referat lansia

46
BAB I PENDAHULUAN Penyakit Paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Slamet H, 2006). Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya (GOLD, 2007). Penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang non-reversibel. Pada penderita PPOK terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas di sistem pernapasan dan mengakibatkan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Obstruksi saluran napas yang kronis mengakibatkan volume udara keluar dan masuk tidak seimbang. Kondisi obstruksi saluran pernapasan yang terus menerus ini akan menyebabkan diafragma mendatar, gangguan kontraksi saluran pernapasan, sehingga fungsinya sebagai otot utama pernapasan berkurang. Sebagai kompensasinya, terjadi pemakaian terus menerus otot-otot intercostal dan otot inspirasi tambahan sehingga menimbulkan gejala sesak napas pada pasien PPOK (PDPI,2011).

description

ini penting bro

Transcript of referat lansia

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat

progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi

paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Slamet H, 2006). Gangguan ini

dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi

dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya (GOLD, 2007).

Penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran

pernapasan yang non-reversibel. Pada penderita PPOK

terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas di sistem

pernapasan dan mengakibatkan menurunnya aktivitas fisik

pada kehidupan sehari-hari. Obstruksi saluran napas yang

kronis mengakibatkan volume udara keluar dan masuk tidak

seimbang. Kondisi obstruksi saluran pernapasan yang terus

menerus ini akan menyebabkan diafragma mendatar,

gangguan kontraksi saluran pernapasan, sehingga fungsinya

sebagai otot utama pernapasan berkurang. Sebagai

kompensasinya, terjadi pemakaian terus menerus otot-otot

intercostal dan otot inspirasi tambahan sehingga menimbulkan

gejala sesak napas pada pasien PPOK (PDPI,2011).

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang

tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Amerika memiliki kasus kunjungan

pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000

memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun 2000.

Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah

penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan

untul penyakit ini mencapai $ 24 milyar pertahunnya (Sudoyo Aru W, 2009).

Di Indonesia, PPOK menempati urutan kelima sebagai

penyakit penyebab kematian dan diperkirakan akan

menduduki peringkat ke-3 pada tahun 2020 mendatang.

Permasalahan dari PPOK kebanyakan diakibatkan sulitnya

mendeteksi pasien dengan penyakit yang memiliki onset

lambat, biasanya di atas umur 50 tahun, diikuti dengan

progresi yang lambat (PDPI,2011).

Referat ini membahas mengenai PPOK Eksaserbasi akut yang

pembahasannya kami batasi mengenai definisi, epidemiologi, factor risiko,

diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi, adapun tujuan pembuatan dari referat ini

adalah untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang PPOK Eksaserbasi

Akut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit

paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan

aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif,

dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap

partikel atau gas yang berbahaya disertai efek ekstraparu yang

berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI,2011)

Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebebkan

oleh gabungan antara ostruksi saluran napas kecil (obstruksi

bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi

pada setiap individu. PPOK sering timbul pada usia pertengahan

akibat merokok dalam jangka waktu lama. Dampak PPOK pada

setiap individu tergantung derajat keluhan (khususnya sesak dan

penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala komorbid

lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat

keterbatasan aliran udara. (PDPI,2011)

Bronchitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan ke dalam

definisi PPOK karena emfisema merupakan diagnosis klinis.

Selain itu, keduanya tidak selalu menggambarkan hambatan

aliran udara dalam saluran napas. (PDPI,2011)

II. Epidemiologi

Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda

dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika

kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang

berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.

Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan

kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah

dari partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut ( PDPI, 2006 ). Insidensi pada

pria > wanita. Hal ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi

respirasi pada umur 30-40 tahun, namun akhir-akhir ini insiden pada

wanita meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah perokok wanita

(Aditama, 2005).

WHO memperkirakan sekitar 80 juta orang akan

menderita PPOK dan 3 juta meninggal karena PPOK pada tahun

2005, dengan merujuk 5% dari seluruh kematian secara

global. Total kematian akibat PPOK diproyeksikan akan

meningkat > 30% pada 10 tahun mendatang. Peningkatan

secara drastis pada dua dekade diharapkan di negaranegara

Asia dan Afrika karena peningkatan pemakaian tembakau.

WHO menyebutkan PPOK merupakan penyebab kematian

keempat di dunia. Diperkirakan menyebabkan kematian pada

2,75 juta orang atau setara dengan 4,8% (Susanto,2010)

Di negara-negara berkembang kematian akibat PPOK

juga meningkat, hal ini dihubungkan dengan peningkatan jumlah

masyarakat yang mengkonsumsi rokok. Di Cina merokok

menyebabkan kematian sebesar 12% dan diperkirakan akan

meningkat menjadi 30% pada tahun 2030. (Susanto,2010).

III. Faktor Risiko

Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan

dari partikel-partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang

selama hidupnya (GOLD, 2007 ).

1. Asap rokok

Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk

mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru

dan mortalitas yang lebih tinggi daripada orang yang tidak

merokok. Resiko untuk menderita PPOK bergantung pada

“dosis merokok” nya, seperti umur orang tersebut mulai

merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa

lama orang tersebut merokok.

Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok

pasif juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik dan

PPOK dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif tersebut

terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru “terbakar”.

Merokok selama masa kehamilan juga dapat

mewariskan faktor resiko kepada janin, mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan

perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin

juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.

Dalam pencatatan riwayat merokok pada perokok

perlu diperhatikan beberapa hal:

1) Riwayat merokok

Perokok aktif

Perokok pasif

Bekas perokok

2) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB),

yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang

dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

Ringan : 0 – 199

Sedang : 200- 599

Berat : >600

2. Polusi tempat kerja, serta kondisi sosial ekonomi.

Pajanan polusi didalam dan luar ruangan,

pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain

yang berhubungan status sosial ekonomi kemungkinan

dapat menjelaskan hal ini. Malnutrisi dan penurunan berat

badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot

respirasi, karena penurunan massa otot dan kekuatan

serabut otot. Kelaparan dan status anabolik/katabolik

berkembang menjadi emfisema pada percobaan binatang.

CT scan paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat

anoreksia nervosa menunjukkan gambar emfisema.

3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan

Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia

menggunakan batubara, arang, kayu bakar ataupun bahan

bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk

memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga

lainnya. Ini memungkinkan bahwa wanita di negara

berkembang memiliki angka kejadian yang tinggi terhadap

kejadian PPOK (Hansel and Barnes, 2003). Sehingga IAP

memiliki tanggung jawab besar jika dibandingkan dengan

polusi di luar ruangan seperti gas buang kendaraan

bermotor.

4. Polusi di luar ruangan

Gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan

merupakan salah satu contoh gas polusi di luar ruangan.

Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di

atmosfer dalam waktu lama sebagai penyebab PPOK belum

jelas, tetapi lebih kecil prevalensinnya jika dibandingkan

dengan asap rokok. Efek relatif jangka pendek, puncak

pajanan tertinggi dalam waktu lama, dan pajanan tingkat

rendah adalah pertanyaan yang harus di cari jawabannya

5. Infeksi saluran nafas berulang

Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis

dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan

inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna

menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat

pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan

meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat

beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab

keadaan ini. Karena seringnya kejadian infeksi berat pada

anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif

jalan napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK.

Kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian

emfisema. Riwayat infeksi tuberkolosis berhubungan

dengan obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.

6. Jenis kelamin

PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding

wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki

dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki

dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan

pola dari merokok itu sendiri. Namun hal tersebut masih

kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan

bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena PPOK

dibandingkan perokok pria. Di negara berkembang wanita

lebih banyak terkena paparan polusi udara yang berasal

dari asap saat mereka memasak ( Hansel and Bernes,

2003)

7. Status sosioekonomi dan status nutrisi

Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A,

C, E, kadang-kadang berhubungan dengan peningkatan

resiko terkena PPOK, meskipun banyak penelitian terbaru

menemukan bahwa vitamin C dan magnesium memiliki

prioritas utama (Hansel and Bernes, 2003)

8. Asma

menurut The Tucson Epidemiological Study

didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi

risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah

berhenti merokok. Peneltian 20% dari asma akan

berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya

obstruksi jalan napas ireversibel.

9. Usia

Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan pada

usia produktif tersering hal ini karena pada usia produktif

banyak pasien yang mengkonsumsi rokok dan terpapar

dengan banyak asap akibat pekerjaan karena tidak

menggunakan APD yang sesuai.

10. Faktor Genetik

Faktor kompleks genetik dengan lingkungan menjadi

salah satu penyebab terjadinya PPOK, meskipun penelitian

Framingham pada populasi umum menyebutkan bahwa

faktor genetik memberi kontribusi yang rendah dalam

penurunan fungsi paru. Faktor risiko genetik yang paling

sering terjadi adalah kekurangan α-1 antitrypsin sebagai

inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling

sering dijumpai pada individu yang berasal dari Eropa

utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan

emfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang

terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan

kekurangan α-1 antitrypsin yang berat. Banyak variasi

individu dalam hal beratnya emfisema dan penurunan

fungsi paru. Meskipun kekurangan α-1 antitrypsin yang

hanya sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini

menggambarkan interaksi antara gen dan pajanan

lingkungan yang menyebabkan PPOK.

Gambaran diatas menjelaskan bagaimana faktor

risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK.

Risiko obstruksi aliran udara secara genetik telah diteliti

pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK

berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik

mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah di

identifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam patogenesis

PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1, dan TNF. Gen – gen diatas

banyak yang belum pasti kecuali kekurangan α-1

antitrypsin.

11.Tumbuh Kembang Paru

pertumbuhan paru berhubungan dengan proses

selama kehamilan, kelahiran, dan pajanan waktu kecil.

Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang

adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi menyatakan

bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa

anak.

12.Stres Oksidatif

Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan

eksogen. Oksidan endogen timbul dari sel fagosit dan tipe

sel lainnya sedangkan oksidan endogen dari polutan dan

asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti derivat

elektron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme

seluler signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh

oxydative chalenge yang berkembang secara sistem

enzimatik atau non enzimatik. Ketika keseimbangan antara

oksidan dan antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses

oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan

stress oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan

efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan

aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru. Jadi,

ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan

memegang peranan penting pada PPOK.

IV. Patogenesis

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi

utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan

yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer,

parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu

inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru.

Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil

dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen

dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi

pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang

akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi,

yang meningkat sesuai berat sakit (Alsaggaf dkk, 2004).

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan

berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan

keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal

bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel

dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. (Alsaggaf

dkk, 2004).

Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan,

selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid.

Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel

dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag

alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya

faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien

B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide

(MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor

tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang

akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul

kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan

sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,

selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada

keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan

antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan

neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen

menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid

dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan

diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri

menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi

anion hipohalida (HOCl ). (Alsaggaf dkk, 2004).

Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara

dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus

lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder

setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur

berupa destruksi alveolus yang menuju ke arah emfisema

karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan

polusi dan asap rokok.

Pada perokok yang menderita PPOK produksi antiprotease

mungkin tidak cukup untuk menetralisir efek berbagai protease

dan mungkin juga karena faktor genetik yang berperan dalam

terganggunya fungsi dan produksi protein ini.

Beberapa studi mendapatkan adanya peningkatan stres

oksidatif yang berperan penting pada PPOK melalui mekanisme

aktivasi transkripsi nuclear factor κB (NfκB) dan activator

protein-1(AP-1) yang menginduksi neutrophilic inflammation

melalui peningkatan ekspresi IL-8, TNF-α dan MMP-9, serta

merusak antiprotease seperti α-1 AT yang meningkatkan

terjadinya inflamsi dan proses proteolitik. (Alsaggaf dkk, 2004).

Terjadinya proses inflamasi akan merusak metriks

ekstraseluler, berakibat pada kematian sel dimana kemampuan

memperbaiki dan memulihkan kerusakan terebut tidak adekuat

sehingga terjadilah hambatan jalan udara yang progresif dan

ireversibel. (Sat Sharma, 2006).

Gambar 1. Patogenesis PPOK

V. Patologi

Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas

besar (central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru dan

vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang

pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan

jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi bronkus.

Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya

siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini akan

menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran napas dengan

peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang

menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada

parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema sentrilobuler.

Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa

terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary capilary bed.

Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh

darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang

pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan

infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah

lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding

pembuluh darah bertambah tebal (Alsaggaf dkk, 2004).

Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran

napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak.

Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2mm)

menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena

metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan

hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas

disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru (Sat Sharma, 2006).

VII. Gejala Klinis

Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu sesak napas dan batuk,

adapun gejala yang terlihat seperti: (Alsaggaf dkk, 2004)

1. Sesak Napas

Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan

lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas

bertambah berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.

2. Batuk Kronis

Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu

pagi hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila

eksaserbasi.

3. Sesak napas (wheezing)

Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini menunjukan

komponen reversibel penyakitnya. Bronkospasme bukan satun-satunya

penyebab wheezing. Wheezing pada PPOK terjadi saat pengerahan tenaga

(exertion) mungkin karena udara lewat saluran napas yang sempit oleh

radang atau sikatrik.

4. Batuk Darah

Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran

napas yang radang dan khasnya “blood streaked purulen sputum”.

5. Anoreksia dan berat badan menurun

Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek .

VIII. Klasifikasi PPOK

Berdasarkan tingkat keparahan PPOK, maka penyakit ini dibagi dan

diukur dari skala sesak napas. Menurut American Thoracic

Society (ATS) penggolongan PPOK berdasarkan derajat

obstruksi saluran napas yaitu ringan, sedang, berat dan

sangat berat. Gejala ini ditandai dengan sesak napas pada

penderita yang dirinci sebagai berikut : (PDPI, 2011)

a) Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan

skala 0.

b) Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan

atau sedikit mendaki nilai 1 skala ringan. Serta

pengukuran spirometri menunjukkan nilai VEP1 ≥ 50 %.

c) Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama

usia karena sesak napas, atau harus berhenti sesaat

untuk bernapas pada saat berjalan walau jalan

mendatar nilai 2 skala sedang.

d) Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah

beberapa menit berjalan nilai 3 skala berat.

e) Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari

terganggu atau sesak napas saat menggunakan atau

melepaskan pakaian, nilai 4 skala sangat berat.

Pada penderita PPOK derajat berat sudah terjadi

gangguan fungsional sangat berat serta membutuhkan

perawatan teratur dan spesialis respirasi.

Tabel 1. Klasifikasi PPOK

Derajat Klinis Faat ParuDerajat I :PPOKRingan

Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru mulai

VEP1 / KVP < 70% VEP1 ≥ 80% prediksi

menurun

Derajat II :PPOKSedang

Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya

VEP1 / KVP <70%50% < VEP1< 80% prediksi

Derajat IIIPPOK Berat

Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien

VEP1 / KVP < 70%30% < VEP1< 50% prediksi

Derajat IVPPOKSangat berat

Gejala diatas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa

VEP1 / KVP < 70% VEP1< 30% prediksi atauVEP1< 50% prediksi disertai gagal napas kronik

(Sumber: Gold, 2010)

IX. Diagnosis

1) Riwayat Penyakit

Dua keluhan utama yang tersering adalah batuk dan sesak

nafas. Batuk biasanya timbul sebelum atau bersamaan dengan

sesak nafas, berdahak,umumnya dahak mukoid berwarna putih,

namun dapat berubah menjadi purulen apabila terjadi infeksi.

Sesak nafas terutama pada saat melakukan aktifitas yang

mengerahkan tenaga dimana terjadi peningkatan kebutuhan

Oksigen sehingga RR meningkat. Selain itu sering didapatkan

mengi pada pasien PPOK pada saat serangan sesak terjadi.

Keluhan-keluhan itu berlangsung kronis ataupun berulang dan

cenderung progresif. Karakteristik PPOK adalah adanya

eksaserbasi dimana pada saat eksaserbasi keluhan-keluhan

diatas menjadi semakin parah.(PDPI,2011).

Anamnesis:

a) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa

gejala pernapasan.

b) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

c) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

d) Terdapat faktor predisposisi pada bayi/anak, misalnya

berat badan lahir rendah, infeksi saluran napas berulang,

lingkungan asap rokok dan polusi udara.

e) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.

f) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

2) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat

obstruksi aliran udara, derajat hiperinflasi paru, dan bentuk

tubuh. Awalnya mungkin hanya dapat ditemukan ekspirasi

memanjang dan wheezing saat ekspirasi paksa. Bila berlanjut

maka akan tampak hiperinflasi dan terjadi perubahan pada

rongga thorax menjadi barrel chest. Dapat juga ditemukan

tanda-tanda kor pulmonale sekunder seperti penigkatan JVP dan

kongesti hepar.(PDPI,2011).

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan.

a) Inspeksi

Pursed-lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut

mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini

terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan

retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

Barrel chest (diameter antero posterior dan transversal

sebanding)

Penggunaan otot bantu napas

Hipertrofi otot bantu napas

Pelebaran sela iga

Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut

vena jugularis di leher dan edema tungkai

Penampilan pink puffer atau blue bloaters

Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema,

pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-

lips breathing.

Blue bloaters adalah gambaran khas pada bronkhitis

kronik, pasien gemuk sianosis, terdapat edema tungkai

dan ronki basah halus di basal paru, sianosis sentral dan

perifer.

b) Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.

c) Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,

letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

d) Auskultasi

Suara napas vesikular normal atau melemah

Terdapat ronki atau mengi pada waktu bernapas biasa

atau pada ekspirasi biasa.

Ekspirasi memanjang

Bunyi jantung terdengar jauh.

3) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan rutin:

a. Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau

VEP1/KVP (%).

Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%

(VEP1/KVP) < 75 %

- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk

menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,

APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif

dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari

20%.(Stoller, 2004)

Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan

APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -

20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,

perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. (Stoller, 2004)

b. Darah rutin

Hb, Ht, leukosit

Normal Hyperinflation

c. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit

paru lain.

Pada emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar

- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop

appearance)

Pada bronkitis kronik :

- Normal

- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan

tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar

dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.

Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya

hiperinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar,

penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan cortakan

ke distal. (Stoller, 2004)

Gambar 2. Gambar foto thoraks

Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

a. Faal paru

- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti

Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat

- DLCO menurun pada emfisema

- Raw meningkat pada bronkitis kronik

- Sgaw meningkat

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

b. Uji latih kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

c. Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil

PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.

d. Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral

(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari

selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %

dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan

faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

e. Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :

- Gagal napas kronik stabil

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

f. Radiologi

- CT - Scan resolusi tinggi

Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema

atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.

- Scan ventilasi perfusi

Mengetahui fungsi respirasi paru

g. Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal

dan hipertrofi ventrikel kanan.

h. Ekokardiografi

Menilai funfsi jantung kanan

i. Bakteriologi

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur

resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk

memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang

merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di

Indonesia.

j. Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema

pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di

Indonesia. riwayat penyakit yang ditandai dengan gejala-gejala diatas.

PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk

dengan dahak atau sesak napas dan atau riwayat terpapar faktor resiko. Diagnosis

dipastikan dengan pemeriksaan obyektif adanya hambatan aliran udara (dengan

spirometri) (Alsaggaf dkk, 2004).

X. Diagnosis Banding

Diagnosis PPOK harus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan

fisisk dan pemeriksaan penunjang. Beberapa diagnosis banding

PPOK adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Diagnosis banding PPOK

Diagnosis Banding GejalaPPOK Onset pada usia pertengahan

Gejala progresif lambatLamanya riwayat merokokSesak saat aktivitasSebagaian besar hambatan aliran udara ireversibel

Asma` Onset awal sering pada anak

Gejala bervariasi dari hari ke hariGejala pada malam/menjelang pagiDisertai atopi, rhinitis dan eksimRiwayat keluarga dengan asmaSebagian besar hambatan aliran udara reversible

Gagal jantung kongestif

Auskultasi terdengar rhonki halus di bagian basalFoto toraks tampak jantung membesar, edema paruUji faal paru menunjukkan restriksi, bukan obstruksi

Bronkiektasis Sputum produktif dan purulenUmumnya terkait dengan infeksi bakteriAuskultasi terdengar rhonki kasarFotot torak/CT scan torak menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus

Diagnosis Banding GejalaTuberculosis Onset segala usia

Foto torak menunjukkan infiltrateKonfirmasi mikrobiologi atau dengan sputum BTAPrevalensi tuberculosis tinggi di daerah endemis

(Sumber : PDPI, 2011)

XI. Tatalaksana PPOK

Dalam menatalaksana pasien PPOK perlu diingat beberapa hal penting

yang merupakan tujuan yang harus dicapai dalam menangani pasien, adapun

tujuan tersebut adalah : (Sutherland, 2004)

1. Mencegah progresivitas penyakit,

2. Mengurangi gejala

3. Meningkatkan toleransi latihan

4. Mencegah dan mengobati komplikasi

5. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

6. Mencegah atau meminimalkan efek samping obat

7. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

8. Meningkatkan kualitas hidup penderita

9. Menurunkan angka kematian

Penatalaksanaan pasien PPOK di Indonesia meliputi 4 program tatalaksana

yang harus dikerjakan oleh setiap tenaga medis, adapun 4 program tersebut

adalah: (Sutherland, 2004)

1. Evaluasi dan monitor penyakit

2. Menurunkan faktor risiko

3. Tatalaksana PPOK stabil

4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi

Penatalaksanaan PPOK dibagi lagi menjadi penatalaksanaan menurut

derajat PPOK yang diderita pasien, adapun penatalaksaannya adalah:

1. Berhenti merokok/mencegah pajanan gas/partikel berbahaya

2. Menghindari faktor pencetus

3. Vaksinasi Influenza

4. Rehabilitasi paru

5. Pengobatan/medikamentosa di antaranya penggunaan bronkodilator

kerja singkat antikolinergik kerja singkat), penggunaan bronkodilator

kerja lama (antikolinergik kerja lama), dan obat simtomatik. Pemberian

kortikosteroid dapat digunakan berdasarkan derajat PPOK.

6. Pada PPOK derajat sangat berat diberikan terapi oksigen

7. Reduksi volume paru secara pembedahan atau endoskopi

(transbronkial).

Tabel 3. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK

DERAJAT IVEP1/KVP <70%

VEP1 ≥80% prediksi

DERAJAT IIVEP1/KVP <70%VEP1/KVP < 70%50% < VEP1 < 80% prediksi

DERAJAT IIIVEP1/KVP ≤ 70%30% ≤ VEP1 ≤

50%prediksi

DERAJAT IVVEP1/KVP ≤ 70%30% ≤ VEP1 ≤

50%Prediksi

Hindari faktor risiko: BERHENTI MEROKOK, PAJANAN KERJA Dipertimbangkan pemberian vaksin influenza

Tambahksn bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan) Berikan pengobatan rutin dengan satu atau

lebih bronkodilator kerja lama Tambahkan rehabilitasi fisis

Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang-ulang

Tambahkan pemberian oksigen jangka panjang kalau terjadi gagal napas kronik

Lakukan tindakan operasi bila diperlukan

(Sumber: PDPI,2011)

PPOK stabil yang merupakan salah satu dari empat program

penatalaksanaan PPOK yang harus dikerjakan memiliki kriteria sebagai berikut :

1) Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas

kronik

2) Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil

analisis gas darah menunjukkan PH normal PCO2 > 60

mmHg dan PO2 < 60 mmHg

3) Sputum tidak berwarna atau jernih

4) Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat

PPOK (hasil spirometri)

5) Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

6) Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Untuk program penatalaksanaannya PPOK stabil memiliki

beberapa langkah yang harus dikerjakan, adapun langkah

tersebut adalah :

a) Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena

PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi

adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan

perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,

menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau

tujuan pengobatan dari asma selain hal tersebut edukasi untuk pasien PPOK

yang bisa disampaikan adalah meningkatkan kemampuan

menanggulangi penyakit dan status kesehatan secara umum.

Skala prioritas edukasi meliputi berhenti merokok, penjelasan

mengenai penggunaan obat-obatan, penggunaan oksigen,

mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi

oksigen, penilaian eksaserbasi serta pengelolaannya,

mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi dan

menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan

aktivitas.

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,

langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian

edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu

banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam

pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan

penyakit kronik progresif yang ireversibel. Edukasi berdasarkan derajat

penyakit:

Ringan

- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,

antara lain berhenti merokok

- Segera berobat bila timbul gejala

Sedang

- Menggunakan obat dengan tepat

- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini

- Program latihan fisik dan pernapasan

Berat

- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi

- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

- Penggunaan oksigen di rumah

b) Farmakoterapi, terdiri dari:

1) Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga

jenisbronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi

derajat berat penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan

inhalasi, nebuliser tidak dianjurkanpada penggunaan

jangka panjang. Pada derajat berat diutamakanpemberian

obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek

panjang(long acting ). (PDPI,2011)

2) Kortikosteroid

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral

atauinjeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang

terjadi, dipilihgolongan metilprednisolon atau prednison.

Bentuk inhalasi sebagai terapijangka panjang diberikan bila

terbukti uji kortikosteroid positif yaituterdapat perbaikan

VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% danminimal

250 mg. (PDPI,2011)

3) Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena

akanmempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada

bronkitis kronikdengan sputum yang viscous. Mengurangi

eksaserbasi pada PPOKbronkitis kronik, tetapi tidak

dianjurkan sebagai pemberian rutin. (PDPI,2011)

4) Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup.

Digunakan N-asetilsistein, dan dapat diberikan pada PPOK dengan

eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

c) Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan

yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian

terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk

mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan

sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. (PDPI,2011)

d) Ventilator Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal

napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas

kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan intubasi atau

tanpa intubasi(PDPI,2011)

e) Rehabilitasi Medik

Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan

memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat

dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim

multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.

Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan latihan

pernapasan. (PDPI,2011)

f) Nutrisi

Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena bertambahnya

kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang meningkat karena

hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.

(PDPI,2011)

PPOK juga merupakan salah satu dari empat program penatalaksanaan

PPOK yang harus dikerjakan. PPOK eksaserbasi secara umum adalah

perburukan kondisi pasien yang menetap dari keadaan stabil dan

di luar variasi normal sehari-hari yang mengharuskan perubahan

dari obat reguler. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau

faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya

komplikasi.kriteria dari PPOK eksaserbasi akut adalah :

Gejala eksaserbasi adalah :

a) Sesak bertambah

b) Produksi sputum meningkat

c) Perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen)

Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga:

a) Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas.

b) Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas.

c) Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas,

ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari,

demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan

mengi atau frekuensi pernapasan >20% nilai dasar atau

frekuensi nadi >20% nilai dasar.

Untuk program penatalaksanaannya PPOK stabil memiliki

beberapa langkah yang harus dikerjakan, adapun langkah

tersebut adalah : (PDPI,2011)

1. Oksigenasi adekuat, cukup menggunakan O2 nasal 1-4 lpm.

Sasaran PaO2 60-65 mmHg atau SaO2> 90%

2. Bronkodilator.

3. Kortikosteroid oral atau intravena dianjurkan sebagai

tambahan terhadap bronkodilator dan oksigenasi.

4. Antibiotika, diindikasikan untuk eksaserbasi yang

disebabkan karena infeksi bakterial. Umumnya infeksi

paling sering disebabkan oleh kuman S. Pneumonia, H.

Influenzae, dan M. Catarhalis.

5. Cairan dan Elektrolit perlu dimonitor.

6. Nutrisi yang adekuat, untuk mencegah proses katabolik

tubuh.

7. Ventilator mekanik, dapat diberikan pada pasien

eksaserbasi dengan stadium IV.

Indikasi rawat inap pada PPOK merupakan bagian penting

dalam mengevaluasi dan mengerjakan penatalaksaan pasien

PPOK, adapun indikasi rawat inap pada pasien PPOK adalah :

(PDPI,2011)

1. Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak beraktivitas

2. PPOK dengan derajat berat

3. Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema

4. Disertai penyakit komorbid lain

5. Sering eksaserbasi

6. Didapatkan aritmia

7. Diagnostik yang belum jelas

8. Usia lanjut

9. Infeksi saluran nafas berat

10. Gagal napas akut pada gagal napas kronik

Rekomendasi pengobatan dibagi menjadi beberapa bagian,

yang mana salah satunya adalah rekomendasi berdasarkan

derajat PPOK, adapun rekomendasi pengobatannya adalah :

Tabel 5. Karakteristik rekomendasi pengobatan berdasarkan

derajat PPOK

DERAJAT PENGOBATANSemua Derajat - Edukasi (hindari faktor

pencetus)- Bronkodilator kerja singkat

(SABA, Antikolinergik, kerja cepat, Xantin) bila perlu

- Vaksinasi influenzaDerajat I:PPOK Ringan

DERAJAT IVEP1/KVP < 70%VEP1 ≥ 80% Prediksi, dengan atau tanpa gejala

Bronkodilator kerja singkat (SABA, Antikolinergik, kerja cepat, Xantin) bila perlu

Derajat II:PPOK Sedang

DERAJAT IIVEP1/KVP < 70%50% < VEP1 < 80% prediksi, dengan atau tanpa gejala

1. Pengobatan reguler dengan bronkodilator:a. Antikolinergik kerja lama

sebagai terapi pemeliharaan

b. LABAc. Simptomatik

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat III:PPOK Berat

DERAJAT IIIVEP1/KVP ≤ 70%30% ≤ VEP1 ≤ 50%prediksi dengan atau tanpa gejala

1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator:a. Anti kolinergik kerja lama

sebagai terapi pemeliharaan

b. LABAc. Simptomatikd. Kortikosteroid inhalasi

bila memberikan respons klinis atau eksasebasi

2. RehabilitasiDERAJAT IVPPOK Sangat Berat

DERAJAT IIIVEP1/KVP ≤ 70%30% ≤ VEP1 ≤ 50%prediksi atau gagal napas atau gagal jantung kanan

1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator :a. Anti kolinergik kerja lama

sebagai terapi pemeliharaan

b. LABAc. Simptomatikd. Kortikosteroid inhalasi

bila memberikan respons klinis atau eksasebasi berulang

2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal napas

4. Ventilasi mekanis noninvasive

5. Pertimbangkan terapi pembedahan

Selain berdasarkan derajatnya, pengobatan PPOK dibagi

juga berdasarkan gejala, berikut adalah pengobatan PPOK

berdasarkan gejala:

Tabel 6. Obat-obatan PPOK berdasarkan gejala

Gejala Golongan Obat

Obat dan kemasan

Dosis

Tanpa gejala - Tanpa obatGejala intermitten (pada waktu aktivitas)

Agonis β2 Inhalasi kerja cepat

Bila perlu

Gejala terus menerus

Antikolinergik kerja singkat

Ipratropium bromida 20 μgr

2-4 semprot3-4x/hari

Antikolinergik kerja lama

Tiotropium bromida 80 μgr

1 hisap1x/hari

Inhalasi agonis β2 kerja cepat

Fenoterol 100 μgr/ semprot

2-4 semprot3-4 x/hari

Salbutamol 100 μgr/ semprot

2-4 semprot3-4 x/hari

Terbutalin 0,5 mg/ semprot

2-4 semprot4x/hari

Prokaterol 10 μgr/ semprot

2-4 semprot3x/hari

Indacaterol 1 hisap, 1x/hari

Kombinasi terapi

Ipratroium bromida 20 μgr + salbutamol 100 μgr per

2-4 semprot3-4x/hari

semprotPasien memakai inhalasi agonis β2 kerja singkat rutin

Atau

Timbul gejala pada waktu malam hari/pagi hari

Inhalasi agonis β2 kerja lama (tidak dipakai untuk eksaserbasi)

Formoterol 6 μgr, 12 μgr/ semprot

1-2 semprot2x/hari, tidak melebihi 2x/hari

Indacaterol 1 hisap, 1x/hari

Salmeterol 25 μgr/ semprot

1-2 semprot2x/hari, tidak melebihi 2x/hari

Teofilin Teofilin lepas lambatTeofilin/aminofilin 150 mgx3-4 x/hari

400-800 mg hari3-4x/hari

Anti oksidan N asetil sistein 600 mg/hariPasien tetap mempunyai gejala dan atau terbatas dalam aktivitas harian meskipun mendapat pengobatan bronkodilator

Kortikosteroid oral (uji kortikosteroid)

PrednisonMetil prednisolon

30-40 mg/hariSelama 2 minggu

XII. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,

gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.

Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60

mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada

gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume

sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien

PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,

hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini

imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar

limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG,

hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung kanan.(Roberto,2012)

Daftar Pustaka

Aditama Tjandra Yoga. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan. Jakarta.

Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit

Paru FK Unair. Surabaya.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2007. Global Strategy

for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources.

Available from: http://www.goldcopd.org.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2010. Global Strategy

for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources.

Hansel, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2003. Risk Factors. In:

Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease. London: BC Decker Inc, 33-44

Slamet H 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di

Indonesia. Jakarta:. p. 1-18.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. PPOK (Penyakit Paru

Obstruktif Kronik) Pedoman Praktis Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. PPOK (Penyakit Paru

Obstruktif Kronik) Pedoman Praktis Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia

Roberto RR et all 2007. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and

Prevention. USA. Tersedia di www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp

Sat Sharma. 2006. Obstructive Lung Disease. Division of Pulmonary Medicine,

Department of Internal Medicine, University of Manitoba.

www.emedicine.com

Sudoyo, Aru W. et.al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. 5.

Jakarta: Internal publishing.

Stoller, J.K.,2004.Overview of Management of Acut Exacerbation of Chronic

Obstructive Pulmonary Disease. In Rose, B.D., Up To Date 12.1

Susanto AD, Prasenohadi, Yunus F. The Year of the lung.

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran FKUI-RS.

Persahabatan. 2010