Referat Malaria

44
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Malaria dapat ditemui hampir di seluruh dunia yaitu pada negara yang beriklim tropis dan sub tropis. Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari penduduk dunia. Setiap tahun jumlah kasus malaria berjumlah 300- 500 juta dan mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian (Harijanto, 2006). Indonesia yang merupakan negara yang beriklim tropis yang mengakibatkan resiko terhadap penyakit malaria. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes 2001, di Indonesia setiap tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan 30.000 orang meninggal dunia. Pada umumnya malaria ditemukan pada daerah-daerah terpencil dan sebagian besar penderitanya dari golongan ekonomi lemah (Departemen Kesehatan RI, 2001). Angka kesakitan malaria sejak 4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Di Jawa dan Bali dari 0.12 per 1000 penduduk pada tahun 1977 menjadi 0.52 per 1000 penduduk pada tahun 1999 dan 0.62 per 1000 penduduk pada tahun 2001 dan 0.47 kasus per 1.000 penduduk pada tahun 2002. Di luar Jawa dan 1

Transcript of Referat Malaria

Page 1: Referat Malaria

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan

dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Malaria dapat ditemui

hampir di seluruh dunia yaitu pada negara yang beriklim tropis dan sub tropis.

Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41%

dari penduduk dunia. Setiap tahun jumlah kasus malaria berjumlah 300-500 juta

dan mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian (Harijanto, 2006). Indonesia yang

merupakan negara yang beriklim tropis yang mengakibatkan resiko terhadap

penyakit malaria.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes 2001, di

Indonesia setiap tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang

mengakibatkan 30.000 orang meninggal dunia. Pada umumnya malaria ditemukan

pada daerah-daerah terpencil dan sebagian besar penderitanya dari golongan

ekonomi lemah (Departemen Kesehatan RI, 2001). Angka kesakitan malaria sejak

4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Di Jawa dan Bali dari 0.12 per 1000

penduduk pada tahun 1977 menjadi 0.52 per 1000 penduduk pada tahun 1999 dan

0.62 per 1000 penduduk pada tahun 2001 dan 0.47 kasus per 1.000 penduduk

pada tahun 2002. Di luar Jawa dan Bali dari 16.0 per 1000 penduduk pada tahun

1997 menjadi 25.0 per 1000 penduduk pada tahun 1999 dan 26.2 per 1000

penduduktahun 2001 dan 19.65 kasus per 1.000 penduduk pada tahun 2002.

Selama tahun 1998-2000 kejadian luar biasa (KLB) malaria terjadi di 11 provinsi

meliputi 13 kabupaten di 93 desa dengan jumlah penderita hampir 20.000 orang

dengan 74 kematian (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Malaria adalah salah satu penyakit menular yang mempengaruhi angka

kematian bayi, anak, dan ibu melahirkan, serta dapat menurunkan produktivitas

tenaga kerja. Di daerah transmigrasi dan daerah lain yang didatangi penduduk

baru daerah non-endemik sering terjadi letusan atau wabah yang menimbulkan

banyak kematian. Lebih dari setengah penduduk Indonesia masih tinggal di

1

Page 2: Referat Malaria

daerah yang merupakan tempat terjadinya penularan malaria, sehingga berisiko

tertular malaria.

Melihat keseriusan masalah ini, siapa pun berisiko untuk terkena malaria,

terutama anak balita, wanita hamil, dan penduduk non-immun yang mengunjungi

daerah endemik malaria, seperti pekerja migran, pengungsi, transmigran, dan

wisatawan.

Dalam menangani penderita malaria, sebagian penderita masih sering

terlambat dibawa ke unit pelayanan kesehatan seperti rumah sakit atau puskesmas,

sehingga hal ini menyebabkan penderita tidak dapat tertolong lagi. Selain itu,

upaya pengobatan penyakit ini juga dipersulit oleh tingkat ketahanan parasit

malaria terhadap obat-obatan yang diberikan (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Upaya pemberantasan yang dilakukan saat ini adalah dengan menemukan

penderita sedini mungkin dan langsung member pengobatan. Beberapa upaya

dilakukan untuk menekan angka kesakitan dan kematian akibat malaria,

yaitu melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain

meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan

pengendalian vector dalam upaya pemberantasan nyamuk penularan malaria baik

nyamuk dewasa melalui penyemprotan maupun pemberantasan jentik nyamuk

dengan cara memberi obat-obatan pada tempat jentik nyamuk tersebut hidup,

yang kesemuanya ditujukan untuk memutuskan rantai penularan malaria

(Kartono, 2003).

B. Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk :

1. Memahami definisi epidemiologi, etiologi, siklus hidup Plasmodium,

patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis

penyakit malaria.

2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

3. Memenuhi salah satu tugas stase Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo.

2

Page 3: Referat Malaria

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Malaria adalah penyakit infeksi akut atau kronis yang disebabkan oleh

protozoa genus Plasmodium, ditandai dengan gejala demam rekuren, anemia

dan hepatosplenomegali. Penyakit malaria dapat menyerang secara berulang-

ulang dan dapat menyebabkan kematian (Soedarmo, 2010). Sedangkan

meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun

kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan

ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala

demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa (Harijanto, 2006).

B. EPIDEMIOLOGI

Malaria ditemukan di daerah-daerah mulai 600 utara sampai dengan 320

selatan; dari daerah dengan ketinggian 2.666 m (Bolivia), sampai dengan

daerah yang letaknya 433 m di bawah permukaan laut (Dead sea) (Husada,

2006).

Gambar 1. Peta Daerah Endemi Malaria

3

Page 4: Referat Malaria

Daerah yang sejak semula bebas malaria adalah daerah Pasifik Tengah dan

Selatan (Hawaii dan Selandia Baru). Di daerah-daerah tersebut, daur hidup

parasit malaria tidak dapat berlangsung karena tidak adanya vektor yang

sesuai (Husada, 2006).

Gambar 2. Peta Indonesia dengan Daerah Endemis Malaria

(Current Malaria Situation in Indonesia & ACT Malaria Activities. 2008.

Directorate of Vector Borne Disease Control Ministry of Health Indonesia)

Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas pada semua pulau dengan

derajat dan berat infeksi yang bervariasi. Malaria di suatu daerah dapat

ditemukan secara autokton, impor, induksi, introduksi atau reintroduksi

(Husada, 2006).

Di daerah yang autokton, siklus hidup malaria dapat berlangsung karena

adanya manusia yang rentan (suspeptibel), nyamuk yang dapat menjadi

vector dan parasitnya. Keadaan malaria di daerah endemik tidak sama.

Derajat endemisitas dapat diukur dengan berbagai cara seperti angka limpa

(spleen rate), angka parasit (parasit rate), yang disebut malariometri

(Husada, 2006).

Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Perbedaan prevalensi

menurut umur dan jenis kelamin lebih berkaitan dengan perbedaan derajat

4

Page 5: Referat Malaria

kekebalan karena variasi keterpaparan gigitan nyamuk (Nugroho, 2000;

Harijanto, 2006).

Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dapat terinfeksi malaria

adalah (Nugroho, 2000; Gunawan, 2000):

1. Ras atau suku bangsa

Prevalensi Hemoglobin S (HbS) pada penduduk Afrika cukup tinggi

sehingga lebih tahan terhadap infeksi P.falciparum karena HbS

menghambat perkembangbiakan P.falciparum. 5

2. Kurangnya enzim tertentu.

Kurangnya enzim Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD) memberikan

perlindungan terhadap infeksi P.falciparum yang berat. Defisiensi enzim

G6PD ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada

wanita.

3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan

Plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembangbiakannya.

Sejak tahun 1973 ditemukan pertamakali adanya kasus resistensi P.

falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan Timur Sejak itu kasus resistensi

terhadap klorokuin yang dilaporkan semakin meluas Tahun 1990, dilaporkan

telah terjadi resistensi parasit P. falciparum terhadap klorokuin dan seluruh

provinsi di Indonesia. Selain itu, dilaporkan juga adanya kasus resistensi

plasmodium terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) dibeberapa tempat di

Indonesia. Keadaan seperti ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas

akibat penyakit malaria. Oleh sebab itu, upaya untuk menanggulangi masalah

resistensi tersebut (multiple drugs resistance), maka pemerintah telah

merekomendasikan obat pilihan pengganti klorokuin dan SP terhadap P.

falciparum dengan terapi kombinasi artemisinin (artemisinin combination

therapy) (Departemen Kesehatan RI, 1991).

C. ETIOLOGI

Malaria disebabkan parasit malaria, suatu protozoa darah yang termasuk

dalam phyllum Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidiida, ordo

Eucoccidides, subordo Haemosporidiidea, famili Plasmodiidae, genus

Plasmodium (Nugroho, 2000).

5

Page 6: Referat Malaria

Plasmodium merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat

empat spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium

malariae dan Plasmodium ovale. Penularan manusia dapat dilakukan oleh

nyamuk betina dari tribus anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan secara

langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta ibu hamil

kepada bayinya (Rampengan, 2000).

P. vivax menyebabkan malaria tertiana, P.malaria merupakan penyebab

malaria kuartana. P.ovale menyebabkan malaria ovale, sedangkan P.falciparum

menyebabkan malaria tropika. Spesies terkhir ini paling berbahaya karena

malaria yang ditimbulkan dapat menjadi berat. Hal ini disebabkan dalam waktu

singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan

berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh (Departemen Kesehatan RI,

2006; Nugroho, 2000).

Menurut Harijanto (2000) malaria pada manusia hanya dapat ditularkan

oleh nyamuk betina Anopheles. Lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia,

hanya sekitar 67 yang terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan

malaria. Di Indonesia telah ditemukan 24 spesies Anopheles yang menjadi

vektor malaria. Sarang nyamuk Anopheles bervariasi, ada yang di air tawar,

air payau dan ada pula yang bersarang pada genangan air pada cabang-cabang

pohon yang besar. Karakteristik nyamuk Anopeles adalah sebagai berikut :

a. Hidup di daerah tropis dan sub tropis, ditemukan hidup di dataran rendah

b. Menggigit antara waktu senja (malam hari) dan subuh hari

c. Biasanya tinggal di dalam rumah, di luar rumah, dan senang mengigit

manusia (menghisap darah)

d. Jarak terbangnya tidak lebih dari 2-3 km

e. Pada saat menggigit bagian belakangnya mengarah ke atas dengan sudut

48 derajat

f. Daur hidupnya memerlukan waktu ± 1 minggu

g. Lebih senang hidup di daerah rawa

6

Page 7: Referat Malaria

Letak Perbedaan

P. Falciparum P. Vivax P. Ovale P. Malariae

Distribusi geografik

Daerah tropik terutama: Afrika dan Asia Tenggara; di Indonesia tersebar di seluruh kepulauan

Subtropik, dingin (Rusia), tropik Afrika, tersebar di seluruh kepulauan Indonesia

Tropik Afrika bagian Barat; Pasifik Barat; di Indonesia: P.Owi Irian Jaya; P. Timor.

Tropik, subtropik

Masa inkubasi 9-14 hari 12-17 hari 16-18 hari 18-40 hari Masa tunas intrinsik

12 hari 13-17 hari 13-17 hari 28-30 hari

Daur pra-eritrosit

5,5 hari 8 hari 9 hari 10-15 hari

Jumlah merozoit hati

40.000 10.000 15.000 15.000

Ukuran skizon hati

60 mikron 45 mikron 70 mikron 55 mikron

Daur eritrosit 48 jam 48 jam 50 jam 72 jam Tipe demam Tersiana Tersiana Tersiana Quartana Hipnozoit - + + - Relaps/rekurens

- + + -

Pigmen Hitam Kuning tengguli Tengguli tua Tengguli hitam

Eritrosit yg dihinggapi

Muda, tua, dan normosit

Retikulosit dan normosit

Retikulosit dan normosit muda

Tua

Pembesaran eritrosit

- ++ + -

Titik-titik ertitrosit

Maurer Schuffner Schuffner (James) Ziemann

Jumlah merozoit eritrosit

8-24 12-18 8-10 8

Tabel 2.1 Perbedaan Plasmodium Falciparum, Vivax, Ovale, Malariae

Trofozoit

Bentuk cincin besarnya 1/6 eritrosit

Bentuk cincin besarnya 1/3 eritosit

Bentuk bulat/ lonjong besarnya 1/3 eritrosit, dengan granul yg terbentuk sangat dini

Bentuk melintang seperti pita, besarnya setengah eritrosit

Skizon

8-24 merozoit yg mengisi 2/3 eritrosit

12-18 merozoit mengisi seluruh eritrosit di tengah dan di pinggir

8-10 merozoit terletak teratur di tepi mengelilingi granul pegmen ditengahnya

8 merozoit yg tersusun teratur seperti “bunga daisy” atau “roset”

7

Page 8: Referat Malaria

Gametosit

Bentuk khas seperti bulan sabit/pisang

Bentuk bulat/lonjong mengisi hampir seluruh eritrosit

Bentuk bulat, inti kecil, dan kompak

Bentuk bulat, tdpt pigmen yg tersebar merata di seluruh sitoplasma

Prognosis Buruk, menyebabkan komplikasi yang berat: malaria cerebral, gagal ginjal, edema paru.

Biasanya baik, tidak menyebabkan kematian

Penyakitnya ringan dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan

Tanpa pengobatan, berlangsung sgt lama dan relaps pernah 30- 50thn

D. SIKLUS HIDUP PLASMODIUM

Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu

manusia dan nyamuk anopheles betina (Nugroho, 2000).

2.1 Siklus Pada Manusia

Pada waktu nyamuk anopheles infektif mengisap darah manusia,

sporozoit yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dsalam

peredaran darah selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan

masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian

berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000

merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung

selama kurang lebih 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian

tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang

memjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat

tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.

Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga

dapat menimbulkan relaps (kambuh).

Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke

dalam peredaran darah dan menginfeksi sela darah merah. Di dalam sel

darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai

skizon (8-30 merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut

skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi skizon) pecah dan

merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus

inilah yang disebut dengan siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni

8

Page 9: Referat Malaria

darah, sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah merah dan

membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina (Nugroho,

2000).

2.2 Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina

Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang

mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet

betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot ini akan berkembang

menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Di luar

dinding lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya

menjadi sporozoit yang nantinya akan bersifat infektif dan siap ditularkan

ke manusia.

Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari

sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang

ditandai dengan demam bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium.

Sedangkan masa prepaten atau rentang waktu mulai dari sporozoit masuk

sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan

mikroskopik (Nugroho, 2000).

Gambar 3. Siklus Hidup Plasmodium di Manusia dan Nyamuk Anopheles

9

Page 10: Referat Malaria

E. PATOGENESIS MALARIA

Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang

dan lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan

permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Oleh karena

skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia.

Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya

kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat

adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan

sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain

yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi

terhadap eritrosit (Rampengan, 2000).

Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi

sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam

makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun

yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasia dari retikulosit

diserta peningkatan makrofag (Rampengan, 2000).

Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi

merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang

mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekular sel

untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi

mekanisme, diantaranya transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi

dan resetting (Harijanto, 2000).

Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah

terinfeksi P. falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan

kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak

terinfeksi sehingga terbentuk roset (Harijanto, 2006).

Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang

mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih

eritrosit non parasit, sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang

mempengaruhi terjadinya resetting adalah golongan darah dimana

terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor

pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi (Harijanto, 2000).

10

Page 11: Referat Malaria

Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial

dan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Penghancuran eritrosit

Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi

juga terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga

menimbulkan anemia dan hipoksemia jaringan. Pada hemolisis

intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black white fever)

dan dapat menyebabkan gagal ginjal (Pribadi, 2000).

2. Mediator endotoksin-makrofag

Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu

makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator.

Endotoksin mungkin berasal dari saluran cerna dan parasit malaria

sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF) yang merupakan

suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan

yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat menimbulkan

demam, hipoglikemia, dan sndrom penyakit pernapasan pada orang

dewasa (Pribadi, 2000).

3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka

Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan-

tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung

antigen dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan

afinitas eritrosit yang mengandung parasit terhadap endothelium kapiler

alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam.

Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk

gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan

anoksia dan edema jaringan (Pribadi, 2000).

F. PATOLOGI MALARIA

Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi dalam sel hepar

tanpa menyebabkan reaksi inflamasi, kemudian merozoit yang dihasilkan

menginfeksi eritrosit yang merupakan proses patologi dari penyakit

11

Page 12: Referat Malaria

malaria. Proses terjadinya patologi malaria serebral yang merupakan salah

satu dari malaria berat adalah terjadinya perdarahan dan nekrosis di sekitar

venula dan kapiler. Kapiler dipenuhi leukosit dan monosit, sehingga

terjadi sumbatan pembuluh darah oleh roset eritrosit yang terinfeksi

(Zulkarnaen, 2000; Harijanto, 2006).

G. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis penderita malaria sangat beragam, dari yang tanpa

gejala sampai dengan yang berat. Di daerah endemi malaria, manifestasi

klinis tersebut sudah sangat dikenal oleh tenaga kehatan bahkan penderita

dapat mendiagnosis penyakitnya sendiri. Pada daerah non endemis

diperlukan pengalaman untuk mengarah ke diagnosis malaria. Banyak

faktor yang mempengaruhi manifestasi klinis tersebut, antara lain:

1. Status kekebalan yang biasanya berhubungan dengan tingkat

endemisitas tempat tinggalnya.

2. Beratnya infeksi (kepadatan parasit).

3. Jenis dan strain Plasmodium.

4. Status gizi.

5. Sudah minum obat anti malaria.

6. Keadaan lain penderita (bayi, hamil, orang tua, menderita sakit lain).

7. Faktor genetik (HbF, defisiensi G6PD, ovalositosis, dan lain-lain)

Biasanya penderita yang tinggal atau berasal dari daerah endemis

telah mempunyai kekebalan terhadap malaria sehingga manifestasi

klinisnya lebih ringan dibandingkan penderita yang tidak kebal. Oleh

sebab itu malaria berat sering didapatkan pada penderita tidak kebal

bahkan dapat berakibat fatal. Secara umum, bila kepadatan parasit tinggi,

biasanya risiko menjadi malaria berat lebih besar. Walaupun demikian

tidak jarang didapatkan penderita malaria berat dengan kepadatan parasit

rendah dan sebaliknya (Hadisaputro, 1991; Tjitra, 2000).

Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis malaria dipengaruhi

oleh banyak faktor. Malaria berat umumnya disebabkan oleh P.

falciparum. Di samping itu malaria falsiparum merupakan jenis malaria

12

Page 13: Referat Malaria

yang telah dilaporkan resisten terhadap klorokuin maupun multidrug

(Tjitra, 2000). Di Irian dikenal P. vivax Chesson strain yang lebih sulit

dapat disembuhkan. Status gizi sangat mempengaruhi kekebalan tubuh

terhadap infeksi terutama pada anak-anak, sehingga tak mengherankan

malaria pada anak kurang gizi sering berkembang menjadi berat.

Manifestasi klinis penderita yang sudah minum obat anti-malaria

atau minum profilaksis biasanya dapat lebih ringan atau menjadi tidak

jelas. Pada penderita dengan defisiensi G6PD dapat disertai dengan

hemoglobinuria. Anak-anak, ibu hamil dan orang tua, biasanya lebih

rentan terhadap infeksi. Malaria pada kehamilan dapat menyebabkan

abortus, kematian janin, bayi lahir mati, berat badan lahir rendah, malaria

kongenital, partus sulit, anemia, gangguan fungsi ginjal dan hipoglikemia.

Infeksi malaria lebih sulit terjadi pada penderita dengan HbF, defisiensi

G6PD, dan ovalositosis.

Manifestasi umum malaria (Harijanto, 2006):

1. Masa inkubasi

Biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung pada spesies parasit

(terpendek untuk P. falciparum dan terpanjang untuk P. malariae),

beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat

resistensi hospes.

2. Keluhan prodromal

Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa:

kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada

tulang atau otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-

kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi

pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae

keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak.

3. Gejala-gejala umum

Gejala klasik yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxysm) secara

berurutan:

a. Periode dingin

13

Page 14: Referat Malaria

Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering

membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat

menggigil, sering seluruh badan gemetar dan gigi-gigi saling

terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode

ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan

meningkatnya temperatur.

b. Periode panas

Muka penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat

dan panas badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau lebih,

penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala,

nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan

darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak).

Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau

lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.

c. Periode berkeringat

Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh,

sampai basah temperatur turun, penderita merasa capek dan sering

tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat

melakukan pekerjaan biasa.

Trias malaria secara keseluruhan dapat berlangsung antara 6-10 jam,

lebih sering terjadi pada infeksi P. vivax. Pada infeksi P. falciparum

menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas

berlangsung 12 jam pada P. falsiparum, 36 jam pada P. vivax dan ovale,

60 jam pada P.malariae.

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria,

dan lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik terutama pada

anak-anak dan ibu hamil. Beberapa mekanisme terjadinya anemia adalah

Pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoeisis yang sementar,

hemolisis karena proses complement mediated immune complex,

eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit. Pembesaran

limpa (splenomegali) akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut

dimana akan terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan

14

Page 15: Referat Malaria

organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria,

penelitian pada binatang percobaan, limpa menghapuskan eritrosit yang

terinfeksi melalui perubahan metabolisme, antigenik dan rheological dari

eritrosit yang terinfeksi (Nugroho, 2000; Harijanto, 2000).

Untuk memudahkan penatalaksanaan penanganan kasus malaria,

manifestasi klinis dikelompokkan menjadi:

(1) Malaria ringan atau tanpa komplikasi

Malaria ini umumnya disertai gejala dan tanda klinis yang ringan

terutama sakit kepala, demam, menggigil dan mual serta tanpa

kelainan fungsi organ. Kadang-kadang dapat disertai dengan sedikit

penurunan trombosit dan sedikit peningkatan bilirubin serum. Gejala-

gejala klinis ini juga sering dijumpai oleh peneliti-peneliti lain. Gejala

dan tanda klinis lain yang juga dapat ditemukan adalah pusing, pucat,

tak nafsu makan, muntah, sakit perut, diare, lemah, myalgia,

hepatomegali dan splenomegali (Udomsangpetch, 1989).

(2) Malaria berat atau dengan komplikasi

Malaria berat adalah malaria falsiparum yang cenderung menjadi

fatal atau malaria dengan komplikasi dimana kemungkinan penyakit

lain sudah dapat disingkirkan. Lebih kurang 10% dari penderita

malaria falsiparum adalah malaria berat dengan angka kematian 18,8-

40,0% (Hadisaputro, 1991).

H. DIAGNOSIS MALARIA

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Diagnosis pasti infeksi malaria ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah

secara mikroskopik atau tes diagnostik cepat (Purwaningsih, 2000).

1. Anamnesis

a) Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat

disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.

b) Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang lalu

ke daerah endemik malaria.

15

Page 16: Referat Malaria

c) Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.

d) Riwayat sakit malaria.

e) Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.

f) Riwayat mendapat transfusi darah.

Selain hal-hal tersebut di atas, pada tersangka penderita malaria berat,

dapat ditemukan keadaan di bawah ini:

a) Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.

b) Keadaan umum yang lemah.

c) Kejang-kejang.

d) Panas sangat tinggi.

e) Mata dan tubuh kuning.

f) Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.

g) Nafas cepat (sesak napas).

h) Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.

i) Warna air seni seperti the pekat dan dapat sampai kehitaman.

j) Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.

k) Telapak tangan sangat pucat.

2. Pemeriksaan Fisik

a) Demam (≥ 37,5oC)

b) Kunjunctiva atau telapak tangan pucat

c) Pembesaran limpa

d) Pembesaran hati

Pada penderita tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis

sebagai berikut:

a) Temperature rektal ≥40oC.

b) Nadi capat dan lemah.

c) Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50 mmHg

pada anak-anak.

d) Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali

permenit pada balita, dan >50 kali permenit pada anak dibawah 1

tahun.

e) Penurunan kesadaran.

16

Page 17: Referat Malaria

f) Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.

g) Tanda-tanda dehidrasi.

h) Tanda-tanda anemia berat.

i) Sklera mata kuning.

j) Pembesaran limpa dan atau hepar.

k) Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.

l) Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan dengan mikroskopik

Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada

penderita adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam

darah tepi. Pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk menentukan

(Purwaningsih, 2000):

1) Ada/tidaknya parasit malaria.

2) Spesies dan stadium Plasmodium

3) Kepadatan parasit

Semi kuantitatif:

(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB

(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB

(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB

(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB

(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB

Kuantitatif:

Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan darah

tebal atau sediaan darah tipis.

b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)

Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit

malaria, dengan menggunakan metode immunokromatografi dalam

bentuk dipstik.

c. Tes serologi

Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik

terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal.

17

Page 18: Referat Malaria

Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru

terbentuk setelah beberapa hari parasitemia. Titer >1:200 dianggap

sebagai infeksi baru dan tes >1:20 dinyatakan positif.

I. PENATALAKSANAAN MALARIA

Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan

membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun

tujuan pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan kilinis dan

parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Semua obat anti malaria

tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena bersifat iritasi

lambung, oleh sebab itu penderita harus makan terlebih dahulu setiap akan

minum obat anti malaria (KEPMENKES, 2007).

Obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin,

sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivate artemisin. Klorokuin

merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria

klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program

pemberantasan malaria, sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk

pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa komplikasi. Kina

merupakan obat anti malaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria

falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk

pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Primakuin

digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis,

pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat. Artemisin digunakan untuk

pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrugs

(Tjitra, 2000).

Beberapa obat antibiotika dapat bersifat sebagai antimalaria. Khusus di

Rumah Sakit, obat tersebut dapat digunakan dengan kombinasi obat

antimalaria lain, untuk mengobati penderita resisten multidrugs. Obat

antibiotika yang sudah diujicoba sebagai profilaksis dan pengobatan malaria

diantaranya adalah derivate tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin,

sulfametoksazol-trimetoprim dan siprofloksasin. Obat-obat tersebut

18

Page 19: Referat Malaria

digunakan bersama obat anti malaria yang bekerja cepat dan menghasilkan

efek potensiasi antara lain dengan kina.

a. Pengobatan malaria falciparum

Lini pertama: Artesunat+Amodiakuin+Primakuin

Dosis artesunat = 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin= 10 mg/kgBB

(dosis tunggal), primakuin= 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal) (Departemen

Kesehatan RI, 2006).

Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat

badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan

umur. Dosis makasimal penderita dewasa yang dapat diberikan untuk

artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, 3 tablet untuk

primakuin (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Tabel 2.2 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut

Kelompok Umur.

Hari Jenis obatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur0-1 bln

2-11 bln

1-4 th

5-9 th

10-14 th

≥15 th

IArtesunat ¼ ½ 1 2 3 4Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4Primakuin - - ¾ 1 ½ 2 2-3

IIArtesunat ¼ ½ 1 2 3 4Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

IIIArtesunat ¼ ½ 1 2 3 4Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan

malaria falciparum. Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk

membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan

untuk membunuh gametosit yang berada di dalam darah.

Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila pengobatan

lini pertama tidak efektif.

Lini kedua: Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin

Dosis kina =10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), doksisiklin = 4

mg/kgBB/hr (dewasa, 2x/hr selama 7 hari), 2 mg/kgBB/hr (8-14 th, 2x/hr

selama 7 hari), tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari)

(Departemen Kesehatan RI, 2006).

19

Page 20: Referat Malaria

Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan

berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan

golongan umur.

Tabel 2.3 Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparum

Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur0-11 bln

1-4 th 5- 9 th 10-14 th ≥ 15 th

IKina * 3x½ 3x1 3x½ 3x2-3Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***

Primakuin - ¾ 1½ 2 2-2

II-VIIKina * 3x½ 3x1 3x½ 3x2-3Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***

* : dosis diberikan per kgBB** : 2x50 mg doksisiklin*** : 2x100 mg doksisiklin

b. Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale

Lini pertama: Klorokuin+Primakuin

Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria

vivax dan ovale. Pemakaian klorokuin bertujuan membunuh parasit

stadium aseksual dan seksual. Pemberian primakuin selain bertujuan

untuk membunuh hipnozoit di sel hati, juga dapat membunuh parasit

aseksual di eritrosit (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Dosis total klorokuin= 25 mg/kgBB (1x/hr selama 3 hari), primakuin=

0,25 mg/kgBB/hr (selama 14 hari).

Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan

berat badan penderita obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur,

sesuai dengan tabel.

Tabel 2.4 Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale

Hari Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥15 th

IKlorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

IIKlorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

IIIKlorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

IV-XIV Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28 setelah

pemberian obat, ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis sembuh

20

Page 21: Referat Malaria

(sejak hari keempat) dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak

hari ketujuh. Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah

pemberian obat:

a) Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau

b) Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang

atau timbul kembali setelah hari ke-14.

c) Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara

hari ke-15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau

infeksi baru).

Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin

Lini kedua: Kina+Primakuin

Dosis kina= 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), primakuin= 0,25

mg/kgBB (selama 14 hari) (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis

berdasarkan golongan umur sebagai berikut:

Tabel 2.5 Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin

Hari Jenis obatJumlah tablet perhari menurut kelompok umur0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th

1-7 Kina * * 3x½ 3x1 3x2 3x31-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

*: dosis diberikan per kgBB

Pengobatan malaria vivax yang relaps

Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang

ditingkatkan. Dosis klorokuin diberikan 1 kali perhari selama 3 hari,

dengan dosis total 25 mg/kgBB dan primakuin diberikan selama 14 hari

dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan

menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur.

Tabel 2.6 Pengobatan Malaria vivax yang Relaps

Hari Jenis obatJumlah tablet menurut kelompok golongan umur0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th

1Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4Primakuin - - ½ 1 1½ 2

2Klorokuin ¼ ½ - 2 3 3-4Primakuin - - ½ 1 1½ 2

3Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2Primakuin - - ½ 1 1½ 2

14-14 Primakuin - - ½ 1 1½ 2

21

Page 22: Referat Malaria

c. Pengobatan malaria malariae

Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB.

Klorokuin dapat membunuh parasit bentuk aseksual dan seksual P.

malariae. Pengobatan dapat juga diberikan berdasarkan golongan umur

penderita (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Tabel 2.7 Pengobatan Malaria Malariae

Hari

Jenis obatJumlah tablet menurut kelompok golongan umur0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th ≥ 15 th

I Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4II Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4

III Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2

d. Kemoprofilaksis

Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi

malaria sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat.

Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah

endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis,

peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain. Untuk kelompok atau individu

yang akan bepergian atau tugas dalam jangka waktu yang lama, sebaiknya

menggunakan personal protection seperti pemakaian kelambu, kawat

kassa, dan lain-lain.

Oleh karena P. falciparum merupakan spesies yang virulensinya

cukup tinggi maka kemoprofilaksisnya terutama ditujukan pada infeksi

spesies ini. Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi P.

falciparum terhadap klorokuin, maka doksisiklin menjadi pilihan.

Doksisiklin diberikan setiap hari dengan dosis 2 mg/kgBB selama tidak

lebih dari 4-6 minggu. Kemoprofilaksis untuk P. vivax dapat diberikan

klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB setiap minggu. Obat tersebut

diminum 1 minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu

setelah kembali (Departemen Kesehatan RI, 2006).

22

Page 23: Referat Malaria

Tabel 2.8 Dosis Pengobatan Pencegahan Dengan Klorokuin

Golongan umur (thn) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal, 1x/minggu)<1 ¼1-4 ½5-9 110-14 1½>14 2

e. Pengobatan Malaria Dengan Komplikasi

Definisi malaria berat/komplikasi adalah ditemukannya Plasmodium

falciparum stadium aseksual dengan satu atau beberapa manifestasi klinis

dibawah ini (Departemen Kesehatan RI, 2006):

1) Malaria serebral (malaria otak)

2) Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%)

3) Gagal ginjal akut (urin<400 mI/24 jam pada orang dewasa atau<1

ml/kgbb/jam padä anak setelah dilakukari rehidrasi; dengan kreatinin

darah >3 mg%).

4) Edema paru atau Acute Respiratory Distress Syndrome.

5) Hipoglikemi: gula darah < 40 mg%.

6) Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik <70 mm Hg (pada anak:

tekanan nadi ≤20 rnmHg); disertai keringat dingin.

7) Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan/atau

disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler

8) Kejang berulang >2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada

hipertermia.

9) Asidemia (pH:< 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma < 15 mmol/L).

10) Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan

karena obat anti malaria pada seorang dengan defisiensi G-6-PD).

Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat:

a) Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15)

b) Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) tanpa kelainan neurologik

c) Hiperparasitemia > 5 %.

d) lkterus (kadàr bilirubin darah > 3 mg%)

23

Page 24: Referat Malaria

e) Hiperpireksia (temperatur rektal > 40° C pada orang dewasa, >41° C

pada anak)

Pengobatan malaria berat ditujukan pada pasien yang datang dengan

manifestasi klinis berat termasuk yang gagal dengan pengobatan lini

pertama. Apabila fasilitas tidak atau kurang memungkinkan, maka

penderita dipersiapkan untuk dirujuk ke rumah sakit atau fasilitas

pelayanan yang lebih lengkap.

Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi:

1) Tindakan umum

2) Pengobatan simptomatik

3) Pemberian obat anti malaria

4) Penanganan komplikasi

Pilihan utama : derivat artemisinin parenteral

a) Artesunat Intravena atau intramuscular

b) Artemeter Intramuskular

Pemberian obat anti malaria berat yaitu dengan pemberian Artesunat

parenteral direkomendasikan untuk digunakan di Rumah Sakit atau

Puskesmas perawatan, sedangkan artemeter intramuscular

direkomendasikan untuk di lapangan atau Puskesmas tanpa fasilitas

perawatan. Obat ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester 1

yang menderita malaria berat.

J. Prognosis

1. Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan

diagnosis serta pengobatan.

2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang

dilaporkan pada anak-anak 15%, dewasa 20% dan pada kehamilan

meningkat sampai 50%.

3. Prognosis malaria berat dengan gangguan satu fungsi organ lebih baik

daripada gangguan 2 atau lebih fungsi organ.

a) Mortalitas dengan gangguan 3 fungsi organ adalah 50%.

b) Mortalitas dengan gangguan 4 atau lebih fungsi organ adalah 75%.

24

Page 25: Referat Malaria

c) Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:

Kepadatan parasit <100.000/µL, maka mortalitas <1%.

Kepadatan parasit >100.000/µL, maka mortalitas >1%.

Kepadatan parasit >500.000/µL, maka mortalitas >5%

(KEPMENKES, 2007).

25

Page 26: Referat Malaria

BAB III

PENDAHULUAN

A. KESIMPULAN

1. Malaria merupakan suatu penyakit yang bersifat akut maupun kronik,

yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium, yang ditandai

dengan demam, anemia dan pembesaran limpa.

2. Plasmodium sebagai penyebab malaria terdiri dari 4 spesies, yaitu P.

falciparum, P. ovale, P. vivax, dan P. malariae.

3. Malaria melibatkan hospes perantara yaitu nyamuk anopheles betina.

4. Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase seksual dalam tubuh

nyamuk anopheles betina dan fase aseksual dalam tubuh manusia.

5. Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang

dan lingkungan.

6. Pada malaria berat berkaitan dengan mekanisme transport membrane

sel, penurunan deformabilitas, pembentukan knob, sitoadherensi,

resetting, dan lain-lain.

7. Manifestasin klinik dari penyakit malaria ditandai dengan gejala

prodromal, trias malaria (menggigil-panas-berkeringat), anemia dan

splenomegali.

8. Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan gold standard adalah

menemukan parasit malaria dalam pemeriksaan sediaan apus darah tepi.

9. Pengobatan untuk malaria falsiparum, lini pertama: artesunat +

amodiakuin + primakuin, lini kedua: kina + dosksisiklin/tetrasiklin +

primakuin.

10. Pengobatan malaria vivax dan ovale, lini pertama: klorokuin +

primakuin, jika resistensi klorokuin: kina + primakuin, jika relaps:

naikkan dosis primakuin.

11. Pengobatan malaria malariae diberikan klorokuin. Untuk profilaksis

dapat digunakan dosksisiklin dan klorokuin.

26

Page 27: Referat Malaria

B. SARAN

Perlunya dilakukan program pemberantasan malaria melalui kegiatan:

1. Menghindari atau mengurangi kontak atau gigitan nyamuk anopheles.

a) Membunuh nyamuk dewasa dengan menggunkan berbagai insektisida.

b) Membunuh jentik baik secara kimiawi (larvasida) maupun biologik

(ikan, dan sebagainya).

c) Mengurangi tempat perindukan.

d) Mengobati penderita malaria.

e) Pemberian pengobatan pencegahan.

2. Penatalaksanaan yang efektif dan efisien kepada pasien yang meliputi

diagnosis secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk

mendapatkan hasil yang maksimal.

3. Menganjurkan kepada masyarakat yang akan bepergian ke daerah

endemis malaria agar mengkonsumsi kemoprofilaksis malaria.

27

Page 28: Referat Malaria

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1991. Malaria : Epidemiologi I. Direktorat Jenderal PPM & PLP.

Departemen Kesehatan RI. 2001. Malaria. Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/516-penyakit-malaria-dan-tbc-menyebabkan-170000-kematian-setiap-tahun-di-indonesia.html. Pada tanggal 5 Juni 2013.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta. Hal: 1-12, 15-23, 67-68.

Gunawan, S. 2000. Epidemiologi Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta: EGC. Hal: 1-15.

Harijanto, PN, Langi J, Richie TL. 2000. Patogenesis Malaria Berat. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC. Hal: 118-26.

Hadisaputro, S, Ardana K, Djamil A. 1991. Pola klinik dan pengelolaan malaria berat di RSU RA Kartini, Jepara, Jawa Tengah. Kumpulan Makalah Simposium Malaria. Jakarta: FKUI.

Harijanto, PN. 2006. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1754-60.

Husada, Srisasi Ganda. 2006. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI. Hal: 171-209.

Kartono, M. 2003. Nyamuk Anopheles: Vektor Penyakit Malaria. Jakarta: MEDIKA No.XX, tahun XXIX. Hal: 615.

Nugroho, A & Tumewu WM. 2000. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan. Jakarta: EGC. Hal: 38-52.

KEPMENKES. 2007. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria. Keputusan Menteri Kesehatan. No:041/MENKES/SK/I/2007.

Pribadi, W. 2000. Parasit Malaria. Dalam: gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (editor). Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Hal: 171-97.

Purwaningsih S. 2000. Diagnosis Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC. Hal: 185-92.

28

Page 29: Referat Malaria

Rampengan, TH. 2000. Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC. Hal: 249-60.

Soedarmo, S, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Tjitra E. 2000. Obat Anti Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC. Hal: 194-204.

Udomsangpetch R, Wahlin B, Carlson J dkk. 1989. Plasmodium falciparum infected erythrocytes from spontaneous erythrocyte rosettes. J Experiment Med. 169: 1835-1840.

Zulkarnaen, I. 2000. Malaria Berat (Malaria Pernisiosa). Dalam: Noer S et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 504-7.

29