Referat TK - Bab II
Embed Size (px)
description
Transcript of Referat TK - Bab II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Konsensus PERDOSSI (2006) mendefinisikan trauma kapitis adalah trauma
mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen . Sinonim dari trauma kapitis adalah
cedera kepala, head injury, trauma kranioserebral, traumatic brain injury (1).
Sedangkan menurut Soertidewi L (2012) Trauma kapitis atau cedera
kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup neurotraumatologi yang
mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun
fungsional dan akibatnya baik pada masa akut maupun sesudahnya. Akibat
trauma dapat terjadi pada masa akut (kerusakan primer) dan sesudahnya
(kerusakan sekunder), oleh karena itu manajemen segera dan intervensi lanjut
harus sudah dilaksanakan sejak saaat awal kejadian guna mencegah/
meminimalkan kematian maupun kecacatan pasien (6).
2.2. Epidemiologi
Insidensi trauma kapitis di dunia meningkat, hal ini terutama dikarenakan
trauma yang berhubungan dengan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor,
khususnya di negara berkembang. Perkiraan insidensi trauma kapitis menunjukan
variasi di tiap negara (Gambar 2.1) (7).
3

Gambar 2.1. Perkiraan insidensi trauma kapitis global.
Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini belum ada. Yang ada barulah
data dari beberapa rumah sakit (sporadis). Data di ruang rawat neurologi RSCM
tahun 2005 di tunjukan pada Tabel 2.1 (1).
Tabel 2.1. Data Trauma Kapitis di Ruang Neurologi RSCM
Jenis Kelamin
TK Ringan TK Sedang TK Berat Operasi Meninggal
PriaWanita
292142
22986
226
3 185
Jumlah 434 315 28 23
2.3. Etiologi
Penyebab utama dari trauma kapitis yaitu kecelakaan lalu lintas, jatuh,
kriminalitas dan cedera yang terjadi saat bekerja, di rumah dan selama olah raga.
Frekuensi relatif dari tiap kausa bervariasi antara kelompok usia berbeda dan dari
tempat-tempat di seluruh Negara (3).
Trauma kapitis akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering
pada laki-laki dewasa muda; penggunaan alcohol sering kali ikut terlibat.
Kecelakaan lalu lintas, meskipun hanya sekitar 25% dari semua pasien dengan
trauma kapitis, merupakan penyebab dari cedera yang lebih serius. Penyebab ini
4

menyumbang 60% dari kematian akibat trauma kapitis; dari semua, setengahnya
meninggal sebelum mencapai rumah sakit (3)
2.4. Patofisiologi
Proses trauma kapitis dapat diklasifikasikan menjadi cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan akibat dari kekuatan mekanis yang
mengenai kepala yang cedera. Cedera sekunder merupakan akibat dari perubahan
biomolekuler dan fisiologis yang terjadi setelah cedera primer (5).
Cedera primer tidak hanya akibat dari trauma langsung tetapi juga tenaga
akselerasi, deselerasi atau rotasional baik terjadi bersamaan atau terpisah dari
trauma langsung.Tahapan kejadian ini menyebabkan tenaga inersia pada jaringan
dan sel otak (8).
Dibandingkan cedera primer, cedera sekunder lebih lambat dan progresif serta
pada akhirnya dapat menjadi faktor penentu dalam kesembuhan pasien. Periode
cedera primer awal dicirikan dengan destruksi jaringan otak namun tidak
mengalami degenarasi neuron, sel glia atau akson yang luas; efek ini merupakan
inti dari cedera sekunder. Pada pasien-pasien yang bertahan pada cedera awal,
morbiditas dan mortalitas akan ditentukan oleh cedera sekunder. Meskipun
banyak usaha intervensi farmakologis pada cedera sekunder, belum satupun
sampai saat ini secara klinis terbukti efektif (8).
Proses biomolekuler pada cedera sekunder terdiri dari banyak proses yang
terjadi baik saling berhubungan maupun terjadi secara terpisah. Beberapa proses
diantaranya seperti perubahan fisiologis alirah darah serebral, eksitotoksisitas
(glutamat) dan stress oksidatif, edema, inflamasi, nekrosis, apoptosis dan lain-lain.
5

Proses perubahan fisiologis alirah darah serebral, dan proses biomolekuler
eksitotoksik dijelaskan pada Gambar 2.2 dan 2.3 (5,8,9)
Gambar 2.2 Proses perubahan aliran darah serebral pada trauma kapitis (5).
Gambar 2.3 Proses biomolekuler eksitotoksik pada trauma kapitis (9).
2.5. Klasifikasi
Trauma kapitis diklasifikasikan berdasarkan patologi, letak lesi, tingkat
6

kesadaran (GCS), dan kejadian pasca trauma (6).
2.5.1 Klasifikasi Berdasarkan Patologi
Berdasarkan patologinya trauma kapitis dibagi menjadi kommosio serebri,
kontussio serebri, dan laserrasio serebri (10).
Kommosio serebri adalah keadaan pingsan yang berlangsung lebih dari 10
menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien
mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat (10).
Kotussio serebri atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Yang terpenting untuk terjadinya lesi
kontusio ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi detruktif. Akselerasi yang
kuat berarti juga ektensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak
terlalu kuat, sehingga menimbulkan blokade reversible terhadap lintasan ascenden
retikularis difus. Akibat blokade itu,otak tidak mendapat input aferen dan karena
itu, kesadaran hilang selama reversibel berlangsung (10).
Laserrasio serebri terjadi jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laserasio biasanya berkaitan dengan adanya subaraknoid traumatikus,
subdural akut dan interserebral. Laserasio dapat dibedakan menjadi langsung dan
tak langsung (10).
Laserasio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama fraktur depresi terbuka.
Sedangkan laserasio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang
7

hebat akibat kekuatan mekanis.
2.5.2 Klasifikasi Berdasarkan Letak Lesi
Berdasarkan letak lesinya, trauma kapitis dibagi menjadi lesi difus dan fokal.
Lesi difus adalah lesi yang mengenai seluruh bagian otak sedangkan lesi fokal
adalah lesi yang mengenai bagian spesifik diotak (11).
Lesi difus sendiri dapat dibagi menjadi tiga, yaitu konkussio serebri, cedera
aksonal difus dan perdarahan subaraknoid traumatik. Konkussio meupakan
perubahan status mental yang berlangsung sementara selama < 6 jam. Cedera
aksonal difus adalah pemotongan dan peregangan sel neuron pada tingkat
selluler. Muncul saat otak bergerak ke depan dan belakang dengan cepat di dalam
tengkorak, merobek dan merusak akson neuron. Perubahan status mental semetara
yang berlangsung > 6 jam tanpa defisit fokal. Derajat keparahan lesi aksonal difus
ditunjukan pada tabel 2.2. Perdarahan subaraknoid traumatik adalah
perdarahan di dalam celah yang menyelubungi otak (11,12, 13).
Lesi fokal dapat dibedakan menjadi kontussio, laserasio seperti yang telah
dijelaskan di atas serta hematoma. Hematoma adalah bekuan darah yang
terbentuk akibat rupturnya pembuluh darah di otak. Hematoma dapat dibedakan
menjadi (3,11):
1. Hematoma Subdural : kumpulan darah
di antara duramater dan piamater
2. Hematoma Epidural: kumpulan darah di antara tulang tengkorak dan
duramater.
3. Hematoma intraparenkimal : kumpulan darah dalam parenkim otak
8

Tabel 2.2 Derajat Lesi Aksonal Difus (13)
Ringan Sedang Berat
Kehilangan kesadaran
Lama Tidak sadar
Postur deserbrasi
Amnesia
Defisit memori
Outcome dalam 3 bulan
Membaik
Defisit Berat
Kematian
Segera
6-24 jam
Jarang
Jam
Ringan
63%
6%
15%
Segera
>24 jam
Kadang
Hari
Sedang
38%
12%
24%
Segera
Hari-Minggu
Sering
Minggu
Berat
15%
14%
51%
2.5.3 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kesadaran (GCS)
Pembagian klasifikasi berdasarkan tingkat kesadaran trauma kapitis
diperlihatkan pada Tabel 2.3 (6).
Tabel 2.3 Klasifikasi Trauma Kapitis Berdasarkan Tingkat Kesadaran (6)
Kategori GCS Gambaran Klinik Skening Otak
TK Ringan 13-15Pingsan < 10 menit, Defisit
neurologis (-)Normal
TK Sedang 9-12Pingsan 10 menit – 6 jam,
defisit neurologis (+)Abnormal
TK Berat 3-8Pingsan > 6 jam, defisit
Neurologis (+)Abnormal
2.5.4 Klasifikasi Berdasarkan Kejadian Amnesia Pasca Trauma
Pembagian klasifikasi trauma kapitis berdasarkan kejadian amnesia pasca
trauma diperlihatkan Tabel 2.4 (6).
9

Tabel 2.4 Klasifikasi Trauma Kapitis Berdasarkan amnesia pasca trauma (6)
Lama Amnesia Pascacidera Beratnya Trauma Kapitis
Kurang dari 5 menit Sangat ringan
5 – 60 Menit Ringan
1 – 24 Jam Sedang
1 – 7 Hari Berat
1 – 4 Minggu Sangat Berat
Lebih dari 4 Minggu Ekstrem Berat
2.6. Diagnosis
Diagnosis trauma kapitis ditegakkan berdasarkan (1):
1. Anamnesis
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto Kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain atas indikasi
5. CT Scan otak
6. Pemeriksaan penunjang lainnya.
2.6.1 Anamnesis
Terkadang pasien dapat mendeskripsikan kejadian yang menyebabkan trauma
kapitis, namun biasanya dokter bergantung pada penjelasan orang lain yang
menyaksikan kejadian. Beberapa hal yang perlu diketahu (3)i:
Periode kehilangan kesadaran: berhubungan dengan derajat keparahan
kerusakan difus otak dan dapat bervariasi dari beberapa detik hingga beberapa
minggu.
10

Periode amnesia pasca trauma: merupakan periode kemunculan amnesia yang
permanen setelah trauma kapitis. Periode ini juga menggambarkan keparahan dari
kerusakan dan pada cidera berat dapat bertahan beberapa minggu . (Periode
amnesia retrograde, misalnya amnesia terhadap kejadian sebelum trauma kurang
bermakna karena tidak berhubungan dengan derajat keparahan cidera dan akan
cenderung membaik).
Penyebab dan perjalanan dari cidera: pasien dapat jatuh atau menabrakkan
kendaraanya akibat dari kejadian intrakranial sebelumnya, misal perdarahan
subaraknoid atau kejang epiletik. Semakin hebat cidera, semakin besar risiko yang
berhubungan dengan cidera ekstrakranial.
Adanya nyeri kepala dan muntah: gejala-gejala ini merupakan gejala yang
biasa terjadi setelah cidera kepala. Jika gejala ini tidak membaik, kemungkinan
hematoma intrakranial perlu dipertimbangkan.
2.6.2 Pemeriksaan Klinis Neurologis
Beberapa hal yang perlu diperiksa pada kasus trauma kapitis yaitu adanya
laserasi dan memar , tingkat kesadaran, tanda fraktur basis kranii, respon pupil,
ada/tidaknya kelemahan ektremitas, dan pergerakan bola mata (3).
A. Adanya laserasi dan memar
Adanya tanda ini mengkonfirmasi terjadinya trauma kapitis, meskipun
hematoma intrakranial dapat muncul tanpa cedera eksternal (Gambar 2.4 dan
2.5) (3).
11

Hati-hati salah mendiagnosis fraktur depresi saat ada hematom (Gambar 2.5)
(3).
Pertimbangkan kemungkinan cedera hiperekstensi vertebra servikal jika
ditemukan tanda laserasi atau memar pada bagian frontal kepala.
B. Fraktur Basis Kranii
Penting mencari manifestasi klinis fraktur basis kranii (Gambar 2.6 dan
2.7) yang sulit dideteksi dengan CT scan dan foto X ray tengkorak. Jika
ditemukan, maka aka nada rute potensial untuk dengan infeksi risiko
konkomitan meningitis (3).
12
Gambar 2.4. Laserasi dalam pada fraktur depresi tulang tengkorak (3).
Gambar 2.5. Hematom kadang menyerupai fraktur depresi (3).

Gambar 2.6 Tanda fraktur basis kranii fossa anterior.
Gambar 2.7 Tanda fraktur basis kranii os petrosus (3).
C. Tingkat Kesadaran – Skala Koma Glasgow
Nilai kesadaran pasien dalam hal respon membuka mata, verbal dan
motorik (Tabel 2.5) dan catat dalam interval yang regular (Gambar 2.8). tabel
observasi ini penting dan menggambarkan kecenderungn kondisi pasing
secara jelas. Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan untuk segera
mengivestigasi dan melakukan tindakan yang sesuai (3).
13
Gambar 2.8 Pencatatan tingkat kesadaran dalam interval yang regular.

Tabel 2.5 Penilaian Kesadaran (Skala Koma Glasgow) (6)
Tampakan Skala Nilai
E(ye) opening Spontan 4
Dipanggil 3
Rangsang nyeri 2
Tidak ada respon 1
V(erbal) response Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tak-patut 3
Suara tidak berarti 2
Tidak bersuara 1
M(otor) response Sesuai perintah 6
Lokalisasi perintah 5
Reaksi atas nyeri 4
Fleksi (dekortasi) 3
Ekstensi (deserbrasi) 2
Tidak ada respon 1
Total nilai Skala Koma Glasgow (SKG/GCS) antara 3-15
D. Respon Pupil
Meskipun kerusakan nervus II penting dicatat dan dapat berakibat
gangguan visus yang permanen, fungsi nervus III merupakan indikator
terpenting perluasan lesi intracranial. Herniasi lobus temporal medial melalui
hiatus tentorial dapat merusak nervus III secara langsung atau menyebabkan
iskemik otak tengah (Gambar 2.9), berakibat dilatasi pupil dengan gangguan
atau hilangnya refleks terhadap cahaya. Dengan peningkatal tekanan
intracranial lebih lanjut, dilatasi pupil bilateral dapat muncul (3).
14

Gambar 2.9 Lesi desak ruang mengakibatkan herniasi tentorial (3).
E. Kelemahan Ekstremitas
Tentukan kelemahan ektremitas dengan membandingkan respon di tiap
ektremitas terhadap stimulus nyeri. Hemiparese atau hemiplegi biasanya
muncul pada sisi kotralateral lesi. Lekukan dari pedunkulus serebri oleh ujung
tentorium cerebelli (kernohan’s notch) dapat menyebabkan defisit ipsilateral
(Gambar 2.10), tanda lokalisir yang salah lebih sering ditemukan pada
subdural hematoma. Oleh karena itu defisit ektremitas mempunyai
ketebartasan nilai dalam menentukan lokasi lesi (3).
15
Gambar 2.10 Kesalahan lokalisasi lesi (kelemahan ipsilateral) (3)

F. Pergerakan Bola Mata
Pergerakan bola mata tidak membantu dalam manajemen awal, namun
menggambarkan petunjuk prognosis yang berguna. Pergerakan bola mata
dapat terjadi spontan, atau dapat dipicu secara reflex dengan rotasi kepala
(refleks okulocephalik) atau dengan stimulus kalori (refleks okulovestibuler)
(Gambar 2.11) (3).
Gambar 2.11 Penilaian pergerakan bola mata (3).
Pergerakan bola mata yang abnormal dapat disebabkan oleh disfungsi
batang otak, kerusakan pada nervus yang mempersarafi otot-otot ekstraokuler
atau kerusakan apparatus vestibuler. Ketidakadaan pergerkan bola mata
berhubungan dengan tingkat kesadaran yang rendah dan mengindikasikan
prognosis yang buruk (3).
2.6.3 Foto Polos X Ray
Foto polos X ray digunakan untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang
kepala. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifitas rendah dalam
mendeteksi perdarahan intrakranial . Saat ini foto x ray sudah mulai digantikan
CT-Scan dalam pemeriksaan penunjang trauma kapitis (10, 14).
16

Jika CT-Scan Emergensi tidak direncakanan, X- Ray kepala dilakukan jika
(14):
kesadaran menurun baik saat pemeriksaan atau kapan saja sejak
terjadinya trauma
Tanda dan gejala neurologis (+)
Rhinorrhea atau otorrhea (+)
memar atau bengkak di kepala yang signifikan
Penilaian keadaan umum sulit (mis intoksifikasi alkohol)
2.6.4 CT Scan Kepala
CT Scan merupakan standar baku perdarahan intrakranial. Semua GCS
kurang dari 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan, sedangkan pada pasien
dengan GCS 15, CT scan hanya dilakukan atas indikasi tertentu seprti (14):
Nyeri Kepala Hebat
Tanda fraktur basis kranii
Riwayat cedera berat
Muntah > 1 kali
usia >65 tahun dengan penurunan kesadaran atau amnesia
Kejang
Riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat antikoagulan
Amnesia, gangguan orientasi, berbicara, membaca dan menulis
Rasa baal
Gangguan keseimbangan atau berjalan
17

Tabel 2.6 Klinis dan CT Scan tipe-tipe trauma kapitis (12).
Kelainan Klinis Diagnosis
Hematoma
subdural
akut
Disfungsi neurologis akut, dapat
foka, nonfokal atau keduanya
Hematoma yang kecil, klinis
mungkin normal
CT: hiperdensitas di celah
subdural; Bentuk bulan sabit
(crescent-shaped)
derajat midline shift penting
Fraktur
Basis kranii
Rhinorrhea atau otorrhea
Darah dari meatus akustikus
ekternus atau internus
Battle’s sign atau raccon eyes
CT: tampak fraktur
Hematoma
subdural
kronik
Nyeri kepala gradual, somnolen,
bingung, kadang dengan defisit
fokal atau kejang
CT: hipodens di celah subdural
(kelainan isoden selama transisi
sub akut dari hiperdens ke
hipodens)
Konkussio Perubahan status mental yang
transien selama <6 jam
Berdasarkan klinis
CT atau MRI: lesi di parenkim
tidak dapat menjelaskan klinis
Kotussio Disfungsi neurologis yang
bervariasi atau fungsi yang masih
normal
CT: Hiperdensitas akibat titik
perdarahan dengan ukuran
bervariasi
Cedera
aksonal difus
Kehilangan kesadaran selama >6
jam tanpa kelainan fokal atau
motor posturing
Berdasarkan Klinis
CT: awal dapat normal atau
terdapat hiperdens kecil di corpus
collosum, centrum semiovale,
ganglia basalis, atau batang otak
Hematoma
epidural
Nyeri kepala, gangguan kesadaran
dalam beberapa jam, kadang
dengan interval lucid
Herniasi secara khas menyebabkan hemiparese kontralaterak dan dilatasi pupil ipsilateral
CT: hiperdens dicelah epidural,
lenticular shaped dan terletak di
a. meningeal media (fossa
temporalis) karena fraktur tulang
frontal
Perdarahan Secara khas, Fungsi normal CT: hiperdens dalam celah
18

subarachnoi
d Kadang, disfungsi neurologis akut
subaraknoid pada permukaan otak
2.6.5 Pemeriksaan Penunjang Lainnya
A. MRI
MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan dengan CT
scan; kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI.
Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT
scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat darurat (14).
B. PET dan SPECT
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emissio
Computer (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase
akut dan kronik meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis
tidak memeperlihatkan kerusakan. Namun, spesifitas penemuan abnormalitas
tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau SPECT pada
fase awal kasus trauma kapitis ringan masih belum direkomendasikan (14).
2.7 Penatalaksanaan Trauma Kapitis
2.7.1 Penatalaksanaan Trauma Kapitis di Unit Gawat Darurat
Penananan emergensi trauma kapitis (trauma kapitis akut) sesuai dengan
beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat) berdasarkan urutan (1,6,14):
1. Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi
tindakan sebagai berikut:
A = Airway (jalan nafas)
• Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
19

posisi kepala ekstensi
•Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi
•Membebaskan jalan n afas dengan memeriksa mulut dan
mengeluarkan darah, gigi patah, muntahan dsb.
• Netralkan posisi servikal dengan stiffneck collar, head block dan
diikat pada alas yang kaku jika curiga servikal.
B = Breathing (pernafasan)
• Pastikan pernafasan adekuat.
• Nilai: frekuensi, kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan
otot-otot tambahan, dan auskultasi bunyi nafas.
• Cari penyebab: Sentral atau perifer.
• Bila perlu berikan oksigen dengan target SpO2 >92%.
C = Circulation (sirkulasi)
• Pertahankan TD Sistolik >90 mmHg
• Hentikan sumber perdarahan
• Pasang sulur intravena. Berikan cairan isotonik Normal Saline atau
Ringer Laktat (20ml/KgBB)
• Bila perlu berikan obat vasopressor dan/ inotropik
• Konsultasi bedah saraf jika ada indikasi operasi.
D = Disaability (yaitu untuk menegtahui lateralisai dan kondisi umum
dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi)
• Tanda Vital: TD, Nadi, Pernafasan, Suhu
• SKG/ GCS
20

• Pupil: ukuran, bentuk, & refleks cahaya
• Px neurologis cepat: hemiparesis & refleks patologis
• Luka
• Anamnesa: AMPLE (Allergies, Medications, Past illnes, Last meal,
Event/ Environment related to the injury)
2. Survei sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setealah
kondisi pasien stabil
E = Laboratorium
• Darah : Hb, Leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, ureum,
kreatinin, gula darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit.
• Urin: perdarahan (+)/(-)
F = Manajemen terapi
• Persiapkan operasi jika ada indikasi
• Persiapkan masuk rawat inap
• Penanganan luka
• Pemberian terapi obat-obatan sesuai kebutuhan
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila
telah dupastikan penderita cedera kepala ringan tidak memiliki masalah
dengan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi darah, maka tindakan lanjutan
adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera desertai observasi tanda
vital dan defisit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga leher
diindikasikan jika ada kecurigaan fraktur servikal. Bila setelah 24 jam tidak
ditemukan kelaina neurologis berupa:
21

• Penurunan kesadaran (GCS) dari observasi awal
• Gangguan daya ingat
• Nyeri kepala hebat
• Mual dan muntah
• Kelainan neurolognis fokal
• Fraktur melalui foto kepala atau CT scan
• Abnormalitas anatomi otak dari CT scan
Indikasi operasi trauma kapitis :
1. EDH
a) >40 cc dengan midline shift di temporal/ frontal/ parietal dengan
fungsi batang otak masih baik
b) >30 cc pada fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang
otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik
c) EDH progresif
2. SDH
a) SDH (> 40 cc/ > 5 mm); GCS >6, fungsi batang otak masih baik
b) SDH dengan edema serebri/ kontusio serebri disertai midline shift
dengan fungsi batang otak masih baik
3. CH pasca trauma:
a) Penurunan kesadaran progresif
b) Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing
refrex)
c) Perburukan defisit neurologi fokal.
22

4. Fraktur impresi melebihi 1 (satu) diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
7. Edema serebri berat disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan
operasi dekompresi.
2.7.2 Penatalaksaan di Ruang Rawat Inap
1) Trauma Kapitis Ringan (Komossio Serebri) (1)
1. Dirawat 2 x 24 jam.
2. Tidur dengan posisi kepala ditinggikan 30 derajat.
3. Obat simptomatis dan lain-lain sesuai indikasi
2) Trauma Kapitis Sedang dan Berat – SKG 5-12 (1, 14)
1. Lanjutkan penanganan ABC
2. Pemantauan tanda vital (suhu, pernafasan, tekanan darah), pupil, SKG,
gerakan ekstremitas, sampai pasien sadar (memakai tiap 4 jam
Dijaga jangan sampai terjadi kondis sebagai berikut:
i. TD sistolik <90 mmHg
ii. Suhu >38oC
iii. RR >20x/ menit
3. Cegah TIK tinggi dengan cara:
i. Posisi kepala ditinggikan 30 derajat
ii. Bila perlu berikan manitol 20% (hati-hati kontraindikasi)
• Dosis awal 1gr/KgBB dalam waktu ½ - 1 jam, drip cepat
• Lanjutkan dengan dosis 0,5 gr/ Kg BB drip cepat dalam ½ - 1 jam
23

setelah 6 jam pemberian pertama
• 0,25 gr/ KgBB drip cepat selama ½ - 1 jam drip cepat setelah 12
dan 24 jam pemberian pertama
iii. Bila perlu berikan analgetika dan sedasi jangka pendek
4. Atasi komplikasi
a. Kejang
Pada kasus risiko tinggi berikan fenitoin dengan dosis 3 x 100mg/ hari
selama 7-10 hari
b. Perdarahan lambung
Pemberian antasida 3 x 1 tablet per oral atau H2 Blocker (simetidin,
ranitidin ata famotidin) 3 x 1 ampul IV selama 5 hari
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus diatasi dan dicari tahu penyebabnya.
Berikan kompres dingin di kepala, ketiak dan lipat paha atau tanpa
memakai baju dan perawatan dilakukan di ruang dengan pendingin
d. Infeksi
Profilaksis jika ada risiko tinggi, misal fraktur terbuka, luka luar,
fraktur kranii. Jika ada curiga infeksi meningeal berikan AB dengan
dosis meningitis.
e. Gelisah
Bia perlu berikan obat penenang dengan observasi kesadaran lebih
ketat. Obat yang dipilih adalah obat per oral tanpa efek depresi nafas.
5. Pemberian cairan dan nutrisi adekuat
24

6. Roboransia, neuroprotektan (citicoline), nootropik sesuai indikasi
3) Trauma Kapitis Kritikal – SKG 3- 4
Perawatan dilakukan di Unit Intensif Neurologi (Neurological ICU)/ ICU
(bila Fasilitas tersedia). Monitoring di ruang ICU diperlihatkan pada Gambar
2.10 (1, 11).
Gambar 2.12 Perawatan di Ruang ICU (11)
2.8 Penatalaksanaan Neurorehabilitasi
1. Evaluasi defisit neurologis
Parese nervi kranialis
Parese motorik
Gangguan sensorik
Gangguan otonom
25

Koordinasi
Neurobehavior
TOAG (Tes Orientasi Amnesia Galveston) (ruang
rawat)
MMSE (Minimental State Examination)
o Jika nilai TOAG > 75\
o Di ruangan
o Jika >30 kirim ke devisi neurobehavior
Status mental neuro (dilakukan di divisi
neurobehavioMembuat program restorasi berdasarkanacuan
baku sesuai defisit yang ditetapkan
2. Membuat discharge planning
3. Mengirim ke pusat rehabilitasi
2.9 Prognosis
Prediksi luaran bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya
cedera berdasarkan GCS dan CT scan otak, komorbitas, hipotensi dan/atau iskemi
serta lateralisasi neurologik (6).
26