REFERAT JADI.docx
-
Upload
aiiu-lonelyy -
Category
Documents
-
view
226 -
download
1
Transcript of REFERAT JADI.docx
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam menjalankan suatu profesi yang berorientasi pada suatu pelayanan
kesehatan, seorang dokter tidak lepas dari norma atau kaidah kode etik
profesi yang menjadi suatu tumpuan dan juga yang menjadi suatu tolak ukur
bagi seorang dokter dalam menjalankan suatu praktek kedokterannya secara
profesional. Hukum kesehatan merupakan hal yang wajib diketahui dan
didalami, karena pengetahuan ini akan memberikan suatu wawasan tentang
ketentuan-ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayananan
kesehatan yang berkualitas dan menuntun agar dokter selalu berada pada jalur
yang aman, tidak melanggar etika serta ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam undang-undang kesehatan no. 36 pasal 49 berbunyi
“penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai
dan norma agama, sosial budaya, moral dan etika profesi”. Setiap tindakan
yang dilakukan seorang dokter terhadap pasien memiliki dasar keilmuan yang
rasional, namun apabila tidak diimbangi atau tidak memperhatikan salah satu
aspek yang tersebut dalam undang-undang kesehatan pasal 49, maka tidak
menutup kemungkinan tindakan yang kita lakukan walaupun sesuai dengan
prosedur dapat menimbulkan suatu tuntutan yang berujung pada dugaan
malapraktik seorang dokter. Kasus yang paling sering, terutama dalam
melakukan pemeriksaan yang berhubungan dengan pemeriksaan kulit dan
kelamin. Memahami landasan hukum dalam melakukan kontak terapeutik
antara dokter dengan pasien, mengetahui dan memahami hak dan kewajiban
pasien, etika kedokteran, merupakan suatu kewajiban dan modal dasar
seorang dokter agar terhindar dari tuntutan hanafiah. Oleh karena itu,
pentingnya seorang dokter memperhatikan dan memahami aspek
etikomedikolegal dalam melakukan pelayanan kesehatan kulit dan kelamin
yang akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.
1
I.2 Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
Tujuan dari pembuatan referat ini sebagai berikut :
1. Penyusun memahami isi referat dan memberi wawasan atas referat
yang dibuat kepada mahasiswa lain.
2. Penyusun dan pembaca mengerti dan memahami tentang Aspek
Etikomedikolegal dalam Pelayanan Kesehatan Kulit dan Kelamin.
b. Manfaat
Manfaat dari pembuatan referat ini adalah dapat mengerti tentang
Aspek Etikomedikolegal dalam Pelayanan Kesehatan Kulit dan Kelamin
meliputi aspek agama, sosial dan budaya masyarakat terkait dengan
pelayanan kedokteran (logiko sosio buaya, serta pemahaman terhadap
KODEKI, KODERSI, dan sistem nilai lain yang terkait dengan
pelayanan kesehatan), dan mengetahui tentang permasalahan
etikomediokolegal dalam pelayanan kesehatan serta teori-teori
pemecahan kasus etika dalam pelayanan kedokteran dan cara
pemecahannya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Aspek Agama dalam Praktik Kedokteran
1. Operasi Plastik
Operasi plastik atau dikenal dengan “Plastic Surgery” atau dalam bahasa
arab “Jirahah Tajmil” adalah bedah/operasi yang dilakukan untuk
mempercantik atau memperbaiki satu bagian didalam anggota badan, baik yang
nampak atau tidak dengan cara ditambah, dikurangi atau dibuang, bertujuan
untuk memperbaiki fungsi dan estetika (seni) tubuh. Dan sebagian ulama hadits
yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan operasi plastik itu hanya
ada dua yaitu:
1) Untuk mengobati aib yang ada dibadan, atau dikarenakan kejadian yang
menimpanya seperti kecelakaan, kebakaran atau yang lainya. Maka
operasi ini dimaksudkan untuk pengobatan.
2) Untuk mempercantik diri, dengan mencari bagian badan yang dianggap
mengganggu atau tidak nyaman untuk dilihat orang, istilah yang kedua ini
adalah untuk kecantikan dan keindahan. (Mustofa, 2005)
Operasi plastik merupakan sesuatu yang baru seperti halnya “bayi
tabung”, ”cangkok jantung”, dan lain sebagainya. Operasi plastik ini bisa
semata-mata untuk mempercantik diri misalnya hidung sehat tapi pesek
kemudian dimancungkan, bisa sebagai upaya pemulihan, seperti
mengoperasi orang yang terkena musibah kecelakaan. Untuk menjalaninya
demi mempercantik diri dapat dikenai ketentuan seperti yang ditegaskan
para ulama, berdasarkan firman Allah SWT:
3) “Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan : “Saya benar-benar akan
mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan
(untuk saya), dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan
membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka dan akan menyuruh
mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-
benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan
3
Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS 4, An-Nisa’: 118-
119). (Mustofa, 2005)
1.a. Jenis-jenis operasi plastik
Operasi plastik ada dua, yaitu :
a) Operasi tanpa ada unsur kesengajaan
Maksudnya adalah operasi yang dilakukan hanya untuk pengobatan dari
aib (cacat) yang ada dibadan, baik karena cacat dari lahir (bawaan) seperti
bibir sumbing, jari tangan atau kaki yang berlebih, dan yang kedua bisa
disebabkan oleh penyakit yang akhirnya berubah sebagian anggota badan,
seperti akibat dari penyakit lepra/kusta, TBC, atau karena luka bakar pada
wajah akibat siraman air panas. Kesemua unsur ini adalah opersi yang bukan
karena keinginannya, akan tetapi yang dimaksudkan adalah untuk pengobatan
saja, walaupun hasilnya nanti menjadi lebih indah dari sebelumnya, dalam
hukum fiqih disebutkan bahwa, operasi semacam ini dibolehkan saja, adapun
dalil diantaranya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw Beliau pernah
bersabda: “Tidaklah Allah swt menurunkan wabah/penyakit kecuali Allah
swt juga menurunkan obat penawarnya” (H.R. Bukhari). (Mustofa, 2005)
Riwayat dari Usamah Ibn Syuraik ra berkata: “Ada beberapa orang Arab
bertanya kepada Rasulullah saw:”Wahai Rasulullah, apakah kami harus
mengobati (penyakit kami), Rasulullah menjawab, “Obatilah wahai hamba-
hamba Allah lekaslah kalian berobat, karena sesungguhnya Allah tidak
menurunkan satu penyakit, diriwayat lain disebutkan, beberapa penyakit.
Kecuali diturunkan pula obat penawarnya kecuali satu yang tidak bisa
diobati lagi”, mereka pun bertanya,”Apakah itu wahai Rasul?”, Rasulullah
pun menjawab, “Penyakit Tua”(H.R At-Turmudzi). (Mustofa, 2005)
Maksud dari hadits diatas adalah, bahwa setiap penyakit itu pasti ada
obatnya, maka dianjurkan kepada orang yang sakit agar mengobati sakitnya,
jangan hanya dibiarkan saja, bahkan hadits itu menekankan agar berobat
kepada seorang dokter yang profesional dibidangnya. (Mustofa, 2005)
4
Imam Abu hanifah dalam kitabnya berpendapat, “Bahwa tidak mengapa
jika kita berobat menggunakan jarum suntik (yang berhubungan dengan
operasi), dengan alasan untuk berobat, karena berobat itu dibolehkan
hukumnya, Sesuai dengan ijma’ ulama, dan tidak ada pembeda antara laki-
laki dan perempuan”. Akan tetapi disebutkan (pendapat lemah) bahwa tidak
diperbolehkan berobat menggunakan bahan yang diharamkan, seperti khamar,
bir dan sejenis. Tapi jika ia tidak mengetahui kandungan obat itu, maka tidak
mengapa menggunakannya, namun jika tidak memungkinkan lagi (yakin
bahwa tidak ada obat) untuk mencari obat selain yang diharamkan itu, maka
bolehlah menggunakan sekedarnya.Ibnu Mas’ud Ra, mengatakan “bahwa
sesungguhnya Allah Swt. tidak menciptakan sembuhnya kalian dengan
barang yang diharamkan-Nya”. (Mustofa, 2005)
Makna dari pendapat beliau adalah walau bagaimanapun Allah Swt
menurunkan penawar yang halal, karena secara akal pikir, tidak mungkin
Allah mengharamkan yang telah diharamkan kemudian diciptakan untuk
dijadikan obat, pasti masih ada jalan lain yang lebih halal. (Mustofa, 2005)
Operasi semacam ini terkadang bisa menjadi wajib hukumnya, jika
menyebabkan kematian, maka wajib baginya untuk berobat. Allah Swt.
berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan” dan di ayat lain disebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (Mustofa, 2005)
b) Operasi yang dilakukan dengan sengaja
Maksudnya adalah operasi yang tidak dikarenakan penyakit bawaan
(turunan) atau karena kecelakaan, akan tetapi atas keinginannya sendiri untuk
menambah keindahan dan mempercantik diri. Operasi ini ada bermacam-
macam, akan tetapi saya hanya menuliskan garis besarnya saja, yaitu terbagi
dua, dan setiap bagian mempunyai hukum masing-masing yaitu:
5
1) Operasi anggota badan
Diantaranya adalah operasi telinga, dagu, hidung, perut, payudara, pantat
dengan ditambah, dikurang atau dibuang, dengan keinginan agar terlihat
cantik. (Mustofa, 2005)
2) Operasi mempermuda
Operasi bagian kedua ini diperuntukkan bagi mereka yang sudah berumur
tua, dengan menarik kerutan diwajah, lengan, pantat, tangan, atau alis.
Kebanyakan ulama hadits berpendapat bahwa tidak boleh melakukan
operasi ini dengan dalil diantaranya sebagai berikut:
Allah berfirman (“Allah telah melaknatnya. setan berkata, “sungguh akan
kutarik bagian yang ditentukan dari hamba-hamabaMu. dan sungguh
akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitlan angan-angan kosong
mereka, dan aku suruh mereka memotong telinga binatang ternak lalu
mereka benar-benar memotongnya, dan aku akan suruh mereka (merobah
ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar merobahnya. dan barangsiapa
yang menjadikan setan sebagai pelindung maka sungguh dia telah merugi
dengan kerugian yang nyata.” (Mustofa, 2005)
Ayat ini menjelaskan kepada kita dengan konteks celaan dan
haramnya melakukan pengubahan pada diri yang telah diciptakan Allah
dengan sebaik-baik penciptaan, karena mengikuti akan hawa nafsu dan
keinginan syaitan yang dilaknat Allah. (Mustofa, 2005)
Setelah kita perhatikan dalil-dalil diatas dengan seksama, maka
jelaslah bahwa operasi plastik itu diharamkan menurut syara’ dengan
keinginan untuk mempercantik dan memperindah diri. (Mustofa, 2005)
1. Operasi Payudara
Operasi payudara yaitu membesarkan payudara secara medis, yaitu
dengan cara dioperasi. Operasi payudara memiliki banyak cara. Salah satu
cara yang paling mutakhir adalah dengan metode TUBA (trans-umbilical
breast augmentation) atau pembesaran payudara melalui irisan di sekitar
pusar. (Nu’aim, 2006)
6
Teknik operasi implant ini ditemukan, dikembangkan dan
dipopulerkan oleh Dr. Gerald Johnson seorang dokter ahli operasi plastik
dari Amerika. Irisan TUBA adalah irisan yang dilakukan dengan
membelah pusar kemudian menyusuri sebagian pinggirannya. Operasi ini
lebih jarang dilakukan dibandingkan dengan tiga metode pemasangan
implant yang lain, yaitu Peri-areolar Incision, Inframammary Fold
Incision, dan Transaxillary Incision. (Nu’aim, 2006)
Setelah irisan dilakukan, dokter akan menggunakan endoskopi atau
semacam tabung silinder untuk membuat jalan dari perut menuju
payudara. Jalur dibuat melalui jaringan lemak di bawah kulit perut. Implan
flatable digulung kemudian di pasangkan di ujung endoscope, diarahkan
dan ditempatkan di dalam payudara. (Nu’aim, 2006)
Seorang wanita membesarkan payudaranya dengan cara medis
padahal payudaranya normal. Hal ini tidak lepas dari dua faktor yaitu:
1) Karena keinginannya sendiri, hanya sekedar iseng dan ingin
berbangga diri, baik dia mempunyai suami, maupun belum
mempunyai suami. Dalam keadaan seperti ini, tidak dibolehkan
baginya untuk melakukan pembesaran dengan cara medis dalam
bentuk apapun, karena masuk dalam katagori merubah ciptaan Allah
dan tidak bersyukur dengan nikmat Allah yang diberikan kepadanya.
2) Karena ingin membahagiakan suaminya, atau karena suaminya yang
memintanya agar berbuat seperti itu. Tetapi ketataan itu terbatas pada
masalah yang ma’ruf dan baik serta tidak dilarang oleh Islam. Jika
perintah tersebut menyalahi ajaran Islam, maka tidak boleh ditaati.
Sebagaimana disebutkan di dalam hadist Imran bin Husain,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
�ِب� �َغ�ْي �ْل ِل َح�اِف�َظ�اٌت �اٌت �َت َق�اِن �َح�اٌت� ِف�اِلَّص�اِل
�ُه� اِلْل َح�ِف�َظ� �َم�ا ِب
“Tidak ada ketaatan kepada makhluq untuk bermaksiat kepada Allah”
(HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, hadist ini dishahihkan oleh Ibnu
Qayim, Suyuti, Syaukani dan yang lain). Melakukan operasi payudara
yang sebenarnya masih normal adalah bentuk dari merubah ciptaan Allah
7
dan tanda bahwa orang tersebut tidak ridha dengan ketentuan Allah, maka
perintah suami dalam ini tidak boleh ditaati, bahkan sebaliknya jika sang
istri mengetahui hukum operasi payudara ini tidak boleh, hendaknya dia
mengingatnya suaminya dengan cara lemah lembut yang tidak
menyinggung perasaannya. (Nu’aim, 2006)
2. Operasi Ganti Kelamin
Operasi ganti kelamin (taghyir al-jins) adalah operasi pembedahan untuk
mengubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya.
Pengubahan jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan dilakukan dengan
memotong penis dan testis, kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina)
dan membesarkan payudara. Sedang pengubahan jenis kelamin perempuan
menjadi laki-laki dilakukan dengan memotong payudara, menutup saluran
kelamin perempuan, dan menanamkan organ genital laki-laki (penis). Operasi
ini juga disertai pula dengan terapi psikologis dan terapi hormonal. (Nu’aim,
2006)
Hukum operasi ganti kelamin adalah haram, berdasarkan dalil Al-Qur`an dan
As-sunnah.
Dalil Al-Qur`an firman Allah SWT (artinya) : “Dan aku (syaithan) akan
menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar
mengubahnya”. (QS An-Nisaa` [4] : 119). Ayat ini menunjukkan upaya syaitan
mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat. Di antaranya
mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah). Operasi ganti kelamin termasuk
mengubah ciptaan Allah, karena dalam operasi ini terdapat tindakan memotong
penis, testis, dan payudara. Maka operasi ganti kelamin hukumnya haram.
(Nu’aim, 2006)
Dalil hadits adalah riwayat Ibnu Abbas RA bahwa,”Rasulullah SAW telah
melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang
menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari). Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-
laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka,
operasi ganti kelamin haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah)
bagi laki-laki atau perempuan yang dioperasi untuk menyerupai lawan
8
jenisnya. Kaidah fiqih menyebutkan,”Al-Wasilah ila al-haram muharromah.”
(Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga). Operasi ganti
kelamin juga merupakan dosa besar (kaba`ir), sebab salah satu kriteria dosa
besar adalah adanya laknat (kutukan) dari Allah dan Rasul-Nya. (Nu’aim,
2006)
Yang berdosa bukan hanya orang yang dioperasi, tapi juga semua pihak
yang terlibat di dalam operasi itu, baik langsung atau tidak, seperti dokter, para
medis, psikiater, atau ahli hukum yang mengesahkan operasi tersebut.
Semuanya turut berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah
pada hari kiamat kelak, karena mereka telah bertolong menolong dalam
berbuat dosa. Padahal Allah Swt berfirman (artinya) : “Dan janganlah kamu
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maa`idah
[5] : 2). (Nu’aim, 2006)
Adapun operasi penyempurnaan kelamin (takmil al-jins) hukumnya boleh.
Hal ini berlaku bagi orang yang memiliki alat kelamin ganda, yaitu mempunyai
penis dan vagina sekaligus. Operasi ini hukumnya mubah, berdasarkan
keumuman dalil yang menganjurkan berobat (al-tadawiy). Nabi SAW
bersabda,”Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah
menurunkan pula obatnya.” (HR Bukhari). (Nu’aim, 2006)
3. Operasi Selaput Dara
Operasi selaput dara atau pengembalian keperawanan adalah memperbaiki
dan mengembalikannya pada tempat semula sebelum sobek, atau pada tempat
yang dekat dengannya, dan hal itu adalah pekerjaan para dokter spesialis.
Tidak diragukan bahwa masalah pengembalian keperawanan adalah masalah
baru yang tidak disebutkan didalam nash syariat. Baik secara langsung maupun
tidak langsung, dan belum ada fuqaha yang menjelaskan hukumnya, karena hal
tersebut belum pernah dibayangkan di masa mereka, dan tidak ada yang
menyerupainya di masa pensyariatan sehingga memungkinkan qiyas atasnya.
Maka yang bisa dilakukan hanyalah melihat pada maksud syariat, tujuan dan
kaidahnya secara umum, manfaat serta madharat yang mungkin dihasilkan dari
operasi tersebut. (Nu’aim, 2006)
9
Operasi selaput dara ditinjau dari kemaslahatan dan kemadharatan yang
terwujud, dijelaskan bahwa :
1) Jika sobeknya selaput dara itu disebabkan oleh kecelakaan atau perbuatan
yang bukan maksiat secara syariat dan bukan hubungan seksual dalam
pernikahan, maka perbaikan selaput dara itu dibolehkan.
2) Jika penyebabnya adalah hubungan seksual dalam pernikahan, maka
operasi pengembalian keperawanan tersebut diharamkan atas janda atau
wanita yang dicerai. Karena tidak ada kepentingan didalamnya. Terlebih
lagi diharamkan untuk yang sudah menikah karena hal itu sama saja
dengan main-main. Dan dokter tidak dibolehkan untuk melihat aurat
wanita kecuali dalam keadaan darurat.
3) Jika penyebabnya adalah zina yang diketahui masyarakat, baik yang
diketahui melalui keputusan pengadilan atau karena perbuatan zina
tersebut berulang-ulang karena terkenal sebagai pelacur, maka
pengembalian selaput dara ini diharamkan. Karena operasi itu tidak ada
kemaslahatannya sama sekali dan tidak lepas dari madharatnya.
4) Jika penyebabnya adalah zina yang tidak diketahui oleh masyarakat
termasuk menutupi aib. Menutupi aib orang yang berbuat maksiat haram
hukumnya jika mengakibatkan hilangnya hak-hak manusia. Tetapi
menutupi aib hukumnya sunnah jika yang melakukan maksiat telah
bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya dan menjadi makruh jika dia
melakukan maksiat terus-menerus dan tidak bertaubat.
4. Pandangan Islam Tentang Berobat dan Perawatan Wajib Berobat
Usamah bin Syarik berkata :
“ waktu saya berada bersama Kalulullab s.a.w. datanglah beberapa orang Badui
10
(pegunungan) lalu mereka berkata. Ya Rasulullab, apakah kita mesti berobat ?
Maka beliau menjawab Ya, wahai hamba Allah, berobatlah kamu, karena A.llah
tidak menurunkan penyakit melainkan Dia menurunkanjuga obatnya, kecuali satu
penyakit, Mereka bertanya lagi: “Penyakit apakah itu ?” Beliau menjawab: Tua (-
Riwayat Ahmad ) (Nu’aim, 2006)
Karena berobat wajib, maka wajib pula ada ahli pengobatan (dokter), tenaga
para medis (perawat, bidan) dan rumah-rumah sakit, tempat perawatan dan
pengobatan. (Nu’aim, 2006)
Firman Allah swt di dalam kitab Suci Al-Qur'an surat An Nahl ayat 43
menyebutkan bahwa : “Maka bertanyalah kamu kepada orangyang ahlijika
kamu tidak mengetahuinya”.
Sifat yang harus dipegangi oleh dokter dan para medis yaitu :
1) Beriman, karena mereka melakukan amal shaleh, mengobati
orang sakit merawat mereka, menasehati mereka, sebab tanpa iman
segala amal shaleh ini akan sia-sia belaka di mata Allah swt sebagaimana
dijelaskan
Allah dalam surat Al Ashri yang artinya :
Demi masa sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kecurigaan. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati
dalam kesabaran.
2) Menghormati si sakit sebagai hamba Allah, makhluk yang tertinggi di
muka bumi, sebab Allah sendiri menghormatinya. Allah
berfirman dalam surat Isra ayat 70 : Sesungguhnya Kami memulaikan anak
cucuAdam, manusia.
3) Mengasihani dan membimbing jiwa si sakit selama dalam pengobatan,
perawatan sampai ia sembuh atau meninggal dunia, supaya selama sakit ia
lebih dekat kepada Allah sehingga bila ia sembuh menjadi orang yang
lebih taat kepada Allah dan bila ia meninggal dunia ia meninggal dalam
keadaan husnul khatimah. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda Kasihanilah
merekayang di burnt, niscaya kamu dikasihani oleh yang dilangit. (Riwayat
Tirmidzi) Firman Allah swt. dalam surat Al Balad ayat 17 : Dan wasiat
11
mewasiatilah kamu dalam kesabaran dan wasiat mewasiatilah kamu dalam
kasih sayang.
Mengerjakan pekerjaan pengobatan dan perawatan orang sakit, ikhlas karena
Allah. Nabi saw bersabda : Sesungguhnya Allah azza wajalla tidak
menerima sesuatu amal perbuatan jika tidak disertai dengan keikhlasan
dan mengharapkan keridhaanNya. (Riwayat Abu Daud dan Nasa'i)
Penyantun terhadap si sakit, artinya mempunyai perasaan halus, lekas
merasakan kesukaran orang lain dan turut berduka cita dengan orang
yang kesusahan serta suka menolong orang lain sekuat tenaga, Firman
Allah dalam surat Al A'raf ayat 56 : Sesungguhnya rahmat Allah itu
dekat kepada orangyang berbuat kebajikan..
Firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 263:
Tutur bahasa yang baik dan pemaaf lebih utama daripada pemberian dengan
sesuatu yang menyakiti dan Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.
4) Peramah, artinya bergaul selalu dengan muka manis, penuh senyum yang
dapat menyenangkan dan menenangkan si sakit. Firman Allah dalam surat
Al-Imran ayat 159:
Maka karena rahmat Allah lah engkau berlaku lemah lembut kepada
mereka sekiranya engkau berlaku kasar berhati bengis, niscaya mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu.
5) Sabar, artinya tidak lekas marah, dan menahan diri. Nabi saw bersabda:
Seorang muslim yang bergaul dengan orang lain dan sabar menghadapi
perbuatan mereka yang menyakiti, lebih utama dari orang muslim yang
tidak bergaul dan tidak sabar. (Riwayat dari Abu Hurairah)
6) Tenang, artinya tidak tergesa-gesa tidak ribut.
Sabda Nabi saw : Bila engkau hendak menghadapi suatu pekerjaan
hadapilah dengan tenang, hingga Allah menunjukkan kepada engkau
jalan keluar (dari kesulitan). (Riwayat Bukhari)
7) Tegas, artinya jangan ragu-ragu dalam melakukan suatu tindakan atau
putusan terhadap penderita demi kebaikannya. Nabi saw bersabda: Bila
ada keraguan dalam hatimu, maka tinggalkanlah. (Riwayat Ahmad, Ibnu
Hibban dan Hakim dari Abu Umamah).
12
8) Teliti, artinya seksama, hati-hati. dan sangat cermat. Nabi s.aw. bersabda:
Sesungguhnya Allah swt. menyukai bila seseorang mengerjakan sesuatu
pekerjaan dilakukan dengan teliti. (Riwayat Baihaqi)
9) Bersih baik pakaian maupun hatinya. Allah berfirman dalam surat At
taubah ayat 108: Dan Allah menyukai orang-orang yang menyucikan
diri.
10) Penyimpan rahasia, sesuai dengan sumpah dokter. Nabi saw bersabda:
Yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra Barang siapa menyimpan rahasia
(ke'aiban) temannya, maka Allah akan menyimpan pula rahasianya di
hari Kiamat. dan barang siapa membukakan rahasia temannya sesama
muslim, maka Allah akan membukakan pula rahasianya, hingga Allah
memberi malu dia dalam rumah tangganya. (Riwayat Ibnu Majah)
11) Dapat dipercaya, berarti orang yang terhormat, jujur dan tidak menipu,
apalagi orang sakit yang memerlukan seperti ini karena banyak hal
pribadi yang hanya diserahkan kepada dokter atau perawat.
Allah berfirman dalam surat Al Anfal 27: Wahai orang-orangyang
beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasulnya dan janganlah
kamu menghianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu
mengetahui.
12) Bertanggung jawab, artinya dokter dan perawat memikul tanggung
jawab tentang keselamatan si sakit.
Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah akan memeriksa setiap orang tentang
urusan yang dipertanggungjawabkan kepadanya. Apakah diurusnya dengan
baik atau disia-siakannya sehingga pertanggungan jawab terhadap keluarga/
rumah tanggapun akan diperiksajuga. (Riwayat An-Nasai dan Ibnu Hiban)
13) Memberi harapan, artinya supaya dokter dan tenaga perawatan
selalu memberikan harapan baik kepada si penderita, karena si sakit
ingin sembuh dan takut mati. Nabi s.aw. bersabda yang disampaikan
oleh Anas RA. Permudahlah janganlah dipersukar, gembirakanlah dan
jangan dipertakut. (Riwayat Bukhari dan Muslim) (Nu’aim, 2006)
13
5. Pemeriksaan Medik oleh Lawan Jenis
Dalam Ilmu kedokteran/kesehatan untuk menegakkan diagnosa suatu
penyakit, dokter perlu melaksanakan pemeriksaan pada pasien seluruh tubuhnya,
baik dari luar, maupun dari dalam, sehingga pada umumnya pasien harus
bersedia menanggalkan pakaiannya. Pemeriksaan dilakukan oleh dokter
diruang pemeriksaan, dimana dokter dapat memeriksa pasien dengan leluasa
tanpa dilihat dan di dengar oleh orang lain. Dokter dan tenaga para medis
diwajibkan secara etis memelihara kehormatan manusia, baik dalam ruang
pemeriksaan, maupun dalam ruang perawatan. (Nu’aim, 2006)
Islam melarang melihat aurat orang lain dan setiap muslim diwajibkan
memelihara aurat sendiri, sebagai yang dijelaskan dalam alqur’an berikut:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, supaya mereka menahan
pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka; yang demikian itu lebih suci
buat mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Katakanlah kepada perempuan yang beriman supaya mereka menahan pandangan
mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan (keindahan tubuh) mereka,
kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. (Nu’aim, 2006)
Aurat dibagi dalam dua macam, yaitu:
1) Aurat dalam waktu shalat:
a. Buat laki-laki dan budak wanita ialah: bagian badan antara lutut dan pusat buat
budak wanita di tambah lagi dengan perut dan seluruh punggung.
b. Buat perempuan merdeka, seluruh tubuhnya, termasuk rambut yang turun
dari telinganya, selain dari muka dan kedua telapak tangan termasuk
punggung tangan.
2) Aurat di luar waktu shalat:
a. Laki-laki dan budak wanita sama dengan aurat pada shalat.
Makruh melihat aurat sendiri bila tidak diperlukan seperti mencebok.
b. Wanita merdeka : antara lutut dan pusat bila ia sendiri, atau bersama
muhrimnya. Seluruh tubuh selain muka dan kedua tangan termasuk
punggung tangan.
Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa penyakit, maka
dokter berkhalwat, melihat aurat, malah memeriksa luar dalam pasien dibolehkan
14
hanya berdasarkan keadaan darurat, sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul
fiqih yang berbunyi:
“Yang darurat dapat membolehkanyang dilarang”.
Namun untuk mencegah fitnah dan godaan syaitan maka sebaiknya
sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga baik dari keluarga
maupun dari tenaga paramedis sendiri, sesuai pula dengan qaidah ushul fiqh
yang berbunyi:
“Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemashlahatan”. Akan
lebih baik lagi bila pasien diperiksa oleh dokter sejenis pasien perempuan
diperiksa oleh dokter perempuan dan pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-
laki. (Nu’aim, 2006)
Setiap orang tidak boleh meremehkan kekuatan seks yang dahsyat yang
dapat meruntuhkan martabat dokter, sewaktu ia berkhalwat dengan pasien di
kamar periksanya, memeriksa seluruh tubuh, melihat aurat pasiennya. Memang
di dalam dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh
dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang sejenis heteroseksual, maupun
sejenis homoseksual antara dokter dan pasien. Tidak mustahil di masa depan
orang telah dapat menciptakan alat-alat elektronik pemeriksaan pasien,
sehingga tidak perlu khalwat, melihat dan memeriksa aurat penderita, sebab
dibolehkan rukhsah, berkhalwat, melihat dan memeriksa, meraba tubuh pasien
adalah hanya dalam keadaan darurat saja. (Nu’aim, 2006)
II.2 Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat dalam Praktik Kedokteran
Etiologi dan perawatan penyakit. Kualitas penyakit sebagai konsep
kebudayaan yang menjadi dasar pengobatan, sering kali merupakan persoalan
yang dihadapi oleh petugas-petugas kesehatan di daerah pedesaan. Masih
merupakan kepeercayaan yang umum bahwa ada penyakit-penyakit yang
dianggap disebabkan oleh makhluk-makhluk dan kekuatan gaib, seperti guna-
guna (dengan berbagai alasan), gangguan makhluk halus, pelanggaran taboo
hukuman Tuhan atau Dewa dan sebagainya. Sistem perawatan kesehatan yang
15
harus dilaksanakan terhadap penyakit-penyakit dengan sebab-sebab seperti ini
adalah pula bersifat ilmu gaib dan yang hanya dapat dikerjakan oleh dukun dan
praktisi medis sejenisnya. Sekalipun pada masyarakat dimana perawatan
kesehatan modern sudah tidak asing lagi, kepercayaan terhadap etiologi seperti
ini masih di anut. Kenyataan ini merupakan pencerminan dari pengkategorian
penyakit-penyakit ke dalam: penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan oleh
dokter dan yang hanya dapat disembuhkan oleh dukun. Dalam kenyataannya,
penyakit seseorang yang dapat diduga disebabkan oleh sesuatu yang bersifat
supraalamiah tidak hanya dimintakan perawatan kepada dukun tetapi juga
kepada dokter atau perawat atau yang disebut mantra. (Nico s. Kalangie, 1994)
Pada komunitas-komunitas rumpun (Tribal Communities), kepercayaan
terhadap sebab penyakit yang bersifat magikeagamaan seperti ini mendominir
isi konsep teori penyakit dan praktek penyembuhan. Sedang pada komunitas-
komunitas pedesaan (peasant communities) kepercayaan ini telah berkurang
dan tidak lagi menjadi satu-satunya yang dipegang, akibat perkembangan
sistem etiologi lain yang bersifat naturalistik. Selain itu, peristiwa-peristiwa
emosional, dislokasi organ-organ tubuh, penjangkitan, keletihan kerja,
kekurangan tidur, kekurangan makanan dan lain-lain adalah pula merupakan
aspek lain dalam konsep kausalitas penyakit mereka. Demikianlah, praktek
pengobatan yang dikenal bukan semata-mata dengan menggunakan jampi-
jampi tetapi juga dengan campuran ramuan tumbuh-tumbuhan. Obat-obatan
farmakologis juga sudah dikenal di kalangan penduduk pedesaan ini. (Nico s.
Kalangie, 1994)
Ketidaktahuan dan ketidak mengertian akan kuman dan patogen lainnya
sebagai sebab penyakit (menurut ilmu kedokteran), memang merupakan
masalah dalam meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap praktek-praktek
perawatan medis modern. Tidak jarang diagnosa yang diberikan oleh seorang
dukun terhadap penyakit yang diderita seseorang meleset. Pada saat dirasakan
bahwa perawatan dukun tidak membawa hasil yang diharapkan, pasien
dialihkan ke dokter. Biasanya pasien seperti ini sudah sukar untuk ditolong
karena pada saat tiba di tangan dokter keadaan penyakit sudah parah. Dapat
16
terjadi pasien seperti ini meninggal dunia di tangan dokter. (Nico s. Kalangie,
1994)
Pengambilan keputusan umumnya, pengambilan keputusan terhadap
perawatan medis apa yang akan dipilih, dilakukan oleh anggota-anggota
kerabat dewasa dalam keluarga batih dan atau dalam lingkungan kekerabatan
oleh kawan-kawan dan tetangga turut juga mempengaruhi pengambilan
keputusan. Perawatan terhadap anak ditentukan oleh orang tuanya. Orang tua
akan meminta petunjuk dari pihak-pihak luar bilamana penyakit anak
mengkhawatirkan. Hal yang sama berlaku juga bagi orang dewasa yang sakit
berat karena yang bersangkutan sendiri (bersama isteri atau suaminya) sukar
memutuskan sebelum mendengar saran-saran dari pihak-pihak luar. Apalagi
kalau sesudah dirawat oleh dukun atau dokter penyakitnya belum juga hilang.
(Nico s. Kalangie, 1994)
Pari ahli beranggapan bahwa suatu program inovasi kesehatan akan dapat
efektif, antara lain, bila ide, kepercayaan dan praktek medis yang ingin kita
adopsikan dapat dimasukkan ke dalam sistem-sistem sosial dalam komunitas
pedesaan, dalam rangka kegiatan peranan dan wibawa dari tokoh-tokoh pada
tiap-tiap sistem sosial ini. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana
memotivasikan tokoh-tokoh ini sehingga peranan dan wibawa mereka dapat
berfungsi dalam inovasi kesehatan. (Nico s. Kalangie, 1994)
Peranan tenaga medis adalah merupakan suatu kenyataan bahwa sejak
waktu yang lama peranan para mantra atau perawat (baik di daerah pedesaan
maupun di kota-kota). Penduduk telah memperoleh banyak pertolongan medis
dari mereka. Dalam personel medis yang penting sebagai pembantu dokter. Di
luar pekerjaan mereka yang resi di puskesmas atau pembantu puskesmas,
mereka bebas berpraktek. Namun demikian, untuk kasus-kasus penyakit yang
tidak dapat ditangani harus dialihkan ke dokter puskesmas. Diharapkan pula
bahwa mereka secara tetap member laporan kepada dokter puskesmas
mengenai persoalan-persoalan perawatan yang timbul. (Nico s. Kalangie,
1994)
17
Dibalik kesan umum tentang pertolongan mereka tersebut, sebenarnya kita
belum banyak mengetahui tentang kenyataan-kenyataan berhubungan dengan
peranan perawatan mereka serta konsekuensi-konsekuensinya. Kebiasaan
penduduk dalam mencari perawatan yang mudah berpindah-pindah dari
seorang praktisi ke praktisi yang lain, menyebabkan hasil-hasil perawatan
paramedic sukar untuk diikuti dan dimintakan pertanggung jawaban. (Nico s.
Kalangie, 1994)
Tidak semua kasus yang mereka tidak dapat tangani telah dilaporkan
kepada dokter. Demikian pula, kegagalan perawatan yang terjadi dalam rangka
praktek informal mereka tidak diketahui, seolah-olah itu adalah belakang dari
keadaan ini, kebiasaan melakukan praktek yang bebas atau tanpa pengawasan
sikap yang mereasa sudah berpengalaman memilih untuk tidak melaporkan
atas alasan kepentingan pribadi dan merasa sudah cukup dengan menganjurkan
pasien supaya pergi ke puskesmas untuk perawatan lebih teliti. (Nico s.
Kalangie, 1994)
Hubungan antara dokter dan pasien terjadi karena adanya kebutuhan
kebutuhan kesehatan pihak kedua. Hubungan ini adalah hubungan peranan
antarkedua belah pihak, masing-masing dengan pengharapan, kewajiban dan
latar belakang kebudayaan sendiri-sendiri. Perhatian terhadap masalah ini
bukan hanya penting dalam rangka perawatan pasien di rumah sakit atau di
tempat-tempat praktek partikulir, tetapi terlebih juga pada puskesmas-
puskesmas di mana penyampaian ide, kepercayaan dan praktek medis modern
secara realistis dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Persoalan utama ialah
bagaimana situasi hubungan perawatan dapat berfungsi sebagai saluran
komunikasi dan pendidikan kesehatan. (Nico s. Kalangie, 1994)
Hubungan dokter-pasien sebenarnya adalah hubungan yang asimetris
dimana karena tingkah laku peranan yang dimainkan oleh dokter antara lain
adalah sebagai atasan sedangkan pasien adalah sebagai atasan sedangkan
pasien adalah sebagai bawahan. Peranan yang berbeda tingkat antara kedua
pihak ini, ditandai oleh hierarki yang oleh Foster (1978) disebut sebagai
hubungan dominance submission. Dengan cirri hubungan seperti ini, bersama-
sama dengan ciri-ciri tingkah laku dokter, seperti impersonalitas, pandangan
18
organismik dan sikap yang mementingkan efisiensi profesional, telah
menyebabkan seorang pasien (sejak diagnosa sampai penyembuhan) tidak akan
sempat mengerti sepenuhnya sebab-sebab dari penyakitnya serta cara-cara
menghindari diri dari penyakit seperti itu menurut ilmu kedokteran. Apalagi
kalau penjelasannya tidak diberikan atau kalau diberikan keterangan hanya
sepintas lalu disampaikan atau kalau diberikan keterangan secukupnya faktor
kesukaran bahasa dari pihak pasien kurang diperhatikan. Konsekuensi lain dari
situasi hubungan seperti ini ialah bahwa tidak jarang pasien merasa
penderitaannya (sebagai keseluruhan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan
ekonomis) tidak atau kurang mendapat perhatian dokter. Demikian pula ada
kecenderungan bahwa konteks sosial budaya pasien harus ditinggalkan di luar
ruangan pemeriksaan. Persepsi dokter terhadap pasiennya adalah sebagai
individu yang sedang sakit, bukan sebagai seorang sakit dengan sistem sosial
budaya tertentu yang berbeda dari yang ia miliki. (Nico s. Kalangie, 1994)
Pada dasarnya, kenyataan-kenyataan tingkah laku dokter dalam
hubungannya dengan pasien merupakan pencerminan dari orientasi nilai
kebudayaan kedokteran yang dienkulturasikan sejak ia berada dalam lembaga
pendidikan kedokteran. (Nico s. Kalangie, 1994)
II.3 Peranan KODEKI, KODERSI dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan
1. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Aturan etika adalah ”terjemahan” asas-asas etika menjadi ketentuan-
ketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-
hal yang harus dihindari. Aturan-aturan etika yang disusun oleh asosiasi
atau perhimpunan keprofesian sebagai pedoman perilaku bagi anggota-
anggota profesi itu, umumnya dinamakan Kode Etik (Inggris: Code of
Ethics)
Istilah kode (Inggris: Code) berasal dari kata Latin codex yang berarti
buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-
aturan. Jadi, misalnya kode moral (moral code) berarti seperangkat asas-
asas dan aturan-aturan tentang moral. Dalam pengertian seperti inilah,
Kode etik Kedokteran dapat diartikan sebagai seperangkat (tertulis)tentang
19
aturan-aturan etika yang memuat amar (apa yang dibolehkan) dan larangan
(apa yang harus dihindari) sebagai pedoman pragmatis bagi dokter dalam
menjalankan profesinya. Dapat juga dikatakan, Kode etik Kedokteran
adalah buku yang memuat aturan-aturan etika bagi dokter.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
Kode Etik Kedokteran pertama di dunia Barat pasca – Hippokrates
adalah Precival’s Medical Ethics yang diterbitkan di Inggris tahun 1803.
Awalnya naskah yang komprehensif tentang etika medis ini disiapkan
dokter inggris “Sir Thomas Percival” atas permintaan rumah sakit
Manchester. Tujuan naskah itu adalah untuk dijadikan pedoman perilaku
professional para dokter yang berhubungan dengan rumah sakit dan badan-
badan charity lain, untuk mengatasi dan mencegah konflik antara para
dokter itu. (Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran
Nasional, 1969)
Selama bertahun-tahun kemudian asosiasi-asosiasi dokter di Inggris
dan Amerika menggunakan Kode Etik Percival ini sebagai pedoman. Kode
Etik American Medical Assotiation (AMA) tahun 1847 hampir seluruhnya
didasarkan pada Kode Etik Percival. Sementara itu, perhimpunan dokter di
tiap Negara maju menyusun kode etik kedokterannya sendiri-sendiri.
Namun, dalam semua kode etik itu “benang merah” aturan-aturan etikanya
masih jelas berhulu pada asas-asas etika dalam Sumpah Hippokrates.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
Kode Etik Kedokteran Indonesia yang pertama disusun oleh
Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional I di Jakarta dalam tahun
1969. Karena IDI adalah anggota WMA, dengan sendirinya Kode Etik ini
disusun dengan merujuk kepada Kode Etik Kedokteran Internasional yang
telah disempurnakan oleh kongres WMA ke-22 di Sydney dalam tahun
1968, dengan beberapa penyesuaian dengan keadaan dan praktik di
Indonesia. (Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran
Nasional, 1969)
20
Dengan SK Menteri Kesehatan R.I No. 4/MENKES/SK/X/1993,
tanggal 28 Oktober 1983, Kode Etik Kedokteran Indonesia dinyatakan
berlaku bagi semua dokter di Indonesia. (Panitia Redaksi Musyawarah
Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
KODEKI sudah mengalami beberapa perubahan. penyempurnaan
terakhir dilaksanakan oleh Rakernas MKEK-MP2A tanggal 20-22 Mei
1993 di Jakarta, yang menghasilkan 2 buku, yaitu (1) Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI), dan (2) Pedoman Pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. (Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila
kedokteran Nasional, 1969)
Di Indonesia, kode etik kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan
norma-norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang asas-asasnya
terdapat dalam Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai
landasan strukturil. Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan
kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, maka para dokter baik yang
tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan,
dan penelitian telah menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI), yang dirumuskan dalam pasal-pasal, yaitu :
1. Kewajiban Umum
Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya
menurut ukuran yang tertinggi.
Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter
tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
bersifat memuji diri.
Pasal 5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk
21
kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.
Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa hati-hati dalam
mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik
atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan
hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat
yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Pasal 7a Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan medis kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih saying
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk
mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang
melakukan penipuan atau penggelapan dalam menangani
pasien.
Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d Seorang dokter harus senantiasa mengingat kewajiban
melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus
mengutamakan kepentingan masyarakat dan
memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang
menyeluruh (Prmotif, Preventif, Kuratif dan rehabilitative),
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenarnya.
Pasal 9 Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat
dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat,
harus saling menghormati.
22
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
2. Kewajiban Dokter terhadap Penderita/ Pasien
Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk
kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia
wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien
agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan
penasihatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.
Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah
penderita itu meninggal dunia.
Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai
suatu tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain bersedia dan mampu memberikannya.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,
1969)
3. Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawatnya
Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari
teman sejawatnya tanpa persetujuannya.
Jika ditinjau butir-butir KODEKI tersebut diatas, dapat dikelompokan
sebagai berikut :
A. Kewajiban dan Larangan
I. Kewajiban-kewajiban dokter
1. Mengamalkan sumpah dokter
2. Melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi
23
3. Kebebasan dan kemandirian profesi
4. Member surat keterangan dan pendapat sesudah memeriksa sendiri
kebenarannya.
5. Rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat
manusia.
6. Jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya
7. Menghormati hak-hak pasien, teman sejawat dan tenaga kesehatan
lainnya.
8. Melindungi hidup makhluk insani.
9. Memperhatikan kepentingan masyarakat dan semua aspek
pelayanan kesehatan.
10.Tulus ikhlas menerapkan ilmunya. Bila tidak mampu merujuknya.
11. Merahasiakan segala sesuatu tentang pasiennya.
12. Memberi pertolongan darurat
13. Memperlakukan sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan
14. Memelihara kesehatannya
15. Mengikuti perkembangan iptek kedokteran
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,
1969)
II. Larangan-larangan
1. Memuji diri
2. Perbuatan atau nasihat yang melemahkan daya tahan pasien
3. Mengumumkan dan menerapkan teknik atau pengobatan yang
belum diuji kebenarannya
4. Mengambil alih pasien sejawat lain tanpa persetujuannya
5. Melepaskan kebebasan dan kemandirian profesi karena pengaruh
sesuatu.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,
1969)
24
B. Etik Murni dan Etikolegal
I. Pelanggaran Etik Murni
1. Menarik imbalan jasa yang tidak wajar dari pasien atau menarik
imbalan jasa dari sejawat dan keluarganya.
2. Mengambil alih pasiien tanpa persetujuan sejawatnya.
3. Memuji diri sendiri di depan pasien, keluarga atau masyarakat.
4. Pelayanan kedokteran yang dekriminatif
5. Kolusi dengan perusahaan farmasi atau apotik
6. Tidak mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan
7. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,
1969)
II. Pelanggaran Etikolegal
1. Pelayanan kedokteran dibawah standar
2. Menerbitkan surat keterangan palsu
3. Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hukum
4. Melakukan tindakan medic tanpa indikasi
5. Pelecehan seksual
6. Membocorkan rahasia pasien.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional,
1969)
2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)
Perumahsakitan di Indonesia sesuai dengan perjalanan sejarah
memiliki jati diri yang khas, ialah dengan mengakarnya azas
perumahsakitan Indonesia kepada azas Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, sebagai bangsa dan Negara Republik Indonesia. Dalam
menghadapi masa depan penuh tantangan diperlukan upaya
mempertahankan kemurnian nila-nilai perumahsakitan Indonesia.
Rumahsakit di Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan
Rumahsakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah menyusun Kode Etik Rumah
Sakit (KODERSI), yang memuat rangkuman nilai-nilai dan norma-norma
25
perumahsakitan guna dijadikan pedoman bagi semua pihak yang terlibat
dan berkepentingan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan
perumahsakitan di Indonesia. Sehingga disusunlah bab mengenai
KODERSI yaitu :
BAB I Kewajiban Umum Rumah Sakit
Pasal 1 Rumah Sakit harus mentaati Kode Etik Rumah Sakit Indonesia
(KODERSI)
Pasal 2 Rumah sakit harus dapat mengawasi serta bertanggung jawab
terhadap semua kejadian di rumah sakit.
Pasal 3 Rumah sakit harus mengutamakan pelayanan yang baik dan
bermutu secara berkesinambungan serta tidak mendahulukan
urusan biaya.
Pasal 4 Rumah sakit harus memelihara semua catatan/arsip baik medik
maupun non medik secara baik.
Pasal 5 Rumah sakit harus mengikuti perkembangan dunia
perumahsakitan.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
BAB II Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Masyarakat dan Lingkungan
Pasal 6 Rumah sakit harus jujur dan terbuka, peka terhadap saran dan
kritik masyarakat dan berusaha agar pelayanannya menjangkau di
luar rumah sakit.
Pasal 7 Rumah sakit harus senantiasa menyesuaikan kebijakan
pelayanannya pada harapan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pasal 8 Rumah Sakit dalam menjalankan operasionalnya bertanggung
jawab terhadap lingkungan agar tidak terjadi pencemaran yang
merugikan masyarakat.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
26
BAB III Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien
Pasal 9 Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien.
Pasal 10 Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita
pasien, dan tindakan apa yang hendak dilakukan.
Pasal 11 Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien (informed
consent) sebelum melakukan tindakan medik.
Pasal 12 Rumah sakit berkewaijiban melindungi pasien dari
penyalahgunaan teknologi kedokteran.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
BAB IV Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pimpinan, Staf, dan Karyawan
Pasal 13 Rumah sakit harus menjamin agar pimpinan, staf, dan
karyawannya senantiasa mematuhi etika profesi masing-masing.
Pasal 14 Rumah sakit harus mengadakan seleksi tenaga staf dokter,
perawat, dan tenaga lainnya berdasarkan nilai, norma, dan standar
ketenagaan.
Pasal 15 Rumah sakit harus menjamin agar koordinasi serta hubungan
yang baik antara seluruh tenaga di rumah sakit dapat terpelihara.
Pasal 16 Rumah sakit harus memberi kesempatan kepada seluruh tenaga
rumah sakit untuk meningkatkan dan menambah ilmu
pengetahuan serta keterampilannya.
Pasal 17 Rumah sakit harus mengawasi agar penyelenggaraan pelayanan
dilakukan berdasarkan standar profesi yang berlaku.
PasaI18 Rumah sakit berkewajiban memberi kesejahteraan kepada
karyawan dan menjaga keselamatan kerja sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
27
BAB V Hubungan Rumah Sakit Dengan Lembaga Terkait
Pasal 19 Rumah sakit harus memelihara hubungan yang baik dengan
pemilik berdasarkan nilai-nilai, dan etika yang berlaku di
masyarakat Indonesia.
Pasal 20 Rumah sakit harus memelihara hubungan yang baik antar rumah
sakit dan menghindarkan persaingan yang tidak sehat.
Pasal 21 Rumah sakit harus menggalang kerjasama yang baik dengan
instansi atau badan lain yang bergerak di bidang kesehatan.
Pasal 22 Rumah sakit harus berusaha membantu kegiatan pendidikan
tenaga kesehatan dan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran dan kesehatan.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
BAB VI Lain-lain
Pasal 23 Rumah sakit dalam melakukan promosi pemasaran harus bersifat
informatif, tidak komparatif, berpijak pada dasar yang nyata, tidak
berlebihan, dan berdasarkan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam KODERSI ini merupakan nilai-nilai etik
yang identik dengan nilai-nilai akhlak atau moral, yang mutlak diperlukan
guna melandasi dan menunjang berlakunya nilai-nilai atau kaidah-kaidah
lainnya dalam bidang perumahsakitan, seperti perundang-undangan, hukum
dan sebagainya, guna tercapainya pemberian pelayanan kesehatan oleh
rumahsakit, yang baik, bermutu dan profesional.
(Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila kedokteran Nasional, 1969)
3. Hukum
Menurut UU kesehatan :
Undang-undang kesehatan No 36 tahun 2009. Bagian kelima yang
mengatur tentang penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan terdiri
dari:
28
a. Pasal 64
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan
melalui transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, implan obat dan
ataukesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel
punca.
2) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan
dan dilarang untuk dikomersialkan.
3) Organ dan atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan
dalih apapun.
b. Pasal 69
1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan
norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan
mengubah identitas.
3) Ketentuan mengenai syrat dan tata cara bedah plastik dan
rekonstruksi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian keenam mengenai kesehatan reproduksi
c. Pasal 74
1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang berisifat promotif,
preventif, kuratif dan atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan
bantuan yang dilakukan secara aman dan sehat dengan
memperhatikan aspek-apek yang khas, khususnya reproduksi
perempuan.
2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) dilakuakan dengan tidak bertentangan
dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
29
d. Pasal 75
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan :
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini
kehamilan, baik yang mengacam nyawa ibu dan atau janin, yang
menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun
yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup diluar kandungan; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat meneybabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling dan atau penasehatan pra
tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
e. Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan :
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persertujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh Menteri.
f. Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak
30
bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan
dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(Redaksi. Undang-undang Kesehatan UU RI No. 36 Tahun, 2009)
II.4 Contoh Kasus Pada Kelainan Kulit dan Kelamin
Seks bebas merupakan hubungan yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan. Prilaku seks bebas yang terjadi
pada remaja dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian orang tua terhadap
anak yang disebabkan karena kesibukan masing-masing sehingga anak tidak
memperoleh pengetahuan tentang seks bebas dari orang tua dan oleh sebab
itulah kadang kala anak terjerumus pada pergaulan yang salah. Prilaku seks
bebas juga dapat terjadi jika remaja kurang mempunyai pemikiran yang
matang untuk berbuat sesuatu di tambah lagi karena dorongan dari teman
sebaya. Kadang teman mempunyai pengaruh yang buruk dan memaksa
mencoba sesuatu yang baru sehingga mereka mencoba melakukan hubungan
seks dengan lawan jenis tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi. (Sofyan,
2004)
Di zaman yang semakin berkembang semakin beragam pula tingkah
laku serta masalah sosial yang terjadi di masyarakat terutama masalah remaja.
Perkembangan teknologi sekarang ini telah banyak memberi pengaruh buruk
bagi remaja sehingga menyebabkan terjadinya kenakalan remaja. (Sofyan,
2004)
Kenakalan remaja belakangan ini sering kita lihat di kota-kota yang
sangat memprihatinkan sekali, semuanya ini bukan hanya disebabkan oleh
faktor remaja itu sendiri tetapi ada lagi faktor lain yang mendasarinya. Pada
akhir-akhir ini banyak sekali kejadian dibeberapa tempat terutama Kota
Padang. Adapun persentase bentuk kenakalan yang terjadi di Kota Padang
adalah membaca buku porno 33,3%, melihat gambar porno 16,7%, menonton
film porno 23,3%, minum-minuman keras 16,7%, hubungan seks luar nikah
80%, dan menggugurkan kandungan 72,3% . (Djadjulianto, 2004).
31
Kejadian ini menunjukan bahwa remaja sekarang ini telah banyak lupa
nilai dan norma adat di suatu daerah, semua itu sudah banyak dilupakan oleh
remaja. Etika dan nilai dalam suatu adat sudah tidak diperhitungkan lagi,
mereka terus asyik dengan prilaku yang di anggap remaja itu benar
(Djadjulianto, 2004).
Budaya kita adalah budaya yang sangat terkenal dengan budaya yang
mempunyai nilai-nilai agama yang kuat, tapi sekarang ini itu semua sudah
berangsur-angsur hilang yang disebabkan oleh pengaruh budaya asing
misalnya saja dari segi berpakaian dahulu wanita indonesia memakai baju
kurung tapi sekarang ini baju kurung telah dianggap kuno dan diganti
dengan pakaian seksi. Pengaruh lain yang ditimbulkan budaya asing adalah
cara berpacaran, remaja dahulu berpacaran melalui surat dan jarang ketemu
langsung berdekatan pun mereka takut, tapi remaja sekarang ini berpacaran
sudah tidak melalui surat lagi karena dianggap sudah kuno. Perubahan yang
terus berkembang menyebabkan cara berpacaran pun berkembang bahkan
sudah melewati batas, mereka tidak takut untuk menjurus kearah yang lebih
jauh seperti melakukan seks bebas dengan pasangannya. (Zakiah, 2004)
Perilaku seks bebas ini sudah sangat meresahakan orang tua dan
masyarakat setempat, siapa yang patut disalahkan kalau kejadian itu sudah
terjadi apalagi kalau sampai remaja perempuan sudah hamil.
(Zakiah, 2004)
Sehingga timbul masalah-masalah yang dihadapi remaja diantaranya
adalah :
1. Pertama, perubahan jasmani yang begitu cepat mengakibatkan
kegoncangan bagi remaja, karena pertumbuhan itu menyebabkan
remaja itu mulai menyukai lawan jenis.
2. Kedua, masalah hubungan dengan orang banyak, banyak orang tua
yang mengekang anak-anaknya untuk berbuat dan melakukan sesuatu
sehingga dalam hal ini remaja mengalami konflik dengan orang tua.
Kenakalan remaja disebabkan oleh 2 faktor pertama, faktor intern yang
berasal dari diri pribadi dan atas kemauan remaja sendiri untuk berbuat
sesuatu yang mereka inginkan dan tanpa paksaan dari orang lain. Kedua,
32
faktor eksterna yang bisa timbul karena pengaruh lingkungan dan pergaulan
yang salah. Contoh bentuk-bentuk kenakalan remaja antara lain adalah seks
bebas, penyalahgunaan narkotik, pelacuran dan tawuran. (Zakiah, 2004)
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan teknik
penarikan sampel secara startified karena berdasarkan atas kategori usia (13-
21 tahun) pendidikan dan status ekonomi remaja pererempuan itu sendiri.
(Sofyan, 2004)
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa pola perilaku seksual yang
kerap dilakukan remaja perempuan adalah perilaku seksual secara
berpasangan. Pasangan dalam hal perilaku seksual adalah pacar, sebagai
wujud kasih sayang, tetapi banyak pula yang melakukan seks bebas ini
dengan berganti-ganti pasangan karena alasan profesi. Sehingga sekitar 30%
dari 80% yang melalukan seks bebas menderita penyakit menular seksual.
(Sofyan, 2004)
Seiring berkembangnya zaman, kalangan remaja tidak sedikit yang
mengetahui alat kontrasepsi, kondom, aborsi, bahkan banyak yang melakukan
operasi selaput dara untuk menutup aibnya dari masyarakat. Namun tidak
banyak pula dalam pelaksanaannya remaja atau wanita yang berprofesi
sebagai wanita tuna susila mengabaikan pemakaian kondom sehingga banyak
dari mereka yang mengalami penyakit menular seksual. Begitupula dalam
hal operasi selaput dara menjadi suatu tindakan yang sangat diminati akhir-
akhir ini dengan indikasi untuk menutupi aib mereka. Peran dokter dalam
tindakan ini, dalam hukum diperbolehkan sesuai dengan UU Kesehatan No
36 tahun 2009 bagian kelima yang mengatur tentang penyakit dan pemulihan
kesehatan pasal 69 ayat 1 yang berisi bedah plastik dan rekonstruksi hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. (Redaksi, Undang Undang Kesehatan RI No.36, 2009)
Tetapi dalam pandangan islam, operasi selaput dara ditinjau dari
kemaslahatan dan kemdharatan yang terwujud, dijelaskan bahwa: “ jika
sobeknya selaput dara itu disebabkan oleh kecelakaan atau perbuatan yang
bukan maksiat secara syari’at dan bukan hubungan seksual dalam pernikahan
maka perbaikan selaput dara diperbolehkan.” Dan jika penyebabnya adalah
33
zina yang diketahui masyarakat, baik yang diketahui melalui keputusan
pengadilan atau Karen perbuatan zina tersebut berulang-ulang karena terkenal
sebagai pelacur, maka pengembalian selaput dara ini diharamkan. (Nu’aim,
2006)
Jika pasien datang dengan Penyakit Infeksi Menular Seksual, maka
tindakan dokter harus mengobati dan memperbaiki kesehatan pasien tersebut
serta dapat merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya. Karena hal ini
tercantum dalam KODEKI tentang Kewajiban Dokter Terhadap
Penderita/Pasien pada pasal 12, yaitu “Setiap dokter wajib merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga
setelah penderita itu meninggal dunia”, begitu pula disebutkan dalam
pelanggaran Etikolegal tentang “membocorkan rahasia pasien”. (Panitia
Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional, 1969)
34
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dalam menjalankan suatu profesi yang berorientasi pada suatu
pelayanan kesehatan, khususnya untuk melaksanakan berbagai macam
operasi yang bertentangan dengan pandangan islam, serta menilai aurat
dalam pemeriksaan dengan lawan jenis dan pandangan masyarakat tentang
pengobatan selain ke dokter atau orang yang ahli dalam bidangnya, seorang
dokter tidak lepas dari norma atau kaidah kode etik profesi yang menjadi
suatu tumpuan dan juga yang menjadi suatu tolak ukur bagi seorang dokter
dalam menjalankan suatu praktik kedokteran secara profesional disertai
dengan pengetahuan tentang batasan-batasan yang telah diatur dalam ajaran
islam mengenai pelayanan terhadap pasien.
Operasi yang bertujuan untuk mempercantik atau memperindah tubuh
seseorang yang dilakukan denga sengaja tanpa ada indikasi penyakit, di
haramkan dalam pandangan islam sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah SWT: Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan : “Saya benar-
benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah
ditentukan (untuk saya), dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka,
dan akan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka dan akan
menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka
benar-benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah
ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS 4, An-Nisa’:
118-119).
Selain itu, hukum kesehatan merupakan hal yang wajib diketahui dan
didalami, karena sebagai seorang dokter harus memiliki kemampuan untuk
memberikan pelayananan kesehatan yang berkualitas dan menuntun agar
dokter selalu berada pada jalur yang aman, tidak melanggar etika serta
ketentuan hukum yang berlaku yaitu tidak melanggar kode etik kedokteran
Indonesia dan kode etik rumah sakit Indonesia.
35
Pada dasarnya, kenyataan-kenyataan tingkah laku dokter dalam
hubungannya dengan pasien merupakan pencerminan dari orientasi nilai
kebudayaan kedokteran yang dienkulturasikan sejak ia berada dalam
lembaga pendidikan kedokteran sehingga salah suatu program inovasi
kesehatan harus diberikan kepada masyarakat dengan memberikan
penyuluhan, ide, kepercayaan dan praktik medis yang ingin kita adopsikan
sehingga dapat dimasukkan ke dalam sistem-sistem sosial dalam komunitas
pedesaan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi sehingga
masyarakat mengetahui akan kesehatan dan mengetahui semua risiko yang
terjadi salah satunya dengan dilakukannya operasi yang dalam pandangan
sosial budaya masih dipermasalahkan mengenai hukumnya meski hukum
islam sebenarnya tidak diperbolehkan.
III.2. Saran
Kita sebagai mahasiswa kedokteran sudah seharusnya mengetahui kode
etik kedokteran Indonesia dan kode etik rumah sakit Indonesia, serta
mengetahui hukum undang-undang kesehatan yang mengatur praktik
kedokteran khususnya pada penatalaksanaan penyakit kulit dan kelamin.
Selain itu mengetahui hukum yang mengatur tentang tindakan dan
pelayanan dokter terhadap masyarakat sesuai dengan aturan hukum ajaran
islam.
36
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, A. Mustofa, KH. 2005. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya. Khalista.
Jusuf Hanafiah, M. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4.
Jakarta. EGC
Nico S Kalanie, M. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta. FKUI.
Nu’am, Yasin. 2006. Fikih Kedokteran. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional. 1969. Jakarta.
Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Redaksi. Undang-undang Kesehatan (UU RI No. 36 Tahun 2009). Jakarta.
Sinar Grafika
Sofyan, Djadjulianto, Zakiyah. 2004. Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku
Menyimpang. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran, Universitas
Hasanudin, Padang. 52 hal. (Tidak dipublikasikan)
37