referat bdah 1
-
Upload
whinet-jojo-teruna -
Category
Documents
-
view
217 -
download
1
description
Transcript of referat bdah 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Testis merupakan organ yang berperan dalam proses reproduksi dan hormonal pria.
Fungsi utama dari testis adalah memproduksi sperma dan hormon androgen terutama testosteron.
Testis terdapat di dalam skrotum yang merupakan kantung lapisan kulit yang tidak rata dimana
dibawahnya terdapat beberapa lapisan, yaitu tunika vaskulosa, tunika albuginea, dan tunika
vaginalis. Segala pertumbuhan sel-sel abnormal di dalam testis, yang bisa menyebabkan
pembesaran atau benjolan di dalam skrotum disebut sebagai tumor testis (Kinkade, 1999).
Tumor testis merupakan keganasan terbanyak pada pria berusia diantara 15-35 tahun dan
merupakan 1-2 % dari semua neoplasma pada pria. Kira-kira 90% dari semua tumor testis primer
terdiri atas tumor sel embrional, selanjutnya dapat dijumpai tumor sel Sertoli-Leydig dan
limfoma maligna. Insiden tumor testis meningkat pada beberapa dekade terakhir, yakni sebesar
1,2 % per tahun, walaupun begitu angka kematian cenderung menurun dengan angka harapan
hidup 5 tahun mencapai 95 %. Sekitar 9000 kasus baru terdiagnosis tiap tahunnya di Amerika
Serikat. Angka insiden bervariasi di berbagai belahan dunia, dengan kecenderungan penurunan
di benua Asia dan Afrika (Kush, 2011).
Akhir-akhir ini terdapat perbaikan usia harapan hidup pasien yang mendapatkan terapi
jika dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, karena sarana diagnosis lebih baik, ditemukan
tumor marker, ditemukan regimen kemoterapi dan radiasi, serta teknik pembedahan yang lebih
baik. Angka mortalitas menurun dari 50% pada tahun 1970 menjadi 5% pada tahun 1977
(Purnomo, 2009).
Diagnosis dini pada tumor testis sangat penting dilakukan mengingat doubling time
tumor testis diperkirakan berkisar antara 10-30 hari saja. Meskipun angka harapan hidup pada
berbagai stadium masih tinggi, namun diagnosis pada stadium dini memberikan prognosis jangka
panjang yang lebih baik (Kush, 2011).
Oleh karena itu melalui makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan terapi tumor testis sehingga dapat menunjang diagnosis
dini dan meningkatkan prognosis jangka panjang pada pasien tumor testis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Testis
Testis merupakan kelenjar ganda, karena secara fungsional bersifat eksokrin dan juga
endokrin. Bagian eksokrin terutama menghasilkan sel kelamin, sehingga testis dianggap sebagai
kelenjar sitogenik. Bagian endokrin menghasilkan sekret internal yang dilepaskan oleh sel-sel
khusus. (Leeson C.R, et al., 1996)
2.1.1. Simpai Testis
Testis tergantung di dalam skrotum dan dibungkus oleh simpai testis yang terdiri atas 3
lapisan: (Leeson C.R, et al., 1996)
1. lapisan terluar,tunika vaginalis
2. lapisan tengah, tunika albuginea
3. lapisan terdalam tunika vaskulosa
Tunika vaginalis merupakan selapis sel mesotel gepeng, seringkali rusak pada saat
pembuatan sajian. Lapisan ini merupakan bagian dari sebuah kantung serosa yang tertutup,
berasal dari peritoneum yang membungkus permukaan lateral dan anterior testis. Lapisan ini
terletak diatas lamina basal yang memisahkannya dari lapisan tengah yang paling jelas yaitu
tunika albuginea. Dulu tunika albuginea digambarkan sebagai lapisan tebal, terdiri atas jaringan
ikat padat fibro elastis, tapi sekarang dapat diperlihatkan juga adanya sel otot polos. Pada
manusia, meskipun unsur-unsur otot polos tersebar luas, tapi umumnya terdapat paling banyak di
bagian posterior testis dekat epididimis. Lapisan terdalam simpai testis adalah tunika vaskulosa
terdiri atas jala-jala kapiler darah yang terbenam di dalam jaringan ikat longgar. (Leeson C.R, et
al., 1996)
Simpai testis bukan merupakan suatu pembungkus yang kaku, seperti persangkaan
dahulu, melainkan merupakan suatu selaput dinamis yang mampu berkerut secara berkala.
Kerutan-kerutan tersebut mungkin bertujuan untuk mempertahankan tekanan yang sesuai di
dalam testis, mengatur gerakan keluar masuknya cairan ke dalam kapiler-kapiler dan untuk
membantu gerakan peristaltik sistem saluran, sehingga membantu gerakan spermatozoa ke arah
luar. Selain itu, simpai tersebut agaknya memiliki sifat-sifat selaput yang semipermeable dan
turut berperan dalam beberapa faal testis. (Leeson C.R, et al., 1996)
Tunika albuginea menebal pada permukaan posterior testis dan menjorok masuk ke
dalam kelenjar sebagai mediastinum testis. sekat-sekat fibrosa yang tipis menyebar dari
mediastinum testis ke arah simpai testis dan membagi permukaan dalam testis menjadi kurang
lebih 250 bangunan berbentuk pyramid yang disebut lobuli testis, dengan bagian puncaknya
menghadap ke mediastinum. Sekat-sekat tersebut memperlihatkan bagian-bagian yang tidak
lengkap, sehingga lobules testis dapat berhubungan satu dengan lainnya secara bebas. Tiap
lobules terdiri dari satu sampai empat tubulus seminiferous yang sangat berkelok-kelok,
dibungkus oleh stroma jaringan ikat longgar yang mengandung pembuluh darah, saraf dan
beberapa jenis sel, terutama sel interstitial yang spesifik yaitu sel Leydig. Sel-sel ini besar,
umunya berkelompok, berperan penting karena fungsi endokrinnya. (Leeson C.R, et al., 1996)
2.1.2. Tubulus Seminiferus
Tubulus seminiferous sangat berkelok dengan garis tengah kurang lebih 0,2 mm dan
panjang 30 sampai 70 cm. tubulus berakhir sebagai ujung bebas yang buntu atatu beranastomosis
dengan tubulus-tubulus didekatnya dari lobules yang sama atau kadang-kadang dengan tubulus
dari lobules sebelahnya. Pada puncak lobules, tiap tubulus tidak berkelok-kelok lagi dan menjadi
lurus dan disebut sebagai tubulus rektus. Tubulus seminierus dibatasi oleh suatu epitel germinal
kompleks atau epitel seminiferous, yang merupakan modifikasi epitel berlapis kuboid. Epitel
tersebut terletak diatas lamina basal yang tipis dan di luarnya diliputi oleh suatu daerah khusus
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang disebut jaringan peritubuar atau pembatas yang terdiri dari
banyak serat jaringan ikat, fibroblast yang pipih dan beberapa sel bersifat sebagai sel otot polos.
Unsur-unsur mioid ini mempunyai “junctional complex” pada bagian sisi sel-sel disampingnya
yang menghambat, namun tidak seluruhnya, penyeberangan makromolekul dari ruang interstitial
ke epitel seminiferous. Diduga kontraksi sel-sel mioid ini dapat mengubah diameter tubulus
seminiferous dan membantu gerakan spermatozoa sepanjang tubulus. Ketebalan daerah ini
berbeda-beda sesuai umur dan memperlihatkan peebalan pada beberapa keadaan klinik,
khususnya yang berkaitan dengan kelainan kromosom. Suatu sistem kapiler limfe terdapat
banyak di luar jaringan peritubular. (Leeson C.R, et al., 1996)
2.1.3. Bagian Interstitium
Jaringan interstitial yang terdapat dalam lobulis testis, terletak diantara tubulus
seminiferous. Jaringan interstitial mengandung beberapa serat kolagen, pembuluh darah dan
limfe, saraf, bermacam-macam jenis sel termask fibroblast, makrofag, sel mast, dan beberapa sel
mesenkim yang belum berkembang. Pembuluh darah dan saraf keluar masuk melalui
mediastinum dan membentuk anyaman sekitar tubulus. Sel interstitial Leydig merupakan sel
yang memberikan gambaran mencolok untuk jaringan tersebut. Sel-sel Leydig letaknya
berkelompok memadat pada daerah seminiferous. Sel-sel tersebut besar, dengan sitoplasma
sering tampak bervakuola pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung
butir-butir kromatin kasar dan anak inti yang jelas. (Leeson C.R, et al., 1996)
Gambar 2.2 Anatomi testis
2.1.4. Pembuluh Darah, Pembuluh Limfe Dan Saraf
Saat arteri mencapai testis, pembuluh darah tersebut diliputi oleh pleksus vena yang luas yaitu
pleksus pampiniformis, yang mendinginkan darah arteri melalui mekanisme penggantian panas
lingkar-balik. Didalam testis, cabang arteri testis menembus tunika albuginea dan masuk ke
tunika vaskulosa. Cabang-cabang arteriol yang lebih kecil mengikuti septula testis masuk ke
parenkim dan berakhir sebagai anyaman kapiler. Pembuluh limfe kecil membentuk anyaman luas
didalam jaringan interstitial. (Leeson C.R, et al., 1996)
Saraf mengikuti pembuluh darah utama dan menyusun pleksus halus disekitar pembuluh yang
lebih kecil dan berhubungan dengan sel-sel interstitial. (Leeson C.R, et al., 1996)
2.2. Tumor Testis
2.2.1 Definisi
Tumor testis merupakan benjolan yang berasal dari neoplasma sel germinal atau jaringan stroma
testis. Lebih dari 90% tumor testis berasal dari sel germinal. (Einhorn LH, 2007)
2.2.2. Epidemiologi
Tumor testis banyak terjadi di antara pria Kaukasian dan jarang terjadi pada pria keturunan
Afrika. Tumor testis jarang terjadi di Asia dan Afrika. Kejadian di seluruh dunia telah meningkat
sejak tahun 1960-an, dengan tingkat prevalensi tertinggi di Skandinavia, Jerman, dan Selandia
Baru. (Einhorn LH, 2007)
Tumor ganas testis yang paling umum terjadi di antara pria berusia 15-40 tahun, memiliki tiga
puncak: bayi sampai usia empat tahun sebagai teratoma dan yolk sac tumor, usia 25-40 tahun
sebagai post-pubertas seminoma dan non seminoma, dan dari umur 60 sebagai spermatositik
seminoma.Tumor sel germinal pada testis merupakan kanker yang paling umum pada pria muda
antara usia 15 dan 35 tahun. (Einhorn LH, 2007)
2.2.3. Etiologi
Penyebab pasti kanker testis tidak diketahui. Beberapa faktor yang meningkatkan resiko kanker
testis antara lain sebagai berikut.
· Undesensus testis. Salah satu faktor resiko utama kanker testis adalah undesensus testis atau
cryptorchidismus. Sebelum lahir, testis berkembang dalam abdomen fetus dan kemudian
mengalami desensus ke skrotum sebelum lahir. Namun, pada sekitar 3% bayi laki-laki testis
tidak turun ke dalam skrotum. Testis dapat tetap berada dalam abdomen atau berhenti di inguinal
(American Cancer Society, 2011). Cryptorchidismus dapat terjadi pada salah satu atau kedua
testis (Eggener, et al., 2011). Pria dengan cryptorchidismus beresiko 3-5 kali lebih tinggi terkena
kanker testis, terutama pada testis yang masih berada dalam abdomen (Eggener, et al., 2011).
· Paparan terhadap dietilstilbestrol (DES) selama dalam kandungan (Eggener, et al., 2011).
· Atrofi testis. Testis yang gagal berkembang secara normal tidak dapat matur dan tumbuh
sampai ukuran yang diharapkan (Eggener, et al., 2011).
· Paparan terhadap bahan kimia dan polutan (Eggener, et al., 2011).
· Riwayat keluarga (American Cancer Society, 2011).
· Infeksi HIV (American Cancer Society, 2011).
· Penyebab lain yang belum terbukti antara lain: Paparan terhadap obat-obatan tertentu,
kurangnya aktivitas fisik, tingginya aktivitas seksual, dan duduk dengan kaki menyilang
(meningkatkan suhu testis) (Eggener, et al., 2011).
2.2.4. Patogenesis
Tumor germ cell testis meliputi lebih dari 90% seluruh tumor testis. Tumor ini berasal dari
pluripotent germ cell yang dapat berdiferensiasi menjadi struktur embrional (teratoma dan
karsinoma embrional), struktur plasenta (tumor yolk sac dan koriokarsinoma) atau seminoma
(tumor germ cell yang paling primitif) (American Medical Network, 2011).
Asal dan patogenesis tumor germ cell testis masih belum jelas. Insiden tinggi pada kelompok
dengan kelainan kongenital pada perkembangan gonad dan diferensiasi seksual berhubungan erat
dengan pengaruh faktor intrauterine. Transformasi neoplastik germ cell diinisiasi faktor in utero,
terutama pada individu dengan kerentanan genetik. Diduga terjadi gangguan fetal programming
pada perkembangan gonad karena ketidakseimbangan hormonal intrauterine, yang dapat
disebabkan oleh kelainan genetik atau faktor eksogen yang menyebabkan kelebihan estrogen
atau defisit androgen (Skakkebaek, et al., 2003).
Sel karsinoma in situ dan primordial germ cell tampak serupa dan memiliki ciri-ciri khusus yaitu
kurangnya jembatan interseluler dan ekspresi berbagai antigen. Pada perkembangan gonad yang
menyimpang, pola ekspresi beberapa antigen ini terganggu. Penelitian tentang pengaturan siklus
sel pada germ cell normal dan neoplastik menunjukkan bahwa sel-sel karsinoma in situ
cenderung membelah secara mitosis, walaupun sel-sel tersebut diturunkan dari spermatosit yang
membelah secara meiosis (Skakkebaek, et al., 2003).
Penyebaran limfatik merupakan penyebab umum metastasis dan umumnya terjadi melalui
pembuluh limfe spermatic cord ke retroperitoneal. Pengecualian untuk koriokarsinoma yang
menyebar melalui invasi vaskular. Pada kondisi jarang, terdapat komunikasi langsung antara
pembuluh limfe testis dan ductus thoracicus yang menyebabkan metastasis pada cavum thorax
tanpa melibatkan retroperitoneal. Invasi skrotum dapat terjadi pada metastasis inguinal. Kanker
germ cell dapat mengalami metastasis jauh ekstranodus setelah invasi vaskular atau embolisasi
tumos melalui hubungan limfatik-vena. Hal ini menyebabkan kegagalan orkiektomi radikal
(BMJ Evidence Centre, 2011).
Doubling time non-seminoma sekitar 10-30 hari. Hal ini ditunjukkan dari perubahan tumor
marker serum. Sebagian besar kegagalan terapi diikuti dengan mortalitas dalam 2-3 tahun
pertama setelah diagnosis. Seminoma memiliki doubling time yang lebih lambat dan dapat
rekuran dalam 2-10 tahun setelah terapi awal. Berdasarkan natural history penyakit, kurabilitas
setelah terapi multimodal baru dapat ditentukan setelah 5 tahun. Namun, relaps dapat terjadi 10
tahun setelah terapi (BMJ Evidence Centre, 2011).
2.2.5. Klasifikasi Tumor Testis
Sebagian besar (± 95%) tumor testis primer, berasal dari sel germinal sedangkan sisanya berasal
dari non germinal. Tumor germinal testis terdiri atas seminoma dan non seminoma. Seminoma
berbeda sifat-sifatnya dengan non seminoma, antara lain sifat keganasannya, respon terhadap
radioterapi dan prognosis tumor. (Purnomo, 2009)
Tumor yang bukan berasal dari sel-sel germinal atau non germinal di antaranya adalah tumor sel
Leydig, sel sertoli dan gonadoblastoma. Pembagian tumor testis dapat dilihat pada gambar 3.
(Purnomo, 2009)
Selain berada didalam testis, tumor sel germinal juga bisa berada di luar testis sebagai
extragonadal germ cell tumor antara lain dapat berada di mediastinum, retroperitoneum, daerah
sakrokoksigeus dan glandula pineal. (Purnomo, 2009)
Tumor Ganas Testis
Primer
Sekunder
Non-Germinal
Germinal
Non Seminoma
Seminoma
· Spermatositik
· Anaplastik
· Klasik
· Limfoma
· Lekemia infiltratif
· Tumor sel Leydig
· Tumor sel Sertoli
· Gonadoblastoma
· Karsinoma sel Embrional
· Korio karsinoma
· Teratoma
· Tumor Yolk sac
Stadium perluasan tumor sel embrional didasarkan atas lokalisasi metastasis, jika tidak dapat
ditunjukkan metastasis dan zat-zat penanda tumor HCG dan AFP tidak dapat ditunjukkan dalam
serum atau menjadi normal setelah orkidektomi, maka dikatakan stadiumnya adalah stadium I.
Pada stadium II dapat ditetapkan adanya metastasis kelenjar limfe retroperitoneal, pada stadium
III metastasis kelenjar limfe di atas diafragma, pada stadium IV metastasis di paru, hepar, otak
atau tulang (Jeffrey, 2008).
2.2.6. Diagnosis
Seperti mendiagnosis penyakit lainnnya, diperlukan anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis.
2.2.6.1. Anamnesis (Menanyakan detail kondisi kesehatan):
Langkah pertama dalam mendiagnosis kanker testis adalah menanyakan dengan detail dan
lengkap tentang masalah kesehatan. Kondisi kesehatan secara umum, riwayat kesehatan
keluarga, faktor resiko kanker testis, dan gejala yang dirasakan. Pasien biasanya datang dengan
berbagai keluhan sebagai berikut : sebuah benjolan atau pembesaran pada testis, perasaan berat
di skrotum, rasa nyeri di perut atau pangkal paha, penumpukan cairan secara tiba-tiba di dalam
skrotum, nyeri atau ketidaknyamanan di testis atau skrotum, pembesaran payudara, biasanya
mempengaruhi hanya satu testis. (Morrow,2010)
2.2.6.2. Pemeriksaan fisik
Selama pemeriksaan fisik, bisa didapatkan testis membesar, membengkak, perubahan payudara
(gynecomastia), benjolan pada abdomen kemungkinan karena pembesaran kelenjar limfe (tanda
penyebaran kanker). (Ezine,2011)
Diagnosis diferensial meliputi setiap benjolan didalam skrotum yang berhubungan dengan testis
dan keluhan-keluhan pada daerah testis, seperti : (Sjamsjulhidayat R, 1997)
· Epididimitis – menyebabkan pembesaran akut pada testis, ditandai dengan nyeri, demam,
disuria, dan piuria. Gejala yang sama dapat disebabkan oleh kanker testis yang mendasari.
· Orkitis – nyeri dan gejala-gejala inflamasi
· Torsio testis
· Hidrokel – kemungkinan hidrokel simtomatik terdapat sebagai akibat tumor testis, diperlukan
pungsi dan kemudian palpasi, biasanya jinak, tetapi sekitar 10% dari kanker testis berhubungan
dengan Hydroceles.
· Varikokel – adalah pembengkakan vena di pleksus pampiniformis dari korda spermatika.
· Spermatokel – adalah massa translucent yang terletak posterior dan superior testis, dan terasa
kistik.
· Hernia skrotalis (Ezine, 2011)
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menyingkirkan diagnosa diferensial diperlukan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium, penanda tumor, radiografi, USG, CT-Scan.
Penanda tumor pada karsinoma testis germinal bermanfaat untuk membantu diagnosis,
penentuan stadium tumor, monitoring respon pengobatan dan sebagai indikator prognosis tumor
testis. Penanda tumor yang paling sering diperiksa pada tumor testis adalah αFP (alfa feto
protein) adalah glikoprotein yang dihasilkan oleh karsinoma embrional, teratokarsinoma atau
tumor yolk sac, tetapi tidak di produksi oleh koriokarsinoma murni dan seminoma murni.
Penanda tumor ini memiliki waktu paruh 5-7 hari.(National Comprehensive Cancer Network,
2011)
Pada penderita dengan non-seminoma zat-zat penanda tumor spesifik dapat ditunjukkan dalam
serum yaitu Human Chorion Gonadotropin (HCG), βHCG (Human chorionic
gonadotropin)adalah suatu glikoprotein yang pada keadaan normal diproduksi oleh jaringan
trofoblas. Penanda tumor ini meningkat pada semua pasien koriokarsinoma, pada 40-60% pasien
karsinoma embrional dan 5% pada seminoma murni. Pada penderita dengan seminoma kadar
HCG dapat naik sedikit, sering juga terdapat kenaikan Placenta Like Alkaline Phosphatase
(PLAP). Pada semua penderita tumor sel embrional Laktat Dehidrogenase (LDH) dapat naik.
Penanda tumor ini memiliki waktu paruh 24-36 jam.(National Comprehensive Cancer Network,
2011)
Pencitraan yang digunakan untuk mendiagnosis Tumor Testis adalah :
1. Ultrasonografi (USG)
· Ultrasonografi pada testis digunakan untuk menentukan penempatan suatu massa yang dapat
teraba ketika dicurigai adanya tumor pada testis. Biasanya, lesi ekstra-testikular yang dapat
diraba bersifat jinak. Pada sisi lain, massa intratestikular, terutama jika teraba, bersifat ganas dan
harus segera dioperasi. Oleh karena itu, ultrasonografi bermanfaat untuk melokalisir kelainan
yang dapat diraba dan untuk menentukan tindakan pembedahan apa yang akan dilakukan
(Joseph, 2011).
· Pemeriksaan ultrasonografi pada umumnya dilakukan dengan menggunakan suatu transduser
frekuensi tinggi yang linier untuk membandingkan echotekstur testis pada area yang heterogen.
Tumor testis bersifat hypoechoic terhadap jaringan parenkim di sekitarnya pada kira-kira 95%
kasus. Carmignani et al, (2005); Schwerk et al, (1987) menyatakan bahwa lesi seminoma lebih
sering bersifat hypoechoic homogen dan lesi nonseminoma sering bersifat kistik, dengan
diselang-selingi oleh proses kalsifikasi (Joseph, 2011).
Ultrasonografi pada tumor testis
Ultrasonografi pada tumor testis membantu membedakan massa intra atau ekstra testis, soliter
atau multiple, uni atau bilateral. Informasi ini membantu penegakan diagnosis. Lesi
intratestikular soliter merupakan neoplasma, sedangkan lesi ekstratestikular yang bilateral atau
multifocal biasanya jinak. (Light,2011)
USG testis digunakan untuk menentukan lokasi massa yang dicurigai karsinoma testis. Secara
umum, massa ekstratesticular biasanya jinak, sedangkan massa intratesticular biasanya ganas dan
memerlukan eksplorasi bedah. Oleh karena itu, USG digunakan untuk menentukan lokasi massa
dan menetukan perlunya tindakan pembedahan (Light, 2011).
Gambaran USG pada tumor Testis
1. Tumor Testis Seminoma
Pada tumor seminoma didapatkan gambaran area hypoechoid baik focal maupun difuse. Jika
focal dan perifer akan menyebabkan penonjolan tunica albuginea. Persinggungan antara tumor
dan parenkim testis normal tajam. Kadang, infiltrasi tumor difuse menyebabkan gambaraan
hipoechoid general, sehingga hanya bisa dibandingkan dengan testis kontralateral.
(Zagoria,2004;Light,2011)
2. Tumor Testis Nonseminoma
Tumor nonseminoma memberikan gambaran lebih heterogen echogenisitasnya karena area kistik
atau foci hiperechoic, yang kadang diselingi daerah kalsifikasi. Batas tumor tidak jelas, dan
kantur testis lobulated. Pada kanker sel Embryonal memberikan gambaran hipoechoid diselingi
komponen kistik. Teratoma dan choriocarcinoma memberikan gambaran heterogen dengan
kalsifikasi internal multiple. Sedangkan tumor sel Stromal (contohnya, tumor sel Leydig dan
Sertoli) umumnya jelas dan hipoechoic dan sering disertai kalsifikasi. (Zagoria,2004;Light,2011)
Karsinoma testis relative hipoechoic dibandingkan dengan parenkim sekitarnya pada 95% kasus.
Seminoma berbatas jelas dalam tunika albuginea, lebih hipoechoic dan homogen. Kanker sel
embrional hipoechoic dengan kalsifikasi yang tersebar. Teratoma dan koriokarsinoma biasanya
heterogen dengan kalsifikasi multiple di dalamnya. Tumor sel stroma (misalnya tumor sel
Leydig dan Sertoli) umumnya berbatas jelas dan hipoechoic, tetapi sering terdapat kalsifikasi.
Limfoma dan leukemia pada testis tampak sebagai proses difus, berbatas tidak jelas dengan
echogenicity yang berkurang (Light, 2011).
Apabila tampak lesi multiple, diagnosis diferensial dapat diperluas menjadi proses metastasis,
seperti leukemia dan limfoma, serta proses inflamasi, seperti sarcoid. Testicular microlithiasis (≥
5 atau lebih mikrokalsifikasi dalam testis) terbentuk dari kalsifikasi konsentris dari serabut
kolagen intrasubstansi. Azzopardi tumor adalah nama yang digunakan untuk tumor yang
mengalami nekrosis dan kalsifikasi secara spontan karena kurangnya supply darah (Light, 2011).
False positives/negatives
False-negative sering terjadi pada proses keganasan yang infiltratif. Pada kondisi seperti
leukemia atau limfoma yang menyebabkan penurunan echogenicity difus bilateral, proses
keganasan infiltrative sulit untuk dikenali (Light, 2011).
False-positive tampak pada berbagai kondisi. Rete testis yang mengalami dilatasi dapat tampak
menyerupai massa kistik. Epidermoid tumor tampak sebagai massa yang heterogen, biasanya
avaskular, dengan lapisan hyperechoic and hypoechoic yang membentuk cincin. results are seen
in a variety of conditions. Abses atau flegmon testis hipoechoic dan sering berkaitan dengan
peningkatan vaskularisasi. Infark testis tampak sebagai penurunan echogenicity berbatas tidak
jelas, mirip dengan proses keganasan infiltrasif yang difus (Light, 2011).
Apabila terdapat riwayat trauma dan USG menunjukkan fokus hipoechoic perlu diduga
hematoma. Hematoma dan tumor testi sulit dibedakan pada pemeriksaan awal, sehingga perlu
dilakukan follow up dengan USG untuk meyakinkan hematoma yang mengalammi resolusi atau
tumor (Light, 2011).
2. CT scan
· Computed tomography, atau CT scan digunakan untuk mengidentifikasi penyebaran tumor ke
kelenjar getah bening.CT scan dapat digunakan untuk mencari kanker telah menyebar di luar
testis (Kurniawan, 2009).
Gambar 2.18 Gambaran CT Scan (Kurniawan, 2009)
· Staging dari tumor testis merupakan indikasi apakah tumor telah menyebar ke bagian lain dari
tubuh. Staging berguna dalam menentukan rencana perawatan untuk tumor dan ukuran sejauh
mana tumor telah menyebar.
· Staging biasanya dilakukan melalui CT scan. CT scan adalah serangkaian gambar sinar-X yang
mewakili potongan tubuh. Dalam kasus tumor testis, biasanya CT scan akan terbatas pada
panggul, perut, dan dada. Sebelum CT scan, pasien harus minum dua liter larutan barium sulfat
yang akan membuat rasa ingin muntah. Biasanya akan diambil satu siri gambar tanpa kontras
dan kontras. Kontras disuntikkan ke pembuluh darah melalui infus. Ketika kontras berada dalam
sistem tubuh , pasien akan dapat merasakan operasi sinar-X karena pasien akan merasa sangat
panas. Contoh gambaran CT scan dapat dilihat pada gambar berikutnya. Pada panah merah
menunjukkan proses metastase. (Kantrowitz M)
3. Chest X-ray
· Chest X-ray digunakan untuk mengetahui kanker testis menyebar ke paru-paru. kanker testis
mudah menyebar ke organ-organ lainnya dimana yang paling sering adalah penyebaran ke paru-
paru (Jeffrey, 2008).
Gambar 2.22 Tumor testis yang metastase ke paru
4. MRI Scan
· MRI digunakan untuk mengetahui metastase kanker. MRI juga digunakan jika x-ray atau CT
scan tidak memberikan gambaran yang jelas. Gambar-gambar ini dapat menunjukkan
pembesaran kelenjar getah bening dan pertumbuhan abnormal pada organ tertentu yang mungkin
menunjukkan bahwa kanker telah menyebar (Jeffrey, 2008).
MRI Tumor Testis
Tumor jinak Intratestikular
1. Hiperplasia sel leydig
Hiperplasia sel Leydig merupakan tumor jinak yang langka yang ditandai dengan peningkatan
jumlah sel Leydig. Hiperplasia ini sering multifokal dan sering bilateral. Hiperplasia sel Leydig
biasanya asimtomatik pada orang dewasa, namun pada anak-anak dapat menyebabkan pubertas
dini yang disebabkan oleh sekresi hormon. Berbagai kondisi yang terkait dengan hiperplasia sel
leydig seperti kriptokismus, kongenital adrenal hiperplasia, klinefelter sindrom, tumor sel
germinal yang memproduksi hCG dan terapi eksogen dari hCG. Pada pencitraan, hiperplasia sel
Leydig bermanifestasi sebagai nodul intratestikular atau nodul diameter berukuran 1-6 mm. Pada
USG, nodul mungkin hipoechoic atau hiperechoic. Pada MRI tumor ini menimbulkan gambaran
nodul multiple pada isointense pada T1 dan hipointense T2.Nodul multipel ditemukan dan lebih
banyak terdeteksi dengan MRI dibandingkan dengan usg. Gambaran akan semakin jelas dengan
kontras gadolinium (Carucci LR et al,2003).
2. Intratestikular Lipoma.
Intratestikular lipoma merupakan tumor jinak intratestikular yang terdiri dari jaringan lemak
yang cukup jarang ditemui. Pada pencitraan usg, akan tampak lesi yang hiperechoic yang
homogen dan nonshadowing tanpa adanya aliran darah pada pencitraan color doppler, dan pada
pencitraan MRI, gambaran lesi mengikuti karakteristik lemak. Gambaran MRI menunjkkan
hiperintense pada T1 maupun T2 (Harper M et al,2002).
Tumor Testis Berpotensi Ganas
1. Tumor Sel Leydig
Tumor sel Leydig merupakan tumor yang berasal dari stroma sex-cord yang timbul dari
interstitium gonad laki-laki, terdiri dari 1%-3% dari seluruh neoplasma testis. Tumor ini dapat
murni atau campur dengan tumor stroma sex-cord atau germinal sel. Tumor sel Leydig biasanya
jinak, tetapi varian ganas juga bisa terjadi. Berbeda dengan hiperplasia sel Leydig, tumor sel
Leydig sering menimbulkan gejala dan mengaktifkan hormon, sehingga menyebabkan feminisasi
atau virilizing sindrome. Terapi utamanya pada tumor sel Leydig adalah dengan orchiectomy
radikal. Namun, enukleasi sedang dikembangkan untuk pengobatan baik dewasa maupun pasien
pediatrik. Tumor sel Leydig biasanya muncul sebagai nodul hipoechoic pada USG. Pada
pencitraan MRI, tumor sel Leydig digambarkan sebagai isointense pada T1 dan hipointense pada
T2 dibandingkan dengan testis yang normal,yang ditandai dengan peningkatan corakan yang
homogen.
Tumor sel Leydig juga dapat menunjukkan gambaran kapsuler dengan intensitas tinggi pada T2
dan mungkin memiliki scar yang memiliki intensitas tinggi pada T2. Dengan demikian,
pencitraan MRI pada tumor sel Leydig tidak cukup spesifik untuk menyingkirkan diagnosis
alternatif, terutama tumor sel germinal (Fernández GC et al,2004).
Tumor Sel Sertoli
Tumor sel Sertoli, seperti tumor sel Leydig, berasal dari sex cord-stromal . Tumor sel Sertoli
merupakan tumor dengan angka kejadian sekitar 1% dari tumor testis. Terjadi dalam 4 dekade
pertama kehidupan. Tumor sel sertoli yang patologis beragam, dengan berbagai jumlah
komponen stroma dan epitel. Sebagian besar tumor sel Sertoli jinak, tapi 10% -15% kasus
menunjukkan metastasis, dan tidak mungkin untuk membedakan jinak dari subtipe ganas
patologis. Gambaran pada USG bermacam-macam dan termasuk multicystic gambaran "spoke
wheel" atau peningkatan secara difus dari echogenisitas yang mencerminkan matriks kolagen.
Pada gambaran MRI bisa ditandai peningkatan homogensitas dari tumor. Nodul multipel
homogen dengan isointense pada T1 dan hiperintense pada T2. Namun bisa juga gambarannya
berupa homogen dengan isointense pada T1, hipointense pada T2, juga dapat terjadi sehingga
menunjukkan bahwa tumor sel Sertoli mungkin memiliki gambaran bervariasi pada pencitraan
MRI. Dengan demikian, pencitraan MR tidak cukup spesifik untuk membedakan dengan jenis
tumor sel germinal yang lain (Drevelengas A et al,1999).
2. Germ cell tumor
Tumor sel germinal merupakan tumor ganas dengan angka kejadian 95% dari karsinoma testis.
Tumor sel germinal terbagi antara seminoma dan tumor germinal nonseminoma. Tumor germinal
Nonseminoma meliputi yolk sactumor, teratoma, dankoriokarsinoma. Penentuan subtipe
histologis umumnya tidak penting dalam menentukan manajemen awal pembedahan. Tumor
germinal tipe campuran adalah jenis yang paling banyak (40%) dari tumor sel germinal
nonseminomatous. Tumor Intratestikular jauh lebih mungkin tumor germinal sel ganas daripada
jenis lainnya. Pada pencitraan USG biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis. Seminoma
cenderung homogen dalam echotexture, sedangkan tumor germinal nonseminomatous lebih
heterogen. Pada pencitraan MRI dapat membantu untuk membedakan subtipe histologis.
Seminoma relatif homogen dalam intensitas dan biasanya hipointense sampai normal pada T2.
Septa fibrovascular dapat dideteksi sebagai daerah bandlike yang hipointense pada T1 dan T2
dibandingkan dari tumor. Tumor germinal Nonseminomatous sel memiliki karakteristik
intensitas yang heterogen dan jika terjadi peningkatan maka menunjukkan nekrosis dan
perdarahan. Meskipun karakteristik pencitraan dari seminoma dan tumor sel germinal
nonseminomatous biasanya dapat dibedakan, namun ada tumpang tindih. Sehingga spesifitasnya
tidak terlalu tinggi (Tsili AC et al, 2007)
Seminoma
Sekitar 95% dari tumor ganas testis adalah tumor sel germinal, dan seminoma adalah subtipe
histologis yang paling umum. Dibandingkan dengan tumor sel germinal nonseminomatous,
seminoma terjadi pada populasi pasien yang lebih tua, dengan usia rata sekitar 40 tahun. Tumor
ini memiliki prognosis yang baik karena sensitivitas terhadap radiasi dan kemoterapi cukup baik.
Pada gambaran USG skrotum, didapatkan gambaran massa intratestikular hypoechoic dan
biasanya homogen, sering dengan batas lobulated, sehingga menimbulkan gambaran massa
multifokal . Dibandingkan dengan tumor nonseminomatous, seminoma cenderung menunjukkan
kalsifikasi atau daerah kistik. Kecuali jika ukurannya cukup besar, seminoma umumnya lebih
homogen dalam echotexture daripada tumor nonseminomatous. Pada pencitraan MRI, seminoma
biasanya homogen dalam penampilan dan relatif isointense dibandingkan parenkim testis normal
pada T1 dan hipointense pada T2. Namun, pencitraan MRI tidak cukup sensitif untuk
membedakan antara subtipe yang berbeda dari neoplasma testis (Pretorius E, 2005).
Nonseminoma
Subtipe dari nonseminoma meliputi tumoryolksac, karsinomaselembrional, teratokarsinoma,
teratoma, dankoriokarsinoma. Pada gambaran USG, tumor nonseminomatous cenderung lebih
heterogen dalam echotexture dengan margin yang tidak teratur. Nonseminomatous tumor lebih
sering memiliki area kistik dan fokus echogenic jika dibandingkan dengan seminoma. Fokus
echogenic dapat terjadi akibat kalsifikasi, perdarahan, atau fibrosis . Pada pencitraan MRI, bila
dibandingkan dengan testis yang normal, tumor ini biasanya iso-sampai hiperintense pada T1
dan hipointense pada T2. Secara keseluruhan gambaran akan menunjukkan heterogen pada
sebagian besar kasus karena adanya jenis sel campuran, perdarahan, dan nekrosis (Pretorius E,
2005).
2.2.8. Penatalaksanaan
Pada dugaan tumor testis tidak diperbolehkan melakukan biopsi testis, karena itu untuk
penegakan diagnosis patologi anatomi, bahan jaringan harus diambil dari orkidektomi.
Orkidektomi dilakukan melalui pendekatan inguinal setelah mengangkat testis dan funikulus
spermatikus sampai anulus inguinalis internus. Biopsi atau pendekatan trans-skrotal tidak
diperbolehkan karena ditakutkan akan membuka peluang sel-sel tumor mengadakan penyebaran
(Purnomo, 2009).
Dari hasil pemeriksaan patologi dapat dikategorikan antara seminoma dan non seminoma. Jenis
seminoma memberikan respon yang cukup baik terhadap radiasi sedangkan jenis non seminoma
tidak sensitif. Oleh karena itu radiasi eksterna dipakai sebagai terapi ajuvan pada seminoma
testis. Pada non seminoma yang belum melewati stadium III dilakukan pembersihan kelerjar
retriperitoneal atau retroperitoneal lymphnode dissection (RPLND). Tindakan diseksi kelenjar
pada pembesaran aorta yang sangat besar didahului dengan pemberian sitostatika terlebih dahulu
dengan harapan akan terjadi downstaging dan ukuran tumor akan mengecil (Purnomo, 2009)
Tumor testis
Orkidektomi (inguinal)
Patologi anatomi (+) Staging
Seminoma
Non seminoma
Stadium I-IIA
Stadium IIB-III
Stadium I-IIA
Stadium IIB-III
Radiasi
Sitostatika-> radiasi
RPLND
Sitostatika-RPLND
Gambar 2.9 Penatalaksanaan Tumor Testis (Purnomo 2009)
2.2.9. Prognosa
Setelah menjalani terapi tumor testis, biasanya pasien dapat menjalani kehidupan seksualnya
secara normal. Kemampuan ereksi dan mencapai orgasme tetap tidak berubah setelah terapi.
Akan tetapi, laki- laki yang berkeinginan untuk mendapatkan keturunan disarankan untuk
menyimpan spermanya di bank sperma sebagai langkah berjaga-jaga sekiranya terjadi infertilitas
akibat terapi tumor kanker. Orchiectomi sendiri tidak akan menyebabkan infertilitas, tetapi
kemoterapi, radioterapi dan RPLND yang dijalani setelah operasi yang mempunyai potensi yang
tinggi dalam mengakibatkan infertilitas. (Eggener, et al., 2011)
Survival rate tergantung dari stadium dan tipe tumor testis :
· Stage I seminoma à 99% kesembuhan.
· Stage I nonseminoma à 97%-99% kesembuhan.
· Stage IIA seminoma à 95% kesembuhan.
· Stage IIB seminoma à 80% kesembuhan.
· Stage IIA nonseminoma à 98% kesembuhan.
· Stage IIB nonseminoma à 95% kesembuhan.
· Stage III seminoma à 80% kesembuhan.
· Stage III nonseminoma à 80% kesembuhan. (Eggener, et al., 2011)
BAB III
PENUTUP
Tumor testis merupakan benjolan yang berasal dari neoplasma sel germinal atau jaringan stroma
testis. Lebih dari 90% berasal dari sel germinal. Tumor ini mempunyai derajat keganasan yang
tinggi, tetapi dapat sembuh bila diberikan penanganan yang adekuat. Tumor biasanya terjadi
hanya pada satu sisi testis (Biasanya, dua tumor ditemukan pada waktu yang berlainan). (Einhorn
LH, 2007)
Tumor germ cell testis meliputi lebih dari 90% seluruh tumor testis. Tumor ini berasal dari
pluripotent germ cell yang dapat berdiferensiasi menjadi struktur embrional (teratoma dan
karsinoma embrional), struktur plasenta (tumor yolk sac dan koriokarsinoma) atau seminoma
(tumor germ cell yang paling primitif). Kanker germ cell menunjukkan salah satu atau lebih
gambaran histopatologi. Keganasan testis lain termasuk limfoma, kanker metastasis, leukemia,
tumor stroma testis, dan lain-lain (American Medical Network, 2011).
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien
biasanya datang dengan berbagai keluhan sebagai berikut : sebuah benjolan atau pembesaran
pada testis, perasaan berat di skrotum, rasa nyeri di perut atau pangkal paha, penumpukan cairan
secara tiba-tiba di dalam skrotum, nyeri atau ketidaknyamanan di testis atau skrotum,
pembesaran payudara, biasanya mempengaruhi hanya satu testis (Morrow,2010). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan testis membesar, membengkak, perubahan payudara
(gynecomastia), benjolan pada abdomen kemungkinan karena pembesaran kelenjar limfe (tanda
penyebaran kanker) (Ezine,2011). Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis berupa : ultrasonografi, CT scan abdomen, MRI,
rontgen Dada.
Diagnosis banding tumor testis antara lain : epididimitis, orkitis, torsio testis, hidrokel, varikokel,
spermatokel, hernia skrotalis (Ezine,2011).
Terapi yang dilakukan tergantung stadium, bisa dilakukan radioterapi dan retroperitoneal
lymphnode dissection (RPLND).
DAFTAR PUSTAKA
1. American Cancer Society. 2011. Testicular Cancer Overview (www.cancer.org/acs/
groups/cid/documents/webcontent/003079-pdf.pdf, diakses pada tanggal 9 Agustus 2011)
2. American Medical Network. 2011. Testicular Cancer(http://www.health.am /cr/testicular-
cancer/, diakses pada tanggal 9 Agustus 2011)
3. BMJ Evidence Centre. 2011. Testicular
Cancer(http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/255/basics/pathophysiology.html,
diakses pada tanggal 9 Agustus 2011)
4. Eggener, S.E., Large, M., Davis, C.P. 2011. Cancer of the Testicle (
http://www.emedicinehealth.com/cancer_of_the_testicle/, diakses pada tanggal 9 Agustus 2011)
5. Einhorn, LH. 2007. Testicular cancer. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd
ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.
6. Ezine, H. 2011.Testicular Tumor (http://hpathy.com/cause-symptoms-treatment/testicular-
cancer/, diakses pada tanggal 7 Agustus 2011)
7. Kinkade, Scott. 1999. Testicular Cancer (http://www.aafp.org/afp /990501ap/2539.html,
diakses pada tanggal 10 Agustus 2011).
8. Leeson, C. Roland. Leeson, Thomas S. Paparo, Thomas S.; alihbahasa, Yan Tambayong, dkk.
1996. Testis. Textbook of Histology ed 5. Jakarta:EGC.
9. Morrow, A. 2010.Testicular Cancer (http://www.omnimedicalsearch.com/conditions-
diseases/testicular-cancer-medical-tests.html, diakses pada tanggal 7 Agustus 2011)
10. National Comprehensive Cancer Network. 2011. Clinical practice guidelines in oncology.
Testicular cancer (www.tri-kobe.org/nccn/guideline/urological/english/ testicular.html, diakses
pada tanggal 9 Agustus 2011)
11. Purnomo, Basuki P. 2009. Tumor Testis. Dasar- Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung
Seto.
12. Sachdeva, Kush. 2011. Testicular Cancer (http://emedicine.medscape.com/ article/279007-
overview, diakses pada tanggal 10 Agustus 2011).
13. Sjamsjulhidayat R., Jong W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Tumor Ganas Testis. Jakarta:
EGC.
14. Skakkebaek, N.E., De Meyts, E.R., Toppari, J. 2003. Testicular Cancer Pathogenesis,
Diagnosis, and Endocrine Aspects ( www.endotext.org/male/male13 /maleframe13.htm, diakses
pada tanggal 10 Agustus 2011)
15. U.S. Preventive Services Task Force. 2011. Screening for testicular cancer. Agency for
Healthcare Research and Quality (www.annals.org/content/ 154/7/483.short?rss=1, diakses pada
tanggal 10 Agustus 2011)
16. Van de Velde C.J.H., Bosman F.T., Wagener D.J. 1996. Onkologi Edisi 5. Tumor Testis.
Yogyakarta: Panitia Kanker RSUP Sardjito.
17. Adham, W.K., Raval, B.K., Uzquiano, M.C., Lemos, L.B. 2011. Bilateral Testicular Tumors:
Seminoma and Mixed Germ Cell Tumor. Diakses dari
http://radiographics.rsna.org/content/25/3/835.full
Kurniawan Y et all. 2009. Endodermal Sinus Tumor Testis Intradermal. Makassar: Dept
Radiologi FKUNHAS.
18. Jeffrey d. Tiemstra, MD, and Shailendra Kapoor. 2008. Evaluation of Scrotal
Masses,University of Illinois at Chicago College of Medicine
(http://www.aafp.org/afp/2008/1115/p1165.html, diakses pada tanggal 7 Agustus 2011).
19. Joseph, Nicholas, and Clayton, Lindy Jo. 2011. Testicular Ultrasound & Pathology of the
Testes (http://www.ceessentials.net/article42.html, diakses pada tanggal 7 Agustus 2011).
20. Light, D. 2011. Malignant Testicular Tumor Imaging. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/381007-overview
21. Carucci LR, Tirkes AT, Pretorius ES, Genega EM, Weinstein SP. Testicular Leydig’s cell
hyperplasia: MR imaging and sonographic findings. AJR Am J Roentgenol 2003;180(2):501–
503.
22. Harper M, Arya M, Peters JL, Buckingham S, Freeman A, O’Donoghue EP. Intratesticular
lipoma. Scand J Urol Nephrol 2002;36(3):223–224.
23. Fernández GC, Tardáguila F, Rivas C, et al. Case report: MRI in the diagnosis of testicular
Leydig cell tumour. Br J Radiol 2004;77(918):521–524.
24. Drevelengas A, Kalaitzoglou I, Destouni E, Skordalaki A, Dimitriadis A. Bilateral Sertoli
cell tumor of the testis: MRI and sonographic appearance. Eur Radiol 1999;9(9):1934.
25. Tsili AC, Tsampoulas C, Giannakopoulos X, et al. MRI in the histologic characterization of
testicular neoplasms. AJR Am J Roentgenol 2007;189(6): W331–W337.
26. Pretorius E. MRI of the male pelvis and bladder. In: Siegelman ES, ed. Body MRI.
Philadelphia, Pa: Elsevier Saunders, 2005; 372–386.