagai kelengkapannya. Di samping itu Pemerintah Kota Semarang juga

mengupayakan segala pelayanan kepada masyarakat untuk dipermudah dan bisa

dilayani di satu atap dengan membentuknya Unit Pelayanan Terpadu (UPT).

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007

tentang Organisasi Perangkat Daerah yang ditindak lanjuti dengan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan

Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005

tentang Kelurahan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang

Kecamatan, maka kewenangan daerah menjadi semakin luas dan nyata sehingga

membawa konsekwensi pada perubahan penyelenggaraan pemerintahan

khususnya perubahan Kelembagaan Pemerintah Daerah.

Sebagai tindak lanjutnya, maka perlu dilaksanakan dengan evaluasi dan

penataan kembali Kelembagaan Perangkat Daerah yang ada khususnya

Kecamatan dan Kelurahan yang disesuaikan dengan kewenangan masing-masing,

sehingga diharapkan dapat menampung dan melaksanakan seluruh kewenangan

serta mampu mengantisipasi dan mengakmodasikan berbagai permasalahan yang

ada sejalan dengan perkembangan kebutuhan tuntutan masyarakat.

Untuk melaksanakan maksud tersebut di atas maka Peraturan Daerah Kota

Semarang Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja

Kecamatan dan Kelurahan Kota Semarang perlu ditinjau kembali untuk

disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan

4

Page 5: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

dengan hal tersebut di atas, Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan

Kota Semarang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14

tahun 2008 tentang Organisasi Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan di Kota

Semarang.

Ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14

tahun 2008 menyebutkan bahwa Kecamatan merupakan wilayah kerja camat

sebagai perangkat daerah kota yang dipimpin oleh seorang Camat yang

berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui

Sekretaris Daerah. Tugas Camat sesuai Pasal 4 adalah melaksanakan kewenangan

pemerintahan yang dilimpahkan oleh Walikota untuk menangani sebagian urusan

otonomi daerah dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.

Camat dalam melaksanakan tugas sesuai Pasal 5 adalah untuk

menyelenggarakan fungsi: (a) pengkoordinasian kegiatan pemberdayaan

masyarakat; (b) pengkoordinasian upaya penyelenggaraan ketentraman dan

ketertiban umum; (c) pengkoordinasian penerapan dan penegakan Peraturan

Perundang-Undangan; (d) pengkoordinasian pemeliharaan prasarana dan fasilitas

pelayanan umum; (e) pengkoordinasian penyelenggaraan pemerintahan di tingkat

kecamatan; (f) pembinaan penyelenggaraan pemerintahan kelurahan; dan (g)

pelaksanaan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau

yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan kelurahan.

Susunan Organisasi Kecamatan (Pasal 6) terdiri dari; (a) Camat; (b)

Sekretariat, terdiri dari: Sub Bagian Perencanaan dan Evaluasi; Sub Bagian

Keuangan; dan Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; (c) Seksi Pemerintahan; (d)

Seksi Pembangunan; (e) Seksi Kesejahteraan Sosial; (f) Seksi Kependudukan; (g)

Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum; dan (h) Kelompok Jabatan Fungsional.

Sekretariat dipimpin oleh seorang Sekretaris dan masing-masing Seksi

dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berkedudukan di bawah dan

bertanggungjawab kepada Camat. Sedangkan Sub Bagian-Sub Bagian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing dipimpin oleh seorang

Kepala Sub Bagian yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada

Sekretaris Camat.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 tahun 2008 dalam Pasal 7

menyebutkan bahwa Kelurahan merupakan wilayah kerja lurah sebagai perangkat

5

Page 6: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

daerah dalam wilayah Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Lurah,

berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui Camat.

Lurah mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,

pembangunan dan kemasyarakatan serta melaksanakan urusan pemerintahan yang

dilimpahkan oleh Walikota (Pasal 8). Lurah dalam melaksanakan tugasnya

menyelenggarakan fungsi (Pasal 9): (a) pelaksanaan kegiatan pemerintahan

kelurahan; (b) pelaksanaan pemberdayaan masyarakat; (c) penyelenggaraan

pelayanan masyarakat; (d) penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;

(e) pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum; dan (f) pelaksanaan

pembinaan lembaga kemasyarakatan.

Susunan Organisasi Kelurahan (Pasal 10) terdiri dari; (a) Lurah; (b)

Sekretariat; (c) Seksi Pemerintahan; (d) Seksi Pembangunan; (e) Seksi

Kesejahteraan Sosial; (f) Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum; dan (g)

Kelompok Jabatan Fungsional. Sekretariat Kelurahan dipimpin oleh seorang

Sekretaris, dan masing-masing Seksi dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang

berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Lurah.

Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian

tugas Kecamatan dan Kelurahan sesuai dengan keahlian dan kebutuhan sesuai

peraturan perundang-undangan. Kelompok Jabatan Fungsional, terdiri dari

sejumlah tenaga fungsional yang diatur dan ditetapkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Setiap Kelompok Jabatan Fungsional di lingkungan

Kecamatan dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk dan

bertanggungjawab kepada Camat. Setiap Kelompok Jabatan Fungsional di

lingkungan Kelurahan dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang

ditunjuk dan bertanggungjawab kepada Lurah. Jumlah tenaga fungsional

ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja. Sedangkan jenis dan jenjang

Jabatan Fungsional diatur berdasarkan perundang-undangan (Pasal 11-12).

Dalam melaksanakan tugas setiap pimpinan unit organisasi dan kelompok

tenaga fungsional dalam lingkup Kecamatan dan Kelurahan wajib menerapkan

prinsip-prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi secara vertikal

dan horisontal baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar satuan

organisasi di lingkungan pemerintah daerah serta dengan instansi lain di luar

pemerintah daerah sesuai dengan tugas masing-masing (Pasal 13).

6

Page 7: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

Setiap pimpinan satuan organisasi bertanggung jawab memimpin,

mengorganisasikan dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan

tugas serta (wajib) mengawasi bawahannya masing-masing dan bila terjadi

penyimpangan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Setiap pimpinan satuan organisasi juga

bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan masing-masing

dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya.

Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk

dan bertanggung jawab kepada atasan masing-masing dan menyiapkan laporan

berkala tepat pada waktunya. Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan

organisasi dari bawahan, wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk

penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk pada bawahan.

Dalam menyampaikan laporan masing-masing kepada atasan, tembusan laporan

wajib disampaikan kepada satuan organisasi lain yang secara fungsional

mempunyai hubungan kerja. Dalam melaksanakan tugas setiap pimpinan satuan

organisasi wajib mengadakan rapat berkala (Pasal 14).

2. Implementasi Pelayanan Administrasi Dasar di Kota Semarang

Sektor administrasi dasar merupakan sektor terpenting dalam tatakelola

ketertiban administrasi pemerintahan dan kependudukan terutama administrasi

yang langsung berkaitan dengan masyarakat seperti halnya KTP, KK, Akta

Kelahiran, Surat Pindah, berbagai macam bentuk perizinan dan lain-lain.

Pentingnya hal tersebut karena keberadaan birokrasi pemerintah adalah melayani

masyarakat, dan porsi pekerjaan terbesar birokrasi adalah terkait pada

administrasi.

Perspektif pihak pemberi/penyelenggaran layanan publik ini dapat kita lihat

dari dua hal, pertama, pihak pengambil kebijakan didaerah yang menetapkan

peraturan dan jaminan pelaksanaan layanan. Kedua, pihak birokrasi yang

mengoperasionalkan kebijakan tersebut dalam teknis layanan langsung ke

masyarakat (eksekutor lapangan). Namun tidak bisa dipungkiri dalam lini yang

ada tersebut banyak mengalami kelemahan dan kekurangan.

Birokrasi kelurahan dan kecamatan sebagai leading sector dalam pemberian

layanan administrasi memiliki andil yang cukup besar dalam melayani

7

Page 8: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

masyarakat. Implementasi pemberian layanan di lapangan seringkali menyisakan

keresahan dan keluhan yang dialami masyarakat ketimbang kepuasan. Kasus di

beberapa kelurahan misalnya, ketika mengurus pembuatan KTP di tingkat

kelurahan harus melampirkan persyaratan tanda lunas pembayaran PBB, padahal

bukan merupakan syarat mendapatkan KTP, kenapa hal itu terjadi?

Contoh kecil kasus diatas merupakan bentuk pelayanan yang tidak efektif,

seharusnya hal-hal demikian tidak perlu terjadi dan terulang. Pemborosan baik

dari sisi biaya, waktu maupun kerumitan dalam mendapatkan pelayananpun

terjadi dalam kasus ini. Sistem budaya birokrasi daerah tidak lepas dari pengaruh

unsur-unsur budaya daerah. Birokrasi pemerintahan di Jawa Tengah,

menggunakan bahasa, idiom atau simbol-simbol budaya Jawa Tengah dalam

beberapa aspek. Seperti filosofi etnis jawa ”alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan

asal tercapai) merupakan salah satu nilai yang tidak sesuai dengan ciri birokrasi

modern. Kalau ada hari esok, untuk apa harus diselesaikan sekarang. Kalau bisa

dipersulit, mengapa di permudah. Jika bisa dibuat lama, mengapa harus

dipercepat. Nilai-nilai semacam ini seringkali muncul dari nilai-nilai kedaerahan

yang kurang menunjang keberlangsungan sistem birokrasi.

Kondisi pelayanan publik yang diberikan pemerintah belum sepenuhnya

berpihak kepada publik. Bermacam kepentingan seperti halnya kepentingan

kapital, kepentingan politik, sangat mempengaruhi kebijakan layanan yang

diberikan. Akibat yang terjadi tidak lebih bahwa pelayanan yang ada saat ini dapat

”diperjualbelikan”. Namum terlepas dari berbagai kepentingan yang ada, sudah

menjadi peran stakeholder untuk peduli dan bisa berpartisipasi dalam pemenuhan

haknya dengan merubah kebijakan yang ada.

1. Persepsi besaran biaya dan waktu dalam pelayanan administrasi dasar

Berdasarkan prosedur yang ada dalam mengurus KTP harus melalui

beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut adalah melalui RT, RW, Kelurahan dan

Kecamatan. Dalam prosedur tersebut, Jangka waktu yang dibutuhkan pada

setiap tahap tidak ada kejelasan. Hal tersebut terbukti dari hasil temuan riset

yang dilakukan. Berdasarkan survey yang dilakukan peneliti pada bulan

Agustus 2009 tentang proses pelayanan administrasi dasar khususnya

pembuatan KTP menunjukkan waktu yang dibutukan oleh masyarakat

berbeda-beda. Perbedaaan waktu tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini:

8

Page 9: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

Tabel 1Waktu yang dibutuhkan dalam mengurus KTP

Tingkat Pelayanan

1 menit - 1 jam 2 jam-1 hari 2 hari-1minggu

2 minggu-1bulan

> 2 bulan

RT 66% 37% 0% 7%RW 52% 41% 7% 0%Kelurahan 33% 23% 41% 3%Kecamatan 17% 27% 52% 3%

Tabel di atas menunjukkan, bahwa pada tingkatan Kelurahan dan

Kecamatan membutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan

tingkat RT dan RW. Pengurusan di Tingkat RT bisa dibilang cukup cepat

demikian halnya di tingkat RW. Seandainya di masing-masing tingkat

membutuhkan waktu sampai berhari-hari berapa lama waktu yang dibutuhkan

untuk proses pembuatan KTP saja. Waktu yang berbeda tersebut menimbulkan

persepsi yang berbeda pada masyarakat. Tabel di bawah ini menunjukkan

persepsi masyarakat tentang waktu yang dibutuhkan.

Tabel 2Persepsi masyarakat tentang waktu yang dibutuhkan

Tingkat pelayanan Lama Cepat AbstainRT 14 % 75 % 11 %RW 14 % 75 % 11 %Kelurahan 57 % 36 % 7 %Kecamatan 68 % 21 % 11 %

Waktu yang dibutuhkan mengurus KTP di tingkat Kelurahan dan

Kecamatan menurut persepsi lebih dari 50% responden adalah lama. Lamanya

proses tersebut akan berdampak terhadap minat masyarakat untuk mengurus

KTP sesuai dengan prosedur. Masyarakat akan enggan untuk melewati tahap-

pertahap, sehingga mereka cenderung menggunakan jasa calo, ataupun oknum.

Masyarakat rela membayar lebih daripada harus mengikuti proses yang

panjang dan memakan waktu. Hal tersebut akan merugikan masyarakat dan

menguntungkan beberapa pihak. Sedangkan untuk besaran biaya pembuatan

KTP bervariasi, padahal berdasarkan peraturan daerah besaran biaya

pembuatan KTP sudah ada standartnya. Besaran biaya yang bervariasi ini

terinci sebagai berikut:

9

Page 10: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

Tabel 3Besaran biaya

Tingkat Pelayanan

Gratis Seribu-5 ribu

6-10 ribu 11-15ribu 16-25ribu 26-50ribu

RT 62% 28% 0% 3% 3% 3%RW 52% 28% 10% 3% 3% 3%Kelurahan 17% 63% 3% 3% 7% 7%Kecamatan 0% 66% 34% 0% 0% 0%

Pembiayaan ditingkat RT dan RW banyak yang gratis, namun

demikian biasanya mereka diminta untuk mengisi uang Kas secara sukarela.

Masyarakat yang membayar lebih dari sepuluh ribu di tingkatan RT biasanya

mereka meminta tolong agar RT saja yang menghendel sampai KTP selesai.

Padahal dalam peraturannya untuk membuat KTP bagi WNI adalah

Rp.5000,00 dan WNA adalah Rp.10000. Apabila disetiap sektor pelayanan

(RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan), dipungut biaya seharusnya ada standart

yang harus diberlakukan di setiap pengurusan KTP. Standart yang

diberlakukan jangan sampai memberatkan masyarakat. Bahkan ada sebagian

masyarakat sebenarnya menginginkan pembuatan KTP gratis.

2. Transparansi Pelayanan dalam pelayanan administrasi dasar

Berdasarkan survey diperoleh bahwa tingkat transparansi pelayanan

terkait dengan pembuatan KTP yang ada di Kelurahan dan Kecamatan adalah:

Tabel 4Transparansi Pelayanan

Jenis Informasi Ya Tidak Tidak tahuTarif retribusi pembuatan KTP 29% 36% 35%Program-program pelayanan 50% 25% 25%Prosedur pelayanan 46% 32% 21%Jam pelayanan pembuatan KTP 29% 43% 29%

Kejelasan informasi yang diperoleh masyarakat akan sangat membantu

masyarakat pada saat mengurus KTP. Adanya informasi yang jelas akan

mampu mengurangi kesalahpahaman di masyarakat (karena kesimpangsiuran

informasi). Dari data di atas terlihat bahwa masyarakat tidak tahu berbagai

jenis informasi tentang mengurus KTP. Ketidaktahuan masyarakat akan tarif,

prosedur, serta jenis informasi yang lain, bisa jadi dimanfaatkan oleh oknum-

oknum tertentu untuk mengambil keuntungan.

10

Page 11: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

3. Sikap petugas dalam pelayanan administrasi dasar

Sikap petugas bisa dikatakan cukup baik dalam memberikan layanan.

Para petugas cukup ramah dalam artian mereka memberikan senyuman dan

sapaan. Akan tetapi dalam memberikan layanan yang bertujuan memberikan

kepuasan kepada penerima layanan keramahan saja tidak cukup. Hal tersebut

terbukti dengan masih banyaknya keluhan dari masyarakat dalam mengurus

KTP. Besaran keluhan tersebut bisa dilihat dari Tabel di bawah:

Tabel 5Keluhan Pelayanan

Petugas Kelurahan/kecamatan

Ya Tidak Abstain

Petugas loket 46% 54% 0%

Sebesar 46% masyarakat masih mengeluhkan pelayanan di loket.

Selain terjadi keluhan diloket, ada beberapa hal yang sering dikeluhkan oleh

masyarakat. Yang menjadi keluhan masyarakat adalah:

a. Mahalnya biaya pengurusan,

b. Lambatnya pelayanan/berbelit-belit membutuhkan waktu yang lama serta

butuh proses yang panjang (birokratis)

c. Masih ada petugas yang kurang ramah,

d. Diskriminasi pelayanan. Anehnya lagi ada yang mengurus KTP namun

harus menyerahkan bukti pembayaran PBB,

e. Tidak dimunculkan prosedur yang jelas (transparansi)

Mahalnya biaya pengurusan tersebut disebabkan karena tidak ada

sosialisasi besaran biaya pembuatan KTP, sehingga di setiap sector mereka

dipungut biaya. Biaya yang membengkak disebabkan oleh birokrasi yang ada

(procedural). Birokrasi yang kuat bisa menyebabkan diskriminasi pelayanan.

Adanya nepotisme dalam artian kalau yang akan membuat KTP sudah kenal

dengan petugas maka bisa dilayani lebih dulu, yang kaya /mampu membayar

lebih besar mendapatkan prioritas. Seharusnya beberapa hal di atas tidak akan

muncul apabila ada transparansi dari pihak pemerintah.

Budaya masyarakat kita yang cenderung ‘nriman’, menguntungkan

para elit pemegang kekuasaan. Masyarakat yang ‘nriman’ daya kritisnya

rendah, sehingga mereka menjadi objek yang empuk. Hal tersebut terbukti

dengan banyak masyarkat yang tidak mau menyampaikan keluhan tersebut

11

Page 12: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

secara langsung. Prosentase antara yang menyampaikan keluhan dan yang

pasrah dengan keadaan cukup signifikan, sebesar 11% masyarakat mau

menyampaikan keluhan sedangkan 61% tidak menyampaikan keluhan, sisanya

abstain.

Tanggapan dari pihak penyelenggarapun bervariasi. Sebagian besar

para penyelenggara tidak memberikan respon/membiarkan saja, ada juga yang

berjanji akan berusaha untuk menyelesaikan. mempersilahkan menulis surat

pengaduan, ada yang mengurangi biaya, ada beberapa yang secara langsung

memperbaiki kesalahan.

Sarana pengaduan yang ada di Kelurahan dan Kecamatan berupa kotak

saran, dan sebagian ada yang melalui SMS. Sarana pengaduan di Kelurahan

dan Kecamatan 54% ada, 36% tidak, 4% tidak tahu. Seharusnya dalam upaya

perbaikan mutu pelayanan, setiap kantor ada sarana pengaduan. Akan tetapi

apakah dengan melalui kotak pengaduan cukup efektif? Biasanya masyarakat

kalau memilki masalah keinginan mereka masalah tersebut segera

diselesaikan.

Tabel 6Sikap Petugas

Sikap Petugas YA TIDAK ABSTAINSapaan 63% 32% 5%Senyuman 63% 32% 5%Kerapian 95% 0% 5%Keluhan 26% 68% 6%

Berkaitan dengan adanya keluhan dari masyarakat terhadap layanan

yang diberikan, masyarakat banyak yang mengeluh tentang biaya yang mahal

serta lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan KTP, selain itu

sikap petugas yang cukup menjengkelkan lainnya yang dikeluhkan oleh

masayarakat adalah adanya pembedaan pelayanan bagi yang memiliki

koneksi. Pembedaan ini dilakukan oleh pegawa kelurahan atau kecamatan

(68%) dan petugas loket (32%). Yang cukup mengherankan dari banyaknya

keluhan tersebut sedikit sekali yang disampaikan kepada pihak kelurahan atau

kecamatan. Ini terjadi karena tidak jelasnya prosedur penyampaian keluhan,

dan dari sekian yang menyampaikan keluhan tanggapan pihak kelurahan atau

kecamatan sebagian besar membiarkan saja (26%) dan berjanji akan

memperbaiki (20%).

12

Page 13: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

4. Perbedaan pelayanan dalam pelayanan administrasi dasar

Tabel 7Perbedaan Pelayanan

Item pertanyaan Ya Tidak Abstain

Perbedaan pelayanan 61% 32% 7%

Seperti yang telah diungkapkan di atas, keluhan yang banyak timbul

dari masyarakat adalah diskriminasi pelayanan. Diskriminasi tersebut

seringkali terjadi. Sebesar 61% responden merasakan adanya diskriminasi

tersebut. Unsur kedekatan yang paling berperan, selain itu uang juga ikut

bicara. Siapa yang mau membayar lebih banyak maka akan segera dilayani.

Lalu bagaimana yang tidak cukup banyak memiliki uang? Mereka harus sabar

menunggu lama agar bisa dilayani (dengan alasan prosedur). Perlakuan

diskriminasi tersebut banyak terjadi ditingkat pegawai kelurahan/pegawai.

Lebih jelas bisa dilihat pada tabel di bawah:

Tabel 8Perlakuan Diskriminasi

Petugas kelurahan/kecamatan

Ya Tidak Abstain

a. Petugas loket 25% 25% 50%

b. Pegawai kelurahan/kecamatan

57% 7% 34%

5. Standart pelayanan administrasi dasar

Standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh petugas adalah; setiap

petugas harus menanyakan kepentingan orang yang akan dilayani. Sebagian

besar hal tersebut sudah dilakukan oleh para pelayanan. Pada saat masyarakat

mengurus KTP para petugas menjelaskan prosedurnya (54% menjelaskan) dan

masih ada sikap petugas yang enggan menjelaskan (43%). Tujuan dari

menjelaskan tersebut biar masyarakat mengerti dengan harapan mereka tidak

akan bolak-balik atau bertanya kesana kemari utuk mencari informasi, yang

pada akhirnya informasi yang diperoleh simpang siur. Selain itu petugas juga

berkewajiban menanyakan berkas-berkas yang dibutuhkan.

Fasilitas yang disediakan di tempat-tempat pelayanan publik harus

mudah diakses oleh para pengguna layanan.

Tabel 9

13

Page 14: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

Keterjangkauan Fasilitas

Keterjangkauan Fasilitas Sulit Mudah Abstain

a. Bagian/ruang informasi 29% 71% 0%

b. Loket Pendaftaran 11% 89% 0%

c. Kotak saran/pengaduan 43% 50% 7%

Pelayanan yang baik harus tidak berhenti membuat inovasi dalam

perbaikan. Pendapat responden, yang perlu diperbaikai dalam memberikan

layanan terlihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 10Jenis pelayanan yang harus diperbaiki

Jenis Pelayanan Ya Tidak Abstain

a. Ketepatan waktu pelayanan 79% 21% 0%

b. Besarnya biaya retribusi 68% 18% 12%

c. Prosedur pelayanan 61% 25% 24%

Kualitas pelayanan di kelurahan maupun kecamatan tidak banyak

mengalami perubahan, bahkan ada yang lebih buruk yaitu mengenai biaya

pengurusan, biaya dan waktu serta keramahan petugas.

6. Pemenuhan standar pelayanan.

Hal ini berkaitan dengan sikap petugas dalam melayani masyarakat.

Petugas paling tidak harus menguasai prosedur pelayanan untuk dapat

melayani masyarakat dengan baik. Standar pelayanan ini meliputi:

Tabel 11Standar Pelayanan

Standar pelayanan YA TIDAK ABSTAINMenanyakan kepentingan 89% 5% 6%Menjelaskan prosedur 63% 26% 11%Menanyakan kelengkapan berkas 68% 21% 11%

7. Konteks pelayanan

Konteks pelayanan terkait dengan prasarana yang tersedia dalam

melayani masayarakat. Dalam survey ini kami menilai tentang kebersihan,

kenyamanan, dan kemudahan akses atau keterjangkauan. Dari survey ini

didapat bahwa kebersihan kamar mandi di kelurahan atau kecamatan

menunjukkan bersih (84%), sedangkan untuk kebersihan ruang tunggu

sebanyak 89% responden menyatakan bersih.

14

Page 15: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

Berkaitan dengan kenyamanan ruang tunggu, kami membagi menjadi

empat (4) aspek yaitu, pengaturan kursi, kenyamanan, pengaturan letak

televisi, dan kesejukan. Dari survey ini didapat bahwa pengaturan kursi telah

memenuhi aspek kenyamanan (63%), sisanya (32%) tidak nyaman. Untuk

kenyamanan ruang tunggu sebanyak 58% responden menyatakan nyaman dan

37% tidak nyaman. Sedangkan untuk pengaturan televisi dan kesejukan

responden menyatakan bahwa pengaturan televisi telah memenuhi aspek

kenyamanan (53%), sisanya tidak nyaman (42%), untuk kesejukan ruang

tunggu sebanyak 68% responden menyatakan nyaman dan 26% responden

menyatakan tidak nyaman.

Kemudahan akses atau keterjangkauan fasilitas berkaitan dengan

kemudahan dalam mengakses bagaian atau ruang informasi, loket pendaftaran,

dan kotak saran atau pengaduan. Dari survey yang kami lakukan didapat

bahwa:

Tabel 12Konteks Pelayanan

Keterjangkauan fasilitas Sulit Mudah AbstainBagian/ruang informasi 16% 79% 15%Loket pendaftaran 0% 89% 11%Kotak saran/pengaduan 26% 63% 11%

8. Persepsi perubahan kualitas

Hal ini terkait dengan respon pihak kelurahan dan kecamatan dalam

menanggapi keluhan yang disampaikan oleh masyarakat. Ternyata dari

persepsi responden didapat bahwa kualias pelayanan yang diberikan oleh

pihak kelurahan dan kecamatan lebih buruk (21%). Aspek pelayanan yang

dipersepsikan oleh responden lebih buruk yakni; fasilitas ruang tunggu (26%);

waktu tunggu dan keramahan petugas masing-masing 5%.Adapun yang

mempersepsikan lebih baik, aspek tersebut yaitu keramahan petugas (20%),

fasilitas ruang tunggu (16%) dan waktu tunggu (11%).

Dari paparan dan kajian pelayanan birokrasi di tingkat kecamatan dan

kelurahan, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Pemerintah kota melalui

Kecamatan dan Kelurahan telah menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan

oleh rakyat seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor

15

Page 16: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

14 tahun 2008; (2) Upaya pemerintah kota, dalam hal ini Walikota Semarang

untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat telah optimum, melalui

penerbitan SK-Walikota Nomor 329 dan 335 tahun 2001; (3) Untuk meningkatkan

pelayanan lebih dekat dengan masyarakat, maka ditempuh pelimpahan wewenang

oleh pemerintah kota dari Walikota kepada Camat, sebagaimana tertuang dalam

SK-Walikota 1342 Tahun 2001; (4) Pelimpahan wewenang Walikota kepada

Camat tidak otomatis dapat meningkatkan pelayanan prima di Kecamatan maupun

Kelurahan, justru menimbulkan kesenjangan operasional dikarenakan kapasitas

dan kompetensi inti Camat tidak sepadan dengan wewenang yang diterima.

Untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, agar

ditempuh: (1) Penataan kelembagaan kecamatan sesuai dengan kompetensi yang

baru; (2) Menata ulang prosedur ketatalaksanaan agar lebih efektif, efisiensi dan

ekonomis dalam pelayanan publik; (3) Meningkatkan kualitas sumberdaya

manusia di kecamatan dan kelurahan, sesuai dengan tuntutan pelayanan

masyarakat; (4) Melakukan inovasi dan efisiensi birokrasi pelayanan; dan (5)

Menata ulang visi, misi dan tujuan pelayanan prima di kecamatan dan kelurahan.

D. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Pemerintah Kota Semarang telah menjalankan fungsinya sebagaimana

diamanatkan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 tahun 2008.

(2) Upaya pemerintah kota, untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat telah optimum, melalui penerbitan SK-Walikota Nomor 329 dan

335 tahun 2001; (3) Untuk meningkatkan pelayanan lebih dekat dengan

masyarakat, maka ditempuh pelimpahan wewenang oleh pemerintah kota

dari Walikota kepada Camat, sebagaimana tertuang dalam SK-Walikota

1342 Tahun 2001; (4) Pelimpahan wewenang Walikota kepada Camat tidak

otomatis dapat meningkatkan pelayanan prima di Kecamatan maupun

Kelurahan, justru menimbulkan kesenjangan operasional dikarenakan

kapasitas dan kompetensi inti Camat tidak sepadan dengan wewenang yang

diterima. Namun demikian mengingat dinamika yang ada perlu segera

diterbitkan Peraturan Walikota mengenai penjabaran Peraturan Daerah Kota

Semarang Nomor 14 tahun 2008 dalam operasionalisasi tata kerja organisasi

16

Page 17: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

berbasis layanan publik.

2. Hasil kualitatif penelitian di atas menunjukkan rendahnya kualitas pelayanan

publik bidang administrasi dasar di Kecamatan dan Kelurahan Pemerintah

Kota Semarang dilihat dari indikator aksestabilitas, kesederhanaan prosedur

dan kejelasan biaya tanpa praktek pungutan liar (pungli), serta adanya

kecenderungan ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat

yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan.

3. Reformasi paradigma pelayanan publik berupa penggeseran pola

penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah

sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan

masyarakat sebagai pengguna sepatutnya diupayakan agar pelayanan publik

lebih berkualitas.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sejumlah rekomendasi

yang dapat diterapkan untuk melakukan reformasi birokrasi berbasis layanan

publik publik di Kota Semarang adalah, sebagai berikut:

1. Perlu ditempuh upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada

masyarakat, dengan: (a) Penataan kelembagaan kecamatan dan kelurahan

sesuai dengan kompetensi yang baru; (b) Menata ulang prosedur

ketatalaksanaan agar lebih efektif, efisiensi dan ekonomis dalam pelayanan

publik; (c) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di kecamatan dan

kelurahan, sesuai dengan tuntutan pelayanan masyarakat; (d) Melakukan

inovasi dan efisiensi birokrasi pelayanan; dan (e) Menata ulang visi, misi dan

tujuan pelayanan prima di kecamatan dan kelurahan.

2. Perlu disusun regulasi mengenai rumusan aspek kejelasan dan kepastian

proses pelayanan seperti prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh

dan waktu, serta dukungan kejelasan job desk dari struktur yang ada untuk

dapat semakin memperkokoh peranan Kecamatan dan Kelurahan sebagai

leading sektor pelayanan publik yang berkualitas.

3. Perlu diwujudkan komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah

dan dukungan stakeholders lainnya, disertai daya dukung keuangan dan

17

Page 18: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

teknologi maju terutama di bidang ICT dan tampilan fisik seperti gedung

Kecamatan dan Kelurahan yang visible dapat mempengaruhi citra kuatnya

komitmen Pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan yang berkualitas

kepada masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA DAN BAHAN BACAAN

Afadlal (editor), 2003. Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah, Jakarta: Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI

Ardiyanto, Donny, 2002. “Korupsi di Sektor Pelayanan Publik” dalam Hamid Basyaib dkk (editor), 2002. Mencuri Uang Rakyat, 16 Kajian Korupsi di Indonesia (Buku 2), Jakarta: Yayasan Aksara dan Kemitraan Untuk Pembaruan Tata Pemerintahan

Asfar, M. (Editor), 2001. Implementasi Otonomi Daerah (Kasus Jatim, NTT, Kaltim), Surabaya: diterbitkan oleh CPPS Surabaya bekerjasama dengan CSSP dan Pusdeham Surabaya

Brannen, Julia, 1997, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Fakultas tarbiah IAIN Antasari Samarinda

Dewa Made Joni, 1999, Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Peningkatan Mutu Pelayanan Publik, Tesis, Bali.

Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta.

Dunn, N William, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, edisi kedua, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Dwiyanto, Agus, 2001, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM Yogyakarta.

Gaster, L. 1995. Quality in Publik Services, Managers Choices. Open University Press; Buckingham – Philadephia.

Hoessein, B. 2001. “Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara”; Seminar dal Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi

18

Page 19: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

Otonomi Daerah Dalam Kerangka Good Governance; Lembaga Administrasi Negara.

Kumorotomo, Wahyudi, 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketa pada Masa Transisi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kurniawan, Agung, 2005. Transformasi Pelayanan Publik, Pembaruan, Yogyakarta.

Leach, S., Stewart, J., Walsh, K. 1994. The Changing Organization and Management of Local Government; McMillan Press Ltd. London.

Lembaga Administrasi Negara. (2000). Sistem Manajemen Pemerintah Daerah. Bandung: Pusat Kajian dan Diklat Aparatur LAN.

Moenir HAS, 2000, Manejemen Pelayanan Umum di Indonesia, Cetakan keempat, PT Bumi Aksara, Jakarta.

Mohamad, Ismail. (1999). “Kualitas Pelayanan Masyarakat: Konsep dan Implementasinya”. Dalam Miftah Thoha (ed). Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani. LAN: Jakarta.

Osborne, D. & Gaebler, T. 1992. Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming The Publik Sector. Reading, A William Patrick Book: Massachussetts

Parasuraman, A., Valarie A. Zeithmal, and Leonard L. Berry, 1985. A Conceptual Model of Service Quality and its Implication for Future Research, Journal Marketing.

Purnaweni, Hartuti. (2003). “Capacity Building dalam Pelayanan Prima”. Dalam Warsito dan Teguh Yuwono (eds). Otonomi Daerah: Capacity Building dan Penguatan Demokrasi Lokal. Semarang: Puskodak UNDIP.

Ramalia, Mid. (2001). “Etika Pelayanan Masyarakat (Pelanggan): Upaya Membangun Citra Birokrasi Modern”. Dalam Sugiyanto (ed). Menguak Peluang dan Tantangan Administrasi Publik. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.

Sugiyono, Bambang, dan Mardiyono, 2000, Bunga Rampai Manajemen Pelayanan Publik, PPS-UB dan PPS UNMER Malang.

Suprijadi, Anwar 2004. “Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik”, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 Juli 2004. di Jakarta.

Thoha, Miftah, 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

19

Page 20: Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.

20