Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.
Click here to load reader
-
Upload
benny-sumardiana -
Category
Documents
-
view
103 -
download
2
Transcript of Reformasi Birokrasi Benny Sumardiana, S.H., M.H.
IMPLEMENTASI STANDAR OPERASIONAL TATA KERJA (SOTK) ORGANISASI KECAMATAN DAN
KELURAHAN DI KOTA SEMARANG BIDANG PELAYANAN ADMINISTRASI DASAR
Oleh : Benny Sumardiana, S.H., M.H.1
Abstrak
Birokrasi diperlukan, tapi terkadang menjadi penghambat dan sumber masalah berkembangnya demokrasi. Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan. Berdasarkan rekaman pemberitaan yang dilakukan LPP-HAN Semarang, telah terjadi 1.843 pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan pelayanan umum atas dasar persyaratan dan persamaan umum (Juli 2007 – Juni 2008). Keluhan masyarakat mengenai kinerja administrasi negara menunjukkan bahwa institusi ini belum bisa men jalankan fungsinya secara baik. Permasalahan; Bagaimanakah Implementasi Standar Operasional Tata Kerja (SOTK) Organisasi Kecamatan dan Kelurahan di kota Semarang bidang pelayanan administrasi dasar ?. Metode, penelitian empiris dengan pendekatan diskritif kuantitatif-kualitatif. menggunakan Metodologi Report Card System dan Partisipatory Action Research. Lokasi di Kota Semarang. Lokus penelitian pada Kecamatan dan Kelurahan. Populasi dan Sampel: metode Proportional Sample dan metode Purposive sampel. Pengumpulan data dengan Library Research, Field Work Research, (yang terdiri dari : Observasi) Interview, Kuesioner), Document Research, Metode Analisis data trianggulasi method. Hasil dan pembahasan, Pemerintah Kota Semarang telah menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan dalam Perda Kota Semarang No. 14 2008. Rendahnya kualitas pelayanan publik bidang administrasi dasar ,adanya kecenderungan ketidakadilan dalam pelayanan publik. Simpulan dan saran, mempercepat gerak dan mempermudah keputusan tanpa harus menunggu keputusan yang berjenjang dan sangat birokratis. Perlu dibentuk Tim internal pemerintah daerah yang berposisi sebagai pembaharu dalam sistem birokrasinya.
. Kata Kunci : Implementasi, Pelayanan Publik
A.Pendahuluan
Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang
dihadapi Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di
Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya
birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan
1 Dosen fakultas hukum Universiras Negeri Semarang
1
berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding
keadaan Cina, Vietnam dan India. Di tahun 2007, Indonesia memperoleh skor 8,0
atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol
untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini
diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi
responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi
pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri
sendiri dan orang terdekat (MTI; 2008).
Birokrasi diperlukan, tapi terkadang menjadi penghambat dan sumber
masalah berkembangnya demokrasi. Reformasi merupakan langkah-langkah
perbaikan pembusukan politik. Apakah birokrasi perlu berpolitik atau tidak,
merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi ilmu politik. Pembatasan
hak merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya soal
hak-hak rakyat. Mereka yang kontra berpendapat gejala tumpang tindihnya peran
sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus, baik dalam tingkatan
perorangan maupun institusi birokrasi, diduga dan diyakini akan menyebabkan
conflict of interest yang pada akhirnya akan merusak salah satu wadah tersebut,
merusak kinerja birokrasi ataupun bisa merusak kehidupan politik, yang
menciptakan pembusukan politik dalam jangka panjang. Praktik birokrasi di
negara-negara berkembang menunjukkan, pemihakan birokrasi pada suatu partai
politik telah memunculkan ketidakpuasan-ketidakpuasan politik, khususnya dari
kalangan birokrasi itu sendiri.
Ketidakpuasan masyarakat tersebut bisa diatasi apabila pemerintah
bisa lebih dekat dengan masyarakat. Peluang pemerintah untuk bisa lebih
memahami kebutuhan masyarakat tersebut sebenarnya telah didukung dengan
adanya Otonomi Daerah. Salah satu paradigma baru dari otonomi daerah
sebenarnya adalah semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Otonomi
daerah memberikan peluang pemerintah untuk lebih mengetahui persoalan-
persoalan di masyarakat. Oleh karenanya untuk dapat memberikan pelayanan
yang baik terhadap masyarakat selayaknya perlu diketahui terlebih dahulu
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Di Kota Semarang, berdasarkan rekaman pemberitaan yang dilakukan
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara (LPP-HAN)
Semarang selama satu tahun, telah terjadi 1.843 pelanggaran terhadap hak untuk
2
mendapatkan pelayanan umum atas dasar persyaratan dan persamaan umum
(periode Juli 2007 – Juni 2008). Jumlah itu baru yang terekam dalam berita
media massa. Kasus yang kerapkali terjadi di Jawa Tengah, misalnya masalah
pengurusan KTP yang tidak sesuai harga yang tertera, pengurusan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tugas-
tugas PNS. Keluhan masyarakat mengenai kinerja administrasi negara
menunjukkan bahwa institusi ini belum bisa menjalankan fungsinya secara baik.
Untuk itu, perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan
irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar
sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat
pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan
mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif
dan proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua
orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian,
setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.
Permasalahan penelitian: Bagaimanakah Implementasi Standar
Operasional Tata Kerja (SOTK) Organisasi Kecamatan dan Kelurahan di Kota
Semarang bidang Pelayanan Administrasi Dasar?
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris yang dilakukan dengan pendekatan
diskriptif kuantitatif-kualitatif (kuantilatif) masuk kategori Action Research.
Untuk penelitian kuantitatif dilakukan survei dengan menggunakan Metodologi
Kartu Laporan (Report Card System = RCS). Untuk kualitatif menggunakan
metode pendekatan Partisipatory Action Research (PAR). Lokasi Penelitian di
Kota Semarang. Lokus penelitian pada Kecamatan dan Kelurahan. Populasi dan
Sampel Penelitian menggunakan metode Proportional Sample dan metode
Purposive sampel. Pengumpulan data dengan Library Research, Field Work
Research (Observasi, Interview, Kuesioner), Document Research, Metode
Analisis Data menggunakan triangulasi method.
3
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Standar Operasional Tata Kerja (SOTK) Organisasi Kecamatan dan
Kelurahan di Kota Semarang
Perkembangan Kota Semarang sebagai pusat pemerintahan telah terbukti
jauh sebelum Kota Semarang menyandang status IbuKota Propinsi Jawa Tengah
dan Semarang juga terdapat Komando Daerah Militer IV DiponegoroJumlah
kecamatan di Kota Semarang saat ini ada 16 kecamatan dan 177 kelurahan.
Dalam rangka mengantisipasi pelaksanaan Pemerintahan dan
Pembangunan maka Kota Semarang telah membentuk Dinas-Dinas Daerah,
Lembaga Daerah dan Perusda. Untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat
Pemerintah Kota Semarang berupaya memusatkan semua unit / instansi tersebut di
lingkungan komplek Balikota dengan membangun gedung bertingkat VIII lantai
dengan berbagai kelengkapannya. Di samping itu Pemerintah Kota Semarang juga
mengupayakan segala pelayanan kepada masyarakat untuk dipermudah dan bisa
dilayani di satu atap dengan membentuknya Unit Pelayanan Terpadu (UPT).
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah yang ditindak lanjuti dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan
Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005
tentang Kelurahan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang
Kecamatan, maka kewenangan daerah menjadi semakin luas dan nyata sehingga
membawa konsekwensi pada perubahan penyelenggaraan pemerintahan
khususnya perubahan Kelembagaan Pemerintah Daerah.
Sebagai tindak lanjutnya, maka perlu dilaksanakan dengan evaluasi dan
penataan kembali Kelembagaan Perangkat Daerah yang ada khususnya
Kecamatan dan Kelurahan yang disesuaikan dengan kewenangan masing-masing,
sehingga diharapkan dapat menampung dan melaksanakan seluruh kewenangan
serta mampu mengantisipasi dan mengakmodasikan berbagai permasalahan yang
ada sejalan dengan perkembangan kebutuhan tuntutan masyarakat.
Untuk melaksanakan maksud tersebut di atas maka Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja
Kecamatan dan Kelurahan Kota Semarang perlu ditinjau kembali untuk
disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan
4
dengan hal tersebut di atas, Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan
Kota Semarang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14
tahun 2008 tentang Organisasi Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan di Kota
Semarang.
Ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14
tahun 2008 menyebutkan bahwa Kecamatan merupakan wilayah kerja camat
sebagai perangkat daerah kota yang dipimpin oleh seorang Camat yang
berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui
Sekretaris Daerah. Tugas Camat sesuai Pasal 4 adalah melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan oleh Walikota untuk menangani sebagian urusan
otonomi daerah dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan.
Camat dalam melaksanakan tugas sesuai Pasal 5 adalah untuk
menyelenggarakan fungsi: (a) pengkoordinasian kegiatan pemberdayaan
masyarakat; (b) pengkoordinasian upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum; (c) pengkoordinasian penerapan dan penegakan Peraturan
Perundang-Undangan; (d) pengkoordinasian pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum; (e) pengkoordinasian penyelenggaraan pemerintahan di tingkat
kecamatan; (f) pembinaan penyelenggaraan pemerintahan kelurahan; dan (g)
pelaksanaan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau
yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan kelurahan.
Susunan Organisasi Kecamatan (Pasal 6) terdiri dari; (a) Camat; (b)
Sekretariat, terdiri dari: Sub Bagian Perencanaan dan Evaluasi; Sub Bagian
Keuangan; dan Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; (c) Seksi Pemerintahan; (d)
Seksi Pembangunan; (e) Seksi Kesejahteraan Sosial; (f) Seksi Kependudukan; (g)
Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum; dan (h) Kelompok Jabatan Fungsional.
Sekretariat dipimpin oleh seorang Sekretaris dan masing-masing Seksi
dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang berkedudukan di bawah dan
bertanggungjawab kepada Camat. Sedangkan Sub Bagian-Sub Bagian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing dipimpin oleh seorang
Kepala Sub Bagian yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada
Sekretaris Camat.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 tahun 2008 dalam Pasal 7
menyebutkan bahwa Kelurahan merupakan wilayah kerja lurah sebagai perangkat
5
daerah dalam wilayah Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Lurah,
berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui Camat.
Lurah mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan serta melaksanakan urusan pemerintahan yang
dilimpahkan oleh Walikota (Pasal 8). Lurah dalam melaksanakan tugasnya
menyelenggarakan fungsi (Pasal 9): (a) pelaksanaan kegiatan pemerintahan
kelurahan; (b) pelaksanaan pemberdayaan masyarakat; (c) penyelenggaraan
pelayanan masyarakat; (d) penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
(e) pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum; dan (f) pelaksanaan
pembinaan lembaga kemasyarakatan.
Susunan Organisasi Kelurahan (Pasal 10) terdiri dari; (a) Lurah; (b)
Sekretariat; (c) Seksi Pemerintahan; (d) Seksi Pembangunan; (e) Seksi
Kesejahteraan Sosial; (f) Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum; dan (g)
Kelompok Jabatan Fungsional. Sekretariat Kelurahan dipimpin oleh seorang
Sekretaris, dan masing-masing Seksi dipimpin oleh seorang Kepala Seksi yang
berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Lurah.
Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas Kecamatan dan Kelurahan sesuai dengan keahlian dan kebutuhan sesuai
peraturan perundang-undangan. Kelompok Jabatan Fungsional, terdiri dari
sejumlah tenaga fungsional yang diatur dan ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Setiap Kelompok Jabatan Fungsional di lingkungan
Kecamatan dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang ditunjuk dan
bertanggungjawab kepada Camat. Setiap Kelompok Jabatan Fungsional di
lingkungan Kelurahan dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior yang
ditunjuk dan bertanggungjawab kepada Lurah. Jumlah tenaga fungsional
ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja. Sedangkan jenis dan jenjang
Jabatan Fungsional diatur berdasarkan perundang-undangan (Pasal 11-12).
Dalam melaksanakan tugas setiap pimpinan unit organisasi dan kelompok
tenaga fungsional dalam lingkup Kecamatan dan Kelurahan wajib menerapkan
prinsip-prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi secara vertikal
dan horisontal baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar satuan
organisasi di lingkungan pemerintah daerah serta dengan instansi lain di luar
pemerintah daerah sesuai dengan tugas masing-masing (Pasal 13).
6
Setiap pimpinan satuan organisasi bertanggung jawab memimpin,
mengorganisasikan dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan
tugas serta (wajib) mengawasi bawahannya masing-masing dan bila terjadi
penyimpangan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Setiap pimpinan satuan organisasi juga
bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan masing-masing
dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya.
Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk
dan bertanggung jawab kepada atasan masing-masing dan menyiapkan laporan
berkala tepat pada waktunya. Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan
organisasi dari bawahan, wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk
penyusunan laporan lebih lanjut dan untuk memberikan petunjuk pada bawahan.
Dalam menyampaikan laporan masing-masing kepada atasan, tembusan laporan
wajib disampaikan kepada satuan organisasi lain yang secara fungsional
mempunyai hubungan kerja. Dalam melaksanakan tugas setiap pimpinan satuan
organisasi wajib mengadakan rapat berkala (Pasal 14).
2. Implementasi Pelayanan Administrasi Dasar di Kota Semarang
Sektor administrasi dasar merupakan sektor terpenting dalam tatakelola
ketertiban administrasi pemerintahan dan kependudukan terutama administrasi
yang langsung berkaitan dengan masyarakat seperti halnya KTP, KK, Akta
Kelahiran, Surat Pindah, berbagai macam bentuk perizinan dan lain-lain.
Pentingnya hal tersebut karena keberadaan birokrasi pemerintah adalah melayani
masyarakat, dan porsi pekerjaan terbesar birokrasi adalah terkait pada
administrasi.
Perspektif pihak pemberi/penyelenggaran layanan publik ini dapat kita lihat
dari dua hal, pertama, pihak pengambil kebijakan didaerah yang menetapkan
peraturan dan jaminan pelaksanaan layanan. Kedua, pihak birokrasi yang
mengoperasionalkan kebijakan tersebut dalam teknis layanan langsung ke
masyarakat (eksekutor lapangan). Namun tidak bisa dipungkiri dalam lini yang
ada tersebut banyak mengalami kelemahan dan kekurangan.
Birokrasi kelurahan dan kecamatan sebagai leading sector dalam pemberian
layanan administrasi memiliki andil yang cukup besar dalam melayani
7
masyarakat. Implementasi pemberian layanan di lapangan seringkali menyisakan
keresahan dan keluhan yang dialami masyarakat ketimbang kepuasan. Kasus di
beberapa kelurahan misalnya, ketika mengurus pembuatan KTP di tingkat
kelurahan harus melampirkan persyaratan tanda lunas pembayaran PBB, padahal
bukan merupakan syarat mendapatkan KTP, kenapa hal itu terjadi?
Contoh kecil kasus diatas merupakan bentuk pelayanan yang tidak efektif,
seharusnya hal-hal demikian tidak perlu terjadi dan terulang. Pemborosan baik
dari sisi biaya, waktu maupun kerumitan dalam mendapatkan pelayananpun
terjadi dalam kasus ini. Sistem budaya birokrasi daerah tidak lepas dari pengaruh
unsur-unsur budaya daerah. Birokrasi pemerintahan di Jawa Tengah,
menggunakan bahasa, idiom atau simbol-simbol budaya Jawa Tengah dalam
beberapa aspek. Seperti filosofi etnis jawa ”alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan
asal tercapai) merupakan salah satu nilai yang tidak sesuai dengan ciri birokrasi
modern. Kalau ada hari esok, untuk apa harus diselesaikan sekarang. Kalau bisa
dipersulit, mengapa di permudah. Jika bisa dibuat lama, mengapa harus
dipercepat. Nilai-nilai semacam ini seringkali muncul dari nilai-nilai kedaerahan
yang kurang menunjang keberlangsungan sistem birokrasi.
Kondisi pelayanan publik yang diberikan pemerintah belum sepenuhnya
berpihak kepada publik. Bermacam kepentingan seperti halnya kepentingan
kapital, kepentingan politik, sangat mempengaruhi kebijakan layanan yang
diberikan. Akibat yang terjadi tidak lebih bahwa pelayanan yang ada saat ini dapat
”diperjualbelikan”. Namum terlepas dari berbagai kepentingan yang ada, sudah
menjadi peran stakeholder untuk peduli dan bisa berpartisipasi dalam pemenuhan
haknya dengan merubah kebijakan yang ada.
1. Persepsi besaran biaya dan waktu dalam pelayanan administrasi dasar
Berdasarkan prosedur yang ada dalam mengurus KTP harus melalui
beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut adalah melalui RT, RW, Kelurahan dan
Kecamatan. Dalam prosedur tersebut, Jangka waktu yang dibutuhkan pada
setiap tahap tidak ada kejelasan. Hal tersebut terbukti dari hasil temuan riset
yang dilakukan. Berdasarkan survey yang dilakukan peneliti pada bulan
Agustus 2009 tentang proses pelayanan administrasi dasar khususnya
pembuatan KTP menunjukkan waktu yang dibutukan oleh masyarakat
berbeda-beda. Perbedaaan waktu tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini:
8
Tabel 1Waktu yang dibutuhkan dalam mengurus KTP
Tingkat Pelayanan
1 menit - 1 jam 2 jam-1 hari 2 hari-1minggu
2 minggu-1bulan
> 2 bulan
RT 66% 37% 0% 7%RW 52% 41% 7% 0%Kelurahan 33% 23% 41% 3%Kecamatan 17% 27% 52% 3%
Tabel di atas menunjukkan, bahwa pada tingkatan Kelurahan dan
Kecamatan membutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan
tingkat RT dan RW. Pengurusan di Tingkat RT bisa dibilang cukup cepat
demikian halnya di tingkat RW. Seandainya di masing-masing tingkat
membutuhkan waktu sampai berhari-hari berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk proses pembuatan KTP saja. Waktu yang berbeda tersebut menimbulkan
persepsi yang berbeda pada masyarakat. Tabel di bawah ini menunjukkan
persepsi masyarakat tentang waktu yang dibutuhkan.
Tabel 2Persepsi masyarakat tentang waktu yang dibutuhkan
Tingkat pelayanan Lama Cepat AbstainRT 14 % 75 % 11 %RW 14 % 75 % 11 %Kelurahan 57 % 36 % 7 %Kecamatan 68 % 21 % 11 %
Waktu yang dibutuhkan mengurus KTP di tingkat Kelurahan dan
Kecamatan menurut persepsi lebih dari 50% responden adalah lama. Lamanya
proses tersebut akan berdampak terhadap minat masyarakat untuk mengurus
KTP sesuai dengan prosedur. Masyarakat akan enggan untuk melewati tahap-
pertahap, sehingga mereka cenderung menggunakan jasa calo, ataupun oknum.
Masyarakat rela membayar lebih daripada harus mengikuti proses yang
panjang dan memakan waktu. Hal tersebut akan merugikan masyarakat dan
menguntungkan beberapa pihak. Sedangkan untuk besaran biaya pembuatan
KTP bervariasi, padahal berdasarkan peraturan daerah besaran biaya
pembuatan KTP sudah ada standartnya. Besaran biaya yang bervariasi ini
terinci sebagai berikut:
9
Tabel 3Besaran biaya
Tingkat Pelayanan
Gratis Seribu-5 ribu
6-10 ribu 11-15ribu 16-25ribu 26-50ribu
RT 62% 28% 0% 3% 3% 3%RW 52% 28% 10% 3% 3% 3%Kelurahan 17% 63% 3% 3% 7% 7%Kecamatan 0% 66% 34% 0% 0% 0%
Pembiayaan ditingkat RT dan RW banyak yang gratis, namun
demikian biasanya mereka diminta untuk mengisi uang Kas secara sukarela.
Masyarakat yang membayar lebih dari sepuluh ribu di tingkatan RT biasanya
mereka meminta tolong agar RT saja yang menghendel sampai KTP selesai.
Padahal dalam peraturannya untuk membuat KTP bagi WNI adalah
Rp.5000,00 dan WNA adalah Rp.10000. Apabila disetiap sektor pelayanan
(RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan), dipungut biaya seharusnya ada standart
yang harus diberlakukan di setiap pengurusan KTP. Standart yang
diberlakukan jangan sampai memberatkan masyarakat. Bahkan ada sebagian
masyarakat sebenarnya menginginkan pembuatan KTP gratis.
2. Transparansi Pelayanan dalam pelayanan administrasi dasar
Berdasarkan survey diperoleh bahwa tingkat transparansi pelayanan
terkait dengan pembuatan KTP yang ada di Kelurahan dan Kecamatan adalah:
Tabel 4Transparansi Pelayanan
Jenis Informasi Ya Tidak Tidak tahuTarif retribusi pembuatan KTP 29% 36% 35%Program-program pelayanan 50% 25% 25%Prosedur pelayanan 46% 32% 21%Jam pelayanan pembuatan KTP 29% 43% 29%
Kejelasan informasi yang diperoleh masyarakat akan sangat membantu
masyarakat pada saat mengurus KTP. Adanya informasi yang jelas akan
mampu mengurangi kesalahpahaman di masyarakat (karena kesimpangsiuran
informasi). Dari data di atas terlihat bahwa masyarakat tidak tahu berbagai
jenis informasi tentang mengurus KTP. Ketidaktahuan masyarakat akan tarif,
prosedur, serta jenis informasi yang lain, bisa jadi dimanfaatkan oleh oknum-
oknum tertentu untuk mengambil keuntungan.
10
3. Sikap petugas dalam pelayanan administrasi dasar
Sikap petugas bisa dikatakan cukup baik dalam memberikan layanan.
Para petugas cukup ramah dalam artian mereka memberikan senyuman dan
sapaan. Akan tetapi dalam memberikan layanan yang bertujuan memberikan
kepuasan kepada penerima layanan keramahan saja tidak cukup. Hal tersebut
terbukti dengan masih banyaknya keluhan dari masyarakat dalam mengurus
KTP. Besaran keluhan tersebut bisa dilihat dari Tabel di bawah:
Tabel 5Keluhan Pelayanan
Petugas Kelurahan/kecamatan
Ya Tidak Abstain
Petugas loket 46% 54% 0%
Sebesar 46% masyarakat masih mengeluhkan pelayanan di loket.
Selain terjadi keluhan diloket, ada beberapa hal yang sering dikeluhkan oleh
masyarakat. Yang menjadi keluhan masyarakat adalah:
a. Mahalnya biaya pengurusan,
b. Lambatnya pelayanan/berbelit-belit membutuhkan waktu yang lama serta
butuh proses yang panjang (birokratis)
c. Masih ada petugas yang kurang ramah,
d. Diskriminasi pelayanan. Anehnya lagi ada yang mengurus KTP namun
harus menyerahkan bukti pembayaran PBB,
e. Tidak dimunculkan prosedur yang jelas (transparansi)
Mahalnya biaya pengurusan tersebut disebabkan karena tidak ada
sosialisasi besaran biaya pembuatan KTP, sehingga di setiap sector mereka
dipungut biaya. Biaya yang membengkak disebabkan oleh birokrasi yang ada
(procedural). Birokrasi yang kuat bisa menyebabkan diskriminasi pelayanan.
Adanya nepotisme dalam artian kalau yang akan membuat KTP sudah kenal
dengan petugas maka bisa dilayani lebih dulu, yang kaya /mampu membayar
lebih besar mendapatkan prioritas. Seharusnya beberapa hal di atas tidak akan
muncul apabila ada transparansi dari pihak pemerintah.
Budaya masyarakat kita yang cenderung ‘nriman’, menguntungkan
para elit pemegang kekuasaan. Masyarakat yang ‘nriman’ daya kritisnya
rendah, sehingga mereka menjadi objek yang empuk. Hal tersebut terbukti
dengan banyak masyarkat yang tidak mau menyampaikan keluhan tersebut
11
secara langsung. Prosentase antara yang menyampaikan keluhan dan yang
pasrah dengan keadaan cukup signifikan, sebesar 11% masyarakat mau
menyampaikan keluhan sedangkan 61% tidak menyampaikan keluhan, sisanya
abstain.
Tanggapan dari pihak penyelenggarapun bervariasi. Sebagian besar
para penyelenggara tidak memberikan respon/membiarkan saja, ada juga yang
berjanji akan berusaha untuk menyelesaikan. mempersilahkan menulis surat
pengaduan, ada yang mengurangi biaya, ada beberapa yang secara langsung
memperbaiki kesalahan.
Sarana pengaduan yang ada di Kelurahan dan Kecamatan berupa kotak
saran, dan sebagian ada yang melalui SMS. Sarana pengaduan di Kelurahan
dan Kecamatan 54% ada, 36% tidak, 4% tidak tahu. Seharusnya dalam upaya
perbaikan mutu pelayanan, setiap kantor ada sarana pengaduan. Akan tetapi
apakah dengan melalui kotak pengaduan cukup efektif? Biasanya masyarakat
kalau memilki masalah keinginan mereka masalah tersebut segera
diselesaikan.
Tabel 6Sikap Petugas
Sikap Petugas YA TIDAK ABSTAINSapaan 63% 32% 5%Senyuman 63% 32% 5%Kerapian 95% 0% 5%Keluhan 26% 68% 6%
Berkaitan dengan adanya keluhan dari masyarakat terhadap layanan
yang diberikan, masyarakat banyak yang mengeluh tentang biaya yang mahal
serta lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan KTP, selain itu
sikap petugas yang cukup menjengkelkan lainnya yang dikeluhkan oleh
masayarakat adalah adanya pembedaan pelayanan bagi yang memiliki
koneksi. Pembedaan ini dilakukan oleh pegawa kelurahan atau kecamatan
(68%) dan petugas loket (32%). Yang cukup mengherankan dari banyaknya
keluhan tersebut sedikit sekali yang disampaikan kepada pihak kelurahan atau
kecamatan. Ini terjadi karena tidak jelasnya prosedur penyampaian keluhan,
dan dari sekian yang menyampaikan keluhan tanggapan pihak kelurahan atau
kecamatan sebagian besar membiarkan saja (26%) dan berjanji akan
memperbaiki (20%).
12
4. Perbedaan pelayanan dalam pelayanan administrasi dasar
Tabel 7Perbedaan Pelayanan
Item pertanyaan Ya Tidak Abstain
Perbedaan pelayanan 61% 32% 7%
Seperti yang telah diungkapkan di atas, keluhan yang banyak timbul
dari masyarakat adalah diskriminasi pelayanan. Diskriminasi tersebut
seringkali terjadi. Sebesar 61% responden merasakan adanya diskriminasi
tersebut. Unsur kedekatan yang paling berperan, selain itu uang juga ikut
bicara. Siapa yang mau membayar lebih banyak maka akan segera dilayani.
Lalu bagaimana yang tidak cukup banyak memiliki uang? Mereka harus sabar
menunggu lama agar bisa dilayani (dengan alasan prosedur). Perlakuan
diskriminasi tersebut banyak terjadi ditingkat pegawai kelurahan/pegawai.
Lebih jelas bisa dilihat pada tabel di bawah:
Tabel 8Perlakuan Diskriminasi
Petugas kelurahan/kecamatan
Ya Tidak Abstain
a. Petugas loket 25% 25% 50%
b. Pegawai kelurahan/kecamatan
57% 7% 34%
5. Standart pelayanan administrasi dasar
Standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh petugas adalah; setiap
petugas harus menanyakan kepentingan orang yang akan dilayani. Sebagian
besar hal tersebut sudah dilakukan oleh para pelayanan. Pada saat masyarakat
mengurus KTP para petugas menjelaskan prosedurnya (54% menjelaskan) dan
masih ada sikap petugas yang enggan menjelaskan (43%). Tujuan dari
menjelaskan tersebut biar masyarakat mengerti dengan harapan mereka tidak
akan bolak-balik atau bertanya kesana kemari utuk mencari informasi, yang
pada akhirnya informasi yang diperoleh simpang siur. Selain itu petugas juga
berkewajiban menanyakan berkas-berkas yang dibutuhkan.
Fasilitas yang disediakan di tempat-tempat pelayanan publik harus
mudah diakses oleh para pengguna layanan.
Tabel 9
13
Keterjangkauan Fasilitas
Keterjangkauan Fasilitas Sulit Mudah Abstain
a. Bagian/ruang informasi 29% 71% 0%
b. Loket Pendaftaran 11% 89% 0%
c. Kotak saran/pengaduan 43% 50% 7%
Pelayanan yang baik harus tidak berhenti membuat inovasi dalam
perbaikan. Pendapat responden, yang perlu diperbaikai dalam memberikan
layanan terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 10Jenis pelayanan yang harus diperbaiki
Jenis Pelayanan Ya Tidak Abstain
a. Ketepatan waktu pelayanan 79% 21% 0%
b. Besarnya biaya retribusi 68% 18% 12%
c. Prosedur pelayanan 61% 25% 24%
Kualitas pelayanan di kelurahan maupun kecamatan tidak banyak
mengalami perubahan, bahkan ada yang lebih buruk yaitu mengenai biaya
pengurusan, biaya dan waktu serta keramahan petugas.
6. Pemenuhan standar pelayanan.
Hal ini berkaitan dengan sikap petugas dalam melayani masyarakat.
Petugas paling tidak harus menguasai prosedur pelayanan untuk dapat
melayani masyarakat dengan baik. Standar pelayanan ini meliputi:
Tabel 11Standar Pelayanan
Standar pelayanan YA TIDAK ABSTAINMenanyakan kepentingan 89% 5% 6%Menjelaskan prosedur 63% 26% 11%Menanyakan kelengkapan berkas 68% 21% 11%
7. Konteks pelayanan
Konteks pelayanan terkait dengan prasarana yang tersedia dalam
melayani masayarakat. Dalam survey ini kami menilai tentang kebersihan,
kenyamanan, dan kemudahan akses atau keterjangkauan. Dari survey ini
didapat bahwa kebersihan kamar mandi di kelurahan atau kecamatan
menunjukkan bersih (84%), sedangkan untuk kebersihan ruang tunggu
sebanyak 89% responden menyatakan bersih.
14
Berkaitan dengan kenyamanan ruang tunggu, kami membagi menjadi
empat (4) aspek yaitu, pengaturan kursi, kenyamanan, pengaturan letak
televisi, dan kesejukan. Dari survey ini didapat bahwa pengaturan kursi telah
memenuhi aspek kenyamanan (63%), sisanya (32%) tidak nyaman. Untuk
kenyamanan ruang tunggu sebanyak 58% responden menyatakan nyaman dan
37% tidak nyaman. Sedangkan untuk pengaturan televisi dan kesejukan
responden menyatakan bahwa pengaturan televisi telah memenuhi aspek
kenyamanan (53%), sisanya tidak nyaman (42%), untuk kesejukan ruang
tunggu sebanyak 68% responden menyatakan nyaman dan 26% responden
menyatakan tidak nyaman.
Kemudahan akses atau keterjangkauan fasilitas berkaitan dengan
kemudahan dalam mengakses bagaian atau ruang informasi, loket pendaftaran,
dan kotak saran atau pengaduan. Dari survey yang kami lakukan didapat
bahwa:
Tabel 12Konteks Pelayanan
Keterjangkauan fasilitas Sulit Mudah AbstainBagian/ruang informasi 16% 79% 15%Loket pendaftaran 0% 89% 11%Kotak saran/pengaduan 26% 63% 11%
8. Persepsi perubahan kualitas
Hal ini terkait dengan respon pihak kelurahan dan kecamatan dalam
menanggapi keluhan yang disampaikan oleh masyarakat. Ternyata dari
persepsi responden didapat bahwa kualias pelayanan yang diberikan oleh
pihak kelurahan dan kecamatan lebih buruk (21%). Aspek pelayanan yang
dipersepsikan oleh responden lebih buruk yakni; fasilitas ruang tunggu (26%);
waktu tunggu dan keramahan petugas masing-masing 5%.Adapun yang
mempersepsikan lebih baik, aspek tersebut yaitu keramahan petugas (20%),
fasilitas ruang tunggu (16%) dan waktu tunggu (11%).
Dari paparan dan kajian pelayanan birokrasi di tingkat kecamatan dan
kelurahan, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Pemerintah kota melalui
Kecamatan dan Kelurahan telah menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan
oleh rakyat seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor
15
14 tahun 2008; (2) Upaya pemerintah kota, dalam hal ini Walikota Semarang
untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat telah optimum, melalui
penerbitan SK-Walikota Nomor 329 dan 335 tahun 2001; (3) Untuk meningkatkan
pelayanan lebih dekat dengan masyarakat, maka ditempuh pelimpahan wewenang
oleh pemerintah kota dari Walikota kepada Camat, sebagaimana tertuang dalam
SK-Walikota 1342 Tahun 2001; (4) Pelimpahan wewenang Walikota kepada
Camat tidak otomatis dapat meningkatkan pelayanan prima di Kecamatan maupun
Kelurahan, justru menimbulkan kesenjangan operasional dikarenakan kapasitas
dan kompetensi inti Camat tidak sepadan dengan wewenang yang diterima.
Untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, agar
ditempuh: (1) Penataan kelembagaan kecamatan sesuai dengan kompetensi yang
baru; (2) Menata ulang prosedur ketatalaksanaan agar lebih efektif, efisiensi dan
ekonomis dalam pelayanan publik; (3) Meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia di kecamatan dan kelurahan, sesuai dengan tuntutan pelayanan
masyarakat; (4) Melakukan inovasi dan efisiensi birokrasi pelayanan; dan (5)
Menata ulang visi, misi dan tujuan pelayanan prima di kecamatan dan kelurahan.
D. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pemerintah Kota Semarang telah menjalankan fungsinya sebagaimana
diamanatkan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 tahun 2008.
(2) Upaya pemerintah kota, untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat telah optimum, melalui penerbitan SK-Walikota Nomor 329 dan
335 tahun 2001; (3) Untuk meningkatkan pelayanan lebih dekat dengan
masyarakat, maka ditempuh pelimpahan wewenang oleh pemerintah kota
dari Walikota kepada Camat, sebagaimana tertuang dalam SK-Walikota
1342 Tahun 2001; (4) Pelimpahan wewenang Walikota kepada Camat tidak
otomatis dapat meningkatkan pelayanan prima di Kecamatan maupun
Kelurahan, justru menimbulkan kesenjangan operasional dikarenakan
kapasitas dan kompetensi inti Camat tidak sepadan dengan wewenang yang
diterima. Namun demikian mengingat dinamika yang ada perlu segera
diterbitkan Peraturan Walikota mengenai penjabaran Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 14 tahun 2008 dalam operasionalisasi tata kerja organisasi
16
berbasis layanan publik.
2. Hasil kualitatif penelitian di atas menunjukkan rendahnya kualitas pelayanan
publik bidang administrasi dasar di Kecamatan dan Kelurahan Pemerintah
Kota Semarang dilihat dari indikator aksestabilitas, kesederhanaan prosedur
dan kejelasan biaya tanpa praktek pungutan liar (pungli), serta adanya
kecenderungan ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat
yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan.
3. Reformasi paradigma pelayanan publik berupa penggeseran pola
penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah
sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan
masyarakat sebagai pengguna sepatutnya diupayakan agar pelayanan publik
lebih berkualitas.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sejumlah rekomendasi
yang dapat diterapkan untuk melakukan reformasi birokrasi berbasis layanan
publik publik di Kota Semarang adalah, sebagai berikut:
1. Perlu ditempuh upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat, dengan: (a) Penataan kelembagaan kecamatan dan kelurahan
sesuai dengan kompetensi yang baru; (b) Menata ulang prosedur
ketatalaksanaan agar lebih efektif, efisiensi dan ekonomis dalam pelayanan
publik; (c) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di kecamatan dan
kelurahan, sesuai dengan tuntutan pelayanan masyarakat; (d) Melakukan
inovasi dan efisiensi birokrasi pelayanan; dan (e) Menata ulang visi, misi dan
tujuan pelayanan prima di kecamatan dan kelurahan.
2. Perlu disusun regulasi mengenai rumusan aspek kejelasan dan kepastian
proses pelayanan seperti prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh
dan waktu, serta dukungan kejelasan job desk dari struktur yang ada untuk
dapat semakin memperkokoh peranan Kecamatan dan Kelurahan sebagai
leading sektor pelayanan publik yang berkualitas.
3. Perlu diwujudkan komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah
dan dukungan stakeholders lainnya, disertai daya dukung keuangan dan
17
teknologi maju terutama di bidang ICT dan tampilan fisik seperti gedung
Kecamatan dan Kelurahan yang visible dapat mempengaruhi citra kuatnya
komitmen Pemerintah Kota dalam memberikan pelayanan yang berkualitas
kepada masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA DAN BAHAN BACAAN
Afadlal (editor), 2003. Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah, Jakarta: Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI
Ardiyanto, Donny, 2002. “Korupsi di Sektor Pelayanan Publik” dalam Hamid Basyaib dkk (editor), 2002. Mencuri Uang Rakyat, 16 Kajian Korupsi di Indonesia (Buku 2), Jakarta: Yayasan Aksara dan Kemitraan Untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
Asfar, M. (Editor), 2001. Implementasi Otonomi Daerah (Kasus Jatim, NTT, Kaltim), Surabaya: diterbitkan oleh CPPS Surabaya bekerjasama dengan CSSP dan Pusdeham Surabaya
Brannen, Julia, 1997, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Fakultas tarbiah IAIN Antasari Samarinda
Dewa Made Joni, 1999, Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Peningkatan Mutu Pelayanan Publik, Tesis, Bali.
Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta.
Dunn, N William, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, edisi kedua, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Dwiyanto, Agus, 2001, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM Yogyakarta.
Gaster, L. 1995. Quality in Publik Services, Managers Choices. Open University Press; Buckingham – Philadephia.
Hoessein, B. 2001. “Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara”; Seminar dal Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi
18
Otonomi Daerah Dalam Kerangka Good Governance; Lembaga Administrasi Negara.
Kumorotomo, Wahyudi, 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketa pada Masa Transisi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kurniawan, Agung, 2005. Transformasi Pelayanan Publik, Pembaruan, Yogyakarta.
Leach, S., Stewart, J., Walsh, K. 1994. The Changing Organization and Management of Local Government; McMillan Press Ltd. London.
Lembaga Administrasi Negara. (2000). Sistem Manajemen Pemerintah Daerah. Bandung: Pusat Kajian dan Diklat Aparatur LAN.
Moenir HAS, 2000, Manejemen Pelayanan Umum di Indonesia, Cetakan keempat, PT Bumi Aksara, Jakarta.
Mohamad, Ismail. (1999). “Kualitas Pelayanan Masyarakat: Konsep dan Implementasinya”. Dalam Miftah Thoha (ed). Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani. LAN: Jakarta.
Osborne, D. & Gaebler, T. 1992. Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming The Publik Sector. Reading, A William Patrick Book: Massachussetts
Parasuraman, A., Valarie A. Zeithmal, and Leonard L. Berry, 1985. A Conceptual Model of Service Quality and its Implication for Future Research, Journal Marketing.
Purnaweni, Hartuti. (2003). “Capacity Building dalam Pelayanan Prima”. Dalam Warsito dan Teguh Yuwono (eds). Otonomi Daerah: Capacity Building dan Penguatan Demokrasi Lokal. Semarang: Puskodak UNDIP.
Ramalia, Mid. (2001). “Etika Pelayanan Masyarakat (Pelanggan): Upaya Membangun Citra Birokrasi Modern”. Dalam Sugiyanto (ed). Menguak Peluang dan Tantangan Administrasi Publik. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Sugiyono, Bambang, dan Mardiyono, 2000, Bunga Rampai Manajemen Pelayanan Publik, PPS-UB dan PPS UNMER Malang.
Suprijadi, Anwar 2004. “Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik”, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 Juli 2004. di Jakarta.
Thoha, Miftah, 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
19
20