Referat- Infeksi Virus Dengue

36
BAB 1 PENDAHULUAN Virus dengue dilaporkan telah menginfeksi lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat (Candra, 2010). Indonesia merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara. Pada 2006 Indonesia melaporkan 57% dari kasus Dengue dan hampir 80% kematian dengue dalam daerah Asia Tenggara (1132 kematian dari jumlah 1558 kematian dalam wilayah regional). Di Indonesia infeksi virus Dengue selalu dijumpai sepanjang tahun di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Morbiditas dan mortalitas karena DBD/DSS yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, 1

description

stase anak

Transcript of Referat- Infeksi Virus Dengue

BAB 1PENDAHULUANVirus dengue dilaporkan telah menginfeksi lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat (Candra, 2010).Indonesia merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara. Pada 2006 Indonesia melaporkan 57% dari kasus Dengue dan hampir 80% kematian dengue dalam daerah Asia Tenggara (1132 kematian dari jumlah 1558 kematian dalam wilayah regional). Di Indonesia infeksi virus Dengue selalu dijumpai sepanjang tahun di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Morbiditas dan mortalitas karena DBD/DSS yang dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan keadaan meteorologis (Frans, 2012).Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% diantaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89% (Candra, 2012).Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun (Candra, 2012).Penelitian di Jepara dan Ujung pandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat, tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity,virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain. Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur 45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%. Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya (Candra, 2012).

BAB 2INFEKSI VIRUS DENGUEInfeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan sindrom syok dengue.

Sumber: Gershon, 2004Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya (Sudarmo, 2003).

2.1EtiologiVirus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Serotipe DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab (Sudarmo, 2003).

2.2Vektor penularan virus dengueVirus-virus Dengue ditularkan oleh nyamuk-nyamuk dari famili Stegomya, yaitu Aedes aegypti, Aedes albopticus, Aedes scuttelaris, Aedes polynesiensis dan Aedes niveus. Di Indonesia Aedes aegypti dan Aedes albopticus merupakan vektor utama. Keempat virus telah ditemukan dari Aedes aegypti yang terinfeksi. Spesies ini dapat berperan sebagai tempat penyimpanan dan replikasi virus (Frans, 2012).

2.3PatogenesisMekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika dan biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat digunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar masih menggunakan the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun (Sudarmo, 2003).The immunological enhancement hypothesisAntibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu:1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus.2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi immunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah terinfeksi.d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa rejatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskanna mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor (Sudarmo, 2003).Aktivasi limfosit TLimfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN- dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN-. IFN- selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan pendarahan (Sudarmo, 2003).Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat seroipe/ galur serotipe virus dengue yang paling virulen (Sudarmo, 2003).

2.4PatofisiologiPatofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat. Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat (Sudarmo, 2003).Volume plasmaFenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD pada kasus DBD dengan menggunakan 131 iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma mlalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi ebagai akibat kebocoran plasma ke daerah extra vaskular (ruang intertisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus dan terdapatnya edema (Sudarmo, 2003).Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengn memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikrokop elekron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia (Sudarmo, 2003).TrombositopeniaTrombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dengan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakarioit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran daah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya pendarahan pada DBD (Sudarmo, 2003).Sistem koagulasi dan fibrinolisisKelainan sistem koagulasi juga berperan dalam pendarahan. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan darah normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sitem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa: 1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis.2. Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai pendarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.3. Pendarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat teratasi disertai komplikasi asidosis metabolik.4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang (Sudarmo, 2003).Sistem komplemenPenelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktosin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan meditor kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma dan syok hipovolemik. Komplemen juga beraksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan pendarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1).Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah:1. Ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24jam.2. Adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) baik pada DBF derajat ringan maupun berat.3. Adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit (Sudarmo, 2003).Respon leukositPada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan longaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam prosentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai dengan hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan non-dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T. Definisi LPB ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar ataus ama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromsom inti kasar dan kadang-kadang di dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru (Sudarmo, 2003).

2.5Demam dengue2.5.1DefinisiDemam dengue merupakan sindrom yang disebabkan oleh beberapa virus arthropoda-borne yang ditandai dengan demam biphasic, mialgia atau artralgia, ruam, leukopenia, dan limfadenopati (Halstead, 2004). Salah satu varian klinis infeksi virus dengue ditandai oleh gejala panas 2-7 hari dan pada saat panas turun disertai/disusul dengan gangguan hemostatik dan kebocoran plasma (Darmowandowo, 2008).

2.5.2Gejala klinis1. Demam Timbul mendadak, berlangsung 2-7 hari Disertai dengan tidak mau bermain, nafsu makan menghilang, mual dan tidak jarang disertai muntah Kadang kurva suhu berbentuk plana (sadle-back fever) Suhu turun mendadak, kemudian penderita merasa/tampak membaik dan muncul nafsu makan.2. Nyeri Nyeri kepala Nyeri belakang mata (retro orbital) Nyeri otot (myalgia) Nyeri sendi (arhralgia)3. Ruam Pada awal sakit dapat timbul kemerahan (fluhing) pada kulit penderita Pada periode penyembuhan dapat muncul confalescence rash, berupa morbilli like rash yang lokasinya di ekstremitas bawah (shoe like appearance) dan di ekstremitas atas (handglove like appearance)4. Manifestasi pendarahan Tidak selalu ada Dapat berupa torniquet test yang positif, petekie, epitaksis, pendarahan gusi dan dapat terjadi pendarahan masif berupa hematemesis/melena yang sampai membutuhkan transfusi darah.5. Dapat dijumpai gejala gastrointestinal berupa diare dan gejala saluran napas atas berupa batuk serta pilek yang ringan (Darmowandowo, 2008).

2.5.3Pemeriksaan Lakukan pemeriksaan klinis yang lengkap meliputi anamnesis yang teliti, tetapkan hitungan hari sakit penderita datang, pemeriksaan fisik yang cermat khususnya mencari tanda pendarahan (bila memungkinkan lakukan torniquet test). Laboratorium rutin sering dijumpai leukopenia dan dapat disertai penurunan trombosit, walaupun seringkali masih >100.000. Diagnosis etiologis: Serologis elisa, memeriksa IgM dan IgG dengue, lakukan pada hari sakit 5 untuk lebih memperoleh hasil positif. Serologis hemaglutinasi inhibisi dengan mengambil serum sepasang, serum pertama saat masuk rumah sakit dan serum kedua usahakan 7 hari kemudian (seringkali susah dipenuhi). Virologi, isolasi virus dari spesimen darah, usahakan pengambilan serum aat periode febris, kemudian dengan dry ice dikirim ke pusat-pusat pemeriksaan virologi (dilakukan saat riset) (Darmowandowo, 2008).

2.5.4Diagnosis banding Exanthema subitum German measles Chikunguya (Darmowandowo, 2008).

2.5.5Tata laksana demam dengueSebagian besar anak dapat dirawat dirumah dengan memberikan nasehat perawatan pada orang tua anak. Berikan anak banyak minum dengan air hangat atau larutan oralit unuk mengganti cairan yang hilang akibat demam dan muntah. Berikan parasetamol untuk demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang pendarahan. Anak harus dibawa dirumah sakit apabila demam tinggi, kejang, tidak bisa minum, muntah terus menerus (WHO, 2005).

Periode afebrisKebanyakan penderita demam dengue setelah panas turun, merasa/tampak lebih segar timbul nafsu makan dan akan segera sembuh tanpa disertai komplikasi, sehingga tidak pengobatan khusus. Kadang timbul gejala klinis confalescense petechial rash pada tangan atau kaki dengan memberi kesan seperti sarung tangan atau kaus kaki. Dalam proentase yang kecil periode confalescence ini membutuhkan waktu agak panjang (WHO, 2005).

2.5.6KomplikasiKomplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan adalah orkhitis atau ovaritis, keratiis dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan, diantaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara, meningismus dan ensefalopati (Sudarmo,2003).

2.6 Demam Berdarah Dengue2.6.1Definisi Demam berdarah dengue merupakan penyakit demam yang parah, sering fatal, yang disebabkan oleh virus dengue. Hal ini ditandai dengan permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis dan dalam kasus yang parah terjadi dengue shock syndrome (Halstead, 2004).

2.6.2Gejala klinisGejala klinis berikut harus ada, yaitu: Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari. Terdapat manifestasi pendarahan ditandai dengan: Uji bendung positif Petekie, ekimosis, purpura Pendarahan mukosa, epitaksis, pendarahan gusi Hematemesis dan atau melena Pembesaran hati Syok, ditndai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi ( 20mmHg), hipoteni sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah (WHO, 2005).

2.6.3Derajat penyakitDerajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditentukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)Derajat 1Demam diertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi pendarahan ialah uji tourniquet positif.Derajat 2Seperti derajat 1, disertai pendarahan spontan dikulit dan atau pendarahan lain.Derajat 3Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.Derajat 4Syok berat (profund shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanandarah tidak dapat terukur (WHO, 2005).Warning signs menurut WHO 2009: Nyeri perut, muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan mukosa, letargi, lemah, pembesaran hati > 2 cm, kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.

2.6.4Pemeriksaan Lakukan anamnesis yang cermat, tetapkan hitungan/jumlah/besaran hari sakit dan berapa lama penderita sudah berada pada gejala klinis yang diasses sebagai demam berdarah dengue ini. Lakukan pemeriksaan fisik yang seksama, gangguan sirkulasi berupa penyempitan tekanan nadi, penurunan sistole dan diastole. Efusi pleura dan asites, sebagai akibat kebocoran plasma. Foto thorax untuk mendeteksi efusi pleura, terutama pada kasus yang dugaan plasma leakage tidak seberapa banyak, dan deteksi asites tidak jelas didapat. Etiologis, serologis hanya diperlukan pada penderita yang tampilan klinisnya meragukan, sedangkan virologis hanya dilakukan saat riset (Darmowandowo, 2008). Laboratorium Trombositopenia (100.000/l atau kurang) Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut: Peningkatan hematokrit 20% dari nilai standar Penurunan hematokrit 20%, setelah mendapat terapi cairan Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemiaDua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratoratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD (WHO, 2005).

2.6.5Diagnosis banding1. Demam berdarah dengue grade I/II perlu dibedakan dengan demam dengue2. Penderit demam berdarah dengue grade III/IV yang diserti febris perlu dibedakan dengan sepsis (Darmowandowo, 2008).

2.6.6PenatalaksaanPeriode febrisApabila penderta infeksi virus dengue datang dengan periode febris, saat/ketika/belum/tidak dapat dibedakan dengan dengue fever/dengue hemorrhagic fever, maka pengobatan yang dapat diberikan adalah sbb: AntipiretikParasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10mg/BB/kali tidak lebih dari 4x kali sehari Antibiotik tidak diperlukan Makan disesuaikan dengan kondisi nafsu makannya Apabila penderita ditetapkan rawat jalan, maka kalau dalam perjalanan didapatkan keluhan dan tanda klinis seperti dibawah ini dianjurkan utuk segera datang kerumah sakit untuk pengobatan salanjutnya.Gejala dan tanda yang dimaksud adalah: Nyeri abdomen tanda pendarahan dikulit, petekie dan ekimosis Pendarahan lain seperi epitaksis dan pendarahan gusi Penderita tampak loyo dan pada peraban terasa dinginKebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberin cairan dapat diberikan peroral, akan tetapi apabila penderita tidak mau minum, muntah terus atau panas yang tidak terlalu tinggi maka pemberian cairan intravena menjadi pilihan.Apabila cairan intravena dijadikan pilihan terapi, maka dikenal formula untuk memenuhi cairan rumatan yaitu formula halliday segar dengan rincian sebagai berikut:Berat badan (Kg)Cairan rumatan (volume)/24jam10100cc/Kg/BB10-201000cc+50cc/Kg BB >201500cc+20cc/Kg BB Setiap derajat C peningkatan temperatur, cairan ditambah 12% dari kebutuhan atau D5 saline untuk penderita berumur 3 tahun.Lakukan observasi secara cermat setiap 6 jam atas tanda vitalnya dengan tujuan untuk mendeteksi tanda-tanda kebocoran plasma, yang mengarah ke dengue haemorrhagic fever (Darmowandowo, 2008).Periode afebrisPada saat temperatur turun, pada penderita demam berdarah dengue terjadi 2 fenomena yang dapat membawa penderita pada keadaan kritis bahkan dapat berakhir dengan kematian apabila tidak tertangani secara benar, yaitu gangguan hemotatik berupa penurunan jumlah dan kualitas trombosit, gangguan faktor beku darah, bahan dapat timbul DIC dan kebocoran plasma sebagai akibat peningkatan permabilitas pembuluh darah. Apabila diurut tahapan klinis defisit plasma dalam pembuluh darah didapat urutan sbb:1. Peningkatan hemtokrit 20%, tanpa disertai gejala gangguan sirkulasi2. Peningkatan hematokrit 20%, disertai munculnya gejala penyempitan tekanan nadi.3. Peningkatan hematokrit 20%, disertai dengan timbulnya gejala syok yang ditandai dengan tekanan darah sistole dan diastole menurun, nadi kecil dan cepat serta perabaan akral dingin.4. Peningkatan hematokrit 20, disertai gejala nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur (profund shock) (Darmowandowo, 2008).Tatalaksana demam berdarah dengue tanpa syok Anak dirawat dirumah sakit. Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air sirup, susu untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare. Berikan parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen karena obat-obatan ini dapa merangang terjadinya pendarahan. Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium (hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam. Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24-48 jam seja kebocoran pembuluh kapiler spontan setelah pemberian cairan. Apabila terjadi perburukan klinis berikan tata laksana sesuai dengan tata laksana syok terkompensasi (WHO, 2005).Tata laksana demam berdarah dengue dengan syok Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit secara nasal. Berikan 20ml/kg larutan kristaloid seperti ringer laktat/asetat secepatnya Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20 ml/kgBB/jam maksimal 30ml/kgBB/24jam. Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya pendarahan tersembunyi; berikan tranfusi darah/ komponen. Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Perlu diingat, banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit (WHO, 2005).Tata laksana komplikasi pendarahan Jika terjadi pendarahan berat segera beri darah bila mungkin. Bila tidak, beri koloid dan segera rujuk (WHO, 2005).Penanganan kelebihan cairanKelebihan cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok. Hal ini dapat terjadi karena: Kelebihan dan/atau pmberian cairan yang terlalu cepat Penggunaan jenis cairan yang hipotonik Pemberian cairan intravena yang terlalu lama Pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan kebocoran yang hebatTanda awal Napas cepat Tarikan dada kedalam Efusi pleura Asites Edema peri-orbital atau jaringan lunak

Tanda-tanda lanjut kelebihan cairan yang berat Edema paru Sianosis Syok ireversibelTatalaksana penanganan-penanganan kelebihan cairan berbeda tergantung pada keadaan klinis apakah masih menunjukkan syok atau tidak: Anak yang masih syok dan menunjukkan tanda kelebihan cairan yng berat sangat sulit untuk ditangan dan berada pada resiko kematian yang tinggi. Jik syok sudah pulih namun anak masih sukar bernapas atau bernapas cepat dan mengalami efusi yang luas, berikan obat minum atau furosemid intravena 1 mg/kgBB/dosis sekali atau dua kali sehari selama 24 jam dan terapi oksigen. Jika syok sudah pulih dan anak stabil, hentikan pemberian cairan intravena dan jaga anak agar tetap istirahat ditempat tidur selama 24-48 jam. Kelebihan cairan akan diserap kembali dan hilang melalui diuresis (WHO, 2005).Pemantauan Untuk anak dengan syokPetugas medik memeriksa tanda vital anak setiap jam (terutama tekanan nadi) hingga pasien stabil, dan periksa nilai hematokrit setiap 6 jam. Untuk anak tanpa syokPetugas medis memeriksa tanda vital anak (suhu badan, denyut nadi dan tekanan darah) minimal 4 kali sehari dan nilai hematokrit minimal sekali sehari (WHO, 2005).

2.7Pencegahan1. Melaksanakan penyemprotan masal sebelum musim penularan penyakit di desa/ kelurahan endemis DBD yng merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya.2. Menggalakan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).3. Melaksanakan penanggulanagan fokus di rumah pasien dan disekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB).4. Melaksanakan penyuluhan pada masyarakat melalui berbagai media.Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan DBD, maka akan dilakukan langkah-langkah upaya penanggulangan berupa foging, abatisasi efektif dan menggalakan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam PSN (Sudarmo, 2003).

BAB 3KESIMPULAN

Indonesia merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara. Infeksi virus Dengue ini selalu dapat dijumpai sepanjang tahun dengan morbiditas dan mortalitas yang bervariasi. Pengetahuan akan tata laksana dan pencegahan penyakit demam dengue sangat penting untuk mengurangi tingginya angka kejadian penyakit tersebut. Tinjauan kepustakaan ini diharapkan dapat membantu memperluas wawasan masyarakat mengenai demam dengue.

DAFTAR PUSTAKACandra, A 2010, Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan, Aspirator, Vol 2, No 2, pp. 110-119Darmowandowo, W, Basuki, PS, Soegitjanto, S 2008, Infeksi virus dengue dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi, edisi 3, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya.Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control, 2009, WHO, france.Frans, HE 2012, Patogenesis Infeksi Virus Dengue, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.Gershon, AA, Hotez, PJ, Katz, SL 2004, Krugmans Infectious Disease of Children, 11th ed, Mosby, USA.Halstead, SB 2004, Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever in Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed, Saunders, USA.Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit, 2005, edisi 1, WHO, Jakarta.Sudarmo, SP, Garna, H, Hadinegoro, S, Satari, HI 2003, Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Ikatan dokter anak Indonesia, Jakarta.Tata laksana DBD, retrieved from http://www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3

25