REFERAT SARAF
-
Upload
brilliantine-ch -
Category
Documents
-
view
216 -
download
1
description
Transcript of REFERAT SARAF
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Aneurisma didefinisikan sebagai suatu pelebaran atau dilatasi dari pembuluh
darah. Bentuk yang paling sering dari aneurisma intrakranial adalah aneurisma arterial
sakuler yang merupakan proses degeneratif progresif yang mengenai dinding arteri.
Ruptur aneurisma sakuler merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan sering
didapatkan. Berdasarkan hasil otopsi dan pemeriksaan angiografi, sekitar 5% sampai
6% individu memiliki aneurisma intrakranial. Rasio antara aneurisma yang ruptur
dengan yang tidak ruptur berkisar antara 5:3 sampai 5:6. Prevalensi aneurisma rendah
selama 2 dekade pertama kehidupan dan meningkat setelah dekade ketiga. Hanya 2%
aneurisma yang muncul pada masa kanak-kanak.
2.2 Klasifikasi
Proses aneurisma pada arteri yang memperdarahi susunan saraf pusat dapat
diklasifikasikan berdasarkan bentuknya (sakuler, fusiform dan dissecting), ukurannya
(non-giant atau giant, dengan diameter maksimal > 2,5 cm), tipe pembuluh darah
(arteri atau vena), penyebabnya (didapat atau familial/genetik), proses penyakit yang
mendasarinya (infeksi traumatik, inflamasi, neoplastik) dan lokasinya (intrakranial,
basis kranii, ekstrakranial, spinal dan sistemik). Klasifikasi yang lebih detail
dijelaskan di bawah ini.
Klasifikasi Aneurisma Pada Susunan Saraf Pusat.
1. Acquired (biasanya bentuk sakuler)
a. Tidak berhubungan dengan penyakit sistemik
b. Berhubungan dengan penyakit sistemik
(i). Aneurisma intracranial familial
(ii). Penyakit ginjal polikistik
(iii). Koarktasio aorta
(iv). Displasia fibromuskuler
(v). Penyakit genetik yang jarang: Marfan’s, Ehler-Danlos, teleangiektasia
Hemoragik, herediter, Anderson-Fabry.
2. Aneurisma khusus
A. Non sakuler
a. Fusiform
b. Dissecting
c. Traumatik
d. Infektif :
i. Bacterial
ii. Fungal
iii. Spirochetal
iv. Amebic
e. Inflamasi
i. Lupus eritematosus
ii. Poliarteritis nodosa
iii. Aortitis
iv. Arteritis giant-cell
v. Arteritis non-spesifik
f. Neoplastik
g. Metastatik
i. Contiguous infiltrative
ii. iii. Berhubungan dengan tumor
h. Mikroaneurisma intraparenkimal (Charcot-Bouchard)
i. Aortik
B. Sakuler
a. Spinal
b. Giant
2.3 Patogenesis dan Etiologi
Aneurisma sakuler biasanya terbentuk pada bifurkasio arteri. Secara khusus
aneurisma mudah terbentuk pada bifurkasio dengan cabang kecil yang hipoplastik dan
bifurkasio dengan sudut yang tajam. Sekitar 90% aneurisma terjadi pada arteri-arteri
di sirkulasi anterior. Tempat-tempat pada sirkulasi anterior yang sering terkena
termasuk perbatasan antara arteri komunikans anterior dan arteri serebri anterior,
bifurkasio arteri serebri media dan perbatasan arteri karotis interna dengan arteri
oftalmika, arteri komunikans posterior, arteri khoroidalis anterior dan arteri serebri
media. Sedangkan pada sirkulasi posterior, apex arteri basilaris dan arteri vertebralis
intrakranial merupakan tempat yang sering terkena. Multipel aneurisma terdapat pada
sekitar 14%-24% pasien dan lebih sering pada wanita. Arteri intrakranial lebih rentan
daripada arteri ekstrakranial untuk mengalami aneurisma karena dindingnya lebih
tipis, mengandung lebih sedikit elastin pada tunika media dan adventisia, tunika
media memiliki sel otot lebih sedikit dan tidak didapatkan lamina elastika eksterna.
Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa pembuluh darah otak besar yang berjalan di
ruang subarakhnoid memiliki jaringan penyokong eksternal yang lebih kecil.
Ferguson menyatakan bahwa aneurisma serebral terjadi akibat degenerasi arteri yang
diinduksi proses mekanik. Stres hemodinamik maksimal terjadi pada apex dan
bifurkasio arteri. Ketidakseimbangan antara kekuatan arteri pada bifurkasio utama dan
stress hemodinamik yang terjadi padanya menyebabkan degenerasi lamina elastika
interna dan pembentukan aneurisma.Turbulensi aliran pada aneurisma dan daerah di
sekitarnya menghasilkan getaran pada dinding pembuluh darah yang selanjutnya
mengakibatkan kelemahan integritas struktur pembuluh darah dan akhirnya
menyebabkan perkembangan aneurisma. Pembentukan atheroma pada pembuluh
darah juga berkontribusi menyebabkan kelemahan dinding pembuluh darah dan
akselerasi pembentukan aneurisma. Stres pada dinding pembuluh darah meningkat
seiring makin tipisnya aneurisma, radius aneurisma yang semakin besar dan tekanan
pada aneurisma yang semakin besar karena peningkatan tekanan darah. Ketika stres
pada dinding pembuluh darah melebihi kekuatannya maka terjadilah ruptur
aneurisma.
Etiologi aneurisma dapat karena adanya predisposisi kongenital (seperti defek
pada tunika muskularis dari dinding arteri), proses aterosklerosis (karena hipertensi),
emboli (seperti pada miksoma atrial), infeksi (mycotic aneurysms), traumatik dan
kondisi lainnya. Aneurisma dapat ruptur kapan saja tetapi terutama pada saat tekanan
darah atau aliran darah meningkat. Ruptur sering terjadi saat melakukan aktivitas
berat seperti mengangkat beban, latihan, berhubungan badan, defekasi dan melakukan
pekerjaan berat. Walaupun begitu aneurisma juga dapat ruptur pada saat sedang
beristirahat atau tidur. Semakin besar ukuran aneurisma maka semakin besar
kemungkinannya untuk ruptur. Aneurisma yang berdiameter lebih dari 10 mm lebih
besar kemungkinannya untuk ruptur daripada aneurisma yang berdiameter lebih kecil.
Titik pada aneurisma yang paling sering mengalami ruptur adalah pada apex. Sebelum
ruptur, aneurisma jarang menimbukan gejala klinis kecuali bila terdapat tekanan pada
struktur susunan saraf pusat, iritasi pada otak atau duramater dan hambatan aliran
darah.
Aneurisma yang berukuran lebih dari 2,5 cm biasanya disebut giant aneurysm.
Giant aneurysm sering mengandung trombus pada lumen arterinya. Faktor-faktor
yang menyebabkan penurunan aliran darah pada aneurisma seperti vasospasme pada
feeding artery mempercepat pembentukan trombus intraaneurisma. Embolisasi dari
trombus intraaneurisma juga dapat terjadi. Telah dilaporkan 20 kasus transient
ischemic attack akibat emboli aneurisma dimana lokasi yang paling sering untuk
mengalami embolisasi ini adalah arteri serebri media (2/3 kasus) dan arteri karotis
interna (1/3 kasus).
2.4 Gambaran Histologis.
Dinding arteri intrakranial yang normal terdiri atas satu lapisan endotel,
lamina elastika interna, tunika media yang mengandung beberapa lapisan muskularis
dan tunika adventisia. Sebaliknya aneurisma mengandung satu lapisan endotel dan
sebagian besar dindingnya dibentuk oleh jaringan fibrohialin yang dibungkus oleh
lapisan adventisia. Pada umumnya deposit fibrin dan infiltrasi leukosit ditemukan
pada dinding aneurisma.
2.5 Gejala Kinis.
Aneurisma dapat menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak di dekatnya
atau kompresi saraf kranial. Giant aneurysm terutama paling sering menimbulkan
gejala dan tanda defisit neurologis fokal sehubungan dengan efek massa. Giant
aneurysm pada arteri serebri media dapat menimbulkan bangkitan, hemiparesis atau
disfasia. Aneurisma pada perbatasan antara arteri karotis interna dan arteri
komunikans posterior atau pada arteri serebelaris superior dapat menyebabkan
penekanan pada nervus ketiga. Giant aneurysm pada arteri serebelaris superior dapat
menyebabkan penekanan pada traktus piramidalis di mesencephalon sehingga terjadi
hemiplegia kontralateral (sindrom Weber).
Pada sinus kavernosus, aneurisma dapat menimbulkan penekanan pada nervus
kranialis ketiga, keempat dan keenam yang mengakibatkan oftalmoplegia. Aneurisma
pada arteri oftalmika dapat menyebabkan neuropati nervus optikus karena efek
kompresifnya sehingga mengakibatkan visual loss. Nyeri pada wajah sesuai distribusi
nervus oftalmika dan maksilaris yang menyerupai gejala trigeminal neuralgia dapat
terjadi pada aneurisma intrakavernosus atau supraklinoid. Waktu rata-rata dari mulai
timbulnya gejala kelumpuhan saraf kranial sampai ke perdarahan subarakhnoid
sekitar 110 hari. Aneurisma suprasellar dapat mengakibatkan gangguan endokrin
karena kompresi kelenjar hipofisis. Perdarahan kecil (sentinel/warning hemorrhage)
dapat menimbulkan nyeri kepala hebat (yang digambarkan sebagai “the worst
headache in my life”) dengan onset mendadak. Warning headache ini dapat juga
terjadi tanpa adanya perdarahan dan disebabkan pembesaran aneurisma. Waktu rata-
rata dari mulai timbulnya nyeri kepala ini sampai perdarahan subarakhnoid sekitar 10
hari. Muntah dan penurunan kesadaran sering menyertai nyeri kepala ini. Infark kecil
(transient ischemia) karena embolisasi di bagian distal pembuluh darah akibat
lepasnya trombus intraaneurisma dapat menimbulkan gejala amaurosis fugax dan
hemianopsia homonim. Waktu rata-rata dari saat timbulnya transient ischemia sampai
ke perdarahan subarakhnoid sekitar 21 hari.
2.6 Komplikasi Ruptur Aneurisma.
2.6.1 Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi apabila pembuluh darah yang terletak di
dekat permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang
subarakhnoid. Arteri yang terdapat di bagian basis otak dan berjalan melewati ruang
subarakhnoid merupakan tempat yang paling sering mengalami pembentukan
aneurisma sehingga apabila aneurisma tersebut ruptur maka aliran darah yang pertama
kali biasanya menuju sistem kavernous yang dibentuk oleh arakhnoid. Jumlah darah
yang mengalir ke ruang subarakhnoid ditentukan oleh ukuran awal ruangan tersebut,
brain compliance, tekanan darah, tingkat pembekuan darah dan faktor hemodinamik
lainnya. Perdarahan subarakhnoid yang masif dapat menghasilkan volume perdarahan
hingga 150 ml. Volume perdarahan yang lebih besar dapat mengancam jiwa pasien.
Proses perdarahan berhenti ketika tekanan intrakranial melebihi tekanan intraarterial
dan terjadi proses pembekuan. Gejala klinis perdarahan subarakhnoid biasanya sangat
berat dengan onset yang sangat mendadak. Untuk menilai derajat klinis pasien dengan
perdarahan subarakhnoid digunakan skala Hunt and Hess. Skala ini sangat berguna
untuk memperkirakan prognosis jangka pendek dan panjang. Semakin tinggi derajat
skala pasien maka prognosisnya semakin buruk.
Tabel 2. Klasifikasi Hunt and Hess.
Grade I Asimptomatik atau nyeri kepala minimal dan kaku kuduk ringan
Grade IINyeri kepala sedang sampai berat, kaku kuduk (+), tak ada defisit
neurologis selain kelumpuhan saraf kranial
Grade III Drowsiness, confusion atau defisit fokal ringan
Grade IVStupor, hemiparesis sedang sampai berat, bisa didapatkan
rigiditas deserebrasi awal dan gangguan vegetatif
Grade V Koma dalam, rigiditas deserebrasi
2.6.2 Reaksi Meningeal.
Dalam beberapa jam setelah perdarahan subarakhnoid akan terjadi
pengeluaran leukosit polimorfonuklear yang diikuti oleh limfosit dan fagosit
mononuklear. Respon seluler ini akan bertahan selama sel darah merah dan produk-
produk hasil degradasinya masih terkumpul di ruang subarakhnoid. Sehubungan
dengan proses pembekuan, eritrosit akan dikelilingi oleh serat-serat fibrin yang
kemudian bergabung membentuk gambaran sarang tawon di sekitar eritrosit
tersebut.Fagositosis pertama kali terjadi pada 24 jam setelah perdarahan. Bukti dari
percobaan menunjukkan bahwa fagosit yang ada dihasilkan oleh selsel datar yang
melapisi ruang subarakhnoid secara normal. Darah juga akan menyebabkan distensi
villi arakhnoidalis. Secara bertahap debris akan dibuang setelah 2-3 minggu.
Kemungkinan besar respon meningeal yang terjadi disebabkan oleh oksihemoglobin
dan bilirubin.
2.6.3 Reaksi Serebral Umum.
Dalam keadaan normal 78% volume otak terdiri dari air yang akan meningkat
jumlahnya pada perdarahan sehubungan volume darah yang dilepaskan. Kandungan
air yang bertambah pada otak dapat diakibatkan oleh proses vasogenik (peningkatan
permeabilitas sel endotel kapiler otak) dan sitotoksik (kerusakan seluler langsung
akibat iskemia dan anoksia). Selain itu juga akan terjadi peningkatan volume darah
serebral yang mungkin diakibatkan paralisis vasomotor yang diinduksi oleh iskemia
akut setelah ruptur aneurisma. Sebagai konsekuensi dari edema dan pembengkakan
otak maka dapat terjadi pergeseran garis tengah (midline shift).
2.6.4 Perdarahan Intraserebral.
Perdarahan intraserebral primer terjadi pada 20-40% kasus ruptur aneurisma.
Dari semua perdarahan intraserebral yang berukuran > 3 cm, 20% diantaranya
disebabkan aneurisma. CT-Scan dapat membantu kita untuk membedakan perdarahan
intraserebral yang disebabkan hipertensi dengan ruptur aneurisma. Perdarahan di
talamus dan nukleus kaudatus hampir selalu disebabkan hipertensi sedangkan
perdarahan kalosal hampir selalu disebabkan oleh ruptur aneurisma. Di sisi lain,
ruptur aneurisma juga dapat menghasilkan gambaran perdarahan seperti yang
disebabkan oleh hipertensi. Lebih dari setengah kasus perdarahan akibat ruptur
aneurisma terjadi sekunder dari perdarahan subarakhnoid yang masuk ke otak. Tetapi
sebagian besar perdarahan intraserebral akibat ruptur aneurisma terjadi pada sistem
ventrikel. Dalam hubungannya dengan pemulihan neurologis, pasien dengan
perdarahan dilobus temporal akan mengalami pemulihan lebih baik dibandingkan
pasien dengan perdarahan di lobus parietal. Ukuran hematom berhubungan lurus
dengan kemungkinan terjadinya vasospasme. Volume perdarahan yang besar
berhubungan dengan resiko herniasi yang lebih besar. Lebih dari 40% ruptur
aneurisma berlokasi di lobus frontal dan temporal, 10% lainnya berlokasi di lobus
parietal dan paling jarang berlokasi di serebelum. Angka mortalitas paling tinggi pada
perdarahan di lobus parietal. Pada suatu penelitian besar didapatkan bahwa 54%
aneurisma yang menyebabkan perdarahan intraserebral terdapat di arteri serebri
media, 25% di arteri serebri anterior, 15% di arteri karotis interna, 5% di perikalosal
dan hanya 1% pada sistem vertebrobasiler. Perdarahan di lobus frontal sangat
mungkin berasal dari ruptur aneurisma pada arteri serebri anterior dan perikalosal,
perdarahan temporal dari arteri serebri media atau arteri karotis interna dan
perdarahan parietal dapat berasal dari arteri serebri anterior atau arteri serebri media.
2.6.5 Perdarahan Intraventrikuler.
Perdarahan intraventrikuler ditemukan pada 13-28% kasus ruptur aneurisma.
Prognosis biasanya lebih buruk pada kasus dengan perdarahan intraventrikuler (angka
kematian mencapai 64%). Ukuran ventrikel saat datang ke rumah sakit merupakan
faktor prognostik yang sangat penting. Semakin besar ukuran ventrikel maka
prognosisnya semakin buruk. Aneurisma pada arteri komunikans anterior
menyebabkan perdarahan intraventrikuler akibat ruptur lamina terminalis ke bagian
anterior ventrikel ketiga atau ventrikel lateralis. Aneurisma pada arteri basilaris distal
dapat ruptur ke arah lantai ventrikel ketiga. Aneurisma pada arteri serebelaris inferior
posterior dapat ruptur langsung ke ventrikel keempat melalui foramen Luschka.
Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan intraventrikuler yaitu arteri
serebri anterior (40%), arteri karotis interna (25%), arteri serebri media (21%) dan
pada sistem vertebrobasiler (14%).
2.6.6 Perdarahan Subdural.
Hanya 1-2% ruptur aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural.
Hampir setengah kasus dengan perdarahan subdural berakhir dengan kematian karena
efek massa. Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural menurut
studi literatur yaitu arteri karotis interna (36%), arteri serebri media (33%), arteri
serebri anterior (25%) dan pada sistem vertebrobasiler (6%). Pada hampir separuh
kasus didapatkan perdarahan subhyaloid. Faktor prognostik yang buruk yaitu midline
shift yang besar dan volume perdarahan yang besar. Mayoritas pasien adalah wanita
dengan aneurisma di bagian proksimal arteri karotis.
2.6.7 Vasospasme dan Infark.
Ruptur aneurisma dapat menyebabkan deposit bekuan darah dalam jumlah
banyak pada bagian adventisia arteri di bagian basal otak yang sering mengakibatkan
konstriksi arteri jangka panjang dengan onset tertunda yang disebut sebagai
vasospasme. Penyebabnya kemungkinan adalah pelepasan oksihemoglobin dalam
konsentrasi tinggi sebagai hasil degradasi eritrosit. Oksihemoglobin akan
mempengaruhi fungsi platelet derived growth factor yang dilepaskan platelet yang
menempel pada dinding arteri dan endothelial derived relaxing factor serta komponen
kaskade pembekuan terutama trombin, plasmin dan fibrinogen sehingga terjadi
kontraksi abnormal atau kegagalan relaksasi sel otot polos arteri. Vasospasme yang
berat dapat menimbulkan oklusi pembuluh darah dan iskemia di bagian distalnya.
Sekitar 2/3 pasien dengan ruptur aneurisma akan menunjukkan vasospasme derajat
sedang sampai berat pada angiografi yang dilakukan 1 minggu atau segera setelah
perdarahan awal. Sekitar setengah pasien akan menunjukkan gejala klinis dari iskemia
yang tertunda. Waktu terjadinya hal ini akan bergantung pada beberapa faktor seperti
usia, tekanan perfusi, anatomi sirkulasi anterior dan faktor lainnya. Angka kematian
akibat fenomena ini telah banyak menurun dengan menghindari dehidrasi dan
penggunaan zat anti fibrinolitik. Sebagai tambahan, penggunaan antagonis kalsium
dan penerapan metode hipertensi/hipervolemia menghasilkan efek yang
menguntungkan. Insidensi infark serebral tercatat sekitar 30% dari kasus ruptur
aneurisma. Sebagai catatan, infark serebri dapat disebabkan oleh tindakan bedah,
kompresi oleh hematom atau efek angiografi.
Perubahan histologis pada dinding pembuluh darah karena vasospasme adalah
penebalan karena interdigitasi progresif dari sel otot. Hal ini dapat mengganggu
metabolisme dan nutrisi pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi perubahan
nekrotik pada sel otot polos. Selain itu akan terjadi degenerasi pleksus neuralis
periadventisial.
2.6.8 Hidrosefalus.
Dilatasi ventrikel terjadi dalam beberapa hari setelah perdarahan subarakhnoid
pada seperlima kasus. Beberapa pasien akan mengalami pelebaran ventrikel kronis.
Gambaran CT-Scan yang khas pada keadaan ini adalah dilatasi kornu temporal dan
edema periventrikuler (yang menunjukkan adanya edema interstisial). Biasanya antara
5-15% pasien akan membutuhkan ventriculo-peritoneal shunt kronis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper. AH, Brown R. Cerebrovascular Disease in: Adams and Victor's Principles of
Neurology; 8th edition; McGraw-Hill Companies; 2005.
2. Bradley WG, Daroff RB. Neurology In Clinical Practice; 4th edition; Elsevier Inc;
2004.
3. Caplan LR. Subarachnoid Hemorrhage, Aneurysms and Vascular Malformations
In:Stroke A Clinical Approach; 4th edition; Saunders Elsevier; USA; 2009.
4. Warlow CP. Stroke A Practical Guide To Management; 1996; Blackwell Science Ltd.
5. Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated; 4th edition; Churchill
Livingstone; 2004.
6. Greenberg MS. Cerebral Aneurysms In: Handbook of Neurosurgery; 6th edition;
Thieme; New York; 2006.
7. Weir BK, Findlay JM, Mielke BW. Pathology of Aneurysms and Vascular
Abnormalities Affecting the Central Nervous System.