Referat Dermatofitosis

27
BAB I PENDAHULUAN Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah penyakit yang menyerang jaringan dengan zat tanduk sedangkan, dermatomikosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit. Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang disebabkan oleh jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan hidup. Terdapat tiga langkah utama terjadinya infeksi dermatofit, yaitu perlekatan dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya respon host. Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan, antara lain iklim yang panas, hygiene perseorangan, sumber penularan, penggunaan obat steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas, kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta respon imun dari pasien. 1 Pengobatan untuk dermatofitosis mengalami kemajuan sejak tahun 1958. Pada tahun 1982 CENTLES dan MARTIN secara terpisah melaporkan, bahwa griseofulvin per oral dapat menyembuhkan dermatofitosis yang ditimbulkan pada binatang percobaan. Sebelum era griseofulvin pengobatan dermatofitosis hanya dilakukan pengobatan topikal disertai penyinaran dengan sinar x untuk merontokkan rambut di bagian yang sakit. Cara penyinaran diberikan dengan dosis tunggal dan memerlukan perhitungan yang cermat. Persiapan melindungi bagian yang sehat juga sangat rumit. Selain itu efek samping penyinaran yang mungkin terjadi dikemudian hari cukup berbahaya. Hal ini 1

Transcript of Referat Dermatofitosis

Page 1: Referat Dermatofitosis

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah

penyakit yang menyerang jaringan dengan zat tanduk sedangkan, dermatomikosis

mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit. Dermatofitosis

adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang disebabkan oleh jamur dan

akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan hidup. Terdapat tiga langkah utama

terjadinya infeksi dermatofit, yaitu perlekatan dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan

di antara sel, serta terbentuknya respon host. Patogenesis dermatofitosis tergantung pada

faktor lingkungan, antara lain iklim yang panas, hygiene perseorangan, sumber penularan,

penggunaan obat steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas, kemampuan invasi

organisme, lokasi infeksi serta respon imun dari pasien. 1

Pengobatan untuk dermatofitosis mengalami kemajuan sejak tahun 1958. Pada tahun

1982 CENTLES dan MARTIN secara terpisah melaporkan, bahwa griseofulvin per oral dapat

menyembuhkan dermatofitosis yang ditimbulkan pada binatang percobaan. Sebelum era

griseofulvin pengobatan dermatofitosis hanya dilakukan pengobatan topikal disertai

penyinaran dengan sinar x untuk merontokkan rambut di bagian yang sakit. Cara penyinaran

diberikan dengan dosis tunggal dan memerlukan perhitungan yang cermat. Persiapan

melindungi bagian yang sehat juga sangat rumit. Selain itu efek samping penyinaran yang

mungkin terjadi dikemudian hari cukup berbahaya. Hal ini dibuktikan oleh ALBERT dan

BURTON. Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan mereka, anak-anak yang telah

mendapat penyinaran dikemudian hari mendapat kemungkinan menderita keganasan 10x

lebih besar daripada anak-anak yang tidak mendapat penyinaran untuk pengobatan tinea

kapitis. 1

1

Page 2: Referat Dermatofitosis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya

stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur

dermatofita. Dermatofitosis bisa juga didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh

kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan dengan keratin seperti stratum korneum

kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan. Dermatofit adalah sekelompok jamur yang

memiliki kemampuan membentuk molekul yang berikatan dengan keratin dan

menggunakannya sebagia sumber nutrisi untuk membentuk kolonisasi. 1,2

B. EPIDEMIOLOGI

Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan factor epidemiologi yang penting, dimana

prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Namun

demikian tinea kapitis karena T.tonsurans lebih sering pada wanita dewasa dibandingkan

laki-laki dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi

karena adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta

status sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya. Jamur penyebab tinea kapitis ditemukan

pada sisir, topi, sarung bantal, mainan anak-anak atau bahkan kursi di gedung teater.2

Perpindahan manusia sangat cepat mempengaruhi penyebaran endemik dari jamur.

Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat

meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit sehingga kejadian infeksi tinea meningkat.

Alas kaki yang tertutup, adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan

kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan onikomikosis.2

C. ETIOLOGI

Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur

ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi immperfecti,

yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton . Selain

sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali,

taksonomis, antigenic, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab

penyakit.2,5,9

Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies

Epidermophyton, 17 spesis Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Pada tahun-tahun

2

Page 3: Referat Dermatofitosis

terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua koloni yang

berlainan “ jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat

dimasukkan ke dalam family Gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan Arthrodema

yang masing-masing dihubungkan dengan genus Microsporum dan Trichophyton.5,6,8,10,11

D. FAKTOR RISIKO

Faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit atau yang memudahkan penyebaran

penyakit :

1. Kebersihan badan yang kurang

2. Penggunaan antibiotika yang berlebihan atau pemakaian sitostatika yang lama

3. Alat yang dipakai manusia, misalnya : topi dari karet yang tidak menyerap

4. Populasi ternak yang banyak

5. Urbanisasi dan migrasi penduduk

Beberapa factor lain yang berkaitan dengan dermatofitosis

Produksi substansi mannan, yaitu suatu komponen glikoprotein dinding sel jamur,

dapat menekan respons inflamasi terutama pada kondisi atopic atau kondisi lain. Mannan

dapat menekan pembentukan limfoblast, menghambat respon proliferasi limfosit terhadap

berbagai rangsangan antigenik, serta menghambat proliferasi keratinosit yang

memperlambat pemulihan epidermis.7

Tidak ada bukti yang menyokong adanya kerentanan secara khusus pada

kelompok golongan darah ABO, dan pada penderita diabetes. Pada kondisi malnutrisi dan

sindroma Chusing mudah mengalami infeksi dermatofit dimungkinkan karena depresi

imunitas seluler.3,5

Kemampuan spesies dermatofit tertentu untuk memproduksi penicillin-like

antibiotics memungkinkan jamur ini memanfaatkan flora normal, Staphylococcus aureus

dapat bertindak sebagai ko-patogen yang meningkatkan derajat keradangan infeksi

dermatofit.5

Gambaran klinis yang bervariasi pada infeksi dermatofit merupakan hasil dari

kombinasi kerusakan jaringan keratin secara langsung oleh karena dermatofit, dan proses

kearadangan akibat respon host.5

Pada bentuk klasik tinea yang annular, tepi lingkaran lesi ditandai oleh adanya

infiltrate limfosit perivascular, karena proses pembersihan jamur dari stratum korneum

akibat surveilans system imun, dan pertumbuhan jamur yang sentrifugal. Kecepatan

epidermal turn over berjalan normal di dalam area cincin, namun pada daerah infeksi bisa

3

Page 4: Referat Dermatofitosis

menjadi lebih dari 4 kali lipat. Pada tinea imbrikata karena T. concentricum, terjadi

semacam gelombang pertumbuhan jamur pada kulit dengan perluasan infeksi yang

sentrifugal.5

E. PATOFISIOLOGI

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :2,3,6,9

a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung

maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah

sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent “carrier”)

b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung

maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat dipakaian,

atau sebagai kontaminan pada rumah/ tempat tidurn hewan, tempat makanan dan

minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan

mencit.

c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi manusia dan

menimbulkan reaksi radang.6

Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi

pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat

pada kulit dan mukosa host, serta kemampuan untuk menembus jaringan host, dan

mampu bertahan dalam lingkungan host., menyesuaikan diri dnegan suhu dan keadaan

biokimia host untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau

radang. Terjadiya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama yaitu : perlekatan pada

keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel serta pembentukan respon host.3,4,6,8,13

Perlekatan dermatofit pada keratinosit

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 5 jam,

dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase

(keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini

di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan

mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan activator plasminogen jaringan) yang

menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi host. Proses ini

dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor

dan korneosit yang dipermuda oleh adanya proses trauma atau lesi pada kulit. Tidak

semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.14

Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel

4

Page 5: Referat Dermatofitosis

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan

melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan proteinase, lipase, dan enzim

musinolitik yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4-6 jam untuk germinasi

dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin.3,6,14

Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk

tersebut jamur pathogen menggunakan beberapa cara :13,14

1. Penyamaran, antara lain dengan membentuk polisakarida yang tebal, memicu

pertumbuhan filament hifa, sehingga β glucan yang terdapat pada dinding sel jamur

tidak terpapar oleh dectin-I dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra

sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.

2. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun host

atau secara aktif mengendalikan respon imun mengarah kepada tipe pertahanan yang

tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan

komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi

makrofag akan terhambat.

3. Penyerangan dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau

memaski pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur

mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat

menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur dan

memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang

digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobic.

Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan

dipengaruhi oleh daya tahan host yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam

melakukan penetrasi pada stratum korneum.5

Respon Imun Host

Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respon cepat

dan imunitas adaptif yang memberikan respon lambat.3,7

Pada kondisi individu dengan system imun yang lemah (immunocompromised),

cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi,

obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan

terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.3

Mekanisme pertahanan non spesifik

Pertahanan non spesifik atau dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari :7

5

Page 6: Referat Dermatofitosis

1. Struktur, keratinisasi, dan protliferasi, epidermis bertindak sebagai barrier terhadap

masuknya dermatofit. Stratum kornem secara kontinyu diperbaui dengan keratinisasi

sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya.

Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk

proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi sel T.

2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis secara makroskopi berupa pustule, secara

mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di

epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif.

3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan α2-

makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit.

Mekanisme pertahanan spesifik

Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik

imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang

berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan

penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi.

Kekurangan CMI dapat menegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi

infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatka antigen

dermatofit dan CMI.7

Antigen dermatofit

Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan spesies

tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit adalah : glikopeptida dan keratinase, di

mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida dari

glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Anitibodi menghambat stimulasi akivitas

proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang dapat memberikan respons DTH yang

kuat. pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu T cell-

mediated DTH. Kekurangan sel T dalam system imun menyebabkan kegagalan dalam

membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada hewan dan

manusia, baik secara alamiah dan eksperimental, berkorelasi dengan pembentukan

respons DTH. Infeksi yang persisten seringkaliterjadi karena lemahnya respon

transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon DTH, dan peningkatan proliferasi kulit

dalam respon DTH. Reaksi DTH di mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan

proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan

dermatofit dari kulit melalui deskuamasi kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan

6

Page 7: Referat Dermatofitosis

ciri pelepasan interferon gamma (IFN-α), ditengarai terlibat dalam pertahanan host

terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.7

Respon T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1)

terlibat dalam memunculkan respon DTH, dan IFN-α dianggap sebagai factor utama

dalam fase efektor dari reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuclear

memproduksi sejumlah besar IFN-α untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini

dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN-α pada lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada

penderita dermatofitosis kronis produksi IFN-α secara nyata sangat rendah yang terjadi

akibat ketidakseimbangan system imun karena respon Th2.6,14,15

Sel Langerhans. Infiltrate radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T

CD4+ dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans

CD1a+. sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap trichophytin, serta

bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan antigan pada respon Th1 pada

lesi infeksi dermatofit.6,15

Imunitas humoral. Host dapat membentuk bermacam antibody terhadap infeksi

dermatofit yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral tidak berperan

menyingkirkan infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibody tertinggi pada penderita

infeksi kronis.5,7

F. KLASIFIKASI

Klasifikasi dermatofita berdasarkan morfologi penyebab2,3,4

1. Genus Mikrosporom menyerang lapisan tanduk kulit dan rambut

2. Genus Epidermofiton, menyerang kulit sampai stratum spinosum dan kuku

3. Genus Trikofiton, menyerang kulit sampai stratum germinativum, kuku dan rambut

Sistematika yang banyak dipakai didasarkan pada lokasi tubuh yang terkena dengan

alasan :2,3,4

1. Satu spesies jamur dapat menyebabkan berbagai macam bentuk klinis.

2. Gambaran klinis yang sama dapat disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita

dengan spesies yang berlainan.

3. Penentuan spesies dengan biakan butuh waktu lama (antara 10 – 14 hari) sedang

pengobatan penderita tidak tergantung pada spesies atau genus penyebabnya

Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi tubuh yang terserang2,3,4

1. Tinea kapitis : menyerang kepala

7

Page 8: Referat Dermatofitosis

2. Tinea barbae ; menyerang jenggot, cambang dan kumis

3. Tinea korporis : menyerang badan

4. Tinea kruris : menyerang inguinal dan anogenital

5. Tinea pedis dan manum : menyerang kaki dan tangan

6. Tinea unguium : menyerang kuku

Tabel 1. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur Penyebab

Nama Penyakit Lokasi infeksi/ciri tertentu Jamur penyebabTinea Kapitis Kulit dan rambut kepala Microsporum (beberapa

spesies)Trichophyton (beberapa spesies kecuali T.consentricum)

Tinea favosa *secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy odor)

T. schoenleiniiT. violaceum (jarang)M. gypseum (jarang)

Tinea barbae Dagu dan jenggot T. mentagrophytes, T.rubrum, T violaceum, T.verrucosum, T.megninii, M.canis

Tinea korporis Pada permukaan kulit yang tidak berambut kecuali telapak tangan, telapak kaki dan bokong

T.rubrum, T.mentagropnytes, M.audouinii, M.canis

Tinea imbrikata *susunan skuama yang konsentris T. concentricumTinea kruris Bokong, genitalia, area pubis, perineal dan

perianalE. floccosumT. rubrumT. mentagrophytes

Tinea pedis Pada kaki T. rubrumT. mentagrophytesE. floccosum

Tinea manuum Tangan T. rubrumE. floccosumT. mentagrophytes

Tinea unguium Kuku jari tangan dan jari kaki T. rubrumT. mentagrophytes

8

Page 9: Referat Dermatofitosis

G. GEJALA KLINIS

Tinea Kapitis 2,4,5

Berdasarkan bentuk yang khas Tinea Kapitis dapat dibedakan atas

1. Bentuk yang tidak meradang

a. Grey patch ringworm

Penyebab : Mikrosporon kanis, M. ypseum

Lesi berupa suatu bercak

pada kepala berambut,

berwarna kelabu. Biasanya

beberapa buah berukuran 2-

4 cm. rambut di daerah

tersebut putus beberapa

millimeter di atas kulit,

tertutup oleh sisik halus

berwarna putih-kelabu sehingga menyebabkan alopesia setempat.

Pada pemeriksaan dengan lampu wood akan tampak ujung-ujung rambut yang

putus tersebut berfluoresensi hijau

Dengan sediaan KOH 10-20% dari rambut yang dicabut terlihat tumpukan

spora diluar batan rambut (infeksi ektotriks).

b. Black dot ringworm

Penyebab : trikofiton tonsurans, trikofiton violaseum. Lesi berupa bercak

kecil-kecil di kepala dengan rambut yang putus tepat dipermukaan kulit pada

muara folikel rambut dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh

spora, sehingga terlihat sebagai bintik-bintik hitam pada bercak tersebut yang

disebut “black dots”.

Pada pemeriksaan dengan lampu wood tidak timbul fluoresensi dan pada

sediaan KOH menunjukkan tumpukan spora di dalam dan di luar batang

rambut (infeksi endotriks dan eksotriks).

2. Bentuk yang meradang 2,4,5

Kerion selsi :

Penyebab : M.kanis, M. gipseum

Terlihat bercak yang kemerahan pada kepala, kadang-kadang eksudat dan tertutup

krusta, menyerupai sarang lebah, rambut biasanya rontok karena rusaknya folikel

9

Page 10: Referat Dermatofitosis

rambut sehingga dapat terjadi alopesia areata yang permanen. Bila reaksi radang

sangat hebat bisa timbul abses dibawah lesi tersebut sehingga kulit tampak menonjol,

basah dan teraba lunak. Keadaan ini disebut kerion yang biasanya sangat gatal dan

nyeri. Bila ditekan tampak pus keluar lewat beberapa fistula.

3. Bentuk Favus

Penyebab T. Schoenleini Magypseum

Timbul bercak yang tertutup oleh krusta yang tebal dan berbentuk seperti cawan

(skutula) serta berbau seperti tikus (mousy odor). Kadang-kadang meluas sampai di

luar daerah rambut, bersifat progresif dan menimbulkan banyak sikatriks. Rambut jadi

tidak bercahaya, namun biasanya tidak terputus. Dengan lampu wood terlihat

fluoresensi hijau sepanjang rambut dan bila dibuat sediaan KOH tampak gambaran

khas yakni adanya gelembung-gelembung udara di dalam batang rambut disertai

miselia dari jamur.

Tinea Barbae 2,4,5

Adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah

janggut, cambang dan kumis.

1. Bentuk superfisial

Lesi eritro-papulo-skuamosa, mula-mua kecil

lalu melebar ke perifer dengan tepi polisiklis.

Bentuk ini sama dengan tinea korporis biasa.

2. Bentuk karion

Prosesnya sama dengan pembentukan kerion pada tinea kapitis. Timbul lesi yang

basah dengan perifolikkulitis dan abses.

3. Bentuk sikosis

Suatu bentuk yang jarang dijumpai, secara klinik tidak dapat dibedakan dengan

folikulitis bakteri yang kronis. Lesi berupa pustule yang folikuler dengan rambut

dipusatnya. Bila menyembuh terlihat krusta, rambut mudah dicabut (pada infeksi

bakteri rambut sulit dicabut).

Tinea Korporis (T. Sirsinata, T. glabrosa) 2,4,5

10

Page 11: Referat Dermatofitosis

Adalah infeksi jamur dermatofita pada klit halus (“glabrous skin”) di daerah muka, leher,

badan, lengan dan pantat. Penyeba oleh T.rubrum, T.mentagrofites

Gejala klinis :

- Bentuk klasik biasanya berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis, bisa didapatkan

vesikel kecil-kecil serta skuama yang halus. Di daerah tengah biasanya mnipis dan

terjadi penyembuhan, sementara bagian tepi aktif dan malin meluas ke perifer.

Kadang-kadang bagian tengahnya tidak menyembuh tetapi tetap meninggi dan

tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar.

- Di daerah wajah kadang-kadang disebut juga T. fasei, sedangkan di daerah paha dan

gluteal menjadi bagian dari T. kruris

- Disamping bentuk yang klasik bisa didapatkan variasi seperti bentuk eksematoid,

herpetiform dan lain-lain.

Tinea Kruris (Eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch)2,4,5

Adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus.

Gejala Klinis :

- Biasanya sebagai lesi yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan. Mula-mula

sebagai bercak eritematosa yang gatal, kemudian dapat meluas sampai skrotum,

pubis, gluteal bahkan sampai ke paha. Tepi lesi sering aktif, berbentuk polisiklis

kadang-kadang dengan banyak vesikel-vesikel kecil.

- Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.

- Dengan sediaan KOH dari kerokan bagian tepi lesi mudah ditemukan elemen-elemen

jamur.

Tinea Pedis dan

Tinea Manum 2,4,5

Dikenal 3 bentuk gejala

klinis yang sering

dijumpai :

1. Intertriginosa

11

Page 12: Referat Dermatofitosis

Manifestasi berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela-sela jari. Tampak

berwarna keputihan yang basah, bisa terjadi fisura yang nyeri bila disentuh. Infeksi

sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan

kulit jari. Pada kaki sering dimulai pada sela jari antara jari IV-V.

2. Vesikuler yang akut

Ditandai dengan terbentuknya vesikel atau bula yang terletak agak dalam di bawah

kulit (deep seated vesiculae). Biasanya akut dan sangat gatal. Lokasi yang sering

adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikelnya pecah.

Infeksi sering memperburuk keadaan ini. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel atau

bula untuk diperiksa dengan sediaan langsung atau biakan.

3. Hiperkeratotik atau skuamosa yang kronis

Yang menonjol adalah terjadinya pengelupasan kulit yang terus menerus, kadang-

kadang dengan eritema dan hyperkeratosis. Lokalisasi yang sering yaitu pada telapak

kaki, tepi sampai punggung kaki, terlihjat kulit menebal dan bersisik, disebut

“moccasin foot. Bila hiperkeratosisnya hebat terjadi fissure yang dalam. Sering kuku

terkena bersama-sama. Penyakit berlangsung kronis, bertahun-tahun diselingi masa

tenang serta eksaserbasi. Bentuk kronis ini sering disebabkan oleh T. rubrum yang

sulit diobati.

Tinea Unguium 2,4,5

1. Bentuk subungual distalis

Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke

proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh yang disebut detritus.

Kalau proses berjalan terus maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang

terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.

2. Leukonika trikofita = leukonika mikotika

Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonika atau warna keputihan

dipermukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur.

Kelainan ini dihubungkan dengan T. mentagrofites sebagai penyebabnya.

12

Page 13: Referat Dermatofitosis

3. Bentuk subungal proksimalis

Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan

membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal masih utuh,

sedangkan bagian proksimal rusak.

Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis ditempat lain yang

sudah sembuh atau belum. Kuku kaki lebih sering diserang dibandingkan kuku

tangan.

H. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan Fisik

3. Pemeriksaan Penunjang

a.

Tabel 2. Karakteristik Dermatofit terbanyak

Morfologi koloni Gambaran mikroskopik keterangan

Epidermophyton floccosum

Koloni : seperti bulu datar dengan lipatan central dan warna kuning kehijauan, kuning kecoklatan

Gambaran mikrosopik : tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan tebal. Makronidia berbentuk gada

Microsporum audounii

Koloni : datar dan berwarna putih keabuan dengan celah radial yang lebar. Berwarna pink salmon pada media PDA.

Gambaran mikroskopik : terminal klamidoko-nidia dan hifa berbentuk seperti sisir.

13

Page 14: Referat Dermatofitosis

M. canis

Koloni : datar, warna putih hingga kuning, kasar dan berambut, dengan celah radial yang rapat. Berwarna kuning pada PDA.

Gambaran mikroskopik : beberapa mikrokonidia, sejumlah dindint tebal dan makrokonidia bergerigi dengan knob pada ujungnya.

M.gypseum

Koloni : datar dan granuler dengan pigmen coklat hingga berwarna seperti kambing.

Gambaran mikroskopik : beberapa mikrokonidia, sejumlah makrokonidia berdindint tipis tanpa knob.

I. DIAGNOSIS BANDING 5,6

Tinea Kapitis Tinea Pedis dan Manum Psoriasis Dermatitis seboroik Alopesia areata Pioderma Bentuk-bentuk alopesia yang

menimbulkan sikatriks, misal Lupus eritematosus, Pseudopelade Brocq

Dermatitis kontak Scabies Pomfoliks Pioderma Lues II psoriasiform Psoriasis pustulosa Kandidiasis

Tinea korporis Tinea Unguium Pitriasis rosea gilbert Psoriasis Lues II makulo-papuler Dermatitis kontak Dermatitis seboroik Morbus Hansen tipe tuberkuloid

Psoriasis Kandidiasis Paronikia Trauma Akrodermatitis perstans

Tinea Kruris Tinea Barbae Kandidiasis inguinalis Psoriasis Dermatitis seboroik Pitriasis rosea

Sikosis barbae Mikosis profunda Karbunkel

J. PENATALAKSANAAN 6

1) Sistemik

a. Griseofulvin (0,5 – 1 gram/hari untuk dewasa; 0,25 – 0,5 gram/hari anak-anak)

selama 4 minggu, kecuali pada tinea kapitis, dosis untuk dewasa 0,5 gram/hari

selama 6-8 minggu.

b. Ketokonasol (200 mg/hari dewaasa).

14

Page 15: Referat Dermatofitosis

c. Terbinafine (250 mg/hari dewasa)

d. Itraconazole PO (200 mg 3x sehari selama 2-3 minggu)

2) Topikal

Butenafine (area yang terkena 2x sehari)

Clotrimazole 1% (area yang terkena 2x sehari)

Ketoconazole 2% (area yang terkena 2x sehari)

Miconazole (area yang terkena 2x sehari)

Econazole (area yang terkena 1x sehari)

Naftin (area yang terekena 1x sehari)

Oxiconazole (area yang terkena 1-2x sehari)

Tolnaftat (area yang terkena 2x sehari)

Ciclopirox (area yang terkena 1x sehari)

Sulconazole (area yang terkena 2x sehari)

K. PROGNOSIS

Beberapa sebab kegagalan pengobatan 2,6

1. Bentuk klinik tertentu :

Diabetes mellitus

Hipertiroid, menyebabkan banyak keringat / hyperhidrosis

Keganasan

Pemakaian obat-obatan : antibiotika, kortikosteroid, sitostatika

Infeksi berat : AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)

Kehamilan

Iritasi setempat pada tubuh misalnya urine, keringat, air

2. Lingkungan : iklim tropis banyak keringat, jamur akan tumbuh dengan subur

3. Pekerjaan yang berhubungan dengan air : ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga.

Pada tinea pedis air yang berlebihan akan menyebabkan pembengkakan stratum

korneum, hifa jamur tumbuh dengan subur.

4. Pemakaian pakaian dalam /celana ketat dari bahan sintetis

5. Kebiasaan pinjam meminjam alat, misal sepatu, sisir

6. Adanya sumber infeksi lain, misal binatang piaraan : anjing, kucing, kelinci

menyebabkan infeksi ping-pong

15

Page 16: Referat Dermatofitosis

BAB III

KESIMPULAN

Dermatofitosis merupakan kelompok penyakit yang disebabkan oleh jamur dermatofit

dari tiga genus, Epidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum, yang bersifat keratinofilik

mengenai stratum korneum pada kulit, rambut dan kukuj dengan cara transmisi melalui

zoofilik, antropofilik dan geofilik.

Di Indonesia insiden dermatofitosis paling tinggi di antara kelompok dematomikosis

superfisialis, dan di RS Dr. Soetomo dengan distribusi usia terbanyak pada rentang usia

produktif.

Klasifikasi penyakit ini digolongkan berdasarkan lokasi atau ciri khusus tertentu, dan

jenis struktur keratin yang terlibat yaitu kulit, kuku dan rambut.

Terjadinya dermatofitosis melalui 3 tahap utama, yaitu perlekatan, dengan keratinosit,

penetrasi melewati dalam sel dan pembentukan respon imun. Adanya virulesi jamur,

mekanisme penghindaran, kondisi imunitas host yang lemah memudahkan infeksi dermatofit.

Mekanisme pertahanan host terhadap infeksi dermatofit terediri dari pertahanan non

spesifik dan spesifik yang melibatkan surveilan system imun.

16

Page 17: Referat Dermatofitosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis di Indoneisa. Dalam: Budimulya U,

Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor, Dermatomikosis

Superfisialis. Edisi ketiga Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004.h. 1-6

2. Rippon JW. Medical Mycology The Pathogenic Fungi 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders

Company; 1988. Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra Piedra. In: Wolff K,

Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology

in General Medicine. 7th ed. New York : McGraw-Hill;2008. P. 1807-21.

3. Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection : Dermatophytosis,

Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In : Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B,

Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in Genera Medicine 7 th ed. New

York: McGraw-Hill;2008.p.1807-21.

4. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam: Budimulya U, Kuswadji,

Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis Superfisialis.

Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004 h.7-18.

5. Hay RJ, Moore M. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Durns DA, Breathnach

SDM, editors. Text book of Dermatology. 6th ed. Oxford: Blackwell Science; 1998. P.

1277-350

6. Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor. Etiologi dan Patogenesis

Dermatomikosis Superfisialis. Simposium Penatalaksanaan Dermatomikosis Superfisialis

Masa Kini; 11 Mei 2002; Surabaya, Indonesia.

7. Koga T. Immune Surveillance against Dermatophytes Infection. In: Fidel

PL,Jr.,Huffnagle G.B, editors. Fungal Imunologi from Organ Perspective. Netherlands:

Springer; 2005.p.443-9.

8. Budimulya U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kealmin. Edisi kelima. Jakarta Balai Penerbit FKUI;2007.h.89-105.

9. Wolf K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical

Dermatology 5th ed. New York : McGraw-Hill;2005.

10. Siregar R.S. Penyakit Jamur Kulit. Edisi kedua. Jakarta: EGC;2004.

11. Fauzi N, Suyoso S. Penelitian Retrospektif Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi URJ

Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya Periode 2006-2007 (2 tahun).

Surabaya; 2008. Belum dipublikasikan.

17

Page 18: Referat Dermatofitosis

12. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection Diagnosis and Management. 3rd ed.

Massachusser: Blackwell Publishing; 2003.

13. Underhill. DM. Escape Mechanism from the Immun Respons. In: Brown GD, Nitea MG,

editors. Immunology of fungal Infection. Oxford: Springer; 2007.p.429-42.

14. Richardson M, Edwart M. Model System for the Study of Dermatophyte and Non-

dermatophyte Invasion of Human Keratine. Revista Iberoamericana de Micologia 2000:

115-21.

15. Robert C, Kuffer TS. Inflamatory Skin Disease, T cells, Immune Surveilance. NEJM

1999; 341(24):1817-28.

18