REFERAT JADI.docx

58
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam menjalankan suatu profesi yang berorientasi pada suatu pelayanan kesehatan, seorang dokter tidak lepas dari norma atau kaidah kode etik profesi yang menjadi suatu tumpuan dan juga yang menjadi suatu tolak ukur bagi seorang dokter dalam menjalankan suatu praktek kedokterannya secara profesional. Hukum kesehatan merupakan hal yang wajib diketahui dan didalami, karena pengetahuan ini akan memberikan suatu wawasan tentang ketentuan-ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayananan kesehatan yang berkualitas dan menuntun agar dokter selalu berada pada jalur yang aman, tidak melanggar etika serta ketentuan hukum yang berlaku. Dalam undang-undang kesehatan no. 36 pasal 49 berbunyi “penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai dan norma agama, sosial budaya, moral dan etika profesi”. Setiap tindakan yang dilakukan seorang dokter terhadap pasien memiliki dasar keilmuan yang rasional, namun apabila tidak diimbangi atau tidak memperhatikan salah satu aspek yang tersebut dalam undang-undang kesehatan pasal 49, maka tidak menutup kemungkinan tindakan yang kita lakukan walaupun sesuai dengan 1

Transcript of REFERAT JADI.docx

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam menjalankan suatu profesi yang berorientasi pada suatu pelayanan

kesehatan, seorang dokter tidak lepas dari norma atau kaidah kode etik

profesi yang menjadi suatu tumpuan dan juga yang menjadi suatu tolak ukur

bagi seorang dokter dalam menjalankan suatu praktek kedokterannya secara

profesional. Hukum kesehatan merupakan hal yang wajib diketahui dan

didalami, karena pengetahuan ini akan memberikan suatu wawasan tentang

ketentuan-ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayananan

kesehatan yang berkualitas dan menuntun agar dokter selalu berada pada jalur

yang aman, tidak melanggar etika serta ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam undang-undang kesehatan no. 36 pasal 49 berbunyi

“penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai

dan norma agama, sosial budaya, moral dan etika profesi”. Setiap tindakan

yang dilakukan seorang dokter terhadap pasien memiliki dasar keilmuan yang

rasional, namun apabila tidak diimbangi atau tidak memperhatikan salah satu

aspek yang tersebut dalam undang-undang kesehatan pasal 49, maka tidak

menutup kemungkinan tindakan yang kita lakukan walaupun sesuai dengan

prosedur dapat menimbulkan suatu tuntutan yang berujung pada dugaan

malapraktik seorang dokter. Kasus yang paling sering, terutama dalam

melakukan pemeriksaan yang berhubungan dengan pemeriksaan kulit dan

kelamin. Memahami landasan hukum dalam melakukan kontak terapeutik

antara dokter dengan pasien, mengetahui dan memahami hak dan kewajiban

pasien, etika kedokteran, merupakan suatu kewajiban dan modal dasar

seorang dokter agar terhindar dari tuntutan hanafiah. Oleh karena itu,

pentingnya seorang dokter memperhatikan dan memahami aspek

etikomedikolegal dalam melakukan pelayanan kesehatan kulit dan kelamin

yang akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.

1

I.2 Tujuan dan Manfaat

a. Tujuan

Tujuan dari pembuatan referat ini sebagai berikut :

1. Penyusun memahami isi referat dan memberi wawasan atas referat

yang dibuat kepada mahasiswa lain.

2. Penyusun dan pembaca mengerti dan memahami tentang Aspek

Etikomedikolegal dalam Pelayanan Kesehatan Kulit dan Kelamin.

b. Manfaat

Manfaat dari pembuatan referat ini adalah dapat mengerti tentang

Aspek Etikomedikolegal dalam Pelayanan Kesehatan Kulit dan Kelamin

meliputi aspek agama, sosial dan budaya masyarakat terkait dengan

pelayanan kedokteran (logiko sosio buaya, serta pemahaman terhadap

KODEKI, KODERSI, dan sistem nilai lain yang terkait dengan

pelayanan kesehatan), dan mengetahui tentang permasalahan

etikomediokolegal dalam pelayanan kesehatan serta teori-teori

pemecahan kasus etika dalam pelayanan kedokteran dan cara

pemecahannya.

2

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Aspek Agama dalam Praktik Kedokteran

1. Operasi Plastik

Operasi plastik atau dikenal dengan “Plastic Surgery” atau dalam bahasa

arab “Jirahah Tajmil” adalah bedah/operasi yang dilakukan untuk

mempercantik atau memperbaiki satu bagian didalam anggota badan, baik yang

nampak atau tidak dengan cara ditambah, dikurangi atau dibuang, bertujuan

untuk memperbaiki fungsi dan estetika (seni) tubuh. Dan sebagian ulama hadits

yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan operasi plastik itu hanya

ada dua yaitu:

1) Untuk mengobati aib yang ada dibadan, atau dikarenakan kejadian yang

menimpanya seperti kecelakaan, kebakaran atau yang lainya. Maka

operasi ini dimaksudkan untuk pengobatan.

2) Untuk mempercantik diri, dengan mencari bagian badan yang dianggap

mengganggu atau tidak nyaman untuk dilihat orang, istilah yang kedua ini

adalah untuk kecantikan dan keindahan. (Mustofa, 2005)

Operasi plastik merupakan sesuatu yang baru seperti halnya “bayi

tabung”, ”cangkok jantung”, dan lain sebagainya. Operasi plastik ini bisa

semata-mata untuk mempercantik diri misalnya hidung sehat tapi pesek

kemudian dimancungkan, bisa sebagai upaya pemulihan, seperti

mengoperasi orang yang terkena musibah kecelakaan. Untuk menjalaninya

demi mempercantik diri dapat dikenai ketentuan seperti yang ditegaskan

para ulama, berdasarkan firman Allah SWT:

3) “Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan : “Saya benar-benar akan

mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan

(untuk saya), dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan

membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka dan akan menyuruh

mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-

benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan

3

Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS 4, An-Nisa’: 118-

119). (Mustofa, 2005)

1.a. Jenis-jenis operasi plastik

Operasi plastik ada dua, yaitu :

a) Operasi tanpa ada unsur kesengajaan

Maksudnya adalah operasi yang dilakukan hanya untuk pengobatan dari

aib (cacat) yang ada dibadan, baik karena cacat dari lahir (bawaan) seperti

bibir sumbing, jari tangan atau kaki yang berlebih, dan yang kedua bisa

disebabkan oleh penyakit yang akhirnya berubah sebagian anggota badan,

seperti akibat dari penyakit lepra/kusta, TBC, atau karena luka bakar pada

wajah akibat siraman air panas. Kesemua unsur ini adalah opersi yang bukan

karena keinginannya, akan tetapi yang dimaksudkan adalah untuk pengobatan

saja, walaupun hasilnya nanti menjadi lebih indah dari sebelumnya, dalam

hukum fiqih disebutkan bahwa, operasi semacam ini dibolehkan saja, adapun

dalil diantaranya sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw Beliau pernah

bersabda: “Tidaklah Allah swt menurunkan wabah/penyakit kecuali Allah

swt juga menurunkan obat penawarnya” (H.R. Bukhari). (Mustofa, 2005)

Riwayat dari Usamah Ibn Syuraik ra berkata: “Ada beberapa orang Arab

bertanya kepada Rasulullah saw:”Wahai Rasulullah, apakah kami harus

mengobati (penyakit kami), Rasulullah menjawab, “Obatilah wahai hamba-

hamba Allah lekaslah kalian berobat, karena sesungguhnya Allah tidak

menurunkan satu penyakit, diriwayat lain disebutkan, beberapa penyakit.

Kecuali diturunkan pula obat penawarnya kecuali satu yang tidak bisa

diobati lagi”, mereka pun bertanya,”Apakah itu wahai Rasul?”, Rasulullah

pun menjawab, “Penyakit Tua”(H.R At-Turmudzi). (Mustofa, 2005)

Maksud dari hadits diatas adalah, bahwa setiap penyakit itu pasti ada

obatnya, maka dianjurkan kepada orang yang sakit agar mengobati sakitnya,

jangan hanya dibiarkan saja, bahkan hadits itu menekankan agar berobat

kepada seorang dokter yang profesional dibidangnya. (Mustofa, 2005)

4

Imam Abu hanifah dalam kitabnya berpendapat, “Bahwa tidak mengapa

jika kita berobat menggunakan jarum suntik (yang berhubungan dengan

operasi), dengan alasan untuk berobat, karena berobat itu dibolehkan

hukumnya, Sesuai dengan ijma’ ulama, dan tidak ada pembeda antara laki-

laki dan perempuan”. Akan tetapi disebutkan (pendapat lemah) bahwa tidak

diperbolehkan berobat menggunakan bahan yang diharamkan, seperti khamar,

bir dan sejenis. Tapi jika ia tidak mengetahui kandungan obat itu, maka tidak

mengapa menggunakannya, namun jika tidak memungkinkan lagi (yakin

bahwa tidak ada obat) untuk mencari obat selain yang diharamkan itu, maka

bolehlah menggunakan sekedarnya.Ibnu Mas’ud Ra, mengatakan “bahwa

sesungguhnya Allah Swt. tidak menciptakan sembuhnya kalian dengan

barang yang diharamkan-Nya”. (Mustofa, 2005)

Makna dari pendapat beliau adalah walau bagaimanapun Allah Swt

menurunkan penawar yang halal, karena secara akal pikir, tidak mungkin

Allah mengharamkan yang telah diharamkan kemudian diciptakan untuk

dijadikan obat, pasti masih ada jalan lain yang lebih halal. (Mustofa, 2005)

Operasi semacam ini terkadang bisa menjadi wajib hukumnya, jika

menyebabkan kematian, maka wajib baginya untuk berobat. Allah Swt.

berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke

dalam kebinasaan” dan di ayat lain disebutkan:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu.” (Mustofa, 2005)

b) Operasi yang dilakukan dengan sengaja

Maksudnya adalah operasi yang tidak dikarenakan penyakit bawaan

(turunan) atau karena kecelakaan, akan tetapi atas keinginannya sendiri untuk

menambah keindahan dan mempercantik diri. Operasi ini ada bermacam-

macam, akan tetapi saya hanya menuliskan garis besarnya saja, yaitu terbagi

dua, dan setiap bagian mempunyai hukum masing-masing yaitu:

5

1) Operasi anggota badan

Diantaranya adalah operasi telinga, dagu, hidung, perut, payudara, pantat

dengan ditambah, dikurang atau dibuang, dengan keinginan agar terlihat

cantik. (Mustofa, 2005)

2) Operasi mempermuda

Operasi bagian kedua ini diperuntukkan bagi mereka yang sudah berumur

tua, dengan menarik kerutan diwajah, lengan, pantat, tangan, atau alis.

Kebanyakan ulama hadits berpendapat bahwa tidak boleh melakukan

operasi ini dengan dalil diantaranya sebagai berikut:

Allah berfirman (“Allah telah melaknatnya. setan berkata, “sungguh akan

kutarik bagian yang ditentukan dari hamba-hamabaMu. dan sungguh

akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitlan angan-angan kosong

mereka, dan aku suruh mereka memotong telinga binatang ternak lalu

mereka benar-benar memotongnya, dan aku akan suruh mereka (merobah

ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar merobahnya. dan barangsiapa

yang menjadikan setan sebagai pelindung maka sungguh dia telah merugi

dengan kerugian yang nyata.” (Mustofa, 2005)

Ayat ini menjelaskan kepada kita dengan konteks celaan dan

haramnya melakukan pengubahan pada diri yang telah diciptakan Allah

dengan sebaik-baik penciptaan, karena mengikuti akan hawa nafsu dan

keinginan syaitan yang dilaknat Allah. (Mustofa, 2005)

Setelah kita perhatikan dalil-dalil diatas dengan seksama, maka

jelaslah bahwa operasi plastik itu diharamkan menurut syara’ dengan

keinginan untuk mempercantik dan memperindah diri. (Mustofa, 2005)

1. Operasi Payudara

Operasi payudara yaitu membesarkan payudara secara medis, yaitu

dengan cara dioperasi. Operasi payudara memiliki banyak cara. Salah satu

cara yang paling mutakhir adalah dengan metode TUBA (trans-umbilical

breast augmentation) atau pembesaran payudara melalui irisan di sekitar

pusar. (Nu’aim, 2006)

6

Teknik operasi implant ini ditemukan, dikembangkan dan

dipopulerkan oleh Dr. Gerald  Johnson seorang dokter ahli operasi plastik

dari Amerika. Irisan TUBA adalah irisan yang dilakukan dengan

membelah pusar kemudian menyusuri sebagian pinggirannya. Operasi ini

lebih jarang dilakukan dibandingkan dengan tiga metode pemasangan

implant yang lain, yaitu Peri-areolar Incision, Inframammary Fold

Incision, dan Transaxillary Incision. (Nu’aim, 2006)

Setelah irisan dilakukan, dokter akan menggunakan endoskopi atau

semacam tabung silinder untuk membuat jalan dari perut menuju

payudara. Jalur dibuat melalui jaringan lemak di bawah kulit perut. Implan

flatable digulung kemudian di pasangkan di ujung endoscope, diarahkan

dan ditempatkan di dalam payudara. (Nu’aim, 2006)

Seorang wanita membesarkan payudaranya dengan cara medis

padahal payudaranya normal. Hal ini tidak lepas dari dua faktor yaitu:

1) Karena keinginannya sendiri, hanya sekedar iseng dan ingin

berbangga diri, baik dia mempunyai suami, maupun belum

mempunyai suami. Dalam keadaan seperti ini, tidak dibolehkan

baginya untuk melakukan pembesaran dengan cara medis dalam

bentuk apapun, karena masuk dalam katagori merubah ciptaan Allah

dan tidak bersyukur dengan nikmat Allah yang diberikan kepadanya.

2) Karena ingin membahagiakan suaminya, atau karena suaminya yang

memintanya agar berbuat seperti itu. Tetapi ketataan itu terbatas pada

masalah yang ma’ruf dan baik serta tidak dilarang oleh Islam. Jika

perintah tersebut menyalahi ajaran Islam, maka tidak boleh ditaati.

Sebagaimana disebutkan di dalam hadist Imran bin Husain,

bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda   :

�ِب� �َغ�ْي �ْل ِل َح�اِف�َظ�اٌت �اٌت �َت َق�اِن �َح�اٌت� ِف�اِلَّص�اِل

�ُه� اِلْل َح�ِف�َظ� �َم�ا ِب

“Tidak ada ketaatan kepada makhluq untuk bermaksiat kepada Allah”

(HR. Ahmad dan  Ibnu Abi Syaibah, hadist ini dishahihkan oleh Ibnu

Qayim, Suyuti, Syaukani dan yang lain). Melakukan operasi payudara

yang sebenarnya masih normal adalah bentuk dari merubah ciptaan Allah

7

dan tanda bahwa orang tersebut tidak ridha dengan ketentuan Allah, maka

perintah suami dalam ini tidak boleh ditaati, bahkan sebaliknya jika sang

istri mengetahui hukum operasi payudara ini tidak boleh, hendaknya dia

mengingatnya suaminya dengan cara lemah lembut yang tidak

menyinggung perasaannya. (Nu’aim, 2006)

2. Operasi Ganti Kelamin

Operasi ganti kelamin (taghyir al-jins) adalah operasi pembedahan untuk

mengubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya.

Pengubahan jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan dilakukan dengan

memotong penis dan testis, kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina)

dan membesarkan payudara. Sedang pengubahan jenis kelamin perempuan

menjadi laki-laki dilakukan dengan memotong payudara, menutup saluran

kelamin perempuan, dan menanamkan organ genital laki-laki (penis). Operasi

ini juga disertai pula dengan terapi psikologis dan terapi hormonal. (Nu’aim,

2006)

Hukum operasi ganti kelamin adalah haram, berdasarkan dalil Al-Qur`an dan

As-sunnah.

Dalil Al-Qur`an firman Allah SWT (artinya) : “Dan aku (syaithan) akan

menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar

mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] : 119). Ayat ini menunjukkan upaya syaitan

mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat. Di antaranya

mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah). Operasi ganti kelamin termasuk

mengubah ciptaan Allah, karena dalam operasi ini terdapat tindakan memotong

penis, testis, dan payudara. Maka operasi ganti kelamin hukumnya haram.

(Nu’aim, 2006)

Dalil hadits adalah riwayat Ibnu Abbas RA bahwa,”Rasulullah SAW telah

melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang

menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari). Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-

laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka,

operasi ganti kelamin haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah)

bagi laki-laki atau perempuan yang dioperasi untuk menyerupai lawan

8

jenisnya. Kaidah fiqih menyebutkan,”Al-Wasilah ila al-haram muharromah.”

(Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga). Operasi ganti

kelamin juga merupakan dosa besar (kaba`ir), sebab salah satu kriteria dosa

besar adalah adanya laknat (kutukan) dari Allah dan Rasul-Nya. (Nu’aim,

2006)

Yang berdosa bukan hanya orang yang dioperasi, tapi juga semua pihak

yang terlibat di dalam operasi itu, baik langsung atau tidak, seperti dokter, para

medis, psikiater, atau ahli hukum yang mengesahkan operasi tersebut.

Semuanya turut berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah

pada hari kiamat kelak, karena mereka telah bertolong menolong dalam

berbuat dosa. Padahal Allah Swt berfirman (artinya) : “Dan janganlah kamu

tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maa`idah

[5] : 2). (Nu’aim, 2006)

Adapun operasi penyempurnaan kelamin (takmil al-jins) hukumnya boleh.

Hal ini berlaku bagi orang yang memiliki alat kelamin ganda, yaitu mempunyai

penis dan vagina sekaligus. Operasi ini hukumnya mubah, berdasarkan

keumuman dalil yang menganjurkan berobat (al-tadawiy). Nabi SAW

bersabda,”Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah

menurunkan pula obatnya.” (HR Bukhari). (Nu’aim, 2006)

3. Operasi Selaput Dara

Operasi selaput dara atau pengembalian keperawanan adalah memperbaiki

dan mengembalikannya pada tempat semula sebelum sobek, atau pada tempat

yang dekat dengannya, dan hal itu adalah pekerjaan para dokter spesialis.

Tidak diragukan bahwa masalah pengembalian keperawanan adalah masalah

baru yang tidak disebutkan didalam nash syariat. Baik secara langsung maupun

tidak langsung, dan belum ada fuqaha yang menjelaskan hukumnya, karena hal

tersebut belum pernah dibayangkan di masa mereka, dan tidak ada yang

menyerupainya di masa pensyariatan sehingga memungkinkan qiyas atasnya.

Maka yang bisa dilakukan hanyalah melihat pada maksud syariat, tujuan dan

kaidahnya secara umum, manfaat serta madharat yang mungkin dihasilkan dari

operasi tersebut. (Nu’aim, 2006)

9

Operasi selaput dara ditinjau dari kemaslahatan dan kemadharatan yang

terwujud, dijelaskan bahwa :

1) Jika sobeknya selaput dara itu disebabkan oleh kecelakaan atau perbuatan

yang bukan maksiat secara syariat dan bukan hubungan seksual dalam

pernikahan, maka perbaikan selaput dara itu dibolehkan.

2) Jika penyebabnya adalah hubungan seksual dalam pernikahan, maka

operasi pengembalian keperawanan tersebut diharamkan atas janda atau

wanita yang dicerai. Karena tidak ada kepentingan didalamnya. Terlebih

lagi diharamkan untuk yang sudah menikah karena hal itu sama saja

dengan main-main. Dan dokter tidak dibolehkan untuk melihat aurat

wanita kecuali dalam keadaan darurat.

3) Jika penyebabnya adalah zina yang diketahui masyarakat, baik yang

diketahui melalui keputusan pengadilan atau karena perbuatan zina

tersebut berulang-ulang karena terkenal sebagai pelacur, maka

pengembalian selaput dara ini diharamkan. Karena operasi itu tidak ada

kemaslahatannya sama sekali dan tidak lepas dari madharatnya.

4) Jika penyebabnya adalah zina yang tidak diketahui oleh masyarakat

termasuk menutupi aib. Menutupi aib orang yang berbuat maksiat haram

hukumnya jika mengakibatkan hilangnya hak-hak manusia. Tetapi

menutupi aib hukumnya sunnah jika yang melakukan maksiat telah

bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya dan menjadi makruh jika dia

melakukan maksiat terus-menerus dan tidak bertaubat.

4. Pandangan Islam Tentang Berobat dan Perawatan Wajib Berobat

Usamah bin Syarik berkata :

“ waktu saya berada bersama Kalulullab s.a.w. datanglah beberapa orang Badui

10

(pegunungan) lalu mereka berkata. Ya Rasulullab, apakah kita mesti berobat ?

Maka beliau menjawab Ya, wahai hamba Allah, berobatlah kamu, karena A.llah

tidak menurunkan penyakit melainkan Dia menurunkanjuga obatnya, kecuali satu

penyakit, Mereka bertanya lagi: “Penyakit apakah itu ?” Beliau menjawab: Tua (-

Riwayat Ahmad ) (Nu’aim, 2006)

Karena berobat wajib, maka wajib pula ada ahli pengobatan (dokter), tenaga

para medis (perawat, bidan) dan rumah-rumah sakit, tempat perawatan dan

pengobatan. (Nu’aim, 2006)

Firman Allah swt di dalam kitab Suci Al-Qur'an surat An Nahl ayat 43

menyebutkan bahwa : “Maka bertanyalah kamu kepada orangyang ahlijika

kamu tidak mengetahuinya”.

Sifat yang harus dipegangi oleh dokter dan para medis yaitu :

1) Beriman, karena mereka melakukan amal shaleh, mengobati

orang sakit merawat mereka, menasehati mereka, sebab tanpa iman

segala amal shaleh ini akan sia-sia belaka di mata Allah swt sebagaimana

dijelaskan

Allah dalam surat Al Ashri yang artinya :

Demi masa sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kecurigaan. Kecuali

orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati

dalam kesabaran.

2) Menghormati si sakit sebagai hamba Allah, makhluk yang tertinggi di

muka bumi, sebab Allah sendiri menghormatinya. Allah

berfirman dalam surat Isra ayat 70 : Sesungguhnya Kami memulaikan anak

cucuAdam, manusia.

3) Mengasihani dan membimbing jiwa si sakit selama dalam pengobatan,

perawatan sampai ia sembuh atau meninggal dunia, supaya selama sakit ia

lebih dekat kepada Allah sehingga bila ia sembuh menjadi orang yang

lebih taat kepada Allah dan bila ia meninggal dunia ia meninggal dalam

keadaan husnul khatimah. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda Kasihanilah

merekayang di burnt, niscaya kamu dikasihani oleh yang dilangit. (Riwayat

Tirmidzi) Firman Allah swt. dalam surat Al Balad ayat 17 : Dan wasiat

11

mewasiatilah kamu dalam kesabaran dan wasiat mewasiatilah kamu dalam

kasih sayang.

Mengerjakan pekerjaan pengobatan dan perawatan orang sakit, ikhlas karena

Allah. Nabi saw bersabda : Sesungguhnya Allah azza wajalla tidak

menerima sesuatu amal perbuatan jika tidak disertai dengan keikhlasan

dan mengharapkan keridhaanNya. (Riwayat Abu Daud dan Nasa'i)

Penyantun terhadap si sakit, artinya mempunyai perasaan halus, lekas

merasakan kesukaran orang lain dan turut berduka cita dengan orang

yang kesusahan serta suka menolong orang lain sekuat tenaga, Firman

Allah dalam surat Al A'raf ayat 56 : Sesungguhnya rahmat Allah itu

dekat kepada orangyang berbuat kebajikan..

Firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 263:

Tutur bahasa yang baik dan pemaaf lebih utama daripada pemberian dengan

sesuatu yang menyakiti dan Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

4) Peramah, artinya bergaul selalu dengan muka manis, penuh senyum yang

dapat menyenangkan dan menenangkan si sakit. Firman Allah dalam surat

Al-Imran ayat 159:

Maka karena rahmat Allah lah engkau berlaku lemah lembut kepada

mereka sekiranya engkau berlaku kasar berhati bengis, niscaya mereka

menjauhkan diri dari sekitarmu.

5) Sabar, artinya tidak lekas marah, dan menahan diri. Nabi saw bersabda:

Seorang muslim yang bergaul dengan orang lain dan sabar menghadapi

perbuatan mereka yang menyakiti, lebih utama dari orang muslim yang

tidak bergaul dan tidak sabar. (Riwayat dari Abu Hurairah)

6) Tenang, artinya tidak tergesa-gesa tidak ribut.

Sabda Nabi saw : Bila engkau hendak menghadapi suatu pekerjaan

hadapilah dengan tenang, hingga Allah menunjukkan kepada engkau

jalan keluar (dari kesulitan). (Riwayat Bukhari)

7) Tegas, artinya jangan ragu-ragu dalam melakukan suatu tindakan atau

putusan terhadap penderita demi kebaikannya. Nabi saw bersabda: Bila

ada keraguan dalam hatimu, maka tinggalkanlah. (Riwayat Ahmad, Ibnu

Hibban dan Hakim dari Abu Umamah).

12

8) Teliti, artinya seksama, hati-hati. dan sangat cermat. Nabi s.aw. bersabda:

Sesungguhnya Allah swt. menyukai bila seseorang mengerjakan sesuatu

pekerjaan dilakukan dengan teliti. (Riwayat Baihaqi)

9) Bersih baik pakaian maupun hatinya. Allah berfirman dalam surat At

taubah ayat 108: Dan Allah menyukai orang-orang yang menyucikan

diri.

10) Penyimpan rahasia, sesuai dengan sumpah dokter. Nabi saw bersabda:

Yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra Barang siapa menyimpan rahasia

(ke'aiban) temannya, maka Allah akan menyimpan pula rahasianya di

hari Kiamat. dan barang siapa membukakan rahasia temannya sesama

muslim, maka Allah akan membukakan pula rahasianya, hingga Allah

memberi malu dia dalam rumah tangganya. (Riwayat Ibnu Majah)

11) Dapat dipercaya, berarti orang yang terhormat, jujur dan tidak menipu,

apalagi orang sakit yang memerlukan seperti ini karena banyak hal

pribadi yang hanya diserahkan kepada dokter atau perawat.

Allah berfirman dalam surat Al Anfal 27: Wahai orang-orangyang

beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasulnya dan janganlah

kamu menghianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu

mengetahui.

12) Bertanggung jawab, artinya dokter dan perawat memikul tanggung

jawab tentang keselamatan si sakit.

Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah akan memeriksa setiap orang tentang

urusan yang dipertanggungjawabkan kepadanya. Apakah diurusnya dengan

baik atau disia-siakannya sehingga pertanggungan jawab terhadap keluarga/

rumah tanggapun akan diperiksajuga. (Riwayat An-Nasai dan Ibnu Hiban)

13) Memberi harapan, artinya supaya dokter dan tenaga perawatan

selalu memberikan harapan baik kepada si penderita, karena si sakit

ingin sembuh dan takut mati. Nabi s.aw. bersabda yang disampaikan

oleh Anas RA. Permudahlah janganlah dipersukar, gembirakanlah dan

jangan dipertakut. (Riwayat Bukhari dan Muslim) (Nu’aim, 2006)

13

5. Pemeriksaan Medik oleh Lawan Jenis

Dalam Ilmu kedokteran/kesehatan untuk menegakkan diagnosa suatu

penyakit, dokter perlu melaksanakan pemeriksaan pada pasien seluruh tubuhnya,

baik dari luar, maupun dari dalam, sehingga pada umumnya pasien harus

bersedia menanggalkan pakaiannya. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter

diruang pemeriksaan, dimana dokter dapat memeriksa pasien dengan leluasa

tanpa dilihat dan di dengar oleh orang lain. Dokter dan tenaga para medis

diwajibkan secara etis memelihara kehormatan manusia, baik dalam ruang

pemeriksaan, maupun dalam ruang perawatan. (Nu’aim, 2006)

Islam melarang melihat aurat orang lain dan setiap muslim diwajibkan

memelihara aurat sendiri, sebagai yang dijelaskan dalam alqur’an berikut:

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, supaya mereka menahan

pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka; yang demikian itu lebih suci

buat mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Katakanlah kepada perempuan yang beriman supaya mereka menahan pandangan

mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan (keindahan tubuh) mereka,

kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. (Nu’aim, 2006)

Aurat dibagi dalam dua macam, yaitu:

1) Aurat dalam waktu shalat:

a. Buat laki-laki dan budak wanita ialah: bagian badan antara lutut dan pusat buat

budak wanita di tambah lagi dengan perut dan seluruh punggung.

b. Buat perempuan merdeka, seluruh tubuhnya, termasuk rambut yang turun

dari telinganya, selain dari muka dan kedua telapak tangan termasuk

punggung tangan.

2) Aurat di luar waktu shalat:

a. Laki-laki dan budak wanita sama dengan aurat pada shalat.

Makruh melihat aurat sendiri bila tidak diperlukan seperti mencebok.

b. Wanita merdeka : antara lutut dan pusat bila ia sendiri, atau bersama

muhrimnya. Seluruh tubuh selain muka dan kedua tangan termasuk

punggung tangan.

Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka

dokter berkhalwat, melihat aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan

14

hanya berdasarkan keadaan darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul

fiqih yang berbunyi:

“Yang darurat dapat membolehkanyang dilarang”.

Namun untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya

sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga

maupun dari tenaga paramedis sendiri, sesuai pula dengan qaidah ushul fiqh

yang berbunyi:

“Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemashlahatan”. Akan

lebih baik lagi bila pasien diperiksa oleh dokter sejenis pasien perempuan

diperiksa oleh dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-

laki. (Nu’aim, 2006)

Setiap orang tidak boleh meremehkan kekuatan seks yang dahsyat yang

dapat meruntuhkan martabat dokter, sewaktu ia berkhalwat dengan pasien di

kamar periksanya, memeriksa seluruh tubuh, melihat aurat pasiennya. Memang

di dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh

dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang sejenis heteroseksual, maupun

sejenis homoseksual antara dokter dan pasien. Tidak mustahil di masa depan

orang telah dapat menciptakan alat-alat elektronik pemeriksaan pasien,

sehingga tidak perlu khalwat, melihat dan memeriksa aurat penderita, sebab

dibolehkan rukhsah, berkhalwat, melihat dan memeriksa, meraba tubuh pasien

adalah hanya dalam keadaan darurat saja. (Nu’aim, 2006)

II.2 Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat dalam Praktik Kedokteran

Etiologi dan perawatan penyakit. Kualitas penyakit sebagai konsep

kebudayaan yang menjadi dasar pengobatan, sering kali merupakan persoalan

yang dihadapi oleh petugas-petugas kesehatan di daerah pedesaan. Masih

merupakan kepeercayaan yang umum bahwa ada penyakit-penyakit yang

dianggap disebabkan oleh makhluk-makhluk dan kekuatan gaib, seperti guna-

guna (dengan berbagai alasan), gangguan makhluk halus, pelanggaran taboo

hukuman Tuhan atau Dewa dan sebagainya. Sistem perawatan kesehatan yang

15

harus dilaksanakan terhadap penyakit-penyakit dengan sebab-sebab seperti ini

adalah pula bersifat ilmu gaib dan yang hanya dapat dikerjakan oleh dukun dan

praktisi medis sejenisnya. Sekalipun pada masyarakat dimana perawatan

kesehatan modern sudah tidak asing lagi, kepercayaan terhadap etiologi seperti

ini masih di anut. Kenyataan ini merupakan pencerminan dari pengkategorian

penyakit-penyakit ke dalam: penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan oleh

dokter dan yang hanya dapat disembuhkan oleh dukun. Dalam kenyataannya,

penyakit seseorang yang dapat diduga disebabkan oleh sesuatu yang bersifat

supraalamiah tidak hanya dimintakan perawatan kepada dukun tetapi juga

kepada dokter atau perawat atau yang disebut mantra. (Nico s. Kalangie, 1994)

Pada komunitas-komunitas rumpun (Tribal Communities), kepercayaan

terhadap sebab penyakit yang bersifat magikeagamaan seperti ini mendominir

isi konsep teori penyakit dan praktek penyembuhan. Sedang pada komunitas-

komunitas pedesaan (peasant communities) kepercayaan ini telah berkurang

dan tidak lagi menjadi satu-satunya yang dipegang, akibat perkembangan

sistem etiologi lain yang bersifat naturalistik. Selain itu, peristiwa-peristiwa

emosional, dislokasi organ-organ tubuh, penjangkitan, keletihan kerja,

kekurangan tidur, kekurangan makanan dan lain-lain adalah pula merupakan

aspek lain dalam konsep kausalitas penyakit mereka. Demikianlah, praktek

pengobatan yang dikenal bukan semata-mata dengan menggunakan jampi-

jampi tetapi juga dengan campuran ramuan tumbuh-tumbuhan. Obat-obatan

farmakologis juga sudah dikenal di kalangan penduduk pedesaan ini. (Nico s.

Kalangie, 1994)

Ketidaktahuan dan ketidak mengertian akan kuman dan patogen lainnya

sebagai sebab penyakit (menurut ilmu kedokteran), memang merupakan

masalah dalam meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap praktek-praktek

perawatan medis modern. Tidak jarang diagnosa yang diberikan oleh seorang

dukun terhadap penyakit yang diderita seseorang meleset. Pada saat dirasakan

bahwa perawatan dukun tidak membawa hasil yang diharapkan, pasien

dialihkan ke dokter. Biasanya pasien seperti ini sudah sukar untuk ditolong

karena pada saat tiba di tangan dokter keadaan penyakit sudah parah. Dapat

16

terjadi pasien seperti ini meninggal dunia di tangan dokter. (Nico s. Kalangie,

1994)

Pengambilan keputusan umumnya, pengambilan keputusan terhadap

perawatan medis apa yang akan dipilih, dilakukan oleh anggota-anggota

kerabat dewasa dalam keluarga batih dan atau dalam lingkungan kekerabatan

oleh kawan-kawan dan tetangga turut juga mempengaruhi pengambilan

keputusan. Perawatan terhadap anak ditentukan oleh orang tuanya. Orang tua

akan meminta petunjuk dari pihak-pihak luar bilamana penyakit anak

mengkhawatirkan. Hal yang sama berlaku juga bagi orang dewasa yang sakit

berat karena yang bersangkutan sendiri (bersama isteri atau suaminya) sukar

memutuskan sebelum mendengar saran-saran dari pihak-pihak luar. Apalagi

kalau sesudah dirawat oleh dukun atau dokter penyakitnya belum juga hilang.

(Nico s. Kalangie, 1994)

Pari ahli beranggapan bahwa suatu program inovasi kesehatan akan dapat

efektif, antara lain, bila ide, kepercayaan dan praktek medis yang ingin kita

adopsikan dapat dimasukkan ke dalam sistem-sistem sosial dalam komunitas

pedesaan, dalam rangka kegiatan peranan dan wibawa dari tokoh-tokoh pada

tiap-tiap sistem sosial ini. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana

memotivasikan tokoh-tokoh ini sehingga peranan dan wibawa mereka dapat

berfungsi dalam inovasi kesehatan. (Nico s. Kalangie, 1994)

Peranan tenaga medis adalah merupakan suatu kenyataan bahwa sejak

waktu yang lama peranan para mantra atau perawat (baik di daerah pedesaan

maupun di kota-kota). Penduduk telah memperoleh banyak pertolongan medis

dari mereka. Dalam personel medis yang penting sebagai pembantu dokter. Di

luar pekerjaan mereka yang resi di puskesmas atau pembantu puskesmas,

mereka bebas berpraktek. Namun demikian, untuk kasus-kasus penyakit yang

tidak dapat ditangani harus dialihkan ke dokter puskesmas. Diharapkan pula

bahwa mereka secara tetap member laporan kepada dokter puskesmas

mengenai persoalan-persoalan perawatan yang timbul. (Nico s. Kalangie,

1994)

17

Dibalik kesan umum tentang pertolongan mereka tersebut, sebenarnya kita

belum banyak mengetahui tentang kenyataan-kenyataan berhubungan dengan

peranan perawatan mereka serta konsekuensi-konsekuensinya. Kebiasaan

penduduk dalam mencari perawatan yang mudah berpindah-pindah dari

seorang praktisi ke praktisi yang lain, menyebabkan hasil-hasil perawatan

paramedic sukar untuk diikuti dan dimintakan pertanggung jawaban. (Nico s.

Kalangie, 1994)

Tidak semua kasus yang mereka tidak dapat tangani telah dilaporkan

kepada dokter. Demikian pula, kegagalan perawatan yang terjadi dalam rangka

praktek informal mereka tidak diketahui, seolah-olah itu adalah belakang dari

keadaan ini, kebiasaan melakukan praktek yang bebas atau tanpa pengawasan

sikap yang mereasa sudah berpengalaman memilih untuk tidak melaporkan

atas alasan kepentingan pribadi dan merasa sudah cukup dengan menganjurkan

pasien supaya pergi ke puskesmas untuk perawatan lebih teliti. (Nico s.

Kalangie, 1994)

Hubungan antara dokter dan pasien terjadi karena adanya kebutuhan

kebutuhan kesehatan pihak kedua. Hubungan ini adalah hubungan peranan

antarkedua belah pihak, masing-masing dengan pengharapan, kewajiban dan

latar belakang kebudayaan sendiri-sendiri. Perhatian terhadap masalah ini

bukan hanya penting dalam rangka perawatan pasien di rumah sakit atau di

tempat-tempat praktek partikulir, tetapi terlebih juga pada puskesmas-

puskesmas di mana penyampaian ide, kepercayaan dan praktek medis modern

secara realistis dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Persoalan utama ialah

bagaimana situasi hubungan perawatan dapat berfungsi sebagai saluran

komunikasi dan pendidikan kesehatan. (Nico s. Kalangie, 1994)

Hubungan dokter-pasien sebenarnya adalah hubungan yang asimetris

dimana karena tingkah laku peranan yang dimainkan oleh dokter antara lain

adalah sebagai atasan sedangkan pasien adalah sebagai atasan sedangkan

pasien adalah sebagai bawahan. Peranan yang berbeda tingkat antara kedua

pihak ini, ditandai oleh hierarki yang oleh Foster (1978) disebut sebagai

hubungan dominance submission. Dengan cirri hubungan seperti ini, bersama-

sama dengan ciri-ciri tingkah laku dokter, seperti impersonalitas, pandangan

18

organismik dan sikap yang mementingkan efisiensi profesional, telah

menyebabkan seorang pasien (sejak diagnosa sampai penyembuhan) tidak akan

sempat mengerti sepenuhnya sebab-sebab dari penyakitnya serta cara-cara

menghindari diri dari penyakit seperti itu menurut ilmu kedokteran. Apalagi

kalau penjelasannya tidak diberikan atau kalau diberikan keterangan hanya

sepintas lalu disampaikan atau kalau diberikan keterangan secukupnya faktor

kesukaran bahasa dari pihak pasien kurang diperhatikan. Konsekuensi lain dari

situasi hubungan seperti ini ialah bahwa tidak jarang pasien merasa

penderitaannya (sebagai keseluruhan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan

ekonomis) tidak atau kurang mendapat perhatian dokter. Demikian pula ada

kecenderungan bahwa konteks sosial budaya pasien harus ditinggalkan di luar

ruangan pemeriksaan. Persepsi dokter terhadap pasiennya adalah sebagai

individu yang sedang sakit, bukan sebagai seorang sakit dengan sistem sosial

budaya tertentu yang berbeda dari yang ia miliki. (Nico s. Kalangie, 1994)

Pada dasarnya, kenyataan-kenyataan tingkah laku dokter dalam

hubungannya dengan pasien merupakan pencerminan dari orientasi nilai

kebudayaan kedokteran yang dienkulturasikan sejak ia berada dalam lembaga

pendidikan kedokteran. (Nico s. Kalangie, 1994)

II.3 Peranan KODEKI, KODERSI dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan

1. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

Aturan etika adalah ”terjemahan” asas-asas etika menjadi ketentuan-

ketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-

hal yang harus dihindari. Aturan-aturan etika yang disusun oleh asosiasi

atau perhimpunan keprofesian sebagai pedoman perilaku bagi anggota-

anggota profesi itu, umumnya dinamakan Kode Etik (Inggris: Code of

Ethics)

Istilah kode (Inggris: Code) berasal dari kata Latin codex yang berarti

buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-

aturan. Jadi, misalnya kode moral (moral code) berarti seperangkat asas-

asas dan aturan-aturan tentang moral. Dalam pengertian seperti inilah,

Kode etik Kedokteran dapat diartikan sebagai seperangkat (tertulis)tentang

19

aturan-aturan etika yang memuat amar (apa yang dibolehkan) dan larangan

(apa yang harus dihindari) sebagai pedoman pragmatis bagi dokter dalam

menjalankan profesinya. Dapat juga dikatakan, Kode etik Kedokteran

adalah buku yang memuat aturan-aturan etika bagi dokter.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

Kode Etik Kedokteran pertama di dunia Barat pasca – Hippokrates

adalah Precival’s Medical Ethics yang diterbitkan di Inggris tahun 1803.

Awalnya naskah yang komprehensif tentang etika medis ini disiapkan

dokter inggris “Sir Thomas Percival” atas permintaan rumah sakit

Manchester. Tujuan naskah itu adalah untuk dijadikan pedoman perilaku

professional para dokter yang berhubungan dengan rumah sakit dan badan-

badan charity lain, untuk mengatasi dan mencegah konflik antara para

dokter itu. (Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran

Nasional, 1969)

Selama bertahun-tahun kemudian asosiasi-asosiasi dokter di Inggris

dan Amerika menggunakan Kode Etik Percival ini sebagai pedoman. Kode

Etik American Medical Assotiation (AMA) tahun 1847 hampir seluruhnya

didasarkan pada Kode Etik Percival. Sementara itu, perhimpunan dokter di

tiap Negara maju menyusun kode etik kedokterannya sendiri-sendiri.

Namun, dalam semua kode etik itu “benang merah” aturan-aturan etikanya

masih jelas berhulu pada asas-asas etika dalam Sumpah Hippokrates.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

Kode Etik Kedokteran Indonesia yang pertama disusun oleh

Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional I di Jakarta dalam tahun

1969. Karena IDI adalah anggota WMA, dengan sendirinya Kode Etik ini

disusun dengan merujuk kepada Kode Etik Kedokteran Internasional yang

telah disempurnakan oleh kongres WMA ke-22 di Sydney dalam tahun

1968, dengan beberapa penyesuaian dengan keadaan dan praktik di

Indonesia. (Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran

Nasional, 1969)

20

Dengan SK Menteri Kesehatan R.I No. 4/MENKES/SK/X/1993,

tanggal 28 Oktober 1983, Kode Etik Kedokteran Indonesia dinyatakan

berlaku bagi semua dokter di Indonesia. (Panitia Redaksi Musyawarah

Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

KODEKI sudah mengalami beberapa perubahan. penyempurnaan

terakhir dilaksanakan oleh Rakernas MKEK-MP2A tanggal 20-22 Mei

1993 di Jakarta, yang menghasilkan 2 buku, yaitu (1) Kode Etik

Kedokteran Indonesia (KODEKI), dan (2) Pedoman Pelaksanaan Kode

Etik Kedokteran Indonesia. (Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila

kedokteran Nasional, 1969)

Di Indonesia, kode etik kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan

norma-norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang asas-asasnya

terdapat dalam Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai

landasan strukturil. Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan

kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, maka para dokter baik yang

tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI),

maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan,

dan penelitian telah menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia

(KODEKI), yang dirumuskan dalam pasal-pasal, yaitu :

1. Kewajiban Umum

Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan

mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya

menurut ukuran yang tertinggi.

Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter

tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan

hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang

bersifat memuji diri.

Pasal 5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan

daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk

21

kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh

persetujuan pasien.

Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa hati-hati dalam

mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik

atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan

hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat

yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Pasal 7a Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya,

memberikan pelayanan medis kompeten dengan kebebasan

teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih saying

(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan

dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk

mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki

kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang

melakukan penipuan atau penggelapan dalam menangani

pasien.

Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak

sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus

menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d Seorang dokter harus senantiasa mengingat kewajiban

melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus

mengutamakan kepentingan masyarakat dan

memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang

menyeluruh (Prmotif, Preventif, Kuratif dan rehabilitative),

serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat

yang sebenarnya.

Pasal 9 Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat

dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat,

harus saling menghormati.

22

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

2. Kewajiban Dokter terhadap Penderita/ Pasien

Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan

mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk

kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia

wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang

mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien

agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan

penasihatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah

lainnya.

Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang

diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah

penderita itu meninggal dunia.

Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai

suatu tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang

lain bersedia dan mampu memberikannya.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,

1969)

3. Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawatnya

Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya

sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari

teman sejawatnya tanpa persetujuannya.

Jika ditinjau butir-butir KODEKI tersebut diatas, dapat dikelompokan

sebagai berikut :

A. Kewajiban dan Larangan

I. Kewajiban-kewajiban dokter

1. Mengamalkan sumpah dokter

2. Melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi

23

3. Kebebasan dan kemandirian profesi

4. Member surat keterangan dan pendapat sesudah memeriksa sendiri

kebenarannya.

5. Rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat

manusia.

6. Jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya

7. Menghormati hak-hak pasien, teman sejawat dan tenaga kesehatan

lainnya.

8. Melindungi hidup makhluk insani.

9. Memperhatikan kepentingan masyarakat dan semua aspek

pelayanan kesehatan.

10.Tulus ikhlas menerapkan ilmunya. Bila tidak mampu merujuknya.

11. Merahasiakan segala sesuatu tentang pasiennya.

12. Memberi pertolongan darurat

13. Memperlakukan sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin

diperlakukan

14. Memelihara kesehatannya

15. Mengikuti perkembangan iptek kedokteran

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,

1969)

II. Larangan-larangan

1. Memuji diri

2. Perbuatan atau nasihat yang melemahkan daya tahan pasien

3. Mengumumkan dan menerapkan teknik atau pengobatan yang

belum diuji kebenarannya

4. Mengambil alih pasien sejawat lain tanpa persetujuannya

5. Melepaskan kebebasan dan kemandirian profesi karena pengaruh

sesuatu.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,

1969)

24

B. Etik Murni dan Etikolegal

I. Pelanggaran Etik Murni

1. Menarik imbalan jasa yang tidak wajar dari pasien atau menarik

imbalan jasa dari sejawat dan keluarganya.

2. Mengambil alih pasiien tanpa persetujuan sejawatnya.

3. Memuji diri sendiri di depan pasien, keluarga atau masyarakat.

4. Pelayanan kedokteran yang dekriminatif

5. Kolusi dengan perusahaan farmasi atau apotik

6. Tidak mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan

7. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,

1969)

II. Pelanggaran Etikolegal

1. Pelayanan kedokteran dibawah standar

2. Menerbitkan surat keterangan palsu

3. Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hukum

4. Melakukan tindakan medic tanpa indikasi

5. Pelecehan seksual

6. Membocorkan rahasia pasien.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,

1969)

2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)

Perumahsakitan di Indonesia sesuai dengan perjalanan sejarah

memiliki jati diri yang khas, ialah dengan mengakarnya azas

perumahsakitan Indonesia kepada azas Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945, sebagai bangsa dan Negara Republik Indonesia. Dalam

menghadapi masa depan penuh tantangan diperlukan upaya

mempertahankan kemurnian nila-nilai perumahsakitan Indonesia.

Rumahsakit di Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan

Rumahsakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah menyusun Kode Etik Rumah

Sakit (KODERSI), yang memuat rangkuman nilai-nilai dan norma-norma

25

perumahsakitan guna dijadikan pedoman bagi semua pihak yang terlibat

dan berkepentingan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan

perumahsakitan di Indonesia. Sehingga disusunlah bab mengenai

KODERSI yaitu :

BAB I Kewajiban Umum Rumah Sakit

Pasal 1 Rumah Sakit harus mentaati Kode Etik Rumah Sakit Indonesia

(KODERSI)

Pasal 2 Rumah sakit harus dapat mengawasi serta bertanggung jawab

terhadap semua kejadian di rumah sakit.

Pasal 3 Rumah sakit harus mengutamakan pelayanan yang baik dan

bermutu secara berkesinambungan serta tidak mendahulukan

urusan biaya.

Pasal 4 Rumah sakit harus memelihara semua catatan/arsip baik medik

maupun non medik secara baik.

Pasal 5 Rumah sakit harus mengikuti perkembangan dunia

perumahsakitan.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

BAB II Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Masyarakat dan Lingkungan

Pasal 6 Rumah sakit harus jujur dan terbuka, peka terhadap saran dan

kritik masyarakat dan berusaha agar pelayanannya menjangkau di

luar rumah sakit.

Pasal 7 Rumah sakit harus senantiasa menyesuaikan kebijakan

pelayanannya pada harapan dan kebutuhan masyarakat setempat.

Pasal 8 Rumah Sakit dalam menjalankan operasionalnya bertanggung

jawab terhadap lingkungan agar tidak terjadi pencemaran yang

merugikan masyarakat.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

26

BAB III Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien

Pasal 9 Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien.

Pasal 10 Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita

pasien, dan tindakan apa yang hendak dilakukan.

Pasal 11 Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien (informed

consent) sebelum melakukan tindakan medik.

Pasal 12 Rumah sakit berkewaijiban melindungi pasien dari

penyalahgunaan teknologi kedokteran.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

BAB IV Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pimpinan, Staf, dan Karyawan

Pasal 13 Rumah sakit harus menjamin agar pimpinan, staf, dan

karyawannya senantiasa mematuhi etika profesi masing-masing.

Pasal 14 Rumah sakit harus mengadakan seleksi tenaga staf dokter,

perawat, dan tenaga lainnya berdasarkan nilai, norma, dan standar

ketenagaan.

Pasal 15 Rumah sakit harus menjamin agar koordinasi serta hubungan

yang baik antara seluruh tenaga di rumah sakit dapat terpelihara.

Pasal 16 Rumah sakit harus memberi kesempatan kepada seluruh tenaga

rumah sakit untuk meningkatkan dan menambah ilmu

pengetahuan serta keterampilannya.

Pasal 17 Rumah sakit harus mengawasi agar penyelenggaraan pelayanan

dilakukan berdasarkan standar profesi yang berlaku.

PasaI18 Rumah sakit berkewajiban memberi kesejahteraan kepada

karyawan dan menjaga keselamatan kerja sesuai dengan peraturan

yang berlaku.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

27

BAB V Hubungan Rumah Sakit Dengan Lembaga Terkait

Pasal 19 Rumah sakit harus memelihara hubungan yang baik dengan

pemilik berdasarkan nilai-nilai, dan etika yang berlaku di

masyarakat Indonesia.

Pasal 20 Rumah sakit harus memelihara hubungan yang baik antar rumah

sakit dan menghindarkan persaingan yang tidak sehat.

Pasal 21 Rumah sakit harus menggalang kerjasama yang baik dengan

instansi atau badan lain yang bergerak di bidang kesehatan.

Pasal 22 Rumah sakit harus berusaha membantu kegiatan pendidikan

tenaga kesehatan dan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan

dan teknologi kedokteran dan kesehatan.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

BAB VI Lain-lain

Pasal 23 Rumah sakit dalam melakukan promosi pemasaran harus bersifat

informatif, tidak komparatif, berpijak pada dasar yang nyata, tidak

berlebihan, dan berdasarkan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.

Nilai-nilai yang terkandung dalam KODERSI ini merupakan nilai-nilai etik

yang identik dengan nilai-nilai akhlak atau moral, yang mutlak diperlukan

guna melandasi dan menunjang berlakunya nilai-nilai atau kaidah-kaidah

lainnya dalam bidang perumahsakitan, seperti perundang-undangan, hukum

dan sebagainya, guna tercapainya pemberian pelayanan kesehatan oleh

rumahsakit, yang baik, bermutu dan profesional.

(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)

3. Hukum

Menurut UU kesehatan :

Undang-undang kesehatan No 36 tahun 2009. Bagian kelima yang

mengatur tentang penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan terdiri

dari:

28

a. Pasal 64

1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan

melalui transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, implan obat dan

ataukesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel

punca.

2) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan

dan dilarang untuk dikomersialkan.

3) Organ dan atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan

dalih apapun.

b. Pasal 69

1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan

norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan

mengubah identitas.

3) Ketentuan mengenai syrat dan tata cara bedah plastik dan

rekonstruksi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian keenam mengenai kesehatan reproduksi

c. Pasal 74

1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang berisifat promotif,

preventif, kuratif dan atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan

bantuan yang dilakukan secara aman dan sehat dengan

memperhatikan aspek-apek yang khas, khususnya reproduksi

perempuan.

2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (1) dilakuakan dengan tidak bertentangan

dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

29

d. Pasal 75

1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan

berdasarkan :

a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini

kehamilan, baik yang mengacam nyawa ibu dan atau janin, yang

menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun

yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut

hidup diluar kandungan; atau

b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat meneybabkan trauma

psikologis bagi korban perkosaan.

3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat

dilakukan setelah melalui konseling dan atau penasehatan pra

tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang

dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan

perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

e. Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan :

a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari

pertama haid terakhir, kecuali dalam kedaruratan medis;

b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan

kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. Dengan persertujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan

oleh Menteri.

f. Pasal 77

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi

sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak

30

bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan

dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(Redaksi. Undang-undang Kesehatan UU RI No. 36 Tahun, 2009)

II.4 Contoh Kasus Pada Kelainan Kulit dan Kelamin

Seks bebas merupakan hubungan yang dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan. Prilaku seks bebas yang terjadi

pada remaja dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian orang tua terhadap

anak yang disebabkan karena kesibukan masing-masing sehingga anak tidak

memperoleh pengetahuan tentang seks bebas dari orang tua dan oleh sebab

itulah kadang kala anak terjerumus pada pergaulan yang salah. Prilaku seks

bebas juga dapat terjadi jika remaja kurang mempunyai pemikiran yang

matang untuk berbuat sesuatu di tambah lagi karena dorongan dari teman

sebaya. Kadang teman mempunyai pengaruh yang buruk dan memaksa

mencoba sesuatu yang baru sehingga mereka mencoba melakukan hubungan

seks dengan lawan jenis tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi. (Sofyan,

2004)

Di zaman yang semakin berkembang semakin beragam pula tingkah

laku serta masalah sosial yang terjadi di masyarakat terutama masalah remaja.

Perkembangan teknologi sekarang ini telah banyak memberi pengaruh buruk

bagi remaja sehingga menyebabkan terjadinya kenakalan remaja. (Sofyan,

2004)

Kenakalan remaja belakangan ini sering kita lihat di kota-kota yang

sangat memprihatinkan sekali, semuanya ini bukan hanya disebabkan oleh

faktor remaja itu sendiri tetapi ada lagi faktor lain yang mendasarinya. Pada

akhir-akhir ini banyak sekali kejadian dibeberapa tempat terutama Kota

Padang. Adapun persentase bentuk kenakalan yang terjadi di Kota Padang

adalah membaca buku porno 33,3%, melihat gambar porno 16,7%, menonton

film porno 23,3%, minum-minuman keras 16,7%, hubungan seks luar nikah

80%, dan menggugurkan kandungan 72,3% . (Djadjulianto, 2004).

31

Kejadian ini menunjukan bahwa remaja sekarang ini telah banyak lupa

nilai dan norma adat di suatu daerah, semua itu sudah banyak dilupakan oleh

remaja. Etika dan nilai dalam suatu adat sudah tidak diperhitungkan lagi,

mereka terus asyik dengan prilaku yang di anggap remaja itu benar

(Djadjulianto, 2004).

Budaya kita adalah budaya yang sangat terkenal dengan budaya yang

mempunyai nilai-nilai agama yang kuat, tapi sekarang ini itu semua sudah

berangsur-angsur hilang yang disebabkan oleh pengaruh budaya asing

misalnya saja dari segi berpakaian dahulu wanita indonesia memakai baju

kurung tapi sekarang ini baju kurung telah dianggap kuno dan diganti

dengan pakaian seksi. Pengaruh lain yang ditimbulkan budaya asing adalah

cara berpacaran, remaja dahulu berpacaran melalui surat dan jarang ketemu

langsung berdekatan pun mereka takut, tapi remaja sekarang ini berpacaran

sudah tidak melalui surat lagi karena dianggap sudah kuno. Perubahan yang

terus berkembang menyebabkan cara berpacaran pun berkembang bahkan

sudah melewati batas, mereka tidak takut untuk menjurus kearah yang lebih

jauh seperti melakukan seks bebas dengan pasangannya. (Zakiah, 2004)

Perilaku seks bebas ini sudah sangat meresahakan orang tua dan

masyarakat setempat, siapa yang patut disalahkan kalau kejadian itu sudah

terjadi apalagi kalau sampai remaja perempuan sudah hamil.

(Zakiah, 2004)

Sehingga timbul masalah-masalah yang dihadapi remaja diantaranya

adalah :

1. Pertama, perubahan jasmani yang begitu cepat mengakibatkan

kegoncangan bagi remaja, karena pertumbuhan itu menyebabkan

remaja itu mulai menyukai lawan jenis.

2. Kedua, masalah hubungan dengan orang banyak, banyak orang tua

yang mengekang anak-anaknya untuk berbuat dan melakukan sesuatu

sehingga dalam hal ini remaja mengalami konflik dengan orang tua.

Kenakalan remaja disebabkan oleh 2 faktor pertama, faktor intern yang

berasal dari diri pribadi dan atas kemauan remaja sendiri untuk berbuat

sesuatu yang mereka inginkan dan tanpa paksaan dari orang lain. Kedua,

32

faktor eksterna yang bisa timbul karena pengaruh lingkungan dan pergaulan

yang salah. Contoh bentuk-bentuk kenakalan remaja antara lain adalah seks

bebas, penyalahgunaan narkotik, pelacuran dan tawuran. (Zakiah, 2004)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan teknik

penarikan sampel secara startified karena berdasarkan atas kategori usia (13-

21 tahun) pendidikan dan status ekonomi remaja pererempuan itu sendiri.

(Sofyan, 2004)

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa pola perilaku seksual yang

kerap dilakukan remaja perempuan adalah perilaku seksual secara

berpasangan. Pasangan dalam hal perilaku seksual adalah pacar, sebagai

wujud kasih sayang, tetapi banyak pula yang melakukan seks bebas ini

dengan berganti-ganti pasangan karena alasan profesi. Sehingga sekitar 30%

dari 80% yang melalukan seks bebas menderita penyakit menular seksual.

(Sofyan, 2004)

Seiring berkembangnya zaman, kalangan remaja tidak sedikit yang

mengetahui alat kontrasepsi, kondom, aborsi, bahkan banyak yang melakukan

operasi selaput dara untuk menutup aibnya dari masyarakat. Namun tidak

banyak pula dalam pelaksanaannya remaja atau wanita yang berprofesi

sebagai wanita tuna susila mengabaikan pemakaian kondom sehingga banyak

dari mereka yang mengalami penyakit menular seksual. Begitupula dalam

hal operasi selaput dara menjadi suatu tindakan yang sangat diminati akhir-

akhir ini dengan indikasi untuk menutupi aib mereka. Peran dokter dalam

tindakan ini, dalam hukum diperbolehkan sesuai dengan UU Kesehatan No

36 tahun 2009 bagian kelima yang mengatur tentang penyakit dan pemulihan

kesehatan pasal 69 ayat 1 yang berisi bedah plastik dan rekonstruksi hanya

dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu. (Redaksi, Undang Undang Kesehatan RI No.36, 2009)

Tetapi dalam pandangan islam, operasi selaput dara ditinjau dari

kemaslahatan dan kemdharatan yang terwujud, dijelaskan bahwa: “ jika

sobeknya selaput dara itu disebabkan oleh kecelakaan atau perbuatan yang

bukan maksiat secara syari’at dan bukan hubungan seksual dalam pernikahan

maka perbaikan selaput dara diperbolehkan.” Dan jika penyebabnya adalah

33

zina yang diketahui masyarakat, baik yang diketahui melalui keputusan

pengadilan atau Karen perbuatan zina tersebut berulang-ulang karena terkenal

sebagai pelacur, maka pengembalian selaput dara ini diharamkan. (Nu’aim,

2006)

Jika pasien datang dengan Penyakit Infeksi Menular Seksual, maka

tindakan dokter harus mengobati dan memperbaiki kesehatan pasien tersebut

serta dapat merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya. Karena hal ini

tercantum dalam KODEKI tentang Kewajiban Dokter Terhadap

Penderita/Pasien pada pasal 12, yaitu “Setiap dokter wajib merahasiakan

segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga

setelah penderita itu meninggal dunia”, begitu pula disebutkan dalam

pelanggaran Etikolegal tentang “membocorkan rahasia pasien”. (Panitia

Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional, 1969)

34

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Dalam menjalankan suatu profesi yang berorientasi pada suatu

pelayanan kesehatan, khususnya untuk melaksanakan berbagai macam

operasi yang bertentangan dengan pandangan islam, serta menilai aurat

dalam pemeriksaan dengan lawan jenis dan pandangan masyarakat tentang

pengobatan selain ke dokter atau orang yang ahli dalam bidangnya, seorang

dokter tidak lepas dari norma atau kaidah kode etik profesi yang menjadi

suatu tumpuan dan juga yang menjadi suatu tolak ukur bagi seorang dokter

dalam menjalankan suatu praktik kedokteran secara profesional disertai

dengan pengetahuan tentang batasan-batasan yang telah diatur dalam ajaran

islam mengenai pelayanan terhadap pasien.

Operasi yang bertujuan untuk mempercantik atau memperindah tubuh

seseorang yang dilakukan denga sengaja tanpa ada indikasi penyakit, di

haramkan dalam pandangan islam sebagaimana dijelaskan dalam firman

Allah SWT: Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan : “Saya benar-

benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah

ditentukan (untuk saya), dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka,

dan akan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka dan akan

menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka

benar-benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah

ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS 4, An-Nisa’:

118-119).

Selain itu, hukum kesehatan merupakan hal yang wajib diketahui dan

didalami, karena sebagai seorang dokter harus memiliki kemampuan untuk

memberikan pelayananan kesehatan yang berkualitas dan menuntun agar

dokter selalu berada pada jalur yang aman, tidak melanggar etika serta

ketentuan hukum yang berlaku yaitu tidak melanggar kode etik kedokteran

Indonesia dan kode etik rumah sakit Indonesia.

35

Pada dasarnya, kenyataan-kenyataan tingkah laku dokter dalam

hubungannya dengan pasien merupakan pencerminan dari orientasi nilai

kebudayaan kedokteran yang dienkulturasikan sejak ia berada dalam

lembaga pendidikan kedokteran sehingga salah suatu program inovasi

kesehatan harus diberikan kepada masyarakat dengan memberikan

penyuluhan, ide, kepercayaan dan praktik medis yang ingin kita adopsikan

sehingga dapat dimasukkan ke dalam sistem-sistem sosial dalam komunitas

pedesaan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi sehingga

masyarakat mengetahui akan kesehatan dan mengetahui semua risiko yang

terjadi salah satunya dengan dilakukannya operasi yang dalam pandangan

sosial budaya masih dipermasalahkan mengenai hukumnya meski hukum

islam sebenarnya tidak diperbolehkan.

III.2. Saran

Kita sebagai mahasiswa kedokteran sudah seharusnya mengetahui kode

etik kedokteran Indonesia dan kode etik rumah sakit Indonesia, serta

mengetahui hukum undang-undang kesehatan yang mengatur praktik

kedokteran khususnya pada penatalaksanaan penyakit kulit dan kelamin.

Selain itu mengetahui hukum yang mengatur tentang tindakan dan

pelayanan dokter terhadap masyarakat sesuai dengan aturan hukum ajaran

islam.

36

DAFTAR PUSTAKA

Bisri, A. Mustofa, KH. 2005. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya. Khalista.

Jusuf Hanafiah, M. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4.

Jakarta. EGC

Nico S Kalanie, M. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta. FKUI.

Nu’am, Yasin. 2006. Fikih Kedokteran. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.

Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional. 1969. Jakarta.

Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.

Redaksi. Undang-undang Kesehatan (UU RI No. 36 Tahun 2009). Jakarta.

Sinar Grafika

Sofyan, Djadjulianto, Zakiyah. 2004. Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku

Menyimpang. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran, Universitas

Hasanudin, Padang. 52 hal. (Tidak dipublikasikan)

37