Referat Tht Nila
-
Upload
nilanila-wlndr -
Category
Documents
-
view
38 -
download
7
description
Transcript of Referat Tht Nila
REFERAT
SINUS PARANASAL DAN
BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL (BSEF/FESS)
Disusun oleh:
NILASARI WULANDARI
NIM: 11-2014-331
Dokter Pembimbing:
dr. IWAN HERTANTYO, Sp THT
KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 6 JULI - 8 AGUSTUS 2015
RS BHAKTI YUDHA
DEPOK
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan
di rumah sakit.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering
ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau
dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan
metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis ini.
Komplikasi akibat sinus paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra orbital maupun
intrakranial. Komplikasi intrakranial sinusitis jarang terjadi pada era antibiotik dimana angka
kejadiannya sekitar 4% pada pasien yang dirawat dengan sinusitis akut atau kronik.
Meskipun jarang, komplikasi ini dapat mengancam jiwa akibat komplikasi dari meningitis,
epidural empiema serta abses, trombosis sinus kavernosus, dan abses serebri.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai sinusitis dengan komplikasinya meliputi anatomi dan
fisiologi sinus paranasal, definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, pentalaksanaan
dan komplikasi sinusitis.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah unutk memahami mengenai anatomi dan fisiologi
sinus paranasal, definisi, etiologi, gejala klinik, patogenesis, diagnosis, pentalaksanaan dan
komplikasi sinusitis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.1,2 Rhinitis dan
sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada kebanyakan individu, sehingga
terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis. Rinosinusitis (termasuk polip nasi)
didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau
lebih gejala, salah satunya harus termasuk sumbatan hidung/ obstruksi nasi/ kongesti atau
pilek (sekret hidung anterior/ posterior)
- nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- penurunan/ hilangnya penghidu
dan salah satu dari
Temuan nasoendoskopi:
- Polip dan atau
- Sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau
- Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius
dan atau
Gambaran tomografi komputer:
- Perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus.3
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut parasinusitis.4
Tipe sinusitis :
- akut : sinusitis yang berlangsung kurang dari 30 hari
- sub akut : sinusitis yang berlangsung lebih dari 1 bulan tapi kurang dari 3 bulan
- kronik : sinusitis yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa
pengobatan
- rekuren : episode sinusitis akut 4 atau lebih per tahun selama 10 hari atau lebih
dan tidak adanya gejala klinis diantara episode
3
2.2 Anatomi Rongga Hidung dan Sinus Paranasal
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid, sinus
maksila, dan sinus sfenoid. Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-rongga udara yang
berlapis mukosa di dalam tulang wajah dan tengkorak. Pembentukannya dimulai sejak dalam
kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan
etmoid.4 Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun
dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25
tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter, dan tidak
memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8 hingga
10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan.1 Dinding lateral
nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama yaitu
pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan menjadi kokha inferior. Selanjutnya,
pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan
cara terbagi menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan
sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus kemudian mulai
berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus yang dihasilkan merupakan
struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara detail dalam penanganan sinusitis,
terutama sebelum tindakan bedah.4
. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. 2
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.5
4
Gambar 1. Anatomi sinus paranasal
1. Sinus Maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus
tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume
6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa.2,5
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasil
os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke haitus semilunaris melalui infundibulum etmoid.2
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
(M3), bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup
oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya
dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus,
hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini
5
dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan
pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.2,5
2. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.2
Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%
sinus frontalnya tidak berkembang.2,5
Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm,
dan isi rata-rata 6-7 ml.Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk
dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.2,5
3. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-
sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4
cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.2
6
Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior
ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus
frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.2,5
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sphenoid.2,5
4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan
evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan
lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan
dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun
sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15
tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi.
Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang
letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi
lainnya.5
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.2
Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral
7
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons.2,5
2.3 Fungsi sinus paranasal
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :2
1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang
lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya,
sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang
dilindungi.
3) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
4) Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi
antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
8
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
6) Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,
tempat yang paling strategis.
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi sinusitis
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, infeksi
bakteri, jamur, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil.
Faktor lokal seperti anomali kraniofasial, obstruksi nasal, trauma, polip hidung, deviasi
septum atau hipertrofi konka, sumbatan komplek osteomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, juga
dapat menjadi faktor predisposisi sinusistis. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor
penting penyebab terjadinya sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinositisnya. Faktor lain yang juga
berpengaruh adalah polusi udara, udara dingan dan kering serta kebiasaan merokok.2
2.5 Patogenesis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan.2
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-
bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.2
9
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.2
Gambar 2. Sinusitis Kronik
Gambar 3.
Patogenesis Sinusitis6
10
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga
timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari
penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan
interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid.
Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah
polip.2
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maxilla, nyeri dia antara atau di belakang ke dua bola mata
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri dirasakan di vertex, oksipital,
belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maxilla kadang-kadang ada nyeri alih
ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal
drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.2
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosis. Kadang-kadang hanya
1 atau 2 dari gejala-gejala yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke
paru seperti bronkitis, bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat
dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.2
a) Sinusitis akut
Umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang
melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut termasuk
Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella catarrhalis.
Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran napas atas oleh
virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, terdapat
transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri , yang bila
kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. 2
11
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama sinusitis akut ialah hidung
tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang sering sekali
turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat juga disertai gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena,
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga dirasakan di
tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi, gigi, dahi dan depan telinga menandakan
sinusitis maksila. Nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata dan pelipis
menandakan sinusitis etmoid. Nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis
frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola
mata dan daerah mastoid. Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia,
halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.2
Pada rinoskopi anterior tampak pus keluar dari meatus superior atau nanah di
meatus medius pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior,
sedangkan pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid tampak pus di meatus
superior. Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip). Pada
pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.2
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid
level) pada sinus yang sakit.2
Gambar 4. Pemeriksaan Radiologi untuk Sinus Paranasal
12
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
sekret dari meatus medius atau meatus superior. Lebih baik lagi bila diambil sekret
yang keluar dari pungsi sinus maksila. Dalam interpretasi biakan hidung, harus hati-
hati, karena mungkin saja biakan dari sinus maksilaris dapat dianggap benar, namun
pus tersebut berlokasi dalam suatu rongga tulang. Sebaiknya biakan dari hidung
depan, akan mengungkapkan organisme dalam vestibulum nasi termasuk flora normal
seperti Staphilococcus dan beberapa kokus gram positif yang tidak ada kaitannya
dengan bakteri yang dapat menimbulkan sinusitis.
Oleh karena itu, biakan bakteri yang diambil dari hidung bagian depan hanya
sedikit bernilai dalam interpretasi bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan mungkin
memberi informasi yang salah. Suatu biakan dari bagian posterior hidung atau
nasofaring akan jauh lebih akurat, namun secara teknis sangat sulit diambil. Sinuskopi
dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus
inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 2
b) Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris akut
berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan
pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi
terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga.
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi
dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau
busuk.2
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung, biasanya dari
meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam nasofaring. Sinus maksilaris
terasa nyeri pada palpasi dan perkusi. Transluminasi berkurang bila sinus penuh
cairan. Pada pemeriksaan radiologik foto polos posisi waters dan PA, gambaran
sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa, selanjutnya diikuti
opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat
akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level
yang khas akibat akumulasi pus.1
13
c) Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata
atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal
drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada pangkal
hidung.1,2
d) Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin
terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada
palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda
patognomonik pada sinusitis frontalis.2
e) Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks
kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu
gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.1
f) Sinusitis Kronis
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama
eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut; namun diluar masa itu, gejala
berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali
mukopurulen. Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala dibawah ini
yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke paru
seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasi, dan yang penting adalah serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis.1,2
14
Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor
predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang
menonjol. Pasien dengan sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering mengalami
hiposmia dan lebih sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan daripada yang tidak
memiliki polip nasi.
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.2
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah
adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid).2
1. Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan transluminasi.
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram atau gelap. Hal
ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah, karena akan nampak
perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit.
2. Pencitraan
Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu melihat sinus-sinus
besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas-batas
udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.2
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnostis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saar melakukan operasi sinus.2
3. Kultur
Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme penyebab,
maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari meatus medius, meatus superior,
atau aspirasi sinus.
15
4. Sinuskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksilaris dengan menggunakan endoskop. Endoskop
dimasukan melalui lubang yang dibuat dimeatus inferior atau fosa kanina.
Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan dalm sinus apakah ada sekret, polip, jaringan
granulasi, masa tumor dan kista bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostium terbuka. 2
Gambar 5. Pencitraan Sinus Paranasal Pada Posisi Waters
2.8 Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM
sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.2
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase maka dapat diberikan
amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik
diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.2
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob.2
16
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya
dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan
antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga
merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.2
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua
jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tidak radikal.2
Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat,
sinusitis kronik yang disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.2
FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY ( FESS )
Pioner dari FESS adalah Messerklinger dan Wigand pada akhir 1970 ,dimana saat ini
telah dikembangkan lebih jauh oleh para ahli bedah hidung dan sinus yang disertai dengan
semakin majunya perkembangan pencitraan sehingga pengertian akan anatomi dan
patofisiologi dari sinusitis kronik memungkinkan para ahli bedah untuk melakukan tindakan
operasi yang lebih kompleks dengan lebih aman.7
FESS adalah sebuah prosedur dengan menggunakan endoskopi nasal ( menggunakan
tekonologi lensa Hopkin ) melewati kavum nasi untuk menghindari sayatan pada kulit.
Endoskopi ini memiliki diameter 4mm ( untuk orang dewasa ) dan 2,7 mm ( untuk anak-anak
) dan memiliki sudut yang bervariasi dari 0°, 30°, 45°, 70°, 90° dan 120°. Memberikan
iluminasi yang baik di dalam kavum nasi dan sinus.
Senior et al melaporkan gejala membaik pada 66 dari 72 ( 91,6% ) pada pasien yang
mendapat ESS ( Endoscopic Sinus Surgery ) dengan follow-up selama 7.8 tahun. Juga
meningkatkan kualitas hidup sebanyak 85% dengan follow-up selama 31,7 bulan
Functional endoscopic sinus surgery (FESS) diberi nama demikian dengan tujuan
untuk membesarkan tujuan obejektif primer yaitu mengembalikan fungsi sinus paransal
17
dengan mengembalikan aerasi ke keadaan awal/normal dan pola bersihan mukosilia yang
seharusnya.
Indikasi
Indikasi terbanyak adalah pada penyakit inflamasi dan infeksi sinus. Indikasi tersering
untuk FESS adalah
1. Sinusitis Kronik yang refrakter terhadap terapi medikamentosa
2. Sinusitis berulang
3. Poliposis Nasal
4. Polip Antokoanal
5. Mukokel Sinus
6. Eksisi Tumor
7. Penutupan LCS yang merembes
8. Dekompresi Orbita ( seperti Graves oftalmopati )
9. Dekompresi Nervus Optikus
10. Dakriosistorinostomi
11. Reparasi Atresia Koana
12. Pengangkatan Benda Asing
13. Kontrol Epistaksis
Biasanya, FESS dilakukan pada pasien yang memiliki catatan rinosinusitis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik lengkap, termasuk CT-scan bila diperlukan
dan gagal terhadap terapi medikamentosa. 7
Kontraindikasi
Beberapa keadaan tidak memungkinkan dilakukannya tindakan endoskopi, yaitu pada
komplikasi intraorbita dari sinusitis akut seperti abses orbita , osteitis atau osteomielitis
tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester, paska operasi radikal dengan rongga
sinus yang mengecil (hipoplasia), Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes
mellitus, kelainan hemostasis yang tidak terkontrol, dan riwayat merokok juga merupakan
kontra indikasi relatif karena tingginya insidensi terbentuknya skar, jaringan granulasi, dan
rekurensi penyakit.
Persiapan Operasi
18
Sebelum dilakukan operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
jika ada tanda-tanda inflamasi maupun infeksi harus diatasi dahulu. Perlunya pemeriksaan
nasoendoskopi sebelum operasi untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasi
anatominya. Hal ini untuk memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan
komplikasi yang terjadi saat operasi, seperti meatus medius yang sempit karena deviasi
septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya.2,9
Preoperatif CT Scan8
Pencitraan CT harus slice setipis mungkin ( 3mm atau kurang ) dan potongan
koronal dan aksial yang dipakai. Evaluasi dilakukan pada 7 daerah,
1. Basis Kranium : analisa panjangnya, ketebalan, adakah erosi atau tidak, asimetri,
tinggi dan slope.
2. Dinding Medial Orbita : bukti penipisa, erosi atau protrusi isi orbita.
3. Arteri Etmoidalis Anterior : diidentifikasi kedudukannya terhadap basis kranium.
4. Tinggi Vertikal dari Etmoidalis Posterior : dapat di ukur dari inspeksi jarak atap sinus
maksilaris posteriormedial menuju basis kranium. Pasien dengan jarak vertikal yang
lebih pendek berisiko tinggi mengalami cedera intrakranial.
5. Sinus Maksilaris : apakah ada infraorbita sel udara etmoid ( Haller sel ), sisi medial
dilihat derajat protursi ke dalam kavum nasi dan resirkulasi / ostia aksesoris
6. Sinus Sfenoid : lokasi septum intersinus dan ukuran relatif kedua sisi. Resesus
frontaslis dan anatomi sinus.
Pemeriksaan pencitraan seperti Tomografi Komputer sinus paranasal
merupakan baku emas dalam tindakan BSEF. Hal ini diperlukan untuk
mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi
anatomi sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta
mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intrakranial. Konka-
konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks ostiomeatal dan
variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel Haller dan
lainnya perlu diketahui dan di identifikasi, demikian pula lokasi arteri etmoid anterior,
nervus optikus, dan arteri karotis interna penting diketahui.9
Gambar TK penting sebagai panduan yang akurat untuk operator saat melakukan
tindakan operasi. Berdasarkan gambar TK tersebut operator dapat mengetahui daerah-daerah
rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bisa bersikap lebih hati-hati untuk
menghindari komplikasi. Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan
19
beberapa sistem gradasi seperti staging Lund-Mackay. Sedangkan untuk menilai kedalaman
olfaktorius dipakai sistem kerose.9
Tahapan Operasi
Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di kompleks osteomeatal dengan
panduan endoskopi dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus besar yang sakit
secara alamiah. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat
sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Teknik operasi BSEF adalah
secara bertahap mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai
frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luasnya penyakit. Berikut ini
dijelaskan tahapan operasi yaitu : 1) Unsinektomi, 2) Antrostomi meatus medius, 3)
Etmoidektomi anterior, 4) Etmoidektomi posterior, 5) Sfenoidektomi, 6) Bedah sinus
frontal.10
Indikasi tahapan tersebut tergantung dari luasnya penyakit dan variasi anatomi. Cara
melakukan tahapan BSEF tersebut tergantung dari teknik operasi yang dikuasai operator dan
ketersediaan alat yang memadai. BSEF sebaiknya dilakukan dalam anestesi umum, sebelum
dilakukan pembedahan diberikan dekongestan terhadap hidung dengan menggunakan
oksimetazolin. Dinding lateral hidung di infiltrasi dengan menggunakan xylocain 1% dengan
epinefrin 1:100.000 pada anterior dari perlekatan konka media, anterior dari bagian inferior
prosesus unsinatus, bagian inferior dari konka media dan pertengahan dasar konka inferior.
Berikut tahapan operasi sebagai berikut: 10
Infundibulektomi dan Unsinektomi
Langkah pertama diperhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi
septum, konka bulosa, atau polip, koreksi atau angkat polip dahulu. Tidak setiap deviasi
septum dikoreksi kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan menggangu
prosedur endoskopik. Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit
dengan cara mengangkat prosesus unsinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka.
Selanjutnya ostium dinilai apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik.10
Unsinektomi atau infundibulotomi dilakukan dengan pisau sabit (sickle knife), dimulai
dari ujung atas perlekatan konka media pada dinding lateral hidung, insisi kearah inferior
menyusuri batas depan prosesus unsinatus selanjutnya ke posterior sejajar batas bawah
konka media. Prosesus unsinatus di luksasi dulu dengan ostium seeker, dengan cara
menyelipkan ujung bengkoknya ke bibir dalam prosesus unsinatus melalui hiatus semilunaris,
lalu tarik prosesus unsinatus ke medial, selanjutnya prosesus unsinatus dipotong dengan back
bitting. Tujuan unsinektomi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit sehingga
20
drainase dan ventilasi sinus maksila terbuka, membuka akses ke ostium sinus maksila dan
evaluasi ostium, apakah terbuka, tertutup, atau sempit, sehingga perlu diperlebar.10
Antrostomi meatus medius
Mengidentifikasi batas potongan prosesus unsinatus dan menariknya kearah medial
menggunakan ball-tipped seeker (ball point probe). Apabila ostium tidak terlihat pada bagian
lateral sisa prosesus unsinatus dilakukan penekanan pada fontanela posterior untuk melihat
adanya gelembung. Kemudian dilakukan reseksi pada sisa prosesus unsinatus menggunakan
forsep back bitting, kemudian memperluas antrostomi secara inferior dan posterior apabila
diperlukan. Antrostomi sebaiknya dilakukan setelah unsinektomi dan sebelum etmoidektomi,
karena identifikasi ostium lebih mudah jika masih ada bula etmoid. Setelah ostium tampak,
perhatikan bentuk dan besarnya, apakah perlu diperlebar. Kenali fontanela anterior dan
fontanela posterior, yaitu dinding medial sinus maksilaris disisi anterior dan posterior ostium
yang tidak mengandung tulang. Bila ada ostium asesori akan tampak di area ini.11
Penetrasi sinus maksilaris melalui meatus medius dimulai dengan hati-hati,
medialisasi konka media dengan menggunakan elevator freer, hati-hati fraktur tulang konka
media. Prosesus unsinatus di identifikasi dan hiatus semilunaris dan bula etmoid divisualisasi.
Prosesus unsinatus dapat dimedialisasi dengan ballpoint probe dan di insisi sepanjang insersi
dinding lateral hidung menggunakan sickle knife atau elevator sharp, kemudian forsep
blakesley digunakan untuk memobilisasi insersi bagian superior dan inferior prosesus
unsinatus dengan gerakan memutar.11
Sesudah mengangkat prosesus unsinatus, ostium alami sinus maksilaris akan terlihat
dan dipalpasi dengan ballpoint probe atau curved suction. Sinus maksilaris kemudian
diperlebar dengan forsep sharp cutting, bagian inferior, posterior dan anterior. Jika ada
ostium asesorius akan diperluas kearah posterior sehingga bersatu dengan ostium alami.
Ostium yang baru diameternya setidaknya lebih dari 1 cm akan mengurangi resiko stenosis
karena skar.11
Selanjutnya isi antrum dievaluasi dengan teleskop 30°, perhatian ditujukan pada
kondisi mukosa, apakah ada polip, kista dan lain-lain. Dapat dinilai juga gambaran kanal
jalan arteri dan nervus infraorbitalis di atap antrum. Jika ada ostium asesori, maka harus
disatukan dengan ostium asli, diperlebar hingga keduanya bersatu. Sebenarnya prosedur
pelebaran ostium ini tidak rutin dikerjakan kecuali ostium tersumbat oleh jaringan edema,
hipertrofi atau ada massa polip, jika perlu diperlebar dianjurkan ke arah anterior memotong
fontanela anterior dan ke arah posterior dengan memotong fontanela posterior.11
Etmoidektomi anterior
21
Apabila ditemukan sinusitis etmoid maupun polip, operasi dilanjutkan dengan
etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk resessus frontal jika ada sumbatan didaerah
ini dan jika disertai sinusitis frontal. Gunakan teleskop 0° sampai teridentifikasi daerah
mayor. Kemudian identifikasi dan membuka bula dengan menggunakan forsep atau
mikrodebrider. Identifikasi juga dinding orbital medial sedini mungkin saat dilakukan
prosedur. Dengan menggunakan teleskop 0° dinding anterior bula etmoid ditembus dan
diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel
etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis maka lamina basalis akan berada
dibelakang sinus lateralis ini.10
Etmoidektomi posterior
Apabila sudah memasuki etmoid posterior, maka teleskop secara perlahan ditarik agar
didapatkan pandangan keseluruhan dari lamina basalis. Lamina basalis tampak tipis keabu-
abuan, lamina basalis ditembus dibagian infero-medial untuk membuka sinus etmoid
posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya sel-selnya besar) diobservasi dan
jika ada kelainan sel-selnya dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan
dasar otak di identifikasi sebagai tulang keras yang letaknya agak horizontal. Saat diseksi di
sinus etmoid posterior, harus di ingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid yang sangat
berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskopi, ini adalah sel
Onodi. Sebaiknya hindari trauma pada daerah ini karena dapat terjadi trauma pada arteri
karotis interna dan nervus optikus.10
Sfenoidektomi
Teknik yang biasa dilakukan adalah sfenoidotomi bukan sfenodektomi, yaitu hanya
membuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Didalam sinus ada kanal nervus
optikus dan arteri karotis sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan, kebocoran
likuor atau perdarahan hebat. Sfenodektomi memerlukan perencanaan yang matang. Metode
paling aman untuk memasuki sfenoid adalah dari dalam sinus etmoid. Mengidentifikasi
meatus superior dan konka superior dengan meraba kearah medial diantara konka medius dan
superior. Kemudian dilakukan reseksi bagian inferior dari konka superior dengan
menggunakan forsep atau mikrodebrider. Raba ostium sinus sfenoid pada bagian medial
dimana konka superior direseksi. Pelebaran ostium dengan menggunakan Stammberger
mushroom punch dan Hajek rotating sphenoid punch.10
Bedah sinus frontal
Untuk memperbaiki drainase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal, resesus
frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam Blakesley
22
upturned dipandu endoskop 30°. Setelah sel-sel resesus frontal dibersihkan, ostium biasanya
langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan superior dari
prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada orbita maka drainase dan lokasi ostium ada
disebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar otak atau konka
media, maka drainase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan. Panduan ini terutama
diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel frontal dan variasi anatomi.12
Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan edema, polip,
sisa prosesus unsinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger nasi yang
meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra orbital sangat cekung
menyerupai kedalaman sinus frontal. Semua ini dibersihkan dengan cunam Blekesley
upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 30° dan 70°, dengan
memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar TK, serta mengingat lokasi drainase sinus
frontal. Adanya gelembung udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium yang
sebenarnya. Setelah resesus frontal dan infundibulum dibersihkan maka jalan ke sinus frontal
dan maksila sudah terbuka, drainase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di kedua
sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan
didalamnya.12
Pada operasi sesungguhnya perhatian ditujukan pada sinus frontal di gambaran TK,
disesuaikan dengan yang ditemukan saat operasi, agar tidak keliru menduga sel etmoid
supra/retro orbital sebagai sinus frontal. Pada TK harus tetap diperhatikan lengkung dasar
otak yang menghubungkan atap etmoid dengan lamina kribrosa. Lengkung ini (lamina
lateralis kribrosa) yang panjangnya bervariasi antara 3-16 mm dan sangat tipis, sehingga
rawan tembus ke intrakranial (ada 3 tipe bentuk lengkung atau disebut 3 tipe Kerose). 12
Perawatan Paska Operatif
Perawatan paska operatif bedah sinus endoskopi sangat penting dan berbeda setiap
individu. Penggunaan tamponasi (nasal packing) dianjurkan oleh beberapa peneliti sementara
beberapa peneliti lainnya tidak menganjurkan pemasangan tampon. Jika memakai tampon
harus diangkat antara 1-7 hari paska operasi atau rata-rata 2-3 hari untuk hemostat. Pada
beberapa kasus, tampon sebaiknya minimal bila intraoperatif dapat dikontrol perdarahannya.
Biasanya 1 minggu paska operatif kita mulai melakukan aspirasi sekresi luka dan melepaskan
atau mengangkat krusta dengan instrumen dibawah pandangan endoskopi dengan
menggunakan teleskop. Sebaiknya tidak ada trauma baru yang terjadi selama melakukan
prosedur ini. Biasanya kontrol endoskopi pertama paska operasi memberikan kesan apakah
memerlukan penanganan yang lebih sering dengan interval yang lebih pendek atau tidak.12
23
Operasi rongga hidung membutuhkan pembersihan sesudah pengangkatan
tampon, menggunakan cairan saline (NaCl 0,9%) untuk melembabkan bekuan darah
dan krusta-krusta akibat operasi. Semua pasien paska operatif endoskopi dilakukan
cuci hidung dan diberikan terapi medikamentosa dan follow up selama minimal 3
bulan. Penilaian gejala klinis dan pemeriksaan endoskopi dilakukan bervariasi dan
berbeda setiap individu dan dinilai setiap 2 minggu, 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan
paska operatif. Ada 2 situasi dimana dibutuhkan perawatan paska operasi yang lebih
panjang jika pembedahan pada resesus frontalis dan ostium sinus frontal, misalnya
terhalangi jaringan parut yang hebat oleh karena operasi sebelumnya karena adanya
massa. Untuk kasus ini perawatan paska operasi dengan interval yang pendek
dianjurkan untuk mencegah stenosis.12
Perawatan lokal terhadap mukosa termasuk debridemen krusta dibawah anestesi lokal,
juga untuk membuka sinekia jika mulai terbentuk dan suctioning ostium yang baru (neo
ostium). Edema mukosa hidung dan pembentukan jaringan granulasi dapat diterapi dengan
pemberian antibiotik dan kortikosteroid. Peri dan paska operatif pemberian antibiotik
sistemik tidaklah merupakan prosedur rutin operasi endonasal, tetapi di indikasikan pada
kasus-kasus infeksi purulen atau osteomyelitis. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat di
indikasikan pada kasus-kasus poliposis yang banyak pada beberapa hari paska operasi.12
Komplikasi
Seiring dengan kemajuan yang pesat dari teknik BSEF ini, para ahli juga banyak
melakukan penelitian mengenai komplikasi yang terjadi dari prosedur operasi ini.
Namun pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi
yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan
mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BSEF dapat
dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, periorbital atau orbital, intrakranial,
vaskular dan sistemik.12
Komplikasi intranasal seperti sinekia, yang merupakan masalah yang sering
timbul. Hal ini disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling berdekatan,
umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Selain itu komplikasi
lain adalah stenosis ostium sinus maksila, Kerusakan duktus nasolakrimalis.
Komplikasi periorbital atau orbital seperti edema kelopak mata, ekimosis,
emfisema, perdarahan retrobulbar, kerusakan nervus optikus dan gangguan
pergerakan bola mata. Sedangkan komplikasi intrakranial merupakan komplikasi
24
yang sering terjadi pada pemula. Kebocoran cairan serebrospinal selama prosedur
bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Komplikasi sistemik walaupun
jarang, namun dapat juga terjadi infeksi dan sepsis yang mungkin terjadi pada setiap
prosedur bedah. Pemakaian tampon hidung yang lama dapat menyebabkan toxic
shock syndrome (TSS).12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sinusitis merupakan inflamasi pada satu atau lebih dari cavitas sinus paranasal
yang disebabkan oleh alergi, virus, bakteri dan jamur. Sinusitis juga merupakan salah
satu penyakit yang berkaitan dengan infeksi saluran napas akut yang juga terjadi
akibat respon inflamasi yang terjadi akibat proses reaksi imunologi terhadap agen
pathogen walaupun dengan mekanisme yang berbeda.
Gejala sinusitis yang banyak dijumpai adalah gejala sistemik berupa demam
dan rasa lesu. Pada hidung terdapat secret kental yang kadang-kadang berbau dan
dirasakan mengalir ke nasofaring. Hidung tersumbat dan rasa nyeri di daerah sinus
yang terinfeksi serta kadang-kadang dirasakan juga di tempat lain akibat nyeri alih.
Tetapi pada sinusitis subakut, tanda-tanda radang akut demam, nyeri kepala hebat dan
nyeri tekan sudah reda. Sedangkan pada sinusitis kronis selain gejala-gejala di atas
sering ditemukan gejala komplikasi dari sinusitis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, pemeriksaan fisik, dan foto
rotngen sinus. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis , bisa dilakukan
pemeriksaan CT Scan
Terapi sinusitis diberikan medikamentosa berupa antibiotic selama 10-14 hari
meskipun gejala klinik telah hilang. Diberikan juga dekongestan sistemik dan
analgetik untuk menghilangkan nyeri
Daftar pustaka
1. Hilgher PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku Ajar
Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. hal 240-53
2. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi
6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; hal 170-3
3. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps. 2007
25
4. Quinn FB. Paranasal Sinus Anatomy and Function. 09 Januari 2009.Diunduh dari
www.utmb.edu/otoref/Grnds/Paranasal-Sinus-2002-01/Paranasal-sinus-2002-01.htm .
5. Ies P. Rhinosinusitis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. 2011.h1-
43
6. Netter, Frank H. A Collection Of Medical Illustration. Di unduh dari
www.netteri mages.com
7. Patel A. Article : Functional Endoscopic Sinus Surgery. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/863420-overview#showall. Accessed juli 20th
2015
8. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head and Neck Surgery-Otolaringology.4 thed.
USA: Lippincott William and Wilkins.2006
9. Hofmann E. Radiology of the nose and paranasal sinuses for the endoscopic sinus
surgeon. in: Rhinology and facial plastic surgery. Berlin: 2009:p 507-509
10. Lee JT, Kennedy DW, Bayle, Byron. Endoscopic sinus surgery In : Head and Neck
Surgery Otolaryngology. 4th ed. 2006 : p 460-475
11. Constantinidis J. Endonasal maxillary sinus surgery. in: Rhinology and facial plastic
surgery. Berlin: 2009:p 554-557
12. Stammberger MD. Tehnic Messerklinger in FESS. Endoscopic diagnostic and surgery of
the paranasal sinuses and anterior skull base. University Ear, Nose and Throat hospital.
Graz. Austria.1996:p 54-55
26
27