Referat, Words

67
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan prosedur invasif minima, saat ini popular sebagai teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung dan sinus paranasal dan kelainana lainnya (Stammberger, 1993) Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc (CWL), fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka BSEF merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan di Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia. Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drainase dan ventilasi melalui ostium-ostium sinus (Nair, 2010; Slack,1998; Meldem et al, 1996). Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk sinusitis kronik dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drainase dan ventilasi kearah sinus 1

description

referat

Transcript of Referat, Words

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangBedah sinus endoskopi fungsional merupakan prosedur invasif minima, saat ini popular sebagai teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung dan sinus paranasal dan kelainana lainnya (Stammberger, 1993)Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc (CWL), fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka BSEF merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan di Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia. Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drainase dan ventilasi melalui ostium-ostium sinus (Nair, 2010; Slack,1998; Meldem et al, 1996).Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk sinusitis kronik dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drainase dan ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka seluruh sinus ( Nizar, 2000).Perkembangan yang pesat di bidang kedokteran juga membawa perubahan dalam penatalaksanaan sinusitis. Tersedianya alat diagnostik CT Scan telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat endoskop untuk operasi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih tuntas (Metson, 2006; Nizar, 2000)Keuntungan dari teknik BSEF, dengan penggunaan beberapa alat endoskop bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus dan daerah sekitarnya dapat tampak jelas.Dengan demikian diagnosis lebih dini dan akurat dan operasi lebih bersih /teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga diuntungkan karena morbiditas pasca operasi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan komplikasi bedah (Azis, 2006).Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps, 2012, mengatakan bahwa 5-15% dari populasi masyarakat Amerika dan Inggris menderita rinosinusitis kronik (Fokkens et al, 2012). Pada tahun 2001, lebih dari 35 juta orang dewasa Amerika menderita rinosinusitis dan lebih dari 460.000 pembedahan sinus setiap tahun sehingga pembedahan ini menjadi salah satu tindakan bedah yang paling sering dilakukan (Metson et al, 2006).Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data penelitian tahun 1996 dari sub-bagian Rinologi Departemen THT-KL FK-UI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati rinosinusitis kronik sebanyak 50%. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Soetjipto, 2006).Penelitian Multazar (2011) di poliklinik THT-KL RS. H. Adam Malik Medan periode Januari 2008 sampai dengan Desember 2008 tentang penderita rinosinusitis kronik, didapatkan perempuan lebih banyak daripada laki-laki masing-masing sebesar 57% dan 43%; kelompok umur terbanyak pada 28-35 tahun (20,6%); gejala yang tersering adalah hidung tersumbat (75,3%); tindakan operasi terbanyak pada pasien rinosinusitis kronik adalah BSEF sebanyak 54 penderita (80,6%), diikuti antrostomi (11,94%), CWL (5,97%) dan trepanasi sinus frontal sebesar 1,49%.Penelitian Firman (2011) di poliklinik THT-KL RS. H. Adam Malik Medan tahun 2009-2010 tentang penderita rinosinusitis maksila kronik yang menjalani tindakan operasi, mendapatkan perempuan lebih banyak daripada laki-laki yaitu masing-masing 60% dan 40%; kelompok umur terbanyak pada 15-24 tahun (34%), di mana dijumpai gejala terbanyak adalah hidung tersumbat (43%), jenis operasi yang paling sering dilakukan adalah bedah sinus endoskopik fungsional (70%) kemudian diikuti antrostomi (26%) dan CWL (4%).Dari penelitian sebelumnya seperti dikemukakan di atas, BSEF sangat sering dilakukan sehingga penulis tertarik ingin melakukan penelitian tentang profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF di RSUP H. Adam Malik Medan. 1.2 TujuanReferat ini dibuat untuk membahas mengenai bedah sinus endoskopi mulai dari anatomi, fisiologi, penyakit-penyakit yang berhubungan dengan sinus, bedah sinus endoskopi , indikasi, kontraindikasi dan komplikasi dari bedah sinun endoskopi agar nantinya akan lebih mudah dalam memahami prosedural bedah sinus endoskopi

BAB IIORGAN PENGHIDU DAN PERNAFASAN

2.1Anatomi 2.1.1 Hidung LuarHidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi hidung luarHidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2. Anatomi tulang hidung2.1.2 Hidung DalamRongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Gambar 3. Anatomi hidung dalam2.1.3Batas Rongga HidungDinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lemoeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa= saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

2.1.4Kompleks Ostiomeatal (KOM)Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.

Gambar 4. Kompleks Osteomeatal2.1.5 Suplai Darah (Vaskularisasi Hidung)Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 5. Pembuluh darah hidung

2.1.6Persarafan HidungBagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Gambar 6. Persarafan hidungFungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

2.1.7Sistem MukosiliarSeperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran ttanspor mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.

2.1.8 Sistem LimfatikSuplai limfatik hidung sangat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung vestibulum dan daerah prekonka.Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.

2.1.9Sinus Paranasal

Gambar 7. Sinus ParanasalAda delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.a. Sinus MaksilarisSinus maksilaris merupaka sinus paranasalis yang terbesar. Sinus ini sudah ada sejak lahir dan mencapa ukuran maksimum (+ 15 ml) pada saat dewasa. Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah:1. Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M22. Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnyaSinus maksilaris (antrum of highmore) adalah sinus yang pertamaberkembang. Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya dapat sangat luas sampaiakar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan halus yang mencakup mereka.Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai volume kira-kira 15 ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida adalah dinding nasal denganpuncak yang menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding anterior mempunyai foramen intraorbital yang berada pada bagian midsuperior dimana nervus intraorbitalberjalan di atas atap sinus dan keluar melalui foramen ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh n.infraorbita. dinding posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris dengan a.maksilaris interna, ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina mayor dan foramen rotundum.Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum samadengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris. Oleh karena itu berhubungan dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitupremolar dan molar.Cabang dari a. maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbita, cabang a. sfenopalatina, a. palatina mayor, v. aksilaris dan v. jugularis system duralsinus. Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2 yaitu n. palatina mayor dan cabang dari n. infraorbita.Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi di belakangprocessus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.

b. Sinus EthmoidalisSinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh selposterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidakdapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsur-angsur menipis dan pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah anteriordiatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka bullosa.Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14mm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi sel multipel oleh sekat yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior posterior agak miring (15). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral dan sebelahmedial agak miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan berat antara atapmedial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid posterior berbatasandengan sinus sfenoid.Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna dimana a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya mengikuti arterinya. Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi bagiansuperior sedangkan sebelah inferior oleh n V.2. Persarafan parasimpatis melaluin.vidianus, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion servikal. Sel di bagian anterior menuju lamela basal. Pengalirannya ke meatus mediamelalui infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke meatus superior dan berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya lebih sedikit dalamjumlah namun lebih besar dalam ukuran dibandingkan dengan sel bagian anterior. Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral inferiornya, dan tepi superior prosesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid anterior yang terbesar. Infundibulum etmoid perkembanganya mendahului sinus.Dinding anterior dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentukoleh prosesus frontalis os maksila dan lamina papyracea.

c. Sinus FrontalisSinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagianbesar sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saatkelahiran dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun.Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus frontalis sangat bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong. Dinding posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium anteriorlebih tipis dan dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata.Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui a.supraorbitadan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica superior menuju sinuskavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir kesinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear.

d. Sinus SfenoidalisSinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong ronggahidung. Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidakberkembang sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun.Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis, sangatbervariasi. Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperiordari rongga hidung. Dinding sinus sphenoid bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1-1,5 mm). Dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh karena hubungan anatominya tergantung dengan tingkatpneumatisasi. Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke recessus sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm) dan letaknya 10 mm di atas dasar sinus.Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 danV.2. n.nasociliaris berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus.

2.2Histologi HidungMukosa HidungRongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated pseudostratified collumner ephitelium) dan di antaranya terdapat sel sel goblet.Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated ephitelium ). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna cokelat kekuningan.Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusioid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.

2.3Fisiologi2.3.1 Fisiologi HidungFungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal. a. Sebagai Jalan NapasPada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

Gambar 8. Proses Inspirasib. Pengatur Kondisi UdaraFungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.c. Sebagai Penyaring Dan PelindungFungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.d. Indra PenghiduHidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.e. Resonansi SuaraResonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).f. Proses BicaraHidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.g. Refleks Nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.3.2 Fisiologi Sinus ParanasalBerbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan fungsi dari sinusparanasal. Teori ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi, membantupengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan imunitas, meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak, membantu resonansi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan muka.a. Mengatur Kelembaban Udara InspirasiMenurut beberapa teori walaupun mukosa hidung telah beradaptasi untukmelakukan fungsi ini, sinus tetap berperan pada area permukaan mukosa dankemampuannya untuk menghangatkan. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwabernafas dengan mulut dapat menurunkan volume akhir CO2 yang dapatmeningkatkan kadar CO2 serum dan berperan pada sleep apnea.Meskipun sinus dianggap dapat berfungsi sebagai ruang tambahan untukmemanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi, namun teori ini memiliki kelemahan karena tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus danrongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untukpertukaran udara total dalam sinus. Selain itu mukosa sinus juga tidak memilikivaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.b. Penyaringan UdaraOleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada pertahanan imunatau penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung dan mukosa sinus terdiridari sel silia yang berfungsi untuk menggerakan mukosa ke koana. Penelitian yangpaling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul Nitrous Oxide (NO). studimenunjukkan bahwa produksi NO intranasal adalah secara primer pada sinus. Telahkita ketahui bahwa NO bersifat racun terhadap bakteri, jamur dan virus pada tingkatan sama rendah 100 ppb. Konsentrasi ini dapat menjangkau 30.000 ppbdimana beberapa peneliti sudah berteori tentang sterilisasi sinus. NO juga meningkatkan pergerakan silia.Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkandengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yangturut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,merupakan tempat yang paling strategis.c. Fungsi Sinus LainnyaSinus diyakini dapat membantu keseimbangan kepala karena mengurangiberat tulang muka, namun bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebanyak 1% dari berat kepala, sehingga dianggap tidak bermakna. Sinus juga dianggap berfungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara apabila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak seperti pada saat bersin atau membuang ingus. Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa peneliti mendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebagai indra penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Namun menurut penelitian lainnya, etmokonka manusia telah menghilang selama proses evolusi. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang menyatakan bahwaposisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Fungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.4 Cara Pemeriksaan pada Hidung dan Sinus ParanasalAda beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung, yaitu pemeriksaan dari luar (inspeksi, palpasi, dan perkusi), rinoskopia anterior, rinoskopia posterior, foto rontgen, pungsi percobaan, biopsi, pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan rutin, bakteriologi, serologi, dan sitologi).2.4.1 Pemeriksaan dari luar (Inspeksi, palpasi dan perkusi)Ada 3 keadaan yang penting harus diperhatikan saat melakukan inspeksi hidung dan sinus paranasalis, yaitu : Kerangka dorsum nasi (batang hidung). Adanya luka, warna, udem dan ulkus nasolabial. Bibir atas.Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan pada inspeksi hidung dan sinus paranasalis, yaitu : Lorgnet pada abses septum nasi. Saddle nose Miring pada fraktur. Lebar pada polip nasi.

Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di tempat tersebut. Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung dan sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis. Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung dan sinus paranasalis, yaitu : Dorsum nasi (batang hidung). Ala nasi. Regio frontalis sinus frontalis. Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung). Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.

Gambar 9. Palpasi Sinus Frontalis dan Maksilaris

Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi. Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu : Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila kedua sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus tersebut patologis. Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis. Foramen supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis sehingga juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan syarat-syarat palpasi.

2.4.2 Rinoskopia AnteriorAda 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu : Cermin rinoskopi posterior. Pipa penghisap. Aplikator. Pinset (angulair) dan bayonet (lucae). Spekulum hidung Hartmann.Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya juga unik meliputi cara memegang, memasukkan dan mengeluarkan.Cara memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi (lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar.Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan, yaitu pemeriksaan vestibulum nasi, pemeriksaan kavum nasi bagian bawah, fenomena palatum mole, pemeriksaan kavum nasi bagian atas, dan pemeriksaan septum nasi.a. Pemeriksaan Vestibulum NasiSebelum menggunakan spekulum hidung pada pemeriksaan vestibulum nasi, kita melakukan pemeriksaan pendahuluan lebih dahulu. Ada 3 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan pendahuluan ini, yaitu: Posisi septum nasi. Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah. Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak.Cara kita memeriksa posisi septum nasi adalah mendorong ujung hidung pasien dengan menggunakan ibu jari.Spekulum hidung kita gunakan pada pemeriksaan vestibulum nasi berguna untuk melihat keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior vestibulum nasi. Sisi medial vestibulum nasi dapat kita periksa dengan cara mendorong spekulum ke arah medial. Untuk melihat sisi lateral vestibulum nasi, kita mendorong spekulum ke arah lateral. Sisi superior vestibulum nasi dapat terlihat lebih baik setelah kita mendorong spekulum ke arah superior. Kita mendorong spekulum ke arah inferior untuk melihat lebih jelas sisi inferior vestibulum nasi.Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum hidung, kita perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul.b. Pemeriksaan Kavum Nasi bagian BawahPemeriksaan Kavum Nasi Bagian Bawah pada Rinoskopia Anterior. Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) yang searah dengan konka nasi media.Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah, yaitu : Warna mukosa dan konka nasi inferior. Besar lumen lubang hidung. Lantai lubang hidung. Deviasi septumc. Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia AnteriorCara kita memeriksa ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara tegak lurus. Normalnya kita akan melihat cahaya lampu yang terang benderang. Kemudian pasien kita minta untuk mengucapkan iii.Selain perubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih gelap akibat gerakan palatum mole, bayangan gelap dapat juga disebabkan cahaya lampu kepala tidak tegak lurus masuk ke dalam dinding belakang nasofaring.Setelah pasien mengucapkan iii, palatum mole akan kembali bergerak ke bawah sehingga benda gelap akan menghilang dan dinding belakang nasofaring akan terang kembali.Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat pasien mengucapkan iii dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya, fenomena palatum mole negatif apabila palatum mole tidak bergerak sehingga tidak tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring tetap terang benderang.Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan, yaitu: Paralisis palatum mole pada post difteri. Spasme palatum mole pada abses peritonsil. hipertrofi adenoid Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses retrofaring, dan adenoid.d. Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian AtasCara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian atas yaitu dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) bagian atas pasien. Ada 4 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang hidung) bagian atas, yaitu : Kaput konka nasi media. Meatus nasi medius : pus dan polip. Septum nasi bagian atas : mukosa dan deviasi septi. Fissura olfaktorius.

e. Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia AnteriorKita dapat menemukan septum nasi berbentuk krista, spina dan huruf S.

2.4.3 Rinoskopia PosteriorPrinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koana dan dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam nasofaring.Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :1) Penempatan cermin: Harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring untuk menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien tetap berada dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke bawah dengan bantuan spatula (spatel). Penempatan cahaya. Harus ada jarak yang cukup lebar antara uvula dan faring milik pasien sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin dapat masuk dan menerangi nasofaring.2) Cara bernapas: Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung.Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu : Cermin kecil. Spatula. Lampu spritus. Solusio tetrakain (efedrin 1%).Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu : Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan.Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung. Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil dalam nasofaring pasien. Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole kanan pasien. Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala.Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu 5 menit.Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :1) Pemeriksaan Tuba Kanan.Posisi awal cermin berada di paramedian yang akan memperlihatkan kepada kita keadaan kauda konka nasi media kanan pasien. Tangkai cermin kita putar kemudian ke medial dan akan tampak margo posterior septum nasi. Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke kanan, berturut-turut akan tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior (terbesar), kauda konka nasi superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding tuba.2) Pemeriksaan Tuba Kiri.Tangkai cermin kita putar ke medial, akan tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Tangkai cermin terus kita putar ke kiri, akan tampak kauda konka nasi media kanan dan tuba kanan.3) Pemeriksaan Atap Nasofaring. Kembali kita putar tangkai cermin ke medial. Tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Setelah itu kita memeriksa atap nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin sedikit lebih dalam atau cermin agak lebih kita rendahkan.4) Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior. Kita memeriksa kauda konka nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau tangkai cermin sedikit direndahkan. Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan kecuali mengalami hipertrofi yang akan tampak seperti murbei (berdungkul-dungkul).Ada 2 kelainan yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior, yaitu : Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi superior, adenoiditis, dan ulkus pada dinding nasofaring (tanda TBC). Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma. Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu : Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula. Pihak pasien: cara bernapas dan refleks muntah. Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.

Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien haruslah seoptimal mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan sensasi nyeri pada diri pasien. Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah menyebabkan faring tidak terlihat jelas oleh pemeriksa.Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan kepala pasien berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh ke pangkal lidah apalagi sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan refleks muntah.Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa berada dibawah spatula. Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita tempatkan diatas dagu sedangkan jari V dibawah dagu pasien.Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia posterior ini terletak pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang memegang cermin kecil, tangan kiri yang memegang spatula, kepala dan posisi cahaya dari lampu kepala yang akan menyinari cermin dalam faring, dan kejelian mata kita melihat bayangan pada cermin kecil dalam faring.Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi pasien. Mereka harus bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka. Ada beberapa pasien yang memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang kita buat. Kita bisa memberikannya tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya.Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada beberapa pasien karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah.Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu dingin. Cermin yang terlalu panas menimbulkan rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin menimbulkan kekaburan pada cermin yang mengganggu penglihatan kita.Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai menyentuh faring pasien. Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita ini.

2.4.4 Foto RontgenUntuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak.

2.4.5 Pungsi PercobaanPungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan menggunakan troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya jika keluar nanah atau sekret mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan irigasi sinus maksilaris.

2.4.6 BiopsiJaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di meatus nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc.2.4.7 Sinoskopi Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa krania. Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.2.4.8 Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia)Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah adanya ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan 6 volt dan bertangkai panjang (Heyman).Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus tersebut tentu saja berbeda.Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu kita menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis normal bilamana dinding depan sinus frontalis tampak terang.

Gambar 10. Transiluminasi Sinus frontalisAda 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus maksilaris, yaitu :Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna terang.Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit.

Gambar 11. Transiluminasi sinus maksilaris cara I

Gambar 12. Transiluminasi Sinus maksilaris cara IIPenilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.

BAB IIIBEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL

3.1 Definisi BSEFBedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan mucociliary clearance dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka BSEF merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan di Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostium-ostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk sinusitis kroniks dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drenase dan ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi). Teknik bedah endoskopi ini kemudian berkembang pesat dan telah digunakan dalam terapi bermacam-macam kondisi hidung, sinus dan daerah sekitarnya seperti mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya.Keuntungan dari teknik BSEF, dengan penggunaan beberapa alat endoskop bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus dan daerah sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan akurat dan operasi lebih bersih / teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga diuntungkan karena morbiditas pasca operasi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan komplikasi bedah.

3.2 IndikasiIndikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal.Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia.Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya.3.3 Kontraindikasi1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi)3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai3.4 Persiapan Pra-operasiPersiapan Kondisi Pasien. Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau udem, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Lihat. Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang menderita asma dan lainnya.Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intra kranial.Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid anterior, n.optikus dan a.karotis interna penting diketahui.Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi.Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem gradasi antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.1. Lund-MacKay Radiologic Staging System Lokasi Gradasi* Radiologik Sinus Maksila Etmoid Anterior Etmoid Posterior Sfenoid Frontal Kompl.Ostiomeatal

2. Gradasi 0 dan 2 saja*Gradasi radiologik dari 0-2 : Gradasi 0 : Tidak ada kelainan Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplitIntrumentasi Bedah. Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan instrumen operasi yang sesuai. Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut :1. Teleskop 4 mm 002. Teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas ke arah frontal dan maksila)3. Teleskop 4 mm 300. teleskop 2,7 mm (tambahan untuk pasien anak)4. Light source (sumber cahaya)5. Cable light6. Sistim kamera + CCTV7. MonitorSementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut :1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8 mm, Luer-lock)2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19 cm)3. Respatorium (MASING Elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5cm)4. Suction lurus5. Suction Bengkok6. Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps)7. Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal Forceps)8. Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Straight)9. Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Upturned)10. Cunam Backbiting (Backbiter Antrum Punch)11. Ostium Seeker12. Trokar Sinus maksila13. J Curette (Antrum Curette Oval)14. Kuhn Curette (Sinus Frontal Curette Oblong)15. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)16. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)17. Cunam Jamur (Stammberger Punch)

3.5 Tahapan OperasiTujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan panduan endoskop dan memulihkan kembali drenase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah.Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi. Karenanya tidak ada tindakan rutin seperti bedah sinus terdahulu. Berikut ini dijelaskan tahapan-tahapan operasi :1. Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila. Pertama-tama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk.Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini.

2. Eksenterasi sinus maksilaPengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar dan jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan cunam melalui meatus inferior jika cara diatas gagal. Jika tindakan ini sulit, lakukanlah bedah Caldwell-Luc, tetapi prinsip BSEF yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melebarkan ostium asli di meatus medius dianjurkan untuk dilakukan disini.3. Etmoidektomi retrogradeJika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai sinusitis frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal tadi (BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada dibalakang sinus lateralis ini.Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting mencegah penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya.Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar.Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal.4. Arteri etmoid anterior. Identifikasi arteri sangat penting. Berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal tulang di batas belakang atap resesus frontal. Hindari trauma pada arteri ini.5. Sel Onodi. Sel Onodi tampak pada gambar CT dan menurut Sethi akan ditemukan 1: 2-3 pada spesimen Asia. Bahaya keberadaan sel Onodi adalah kemungkinan melekatnya n.optikus dan a.Karotis Interna pada dinding lateralnya. Saat diseksi di sinus etmoid posterior, harus ingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n.optikus dan / atau a.karotis di sisi lateralnya. Hindari trauma pada organ penting ini, terutama trauma pada a.karotis interna dapat berakibat fatal bagi pasien.6. Sinus frontalUntuk memperbaiki drenase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal, resesus frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam Blakesley upturned dipandu endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal dibersihkan, ostium biasanya langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan superior dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada orbita, maka drenase dan lokasi ostium ada di sebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar otak atau konka media, maka drenase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan. Panduan ini terutama diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel frontal dan variasi anatomi. Hati-hati saat diseksi di sisi medial, terutama jika pada gambar CT scan ditemukan lamina lateralis kribriformis yang panjang (Keros tipe III), hindarkan ujung cunam menghadap daerah ini.Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 30 dan / 70, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT, serta mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat dihindari. Adanya gelembung udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium yang sebenarnya.Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Cunam jerapah ini khusus dibuat untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada di ujung lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF. Pada keadaan ini operasi trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan.Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya.Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan mencegah trauma a.etmoid anterior dan dasar otak antaranya Intact Bulla Technique dan Axillary Flap.7. SfenoidektomiBiasa yang dilakukan bukan sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya membuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal n.optikus dan a.karotis, sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan, kebocoran likuor atau perdarahan hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang. Anatomi rincinya harus dipelajari dengan seksama dan CT scan potongan koronal bahkan kalau perlu potongan aksial dan MRI. Perhatikan letak n.optikus, a.karotis dan apakah ujung septum intersfenoid melekat pada a.karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan ruptur arteri yang fatal.Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena n.optikus dan a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial daninferior saja. Menurut Stammberger, pada 25% kasus ditemukan dehisence di kanal tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau n.optikus.Prinsip ini penting dalam menunjang hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa dengan mempertahankan mukosa sedapat mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan lebih baik. Moriyama juga menganjurkan mengangkat jaringan patologik dipermukaan mukosa saja dengan cunam yang memotong (cutting forcep). Dalam penyelidikannya, cara ini menunjang penyembuhan fisiologik dimana sel-sel bersilia akan regenerasi setelah 6 bulan.3.6 Perawatan Pasca OperasiSecara teoritis, walaupun belum terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik.Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari secara teratur. Fernandes pada suatu studi prospektif melaporkan pada 55 pasien yang dilakukan BSEF 95,5% pasien memperlihatkan perbaikan gejala klinik sekitar 50% lebih pada perawatan pasca operasi hanya dengan irigasi larutan salin hipertonik setelah hari ke-10 postoperatif. Beberapa ahli menyebutkan penggunaan antibiotik profilaksis pada semua pasien, dimana ahli yang lain menggunakannya hanya pada kasus adanya infeksi. Sementara itu pada suatu penelitian prospektif acak, tersamar ganda oleh Annys dan Jorrisen dikutip dari Schlosser37 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada gejala klinik setelah pemberian cefuroksim postoperasi.

3.7 KomplikasiSemenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BESF dapat dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, periorbital/orbital, intrakranial, vaskular dan sistemik.1. Komplikasi IntransalSinekia. Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Stammberger dkk melaporkan insidens sinekia yaitu sekitar 8%, namun hanya 20% yang menyebabkan gangguan sumbatan. Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan.Stenosis ostium sinus maksila. Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2 %. Pembukaan ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapat menghasilkan drenase fisiologik. Stankiewicsz mengatakan bahwa pelebaran ostium secara melingkar dapat menyebabkan timbulnya parut dan stenosis ostium sinus maksila. Metode terbaik memperlebar ostium adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke anterior, posterior, dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala maka revisi bedah mungkin diperlukan.Kerusakan duktus nasolakriamalis. Komplikasi ini sangat jarang karena duksus nasolakrimalis berada di sepanjang kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger dan Parson dkk melakukan studi terhadap pasien yang mengalami perlukaan duktus nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala dakriosisititis atau epifora. Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran ostium sinus maksila terutama dari arah posterior dan / inferior.2. Komplikasi Periorbital/OrbitalEdema kelopak mata/ekimosis/emfisema. Edema kelopak mata, ekimosis, dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat trauma pada lamina papirasea. Proyeksi medial lamina papirasea pada rongga hidung dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan lamina papirasea mudah trauma selama prosedur bedah dilakukan. Kejadian rusaknya lamina papirasea sekitar 0,5-1,5% di tangan seorang ahli yang sudah berpengalaman. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa diperlukan pengobatam khusus.Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan meningkatnya tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan penglihatan, midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata pasien agar selalu tampak dalam pandangan operator.Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat pula disebabkan oleh adanya perdarahan, serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah merupakan penyebab terjadinya trauma pada n.optikus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan.Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial dapat menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau otot oblikus superior mata serta kerusakan pada saraf yang menginervasinya.3. Komplikasi IntrakranialKomplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemula. Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scan preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan serebrospinal selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Insidensi komplikasi ini dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat menutup sendiri.4. Komplikasi SistemikWalaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah. Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS). Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50 C, deskuamasi dan hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dihasilkan oleh strain Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS adalah 16/100.000 kasus yang dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan tampon setelah operasi, direkomendasikan untuk memberikan bacitrasin yang merupakan agen yang efektif melawan Stafilokokus aureus.3.8 Penyulit Selama Prosedur Bedah Berlangsung dan PenanganannyaPenyulit infundibulotomi. Penyulit yang dapat terjadi di tahap awal ini adalah kesulitan insisi infundibulotom jika letak unsinatus terlalu dislokasi ke lateral atau ada konka media yang paradoksikal. Insisi sulit dan ujung pisau dapat melukai orbita ini. Hal ini diatasi dengan meluksasi unsinatus ke medial menggunakan ujung bengkok ostium seeker, kemudian potong dengan backbiting. Cara ini terbukti menurunkan komplikasi ke orbita.Penyulit pelebaran ostium. Penyulit juga dapat terjadi jika pasca infundibulotomi, ostium tidak langsung tampak. Seringkali akibat infundibulotomi yang tidak sempurna, sehingga masih ada sisa unsinatus yang menutupi ostium. Keadaan ini diatasi dengan mengangkat sisa unsinatus dengan backbiting. Jika ostium tetap tidak dapat ditemukan meskipun tidak ada lagi sisa unsinatus, lakukan palpasi dengan kuret J di sepanjang pertautan tulang konka inferior. Palpasi jangan terlalu ke atas karena dapat menembus orbita. Adanya gelembung udara menunjukkan lokasi ostium yang dicari. Harus diingat bahwa lokasi ostium adalah di pertemuan aspek antero-superior dan postero-inferior infundibulum dan berada di depan aspek anterior bula etmoid. Karenanya, adanya bula etmoid dapat membantu menentukan lokasi ostium, sehingga dianjurkan supaya pengangkatan bula setelah identifikasi ostium sinus maksila. Pelebaran ostium dapat dilakukan ke arah posterior menggunakan gunting atau cunam Blakesley lurus, selipkan salah satu ujungnya ke sisi dalam fontanel posterior. Pelebaran ke arah anterior menggunakan backbiting dan ke inferior menggunakan sidebiting. Pelebaran ostium dapat juga menggunakan kuret J. Pelebaran ostium hanya pada 1 atau 2 sisi, tidak dibenarkan memperlebar ke semua arah, karena akan terjadi jaringan ikat melingkar dan gangguan drenase di kemudian hari. Dengan membiarkan 1 atau 2 sisi ostium utuh, kemungkinan obliterasi dicegah. Ostium asesori yang ditemukan harus disatukan dengan ostium asli, agar tidak menyebabkan infeksi berulang.Penyulit etmoidektomi. Penyulit pada tahap ini adalah saat identifikasi dan menembus lamina basalis. Identifikasi sering sulit karena perubahan patologik atau variasi anatomi, misalnya adanya sinus lateralis diantara dinding belakang bula dan lamina basalis atau adanya sel etmoid anterior yang meluas ke belakang dan menekan dinding lamina basalis menjadi berbenjol-benjol. Seringkali atap etmoid diduga sebagai lamina basalis. Operator harus yakin betul identifikasi lamina basalis sebelum menembusnya agar tidak terjadi kebocoran cairan otak. Lamina basalis bagian superior dan anterior berdekatan dengan dasar otak, tetapi karena dinding lamina berjalan ke arah posterior dan inferior, maka makin ke belakang makin jauh jaraknya terhadap dasar otak. Karenanya menembus lamina basalis di sebelah medial bawah merupakan tempat paling aman.Mencegah penetrasi intrakranial. Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah mencegah penetrasi intrakranial. Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian antero-medial paling tipis, hanya 1/10 bagian lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya dianjurkan untuk bekerja di sebelah lateral agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah pertautan atap etmoid (fovea etmoidales) dengan lamina kribosa yang disebut lamina lateralis kribosa yang merupakan tulang tipis yang panjangnya bervariasi antara 3-16 mm. Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis ini, Kerose membaginya dalam 4 tipe. Ohnishi juga mendapatkan bahwa atap medial etmoid mempunyai banyak dehiscence dan celah-celah. Daerah pertautan konka media pada dasar otak dan aspek antero-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan tembus. Variasi anatomi diatas dapat diketahui dari gambar CT scan dan sebaiknya operator menghindari daerah ini atau jika terpaksa, bekerjalah ekstra hati-hati. Jika bekerja di daerah medial, dianjurkan selalu menghadapkan cunam agak ke lateral.Mencegah penetrasi orbita. Penyulit lainnya adalah mencegah penetrasi ke orbita. Ini dapat terjadi saat membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita karena mungkin ada dehiscence sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja disini, arahkan cunam ke vertikal. Kadang-kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita atau trochlea yang sering diduga sebagai sel etmoid. Jika diangkat maka terjadi penetrasi dan lemak orbita akan keluar. Tidak perlu berusaha memasukkan kembali karena akan menambah taruma orbita. Lemak ini akan masuk kembali tertekan oleh tampon hidung yang dipasang pascaoperasi. Yang penting adalah mengetahui bahwa jaringan yang diangkat adalah lemak orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan berbentuk gelembung bulat-bulat kecil dan melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip atau jaringan rongga hidung lain akan tenggelam.Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi orbita. Untuk menghindari, jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat selesai anestesi dan pasien dilarang menyringsing ingus selama 1-2 minggu pascaoperasi.Perdarahan saat operasi. Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahn mukosa. Perdarahan ini ringan namun dapat mengganggu kelancaran bahkan menggagalkan operasi bila operator tidak dapat melihat dengan jelas. Tindakan vasokonstriktor yang baik praoperasi sangat berpengaruh disini disamping faktor-faktor lain.Kelancaran tindakan bedah sangat ditunjang oleh upaya mengeringkan lapangan operasi dengan cara memasukkan kapas adrenalin ke lapangan operasi. Pada tindakan dengan anestesi umum, dianjurkan anestesi kendali hipotensi. Dalam hal ini diperlukan dokter anestesi yang handal.Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram terkena darah. Ini terutama pada pemula. Perdarahan yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah yang udem atau radang, polip luas atau pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan juga dapat terjadi pada pasien koagulopati, pasien dengan penggunaan jangka lama obat-obat yang memanjangkan masa perdarahan seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi non steroid, persantin, dll. Obat dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum operasi. Jika perdarahan berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan lakukanlah operasi secara konvensional. Pada pasien poliposis dengan kemungkinan perdarahan, polip yang besar diangkat dulu tanpa penggunaan endoskop. Setelah perdarahan berkurang, tindakan dilajutkan dengan endoskop. Dengan alat baru yang sangat menguntungkan yaitu alat debrider yang dapat memotong langsung menghisap polip sehingga perdarahan sangat minimal. Perdarahan yang dapat berbahaya adalah perdarahan akibat trauma pada a.etmoid anterior jika ujung arteri yang terputus mengalami retraksi dan masuk ke dalam orbita menyebabkan perdarahan rongga orbita disebut hematoma retro-orbital. Mata menjadi proptosis secara tiba-tiba dan dapat timbul kebutaan akibat regangan n.optikus. Karenanya mata harus selalu berada dalam pandangan kita agar dapat dimonitor selama operasi. Perdarahan paling berbahaya terjadi akibat ruptur a.karotis atau akibat penetrasi intrakranial, maka ahli bedah saraf harus segera dipanggil dan tindakan kraniotomi dianjurkan untuk mengatasi perdarahan ini.3.9 Anestesi dan AnalgesiTeknik BSEF dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau umum. Umumnya anastesi lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti BSEF mini atau lainnya. Pada anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan menghasilkan rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi menurut kepustakaan, tidak terbukti anestesi lokal lebih aman dibanding anestesi umum dengan teknik hipotensi kendali pada operasi endoskopik.Diperlukan teknik anestesi lokal yang mampu memberikan vasokonstriksi yang baik. Anastesi topikal adalah dengan larutan lidokain/pantokain/xylokain 2% dicampur epinefrin 1:100.000 dalam konsentrasi 4:1. Kapas kecil bertali dibasahi larutan ini, diperas kuat-kuat, dimasukkan ke meatus medius dan agger nasi dengan panduan endoskop dan dibiarkan selama 10 menit. Dapat pula memakai analgesi-vasokonstriktor kuat seperti Co-phenylcaine Forte spray. Anestesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2% dan epinefrin 1:80.000-100.000, disuntikkan dengan jarum panjang di atas perlekatan konka media, prosesus unsinatus dan foramen sfenopalatina.Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan teknik anastesi yang paling populer baik di negara Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan kemungkinan. komplikasi terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula operator dapat bekerja lebih baik dan tenang.Namun demikian hipotensi kendali ini memiliki risiko pada beberapa pasien misalnya pasien geriatri. Disamping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor dapat menimbulkan risiko iritabilitas jantung.

36