Referat Pcs

41
Referat POST CONCUSSION SYNDROME Oleh Gita Pramadewi Fitriani I1A004017 Pembimbing Dr. Lily Runtuwene, Sp. S BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT SARAF FK UNLAM - RSUD ULIN

description

Cedera akibat benturan pada kepala sering muncul sebagai keluhan subjektif. Postconcussion Syndrome juga dapat disebabkan oleh karena masalah ekonomi atau masalah psikologis. Penulis ingin menjelaskan patologi tentang trauma kepala, gejala dari postconcussional syndrome, dan kriteria diagnosis. Sebagai tambahan, sering dijumpai defisit somatis, psikologis dan masalah kogitif yang menyertai. Penderita dan tingkat keparahan dari postconcussional syndrome lebih besar pada wanita. Kepura-puraan dapat diduga pada kasus yang melibatkan perkara dan tersedia tes untuk mendeteksinya. Perawatan untuk postconcussional syndrome tergantung pada gejala spesifik. Obat-obatan dapat membantu, tapi harus berhati-hati dalam pemberian obat yang dapat menganggu dan berefek pada SSP

Transcript of Referat Pcs

Page 1: Referat Pcs

Referat

POST CONCUSSION SYNDROME

Oleh

Gita Pramadewi Fitriani

I1A004017

Pembimbing

Dr. Lily Runtuwene, Sp. S

BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT SARAF

FK UNLAM - RSUD ULIN

BANJARMASIN

Agustus 2009

Page 2: Referat Pcs

BAB I

PENDAHULUAN

Spektrum cedera traumatik pada otak bervariasi dari cedera ringan dan

kadang-kadang tak disadari sampai cedera berat dengan morbiditas dan mortalitas

yang nyata. Angka kejadian pasti dari cedera kepala sulit ditentukan karena berbagai

faktor, misalnya sebagian kasus-kasus yang fatal tidak pernah sampai ke RS, dilain

pihak banyak kasus yang ringan tidak datang pada dokter kecuali bila kemudian

timbul komplikasi. Dari penelitian di Skotlandia dan Kanada ditemukan bahwa

perbandingan pasien cedera kepala yang tidak dirawat di RS terhadap pasien yang

dirawat adalah 4-5 : 11.

Insiden cedera kepala yang nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat

diperkirakan 480.000 kasus pertahun (200 kasus/100.000 orang), yang meliputi

concussion, fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial, laserasi otak, hematoma dan

cedera serius lainnya. Dari total ini 75-85% adalah concussion dan sekuele cedera

kepala ringan. Cedera kepala paling banyak terjadi pada laki-laki berumur antara 15-

24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan kendaraan bermotor. Menurut Rimer et al

dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55% diobati

untuk cedera kepala ringan (minor)1.

Banyak pasien-pasien dengan cedera ringan yang datang kedokter untuk

pertama kalinya karena gejala yang terus berlanjut, dikenal sebagai sindroma

postconcussion. Berdasarkan informasi statistik yang diketahui, masalah cedera

kepala ringan adalah gangguan sekuele pasca trauma dan dengan akibat gangguan

produktivitas1.

1

Page 3: Referat Pcs

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Cedera akibat benturan pada kepala sering muncul sebagai keluhan subjektif.

Postconcussion Syndrome juga dapat disebabkan oleh karena masalah ekonomi atau

masalah psikologis. Penulis ingin menjelaskan patologi tentang trauma kepala, gejala

dari postconcussional syndrome, dan kriteria diagnosis. Sebagai tambahan, sering

dijumpai defisit somatis, psikologis dan masalah kogitif yang menyertai. Penderita

dan tingkat keparahan dari postconcussional syndrome lebih besar pada wanita.

Kepura-puraan dapat diduga pada kasus yang melibatkan perkara dan tersedia tes

untuk mendeteksinya. Perawatan untuk postconcussional syndrome tergantung pada

gejala spesifik. Obat-obatan dapat membantu, tapi harus berhati-hati dalam pemberian

obat yang dapat menganggu dan berefek pada SSP2.

Fakta bahwa benturan pada kepala akan menganggu kesehatan seseorang telah

diketahui sejak dahulu kala. Muncul kontroversi di berbagai bidang akademik dan

klinik selama bertahun-tahun telah mencoba mencari jawaban dari pertanyaaan

berikut : Kekuatan sebesar apa yang mampu mencederai kepala? Bagaimana

manifestasinya? Dan apa yang diharapkan bila setelah cedera tersebut terjadi?.

Sebagai tambahan, sebagian besar kondisi berupa keluhan subjektif, apakah efek dari

cedera tersebut didramatisir atau pura-pura akibat masalah psikologis primer atau

sekunder? Pada tahun 1866, kontroversi ini mulai terjawab ketika Erichsen

mempublikasikan hasil tentang pasien yang mengeluh hal yang sama terus menerus

setelah mengalami cedera kepala sedang. Dia mengemukakan bahwa gangguan

tersebut karena “perubahan molekuler” pada saraf tepi yang diinduksi oleh trauma.

2

Page 4: Referat Pcs

Karena kebanyakan gangguan ini terjadi akibat pekerjaan membangun jalur kereta

Prussian, kondisi tersebut dinamakan “railroad spine”. Pada tahun 1879, Rigler

menolak konsep tersebut dan mengajukan pendapat bahwa cedera tersebut karena

“kompensasi neurosis”. Dia berpendapat bahwa alasan meningkatnya kecacatan

jangka panjang akibat dari cedera kepala ringan merupakan awal dari kompensasi dari

cedera pada pekerja rel kereta Prussian. Charcoat kemudian mengajukan pendapatnya

bahwa keluhan jangka panjang dari cedera kepala sedang akibat dari histeria dan

neurasthenia (misalnya kelelahan dan kebingungan yang disebabkan faktor

psikologis). Pada tahun 1934, diagnosis dari “railroda spine”, “kompensasi neurosis”,

dan “hysteria” disamakan dengan nama diagnosis “postconcussional syndrome”.

Sayangnya, perubahan pada nomenklatur hanya berpengaruh sedikit dalam menjawab

pertanyaan tentang keadaan sebenarnya dari kondisi tersebut, patofisiologi, prognosis,

dan faktor psikologis lainnya (misalnya akibat primer dan sekunder)2.

A. Definisi

Post concussion syndrome atau post concussive syndrome (PCS) dulu dikenal

dengan shell shock, adalah sekelompok gejala yang di alami seseorang, setelah

seminggu, sebulan atau bahkan setahun setelah suatu trauma (gegar) ringan dari

trauma otak (traumatic brain injury / TBI). PCS juga bisa terjadi pada trauma otak

sedang dan berat. Gejala-gejala PCS biasanya didiagnosis pada orang yang

menderita TBI, dan 38-80% biasanya terjadi pada trauma kepala ringan. Diagnosis

dibuat berdasarkan gejala yang ditimbulkan dari riwayat trauma 3 bulan setelah

mendapat trauma yang terakhir, bisa juga didiagnosis dalam hitungan minggu

bahkan 10 hari setelah trauma. Pada trauma yang sudah lama terjadi (late,persistent

3

Page 5: Referat Pcs

atau prolonged PCS / PPCS), biasanya didiagnosis setelah menderita 3-6 bulan

setelah terjadi trauma3,4.

Sindroma postconcussion adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri

kepala, pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah, ansietas, gangguan memori,

menurunnya konsentrasi dan insomnia, yang merupakan sekuele setelah cedera

kepala ringan tertutup. Istilah lain yang digunakan untuk keadaan ini adalah post

traumatic instability, post traumatic headache, traumatic neurasthenia,traumatic

psychasthenia, post traumatic syndrome. Yang dimaksud dengan cedera kepala

ringan adalah suatu trauma yang terjadi dengan gangguan kesadaran sesaat atau

gangguan fungsi neurologik lain (misalnya memori, penglihatan) dengan GCS 13-

151,5.

Postconcussional syndrome secara umum didefinisikan sebagai kondisi yang

muncul setelah cedera kepala yang berakibat defisit pada tiga area fungsi SSP : 1)

somatik (neurologis-umumnya berupa nyari kepala, kecenderungan merasa cepat

lelah), 2) psikologis (perubahan afek, kurangnya motivasi, ansietas, atau emosi yang

labil), 3) kognitif (kelemahan dalam mengingat, perhatian dan konsentrasi) (Tabel 1)2

4

Page 6: Referat Pcs

Postconcussional syndrome sulit didefinisikan secara medis, karena gejalanya

berupa keluhan subjektif. Muncul beberapa kriteria diagnosis, yang bentuk oleh

spesialisasi dari dokter yang merawat (neurologis, psikiater, rehabilitasi medik dan

lain-lain), lokasi klinis pasien tersebut diperiksa (IGD, rumah sakit, evaluasi forensik

dan lain-lain) dan ada atau tidaknya penerapan kriteria yang lebih teliti. Penelitian

menunjukkan bahwa gejala postconcussional umumnya muncul dalam 38 sampai

80% orang yang mengalami cedera kepala ringan (Tabel 2)2.

5

Page 7: Referat Pcs

The American Psychiatric Association’s (APA’s) kriteria untuk gangguan

postconcussional, yang masih dalam tahap penelitian, menentukan bahwa adanya

“gangguan fungsi kognitif yang didapat, diikuti dengan gejala perilaku neurologis,

yang muncul sebagai konsekuensi dari cedera kepala tertutup dengan tingkat

keparahan yang cukup untuk menyebabkan terjadinya gangguan serebral yang

signifikan (Tabel 3). APA mencatat bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk

menentukan batas yang jelas terhadap tingkat keparahan cedera kepala tertutup,

namun menyarankan setidaknya dua dari tiga hal harus terdapat, yaitu sebagai

berikut : “1) periode tidak sadar yang berlangsung lebih dari 5 menit, 2) periode

amnesia postrauma yang berlangsung selama lebih dari 12 jam setelah cedera kepala

tertutup, 3) onset baru berupa kejang (atau kejang yang semakin memburuk pada

pasien yang mempunyai riwayat kejang) yang muncul dalam 6 bulan pertama setelah

cedera kepala tertutup. APA juga memerlukan adanya “gangguan kognitif untuk

menentukan perhatian (konsentrasi, memindahkan fokus perhatian, menjalankan tes

kognitif yang berulang-ulang) yang harus terdapat jelas gejalanya. Sebagai tambahan

dari gangguan kognitif, tiga atau lebih gejala sebagai berikut harus ada terus menerus

setidaknya dalam 3 bulan setelah cedera kepala tertutup : mudah lelah, gangguan

tidur, nyeri kepala, vertigo atau pusing, mudah tersinggung atau mudah marah,

depresi, ansietas, atau afek labil, kurang spontan atau apatis; atau perubahan perilaku

(seperti perubahan perilaku sosial atau seks yang tidak pantas). Kriteria ini juga

memerlukan bahwa gejala kognitif, somatik atau gejala perubahan perilaku yang

muncul setelah trauma kepala mengalami perburukan gejala atau keluhan dan harus

disertai dengan penurunan yang signifikan dari fungsi sosial dan pekerjaan dan

menunjukkan penurunan yang signifikan dari fungsi pasien saat sehat2.

6

Page 8: Referat Pcs

APA menambahkan bahwa diagnosis banding dari gangguan postconcussional

adalah kelainan berupa pura-pura, ketika pasien memerlukan peran berpura-pura

sakit, yang memberikan kompensasi dari tanggung jawab sosial dan sengaja berpura-

pura, dimana terdapat harapan untuk kompensasi sehingga mengarah kepada muncul

atau perpanjangan gejala. Diagnosis lain yang dapat dipertimbangkan menyangkut

gangguan kognitif, demensia, gangguan somatisasi, gangguan stress post trauma, dan

gangguan somatoform yang tidak dapat diklasifikasikan2.

Berita baik tentang postconcussional syndrome adalah pada penelitian dan

literatur terdahulu menyebutkan bahwa sebagian besar orang akan pulih secara

sempurna dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Hanya 7-15% dari semua penderita dari

7

Page 9: Referat Pcs

kasus yang lebih buruk mengalami gejala selama 1 tahun setelah cedera dan hal

tersebut dapat dianggap mengalami postconcussional syndrome jangka panjang atau

persisten. Faktor yang dapat diprediksi dapat mengakibatkan postconcussional

syndrome persisten adalah jenis kelamin wanita, konflik berkepanjangan, sosial

ekonomi rendah, umur lebih dari 40 tahun, riwayat penyalahgunaan alkohol, riwayat

gangguan jiwa, riwayat cedera kepala terdahulu, riwayat kemampuann kognitif yang

rendah sebelum trauma, fungsi psikososial yang rendah sebelum cedera, gangguan

kepribadian (antisosial, histerikal, dependen), dan riwayat nyeri kepala terdahulu atau

sakit jiwa. Pasien yang mengalami gejala lebih ringan dari postconcussional

syndrome adalah yang mempunyai motivasi yang bagus, pasien usia muda yang tidak

megalami gangguan kesadaran. Umumnya individu akan pulih dalam waktu 6-12

minggu bila mengalami gangguan kesadaran singkat, amnesia post trauma yang

berlangsung kurang dari 1 jam, dan GCS skor sebesar 15. Bila pasien mengalami

keluhan yang persisten dan dramatis, atau keluhan tidak wajar, faktor lain seperti

gangguan kepribadian, masalah psikologis, atau faktor sekunder dapat

dipertimbangkan sebagai penyebabnya2.

B. Patologi

Cedera patologis yang primer pada trauma kepala adalah penipisan axon dan

kerusakan ketegangan strain, yang umumnya disebabkan oleh kekuatan akselerasi

rotasi. Tingkat cedera axon berhubungan dengan durasi amnesia post trauma dan

kehilangan kesadaran. Bila neuron mengalami kerusakan, neurotransmiter inhibitor

seperti γ-amino asam butirat, juga pada neurotransmiter eksitator, seperti asetikolin,

glutamat, dan aspartat, akan terlepas. Neurotransmiter tersebut akan mengakibatkan

8

Page 10: Referat Pcs

kerusakan neuron lebih lanjut. (misalnya runtutan cedera). Perubahan setelah cedera

dapat mengarah kepada cedera difus neurologis berupa influks kalsium yang

berebihan pada neuron yang rusak, pelepasan sitokin, kerusakan oleh radikal bebas,

kerusakan pada reseptor dinding sel, inflamasi dan perubahan pada asetilkolin,

katekolamin, dan sistem neurotransmiter serotonergik. Penelitian post mortem pada

manusia dengan nyeri kepala kronik post trauma menunjukkan kerusakan axon difus,

pengelompokan mikroglia, dan adanya bukti berupa perdarahan petekie yang kecil

yang tidak mengakibatkan defisit neurologis fokal. Penelitian berupa trauma cedera

kepala buatan pada hewan menunjukkan bahwa baik neuron dan axon akan pulih

dalam waktu beberapa bulan setelah cedera2,4,6.

Gangguan kesadaran yang signifikan dapat menunjukkan tidak ada kelainan

pada CT scan atau pada MRI karena kerusakan difus yang alamiah. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa MRI lebih sensitif pada kerusakan SSP dengan

gangguan kesadaran bila dibandingkan CT scan. MRI lebih baik dalam mendeteksi

abnormalitas seperti kontussio, edema fokal, dan lesi mikroskopis (misalnya

perdarahn mikropetekie), terutama bila pemeriksaan dilaksanakan beberapa hari

setelah kejadian trauma. Penelitian Single-photon emission computed tomography

(SPECT) telah menunjukkan penurunan atau aliran darah regional yang asimetris

selama 3 tahun setelah cedera, terutama pada pasien yang mengalami nyeri kepala

post trauma, yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan jangka panjang fisiologis

setelah cedera. Penelitian dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan

adanya reduksi dalam tingkat metabolik glukosa pada individu yang didiagnosa

postconcussional syndrome. PET scan, walaupun mahal, mungkin dapat bermanfaat

dalam menunjukkan kasus kemungkinan adanya kepura-puraan, namun tidak

9

Page 11: Referat Pcs

spesifik atau sensitif untuk memberikan diagnosis definitif. Elektroensefalogram

dapat menunjukkan gelombang aktifitas rendah yang asinkron setelah cedera kepala

sedang, namun umumnya menunjukkan hasil yang normal dan bukan tes skreening

yang baik dalam postconcussional syndrome2.

C. Gejala-Gejala PCS

1. Defisit Somatik

Nyeri kepala merupakan keluhan pasien tersering yang mengalami cedera

kepala ringan. Peningkatan nyeri kepala dilaporkan terdapat pada 30-90% pasien

dengan postconcussional syndrome; 8 sampai 32% dilaporkan masih mengalami nyeri

kepala 1 tahun setelah trauma kepala. Umumnya, tipe nyeri kepala (misalnya tension,

migrain) yang dirasakan oleh individu dengan postconcussional syndrome, serupa

dengan nyeri kepala yang mereka rasakan sebelum trauma. Pasien dengan

postconcussional syndrome umumnya mengatakan bahwa nyeri kepala terasa lebih

lama dan muncul lebih sering bila dibandingkan dengan sebelum mengalami trauma.

The international headache society kriteria diagnostik untuk nyeri kepala post trauma

membagi menjadi dua kategori yaitu akut dan kronis. Nyeri kepala akut muncul

dalam 2 minggu setelah trauma dan sembuh dalam 2 bulan. Nyeri kepala post trauma

kronik muncul dalam 2 minggu setelah trauma dan berlangsung selama lebih dari 8

minggu. 85 % dari nyeri kepala berhubungan dengan postconcussional syndrome

digambarkan sebagai terus menerus, nyeri, dan tension type headache. Nyeri kepala

tersebut diyakini diakibatkan oleh cedera pada jaringan lunak dan keras, seperti

cedera miofasial, cedera sendi temporomandibular, cedera diskus intervertebralis, dan

spasme otot trapezius.walaupun lebih jarang, migrain, dengan atau tanpa aura,

10

Page 12: Referat Pcs

dilaporkan dapat muncul dalam beberapa jam atau hari setelah gegar otak. Migrain

sering ditemukan pada dewasa muda yang berpartisipasi dalam oleh raga yang

menyebabkan cedera kepala minor multipel, seperti sepakbola, tinju dan hoki. Jenis

nyeri kepala ini sering disebut “footballer’s migraine”. Cluster headache jarang

berkembang setelah cedera kepala sedang2,5,7,8.

Keluhan kedua yang sering ditemukan pada postconcussional syndrome

adalah pusing, yang dilaporkan sekitar 50% pada kasus, dalam 1 tahun prevalensi

sekitar 19-25%. Umur diketahui sebagai faktor resiko. Semakin tua individu tersebut,

semakin besar kemungkinan mengalami pusing, baik bersumber dari sentral atau

perifer (misalnya gegar labirin, benigna positional vertigo, cedera batang otak)2,8.

Postconcussional syndrome sering menimbulkan gangguan pada panca indera.

Pandangan kabur muncul pada 14% dari pasien dan umumnya disebabkan gangguan

fokus penglihatan. 10% dari pasien dengan postconcussional syndrome dilaporkan

mengalami lebih sensitif pada cahaya dan bunyi; 5% mengalami kerusakan pada nervi

kranialis I dan menyebabkan sensitifitas pada indera pembauan dan perasa2,8.

2. Gejala Psikiatri

Setengah dari pasien yang mengalami gegar otak dilaporkan mengalami gejala

psikologis non spesifik, seperti perubahan kepribadian, ansietas, dan depresi. Sering

perubahan ini terjadi dalam 3 bulan pertama setelah cedera dan mempunyai CT scan

yang normal2,8.

Gangguan ansietas berkaitan dengan gangguan ansietas secara umum,

diantaranya gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan stress post

trauma, telah dilaporkan muncul pada 11% sampai 70% dari penderita cedera kepala.

11

Page 13: Referat Pcs

Yang sering dilaporkan berupa gejala adalah free-floating ansietas, kecemasan yang

berlebihan, menarik diri dari sosial, sensitif yang berlebihan dan bermimpi tentang

kecemasan. Gangguan ansietas dilaporkan terjadi pada cedera trauma pada kedua

hemisfer otak2.

Apatis umum didapatkan pada postconcussional syndrome.Apatis dapat

berupa sindrom isolasi primer atau akibat sekunder dari depresi. Apatis primer dapat

didefinisikan sebagai kurangnya motivasi dengan berkurangnya emosi, kognitif, dan

perilaku yang tidak mengarah kepada gangguan kecerdasan, distress emosional, dan

berkurangnya tingkat kesadaran. Apatis primer sering ditemui didapatkan pada 10%

penderita cedera kepala tertutup, sedangkan apatis sekunder muncul hanya

sementara, terjadi pada 60% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kerusakan

neurologis pada regio subcortical-frontal, ganglia basalis, dan talamus telah

dihubungkan dengan patogenesis dari apatis primer2.

Walaupun jarang ditemukan pada postconcussional syndrome, namun psikosis

juga didapatkan pada cedera kepala berat. Psikosis mirip-skizofrenia didapatkan pada

0,7 sampai 9,8% pada penderita cedera kepala berat. Faktor resiko dapat berkembang

menjadi psikosis adalah benturan hebat pada trauma awal, riwayat epilepsi pada

lobus temporal, adanya kelainan neurologis sebelum trauma, dan ada trauma kepala

pada usia remaja. Pengobatan kondisi ini masih sulit, karena obat antipsikotik

atipikal seperti haloperidol kurang efektif bila dibandingkan pada penggunaan

kondisi psikosis lainnya. Obat tersebut dapat berpengaruh pada pemulihan neuron

setelah trauma. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa obat risperidon

dan clozapin mempunyai efek yang bagus terhadap psikosis post trauma2.

12

Page 14: Referat Pcs

Orang yang sebelumnya dengan diagnosis gangguan afektif (depresi,

gangguan bipolar), gangguan ansietas secara umum, gangguan somatoform,

gangguan kepribadian, lebih tinggi kemungkinan mengalami keluhan

postconcussional syndrome daripada tanpa gangguan mental sebelumya. Banyak

gejala berupa gangguan afek, seperti perubahan mood, mood yang labil, gangguan

pada perhatian dan konsentrasi, gangguan tidur, dan ansietas memiliki gejala yang

sama yang terlihat pada postconcussional syndrome. Keadaan penyakit tersebut

sebelum trauma dapat mengarah kepada diagnosis yang salah pada postconcussional

syndrome. Pasien mengatakan keluhan lebih buruk, bila membandingkan keadaan

sebelum dan sesudah trauma. Keadaan tersebut dinamakan “recall biases” atau

fenomena “good old days”, didapatkan bila pasien tidak mampu mengingat secara

akurat level fungsinya serebelum terjadi trauma. Sangatlah penting, terutama bila

terdapat perkara yang terlibat, untuk dokter mendapat tes kejiwaan sebelumnya,

rekaman akademik, keadaan penilaian fungsi kerja, dan berbicara dengan keluarga

dan teman pasien untuk menentukan secara akurat tingkat fungsi pasien saat sebelum

dan sesudah trauma2.

3. Defisit Kognitif

Kognitif dapat didefinisikan sebagai proses yang melibatkan fungsi otak dalam

menerima, menganalisis data dan mengatur informasi. Fungsi kognitif yang klasik

adalah perhatian, memori, bahasa, penjabaran, fungsi penilaian, dan tingkat persepsi.

Defisit pada kognitif didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk berkonsentrasi,

memproses informasi, kesulitan menentukan kata yang tepat, dan ketidakmampuan

proses menyatukan pendapat. Pasien dengan postconcussional syndrome terbukti

13

Page 15: Referat Pcs

mengalami penurunan dalam kecepatan memproses informasi, perhatian dan waktu

reaksi yang dapat ditemukan melalui tes neuropsikologis. Indeks menunjukkan

bahwa tes Stroop color test dan 2&7 Processing speed test memiliki spesifitas yinggi

dan nilai prediksi yang positif untuk menilai defisit kognitif dari postconcussional

syndrome, kedua tes tersebut menilai proses kecepatan mental. The Continous

Performance Test of Attention merupakan tes lain yang mempunyai sensitifitas

tinggi untuk memprediksi hasil negatif dari defisit kognitif setelah gegar otak. Di

IGD, pemeriksaan Digin Span Forward dan Hopkins Verbal Learning menunjukkan

mampu memprediksi perkembangan dari postconcussional syndrome, dan dalam

populasi tertentu juga memprediksi durasi dari gejala tersebut2.

Defisit kognitif yang paling umum ditemukan setelah cedera kepala adalah

gangguan memori verbal dan nonverbal. Tergantung pada tingkat keparahan cedera

kepala tertutup, persentase orang yang menderita gangguan memori berkisar 20-79%.

Telah dapat diperkirakan bahwa 4-25% penderita postconcussional syndrome akan

mengalami defisit memori setelah 1 tahun. Satu penjelasan bahwa penurunan dalam

membentuk memori baru akan mengurangi efektifitas pengumpulan memori. Defisit

pada memori jangka pendek (sebagai contoh lupa menempatkan barang, kesulitan

mengingat pembicaraan) adalah hal sering ditemui pada postconcussional syndrome.

Bila individu dengan defisit memori dihubungkan dengan cedera kepala berat

menjalani tes neuropsikologis, episodik memori atau deklaratif memori mengalami

gangguan, sedangkan prosedural memori tidak terganggu2.

Pasien dengan cedera otak juga mengalami gangguan dalam perhatian menerus

dan terbagi, sedangkan perhatian selektif jarang terganggu. Hal ini terlihat jelas

berupa pasien yang kesulitan berkonsentrasi, masalah dalam memfokuskan pada satu

14

Page 16: Referat Pcs

tugas, dan mudah dialihkan atau terganggu. Disfungsi kolinergik yang mengarah

kepada gangguan mengatur sensoris dan ketidakmampuan untuk menghentikan

stimulus diduga sebagai penyebab defisit perhatian2.

Defisit kognitif dianggap sebagai akibat dari kerusakan kortikal, terutama

gangguan yang melibatkan lobus anterotemporal dan orbitofrontal, yang sering

muncul karena dekatnya lobus tersebut pada protuberantia pada tulang tengkorak.

Lamanya muncul defisit ini bervariasi mengikuti jenis trauma, yang akan pulih

sempurna dalam 6 bulan. Gangguan dalam memori, perhatian, berbahasa, dan fungsi

keputusan yang muncul lebih menetap, dan akan pulih dalam waktu setelah 1 tahun

setelah mengalami trauma kepala2.

D. Diagnosis

The International Statistical Classification of Disease and Related Health

Problems (ICD-10) dan The American Psychiatric Association’s Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder memiliki kriteria untuk PCS ataupun PCD

(postconcussinal disorder)1,3,9.

Symptom ICD-10 DSM-IV

Headache √ √

Dizziness √ √

Fatigue √ √

Irritability √ √

Sleep problem √ √

Concentration problem √ -

15

Page 17: Referat Pcs

Memory problem √ -

Problems tolerating

stress/emotion/alcohol√ -

Affect changes, anxiety, or

depression- √

Changes in personality - √

Apathy - √

ICD-10 menetapkan kriteria diagnosis untuk PCS pada tahun 1992.

Kriterianya antara lain mempunyai riwayat cedera kepala disertai penurunan

kesadaran 3-8 gejala yang diberi tanda cek di atas pada kolom ICD-10 selama 4

minggu. Sekitar 38% menderita cedera kepala dengan gejala concussion dan tidak ada

lesi otak pada pemeriksaan radiologis. Sebagai tambahan, penderita PCS berdasarkan

criteria ICD-10 dikhawatirkan akan mengalami kerusakan otak permanen dengan

gejala yang terus memburuk. Preekupasi dengan cedera yang menyertainya

diasumsikan sebagai “sick hole” dan hipokondriasis. Kriteria focus terhadap gejala-

gejala subjektif dan menyebutkan bahwa bukti kerusakan neuropsikologikal tidak ada.

Dengan fokus terhadap faktor psikologis, kriteria ICD-10 menunjukkan bahwa

penyebab PCS adalah fungsional3.

Pada daftar kriteria berdasarkan DSM-IV untuk diagnosis PCD pada penderita

yang menderita cedera kepala dengan persisten amnesia post traumatik, kehilangan

kesadaran, atau kejang post traumatik. Sebagai tambahan, untuk mendiagnosis PCD,

penderita harus mengalami kerusakan neuropsikologis ditambah dengan 3 gejala

yang tertera pada tabel DSM-IV. Gejala-gejala ini harus ada selama 3 bulan setelah

16

Page 18: Referat Pcs

cedera dan memang tidak ada sebelum terjadinya cedera. Penderita juga harus

mengalami kesukaran dalam interaksi sosial dan tidak harus memenuhi kriteria

untuk gangguan lain yang menjelaskan gejala-gejala membaik3.

Tes neuropsikologis dapat digunakan untuk mengukur defisit fungsi kognitif

yang dapat diakibatkan oleh PCS. The Stroop Colot Test dan The 2&7 Processing

Speed Test (dimana keduanya dapat mendeteksi defisit dalam proses kecepatan

mental) dapat memprediksi perkembangan kognitif akibat PCS. Sebuah tes yang

disebut Rivermead Postconcussion Symptomps Questionnaire, suatu rancangan

pertanyaan-pertanyaan yang mengukur keparahan dari 16 gejala post-concussion

yang berbeda, dapat digunakan dalam interview. Tes lain yang dapat memprediksi

perkembangan PCS termasuk Hopkins Verbal Learning A Test (HVLA) dan The

Digit Span Forward Examination. Tes HVLA verbal learning dan memori dihasilkan

dari seri-seri kata dan tanda-tanda berdasarkan nomor yang di recall, dan rentang

digit mengukur efisiensi atensi dengan diuji untuk mengulang kembali digit angka

yang telah disebutkan. Tes neuropsikologikal juga dapat mendeteksi adanya gejala

yang pura-pura atau berlebihan dari penderita3.

E. Diagnosis Banding

PCS dapat muncul dengan gejala-gejala yang bervariasi dapat

mengakibatkan salah diagnosis pada penderita dengan berbagai kondisi. Gejala

kognitif dan afektif yang muncul setelah trauma dapat disebabkan adanya MTBI

(mild traumatic brain injury), tetapi pada kenyataannya, faktor lain seperti gangguan

stress setelah trauma sering menyebabkan salah diagnosis sebagai PCS dan tingkah

laku buruk. Gangguan afektif seperti depresi mempunyai beberapa gejala seperti

17

Page 19: Referat Pcs

mimik wajah seperti pada PCS dan dapat menyebabkan salah diagnosis. Dalam hal

ini termasuk juga gangguan konsentrasi, emosi yang labil, cemas dan gangguan tidur.

Depresi umumnya ditemukan pada penderita PCS, gejala-gejala PCS yang dapat

memburuk seperti nyeri kepala, gangguan konsentrasi, gangguan memori dan

gangguan tidur. Gejala PCS juga terdapat pada sindrom kelelahan kronik,

fibromyalgia, dan paparan toksin. Trauma otak dapat menyebabkan kerusakan pada

hipotalamus atau kelenjar pituitary, defisiensi hormon pituitary (hypopituitarism)

memiliki gejala yang mirip denga gejala PCS tetapi gejala ini dapat hilang dengan

pemberian atau terapi hormon tersebut3,9,10.

F. Hal yang Berpengaruh terhadap Gejala PCS

1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin wanita mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami

postconcussional syndrome, dan umumnya wanita mempunyai gejala lebih berat dan

waktu penyembuhan lebih lama. Penelitian meta analisis oleh Farance dan Alves

menunjukkan bahwa wanita memiliki hasil yang lebih buruk dibandingkan pria pada

postconcussional syndrome. Wanita menunjukkan tingkat keparahan 58% lebih

tinggi dibandingkan pria. Berbagai teori dikemukakan mengenai hal ini, salah

satunya adalah karena ukuran tubuh dan berat yang lebih kecil, akan mengalami

kekuatan cedera rotasi lebih besar daripada pria. Teori lain mengatakan bahwa otak

pria dan wanita diperngaruhi oleh hormon seks yang mengakibatkan berbeda dalam

kemampuan pemulihan setelah cedera kepala. Corrigan et al. mengatakan bahwa

wanita lebih berat gejala postconcussional syndrome karena lebih rentan dalam

mengalami cedera pada penganiayaan atau penyerangan fisik dan cedera tersebut

18

Page 20: Referat Pcs

mengakibatkan kekuatan cedera rotasi yang lebih besar, dan mengakibatkan cedera

lebih besar pula2.

2. Pengaruh Sosial

Postconcussional syndrome diduga memiliki komponen sosial. Banyak

peneliti menemukan bahwa tingkat dan durasi cedera di US, dimana ganti rugi

diperoleh, adalah lebih besar bila dibandingkan dengan negara seperti Lithuania,

diaman masalah ganti rugi sulit diperoleh. Di Lithuania, Mickeviciene et al,

membagikan kuisioner kepada 200 orang penderita gegar otak dengan keluhan

kehilangan kesadaran dan populasi pembanding yang sehat. Penelitian menunjukkan

bahwa 96% responden mengeluh nyeri kepala dan pulih total dalam waktu 1 tahun

setelah mengalami gegar otak, dan tidak ada perbedaan dalam keluhan nyeri kepala,

pusing dan disfungsi kognitif bila antara dua kelompok tersebut. Kelompok ini juga

menunjukkan peningkatan yang signifikan pada depresi, penggunaan alkohol dan

kepedulian terhadap kerusakan otak2.

3. Kepura-puraan (Malingering)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang terlibat dalam perkara

menunjukkan pemanjangan dan keluhan yang lebih berat pada postconcussional

syndrome bila dibandingkan dengan dengan pasien yang tidak memiliki perkara.

Penjelasan yang mungkin untuk keadaan tersebut adalah 1) pasien yang mengalami

perkara telah mengerti tentang kondisi mereka dan terpengaruh oleh “symptom

knowledge”, 2) pasien tersebut dilatih oleh pengacara mereka untuk melebih-

lebihkan gejala tersebut. 3) Gejala yang dialami diperburuk oleh stress karena

19

Page 21: Referat Pcs

perkara, 4) mereka secara sadar atau tidak sadar dipengaruhi oleh pengaruh sekunder,

5) mereka berpura-pura untuk memperoleh uang (dengan berbohong)2.

Usaha untuk membedakan bahwa pasien tersebut berpura-pura atau tidak,

sangat sulit karena keluhan postconcussional syndrome adalah keluhan yang bersifat

subjektif. Mittenber et al. mencoba untuk menentukan frekuensi dari berpura-pura

dengan menganalisa 33.31 kasus pengadilan. Mereka mendapatkan bahwa 30% kasus

kecacatan, 29% kasus kecelakan pribadi, 19% kasus kriminal, dan 8% kasus

malpraktek medis yang kemungkinan melibatkan sikap berpura-pura atau keluhan

yang dilebih-lebihkan. Ketika menganalisa kasus yang melibatkan cedera kepala

sedang, peneliti merasa bahwa 35% terdapat sikap berpura-pura atau keluhan yang

dilebih-lebihkan2.

Beberapa tes psikiatri dan neurologis telah tersedia untuk mendeteksi adanya

individu yang berpura-pura. Roget et al melakukan meta-analisis tes tersebut dan

mengatakan bahwa tes yang paling sensitif dengan MMPI-2 adalah tes F scale, F-K

indeks, dan O-S inerval. Halstead-Reitan battery dilaporkan keakuratan sebesar 93,8%

untuk mengetahui adanya gejala keluhan palsu pada cedera kepala. Tes ukur lain yang

dapat digunakan untuk menentukan sikap berpura-pura adalah Dissimulation scale,

Ego Streght scale, dan Fake Bed scale2.

G. Terapi

Biasanya PCS tidak diterapi, terapinya hanya ditujukan pada gejala-gejala yang

muncul, misalnya penderita diberi penghilang nyeri untuk keluhan nyeri kepala dan

obat-obat untuk mengurangi depresi, dizziness atau muntah. Penderita disarankan

20

Page 22: Referat Pcs

istirahat yang cukup, karena hal ini cukup efektif. Terapi fisik dan tingkah laku juga

dilakukan untuk masalah kehilangan keseimbangan atensi dan respon2,3,11.

1. Obat-obatan

Pengobatan dari postconcussional syndrome tergantung pada gejala yang

muncul pada tiap-tiap pasien. Salah satu pengobatan yang paling efektif adalah

melakukan edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang postconcussional

syndrome, menjelaskan bahwa gejala tersebut akan pulih sempurna dalam waktu 6

bulan. Penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan mendiagnosa dan kurangnya

edukasi kepada pasien mengarah kepada perburukan gejala psikogenik penyakit dan

memperpanjang waktu pemulihan. Untuk keluhan nyeri kepala yang terus menerus,

terapi standar nyeri kepala dapat dimulai dari NSAID sampai terapi profilaksis

migrain, seperti fluoxetine dan verapamil, dikatakan dapat membantu. Bila perlu,

terapi fisik dan Transcutaneus Electrical Nerve Stimulators (TENS) dapat digunakan

pada pasien dengan tension headache yang berhubungan dengan kekakuan otot.

Pasien dengan gejala psikologis dapat diberi terapi psikoterapi suportif, edukasi, dan

farmakoterapi, seperti obat antidepresi atau antiansietas diberikan dalam waktu yang

terbatas. Selective serotonin inhibitor merupakan antidepresan pilihan pada sebagian

besar kasus dan dapat mengatasi gejala nyeri kepala, ansietas, tekanan dan depresi.

Agonis dopamin, psikostimulan, amantadine dan cholinestrase inhibitor telah

digunakan dalam mengobati penurunan kemampuan fokus atau memori, dan defisit

dalam fungsi kognitif, tapi hanya memberikan keuntungan setengah dari pasien yang

mengalami cedera kepala. Dokter harus berhati-hati dalam meresepkan obat yang

mempengaruhi SSP seperti phenitoin, haloperidol, barbiturat, dan benzodiazepin.

21

Page 23: Referat Pcs

Obat ini dapat memberikan efek samping, seperti terhambatnya penyembuhan

neuron, dan gangguan pemulihan memori, yang dapat memperburuk gejala

postconcussional syndrome atau memperpanjang waktu pemulihan2,11.

2. Psikoterapi

Psikoterapi pada sekitar 40% penderita PCS dapat mengurangi gejala-gejala.

Terapi ini membantu penderita agar dapat melakukan aktivitas kerjanya. Protokol

terapi PCS dibuat berdasarkan prinsif yang terdapat dalam Cognitif Behavioral

Therapy (CBT), suatu metode psikoterapi yang berpengaruh untuk gangguan

emosional yang muncul atas dasar pikiran dan tingkah laku. CBT membantu

mencegah timbulnya gejala iatrogenik persisten3.

Dalam situasi seperti kecelakaan kendaraan bermotor, gejala PCS bisa

menyebabkan penyakit stress pasca trauma (PTSD) yang sangat penting untuk

diterapi dengan benar. Penderita dengan PTSD, depresi dan cemas dapat diterapi

dengan obat-obatan dan psikoterapi3.

3. Edukasi

Salah satu pengobatan yang paling efektif adalah melakukan edukasi kepada

pasien dan keluarganya tentang postconcussional syndrome, menjelaskan bahwa

gejala tersebut akan pulih sempurna dalam waktu 6 bulan. Edukasi mengenai gejala

sangat efektif dilakukan segera setelah cedera. Sejak stress mulai muncul sebagai

gejala PCS, edukasi diperlukan untuk mengatasi kerusakan tersebut. Edukasi dini

dapat mengurangi gejala pada anak dengan baik2,3.

22

Page 24: Referat Pcs

H. Prognosis

Pada umumnya prognosis PCS adalah baik, berdasarkan total resolusi dari

gejala pada kebanyakan kasus-kasus mayor. Pada kebanyakan penderita, gejala PCS

akan menghilang dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah cedera. Pada

sebagian penderita yang lain, gejala PCS dapat menghilang dalam waktu 3-6 bulan3.

Gejala-gejala pada umumnya menghilang pada sekitar separuh penderita PCS

1 bulan setelah trauma dan sekitar 2/3 penderita dengan trauma kepala minor, gejala-

gejalanya menghilang dalam 3 bulan. Jika gejala tidak hilang dalam 1 tahun, gejala

tersebut menjadi permanen, maka kemajuannya akan dapat terlihat dalam waktu 2-3

tahun, bahkan kadang-kadang setelah lama sekali tanpa ada kemajuan. Pada penderita

yang berusia tua dan orang yang mengalami trauma kepala berulang akan sulit

sembuhnya3.

Jika ada pukulan pada kepala setelah terjadi concussion dan gejala sebelumnya

sudah menghilang, maka hal ini bisa mengakibatkan second-impact syndrome (SIS).

Pada SIS, otak menjadi edema dan terjadi peningkatan tekanan intracranial. Penderita

dengan cedera kepala berulang setelah beberapa lama, misalnya seperti pada petinju,

mempunyai resiko menderita demensia serta dapat berkembang menjadi gangguan

fisik dan mental yang berat3.

23

Page 25: Referat Pcs

BAB III

PENUTUP

Sindroma postconcussion adalah suatu keadaan yang merupakan akibat dari

cedera kepala ringan tertutup. Gejala-gejalanya bervariasi namun mempunyai suatu

pola yang tertentu. Terdapat banyak faktor yang terkait dalam sindroma ini, yang

dapat memberikan prognosa yang berbeda-beda dari yang baik sampai yang

menimbulkan gangguan yang berkepanjangan sehingga menyebabkan gangguan

psikososial. Upaya penanggulangannya dilakukan secara menyeluruh baik terhadap

gejalanya maupun terhadap faktor-faktor yang menjadi latar belakang yang

memperberat keadaan penyakit.

24

Page 26: Referat Pcs

DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi, Iskandar. Sindroma Post Concussion. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatra Utara. USU, 2002.

2. Ryan CW, Richard CW, Chapman MJ. Definition, Diagnosis and Forensic Implication of Postconcussion Syndrome Review Article. Psychosomatic 46:3, May-June 2005. http: //psy.psychiatryonline.org.

3. Anonymous. Post-concussion Syndrome. Diakses tanggal 4 Agustus 2009, http: //en.wikipedia.org.

4. Ropper AH, Gorson KC. Concussion. The New England Journal of Medicine. N Engl J Med 256: 2. January 11, 2007. http: //www.nejm.org.

5. King NS. Post-concussion Syndrome: Clarity and the Controversy. British Journal of Psychiatry (2003), 183, 276-278.

6. Lishman WA. Physiogenesis and Psychogenesis in the Post-concussion Syndrome Review Article. British Journal of Psychiatry (1988) 153, 460-469.

7. Goldstein S. Legal Update #07 Post Concussion Syndrome (PCS). 10 Januari 2000. Diakses tanggal 4 Agustus 2009, http: //www.samgoldstein.com.

8. Anonymous. Post Concussion Syndrome. 2002. Diakses tanggal 4 Agustus 2009, http: //www.healthline.com.

9. Lubit RH. Post Concussive Syndrome. 1 Oktober 2008. Diakses tanggal 4 Agustus 2009, http: //emedicine.medscape.com.

10. Douglas, David. Brain Trauma is not the Basis for Postconcussive Syndrome. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008; 79: 237, 300-306, http: //medscape.com.

11. Lubit RH. Post Concussive Syndrome: Treatment and Medication. Diakses tanggal 4 Agustus 2009, http: //emedicine.medscape.com.

25