Referat DVT (1)

36
REFERAT DEEP VEIN THROMBOSIS Oleh: Naufal Farisatrianto 1110103000038 Pembimbing: dr. Witra Irfan, SpB(K)V KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUP FATMAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

description

j

Transcript of Referat DVT (1)

REFERATDEEP VEIN THROMBOSIS

Oleh:Naufal Farisatrianto1110103000038

Pembimbing:dr. Witra Irfan, SpB(K)V

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUP FATMAWATIFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA2015

BAB IPENDAHULUAN

Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah. Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena, membentuk emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru (emboli paru).Terdapat 600.000 kasus vena thrombo embolism (VTE) di Amerika Serikat setiap tahun, 26 persen akan memiliki keadaan emboli yang fatal, dan 26 persen lainnya akan memiliki acara emboli berulang yang bisa menjadi fatal. Oleh karena itu, awal diagnosis VTE adalah penting untuk mencegah mortalitas dan morbiditas pada pasien.Untuk meminimalkan risiko fatal terjadinya DVT, diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.1

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

DEFINISIDeep vein thrombosis(DVT) merupakan kondisi dimana terjadi pembekuan darah di dalam vena dalam kaki atau pelvis. Pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. Pembuluh darah dari ekstremitas diklasifikasikan menjadi vena superfisial yang terletak di atas fasia dan mendalam vena yang berada di bawah fasia. DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena stasis yang dikenal dengan trias virchow.2

EPIDEMIOLOGITromboemboli vena terjadi pada 100 orang per 100.000 setiap tahun di Amerika dan meningkat secara eksponensial dari 5 kasus per 100.000 orang pada usia 15 tahun menjadi 500 kasus (0,5%) per 100.000 orang pada usia 80 tahun. Sekitar sepertiga dari pasien dengan gejala DVT jelas menimbulkan gejala emboli paru. Meskipun sudah diterapi antikoagulan, DVT dapat berulang sering dalam beberapa bulan pertama setelah kejadian awal, dengan tingkat kekambuhan 7% dalam 6 bulan. Kematian terjadi pada 6% dari kasus DVT dan 12% dari kasus emboli paru dalam kurun waktu 1 bulan setelah diagnosis.Salah satu faktor risiko utama untuk DVT adalah etnis, dengan kejadian secara signifikan lebih tinggi di antara orang kulit putih dan Afrika-Amerika dibandingkan kalangan orang Hispanik dan kepulauan Asia Pasifik. Secara keseluruhan, 25% sampai 50% pasien yang datang pertama kali dengan DVT memiliki kondisi idiopatik, Kematian dini setelah DVT sangat terkait dengan presentasi sebagai PE, usia lanjut, kanker, dan penyakit kardiovaskular yang mendasari.3,4

PATOGENESISBerdasarkan Triad of Virchow, terdapat 3 faktor yang berperan dalam patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :1. Stasis vena.2. Kerusakan pembuluh darah.3. Aktivitas faktor pembekuan.Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis aliran darah dan hiperkoagulasi.1. Statis VenaAliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.2. Kerusakan pembuluh darahKerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena, melalui :a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin.Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan subendotel akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosit akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.

3. Perubahan daya beku darahDalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiperkoagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.Trombosis juga terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi : gangguan sel endotel, terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel, aktivasi koagulasi, terganggunya fibrinolisis, stasis, aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor von willebrand.Mekanisme protektif terdiri dari faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh, netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel, pemecahan faktor pembekuan oleh protease, pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trombosit yang beragregasi oleh aliran darah, lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis.5,6

FAKTOR RISIKOFaktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah status aliran darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah.

Tabel 1. Faktor risiko DVTFaktor kerusakan dinding pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap timbulnya trombosis vena dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena.Faktor risiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 antitripsin.Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.2. Tindakan operatifFaktor risiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%. Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah sebagai berikut :a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada waktu di operasi.b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan post operatif.c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah tersebut.3. Kehamilan dan persalinanSelama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX. Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.4. Infark miokard dan payah jantungPada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah timbulnya trombosis vena.6. Obat-obatan konstrasepsi oralHormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena, menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.7. Obesitas dan varicesObesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.8. Proses keganasanPada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo plastin-like activity dan factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa2.5MANIFESTASI KLINIKTrombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v poplitea, v femoralis dan viliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang di kenai. Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-kadang trombosis vena tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak jarng menimbulkan kematian.Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke lebih proksimal.

Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan : bendungan aliran vena. peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler. emboli pada sirkulasi pulmoner.Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :1. NyeriIntensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.2. PembengkakanTimbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.3. Perubahan warna kulitPerubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-kadang berwarna ungu. Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada perabaan dingin, merupakan tanda-tanda adanya sumbatan vena yang besar yang bersamaan dengan adanya spasme arteri, keadaan ini disebut flegmasia alba dolens.Penyakit ini dimulai mungkin dengan DVT, yang berlangsung terjadinya total oklusi sistim vena dalam. Hal ini pada tahap ini yang disebut phlegmasia dolens alba. Ini adalah proses yang akut. Kemudian kaki harus bergantung pada sistem vena superfisial untuk drainase. Sistem permukaan tidak memadai untuk menangani volume besar darah yang dikirimkan ke kaki melalui sistem arteri. Hasilnya adalah edema, rasa sakit dan penampilan (alba) kaki putih. Langkah berikutnya dalam perkembangan penyakit ini oklusi sistem vena superfisial, sehingga mencegah aliran vena di sekitar ujung. Pada tahap ini disebut Phlegmasia cerulea dolens. Kaki menjadi semakin bengkak dan sakit. Selain itu, edema dan hambatan aliran vena dapat menyebabkan iskemik dan akhirnya menjadi gangren.4. Sindroma post-trombosis.Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam akan membalik ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di kenai.Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada daerah betis yang timbul/bertambah waktu penderitanya beraktivitas (venous claudicatio), nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.2.6DIAGNOSIS

Gambar 1. Alur Diagnosis DVT1

Diagnosis trombosis vena ditemtukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sebagai diagnosis definitif. Dari anamnesis dapat ditemukan pembengkakan pada betis, nyeri paha, nyeri tungkai bawah, dan asimtomatik. Pemeriksaan fisik ditemukan edema tungkai unilateral, eritema, hiperemis, nyeri tekan, teraba pembuluh darah superfisial, dan homan sign positif.12

Gambar. Homans sign1. Dalam posisi terlentang, lutut diduga kaki pasien harus tertekuk (Gambar 1).2. Pemeriksa harus kemudian secara paksa dan tiba-tiba dorsiflex pergelangan kaki pasien (Gambar 2). Pemeriksa mengamati apakah pasien merasakan nyeri di betis dan daerah poplitea. Nyeri menunjukkan tanda positif.

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan d-dimer menunjukkan adanya trombosis yang aktif dan merupakan pemeriksaan yang sensitif dengan spesivitas 77%.

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, antara lain:1. VenografiSampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya. Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal ke vena iliaca.2. Flestimografi impendansPrinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di betis.3. Ultra sonografi (USG) DopplerPada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler. P USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi padaisolated calf vein thrombosissensitivitasnya hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih 70%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif lain.DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliacDVT danfemoralDVT) dan tipe perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik serta ditemukannya faktor risiko . Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg) Skor dari Wells (tabel 2) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok risiko ringan, sedang atau tinggi Tabel 2. Skor Wells3Keadaan klinisSkor

Kanker aktif (dalam pengobatan atau dalam 6 bulan sebelumnya atau paliatif)1

Paralisis, parese, atau imobilisasi plaster ekstremitas bawah akhir-akhir ini1

Akhir-akhir ini bedrest lama lebih dari 3 hari atau operasi besar dalam 4 minggu terakhir1

Nyeri lokal sepanjang distribusi sistem vena dalam1

Bengkak seluruh kaki1

Pembengkakan betis lebih dari 3 cm bila dibandingkan dengan kaki yang asimtomatik (diukur dibawah tuberositas tibia)1

Pitting edema (lebih besar pada sisi kaki yang simtomatik)1

Vena superfisial kolateral (nonvaricose)1

Diagnosis alternatif sebagai kemungkinan atau kemungkinan lebih dari DVT-2

Skor faktor risiko : ringan < 0, sedang 1-2, Tinggi >3

Pemeriksaan D-dimer 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam. Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%. Heparin dapat diberikan 710 hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan. Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.Pemberian Low Milecular Weight Heparin (LMWH)Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin). Pada pemberian heparin standar maupun LMWH bisa terjadi efek samping yang cukup serius yaitu Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT).Pemberian Oral Anti koagulan oral Obat yang biasa di pakai adalah Warfarin Cara. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 8 mg (single dose) pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR (International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 3,0Cara penyesuaian dosis INRPenyesuaian1,1 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.Kembali : 1 minggu1,5 1,9hari 1, naikkan 5% 10% dari total dosis mingguan. Kembali : 2 minggu 2,0 3,0tidak ada perubahan.Kembali : 1 minggu 3,1 3,9hari :kurang 5% 10% dari dosis total mingguan.Mingguan : kurang 5 150 dari dosis total mingguanKembali : 2 minggu4,0 5,0hari 1:tidak dapat obatmingguan: kurang 10%-20% TDMkembali : 1 minggu> 5.0 : Stop pemberian warfarin. Pantau sampai INR : 3,0 Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%. kembali tiap hari.Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor risiko yang reversibel. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.2. Perdarahan yang baru di otak.3. Alkoholisme.4. Lesi perdarahan traktus digestif.Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini, terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen activator (TPA).TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan serebral. Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.

2. Mengurangi Morbiditas pada serangan akut.Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena dilakukan. Istirahat di tempat tidur. Posisi kaki ditinggikan. Pemberian heparin atau trombolitik. Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri. Pemasangan stoking yang tekananya kira-kira 40 mmHg.Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 48 jam serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di anjurkan tindakan embolektomi. Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak dianjurkan.3. Pencegahan Sindroma post-flebitis.Sindroma post flebitis disebabkan oleh inkompeten katup vena sebagai akibat proses trombosis. Biasanya terjadi pada trombosis di daerah proksimal yang eksistensif seperti vena-vena di daerah poplitea, femoral dan illiaca. Keluhan biasanya panas, edema dan nyeri terjadinya trombosis. Sindroma ini akan berkurang derajatnya kalau terjadi lisis atau pengangkatan trombosis.4. Pencegahan terhadap adanya hipertensi pulmonal.Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang tidak sering dari emboli paru. Keadaan ini terjadi pada trombosis vena yang bersamaan dengan adanya emboli paru, akan tetapi dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan trombolitik, terjadinya hipertensi pulmonal ini dapat dicegah.Tujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dandrug of choiceDVT.

Unfractionated Heparin(UFH)Unfractionated heparin(UFH)memilikiwaktu mula kerja yang cepat tapi harus diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher, 2009). DosisUnfractionated heparinberdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai kadaractivated partial-thromboplastin time(APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3 kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi inisial risiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5 hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International Normalized Ratio (INR) dariprothrombin clotting timelebih dari 2,0.Low Molecular Weight heparin(LMWH)Low Molecular Weight Heparin(LMWH) bekerja dengan cara menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin. LMWH merupakan antikoagulan yang memiliki beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan.9Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastase kecentral nervous system(CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal.Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor. Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver serta memiliki penyakit penyerta yang berat. LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH.Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan olehU.S. Food and Drug Administration(FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200 IU/kgBB/hari dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis 175 IU/kgBB/hari. Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra). Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin (Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB 100 kg) secara subkutan, satu kali perhari.TERAPI JANGKA PANJANGSetelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan dengan pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan (Bates, 2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K yang menghambatvitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan terhadap enzimvitamin K epoxide reductase. Dosis awal yang diberikan adalah 5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB rendah dan kondisi malnutrisi.9Therapeutic windowwarfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan monitoring INR sehinggacost effectivedan dapat digunakan jika ada kesulitan akses laboratorium, LMWH juga memilikionsetdanoffset of actionyang lebih cepat daripada warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis pada penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal.8Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara lainonset of actionyang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis obat dan makanan,therapeutic windowyang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat. Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara lainonset of actionyang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari warfarin. Obatantikoagulanbaru dapatdibagi menjadi3kelompok berdasarkantarget tempat bekerja1. Inhibitorlangsungthrombin(atau faktorlIa),sepertidabigatranetexilate(Pradaxa) danAZD08372. Oral inhibitor faktor Xa meliputi Rivaroxaban (Xarelto), apixaban, betrixaban, edoxabandan eribaxaba3. Inhibitorfaktor Xaparenteral, meliputiidrabiotaparinux(idraparinuxterbiotinilasi, turunan darifondaparinux) dansemuloparin.

DURASI PENGGUNAAN ANTIKOAGULANSecara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor risiko reversibel memiliki risiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3 bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovokedyang hanya diterapi selama 3 bulan memiliki risiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan ekstrapolasi dari penelitian terhadap risiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien dapat diklasifikasikan menjadi kelompok risiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.Tabel 3. Kategori risiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi9

TERAPI TROMBOLITIKTrombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengancatheter-directed thrombolysis(CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan risiko terjadinya rekurensi danpost thrombotic syndrome(PTS).Serine protease inhibitorendogen seperti urokinase dan rekombinantissue plasminogen activator(r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase . Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan menurunkan risiko perdarahan.Risiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan heparin. Indikasi dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan risiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala 180 mmHg, DBP>110 mmHg).1Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik, penggunaanvenous stentingtambahan daninferior vena cava filter(IVC) berbeda-beda pada tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara, penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus. Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus .Aspiration thrombectomyjuga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus.

Gambar 4. Manajemen tatalaksana DVT tanpa komplikasi.9TERAPI NON FARMAKOLOGISTerapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikitevidence basednya. Latihan dancompression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinyapost thrombotic syndrome(PTS). Penggunaancompression stockingsselama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan risiko timbulnya PTS.Beberapa cara untuk mencegah terjadinya DVT adalah latihan aktif (menggerakkan sendi kaki), latihan berjalan, meninggikan posisi kaki, stoking elastik dipakai selama ada risiko DVT, Intermitten Pneumatic compression (IPC) sangat berguna pada pasien dengan risiko tinggi perdarahan, pasien dengan bed rest tetap dilanjutkan menggunakan IPC, penggunaan heparin.7TROMBEKTOMIIndikasiopen surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupunmechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking danesmarch bandage.Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi.1

2.8PROGNOSISPrognosis trombosis arteri dan vena ditentukan oleh lokasi dan ketepatan penanganan. Umumnya makin cepat penanganan, maka semakin baik prognosisnya, dapat menimbulkan kecacatan dan kematian jika tidak ditangani dengan. Trombektomi terutama berhasil sangat baik bila kejadiannya akut.

DAFTAR PUSTAKA1. JSC joint working group. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis. Circ J 2011; 75: 1258-81.2. Grace PA, Borley NR. Surgical diseases at a glance. Ed 2.Blackwell science.20023. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary embolism. Am Fam Physician. 2012; 86(10):913-9194. White RH. The epidemiology of venous thromboembolism. Circulation. 2003;107. h1418.5. Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation. 2003 ;107. h122130.6. Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 7. Jakarta : Interna Publising. 20147. Anderson FA Jr, Spencer FA. Risk factors for venous thromboembolism. Circulation. 2003;107(23 suppl 1):191168. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism.Journal of the American College of Cardiology, 2010; 56:1-79. Bates SM, Ginsberg JS. Treatment of deep vein thrombosis.N Engl J Med. 2004; 351: 268-7710. Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent Thrombo-embolism in Patient DVT. N Engl J of Med 2001; 344:626-63116