Referat Hemodialisa
-
Upload
farida-yan-pratiwi-kurnia -
Category
Documents
-
view
33 -
download
5
description
Transcript of Referat Hemodialisa
BAB I. PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal yang berlangsung lama, progresif
dan irreversible dan disertai anemia dan hipertensi. Gagal ginjal kronik yang
mulai perlu dialisis adalah penyakit ginjal kronik yang megalami penurunan
fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 15 ml/menit. Pada
keadaan ini fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksin
dalam tubuh yang disebut uremia. Pada keadaan uremia dibutuhkan terapi
pengganti ginjal untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin
tubuh sehingga tidak terjadi gejala yang berat.
Sejak tahun 1960 hemodialisa diterapkan sebagai suatu terapi pengganti ginjal
pada pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal terminal. Hemodialisa merupakan
terapi pengganti yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial kidney atau
dialyzer). Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih
dari 300.000 orang di Amerika Serikat. Standarisasi terapi ini dimulai pada tahun
1973 oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner. Terapi ini
juga mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan
pasien. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi berdasarkan
kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat
jalan.
Hemodialisa merupakan salah satu terapi faal ginjal dengan tujuan untuk
mengeluarkan zat – zat metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan
air dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan
dialisat melalui membrane semipermeabel yang bersifat sebagai pengganti ginjal.
Hemodialisis sering disebut pada orang awam sebagai terapi cuci darah.
Hemodialisa terbukti dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidup
penderita gagal ginjal terminal.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang ini
telah dilaksanakan pada banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal yang kompartemen darahnya adalah kapiler selaput semipermeabel (hollow
1
fibre kidney). Biasanya di Indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu.
Setiap kali hemodialisa dibutuhkan waktu selama kurang lebih 5 jam. Di beberapa
pusat dialisis lainnya ada yang dilakukan hemodialisa 3 kali seminggu dengan
lama dialisis 4 jam. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
tertinggi sampai sekarang adalah 14 tahun.(1)
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hemodialisa berasal dari kata hemo dan dialisa. Hemo adalah darah
sedangkan dialisa adalah pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa
menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang
dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dial isis
yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permeable.
Menurut Price dan Wilson (2005), dialisa merupakan suatu proses solute
dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa
peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip
dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke
larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan
tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox, hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan
untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan
melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar
dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran.
Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi
dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode
yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika
Serikat.
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus
yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan
untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar
dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke
3
aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula
arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).
2.2 Indikasi
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila GFR < 5
mL/menit yang dalam praktek dianggap demikian bila TKK < 5 mL/menit.
Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal
tersebut dibawah: (1)
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
Penderita dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan asidosis
metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah dan
anoreksia. Tanda – tanda overload cairan seperti edem, sesak napas akibat
edema paru, serta adanya gangguan jantung. Penderita juga dapat
mengeluhkan sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.
2. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan :
a. Kreatinin serum > 6 mg/dL
b. Ureum darah > 200 µ/dL
c. pH darah < 7,1
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)
kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia
atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat
menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi
khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia,
asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.(5,6,15)
Thiser dan Wilcox menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai
ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan
kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia
dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan
hemodialisa. (18)
4
Tabel 2. Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan Clearance
Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan
Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Nilai GFR
(mg/dl)
Kreatinin
(ml/menit/1,73 m2)
Clearance Rate
(ml/menit)
Normal >90 Pria : <1,3
Wanita : <1,0
Pria : 90-145
Wanita : 75-115
Gangguan
Ginjal Ringan
60-89 Pria : 1,3-1,9
Wanita : 1,0-1,9
56-100
Gangguan
Ginjal Sedang
30-59 2-4 35-55
Gangguan
Ginjal Berat
15-29 >4 <35
2.3 Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox, kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak
organik. Sedangkan menurut PERNEFRI kontra indikasi dari hemodialisa adalah
tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit,
instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain
diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom
hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.(15)
2.4 Persiapan Hemodialisa
5
Persiapan perlu dilakukan sebelum tindakan hemodialisis dijalankan agar
perlakuan ini dapat berjalan dengan baik dan optimal. Persiapan ini dapat berupa
non‐medik maupun medik.
1. Persiapan Non‐Medik
Persiapan ini hanya dapat dilakukan bila pasien sudah diketahui
menderita GGK sebelum mencapai GGK stadium‐V. Makna dari GGK perlu
dijelaskan kepada pasien secara bijak agar mereka mengerti bahwa GGK
bersifat progresi menuju GGK stadium‐V.
2. Persiapan Medik
Pengobatan anemia pre‐dialisis perlu dilakukan agar pada saat
dilakukan hemodialisis, perlakuan dialisis ini dapat dimulai dengan baik dan
aman. Risiko kematian pada pasien dalam dialisis ternyata menjadi lebih
rendah terutama dalam 19 bulan pertama bila pada masa predialisis sudah
diberikan eritropoetin, makin tinggi hematokrit pada saat dialisis dimulai
makin rendah risiko kematian. Anemia pada GGK sudah mulai terlihat pada
stadium‐III. Menurut data dari NAHNES‐III dalam populasi Amerika,
diketahui bahwa frekuensi anemia meningkat seiring meningkatnya stadium
GGK: 1% pada GGK stadium‐III, 9% pada stadium‐IV, dan 33% pada laki‐
laki atau 67% pada perempuan setelah mencapai stadium‐V.
2.5 Perangkat Hemodialisa
a. Mesin hemodialisis
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian
lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah
dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer
merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan
serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian
tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya.
6
Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas
akibat adanya banyak tabung kapiler.(8,9,10,16)
Gambar 1. Hemodializer dan hollow fiber
Mesin hemodialisis berperan dalam mencampur cairan dialisat dalam
bentuk konsentrat dengan air bersih olahan sehingga menghasilkan cairan
dialisat yang mengandung solut dengan kadar yang sama dengan kadar solut
tersebut dalam plasma darah normal. Cairan dialisat ini kemudian dialirkan
oleh mesin dengan kecepatan standar 500 mL/menit ke dalam dialiser. Pada
mesin yang baru sekarang, kecepatan aliran dialisat dapat diatur sesuai
kebutuhan, misalnya bila mesin dipakai untuk metode dialisis SLED
(Sustained Low Efficiency Daily Dialysis). Mesin hemodialisis juga berperan
dalam mengatur besarnya ultrafiltrasi yang diinginkan selama hemodialisis
berjalan, dengan mengatur tekanan negatif dalam kompartemen dialisat dari 3
dialiser. Peranan mesin hemodialisis lainnya adalah memompa darah dari
pasien ke dialiser dan kembali lagi ke pasien dengan kecepatan yang dapat
diatur sesuai kebutuhan. Kecepatan aliran darah yang dianjurkan adalah antara
250‐400 mL/menit.
b. Membran dialiser
Membran dialiser merupakan membran yang semi permeabel berupa
membran yang tidak membatasi pergerakan air dari kompartemen darah
dialiser ke kompartemen dialisat dialiser atau sebaliknya, akan tetapi
membatasi pergerakan solut dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat
atau sebaliknya sesuai besarnya diameter pori membran dialiser. Solut yang
7
lebih besar dari diameter pori tidak bisa melakukan pergerakan diantara kedua
kompertemen tersebut.
Berdasarkan pergerakan solut, membran dialiser diklasifikasikan dalam
low atau high‐flux dan low atau high‐efficiency. High‐efficiency ditujukan
kepada membran selulose standar dengan luas permukaan membran yang
besar, dan low‐efficiency adalah sebaliknya. High‐flux ditujukan kepada
membran sintetik dengan pori yang besar sehingga memungkinkan solut
berdiameter besar dapat melaluinya, demikian sebaliknya pada low‐flux.
Jenis membran dialiser dapat diklasifikasi juga atas membran terbuat dari
selulose, selulose yang diperkaya, dan membran sintetik. Membran yang
terbuat dari selulose atau disebut cuprophane merupakan membran generasi
pertama. Membran yang terbuat dari selulose diperkaya misalnya selulose‐
asetat atau selulose‐triasetat ditujukan untuk membuat membran tersebut lebih
kompatibel dengan darah. Membran sintetik merupakan membran yang
kompatibel dengan darah dengan pori lebih besar dari membran selulose. Ada
lagi membran yang merupakan gabungan dari selulose dengan sintetik. Luas
permukaan membran juga ada beberapa jenis mulai dari ukuran 0,9 m2 hingga
1,6 m2.
c. Arterio-venosa shunt
Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah
kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu
ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt
(AV-shunt).(10,11)
8
Gambar 2. Sirkuit
d. Air bersih olahan
Air bersih olahan merupakan air tanah yang dipakai untuk mengencerkan
konsentrat cairan dialisat. Air tanah tersebut harus diolah dengan memakai
alat dan bahan tertentu sehingga memenuhi persyaratan untuk dipakai.
Persyaratan yang dibutuhkan adalah sama dengan persyaratan air minum yaitu
persyaratan fisik, mikrobiologi, kimiawi, dan radioaktip. Pengolahan air
sampai bisa digunakan melalui beberapa tahapan yaitu saringan kasar, karbon,
pelunak air, reverse‐osmosis, deioniser, dan saringan ultra (Gambar 2). Fungsi
masing-masing tahapan itu adalah : (1) saringan kasar untuk menahan pasir;
(2) karbon untuk mengeliminasi chloramin yang sangat toksik; (3) pelunak air
atau water softener digunakan untuk mengganti ion‐kalsium dan magnesium
dengan natrium; (4) reverse‐osmosis atau RO digunakan untuk menyaring
kontaminan bakteri, virus, dan endotoksin; (5) deioniser untuk menukar
kation dengan ion‐H dan anion dengan ion‐OH sehingga membentuk air yang
sangat murni; dan (6) saringan‐ultra untuk menyaring bakteri atau virus yang
masih tertinggal.
9
Gambar 3. Bagan tahap pengolahan air untuk hemodialisis mulai dari air
tanah hingga masuk ke dalam bak penampung air siap pakai.
e. Cairan Dialisat
Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses hemodialisa,
terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir
sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan osmotic yang sama
dengan darah. Fungsi cairan dialysis adalah mengeluarkan dan menampung
cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-
zat vital dari tubuh selama dialisa. Cairan dialysis mengandung macam-
macam garam, elektrolit dan atau zat antara lain :
a. NaCl / Sodium Chloride.
b. CaCl2 / Calium Chloride.
c. Mgcl2 / Magnesium Chloride.
d. NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bikarbonat.
e. KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
f. Dextrose.
2.6 Proses Hemodialisa
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa
10
diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke
dalam mesin hemodialisa.
Gambar 4. Proses Hemodialisa
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melaui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, kecairan
dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
a. Difusi
Difusi adalah berpindahnya solut melewati membran semipermeabel dari
kompartemen cairan dengan kadar solut yang tinggi ke dalam kompartemen
cairan dengan kadar solut yang lebih rendah. Dalam hal hemodialisis,
berpindahnya solut dari kompartemen dialisat ke kompartemen darah dan
demikian sebaliknya. Efisiensi gerakan solut ini makin tinggi dengan makin
luasnya permukaan membran semipermeabel tersebut yang disebut dengan
istilah high‐efficient. Besarnya jumlah solut dengan berbagai ukuran bergerak
melalui membran semipermeabel tergantung kepada diameter pori pada
membran. Makin besar diameter pori makin banyak jumlah solut yang dapat
berpindah atau disebut dengan istilah high‐flux. Membran yang terbuat dari
selulose memiliki diameter pori lebih kecil dibandingkan dengan membran
yang sintetik. Kemampuan perpindahan solut ini juga dipengaruhi oleh
cepatnya aliran darah dalam kompartemen darah dan aliran dialisat dalam
11
kompartemen dialisat. Pada proses hemodialisis, arah aliran darah dan arah
aliran cairan dialisat adalah berlawanan. Makin cepat aliran darah maupun
aliran dialisat, perpindahan solut makin lebih efisien.
b. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi adalah berpindahnya air dari kompartemen darah ke
kompartemen dialisat. Mesin hemodialisis mampu menciptakan tekanan
negatif dalam kompartemen dialisat, dialiser tipe hollowfiber, sehingga air
dari kompartemen darah akan bergerak menuju kompartemen dialisat.
Perbedaan tekanan dalam kedua kompartemen tersebut disebut dengan istilah
trans‐membrane pressure (TMP). Makin tinggi TMP, makin besar volume air
yang bergerak ke kompartemen dialisat. Besarnya TMP dapat diatur pada
skala ultrafiltrasi pada mesin hemodialisis. Dengan demikian besarnya volume
air yang akan dikurangi dari tubuh pasien dapat diatur sesuai dengan yang
dinginkan.
c. Konveksi
Konveksi adalah bergeraknya solut dari kompartemen darah ke kompartemen
dialisat dengan mengikuti pergerakan air. Dapat dianalogikan dengan
bergeraknya sampah mengikuti gerakan air sungai.
Gambar 5. Aliran Darah Pada Proses Hemodialisa
12
Sebagai kesimpulan dari ketiga proses ini maka dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Kliren atau bersihan dialiser terhadap toksin uremik terutama dipengaruhi
oleh proses difusi, lalu ditambah oleh proses konveksi. Jenis dan luas
permukaan membran, kecepatan aliran darah dan dialisat berpengaruh pada
kliren.
b. Pergerakan besaran volume air dari kompartemen darah dipengaruhi oleh
tingginya TMP.
Menurut PERNEFRI waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu
dengan QB 200–300 mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari diantara
hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.
Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah
merah rusak dalam proses hemodialisa.
2.7 Adekuasi Hemodialisis
Adekuasi hemodialisis memiliki peran yang sentral atau merupakan tujuan
utama dalam melaksanakan dialisis disemua pusat dialisis. Tanpa memiliki tujuan
seperti ini adalah suatu pekerjaan yang sia‐sia bagi pusat dialisis tersebut.
Tercapainya dialisis yang adekuat sudah tentu menuntut berbagai faktor antara
lain sumber daya manusia yang trampil dan baik, dialisis masih merupakan
pengobatan biaya tinggi, ketersediaan dialiser yang cukup dalam berbagai luas
permukaan membran, pemeriksaan laboratorium yang teratur, dan waktu dialisis
yang cukup yaitu minimal 3 kali seminggu @4 jam. Bila seluruh faktor ini tidak
terpenuhi, tidaklah mungkin bagi pusat dialisis tersebut mengharapkan seluruh
pasiennya mencapai dialisis yang adekuat.
Penilaian adekuasi hemodialisis dapat diukur secara klinis yaitu dengan
melihat gejala‐gejala akibat uremia yang ada pada pasien atau dapat diukur secara
matematik. Kedua pengukuran ini tidak bisa saling berdiri sendiri. Pengukuran
13
dengan melihat gejala dapat memberikan hasil yang keliru karena banyak pasien
sekarang sudah memakai ESA (Erythropoiesis‐stimulating agents) yang dapat
menutupi gejala uremia akibat tidak ada anemia lagi, demikian juga pengukuran
secara matematis tidak dapat memberi kesimpulan yang sempurna. Penilaian
adekuasi hemodialisis sebaiknya menggunakan kedua parameter ini.
a. Parameter Klinis
Gejala uremia yang timbul akibat PGK (Penyakit Ginjal Kronik)
Stadium V merupakan gambaran klinis yang diamati pada pasien yang
menjalani dialisis kronik. Secara ideal seluruh gejala tersebut menghilang
selama program dialisis berlangsung. Bila gejala tersebut masih ada yang
terlihat, ini menunjukkan bahwa dialisis yang dilakukan belum adekuat.
Anemia yang teratasi dengan pemberian ESA dapat menghilangkan sebagian
gejala akibat uremia seperti gangguan kognitif membaik, perasaan lemah dan
sesak napas hilang yang menyebabkan penilaian adekuasi menjadi tersamar.
Gejala uremia yang terlihat pada PGK lanjut antara lain anoreksia,
nausea, muntah, insomnia, kelebihan air, hiperkalemia, asidosis metabolik,
hipertensi, anemia, perikarditis, pruritus, neuropati perifer, gangguan kognitif,
gangguan tulang, penyakit pembuluh darah perifer, kejang, dan koma. Dialisis
disebut adekuat bila seluruh gejala uremia ini dapat dicegah atau dihilangkan.
b. Parameter Matematik
Laporan dari The National Cooperative Dialysis Study (NCDS) tahun
1981 menjelaskan bahwa timed average urea concentration (TACurea) dan
the protein catabolic rate (PCR) merupakan penanda yang penting terhadap
morbiditas dan mortalitas pasien hemodialisis. TACurea = {Td (C1+C2) + Id
(C2+C3)} /2(Td+Id) dimana Td adalah waktu dialisis, C1 adalah BUN pre‐
dialisis pertama, C2 adalah BUN pos‐dialisis pertama, C3 adalah pre‐dialisis
BUN dialisis berikutnya, dan Id adalah interval waktu antara 2 dialisis. TAC
yang rendah pada pasien dialisis dengan gizi yang baik memberikan hasil
yang baik. PCR merupakan penjumlahan urea, protein, dan asam amino dalam
feses dengan dalam dialisat. Pada pasien yang adekuat dialisisnya, PCR
14
(gram/hari) sama dengan asupan protein sehari. PCR yang disebut juga
sebagai protein equivalent of nitrogen appearance (PNA) dipakai untuk
mengkaji asupan protein pasien dialisis. Rumusnya adalah 0,22 + {(0,036 x
peningkatan BUN interdialisis x 24)} / jam interval interdialisis. Bila pasien
masih mengeluarkan urin maka rumus di atas ditambahkan lagi dengan (gram
Urea‐nitrogen urin x 150) / (jam interval interdialisis X berat badan dalam
kg). Satuan dari PCR adalah gram/hari. Target PCR adalah 1‐1,2 gram/hari,
sesuai rekomendasi dari American dan European Hemodialysis Guidelines.
Gotch FA dan Sargent JA pada tahun 1985 mengusulkan pemakaian
Kliren Dialiser terhadap urea dengan rumus Kt/V untuk menilai adekuasi
hemodialisis. K merupakan nilai kliren terhadap urea yang diberikan oleh
pabrik pembuat dialiser, t adalah waktu lamanya dialisis, dan V adalah
volume distribusi urea dalam tubuh yang sama dengan volume total air dalam
tubuh. Secara matematik, Kt/V dapat dihitung dengan rumus: ‐ln (R ‐ 0.008t)
+ [(4 ‐ 3.5R) x (UF ÷ W)]. R adalah rasio BUN posdialisis dan BUN
predialisis, UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter, dan W adalah berat
badan posdialisis.
Cara sederhana lain yang digunakan untuk menilai adekuasi
hemodialisis adalah menghitung apa yang disebut dengan urea reduction ratio
(URR). URR = (1 ‐ [BUN posdialisis ÷ BUN predialisis]). Para pakar lain ada
juga yang memakai apa yang disebut dengan percent reduction in urea (PRU)
yaitu hasil URR dikalikan dengan 100 untuk memperoleh nilai dalam persen.
Menghitung Kt/V dapat juga dilakukan dengan memakai PRU yaitu:
Kt/V = (0.026 x PRU) ‐ 0.460
atau Kt/V = (0.024 x PRU) ‐ 0.276
Pengambilan contoh darah untuk mengukur BUN posdialisis sangat
penting karena akan mempengaruhi hasil. Cara yang banyak dipakai adalah
dengan mengambil sampel darah pada saat detik ke‐15 setelah aliran darah
dilambatkan (Qb 100 ml/menit) pada akhir dialisis. Kerugian cara ini adalah
15
bahwa kadar urea dalam sampel ini bukan merupakan urea yang sudah terbagi
seimbang di dalam maupun di luar sel sehingga menghasilkan perhitungan
melebihi 0,2 kali dari yang sebenarnya. Berdasarkan penelitian yang
kemudian dilakukan, sampel darah yang diambil pada menit ke‐30 posdialisis
(equilibrated postdialysis BUN) akan memberikan hasil yang akurat.
Target Kt/V yang dianjurkan oleh K/DOQI tahun 2006 (single‐pool
Kt/V) pada pasien hemodialisis 3 kali seminggu, 4 jam per sesi, dengan sisa
fungsi ginjal yang minimal (GFR < 2 mL/menit) adalah 1,4 atau PRU 70%
dan paling sedikit 1,2 atau PRU 65%. Pengukuran Kt/V dianjurkan dilakukan
setiap satu bulan. Bila resep yang diberikan untuk mendapatkan dialisis yang
adekuat tidak sama dengan hasil penghitungan adekuasi hemodialisis setelah
dialisis dilakukan, maka perlu dilakukan evaluasi untuk mendapatkan
penyebab ketidak berhasilan tersebut. KDOQI 2000, menganjurkan langkah
yang harus ditempuh antara lain:(12)
a. Integritas fistula
b. Evaluasi lama waktu dialisis apakah sesuai dengan yang direncanakan.
c. Teknik pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan BUN
d. Mesin dialisis tidak bekerja sesuai dengan yang diharapkan misalnya
kalibrasi mesin tidak baik, Qb yang rendah.
e. Adanya episode hipotensi pada pasien sehingga waktu lama dialisis tak
sesuai rencana.
f. Kliren dialiser yang tak sesuai
2.8 Anti Koagulan
Pemberian antikoagulan berperan penting dalam proses hemodialisis agar
tidak terjadi bekuan darah pada aparatus hemodialisis. Heparin merupakan
antikoagulan yang paling sering diberikan. Dosis heparin yang diberikan secara
ideal dimonitor dengan pemeriksaan APTT. APTT diharap sebesar 2 kali APTT
kontrol. Dalam prakteknya, APTT jarang diperiksa kecuali pada kasus dengan
16
potensial berdarah atau riwayat perdarahan pada hemodialisis sebelumnya.
Protokol yang biasa dilakukan pada hampir seluruh unit dialisis adalah:
a. Antikoagulan standar.
Diberikan bolus heparin 2500 unit pada awal hemodialisis lalu
dilanjutkan dengan pemberian 1000 unit per jam secara kontinyu selama
hemodialisis berjalan.
b. Antikoagulan pada resiko perdarahan
(a) Hemodialisis tanpa heparin
Biasanya dilakukan pada pasien dengan resiko perdarahan yang tinggi,
misalnya pasca operasi besar, ada perdarahan saluran cerna. Sebelum
hemodialisis dilakukan, dialiser dan pipa arteri maupun vena dibilas
dengan larutan heparin 5000 unit dalam 1 liter NaCl 0,9%. Setelah
pembilasan selesai, hemodialisis dilakukan, lalu setiap setengah jam pipa
arteri dibilas dengan 30 mL NaCl 0,9% selama proses hemodialisis
berjalan dengan kecepatan aliran darah sebesar 250‐500 mL per menit.
Dengan meningkatkan ultrafiltrasi, air bilasan tadi dikeluarkan kembali.
(b) Heparin Dosis Minimal
Sama dengan tanpa heparin, rejimen ini juga dilakukan atas indikasi
yang sama. Bolus heparin 500 unit lalu diberikan secara kontinyu 500 unit
dalam 1 jam hingga proses hemodialisis berjalan. Telah dibuktikan bahwa
cara ini lebih baik dibanding dengan heparinisasi regional dengan
protamin.
(c) Regional heparinisasi
Rejimen ini memakai protamin diberikan pada pipa vena dialiser untuk
menetralkan heparin.
(d) Heparin berat molekul rendah
Heparin jenis ini dalam berbagai penelitian maupun metaanalisis
ternyata tidak lebih baik dari heparin konvensional dalam hal mencegah
perdarahan maupun trombositopenia akibat heparin.
17
2.9 Penatalaksanaan Hemodialisa
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75% (gagal ginjal
terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal
yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang
dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa
tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi
hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal
ginjal.(2,9)
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu
mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini
akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin.
Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai
gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein
akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala.(9)
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal
jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga
merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan
hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun
biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan
protein, natrium, kalium dan cairan. (9)
2.10 Komplikasi
18
Komplikasi dari renal replacement theraphy
complication Hemodialisis
cardiovascular Air embolism
Angina
Arrytmia
Cardiac tamponade
Hypotension*
Infection Bacterimia
Colonization of temporary central venous cateters
Endocarditis
Meningitis
Osteomyelitis
Sepsis
Vascular access celulitis or absess
Mecahnical Obstruksi pada arterivena, terbentuk fistul trombosis
atau infeksi
Stenosis atau trombosis pada vena subklavia atau
superior vena cava dan intern vena jugular
Metabolic Hipoglikemi pada orang diabetik yang memakai insulin
Hipokalemi
Hiponatremi dan hipernatremi
Pulmonary Dispnea sampai reaksi anafilasis oleh membran
hemodialisa
Hipoksia
Miscellaneous Deposit amiloid
Hemorragic cateter
Demam yang disebabkan oleh bakterimia, pirogen, atau
19
panas dialysate
Perdarahan (GI, Intracranial, retroperitonel, intraocular)
Insomnia
Pruritus
Keram otot
Restlessness
kejang
1. KoKomplikasi yang sering terjadi selama Hemodialisa berlangsung
adalah:
a. Hipotensi : 20-30%
b. Crams : 5-20%
c. Mual / muntah : 5-15%
d. Sakit kepala : 5%
e. Chest pain : 2-5%
f. Back pain : 2-5%
g. Gatal-gatal : 5%
h. Panas : <1%
2. Komplikasi yang jarang terjadi tetapi menimbulkan efek yang serius
adalah:
a. Sindrom disekuilibrium, reaksi hipersensitivitas, aritmia, cardiac
tamponade, hemolisis, reaksi dialisis, perdarahan intrakranial, emboli
udara.
b. Netropenia dan aktivasi komplemen karena dialisis
c. Hipoksemia
3. Komplikasi jangka panjang
a. Resiko cardiovaskular meningkat
b. Osteodistrofi renal
20
c. Neuropati Uremik
d. Amiloidosis
e. Aquired cystic disease
f. Kegagalan akses
BAB 3. SIMPULAN
Hemodialisa merupakan pengganti terapi faal ginjal dengan tujuan untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air
dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan dialisat
melalui selaput semipermeabel yang bertindak sebaagai ginjal buatan. Tujuan dari
hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan
ketubuh pasien. Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan
mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyebabkan
penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi
hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan tampak dari
gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
2. Wijaya, dkk. 2010. Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement
Therapy (RRT).
http://www.infodokterku.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=68:terapi-pengganti-ginjal-atau-
renal-replacement-therapy-rrt&catid=29:penyakit-tidak-
menular&Itemid=18. [1 November 2015]
3. Daugridas, JT. 2000. Cronic Hemodyalisis Prescription: A Urea Kinetic
Approach. Daugirdas JT, Ing TS (Eds) Handbook of Dialysis 3dh edition by
Lippincott Williams and Willkins Publisers 2000: 12-47.
4. Rahardjo P., Susalit E., Suhardjono. 2009. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo,
Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 579-580.
5. Xue JL, Ma JZ, Louis TA, Collins AJ. 2010. Forecast of the number of
patients with end-stage renal disease in the United States to the year 2010. J
Am Soc Nephrol 12: 2753-2758.
6. Albert Lasker. 2002. Award for Clinical Medical Research. J Am Soc
Nephrol 13: 3027-3030.
7. Kinchen KS, Sadler J, Fink N, et al. 2002. The timing of specialist
evaluation in chronic kidney disease and mortality. Ann Intern Med 137:
479-486.
22
8. Vanholder R, De Smet SR. 1999. Pathophysiologic effects of uremic
retention solutes. J Am Soc Nephrol 10: 1815-1823.
9. Jonathan Himmelfarb, MD. 2005. Hemodialysis Complications. American
Journal of Kidney Disease. Vol. 45 (6): pp 1125-1131.
10. Ganong, W. F. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta:
EGC.
11. Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC.
12. Havens, L. & Terra, R.P. 2005. Hemodialysis. http://www.kidneyatlas.org.
[1 November 2015].
13. NKF. 2006. Hemodialysis. http://www.kidneyatlas.org. [1 November 2015].
14. PERNEFRI. 2003. Konsensus Dialisis Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–
Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI-RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo.
15. Price, S.A. & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 4. Jakarta: EGC.
16. Rose, B. D. & Post, T.W. 2006. Hemodialysis: Patient Information.
http://www.patients.uptodate.com. [1 November 2015].
17. Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L.,
Jameson, J.L., et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th
ed. New York: The McGraw-Hill Companies.
23