Referat Anestesi Pada Obesitas

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan pola hidup, maka tidak dapat dipungkiri lagi obesitas telah menjadi masalah yang cukup sering ditemui dalam praktik kesehatan. Masalah obesitas tidak hanya banyak ditemukan di negara maju, namun juga di negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 2014, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa terdapat lebih dari 1.9 milyar penduduk dunia yang memiliki BMI ≥ 25kg/m 2 (overweight), diantaranya terdapat lebih dari 600 juta penduduk memiliki BMI ≥ 30kg/m 2 atau mengalami obesitas. 39% penduduk dunia (38% pria dan 40% wanita) pada tahun 2014 mengalami berat badan berlebih (overweight) dan 13% (11% pria dan 15% wanita) mengalami obesitas. 1 Di Indonesia sendiri, prevalensi berat badan lebih pada tahun 2013 adalah sebesar 13.5% dan obesitas sebesar 15.4%. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%). Selain itu, Departemen Kesehatan Indonesia juga melakukan 1

description

Manajemen anestesi pada obesitas

Transcript of Referat Anestesi Pada Obesitas

BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar BelakangSeiring dengan perkembangan zaman dan perubahan pola hidup, maka tidak dapat dipungkiri lagi obesitas telah menjadi masalah yang cukup sering ditemui dalam praktik kesehatan. Masalah obesitas tidak hanya banyak ditemukan di negara maju, namun juga di negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 2014, World Health Organization (WHO) mencatat bahwa terdapat lebih dari 1.9 milyar penduduk dunia yang memiliki BMI 25kg/m2 (overweight), diantaranya terdapat lebih dari 600 juta penduduk memiliki BMI 30kg/m2 atau mengalami obesitas. 39% penduduk dunia (38% pria dan 40% wanita) pada tahun 2014 mengalami berat badan berlebih (overweight) dan 13% (11% pria dan 15% wanita) mengalami obesitas.1 Di Indonesia sendiri, prevalensi berat badan lebih pada tahun 2013 adalah sebesar 13.5% dan obesitas sebesar 15.4%. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%). Selain itu, Departemen Kesehatan Indonesia juga melakukan pendataan status gizi berdasarkan nilai lingkar perut dengan kriteria WHO Asia Pasifik, dimana nilai LP > 90cm pada laki-laki dan LP > 80cm pada perempuan dinyatakan sebagai obesitas sentral. Secara nasional, prevalensi obesitas sentral adalah 26.6 persen, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 (18,8%). DKI Jakarta menduduki peringkat tertinggi dengan angka sebesar 39.7%.2 Obesitas berkaitan erat dengan berbagai macam penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan obstructive sleep apnea (OSA).3 Kondisi-kondisi seperti ini tentu sangat berperan besar dalam menentukan tindakan medis yang akan diambil oleh para klinisi, tidak terkecuali dalam manajemen anestesi. Seorang dokter harus mampu membuat keputusan medis bagi pasien obesitas yang hendak menjalani operasi mulai dari penilaian pra-operasi, manajemen anestesi, hingga pada saat pasien berada di ruang pemulihan. Untuk itu, pemahaman yang menyeuruh mengenai patofisiologi obesitas dan komplikasi yang dapat terjadi berkaitan dengan anestesi perlu dipahami oleh seorang calon klinisi.4

1.2Rumusan MasalahBagaimana manajemen anestesi pada pasien obesitas?

1.3Tujuan1.3.1Mengetahui perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada pasien obesitas.1.3.2Mengetahui manajemen anestesi yang tepat untuk pasien obesitas.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi dan Klasifikasi ObesitasObesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan dijaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan.Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin / hiperinsulinemia, hiperuresemia, gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi.Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sehingga sebagai penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Pengukuran ini merupakan langkah awal dalam menetukan derajat adipositas, dan dikatakan berkorelasi kuat dengan jumlah massa lemak tubuh. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet yaitu berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Karena IMT menggunakan tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti. Disamping IMT, menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus dihitung untuk menilai adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama pada IMT 25- 34,9 kg/m2. 5Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah klasifikasi yang diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan World Health Organization (WHO), yang tertera pada tabel 2.1 di bawah ini.

KategoriIMT (kg/m2)

Berat badan kurang< 18.5

Kisaran normal18.5 24.9

Berat badan lebih> 25

Pra-obes25.0 29.9

Obes tingkat I30.0 34.9

Obes tingkat II35.0 39.9

Obes tingkat III> 40.0

Tabel 2.1 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT

Karena definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung pada ras, maka wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan kriteria obesitas sendiri seperti yang terdapat didalam tabel 2.2. Hingga saat ini masih terdapat perdebatan menentukan cut-off yang digunakan sebagai patokan batas obesitas pada populasi Asia. Beberapa negara seperti Jepang dan Cina sudah menggunakan batasan yang lebih rendah sebagai kriteria obesitas.

KlasifikasiIMT (kg/m2)Risiko Komorbiditas

Lingkar Pinggang

< 90 cm (pria) 90 cm (pria)

< 80 cm (wanita) 80 cm (wanita)

Berat badan kurang< 18.5RendahSedang

Kisaran normal18.5 22.9SedangMeningkat

Berat badan lebih 23.0

Berisiko23.0 24.9MeningkatModerat

Obes I25.0 29.9ModeratBerat

Obes II 30.0BeratSangat berat

Tabel 2.2 Kategori berat badan berdasarkan klasifikasi Asia-Pasifik

2.2Perubahan Fisiologi yang Terjadi Pada Pasien Obesitas2.2.1Sistem KardiovaskularObesitas berhubungan dengan bertambahnya volume darah dan cardiac output sebesar 20 - 30 ml untuk setiap kilogram lemak yang berlebih. Peningkatan cardiac output ini disebabkan oleh dilatasi ventrikel dan bertambahnya volume sekuncup. Dilatasi ventrikel mengakibatkan bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang menyebabkan hipertrofi ventrikel. Hipertrofi dari ventrikel kiri ini akan menurunkan compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan terjadi gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP (left ventricular end diastolic pressure) dan edem paru. Kapasitas dilatasi untuk ventrikel juga memiliki batasan, sehingga jika penebalan dinding ventrikel kiri tidak dapat mengiringi dilatasi maka fungsi sistolik akan terganggu dan terjadilah kardiomiopati obesitas.6Pasien obesitas cenderung memiliki berbagai macam penyakit sistem kardiovaskular seperti iskemia, hipertensi, hingga gagal jantung. Hipertensi ringan sampai sedang terjadi pada 50-60% pasien obesitas dan hipertensi berat pada 5-10% pasien. Diduga hipertensi pada pasien obesitas terjadi karena pengaruh faktor genetik, hormonal, renal, dan hemodinamik. Terdapat peningkatan tekanan sistolik sebesar 3-4 mmHg dan diastolik 2 mmHg untuk setiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya cairan pada ekstraseluler akan berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan cardiac output. Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas juga memberikan kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan retensi sodium. Selain itu, resistensi insulin juga bertanggung jawab terhadap aktivitas norepinefrin dan angiotensin II.Selain hipertensi, obesitas (terutama obesitas sentral) juga merupakan faktor risiko terjadinya iskemia jantung. Faktor lain seperti diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density Lipoprotein) menambah beratnya risiko penyakit ini.Pasien obestias juga cenderung mengalami aritmia jantung. Terdapat beberapa faktor presipitasi yang menyebabkan hal ini diantaranya hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit akibat terapi dengan diuretik, penyakit jantung koroner, bertambahnya konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi miokard, dan penumpukan lemak dalam sistem konduksi.7

2.2.2Sistem RespirasiKenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas. Pada kasus berat, penurunan kemampuan bernapas dapat mencapai tiga puluh persen. Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan meningkatnya kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari otot dada tersebut, sehingga pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat. Walaupun terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang berakibat tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun beberapa penelitian mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh peningkatan volume darah paru. Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan penurunan FRC, terhimpitnya saluran napas, dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan compliance dan resistensi thorax terlihat dengan adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang meningkat dan berkurangnya kapasitas paru. Selain hal-hal di atas, ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida pada penderita obesitas juga meningkat sebagai hasil dari aktivitas metabolik karena jumlah lemak yang berlebih dan bertambahnya simpanan pada jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau BMA) berhubungan dengan luasnya permukaan tubuh.Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity atau FRC), volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan kapasitas total dari paru-paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas seiring dengan peningkatan berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun akibat penyempitan saluran napas, ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar 50% pada penderita obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi penurunan FRC sebesar 20%. Karena kurangnya FRC, pada penderita obesitas terjadi kegagalan toleransi ketika terjadi apnea, disamping itu juga terjadi desaturasi oksigen segera setelah induksi anestesi.7Gangguan pernapasan yang paling sering ditemui pada pasien obesitas adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:7,8a) Episode apnea atau hipopnea yang sering terjadi saat tidur dan membangunkan pasien secara mendadak. Episode ini digambarkan sebagai obstruktif apnea selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan total dari saluran napas dan adanya usaha keras untuk tetap bernapas. Hipopnea diartikan sebagai reduksi dari 50% aliran udara yang adekuat yang berujung pada penurunan 4% saturasi oksigen arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih dari lima kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Hal yang penting diperhatikan adalah sekuele dari keadaan ini yaitu hipoksia, hiperkapnia, hipertensi sistemik atau pulmonal, dan aritmia.b) Mengorok. Semakin hebat obstruksi, makan suara yang terdengar akan semakin jelas. Mengorok pada pasien OSA juga diikuti periode sunyi (silence) saat tidak ada aliran udara yang masuk dan setelahnya akan terjadi gasping atau choking yang membangunkan pasien dari tidurnya, bernapas beberapa kali, dan kemudian tidur kembali (siklus ini berulang sepanjang waktu tidur). c) Gejala pada siang hari seperti sering mengantuk, konsentrasi dan memori terganggu. Terkadang penderita mengeluhkan sakit kepala pada pagi hari akibat retensi karbondioksida (CO2) pada malam harinya dan vasodilatasi serebral.d) Perubahan fisiologi. Apnea berulang dapat menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik. Hipoksemia berulang dapat berujung pada polisitemia yang meningkatkan risiko penyakit jantung iskemia dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan vasokonstriksi pulmonal menyebabkan kegagalan ventrikel kanan (right ventricle failure).

2.2.3Sistem GastrointestinalRisiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti oleh pneumonia aspirasi lebih tinggi pada pasien obesitas. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan rendahnya pH dalam lambung, dan tingginya risiko gastro-esofageal. Walaupun pasien obesitas memilki volume lambung yang lebih besar daripada orang normal, namun pengosongan lambung justru lebih cepat berlangsung pada penderita obesitas, terutama pada intake energi tinggi seperti emulsi lemak. Oleh karena adanya risiko aspirasi asam, maka pasien obesitas dapat diberikan H2-reseptor antagonis, antasid, dan prokinetik, juga dilakukan induksi secara cepat dengan tekanan pada krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh.7

2.3Manajemen Anestesi Pada Pasien Obesitas2.3.1Pra-operasiObat-obatan premedikasi yang diberikan pada pasien obesitas harus dipertimbangkan dengan baik. Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi napas pada pasien obesitas, maka obat-obatan jenis ini sebaiknya dihindari. Obat-obatan yang dimasukan dengan cara injeksi intra-muskular dan sub-kutan juga sebaiknya tidak digunakan karena absorbsinya yang tidak dapat diprediksi. Jika akan dilakukan intubasi sadar dengan serat optik, maka pasien harus diberikan antisialogogue.Karena pasien obesitas memiliki risiko aspirasi asam lambung yang tinggi, maka seluruh pasien obesitas sebaiknya diberikan profilaksis berupa kombinasi H2 blocker (ranitidin 150mg per oral) dan prokinetik (metoklopramid 10mg per oral) 12 jam dan 2 jam sebelum pembedahan. Jika pasien menderita diabetes, maka perlu diberikan regimen insulin-dekstrosa. Pasien obesitas juga lebih memilki risiko untuk mengalami infeksi pada luka paska-operasi, maka pemberian antibiotik sebagai profilaksis dapat dipertimbangkan.Sebagian besar pasien obesitas tidak dapat bergerak setelah operasi dan akan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami thrombosis vena dalam, oleh karena itu, heparin dosis rendah dapat diberikan sebagai profilaksis dan diteruskan setelah operasi sampai pasien dapat bergerak.Evaluasi pasien obesitas yang akan menjalani operasi mayor harus dilakukan untuk mengukur cadangan kardiopulmoner. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain adalah roentgen dada, EKG, dan analisis gas darah arteri. Tekanan darah harus diukur dengan ukuran manset yang sesuai. Lokasi potensial untuk akses intravena dan intraarteri harus dicari dan ditentukan sebagai antisipasi saat keadaan gawat. Tebalnya lapisan lemak di jaringan dan sulitnya memposisikan pasien mungkin akan membuat regional anestesi dengan peralatan dan teknik biasa sulit dilakukan. Untuk menilai sistem respirasi, kemampuan pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas harus diperiksa. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas darah, fungsi paru dan oksimetri. Pasien yang dicurigai menderita OSA disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan risiko spesifik dari anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian ventilasi pascaoperasi, dan bahkan trakeostomi mengingat pasien obesitas mungkin sulit untuk diintubasi karena pergerakan sendi temporomandibular dan antlantooksipital yang terbatas, jalan napas yang sempit, dan jarak mandibular dan bantalan lemak sternum yang pendek. Perlu diingat pula, setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi harus diperiksa gula darahnya, baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa. Respon katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi ini akan berakibat tingginya risiko infeksi pada luka operasi dan infark miokard pada periode iskemia miokard.

2.3.2Intra-operasiPasien obesitas harus dianestesi di atas meja operasi di dalam kamar operasi untuk mempermudah proses pemindahan pasien sehingga mengurangi risiko cedera baik pada pasien maupun pada petugas kesehatan. Setelah pasien diposisikan, maka perhatian khusus harus diberikan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan selama operasi untuk menghindari kerusakan saraf akibat penekanan. Kompresi vena cava inferior harus dihindari dengan cara sedikit memiringkan meja operasi ke kiri atau meletakkan sanggahan di bawah pasien. Monitoring tekanan arteri secara invasif dilakukan pada hampir semua operasi kecuali operasi minor. Jika monitoring tekanan darah dilakukan secara invasif, maka harus tersedia ukuran manset yang sesuai. Oksimetri denyut, elektrokardiograf, kapnograf, dan pengawasan blok neuromuskular harus dilakukan.7 Anestesi regional pada pasien obesitas menurunkan risiko dari kegagalan intubasi dan aspirasi asam lambung. Untuk pembedahan dada dan abdomen, sebagian besar dokter anestesi menggunkan teknik kombinasi epidural dan anestesi umum. Teknik ini memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan jika menggunakan anestesi umum saja, karena akan mengurangi penggunaan opioid dan anestesi inhalasi. Anestesi epidural berkelanjutan juga memiliki keuntungan dalam meredakan nyeri dan menurunkan komplikasi pernapasan selama masa pasca-operasi. Namun, penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memiliki kesulitan sendiri, antara lain adalah sulitnya mencari patokan tulang yang biasa digunakan. Jarum yang lebih panjang atau bahkan ultrasonografi mungkin dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pembiusan.9 Perlu diketahui, pasien obesitas memerlukan dosis anestesi spinal 20-25% lebih sedikit daripada dosis normal karena vena epidural yang terdistensi dan tekanan intra-abdomen yang meningkat menyebabkan menyempitnya ruang epidural.10Selain teknik anestesi, perhitungan dosis obat pada pasien obesitas juga harus diperhatikan. Berat badan total (total body weight) seseorang terdiri dari berat badan tanpa lemak (lean body weight) dan berat lemak pada tubuh orang tersebut. Secara teoritis, cadangan lemak yang banyak akan meningkatkan volume distribusi dari obat yang larut dalam lemak (benzodiazepin, opioid). Dosis obat-obatan seperti ini dihitung berdasarkan berat badan total, sedangkan dosis obat-obatan yang tidak larut dalam lemak dihitung berdasarkan berat badan tanpa lemak. Oleh karena itu, perlu diketahui jenis obat-obatan yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air untuk menentukan apakah dosis obat tersebut dihitung berdasarkan berat badan total, berat badan tanpa lemak, atau bahkan berat badan ideal. Tabel 2.3 dan Tabel 2.4 memperlihatkan cara penghitungan berat badan dan cara menentukan dosis pada beberapa obat-obatan yang sering dipakai saat intra-operasi.11,12,13

Jenis Berat BadanCara Penghitungan (berat badan dalam kg)

Berat Badan Ideal (IBW)45.4 + 0.89 x (tinggi dalam cm - 152.4) untuk wanita

49.9 + 0.89 x (tinggi dalam cm - 152.4) untuk pria

Berat Badan Tanpa Lemak (LBW)(1.07 x TBW) - (0.0148 x BMI x TBW) untuk wanita

(1.10 x TBW) - (0.0128 x BMI x TBW) untuk pria

ATAU

(9,720 x TBW)/(8,780 + (244 x BMI)) untuk wanita

(9,270 x TBW)/(6,680 + (216 x BMI)) untuk pria

Tabel 2.3 Rumus perhitungan berat badan

ObatDosis Berat Badan

Thiopental SodiumLBW

PropofolLBW (bolus induksi)TBW (pemeliharaan)

EtomidateLBW

SuccinylcholineTBW

PancuroniumIBW

RocuroniumIBW

VecuroniumIBW

CisatracuriumIBW

FentanylLBW

AlfentanilLBW

RemifentanilLBW

MidazolamTBW (dosis bolus)IBW (infus)

ParacetamolLBW

NeostigmineTBW

SugammadexTBW atau IBW + 40%

Enoxaparin (profilaksis trombosis vena dalam)TBW 0.5mg/kgBB

Tabel 2.4 Skala dosis berat untuk obat-obatan yang sering digunakan dalam operasi

Oleh karena adanya risiko aspirasi dan hipoventilasi, pasien obesitas biasanya diintubasi pada semua kasus anestesi umum kecuali pada kasus anestesi umum yang sebentar. Namun memutuskan pemilihan intubasi dalam kesadaran penuh atau tidur dalam merupakan pilihan sulit. Beberapa sumber menyarankan intubasi dilakukan dalam kesadaran penuh terutama jika berat badan sesungguhnya > 175% berat badan ideal. Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah dapat dipastikan morfologi jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih disarankan. Jika intubasi sulit dilakukan, maka digunakan bronkoskop serat optik atau laringoskopi video. Posisi pasien saat intubasi dilakukan sangat membantu dan auskultasi napas untuk memastikan apakah ETT sudah masuk mungkin sulit dilakukan. Ventilasi terkendali mungkin membutuhkan konsentrasi oksigen inspirasi yang lebih besar untuk mencegah hipoksia, terutama pada posisi lithotomi, Trendelenburg, atau tengkurap.

2.3.3Paska-operasiKegagalan napas merupakan masalah pasca-operasi terbesar pada pasien obesitas. Risiko hipoksi pasca-operasi meningkat pada pasien dengan hipoksi pra-operasi yang diikuti dengan pembedahan rongga dada atau abdomen bagian atas. Ekstubasi harus ditunggu hingga kerja dari pelumpuh otot telah dibalikkan dan pasien sadar. Pasien obesitas harus tetap diintubasi hingga jalur napas yang adekuat dan volume tidal dapat dipertahankan secara pasti. Jika pasien diekstubasi di dalam kamar operasi, suplementasi oksigen harus diberikan selama pasien dipindahkan ke PACU. Posisi duduk 45o dapat memperbaiki ventilasi dan oksigenasi. Risiko hipoksia pada pasien obesitas tetap ada hingga beberapa hari pasca-operasi, oleh karena itu suplementasi oksigen dan CPAP mungkin dapat dipertimbangkan. Komplikasi lain yang sering terjadi pada pasien obesitas adalah infeksi luka, trombosis vena dalam, dan emboli pulmoner.14 Untuk penatalaksanaan nyeri paska-operasi, analgesik epidural dengan opioid atau anestesi lokal mungkin merupakan pilihan yang paling efektif dan aman bagi pasien obesitas. Selain itu, pemberian analgesik epidural juga dapat diiringi dengan pemberian parasetamol atau NSAIDs lainnya. Penanganan nyeri yang baik akan membuat pasien dapat melakukan mobilisasi lebih awal, hal ini memberi keuntungan untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi paru dan trombosis vena dalam.7Hal lain yang perlu diperhatikan pada masa paska-operasi pasien obesitas adalah tingginya risiko untuk mengalami infeksi pada luka bekas operasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hal ini adalah dengan mengontrol gula darah pasien obesitas paska-operasi. Di samping itu, pemberian antibiotik dengan waktu dan dosis yang tepat perlu dipertimbangkan. 15

BAB IIIPENUTUP

3.1KesimpulanKeberhasilan pengelolaan anestesi pasien obesitas memerlukan banyak pertimbangan dari berbagai sudut pandang. Diperlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perubahan-perubahan fisiologi yang terjadi pada pasien obesitas agar manajemen anestesi pada pasien obesitas dapat terlaksana dengan baik. Kondisi pasien yang berkaitan erat dengan gangguan sistem kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, dan metabolisme menuntut klinisi dalam bidang anestesi untuk dapat memonitor secara ketat perubahan-perubahan yang mungkin terjadi selama operasi. Tindakan pra-operasi, intra-operasi, dan paska-operasi yang adekuat sangat mendukung keberhasilan kesembuhan pasien. Diperlukan kerjasama yang baik, dari dokter, perawat anestesi, dokter penyakit dalam, maupun dokter bedah agar kerberhasilan tindakan pada pasien obesitas dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Obesity and Overweight Fact Sheets. January; 2015.2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesahatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.3. Jr Morgan G E., Mikhail M S., Murray M J. Anesthesia For Patient with Endocrine Disease : Obesity. Lange 4th Ed. Mcgraw-Hill Companies ; 2006 ; 813-154. Adams, J P and Murphy, P G. Obesity in Anesthesia and Intensive Care (British Journal). Available from : http://bja.oxfordjournals.org/cgi/content/full/85/1/915. Sugondo S. Obesitas. Di dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-3. Jakarta: Interna Publishing;2009. Hlm 1977-80.6. Rider OJ, Petersen SE, Francis JM, et al. Ventricular hypertrophy and cavity dilatation in relation to body mass index in women with uncomplicated obesity. Heart 2011; 97: 203-8. 7. Cullen A, Ferguson A. Perioperative management of the severely obese patient: a selective pathophysiological review. Can J Anesth 2012 (59):974-96. Available from: http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs12630-012-9760-28. Lopez PP, Stefan B, Schulman CI, Byers PM. Prevalence of sleep apnea in morbidly obese patients who presented for weight loss surgery evaluation: more evidence for routine screening for obstructive sleep apnea before weight loss surgery. Am Surg 2008; 74: 834-8. 9. Chin KJ, Perlas A. Ultrasonography of the lumbar spine for neuraxial and lumbar plexus blocks. Curr Opin Anaesthesiol 2011; 24: 567-72. 10. Ingrande J, Lemmens HJ. Dose adjustment of anaesthetics in the morbidly obese. Br J Anaesth 2010; 105(Suppl 1): i16-23. 11. Leykin Y, Miotto L, Pellis T. Pharmacokinetic considerations in the obese. Best Pract Res Clin Anaesthesiol 2011; 25: 27-36. 12. Janmahasatian S, Duffull SB, Ash S, Ward LC, Byrne NM, Green B. Quantification of lean bodyweight. Clin Pharmacoki- net 2005; 44: 1051-65. 13. Ingrande J, Brodsky JB, Lemmens HJ. Lean body weight scalar for the anesthetic induction dose of propofol in morbidly obese subjects. Anesth Analg 2011; 113: 57-62. 14. Gaszynski T, Tokarz A, Piotrowski D, Machala W. Boussignac CPAP in the postoperative period in morbidly obese patients. Obes Surg 2007; 17: 452-6.15. Huttunen R, Syrjanen J. Obesity and the risk and outcome of infection. Int J Obes (Lond) 2012.

1