Referat Kartika Dian 1-3

38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb). 1 Besi dibutuhkan oleh hampir seluruh organisme sebagai kofaktor esensial dalam banyak proses biologis penting. Besi dapat berperan sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai katalisator untuk oksigenisasi, hidroksilasi dan proses metabolik lainnya, melalui kemampuannya berubah bentuk antara fero (Fe2+) dan fase oksidasi Fe3+. 2 Defisiensi besi merupakan masalah utama mikronutrien di dunia, terutama di negara tropis. 3 Hal ini merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. 4 Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat

description

referat anak

Transcript of Referat Kartika Dian 1-3

Page 1: Referat Kartika Dian 1-3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Zat besi (Fe) merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, terutama

diperlukan dalam hematopoiesis(pembentukan darah) yaitu dalam sintesa hemoglobin

(Hb).1 Besi dibutuhkan oleh hampir seluruh organisme sebagai kofaktor esensial

dalam banyak proses biologis penting. Besi dapat berperan sebagai pembawa oksigen

dan elektron serta sebagai katalisator untuk oksigenisasi, hidroksilasi dan proses

metabolik lainnya, melalui kemampuannya berubah bentuk antara fero (Fe2+) dan

fase oksidasi Fe3+.2

Defisiensi besi merupakan masalah utama mikronutrien di dunia, terutama di

negara tropis.3 Hal ini merupakan  masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di

seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia.4 Secara

epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa

kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan

percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai  rendahnya asupan besi dari

makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu

ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan

besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada

remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian

anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.  Survai

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada

bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8%

Page 2: Referat Kartika Dian 1-3

dan 48,1%.2 Data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan

(P3GM) Depkes RI Tahun 2006 tentang studi gizi mikro di 10 Propinsi, menemukan

bahwa prevalensi anemia gizi besi balita adalah sebesar 26,3%. Dan data terakhir dari

Departemen Kesehatan RI Tahun 2011, menunjukan prevalensi anemia pada anak

mengalami penurunan, yakni menjadi 17,6% di bandingkan sebelumnya 51,5% (1995)

dan 25,0% (2006). Berdasarkan kategori yang dikeluarkan oleh World Health

Organization Tahun 2000 menyatakan bahwa prevalensi anemia mencapai 40%  maka

digolongkan masalah berat, prevalensi 10-39% tergolong sedang dan kurang dari 10%

tergolong masalah ringan. Jadi berdasarkan kategori tersebut, prevalensi anemia di

Indonesia sekarang termasuk kategori sedang, tetapi tetap menjadi masalah kesehatan

nasional karena masih di atas angka cut of point prevalensi anemia (>15%).1

Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)

yang meneliti 661 anak di lima sekolah dasar negeri di Jakarta Timur menunjukkan

85% anak sekolah mendapatkan asupan zat besi hanya 80% dari rekomendasi harian

yang dianjurkan (8). Dan penelitian yang dilakukan di Desa Minaesa Kecamatan Wori

Kabupaten Minahasa Utara oleh Aaltje E. Manampiring Tahun 2008 menunjukkan

prevalensi anemia pada anak sekolah sebesar 39,42%, penelitian di Propinsi Sulawesi

Utara oleh Matondan Tahun 2004  menunjukkan prevalensi anemia pada anak panti

asuhan usia sekolah dasar sebesar 62,8%, sedangkan penelitian oleh RB. Purba Tahun

1995 di Desa Bolaang Mongondow menemukan pravelensi anemia pada anak sekolah

dasar sebesar 18,33% di daerah penghasil sayur dan 28,33% di daerah bukan

penghasil sayuran.1

Defisiensi besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan kerawanan terhadap

Penyakit infeksi. Seseorang yang menderita defisiensi besi (terutama balita) lebih

Page 3: Referat Kartika Dian 1-3

mudah terserang mikroorganisme, karena kekurangan zat besi berhubungan erat

dengan kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang

penting untuk menahan masuknya penyakit infeksi.5

Hal ini menunjukkan bahwa status besi pada tubuh baik kurang maupun

berlebih memiliki pengaruh terhadap sistem imun. Selain itu dalam beberapa

penelitian dijelaskan tentang hal sebaliknya, dimana sistem imun atau respon imun

memiliki pengaruh terhadap status besi dalam tubuh melalui perubahan pada

homeostasis besi.

Oleh karena masih tingginya insidensi kekurangan besi pada anak, dan peran

status besi sangat berpengaruh terhadap status imun seseorang, penulis ingin

membahas besi dan sistem imun yang ditugaskan sebagai syarat ujian akhir di Bagian

Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menguraikan hal-hal yang berkenaan

dengan hubungan antara besi terhadap sistem imun. Referat ini ditulis juga sebagai

syarat mengikuti ujian akhir di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum

Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

C. Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan dapat memberikan tambahan khazanah ilmu bagi

penulis sendiri dan kepada teman-teman kepaniteraan klinik dokter muda dan

pembaca lainnya.

Page 4: Referat Kartika Dian 1-3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. BESI

Besi adalah nutrien esensial yang diperlukan oleh setiap sel manusia. Sebagai

logam transisi dengan nomor atom 26 dan berat atom 55,85, besi dapat berperan

sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai katalisator untuk oksigenisasi,

hidroksilasi dan proses metabolik lainnya, melalui kemampuannya berubah bentuk

antara fero (Fe2+) dan fase oksidasi Fe3+. Besi ditransportasi dan disimpan bukan

sebagai kation bebas tapi dalam bentuk Fe yang terikat. Besi ionik dapat berpartisipasi

dalam berbagai reaksi yang menghasilkan radikal bebas yang selanjutnya dapat

merusak sel. Adanya penurunan atau peningkatan besi dalam tubuh mungkin

menghasilkan efek yang signifikan secara klinis. Jika terlalu sedikit besi yang ada

(defisiensi besi) akan terjadi pembatasan sintesis komponen yang mengandung besi

aktif sehingga secara normal mungkin berbahaya. Demikian pula jika terlalu banyak

besi terakumulasi (kelebihan besi) dan melebihi kapasitas tubuh untuk mentransport

dan menyimpannya akan menimbulkan toksisitas besi yang selanjutnya memicu

terjadinya kerusakan dan kematian organ yang luas. Besi di alam berasal dari sumber

hewani dan nabati. Kualitas atau bioavailibilitas besi yang dihasilkan dari kedua

sumber zat besi tersebut juga berbeda oleh karena kemampuan tubuh manusia untuk

menyerap besi ikut dipengaruhi. Bagaimana besi di alam dapat diserap oleh tubuh

manusia, dialirkan, disimpan serta digunakan, kemudian di ekskresikan, akan dibahas

dalam makalah ini.2

Page 5: Referat Kartika Dian 1-3

Metabolisme Besi

Besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu senyawa besi fungsional, besi

cadangan dan besi transport. Besi fungsional yaitu besi yang membentuk senyawa

yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari hemoglobin, mioglobin dan berbagai jenis

ensim. Bagian kedua adalah besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan

dengan protein tertentu untuk mengangkut besi dari satu bagian ke bagian lainya.

Bagian ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin, senyawa besi ini

dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang.2

Absorbsi Besi

Manusia tidak mempunyai mekanisme khusus yang efektif untuk mengeluarkan besi

tubuh yang berlebihan, sehingga keseimbangan besi dalam tubuh secara fisiologis

diatur dengan mengendalikan absorpsinya, yaitu bila cadangan besi tubuh sudah

cukup maka absorpsinya akan menurun, dan sebaliknya bila cadangan besi tubuh

menurun absorpsinya akan segera meningkat beberapa kali lipat. Secara normal

pertukaran besi dengan lingkungan sangat terbatas yaitu kurang dari 0,05% dari besi

tubuh total, baik yang diserap ataupun yang hilang tiap hari melalui deskuamasi epitel

kulit, saluran gastrointestinal dan traktus urinarius. Regulasi absorpsi besi terjadi pada

2 permukaan enterosit, yaitu membran apikal dan membran basolateral. Membran

apikal enterosit berperan untuk transpor besi dari lumen intestinal ke dalam sel

enterosit, di mana molekul transporter yang terpenting adalah DMT1 (yang

sebelumnya dikenal sebagai Nramp2 dan DCT1). Dalam sel enterosit, besi dapat

disimpan dalam enterosit sebagai ferritin atau ditranspor ke plasma melalui membran

basolateral. Membran basolateral enterosit berperan untuk transpor besi dari sel epitel

Page 6: Referat Kartika Dian 1-3

duodenum ke seluruh tubuh, di mana ferroportin (Ireg1) adalah molekul transporter

yang penting.6

Proses absorbsi besi dalam usus terdiri atas 3 fase yaitu fase luminal, fase

mukosal dan fase sistemik atau korporeal. Pada fase luminal ikatan besi dari bahan

makanan dilepaskan atau dirubah menjadi bentuk terlarut dan terionisasi. Kemudian

besi dalam bentuk feri (Fe3+)direduksi menjadi bentuk fero (Fe2+) sehingga siap

diserap usus. Dalam proses ini getah lambung dan asam lambung memegang peranan

penting. Absorbsi paling baik terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal. Hal ini

dihubungkan dengan jumlah reseptor pada permukaan usus dan pH usus.2

Fase absorbsi yang ke dua adalah fase mukosal. Pada fase mukosal besi

diserap secara aktif melalui reseptor. Dalam sel enterosit besi akan diikat oleh suatu

karier protein spesifik dan ditransfer melalui sel ke kapiler atau disimpan dalam

bentuk feritin dalam enterosit kemudian dibuang bersamaan dengan deskuamasi epitel

usus.

Pada fase sistemik (korporeal) besi yang masuk ke plasma diikat oleh

apotransferin menjadi transferin dan diedarkan ke seluruh tubuh, terutama ke sel

eritroblast dalam sumsum tulang. Transferin merupakan protein pembawa yang

mengangkut besi plasma dan cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Reseptor transferin adalah suatu glycoprotein yang terletak pada membran sel,

berperan mengikat transferin-besi komplek dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam

vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler. Semua sel mempunyai reseptor

transferin pada permukaannya. Transferin ditangkap oleh reseptor ini dan kemudian

melalui proses pinositosis (endositosis) masuk dalam vesikel (endosome) dalam sel.

Page 7: Referat Kartika Dian 1-3

Kompleks transferin-reseptor transferin selanjutnya kembali ke dinding sel, dan

apotransferin dibebaskan ke dalam plasma. Akibat penurunan pH, besi, transferin dan

reseptor akan terlepas dari ikatannya. Besi akan dipakai oleh sel sedangkan reseptor

dan transferin dikeluarkan dan dipakai ulang.

Besar kecilnya penyerapan besi oleh usus ditentukan oleh faktor intraluminal

dan faktor regulasi eksternal. Faktor intraluminal ditentukan oleh jumlah besi dalam

makanan, kualitas besi (besi haem atau non haem), perbandingan jumlah pemacu dan

penghambat dalam makanan. Faktor regulasi luar ditentukan oleh cadangan besi tubuh

dan kecepatan eritropoesis. Untuk dapat berfungsi bagi tubuh manusia, besi

membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin yang berperan sebagai

penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory proteins (IRPs) untuk

mengatur suplai besi.2

Keseimbangan Besi dalam Tubuh

Keseimbangan besi ditentukan oleh perbedaan antara asupan besi dan keluaran

besi dari tubuh. Jika persediaan besi tubuh menurun maka absorpsinya meningkat,

sebaliknya absorbsi akan meningkat jika persediaan besi tubuh menurun.2 Sebagai

nutrien esensial yang diperiukan oleh semua sel-sel tubuh manusia, bes mempunyai

kemampuan untuk mengikat oksigen, sebagai katalisator untuk oksigenasi,

hidroksilasi dan proses metabolisme penting lainnya, serta mampu menerima atau

melepaskan electron dengan cepat seperti perubahan dari Ferri (Fe2+) menjadi

Ferrous (Fe3+) atau sebaliknya. Kemampuan tersebut membuatnya menjadi

komponen sitokrom yang berguna untuk metabolisme oksidatif, pertumbuhan dan

proliferasi sel-sel tubuh. Besi bebas sangat toksik terhadap sel karena dapat

Page 8: Referat Kartika Dian 1-3

mengkatalisis perubahan H202 menjadi radikal bebas yang merusak membran sel,

protein dan DNA sehingga besi yang disimpan tidak dalam bentuk kation bebas, tetapi

sebagai kompleks besi. 6

Ketersediaan besi juga dipengaruhi oleh faktor gastrointestinal seperti sekresi

gaster, gerakan usus dan akibat dari operasi atau penyakit usus. Absorpsi besi diatur

oleh sel mukosa usus kecil bagian proksimal. Regulasi mokusal dari absorpsi besi

mungkin terjadi melalui satu atau lebih langkah berikut ini yaitu: (1) mukosa

mengambil besi yang melewati vili dan membran, (2) retensi besi dalam mukosa, (3)

pemindahan besi dari sel mukosa ke plasma. Secara umum mekanisme absorpsi besi

melalui sel mukosa ini mampu memenuhi kebutuhan cadangan besi dan tingkat

eritropoesis dimana absorpsi meningkat jika cadangan besi menurun dan aktivitas

eritropoesis meningkat.2

Selain oleh karena penyerapan, sumber besi tubuh juga diperoleh dari hasil

pemecahan eritrosi oleh makrofag.2 Siklus hidup eritrosit umumnya, terdiri dari 6

tahap maturasi sel induk eritroid yaitu pronormoblas, basofilik normoblas,

polikromatik normoblas, ortokromatik normoblas, retikulosit dan eritrosit matur.

Diawali dengan perkembangan dan proliferasi sel induk eritroid dalam proses yang

tergantung eritropoetin, yang diikuti oleh fase yang tidak tergantung eritropoetin yang

terutama berfokus pada produksi hemoglobin. Eritroblas (normoblas), sel prekursor

eritroid berinti, mengekspresikan reseptor transferin dalam kadar yang tinggi, dimana

reseptor ini dibutuhkan untuk mengikat besi dari transferin serum. Setelah tercapai

kadar hemoglobin yang cukup, reseptor transferin dipecah membentuk reseptor

transferin yang larut dalam plasma, diikuti oleh pengeluaran nukleus dari eritroblas

dan selanjutnya memasuki sirkulasi sebagai retikulosit. Maturasi retikulosit berlanjut

Page 9: Referat Kartika Dian 1-3

di sirkulasi dengan hilangnya mitokondria dan penurunan kadar mRNA, sehingga

terbentuk eritrosit yang klasik yang akan bersirkulasi di darah manusia selama 120

hari.6

Proses fagositosis oleh makrofag, khususnya di limpa lebih ditujukan untuk

eritrosit yang tua. Karena masukan besi yang berasal dari diet (1 . 2 mg/hari) tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan eritropoesis (20 mg/hari), maka besi yang

terkandung dalam eritrosit yang tua yang akan difagosit oleh makrofag harus diproses

ulang untuk menghasilkan besi sekitar 20-25 mg/hari. Sebagian besar heme

didegradasi oleh enzim heme oksigenase, selanjutnya besi yang diproduksi dapat

disimpan di feritin makrofag atau dilepaskan ke plasma. Besi di feritin makrofag

kemudian akan dilepaskan dalam bentuk Fe2+, sehingga di sini dibutuhkan peran

seruloplasmin untuk mengubah Fe2+ menjadi Fe3+ yang dapat terikat pada transferin.

Daur ulang besi dari eritrosit yang sudah tua merupakan sumber utama besi untuk

proses eritropoesis.6

Hepcidin

Hepcidin yang ditemukan oleh Nicholas, et al. tahun 2001, merupakan

molekul yang bekerja sebagai alat komunikasi antara cadangan besi tubuh dengan sel

entrosit, yang juga pada awalnya dikenal sebagai peptide antimikroba.6 Dalam hal ini

Hepsidin menjadi regulator utama bagi metabolisme zat besi.7 Penemuan hepcidin

merupakan hal yang penting sebagai suatu penjelasan molekuler tentang regulasi

absorpsi dan distribusi besi khususnya pada anemia penyakit kronik. Meskipun

hepcidin yang pertama diisolasi dari urine dan plasma, namun ekspresi mRNA

hepcidin terutama dijumpai di hati baik pada tikus maupun manusia. Studi oleh Pinto,

Page 10: Referat Kartika Dian 1-3

et al yang dikutip oleh Suega, juga mendapatkan bahwa sel limfosit ternyata

mengekspresikan hepcidin dan ekspresi ini akan meningkat setelah limfosit ini

teraktivasi. Hal ini pula yang menjelaskan komunikasi antara simpanan besi tubuh dan

kemampuan absorpsi besi di duodenum bisa dikerjakan dengan lebih efektif dan

efisien mengingat sel limfosit merupakan sel yang dapat beredar kemana-mana

termasuk kedalam jaringan.6

Hepcidin merupakan suatu hormon pengatur metabolisme besi. Mengingat

lokasi organ tubuh tempat terjadinya absorpsi, daur ulang, penyimpanan dan

penggunaan besi, saling berjauhan, maka dibutuhkan suatu bahan yang larut dalam

plasma, yang berfungsi sebagai sarana komunikasi antara masing-masing organ

tersebut.6 Sintesis hepsidin terutama dikontrol oleh aktivitas eritropoiesis sumsum

tulang, penyimpanan zat besi, dan adanya inflamasi dalam tubuh; juga telah

dibuktikan merupakan protein fase akut tipe II.7

Sebagai peptida antimikroba, hepcidin dapat merusak membran sel bakteri dan

menyediakan lingkungan pertumbuhan yang tidak sesuai untuk mikroorganisme.

Mikroorganisme membutuhkan besi untuk memproduksi enzim superoxide dismutase

yang dapat melindungi mereka terhadap radikal oksigen dari host. Dengan

merangsang sekuestrasi besi di makrofag, hepcidin mengurangi ketersediaan besi

untuk mikroorganisme, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri intraseluler

maupun bakteri di aliran darah. Salah satu bukti yang telah dilaporkan adalah

hubungan terbalik antara insiden tuberkulosis dan RA (Rheumatoid Arthritis), dimana

keterbatasan penyediaan besi pada RA akan melindungi terhadap infeksi tuberkulosis.

Pada studi lain tikus transgenik dengan peningkatan ekspresi hepcidin di hati

ditemukan meninggal saat lahir dengan defisiensi besi berat, hal ini menunjukkan

Page 11: Referat Kartika Dian 1-3

peran hepcidn sebagai regulator negatif pada transpor besi melalui plasenta menuju

janin. Oleh karena itu hepcidin dianggap sebagai regulator negatif dari homeostasis

besi.6

Berbagai sel tubuh, seperti enterosit duodenum, sinsitiotrofoblas plasenta,

hepatosit, makrofag di hati dan limpa, dapat mengekspor besi intraseluler ke plasma.

Ferroportin adalah satu-satunya molekul transmembran untuk mengekspor besi pada

mamalia. Ferroportin berperan untuk mengekspor besi intraseluler ke plasma dan

diekspresikan dalam konsentrasi tinggi di sel-sel tubuh yang mampu mengekspor besi.

Studi pada tikus menunjukkan peran penting ferroportin untuk transpor besi dari ibu

ke janin, absorpsi besi di duodenum, dan ekspor besi dari makrofag ke plasma.

Ferroportin bekerja dengan bantuan enzim ferroxidase (hephaestin di enterosit dan

seruloplasmin di makrofag) untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ yang kemudian

ditranspor ke transferrin plasma. Studi terbaru menunjukkan bahwa hepcidin bekerja

mengatur homeostasis besi dengan terikat pada ferroportin.6 Hepsidin yang terikat

pada reseptor feroportin menyebabkan internalisasi dan degradasi feroportin dan

Page 12: Referat Kartika Dian 1-3

retensi besi dalam enterosit, makrofag dan hepatosit.7 Dengan menghilangnya

ferroportin dari membran sel, ekspor besi intraseluler ke plasma akan menurun.6

Dengan demikian, Hepsidin berperan sebagai regulator negatif absorpsi besi

usus dan pelepasan besi oleh makrofag dan hepatosit.7 Dimana pada kondisi cadangan

besi normal atau meningkat, hati akan memproduksi hepcidin, yang akan beredar di

sirkulasi menuju duodenum.6 Sintesis hepsidin dirangsang ketika saturasi transferin

tinggi (saat terdapat kelebihan besi dan inflamasi), sebaliknya sintesis hepsidin

dihambat ketika saturasi transferin rendah (pada anemia dan hipoksia). Kelebihan

hepsidin merupakan kontributor utama terhadap patogenesis anemia inflamasi, dan

kekurangan hepsidin bertanggung jawab pada sebagian besar kasus hemochromatosis

herediter.7.

B. SISTEM IMUN 7

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Sistem imun

dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau nonspesifik/ natural innate/ native/

nonaditif dan didapat atau spesifik/aditif / aquired.

Gambar 1. Gambaran umum sistem imun

SISTEM IMUN

NONSPESIFIK SPESIFIK

FISIK LARUT SELULAR HUMORAL SELULAR

Page 13: Referat Kartika Dian 1-3

-kulit Biokimia -Fagosit Sel B Sel T

-selaput lendir -Lisozim >Mononuklear -IgG -Th1

-silia -Sekresisebaseus >Polimorfonuklear -IgA -Th2

-batuk -Asam lambung -Sel NK -IgM -Ts/Tr/Th3

-bersin -Laktoferin -Sel mast -IgE -Tdth

-Asam neuraminik –Basofil -IgD -CTL/Tc

-Eosinofil Sitokin -NKT

Humoral -SD -Th17

-komplemen

-APP

-Mediator asal lipid

-Sitokin

Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat dibandingkan dengan

imunitas nonspesifik.

Tabel 1. Perbedaan sifat-sifat sistem imun nonspesifik dan spesifik

Nonspesifik Spesifik

Resistensi

Spesifitas

Sel yang penting

Tidak berubah oleh infeksi

Umumnya efektif terhadap semua mikroba Spesifik untuk molekul dan pola molekular berhubungan dengan patogen Dapat enjadi berlebihan

Fagosit, sel NK, monosit/makrofag, neutrofil, basofil, sel mast, eosinofil, sel

Membaik oleh infeksi berulang (memori)

Spesifik untuk mikroba yang sudah mensensitisasi sebelumnya,Sangat spesifik, mampu membedakan perbedaan minor dalam struktur molekul, detil struktur mikroba atau nonmikroba di kenali dengan spesifisitas tinggi

Th, Tdth, Tc, Ts/Tr/Th3Sel B

Page 14: Referat Kartika Dian 1-3

Molekul yang penting

Waktu respons

Pajanan

Diversitas

Respons memori

Diskriminasi self/nonself

Komponen cairan darah atau jaringan yang larut

Protein darah

Nonreaktif terhadap self

dendritik

Lisozim, sitokin, komplemen, APP, Lisozim, Crp, Kolektin, molekul adhesi

Menit/jam Selalu siap

Tidak perlu

Jumlah reseptor terbatas

Tidak ada

Sempurna, tidak ada pola spesifik mikroba pada pejamu

Banyak peptida antimikrobial dan protein

Komplemen, lain-lain

Ya

Antibodi, sitokin, mediator, molekul adhesi

Hari (lambat)Tidak siap sampai terpajan alergen

Harus ada pajanan sebelumnya

Reseptor sangat bervariasi, jumlahnya banyak, terbentuk oleh rekomendasi genetik dari gen reseptor

Memori menetap, respons lebih cepat atau lebih besar pada infeksi serupa berikutnya sehingga perlindungan lebih baik pada pajanan ulang

Sangat baik, adakalanya hasil diskriminasi self/nonself gagal (pada penyakit aoutoimun)

Antibodi

Limfosit

Ya

Sistem Imun Non spesifik

Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan

pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk kedalam tubuh dan dengan

Page 15: Referat Kartika Dian 1-3

cepat menyingkirkannya. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifisitas terhadap

bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial.

A. Pertahanan fisik/mekanik

Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia saluran

napas, batuk dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi.

B. Pertahanan biokimia

Sebagai contoh pertahanan biokimia PH asam keringat dan sekresi sebasea,

berbagai asam lemak yang dilepas oleh kulit mempunyai efek denaturasi

terhadap protein membran sel sehingga dapat mencegah infeksi melalui kulit.

Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu ibu, melindungi tubuh

dari berbagai kuman positif-Gram oleh karena dapat menghancurkan lapisan

peptidoglikan dinding bakteri. Saliva mengandung enzim proteolitik, antibodi

dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat

mencagah infeksi banyak mikroba.

C. Pertahanan humoral

Sistem imun nonspesifik menggunakan molekul larut. molekul larut tertentu

diproduksi ditempat infeksi atau cedera dan berfungsi lokal. Molekul tersebut

antara lain adalah desenfin, katelisidin dan IFN dengan efek antiviral. Faktor

lainnya diproduksi ditempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan

sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen dan PFA.

1. Komplemen

Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti lektin, interferon, CRP dan

komplemen berperan dalam pertahanan humoral. Komplemen terdiri atas

sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan meberikan proteksi

Page 16: Referat Kartika Dian 1-3

terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi. Komplemen

berperan sebagai opsonin yang eningkatkan fagositosis, sebagai faktor

kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit.

2. Protein fase akut

Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan pada kadar beberapa protein

dalam serum yang disebut APP. Protein yang meningkat atau menurun

selam fase akut disebut APRP yang berperan dalam pertahanan dini. APRP

diinduksi oleh sinyal yang berasal dari tempat cedera atau infeksi melalui

darah. Hati merupakan tempat sintesis APRP. SitokinTNF-α, IL-1, IL-6

merupakan sitokin proinflamasi dan berperan dalam induksi APRP.

a. CRP

Merupakan salah satu PFA, salah satu protein yang kadarnya akan

meningkat pada fase akutsebagai respon imunitas spesifik. Adanya CRP

yang tetap tinggi menunjukkan infeksi persisten.

b. Lektin

Merupakan molekul larut dalam plasma yang mengikat manan/manosa

dalam polisakarida, yang merupakan banyak bakteri. lektin berperan

sebagai opsonin, mengaktifkan komplemen.

c. Protein fase akut lain

α1-anti tripsin, amiloid serum A, hepatoglobulin, C9, faktor B dan

Fibrinogen.

Page 17: Referat Kartika Dian 1-3

3. Mediator asal fosfolipid

Mediator fosfolipid diperlukan untuk produksi PG dan LTR. Keduanya

meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan permeabilitas

vaskular dan vasodilatasi.

4. Sitokin IL-1,IL6,TNF-α

Selama terjadi infeksi, produk bakteri seperti LPS mengaktifkan makrofag

dan sel lain untuk memproduksi dan melepas berbagai sitokin seperti IL-1

yang merupakan pirogen endogen, TNF-α, dan IL-6.

D. Pertahanan selular

Fagosit, sel NK, sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun

nonspesifik selular.

Tabel 2. Komponen sistem imun nonspesifik

Komponen sistem imun nonspesifik Komponen Fungsi utama SawarLapisan epitel Defensin/katelisidinLimfosit intraepitelialSel efektor dalam sirkulasiNeutrofilMakrofag

Sel NKProtein efektor dalam sirkulasiKomplemen Ikatan manosa

CRP (pentraksin)SitokinTNF, IL-1,KemokinIFN-α,-βIFN-γIL-12IL-15

Mencegah minkroba masukMembunuh MikrobaMembunuh Mikroba

Fagositosis dini dan membunuh mikrobaFagositosis efisien dan membunuh mikroba, sekresi sitokin yang merangsang inflamasiLisis sel terinfeksi, aktivasi makrofag

Membunuh mikroba, opsonisasi mikrobaOpsonisasi mikroba, aktivasi komplemen (jalur lektin)Opsonisasi mikroba, aktivasi komplemen

InflamasiResistensi terhadap virusAktivasi makrofagProduksi IFN-γ oleh karena sel NK dan

Page 18: Referat Kartika Dian 1-3

IL-10,TGF-β sel TProliferasi sel NKKontrol inflamasi

Sistem Imun Spesifik

Imun spesifik mempenyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap

asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera

dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitas, sehingga

antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan

kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem

selular. Pada imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba

ekstraselular. Pada selular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk

menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang

menghancurkan sel terinfeksi.

A. Sistem imun spesifik humoral

Sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B yang

dirangsang benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi

sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan

terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta di netralkan toksinnya.

B. Sistem imun spesifik selular

Limfosit T atau sel T berperan dalam sistem imun spesifik selular. Sel T terdiri

atas beberapa subset sel dengan fungsi berlainan yaitu CD4+ (Th1, Th2), CD8+ atau

CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular

ialah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan

Page 19: Referat Kartika Dian 1-3

keganasan. Sel CD4+ mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag

untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.

C. BESI DAN RESPON IMUN 6

Banyak studi pada binatang dan manusia yang menunjukkan adanya gangguan

imunitas seluler dan imunitas non-spesifik lainnya pada defisiensi besi, namun

hubungan antara defisiensi besi dan infeksi masih belum jelas sekali. Suseptibilitas

terhadap infeksi adalah sangat kompleks dan tergantung tidak saja pada kadar besi,

tapi juga pada faktor tubuh, parasit dan lingkungan. Termasuk antara lain paparan

mikroorganisme, adanya faktor defisiensi nutrisi lainnya, tipe populasi (bayi, anak-

anak, wanita, laki dan orang tua), beratnya dan lamanya defisiensi, tipe dan dosis dari

serta lamanya terapi besi dan adanya prakondisi lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa

faktor-faktor ini akan mempengaruhi suseptibilitas dan beratnya infeksi tanpa melihat

kadar besinya. Defisiensi besi akan mempengaruhi kerentanan terhadap beberapa jenis

infeksi, dan beratnya serta lamanya infeksi akan tergantung pada tubuh dan parasitnya

(baik mikroorganisme intra maupun ekstraseluler).

Besi mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas, terutama dalam hal

proliferasi dan aktifase imun host seperti sel T, B, sel natural killer dan interaksi

antara cell-mediated immunity dan sitokin. Tikus dengan kelebihan besi akan terjadi

peningkatan relatif ekspansi CD8+. Th-2 mcmiliki cadangan besi yang lebih besar dari

Th-1, oleh karena itu Th-1 lebih sensitif terhadap penurunan kadar besi host. Sehingga

pada defisiensi besi akan terjadi penurunan produksi interferon- α (IFN- α),

interleukin-2, tumour necrosis factor- α (TNF- α) dan TNF- α.

Page 20: Referat Kartika Dian 1-3

Mekanisme bagaimana defisiensi besi mengganggu respon imun seluler dan

non-spesifik belum seluruhnya diketahui, akan tetapi diduga bersifat multifaktorial.

Termasuk antara lain: berkurangnya aktivitas enzim yang mengandung besi seperti

enzim ribonukleotide reduktase, mieloperoksidase, berkurangnya produksi sitokin

berkurangnya jumlah sel T yang kompeten, dan kemungkinan adanya gangguan

transduksi sinyal. Tahapan dari transduksi sinyal yang dipengaruhi oleh besi masih

perlu diteliti, akan tetapi aktivitas protein kinase C dan translokasinya pada membran

plasma sel limfosit dan sel T lien diketahui terganggu. Hal ini ditemukan pada studi

binatang maupun pada manusia. Demikian pula, pengikatan besi akan menurunkan

produksi mRNA untuk protein kinase C.41 Pada awal proses aktivasi sel T, akan

terjadi gangguan hidrolisis Phosphatidyl Inositol 4,5-bisphosphate (PIP2) oleh

pospolipase C (suatu enzim yang mengandung seng), dimana hasil akhir dari enzim

ini adalah Inositol 1,3,5- triphophate (IP3) dan Diacylglycerol (DAG) yang akan

meregulasi aktivitas protein kinase C. Baik aktivasi PKC dan hidrolisis membran

fosfolipid adalah sangat penting sebagai proses awal dari suatu signal transduksi yang

akan menyebabkan terjadinya proses proliferasi sel T dan beberapa fungsi penting

lainnya. Adanya gangguan aktivasi PKC dan hidrolisis membran fosfolipid akan

menyebabkan gangguan respon imun pada mereka yang dengan desiensi besi.�

Penelitian mengenai efek dari anemia defisiensi besi pada fungsi imun

dilakukan pada 32 orang penderita ADB dan 29 orang sehat sebagai kontrol.

Dipelajari beda antara subset sel limfosit, aktivitas bakteriosidal dari netrofil, kadar

IL-6 plasma, kadar dari imunoglobulin. Studi menyimpulkan bahwa baik respon

humoral yang diwakili dengan pemeriksaan kadar IgG4, respon imun seluler dan juga

respon imun non-spesifik serta aktivitas sitokin mengalami gangguan pada penderita

Page 21: Referat Kartika Dian 1-3

ADB. Peneliti lain mendapatkan pada pasien dengan ADB terjadi penurunan kapasitas

pagositosisnya sehingga diduga hal ini menyebabkan penderita ADB rentan terhadap

timbulnya infeksi.

Pada anak dan dewasa, defisiensi besi akan menurunkan proporsi sel T dalam

darah, meskipun jumlah total sel T bisa tetap ataupun berubah. Namun demikian,

berdasarkan laporan Santos dan Falcao, angka absolut dan proporsi CD4+ dan CD8+

dapat menurun atau tetap tidak berubah pada defisiensi besi.39 Penelitian lainnya pada

tikus, defisiensi besi menurunkan sel T total, sel T helper dan sitotoksik/ supresor

pada limpa.Tapi tidak merubah rasio sel T helper dan sitotoksik, seperti yang terlihat

pada manusia.

Interaksi antara host dan agent infeksius merupakan fenomena yang komplek.

Yang paling penting dari interaksi itu adalah proses respon imunitas host terhadap

virulensi kuman. Defisiensi besi dapat menurunkan kcmungkinan terjadinya infeksi

karena keterbatasan besi tubuh yang diperlukan untuk pertumbuhan kuman.

Penelitian-penelitian lain justru mendapatkan sebaliknya, karena defisiensi besi dapat

menurunkan innate maupun adaptive immunity. Disamping hal itu infeksi atau

inflamasi bisa juga menyebabkan terjadinya anemia dan mengganggu metabolisme

besi melalui peran sitokin.

Penelitian eksperimental ensefalitis autoimun pada tikus menemukan

kecenderungan terjadinya ensefalitis autoimun pada tikus yang mengalami defisiensi

besi lebih rendah dibandingkan dari tikus tanpa defisiensi besi (0% berbanding 72%).

Gejala klinik ensefalitis autoimun juga lebih berat pada tikus dengan kadar besi yang

normal dibandingkan tikus dengan kadar besi yang rendah. Hal ini diduga karena

Page 22: Referat Kartika Dian 1-3

terjadi gangguan perkembangan sel TCD4 + pada defisiensi besi. Semua sel yang

berhubungan dengan CD4+ akan berkurang dengan akibat defesiensi besi tersebut.

Keadaan tersebut akan membaik apabila kadar besinya dinaikkan.

Penelitian tentang pengaruh suplementasi besi terhadap anak-anak yang

terinfeksi dan tidak terinfeksi di Sri Lanka rnenemukan bahwa terjadi penurunan

morbiditas dari upper respratory met infection pada anak-anak yang diberikan

suplemen besi. Peneliti menduga bahwa imunitas pada anak-anak yang mengalami

defisiensi besi menurun sehingga morbidititasnya lebih tinggi. Telaah terhadap

penelitian-penelitian pada manusia maupun binatang tentang pengaruh defisiensi besi

terhadap fungsi imunitas in vivo belum menghasilkan konsesus atau kesamaan

pendapat. Masalahnya adalah hampir semua penelitian tidak dapat mengontrol secara

baik defisiensi makro-nutrien dan mikronutrien yang ada bersama-sama dengan

defisiensi besi dan nutriennutrien tersebut belum jelas pengaruhnya terhadap

gangguan imunitas tubuh.

Selain pengaruh besi terhadap sistem imun seperti yang dijelaskan diatas, hal

berkebalikan bisa terjadi, yaitu pengaruh respon imun terhadap besi. Pada beberapa

sumber disebutkan bahwa respon imun seperti proses inflamasi diketahui dapat

mengakibatkan gangguan pada homeostasis besi. Hal ini dikaitkan atas respon imun

yang memicu terbentuknya Hepsidin yang akan mengakibatkan penurunan

pembentukan ferroportin yang berdampak pada penurunan kadar besi yang beredar di

sirkulasi. TNF-a yang merupakan sitokin pro-inflamasi memicu terjadinya

hipoferrimia melalui mekanisme independent yang mencetuskan terbentuknya

hepsidin. Interferon y yang merupakan modulator kunci dari status besi dan fungsi

imun menstimulasi sintesis dari nitrit oxide, inilah jalur mekanisme utama respon

Page 23: Referat Kartika Dian 1-3

immune non-selektif yang diperantarai oleh makrofag yang mengakibatkan inhibisi

dari pengeluaran besi. Selain itu fase akut terhadap respon inflamasi menunjukkan hal

serupa, dimana IL-6 sebagai regulator hepatik berikatan dengan reseptornya yang

mengakibatkan translokasi dari STAT3 yang meningkatkan ekspresi gen hepsidin,

sehingga berdampak pada penurunan aktivitas feroportin pada enterosit dan

makrofag.9

BAB III

KESIMPULAN

Besi adalah nutrien esensial yang diperlukan oleh setiap sel manusia yang

dapat berperan sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai katalisator untuk

oksigenisasi, hidroksilasi dan proses metabolik lainnya.

Page 24: Referat Kartika Dian 1-3

Keseimbangan besi ditentukan oleh perbedaan antara asupan besi dan keluaran

besi dari tubuh. Jika persediaan besi tubuh menurun maka absorpsinya meningkat,

sebaliknya absorbsi akan meningkat jika persediaan besi tubuh menurun.

Regulator utama pengaturan homeostasis besi di tubuh diatur oleh hepsidin,

yang merupakan hormon peptida antimikroba yang disintesis oleh hepar,

didistribusikan dalam plasma dan diekskresi melalui urin.

Hepsidin berperan sebagai regulator negatif absorpsi besi usus dan pelepasan

besi oleh makrofag dan hepatosit melalui ikatan pada reseptor feroportin yang

menyebabkan internalisasi dan degradasi feroportin dan retensi besi dalam enterosit,

makrofag dan hepatosit sehingga menyebabkan kadar besi di sirkulasi akan menurun.

Pengaruh besi terhadap sistem imun, terlihat dari peran hepsidin sebagai

hormon peptida antimikroba dan penurunan kadar besi yang mengakibatkan ambilan

besi oleh mikroorganisme patogen terhambat sehingga menghambat pertumbuhannya.

Sistem imun dapat berpengaruh terhadap homeostasis besi dalam tubuh,

melalui proses inflamasi yang melibatkan IFN-y dan TNF-a yang akan menginduksi

pengeluaran hepsidin.