REFERENSI FILSAFAT

34
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar. Perbedaan hasil temuan dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan. Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat serangan

Transcript of REFERENSI FILSAFAT

Page 1: REFERENSI FILSAFAT

Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori

pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur

yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus

ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan

kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu

pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang

kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran

ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu

temuan dianggap benar. Perbedaan hasil temuan dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh

perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui

pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka

epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah.

Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme

kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara

kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya

terandalkan.

Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-

teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat

serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan

epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang

membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang

diajukan orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya

sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran

yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk

mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal).

Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis,

sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat

penguasaannya.

Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan,

baik yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa

Page 2: REFERENSI FILSAFAT

keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya

serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam

mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu

persoalan, tetapi karena sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga

menghasilkan pemikiran yang berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu

pengetahuan adalah suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan

pemikiran itu dapat dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada

perbedaan sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari

epistemologinya

Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban,

sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi

manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang

memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang

merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan

sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud

sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan

pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam,

sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi.

Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-

pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains,

tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan

pengembangan epistemologi.

Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi

menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah

hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar

tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan

untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha

menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu

dimanfaatkan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu

Page 3: REFERENSI FILSAFAT

ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah

sebagai berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga

didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu

pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi,

technology is an apllied of science (teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah

proses dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan

epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah

maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu

dikuasai.

Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan,

bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi

oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler

yang mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein

(Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana

juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan

nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta

terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai

sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi,

menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi

perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem

dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan

dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern

dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya

bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai

agama: dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang

tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis

(Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).

_________________________________________________________________

Page 4: REFERENSI FILSAFAT

Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai

pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama

epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan

bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976).

Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation,

imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.

Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana proses

yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya,

metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu

yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria

kebenaran dan logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi?

Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah

sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah

ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi

sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas

dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat

berkontribusi atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland,

Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang,

Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika

yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.

Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses

perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication,

Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa

peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.

Dalam hal informasi, filsafat membantu memberikan pengetahuannya sebagai berikut:

1. Kajian Aspek Epistemologis:

Page 5: REFERENSI FILSAFAT

Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya

pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi

mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari

kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–

kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci

standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi

peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu

kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan menjadi

pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita &

membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-

cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment

yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.

2. Kajian Aspek Ontologis

Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita

infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru

di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha

mendapatkan audiensnya dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional,

skandal seks, hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan

reputasi James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat,

Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desus-

desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer

yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme kuning.”

Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya

perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan telah

menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga

bukan terbilang baru. Sejak zaman Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) banyak

surat kabar–surat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan

ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin membuat semarak ”Jurnalisme

kuning di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin

banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang

Page 6: REFERENSI FILSAFAT

mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain.

Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut

menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena

infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada

realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share

tinggi)

3. Kajian pada aspek aksiologis

Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola

acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai

sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan

harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah

langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya

pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang

dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.

Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral

sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan

masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah

yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup

keuntungan dari pemasang iklan.

Epistemologis membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu

yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini

memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-

ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari

sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh,

dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok

bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-

ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang

berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat

Page 7: REFERENSI FILSAFAT

dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi

seluruh pengetahuan manusia. Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji

seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang

bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun

ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi,

ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar,

diletakkan setelah epistemologi. Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah

suatu ilmu yang dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad

sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu.

Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi,

begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan

filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat

jiwa. Penginderaan, persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat

jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam

pembahasan tentang akal, obyek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur

kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. "Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang

dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap

"kebenaran". Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi

dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam pandangan

dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang

mencapai titik kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-

nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada

pengenalan kita terhadap kebenaran. Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda

ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran

itu dapat dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat

mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter ini?

Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat

manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia acapkali dihadapkan kepada

persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan,

tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk

menuai jawaban atas masalah- masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih

Page 8: REFERENSI FILSAFAT

berarti. Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari

jawaban ini. Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir

hayatnya." perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresif,

manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan

kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Ilmu-ilmu

empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan

komprehensif atas masalah ini. Karena metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak

empirikal.

Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas

masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat

menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten.

Sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen yang digunakan dalam

berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang digunakan sebagai instrumen

berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas.

Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani

Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris

(indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard.

Pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi mesti adanya.

Pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus

kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar

terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin. Pembahasan epistemologi sebagai

ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh

pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus

dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat. Epistomologi berasal dari bahasa

Yunani ”episteme” dan ”logos”. ”Episteme” berarti pengetahuan (knowledge),”logos”

berarti teori. Dengan demikian epistomologi secara etimologis berarti teori pengetahuan.

(Rizal, 2001: 16). Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana

sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut,

Brameld (dalam Mohammad Noor Syam, 1984: 32) mendefinisikan epistomologi sebagai “it

is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his

student”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai “epistomologi memberikan

Page 9: REFERENSI FILSAFAT

kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-

muridnya”. Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian Epistomologi

diantarannya:

1. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah

filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.

2. Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang terjadinnya

pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara

memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (Ilmiah).

3. Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang

pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran

pengetahuan.

4. Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber- sumber

pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.

Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan- kepentingan

yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari

manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat

manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor

kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa

keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi

matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah

manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi

atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada

dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu

yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:

a. Hakikat itu ada dan nyata;

b. kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;

c. hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;

d. manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal

dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan

jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.

Page 10: REFERENSI FILSAFAT

Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa

memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang

tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu

ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu

bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa

menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki

kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan

menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indera

lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah

manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan- persoalan sebelumnya,

yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada,

akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih

menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini.

Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat

berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti

benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya.

Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang

realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari

mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna,

bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda- benda yang ditampakkan oleh

teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat

dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan

ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan

ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang

dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk

melihat benda-benda yang jauh. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep

ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan

ma'lum (obyek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti

asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi

penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini

epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran,

Page 11: REFERENSI FILSAFAT

mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Manusia dengan latar

belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan

berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:

1. Dari manakah saya berasal?

2. Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?

3. Apa hakikat manusia?

4. Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia?

5. Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?

6. Mana pemerintahan yang benar dan adil?

7. Mengapa keadilan itu ialah baik?

8. Pada derajat berapa air mendidih?

9. Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?

10. dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan

solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada

dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang

tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa: Hakikat itu ada dan

nyata dan Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami. Keraguan-keraguan tentang

hakikat pikiran, persepsi- persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan

pikiran terhadap obyek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh

mana kemampuan akal-pikiran dan indera mencapai hakikat dan mencerap obyek eksternal,

masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita

mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan

terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan

indera. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian,

definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang

batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu,

makrifat, dan pengetahuan manusia. Pokok Bahasan Epistemologi dengan memperhatikan

definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah

ilmu, makrifat, dan pengetahuan

Page 12: REFERENSI FILSAFAT

Cakupan Epistomologi

Dalam hal ini, ada dua poin penting akan dijelaskan:

1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum

atau ilmu dalam pengertian khusus. ilmu yang diartikan sebagai keumuman

penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam

epistemologi. Terdapat tiga persoalan pokok dalam epistomologi yaitu:

a. Apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari manakah pengetahuan yang benar itu

datang?

b. Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang real di luar akal dan kalau ada

dapatkah kita mengatahui? Ini adalah problem penampilan (appearance) terhadap

realitas.

c. Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan kebenaran

dan kekeliruan? Ini adalah persoalan menguji kebenaran (verivication). (Titus, 1984:

20-21 dalam Kaelan, 1991:27-28).

2. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka

dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi,

logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu.

Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini

menjadi salah satu pembahasan di bidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan

kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi.

Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan

faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya penginderaan adalah dibahas dalam ilmu

logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia

terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat

berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu. Dalam

epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan

observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu yang diartikan

sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek

dalam epistemologi.

Page 13: REFERENSI FILSAFAT

Sejarah epistomologis

Keberadaan epistemologi sebagai cabang mandiri dari filsafat tidak terlalu banyak menyisakan

alur sejarah yang panjang. Secara historis hal itu hanya dapat dilacak hingga abad ke-17 atau 18

M. Akan tetapi kehadiran tema dan persoalan epistemologi memiliki jejak yang sangat sepuh

setua usia tradisi filsafat di Yunani kuno. bermula dari sini setidaknya perkembangan

epistemilogi hingga saat ini dapat kita bagi dalam tiga perspektif utama:

1. perspektif klasik

2. perspektif modern

3. perspektif kontemporer

Munculnya perspektif klasik pada ranah epistemologi ini dapat dirunut semenjak masa pemikiran

falsafi yunani kuno, khususnya pada mazhab filsafat Sokrates, Plato dan Aristoteles serta

para pengikutnya. Perspektif ini sempat berkembang hingga abad pertengahan dan amat

diminati oleh para filosof skolastik. Di sisi lain pandangan klasik ini sempat diadopsi oleh

para filosof muslim bahkan hingga saat ini keabsahannya masih dipertahankan. Sebaliknya

di Barat dengan lahirnya perspketif modern gubahan Descartes, cara pandang klasik tersebut

tak lagi diperdulikan. Kendati demikian secara substantif tidak banyak perbedaan yang

mendasari kedua perspektif di atas. Perbedaan yang ada sekedar menyangkut persoalan

metode dan cara pandang. Karena keduanya sepakat bahwa keyakinan falsafi dan matematis

merupakan epistem yang diperlukan manusia pada seluruh ranah pengetahuannya. Bahkan

kedua perspektif ini sama-sama berpendapat bahwa kemestian untuk mencapai derajat

yakin, tafsir mengenai yakin dan karakteristiknya merupakan perkara yang telah diakui dan

tak dapat diragukan lagi. Dalam perspektif klasik, prolog wacana epistemologi dimulai

dengan pengakuan atas keberadaan realitas, eksistensi alam nyata, kumungkinan untuk

memperoleh pengetahuan yakin tentangnya, wujudnya kesalahan dan kemampuan manusia

untuk membedakan betul dan salah, benar dan bohong merupakan hal yang aksiomatis. Oleh

karena itu dalam pandangan klasik, persoalan pokok yang dihadapi adalah permasalahan

nilai epistem, yakni bagaimana mewujudkan kriteria yang sah guna menguji dan menilai

setiap proposisi dan memperoleh suatu neraca yang mampu memisahkan antara yang benar

dengan yang salah. Implikasi pandangan semacam ini melazimkan kita untuk menerima

bahwa pengetahuan manusia atas realitas adalah perkara yang tak dapat diingkari. Paling

tidak manusia meyakini akan wujud diirinya, keberadaan fakultas kognisi dan mekanis

Page 14: REFERENSI FILSAFAT

dirinya, kondisi psikis dan perasaan yang dimilikinya serta kemampuan inderawinya

merupakan sekian hal yang tak mungkin diragukan. Di lain pihak, perspektif modern

epistemologi menjadikan keraguan normatif sebagai titik tolak kajian epistemologinya.

Descartes sebagai arsitek pandangan ini menjadikan keraguan disegala hal termasuk

meragukan eksistensi diri sendiri sebagai upaya untuk mencapai keyakinan. "Cogito, ergo

sum; aku berpikir (ragu) maka aku ada". Berpegang pada pernyataan inilah Descartes

mencapai pada simpulan bahwa keraguan pada setiap hal meniscayakan kita untuk meyakini

adanya ragu yang tak bisa dipungkiri dan adalah mustahil adanya ragu tanpa wujudnya

peragu. Karena itu menurut Descartes di sinilah pengetahuan yang meyakinkan akan

dijumpa. Kendati demikian perbedaan kedua perspektif di atas bukan hanya terbatas pada

persoalan metode epistemik yang ditawarkan. Tapi yang lebih mendasar lagi adalah

perbedaan dalam menafsirkan hakikat dan kriteria kebenaran. Di mata para pemikir klasik

hakikat diartikan sebagai kesesuaian antara nalar dengan realitas. Akan tetapi menurut

Descartes terjemahan klasik semacam ini harus ditolak. Descartes beranggapan bahwa

manusialah yang merupakan neraca yang menentukan benar tidaknya suatu pengetahuan.

Dengan kata lain, melalui pemilahan biner antara obyek dan subjek, perspektif modern

menganggap bahwa epistem yakin dapat dicapai melalui subjektisasi obyek. Artinya, obyek

di luar diri kita tak lain adalah tayangan nalar yang dimunculkan oleh subjek (aku) dan

bukan suatu pengungkapan nyata obyek sebagai mana adanya. Berbeda halnya dengan

kedua perspektif di atas. Perspektif kontemporer merupakan cara pandang epistemik yang

lahir dalam tradisi filsafat analitik anglo- saxon. dalam perspektif kontemporer secara

metodologis gaya penyajian dan kajian epistemogis yang diajukan melazimkan adanya

analisa bahasa atas setiap terminus yang dipakai. kerena itu telaah epistemologi mereka

diawali dengan definisi dan analisa kata epistemik. Bersandar pada metode analitik,

epistemologi kontemporer berupaya untuk menafsirkan hakikat pengetahuan dengan cara

mengkaji setiap rukun dari definisi epistem yang dihasilkan. Umumnya mereka

membongkar secara analitis term epistemik ke dalam formula TBJ (True, Believe,

Justification). Di samping itu persoalan semacam skeptisme dan kemungkinan untuk

memperoleh pengetahuan yang telah terdefinisikan sebelumnya, merupakan beberapa tema

pokok lain dalam epistemologis kontemporer. Secara substansial, terdapat perbedaan yang

tajam antara perspektif kontemporer dengan dua perspektif sebelumnya. Hampir seluruh

Page 15: REFERENSI FILSAFAT

pendukung pandangan kontemporer telah berputus asa untuk mencapai suatu keyakinan dan

berusaha untuk menjustifikasi dan melogiskan pengetahuan manusia lepas dari bingkai

yakin. Sebagai solusinya mereka menjadikan wujud realitas sebagai praasumsi yang harus

diakui. Sebaliknya para pendahulu perspektif kontemporer beranggapan bahwa pencapaian

pada derajat yakin dan meyakini adanya realitas merupakan suatu keniscayaan yang tak

dapat diragukan. Epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana, tatacara menggunakan sarana

tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan

ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang

akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernuft), pengalaman, atau kombinasi antara akal

dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga

dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan

positivisme. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu model

epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi,

korespondensi, pragmatis, dan teori intersubjektif.9 Berikut adalah aliran-aliran dalam

epistemologis.

1. Rationalisme. Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran

atau ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596– 1650), yang membedakan

adanya tiga idea, yaitu: innate ideas (idea bawaan), yaitu sejak manusia lahir,

adventitinous ideas, yaitu idea yang berasal dari luar manusia, dan faktitinous ideas, yaitu

idea yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu: Spinoza (1632-1677),

Leibniz (1666-1716).

2. Empirisme. Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh

melalui pengalaman indera. Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam

empiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia menjadi

pengalaman. Tokohnya antara lain:

a. John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat dibedakan menjadi

dua macam yaitu: (a) pengalaman luar (sensation), yaitu pengalaman yang diperoleh

dari luar, dan (b) pengalaman dalam, batin (reflexion). Kedua pengalaman tersebut

merupakan idea yang sederhana yang kemudian dengan proses asosiasi membentuk

idea yang lebih kompleks.

Page 16: REFERENSI FILSAFAT

b. David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume berpendapat

bahw ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari sensasi- sensasi sederhana atau

ide–ide yang kompleks dibentuk dari kombinasi ide- ide sederhana atau kesan–kesan

yang kompleks. Aliran ini kemudian berkembang dan mempunyai pengaruh yang

sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada abad 19 dan

20.

3. Realisme. Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa obyek-

obyek yang kita serap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek tersebut. Obyek-obyek

tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain tidak

tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi interaksi

tersebut mempengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia telah ada sebelum pikiran

menyadari serta akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadari. Tokoh aliran ini

antara lain: Aristoteles (384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas berada dalam benda-

benda kongkrit atau dalam proses-proses perkembangannya. Dunia yang nyata adalah

dunia yang kita cerap. Bentuk (form) atau idea atau prinsip keteraturan dan materi tidak

dapat dipisahkan. Kemudian aliran ini terus berkembang menjadi aliran realisme baru

dengan tokoh George Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai reaksi terhadap aliran

idealisme, subjektivisme dan absolutisme. Menurut realisme baru : eksistensi obyek tidak

tergantung pada diketahuinya obyek tersebut.

4. Kritisisme. Kritisisme menyatakan bahwa akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari

empiri (yang meliputi indera dan pengalaman). Kemudian akal akan menempatkan,

mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu.

Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan akal merupakan

pembentukannya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724- 1804). Kant

mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme.

5. Positivisme. Tokoh aliran ini diantaranya adalah August Comte,yang memiliki

pandangan sejarah perkembangan pemikiran umat manusia dapat dkelompokkan menjadi

tiga tahap, yaitu:

a. Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau pengenalan yang

mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh tahyul- tahyul sehingga subjek

dengan obyek tidak dibedakan.

Page 17: REFERENSI FILSAFAT

b. Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan memikirkan

kenyataan akan tetapi belum mampu membuktikan dengan akta.

c. Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk menemukan hukum-

hukum dan saling hubungan lewat fakta. Maka pada tahap ini pengetahuan manusia

dapat berkembang dan dibuktikan lewat fakta (Harun H, 1983: 110 dibandingkan dgn

Ali Mudhofir, 1985: 52, dlm Kaelan, 1991: 30)

6. Skeptisisme. Menyatakan bahwa pencerapan indera adalah bersifat menipu atau

menyesatkan. Namun pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme medotis

(sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalaman diakui benar.

Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (1596-1650).

7. Pragmatisme. Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan namun

mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari pengetahuan

tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan manfaat

dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan. Tokoh aliran ini, antara lain: C.S Pierce (1839-

1914), menyatakan bahwa yang terpenting adalah manfaat apa (pengaruh apa) yang dapat

dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan kita mengenai sesuatu

hal tidak lain merupakan gambaran yang kita peroleh mengenai akibat yang dapat kita

saksikan. (Ali Mudhofir, 1985: 53, dalam Kaelan 1991: 30). Tokoh lain adalah William

James (1824-1910, dalam Kaelan 1991: 30), menyatakan bahwa ukuran kebenaran

sesuatu hal adalah ditentukan oleh akibat praktisnya.

Metodologi memperoleh pengetahuan

Jenis–jenis pengetahuan dapat dibedakan menjadi:

1. Dari keilmiahannya

a. pengetahuan ilmiah, yang memiliki beberapa ciri pengenal sebagai berikut:

1) berlaku umum,

2) mempunyai kedudukan mandiri,

3) mempunyai dasar pembenaran,

4) sistematik, dan

5) intersubjektif.

Page 18: REFERENSI FILSAFAT

b. pengetahuan nir ilmiah. dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat dibedakan

menjadi:

1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge,common sense knowledge)

Pengetahuan ini bersifat subjektif, artinya amat terikat pd subjek yang mengenal.

Sehingga memiliki sifat selalu benar sejauh sarana untuk memperolehnya bersifat

normal, tidak ada penyimpangan.

2) Pengetahuan ilmiah

Pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang khas atau spesifik dengan

menerapkan pendekatan metodologis yang khas. Kebenarannya bersifat relatif,

karena selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh hasil penemuan yang paling

mutakhir. Dengan kata lain kebenarannya selalu mengalami pembaharuan sesuai

dengan hasil penelitian paling akhir dan mendapatkan persetujuan (agreement)

oleh para ilmuwan di bidangnya.

3) Pengetahuan filsafati

Pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati. Sifat

pengetahuannya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang

analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenarannya adalah absolut inter-subjektif.

Maksud absolut inter-subjektif adalah nilai kebenaran yang terkandung pada jenis

pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang melekat pada pandangan

seorang filsuf serta mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang

menggunakan metodologi pemikiran yang sama.

4) Pengetahuan agama

Pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu. Sifat

dari pengetahuan ini adalah dogmatis, artinya pernyataan dalam ayat-ayat kitab

suci memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk

memahaminya. Kandungan kebenaran maksud dari ayat dalam kitab suci bersifat

absolut, meskipun dalam implikasi pemaknaannya mungkin berkembang secara

dinamik sesuai dengan perkembangan waktu dan pemahaman orang yang

memaknakannya.

Page 19: REFERENSI FILSAFAT

Karakteristik pengetahuan dapat dibedakan menjadi:

1. pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang didasarkan atassen se (indera) atau

pengalaman manusia sehari-hari.

2. pengetahuan akal budi, yaitu pengetahuan yang didasarkan atas kekuatan ratio.

3. pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang memuat pemahaman secara cepat.

4. pengetahuan kepercayaan/pengetahuanotoritat if, yaitu pengetahuan yang dibangun atas

dasa kredibilitas seorang tokoh atau sekelompok orang yang dianggap profesional dalam

bidangnya.

Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa

metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok

bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi

seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi

lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang

sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.

Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain

1. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu yang

mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal

untuk menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam

penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan

bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika dikategorikan sebagai

pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji

dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap

suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu

dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.

2. Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah pengenalan

terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara

filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum

tentang eksistensi[9]. Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai

kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas eksternal.

Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi filsafat.

Page 20: REFERENSI FILSAFAT

3. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi) ialah suatu

ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi

demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang

berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral

sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait

dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar

pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan

pembahasan epistemologi.

Obyek Epistomologi

Obyek material epistomologi adalah pengetahuan, sedangkan obyek formalnya adalah hakikat

pengetahuan. Setiap perangkat aturan untuk menguji berbagai tuntutan yang dapat menjadikan

kita memilliki pengetahuan harus benar-benar mapan, karena definisi tentang ”kepercayaan”,

”kebenaran” merupakan masalah yang tetap dan terus ada, sehingga teori pengetahuan

merupakan suatu bidang utama dalam penyelidikan filsafat. Definisi ilmu pengetahuan, beberapa

pengertian/definisi mengenai ilmu pengetahuan:

1. Webster’s New Word Dictionary, yang artinya: ”Ilmu pengetahuan: semua yang telah

diamati atau dimengerti oleh jiwa (pikiran) belajar, dan sesuatu yang telah jelas”.

2. Runes dalam ”Dictionary of Philosophy”: “Ilmu pengetahuan berhubungan dengan

“tahu” (yang diketahui), kebenaran yang dimengerti. Lawandari pendapat, tetapi di

bawah tarafnya jika dibandingkan dengan kebenaran”.

3. ”American Peoples Encyclopedia”: ”Ilmu pengetahuan, suatu kesadaran penuh dan

terbuktikan dari suatu kebenaran mengenai sesuatu: bersifat praktis, suatu kesadaran yang

teratur, tersusun tentang apa pun yang secara definitif dapat diterima sebagai realita”.

Ilmu pengetahuan meliputi, baik yang ada dalam perbendaharaan kebudayaan manusia maupun

dalam pribadi-pribadi cendekiawan. Ilmu akan selalu mengalami proses perkembangan sejalan

dengan perkembangan kepribadian manusia cendekiawan itu melalui segala usaha penelitian dan

pengembangan yang mereka laksanakan. Antara ilmu pengetahuan dan kepribadian ada aksi

positif saling membina. Semakin banyak tantangan sosial, alamiah, hidup dan sebagainya,

semakin berkembang pula ilmu pengetahuan, sebab pada hakikatnya pengetahuan adalah usaha

Page 21: REFERENSI FILSAFAT

manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup lahir dan batin. Ilmu yang telah dimiliki

seseorang akan mendorong pribadi untuk lebih dinamis, energik dalam menjelajahi ”lautan ilmu

yang tak terbatas”, semakin berilmu pribadi seseorang semakin haus, semakin tahu manusia,

semakin manusia tersebut merasa bodoh. Dengan demikian menunjukkan ilmu memiliki watak

dinamis, progresif, menjadi asas pembina kepribadian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

epistemologis merupakan kunci pengembangan ilmu. Ilmu yang berkembang di dalam

masyarakat dapat menjadi faktor luar yang membantu perkembangan potensi pribadi manusia.

Dengan pengertian (teoretis) dan penguasaan (praktik) ilmu pengetahuan, sebagai prestasi

manusia yang idea tercapai. Masuk dalam kategori ini adalah kemampuan kreatif, karya

kebudayaan dan ilmiah merupakan prestasi kepribadian. Pengetahuan dan manusia merupakan

satu integritas, pengetahuan adalah fungsi kepribadian manusia.