REFERAT Enuresis vs Inkontinen Urin
-
Upload
leliana-saleh -
Category
Documents
-
view
29 -
download
3
Transcript of REFERAT Enuresis vs Inkontinen Urin
BAB 1
PENDAHULUAN
Secara umum gangguan pengeluaran urin yang menyebabkan pakaian atau tempat tidur
basah disebut mengompol. Pada usia sekolah mengompol lebih dari satu kali seminggu sudah
dianggap abnormal. Secara sederhana anak yang mengompol dibagi dalam 2 kelompok yaitu
enuresis dan inkontinensia urin. Enuresis berlangsung melalui proses berkemih yangnormal
(normal voiding) tetapi terjadi pada tempat dan waktu yang tidak tepat yaitu berkemih di tempat
tidur atau menyebabkan pakaian basah, dapat terjadi pada saat tidur malam hari (enuresis
nokturnal), siang hari (enuresis diurnal), ataupun siang dan malam hari. Enuresis dianggap
sebagai akibat maturasi proses berkemih yang terlambat, umumnya tidak ditemukan kelainan
organik yang nyata sebagai penyebab. The International Continence Society (ICS) menyusun
definisi inkontinensia urin yaitu suatu keadaan pengeluaran urin yang involunter yang
mengakibatkan masalah kesehatan dan sosial dan secara obyektif dapat diperagakan. Definisi ini
kurang ideal untuk tujuan epidemologik. Definisi yang lebih sederhana inkontinensia urin yaitu
mengompol yang terjadi tanpa kontrol meskipun si pasien berusaha sekuat mungkin menahannya,
kencing menetes dan tidak pernah lampias, terjadi di mana saja dan kapan saja dan sering
menyebabkan rasa malu dan frustasi bagi pasien. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan
enuresis dengan inkontinensia urin karena tidak ada gejala yang spesifik untuk membedakan
keduanya secara jelas. Inkontinensia urin lebih sering bersifat kronik dan progresif. Klasifikasi
dapat disusun berdasarkan etiologi, kelainan pola berkemih maupun berdasarkan tingkat lesi
neurologik. Pendekatan diagnostik yang lebih mutakhir didasarkan pada hasil pemeriksaan
miksiosistoureterografi dan urodinamik yang menggolongkan inkontinensia dalam dua bagian
yaitu inkontinensia fungsional dan organik. Masalah utama yang dihadapi ialah ISK berulang dan
gagal ginjal kronik. Penanganan yang baik dan tepat harus dimulai dari upaya diagnostik yang
akurat. Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal, pemberantasan infeksi berulang dengan
memperhatikan kondisi neurologis yang diderita. Kerjasama antar disiplin seperti urologi,
pediatri dan rehabilitasi medik sangat diperlukan, namun di atas segalanya, perhatian, kesabaran
dan dedikasi untuk menolong pasien sangat penting agar kualitas hidup pasien dapat
ditingkatkan.
1
Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih bagian
bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi
dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Bila salah satu bagian
tersebut mengalami kelainan maka terjadi gangguan berkemih. Secara fisiologis dalam setiap
proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu (1) kapasitas buli-
buli yang adekuat, (2) pengosongan buli-buli yang sempurna, (3) proses pengosongan
berlangsung di bawah kontrol yang baik, (4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak
berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan fungsi ginjal. Bila salah satu atau
beberapa aspek tersebut mengalami kelainan maka dapat timbul gangguan miksi yang disebut
inkontinensia urin.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi dan Fisiologi Normal Kandung Kemih
2.1.1 Anatomi Kandung Kemih
Kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai penyimpanan
urin. Pada laki-laki terletak tepat dibelakang simphisis pubis dan didepan rektum, sedangkan
kandung kemih wanita terletak dibawah uterus dan didepan vagina. Kapasitas normal kandung
kemih sebanyak 400-500 ml.
Struktur kandung kemih berupa:
1. Dinding, dengan empat lapisan, yaitu:
a. Serosa, merupakan lapisan terluar yang berupa perpanjangan lapisan peritoneal
rongga pelvis.
b. Otot detrusor, yaitu lapisan tengah yang tersusun dari berkas-berkas otot polos yang
membentuk sudut agar kontraksi kandung kemih serentak ke segala arah. Otot
detrusor ini terdiri dari serat-serat otot polos, yaitu lapisan dalam berupa longitudinal,
tengah sirkular, dan luar longitudinal. Bagian ini akan teregang bila kandung kemih
terisi dan otot-otot detrusor akan berkontraksi bila terjadi refleks miksi, sehingga isi
kandung kemih dapat keluar.
c. Submukosa, berupa jaringan ikat dibawah mukosa dan berhubungan dengan
muskularis.
d. Mukosa, yaitu lapisan terdalam berupa epitel transisional.
2. Trigonum vesicae merupakan area halus, triangular, dan relatif tidak dapat berkembang yang
terletak secara internal dibagian dasar kandung kemih. Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga
lubang yaitu dua disudut atas berupa muara ureter dan satu pada apex berupa uretra.
a. Disekitar pangkal uretra tersusun otot polos yang disebut sfingter internum berfungsi
mempertahankan tonus uretra agar air kemih tidak keluar.
b. Terdapat susunan otot rangka diafragma urogenitalis disekitar uretra disebut sfingter
eksternum yang berkontraksi terus menerus secara tonus agar tidak terjadi penetesan
air kemih, berelaksasi pada saat miksi baik secara refleks maupun atas pengaruh otak.
3
Gambar 1 Anatomi Kandung Kemih
Pengendalian kandung kemih dan pengeluaran kandung kemih merupakan proses yang sangat
kompleks dan melibatkan persarafan:
1. Medula spinalis
a. Sistem saraf parasimpatis
berasal dari medula spinalis saklralis II-IV yang keluar sebagai pleksus pelvikus dan
pleksus sakralis dan menuju kandung kemih sebagai N. pudendus. Perangsangan sistem
ini akan menyebabkan kontraksi detrusor dan sedikit dilatasi sfingter internum kandung
kemih.
b. Sistem saraf simpatis
Berasal dari medula spinalis torakal XI – lumbal II, keluar melalui pleksus hipogastrik
menuju kandung kemih. terdiri darireseptor alfa dan beta.
Reseptor alfa terutama terletak dibagian leher kandung kemih otot polos disekitar pangkal
uretra, perangsangan reseptor ini akan menyebabkan kontraksi bagian bawah kandung
kemih, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih. inhibisi reseptor alfa
menyebabkan relaksasi leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra sehingga terjadi
miksi.
Reseptor beta terutama terletak di bagian korpus kandung kemih. perangsanagan reseptor
ini akan mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor, sehingga terjadi penampungan
kandung kemih dan inhibisi akan menyebabkan kontraksi otot detrusor dan peningkatan
tekanan di dalam kandung kemih, diikuti dengan pengosongan kandung kemih.
4
Gambar 1. Sistem persarafan kandung kemih
2. Pengaturan miksi oleh otak
Di otak terdapat 3 pusat yang dapat mengendalikan miksi:
1. Menimbulkan miksi terletak di pons anterior dan hipotalamus posterior
2. Pusat inhibisi terletak di otak tengah.
Cara pusat di otak mengatur miksi:
1. Pusat inhibisi menghambat refleks miksi dalam beberapa saat sampai kita ingin miksi.
5
2. Pusat inhibisi akan menghambat miksi walaupun telah timbul refleks miksi dengan jalan
kontraksi sfingter eksternum kandung kemih, sampai ada tempat dan waktu yang tepat
untuk miksi.
3. Bila tiba waktunya untuk miksi, maka pusat-pusat ini akan:
mempermudah pusat miksi di medula spinalis sakralis untuk memulai miksi.
menghambat kontraksi otot sfingter eksternm kandung kemih, sehingga terjadi
pengluaran air kemih.
3. Siklus miksi
Terdiri drai 2 fase:
a. Fase penampungan
Tergantung pada kapasitas kandung kemih yang adekuat, kemampuan memperbesar
volume kandung kemih dengan tekanan yang tetap rendah dan elastisitas kandung kemih.
b. Fase ekspulsi
Mampu mengawali kontraksi otot detrusor secara lengkap sehingga terjadi
peningkatan yang cepat dan progresif.
kemampuan relaksasi sehingga air kemih dapat dikeluarkan.
kemampuan hubungan uterovesika sehingga melindungi saluran kemih bagian atas
dari tekanan tinggi kandung kemih.
2.1.2 Fisiologi Miksi
Miksi atau urinisasi merupakan proses pengosongan kandung kemih. Setelah dibentuk
oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Aliran ini dipengaruhi oleh gaya
tarik bumi, selain itu juga kontraksi peristaltik otot polos dalam dinding ureter. Karena urin
secara terus menerus dibentuk oleh ginjal, kandung kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan
yang cukup.
Mekanisme miksi bergantung pada inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf
volunter. Pada pengeluaran urin dibutuhkan kontraksi aktif otot detrusor, maka:
Bagian otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai sfingter
uretra internal yang diinervasi oleh neuron parasimpatis.
6
Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot perineal transversa
dibawah kendali volunter. Selain itu bagian pubokoksigeus pada otot elevator juga
berkontriksi dalam pembentukan sfingter.
Rata-rata pengeluaran urin adalah ± 1,5 l per hari, walaupun bisa berkurang hingga
kurang dari 1 l per harinya dan meningkat hingga mendekati 20 l per hari. Refleks berkemih
dicetuskan apabila reseptor-reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang.
Kandung kemih orang dewasa dapat menampung sampai 250 atau 450 ml urin sebelum tegangan
di dinding kandung kemih untuk mengaktifkan reseptor regang. Makin besar peregangan
melebihi ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan reseptor. Selain refleks ini dimulai, refleks
ini bersifat regenerasi sendiri.
Refleks berkemih terjadi dengan cara:
Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang
menjalankan melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.
Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi sfingter internal
dan eksternal.
Pada anak-anak, miksi merupakan sebuah refleks lokal spinal dimana pengosongan
kandung kemih dengan pencapaian tekanan kritis. Sedangkan pada dewasa, refleks ini dibawah
kontrol volunter sehingga dapat diinhibisi oleh otak (Thomas dan Stanley, 2007). Selama miksi,
proses yang terjadi berupa:
Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot tersebut
sehingga timbul keinginan untuk miksi.
Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit sehingga
penghambatan uvula menurun dan segmen bagian pertama uretra melebar.
Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih untuk
mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava.
Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna dan dasar
panggul akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi
kembali untuk pengisian urin selanjutnya.
Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian bawah dapat
menyebabkan tidak sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi,
atau gejala-gejala kompleks kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak
dan miksi berulang-ulang dengan atau tanpa inkontinensia urin.
7
Pengisian dan pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit saraf di otak,
medula spinalis, dan ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas otot polos di detrusor dan
uretra. Suprapontin mempengaruhi keadaan “on-off switch” pada saluran kemih bagian bawah
dengan dua cara operasi yaitu penyimpanan dan pengeluaran.
Berkemih dapat dicegah dengan kontraksi sfingter uretra eksterna yang disadari. Namun,
jika kandung kemih terus menerus diisi dan teregang, maka kontrol sudah tidak mampu lagi
mengendalikan. Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai walaupun kandung kemih belum
tergang oleh relaksasi volunter sfingter uretra eksterna dan diafragma pelvis. Penurunan lantai
panggul juga memungkinkan kandung kemih turun, yang secara simultan membuka sfingter
uretra eksterna dan meregangkan kandung kemih. Pengaktifan reseptor-reseptor regang
menyebabkan kandung kemih berkontraksi melalui refleks miksi. Pengosongan kandung kemih
secara volunter dapat dibantu oleh kontruksi dinding abdomen dan diafragma pernafasan yang
meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga memeras kandung kemih untuk mengosongkan
isinya.
Jadi, refleks berkemih merupakan sebuah siklus yang lengkap. Terdiri dari:
1. Kenaikan tekanan secara progresif
2. Periode tekanan menetap
3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal
Bila refleks miksi yang terjadi tidak mampu mengosongkan, keadaan terinhibisi selama
beberapa menit hingga 1 jam atau lebih sebelum terjadi refleks berikutnya. Bila kandung kemih
terus menerus diisi, akan terjadi refleks miksi yang semakin sering dan kuat.
2.1.3 Perkembangan Pengendalian Kandung Kemih
Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan kandung kemih tergantung dari:
Kapasitas kandung kemih yang adekuat,
Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih secara sadar untuk memulai dan
mengakhiri miksi.
Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang atau menghambat miksi pada
berbagai tingkat kapasitas kandung kemih.
Adapun usia perkembangan kandung kemih, yaitu:
8
Neonatus, berkemih terjadi secara spontan dan merupakan refleks medula spinalis. Bila
jumlah urin bertambah, kandung kemih mengembang dan terjadi refleks yang
menimbulkan kontraksi otot detrusor dan relaksasi otot sfingter eksternum kandung
kemih.
Usia 1-2 tahun, kapasitas kandung kemih bertambah serta maturasi lobus frontalis dan
parietalis otak. Sehingga anak sudah menyadari bila kandung kemih penuh tapi belum
mampu mengendalikan miksi.
Usia 2,5 tahun, anak sudah tahu cara dan guna miksi sehingga anak sudah dapat
mengendalikan kandung kemih sesuai tempat dan waktu miksi.
Usia 3 tahun, anak akan pergi ke kamar mandi bila ingin miksi dan sudah dapat menahan
miksi dalam waktu yang cukup lama, terutama saat bermain dan biasanya akan miksi
sekitar 8-14 kali / hari. Pada usia ini usia ini anak sudah dapat mengendalikan miksi pada
siang hari, pada malam hari 75% anak usia 3,5 tahun sudah tidak mengalami nocturnal
enuresis (mengompol).
Usia 4,5 tahun, anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih secara lengkap.
Usia 5 tahun, anak akan miksi sebanyak 5-8 kali / hari dan akan menolak miksi bukan
ditempatnya.
Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks kandung kemih juga menyebabkan rasa
secara sadar bahwa kandung kemih penuh juga menyebabkan timbulnya keinginan untuk miksi.
Persepsi kandung kemih yang penuh muncul sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas,
sehingga memberi peringatan bahwa proses miksi akan dimulai. Akibatnya, kontrol volunter
terhadap miksi yang dipelajari selama toilet training pada masa anak-anak dini dapat
mengalahkan refleks miksi. Sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan
orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung kemih pertama kali mencapai
titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor regang. Apabila saat miksi tidak tepat sementara
refleks miksi sudah dimulai, pengosongan kandung kemih dapat secara sengaja dicegah dengan
mengencangkan sfingter eksterna dan diafragmapelvis sehingga impuls eksitatoris volunter yang
berasal dari korteks serebrum mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor regang ke
neuron-neuron motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan urin tidak
keluar.
9
2.1.4 Teori perkembangan anak
Dalam konsep jalur perkembangan menyatakan bahwa seorang anak dapat melewati tahap
suksesi. Teori-teori psikoanalitik mengungkapkan bahwa gagasan tentang tahapan-tahapan itu
secara kualitatif mamiliki jangka waktu yang berbeda dalam perkembangan emosi dan kesadaran
(Needlman, 1999). Adapun teori-teori perkembangan tersebut:
1. Psikoseksual
Teori ini diungkapkan oleh Sigmund Freud yang menggambarkan lima stadium
perkembangan anak, yaitu:
Fase oral (sejak lahir sampai 1 tahun), tempat pemusatan utama adalah mulut, bibir,
dan lidah sehingga kegiatan yang paling disukai anak pada usaha ini adalah menggigit
dan menghisap.
Fase anal (1-3 tahun), tempat pemusatan adalah anus dan daerah sekitarnya. Pada fase
inilah anak seharusnya mendapatkan kontrol sfinkter volunter (toilet training).
Fase falik oedipal (3-5 tahun), genital merupakan pusat perhatian, stimulant, dan
kegembiraan. Pada masa ini anak senang memegang bagian genital dan adanya
kecemasan kastrasi (takut kehilangan atau cedera genital). Selain itu pada fase ini juga
terdapat Oedipus kompleks, dimana anak menyukai orang tua yang berlawanan jenis
dengannya.
Fase laten (5-6 tahun sampai 11-12 tahun), pada fase ini keadaan dorongan seksual
relatif dan dengan resolusi kompleks oedipal. Dorongan seksual relative dialihkan
dengan tujuan yang lebih dapat diterima secara social, seperti sekolah atau olahraga.
Fase genital (11 - 12 tahun), fase ini merupakan stadium akhir perkembangan
psikoseksual, dimulai dengan pubertas dan kapasitas biologis untuk orgasme tapi
melibatkan kemampuan keintiman yang sesungguhnya.
2. Psikososial
Teori ini diungkapkan oleh Erik Erikson, dengan pembagian:
Kepercayaan dasar (sensorik oral), fase ini terjadi pada kisaran usia 0-1 tahun, dimana
kepercayaan dilanjutkan dengan mudahnya makan, kedalaman tidur, dan relaksasi
usus.
Otonomi lawan rasa malu-malu dan ragu-ragu (muscular-anal), fase ini terjadi pada
usia 1-3 tahun dimana secara biologis termasuk berjalan, belajar, makan sendiri, dan
10
berbicara. Selain itu terdapat rasa malu saat menyadari diri sendiri karena pemaparan
negatif dan keraguan jika orang tua menyisihkan anak.
Inisiatif lawan rasa bersalah (motor penggerak genital), fase ini terjadi pada usia 3-5
tahun dimana inisiatif timbul dalam tugas untuk kepentingan aktifitas motorik maupun
intelektual. Pada fase ini juga terdapat rasa bersalah terhadap perenungan tujuan dan
persaingan denga saudara kandung.
Keaktifan lawan rendah diri (laten), fase ini terjadi pada usia 6-12 tahun dimana anak
sibuk membangun, menciptakan, dan menyelesaikan.
Identitas lawan difusi identitas, fase ini terjadi pada usia 11 tahun sampai akhir mas
remaja, dimana terdapat perjuangan untuk mengembangkan identitas ego.
3. Kognitif
Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang membagi:
Fase sensori motor (tahap I-IV), fase ini terjadi dari lahir sampai dengan 2 tahun,
dimana intelegensia terletak terutama pada tindakan dan gerak yang terkoordinasi
dibawah suatu pola perilaku sebagai respon stimulus lingkungan tertentu.
Fase sensori motor (tahap V-VI)
Fase praoperasional (konkret), fase ini terjadi pada usia 7-11 tahun dimana timbul
pikiran logika mampu mengambil sudut pandang orang lain serta mengingat angka,
panjang, berat, dan volume.
Fase operasional nyata
Fase operasi formal (abstrak), fase ini terjadi mulai usia 11 tahun sampai akhir usia
remaja, dimana sudah mampu berfikir tentang pikiran seseorang, menggunakan dua
sistem referensi secara bersamaan dan untuk memegang konsep kemungkinan.
Sedangkan menurut Anna Freud, aspek pertumbuhan dan perkembangan normal pada
anak-anak berupa ketergantungan menuju kemandirian, mengompol menuju kontrol kandung
kemih, dan keterikatan dalam diri sendiri menuju persahabatan. Aspek-aspek ini mencerminkan
pergerakan dari masa bayi yang juga imatur menuju kompleksitas anak yang telah berkembang.`
II. Enuresis
2.2.1 Definisi
Enuresis adalah pengeluaran air kemih yang tidak disadari pada seseorang yang pada saat
itu pengendalian kandung kemih diharapkan sudah tercapai. Kemampuan mengendalikan
11
kandung kemih biasanya tercapai pada umur 1-5 tahun. Seorang anak baru dapat dikatakan
enuresis fungsional, pengeluaran urin involunter pada waktu siang atau malam hari atau bila
enuresis menetap dan paling sedikit satu kali perminggu pada umur diatas 5 tahun pada
perempuan dan antara 6-10 tahun pada anak laki-laki, tanpa adanya kelainan fisik atau penyakit
kronik.
Diagnosa enuresis fungsional menurut DSM-IV (American Psychiatric assosiation, 1994)
dapat ditegakkan, apabila:
1. Buang air kecil yang berulang pada siang dan malam hari di tempat tidur atau pakaian.
2. Sebagian besar tidak disengaja, tetapi kadang-kadang disengaja. sekurang-kurangnya
terjadi 2 kali dalam satu minggu selama ≥ 3 bulan, atau harus menyebabkan kesulitan
signifikan di bidang sosial, akademik, atau fungsi penting lainnya.
3. Anak tersebut harus mencapai usia dimana berkemih secara normal seharusnya telah
tercapai, yaitu usia kronologis paling sedikit 5 tahun. sedangkan pada anak dengan
keterlambatan perkembangan, usia mental paling sedikit 5 tahun.
4. Tidak berhubungan dengan efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi kesehatan secara
umum.
2.2.2 Klasifikasi
Enuresis dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Enuresis nokturnal (seleep wetting) yaitu enuresis pada malam hari menetap lebih dari
dua kali dalam satu bulan pada anak berumur lebih dari 5 tahun, lebih banyak terjadi pada
laki-laki dengan insiden 80%.
2. Enuresis diurnal yaitu enuresis yang terjadi pada siang hari, lebih sering terjadi pada
perempuan dengan angka kejadian 20%.
Menurut awal terjadinya dibedakan menjadi:
1. Enuresis primer bila enuresis terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada periode normal
dalam pengontrolan buang air kemih.
2. Enuresis sekunder terjadi setelah 6 bulan dari periode setelah kontrol pengosongan air
kemih sudah normal.
2.2.3 Epidemiologi
12
Penelitian epidemiologi di luar negri menunjukkan pada usia 6-7 tahun 80% anak secara
penuh dapat mengendalikan kandung kemihnya, sedangkan 20% lagi mengalami enuresis
nokturnal, enuresis diurnal, atau keduanya. Insiden enuresis semakin menurun sesuai dengan
bertambahnya usia, sehingga pada usia 14 tahun insiden enuresis hanya 2-3%.
sedangkan menurut survei di Jakarta pada tahun 1986 menyebutkan bahwa prevalensi
enuresis pada anak laki-laki sekitar 2,83% dan pada perempuan 2,97%; 82,4% adalah enuresis
nokturnal dan 17,6% merupakan enuresis diurnal; 96,7% bersifat primer dan 3,3% merupakan
enuresis sekunder.
Enuresis lebih sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari:
1. Golongan sosio-ekonomi rendah
2. Anak-anak yang pernah menderita hambatan sosial atau psikologis dalam periode
perkembangan antara umur 2-4 tahun pertama kehidupan
3. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah
4. Toilet training yang tidak adekuat
5. Anak pertama
2.2.4 Etiologi
1. Keterlambatan pematangan neurofisiologi: berhubungan dengan faktor genetik, 77% pada
kedua orang tua, 44% salah satu orang tua, 15% bila tidak ada riwayat keluarga.
2. Keterlambatan perkembangan: bukan karena gangguan pematangan sistem neurofisiologi,
tetapi kurangnya latihan pola buang aikr kemih.
3. Hormon antidiuretik: sekresi hormon ADH menyebabkan volume urine tinggi pada
malam hari.
4. Faktor urodinamik: kapasitas kandung kemih yang kecil dan tidak adanya penghambatan
kontraksi serta tidak adanya koordinasi antara otot detrusor dan otot sfingter.
5. Faktor tidur yang dalam
6. Faktor psikologi: enuresis primer dapat disebabkan oleh adaya faktor stres selama periode
perkembangan antara umur 2-4 tahun.
7. Faktor organik:
a. Saluran genitourinaria: hampir 99% enuresis nokturnal tidak mempunyai kelainan
anatomi saluran kemih, tetapi ditemukan gangguan urodinamik seperti kapasitas
13
kandung kemih yang kurang dan tidak sinergisnya kerja otot detrusor dengan otot
sfingter.
b. Infeksi, 45% perempuan dengan bakteriuri timbul enuresis, 17% perempuan tanpa
bakteriuri menjadi enuresis, 15% dengan bakteriuri asimptomatis mengalami
enuresis.
2.2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Menentukan tipe dan beratnya enuresis dengan menanyakan sejak kapan terjadinya
mengompol, waktu terjadinya mengompol, riwayat infeksi saluran kemih, keadaan
psikososial anak, keadaan keluarga, riwayat enuresis pada orang tua.
2. Pemeriksaan Fisik
Tidak ditemukan kelainan, tetap cari apakah terdapat kelainan di medula spinalis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan untuk mengevaluasi enuresis, pemeriksaan seperti analisis air kemih, berat jenis,
biakan urin, ureum, kreatinin, dll. harus dibedakan apakah ini karena infeksi saluran kemih,
ureter ektopik, gangguan fungsi kandung kemih, atau kelainan anatomi kandung kemih.
2.2.6 Diagnosis banding
a. ISK, dapat menyebabkan enuresis sekunder. biasanya terjadi urgensi enuresis, sering
miksi, dan disuri. Urinalisis dan biakan kemih dapat ditegakkan ada tidaknya infeksi
saluran kemih.
b. Kelainan kongenital saluran kemih: ureter ektopik, epispadi, sinus urogenital persisten.
c. Nefropati obstruksi, akibat kerusakan katup uretra posterior. Gejalanya air kemih
menetes, urgensi enuresis, inkontinensia psikogenik. kelainan ini dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan sistografi.
d. Kandung kemih neurogenik, keluhan sama dengan yang diatas, biasanya disertai defek
tulang belakang.
e. Kandung kemih disinergik, menyebabakan daytime incontinence, miksi yang frekuen, dan
infeksi saluran kemih yang berulang.
14
2.7 Penatalakasanaan
Pengobatan biasanya diperlukan apabila enuresis menjadi problem bagi penderita maupun
keluarga dan jarang diperlukan bila anak belum mencapai umur 5 atau 6 tahun. pada anak-anak
yang lebih muda, engobatan biasanya hanya berupa mendidik keluarga mengenai hal-hal yang
dapat menyebabkan enuresis dan menunjukkan program latihan-latihan yang benar.
Non Farmakologik
1. Latihan menahan miksi, tujuannya memperbesar kapasitas kandung kemih, agar waktu antara
miksi menjadi lebih lama sehingga dapat mengurangi enuresis. Dengan menahan miksi secara
sadar akan menghambat kontraksi kandung kemih dan memperbesar kapasitas kandung
kemih. Latihan ini memerlukan waktu yang lama, angka kesembuhannya lebih tinggi.
2. Memberikan motivasi. orang tua dan anak diberikan penjelasan mengenai enuresis. setelah
orang tua dan anaknya mengerti tentang masalah enuresis seperti mengurangi minum pada
malam hari, membangunkan anak pada malam hari untuk mikasi di kamar mandi, dan
memberika pujian atau penghargaan bila anaknya tidak mengompol, ternyata banyak yang
berhasil mengurangi dan menghentikan enuresis.
3. Mengubah kebiasaan, dengan menggunakan alarm bell and pad, dengan cara beberapa tetes
pertama air kemih akan menyebabkan alarm bunyi dan anak terbangun dari tidurnya untuk
menyelesaikan miksinya di kamar mandi. mengubah pola tidur dan memasang alarmnya
sendiri merupakan pengobatan lebih efektif.
Farmakologik
1. Anti depresan
Misalnya imipramin, penggunaannya menunjukkan 40-60% berhenti enuresis dan
frekuensi ngompolnya berkurang. efeknya belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga
sebagai anti depresan, anti kolinergik, dan mengubah mekanisme tidur. yang berperan dalam
pengobatan enuresis adalah efek anti kolinergik dan antispasmodik yang mnyerupai efek
simpatomimetik terhadap kandung kemih.
Dosisnya 1-1,5 mg/kgBB, diberikan 1-2 jam sebelum tidur. pengobatan ini
memperlihatkan hasil 1-2 minggu. jika dalam waktu tersebut belum memprlihatkan hasil,
pengobatan diteruskan sampai setidak-tidaknya sampai 6 bulan dengan mengurangi dosis
15
setiap 3-4 minggu. Efek samping jarang terjadi. gejala efek samping berupa insomnia,
kecemasan, perubahan kepribadian.
2. Desmopresin
Merupakan sintetis vasopresin dan analog dengan argininevasopresin. diberikan intranasal
waktu tidur. tiapsemprot mengandung 10 mg desmopresin. obat ini bekerja dengan
mengurangi produksi urin, sehingga efek sampingnya adalah hiponatremi akibat retensi air,
obat ini hanya dipakai untuk anak-anak yang mengalami stres dan gagal dengan cara
pengobatan lain.
3. Antikolonergik
obat ini berhubungan dengan enuresis yang diakibatkan adanya proses aninhibisi kontraksi
dari kandung kemih. dosis anjuran untuk anak-anak diatas 6 tahun adalah 5 mg 2-3 kali
sehari. Efek samping berupa mulut kering, muka merah, atau kadang-kadang hiperksia, pada
dosis lebih menimbulkan gangguan penglihatan.
2.2.8 Prognosis
Enuresis yang tidak diobati akan sembuh spontan antara 10-20% pertahun. oleh karena
enuresis sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses maturasi yang dapat
sembuh spontan dengan bertambh nya umur, maka sebaiknya jangan cepat-cepat memberi obat-
obatan. sebaiknya upayakan dulu untuk memotivasi dengan memberi pujian, penghargaan setiap
tidak ngompol.
III. Inkontinensia Urin
2.3.1 Definisi
The International Continence Society (ICS) menyusun definisi inkontinensia urin yaitu
suatu keadaan pengeluaran urin yang involunter yang mengakibatkan masalah kesehatan dan
sosial dan secara obyektif dapat diperagakan. Definisi ini kurang ideal untuk tujuan
epidemologik. Definisi yang lebih sederhana inkontinensia urin yaitu mengompol yang terjadi
tanpa kontrol meskipun si pasien berusaha sekuat mungkin menahannya, kencing menetes dan
tidak pernah lampias, terjadi di mana saja dan kapan saja dan sering menyebabkan rasa malu dan
frustasi bagi pasien. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan enuresis dengan inkontinensia
urin karena tidak ada gejala yang spesifik untuk membedakan keduanya secara jelas.
16
2.3.2 Etiologi
Inkontinensia urin dapat bersifat sementara, tetapi lebih sering bersifat kronik dan
progresif. Inkontinensia sementara misalnya pada seorang ibu pasca persalinan atau pada sistitis.
Inkontinensia kronik dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan digolongkan sebagai berikut :
Inkontinensia anatomik atau inkontinensia tekanan (stress incontinence)
Inkontinensia desakan (urge incontinence)
Inkontinensia neuropati/neurogenik
Inkontinensia kongenital
Inkontinensia semu (false = overflow incontinence)
Inkontinensia post trauma atau inkontinensia
iatrogenik
Inkontinensia fistula
2.2.3 Klasifikasi
Selain berdasarkan etiologi, inkontinensia atau disfungsi vesiko-ureteral dapat pula
digolongkan dengan berbagai cara antara lain berdasarkan kelainan pola berkemih, misalnya buli-
buli otonom, berdasarkan tingkat lesi neurologik misalnya tipe upper motor neuron dan lower
motor neuron atau hanya berdasarkan lesi perifer yang timbul (buli-buli hipertonik atau atonik)
dan sebagainya. Namun klasifikasi seperti tersebut di atas kurang bermanfaat secara klinis
maupun penanganannya. Pendekatan yang lebih mutakhir didasarkan pada hasil pemeriksaan
miksio-sisto uretrografi (MSU) dan urodinamik,3,9 yang menggolongkan inkontinensia dalam 2
bagian yaitu inkontinensia fungsional dan organik. Namun ada juga kepustakaan yang langsung
membagi menjadi 3 kelompok yaitu disfungsi buli-buli – sfingter neuropati, disfungsi non
neuropati dan inkontinensia struktural akibat kelainan anatomik.10 Berbagai bentuk klinik
inkontinensia fungsiona atau dikenal pula sebagai non neuropathic bladdersphincter dysfunction
antara lain ialah:
Inkontinensia desakan (urge syndrome and urge incontinence). Inkontinensia timbul akibat
kontraksi detrusor yang tidak dapat dihambat pada fase pengisian buli-buli atau pada saat
yang bersamaan dilawan oleh kontraksi otot-otot dasar panggul secara volunter (disebut hold
manoeuvres) untuk mencegah atau mengurangi terjadinya mengompol, namun biasanya
masih terjadi juga pengeluaran sedikit urin. Hold manoeuvres dapat juga dilakukan dengan
posisi jongkok (squatting). Sindrom urge sering disertai gejala konstipasi dengan feses yang
17
mengeras dan kadang-kadang sulit dibedakan dengan enkopresis yang timbul pada enuresis
diurnal. Sindrom urge perlu dipikirkan pada kasus refluks-vesiko-ureter (RVU) dengan
infeksi saluran kemih (ISK) berulang. Sindrom urge atau inkontinensia desakan dapat
dicetuskan oleh peninggian tekanan intra abdomen misalnya pada saat melompat atau bila
tertawa. Salah satu contoh ialah Giggle incontinence yang timbul setelah tertawa meskipun
buli-buli belum terisi penuh. Presentasi klinik yang agak aneh ini sulit disembuhkan dan
biasanya anak yang menderita sindrom ini menghindari ketawa agar tidak mengompol.
Staccato voiding3 atau dysfunctional voiding. Kelainan ini disebut juga dyssynergic voiding,
ditandai dengan berkemih yang tiba-tiba berhenti secara periodik akibat kontraksi otot-otot
dasar panggul secara ritmik. Kelainan ini analog dengan dissinergia detrusor sfingter pada
disfungsi bulibuli neurogenik.
Fractionated and incomplete voiding. Kelainan ini timbul akibat kurangnya aktivitas otot
detrusor. Pancaran urin sangat iregular, pasien sering mengedan untuk memperlancar aliran
urin. Biasanya kapasitas buli-buli menjadi besar dan kencing tidak lampias.
Lazy bladder syndrome. Sindrom ini merupakan kelanjutan dari fractionated and incomplete
voiding. Akibat jangka lama kurangnya aktivitas otot detrusor menyebabkan buli-buli makin
membesar dan berdilatasi, bahkan akhirnya otot detrusor tidak mampu berkontraksi lagi.
Satu-satunya upaya untuk berkemih hanya mengandalkan tekanan abdomen. Akibatnya
residu urin makin meningkat, infeksi makin sering terjadi. Buli-buli seperti malas
berkontraksi, miksi makin jarang dan akhirnya timbul inkontinensia karena buli-buli sudah
sangat penuh. Penanganan umumnya bersifat konservatif dengan miksi berulang (double atau
tripple micturition).
Sindrom Hinman. Sindrom ini ditandaidengan retensi urin dengan miksi yang tersendatsendat
(intermittent voiding pattern), sama seperti kasus buli-buli neurogenik tetapi tanpa kelainan
anatomik maupun neurologik. Timbul mulai anak belajar toilet training. Sering disertai ISK
berulang, mengompol siang dan malam. Gambaran urodinamik berupa dissinergia detrusor
sfingter. Etiologi belum diketahui dan diduga disebabkan kombinasi berbagai faktor dan
peranan faktor psikologik cukup dominan di samping faktor sosial ekonomi dan perbedaan
budaya. Penanganan terutama berupa psikoterapi di samping penanganan terhadap infeksi dan
gangguan fungsi ginjal.
Inkontinensia Organik
18
Penyebab organik disfungsi buli-buli pada anak dapat digolongkan dalam 3 jenis
kelainan, yaitu kelainan bawaan dan berhubungan dengan gangguan neurologis, kelainan
anatomik yang menyebabkan gangguan fungsi saluran kemih bagian bawah serta kelainan yang
didapat seperti yang tertera pada Tabel 1.1
Di antara ketiga jenis kelainan tersebut mielodisplasia merupakan kelainan yang tersering
menyebabkan terjadinya buli-buli neurogenik (neurogenic bladder dysfunction) pada anak, dan di
antara kelainan mielodisplastik tersebut meningomielokel merupakan kasus terbanyak (90%).
Buli-buli Neurogenik
Inkontinensia yang timbul sekunder akibat neuropati disebut buli-buli neurogenik. Buli-
buli neurogenik merupakan kelainan organik yang perlu mendapat perhatian karena kasus inilah
yang paling sering ditemukan sebagai akibat meningomielokel. Konsekuensi utama akibat buli-
19
buli neurogenik ialah kerusakan ginjal dan inkontinensia urin. Kerusakan ginjal berkaitan dengan
peninggian tekanan intra-vesika atau adanya refluks vesiko ureteral sebagai penyerta dan
timbulnya infeksi saluran kemih. Infeksi, refluks dan obstruksi sering ditemukan secara bersama-
sama pada buli-buli neurogenik. Mekanisme timbulnya inkontinensia sangat beragam dan sering
merupakan kelainan ganda. Sedikitnya ada empat pola gambaran urodinamik yang dapat
ditemukan pada buli-buli neurogenik, yaitu:
• Hiperefleksia otot detrusor bersama-sama dengan hiperrefleksia (spastisitas) sfingter
• Arefleksia otot detrusor bersama-sama denganarefleksia sfingter
• Arefleksia otot detrusor bersama-sama dengan hiperrefleksia (spastisitas) sfingter
• Hiperrefleksia otot detrusor bersama-sama dengan arefleksia sfingter
Manifestasi klinik inkontinensia yang timbul akan bervariasi tergantung pada intensitas
dan kombinasi kelainan urodinamik yang ditemukan. Ringkasnya buli-buli bisa normal atau
kapasitasnya kecil, otot detrusor bisa akontraktil atau kontraktil (biasanya hiperrefleks), leher
buli-buli bisa kompeten atau inkompeten. Sedangkan mekanisme sfingter distal dapat normal,
inkompeten atau malah obstruktif (bisa dalam bentuk disinergia detrusor sfingter atau obstruksi
statik sfingter distal).
2.3.4 Prevalensi dan Insidens
Berbagai kepustakaan melaporkan insidens maupun prevalensi berdasarkan keluhan
seperti mengedan, polakisuria, ngompol sehingga diagnosis definitif yang ditegakkan berbeda
satu sama lain.3 Dengan adanya kesimpang-siuran mengenai diagnosis inkontinensia urin
timbullah masalah dalam menilai sensitivitas dan spesifisitas penemuan gejala/tanda klinik secara
epidemiologik. Variasi dalam interpretasi diagnostik akan mempengaruhi prevalensi
inkontinensia pada berbagai penelitian, sehingga prevalensi yang lebih akurat sulit ditentukan.
Meskipun demikian diperkirakan sekitar 20% kasus poliklinik nefrologi anak terdiri dari kasus-
kasus kompleks ISK berulang – inkontinensia fungsional atau disfungsi sfingter non neuropati.
Di antara kelompok buli-buli neurogenik, mielodisplasia merupakan etiologi tersering dan
90% di antaranya berupa mielomeningokel. Data yang dapat dikumpulkan dari kasus rawat jalan
maupun rawat inap di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM selama 11 tahun diperoleh 18 kasus
inkontinensia urin, sebagian di antaranya diagnosis definitif belum dapat ditegakkan,14 namun di
antara kasus yang terdiagnosis lebih spesifik, buli-buli neurogenik akibat spina bifida cukup
20
dominan (9 kasus) seperti yang tertera pada Tabel 2. Semua kasus disertai dengan ISK berulang
dan pada pengamatan ternyata 11 kasus di antaranya sudah mengalami gagal ginjal kronik.
2.3.5 Diagnosis
Penanganan yang baik dan tepat harus dimulai dari upaya diagnostik yang akurat, oleh
sebab itu pendekatan serta tahapan diagnostik harus diikuti dengan seksama agar hasil
penanganan mencapai sasaran yang optimal. Tahapan diagnostik meliputi anamnesis yang teliti
dan pemeriksaan fisis yang seksama. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang seksama
diharapkan sudah dapat dibedakan antara enuresis primer (enuresis nokturna) dengan
inkontinensia urin. Hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain pola berkemih (voiding) dan
mengompol, frekuensi dan volume urin, kebiasaan defekasi serta pola kepribadian. Pemeriksaan
fisis meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi daerah genital dan punggung, refleks
lumbosakral dan pengamatan terhadap pola berkemih.
Tahapan diagnostik yang diajukan oleh van Gool seperti tertera pada Gambar 1 dapat
dipakai sebagai acuan dan sekaligus pemilihan uji diagnostik yang diperlukan.
Tahapan diagnostik berikutnya ialah pemeriksaan penunjang baik laboratorik maupun
pencitraan. Urinalisis, biakan urin, pemeriksaan kimia darah dan uji faal ginjal perlu dilakukan
terhadap semua kasus inkontinensia urin. Ultrasonografi dipakai sebagai pilihan pertama
pencitraan sebagai penyaring, kemudian dapat dilanjutkan dengan miksio-sistouretrografi (MSU).
Nilai pemeriksaan USG dapat ditingkatkan bila sekaligus diperiksa pre dan post miksi serta
kecepatan aliran urin untuk mendeteksi kemungkinan obstruksi sfingter buli-buli.
Pemeriksaan urodinamik terindikasi pada kasus yang diduga buli-buli neurogenik yang
tidak selalu dapat terdiagnosis hanya berdasarkan pemeriksaan fisis-neurologis. Pemeriksaan
urodinamik hanya diperlukan pada kasus-kasus yang belum jelas diagnosisnya dengan
pemeriksaan baku seperti USG dan MSU. Patut diingat bahwa pemeriksaan urodinamik pada
21
anak memerlukan waktu yang banyak dan membutuhkan kesabaran karena demikian banyaknya
instruksi yang harus diberikan dan tahapan pemeriksaannya sangat menyita waktu yang banyak.
Tidak semua rumah sakit memiliki alat urodinamik, namun di rumah sakit yang memiliki
klinik inkontinensia atau klinik spina bifida, seyogyanyalah alat ini tersedia. Namun meskipun
alat tersedia, tidak semua dokter spesialis anak mau memanfaatkannya karena alasan rumitnya
pemeriksaan dan menyita waktu. Meskipun tanpa pemeriksaan urodinamik, sebenarnya sebagian
besar kasus inkontinensia sudah dapat ditangani dengan baik hanya dengan pemeriksaan
konvensional yang ada asal dimanfaatkan secara optimal.
2.3.6 Penatalakasanaan
Penanganan kasus-kasus inkontinensia urin harus memperhatikan berbagai aspek antara
lain sebagai berikut:
• Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal
• Penanganan disfungsi vesiko-uretral ditujukan terhadap kelainan yang ditemukan secara nyata
• Penanganan harus realistis dengan memperhatikan kondisi neurologis yang diderita
• Penanganan adekuat terhadap infeksi yang menyertai disfungsi vesiko-ureteral
Dengan kata lain penanganan adekuat meliputi pengosongan buli-buli dengan baik,
penurunan tekanan intravesika, pencegahan ISK serta penatalaksanaan terhadap inkontinensia
sendiri tercapai, terutama pada anak yang cukup besar.
Rencana penanganan harus melihat kondisi kasus demi kasus. Tahapan permulaan
meliputi identifikasi gangguan fungsi ginjal serta pengobatannya. Bila sudah sempat terjadi
gangguan fungsi ginjal umumnya berkaitan dengan obstruksi aliran urin, baik sebagai akibat
dissinergia detrusor-sfingter atau stasis akibat obstruksi sfingter uretra distal. Bila disertai refluks
vesikoureter maka gangguan fungsi ginjal semakin berat.
Tahap berikutnya ialah evaluasi terhadap inkontinensia apakah perlu segera ditangani atau
tidak. Pada anak berusia 2-3 tahun misalnya penanganan terhadap inkontinensia dapat ditunda
sampai usia di mana inkontinesia yang dialami menimbulkan masalah sosial atau membuat malu
pasiennya. Selanjutnya ialah penilaian apakah kondisi pasien memungkinkan untuk suatu
tindakan, misalnya seorang anak dengan kelainan neurologis dan urologis yang berat, pemakaian
kateter dauer tampaknya lebih rasional dibandingkan dengan usaha lain yang lebih sulit dan lebih
invasif.
22
Tahapan selanjutnya ialah penilaian apakah ada tindakan khusus yang dapat dilakukan.
Dalam hal ini pemeriksaan urodinamik diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih akurat
untuk menentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan.
Untuk ini peranan subspesialistis sangat diperlukan, demikian juga kerja sama antar
disiplin seperti urologi, neurologi, pediatri dan rehabilitasi medik sangat dibutuhkan. Alternatif
tindakan dapat berupa pengobatan medikamentosa seperti pemberian oksibutinin, imipramin dan
sebagainya atau berupa tindakan urologik seperti sistoplastik, pemasangan sfingter artifisial atau
hanya sekedar clean intermittent catheterisation (CIC). Pengeluaran urin secara Crede1 tidak
dianjurkan karena tindakan ini dapat memperburuk refluks yang sudah ada dan dapat pula
memperburuk fungsi ginjal.
Tindakan lain seperti rekonstruksi leher buli-buli, stimulasi elektrik serta obat-obatan
sejenis betanechol, distigmin untuk mengurangi dissinergia detrusorsfingter pada umumnya
kurang bermanfaat. Di atas segalanya, perhatian, kesabaran dan dedikasi untuk menolong pasien
sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup kasus yang ditangani.
23
BAB 3
KESIMPULAN
Secara umum gangguan berkemih yang disebut mengompol dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu enuresis dan inkontinensia urin. Enuresis dianggap sebagai akibat maturasi
proses berkemih yang terlambat, umumnya tidak ditemukan kelainan organik yang nyata sebagai
penyebab, pengeluaran urin tidak disadari oleh penderita. Sedangkan inkontinensia urin
didefinisikan sebagai pengeluaran urin yang terjadi tanpa kontrol (involunter) meskipun si pasien
berusaha sekuat mungkin menahannya (disadari oleh penderita), kencing bisa menetes dan tidak
lampias, terjadi seketika, biasanya ditemukan adanya kelainan organik yang nyata. Tetapi dalam
kenyataan sehari-hari, tidak mudah membedakan enuresis dengan inkontinensia urin.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Saunders Elsavier.
2007.
2. Sekarwana Nanan. Enuresis. UKK Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
2010.
3. Tambunan Taralan . Inkontinensia Urin. UKK Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: 2010.
4. Andersson, K.E., 2008. Neurophysiology and Pharmacology of the Lower Urinary Tract.
In: Tanagho, E.A., McAninch, J.W, ed. Smith’s General Urology Seventeenth Edition,
United States of America: Mc Graw Hill, 426-437.
5. De Gatta, M.F., Garcia, M.J., Acosta, A., 1984. Monitoring of Levels of Imipramine and
Demispamine and Individualization of Dose in Enuretic Children. In: Koff, S.A., 1997.
Non-neuropathic Vesicourethral Dysfunction in Children. In: O’Donnell, B., Koff, S.A.,
ed. Pediatric Urology, Oxford: Butterworth-Heinemann, 217-227.
6. Gauthier, B., Edelmann, C.M., Barnett, H.L., 1982. Management of Enuresis. In:
Gauthier, B., Edelmann, C.M., Barnett, H.L., ed. Nephrology and Urology for the
Pediatrician, United States of America: Little, Brown and Company, 295-298.
7. Gray, M., Moore, K.N., 2009. Primary Enuresis. In: Gray, M., Moore, K.N., ed. Urologic
Disorders Adult and Pediatric Care, United States of America: Mosby Elsevier, 436-443.
8. Guyton, A.C., Hall, J.E., 2008. Pembentukan Urin oleh Ginjal: I. Filtrasi Glomerulus,
Aliran Darah Ginjal, dan Pengaturannya. In: Guyton, A.C., Hall, J.E., ed. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran edisi 11, Jakarta: EGC, 324-343.
9. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A., 2010. Gangguan Eliminasi. In: Wiguna, I, ed.
Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis,
Tanggerang: Binapura Aksara, 799-805.
10. Sherwood, L., 2001. Sistem Kemih. In: Sherwood, L., ed. Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem, Jakarta: EGC, 461-505.
11. Ward, J., Clarke, R., Linden, R., 2007. Pendahuluan Sistem Ginjal. In: Safitri, A.,
Astikawati, R., ed. At a Glance Fisiologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 62-63.
26